Anda di halaman 1dari 163

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kota sebagai tempat pemusatan penduduk dengan berbagai

sarana pelayanannya, tidak hanya memerlukan penyediaan air

bersih, penyaluran air bekas, pengolahan air buangan serta

pengolahan sampah, tetapi perlu juga disadari pentingnya suatu

sistem penyaluran air hujan dalam menciptakan lingkungan yang

sehat, karena air hujan dapat menimbulkan masalah dalam

kehidupan (kota).

Daerah kota dengan penduduk dan lingkungan yang rapat

memperkecil areal infiltrasi dan memperbesar limpasan air hujan

pada permukaan tanah, sehingga dapat menimbulkan genangan air

dan banjir. Akibatnya akan dapat menimbulkan kerusakan dan

gangguan terhadap kehidupan masyarakat maupun aktivitas kotanya

dalam melaksanakan tugasnya. Untuk menghindari kerugian-

kerugian tersebut diperlukan suatu sistem drainase perkotaan yang

akan mampu mengurangi ataupun mencegah terjadinya genangan air

ataupun banjir.

Daerah studi pada penelitian ini adalah daerah perkotaan yang

sedang giat-giatnya membangun, sehingga banyak terjadi perubahan

perkembangan tata guna lahan (land use) dari daerah resapan air

menjadi daerah kedap air yang menimbulkan permasalahan baru


2

terhadap berfungsinya saluran drainase yang ada terutama drainase

jalan raya di wilayah tersebut. Pada saat musim hujan, debit air

permukaan yang berasal dari daerah limpasan air permukaan setiap

tahun semakin besar karena air yang meresap ke dalam tanah

semakin berkurang seiring dengan perubahan tata guna lahan.

Disamping permasalahan banjir sebagai akibat belum tertatanya

sistem drainase yang ada, terdapat pula saluran drainase dari

daerah rawa yang menuju ke Sungai Sempaja sebagai outletnya

dimana kapasitas Sungai Sempaja pada umumnya tidak mampu

menahan debit banjir yang ada, disamping itu muka air di Sungai

Sempaja ini, khususnya di sebelah hilir sangat dipengaruhi oleh

pasang surut muka air Sungai Karang Mumus, sehingga debit dari

Sungai Sempaja ini melimpas ke badan jalan atau daerah di sekitar

sungai.

Dengan adanya uraian di atas permasalahan genangan dan

banjir, serta pengaruh pasang surut akan berdampak luas baik

terhadap perekonomian, seluruh aktivitas manusia dan lingkungan

yang tidak sehat, sehingga perlu mendapatkan perhatian yang

serius.

1.2. Identifikasi Masalah

Pada dasarnya banjir adalah genangan air yang terjadi pada

daerah yang tidak diinginkan. Genangan air yang terjadi di suatu

tempat merupakan proses alami dan menjadi konsekuensi dari


3

perubahan tata guna lahan. Disamping itu genangan terjadi juga

dikarenakan meningkatnya limpasan air permukaan, hal ini lebih

diakibatkan oleh makin berkurangnya vegetasi penutup dan tingginya

intensitas hujan.

Terjadinya perubahan limpasan permukaan, kadang kala tidak

dibarengi dengan penataan sistem drainase yang memadai, atau

sebaliknya berubahnya tata guna lahan tidak memperhatikan sistem

drainase yang ada. Hal ini sebagai penyebab utama terjadinya banjir

di kawasan perkotaan atau kawasan yang sedang berkembang. Oleh

karena itu untuk kawasan perkotaan dan daerah yang sedang

berkembang hendaknya dari awal sudah direncanakan suatu sistem

drainase yang dapat memenuhi kebutuhan limpasan air permukaan

diwaktu yang akan datang.

Kota Samarinda merupakan kawasan perkotaan yang mengalami

pengembangan yang sangat pesat. Salah satu aspek yang

berkembang pesat yakni kawasan pemukiman, dimana di seluruh

sudut Kota Samarinda sedang bermunculan kawasan perumahan

baru. Kawasan tersebut tumbuh dibeberapa tempat, baik itu didaerah

perbukitan maupun di daerah penampungan air alami (Retarding

basin). Konsekuensi dari perkembangan ini adalah munculnya

beberapa genangan baru di kawasan perkotaan bahkan di jalan raya.

Contohnya seperti pada Daerah Sempaja dimana merupakan

salah satu kawasan yang mengalami perubahan, persis seperti pada


4

kondisi yang dipaparkan di atas. Pengembangan kawasan

pemukiman sangat pesat, baik di daerah perbukitan maupun daerah

“parkir air”. Sehingga genangan air terjadi di beberapa tempat,

dimana pada masa sebelumnya tidak terjadi. Di lain pihak kawasan

Sempaja juga direncanakan sebagai sentra kegiatan olah raga.

Kondisi tersebut sangatlah kontradiktif, jika tidak ada penanganan

secara serius dari sistem drainase di kawasan tersebut.

Sungai Sempaja merupakan drainase utama dalam sistem

drainase selama ini. Pada umumnya drainase jalan bermuara pada

Sungai Sempaja. Dimana kapasitas Sungai Sempaja pada umumnya

tidak mampu menahan debit banjir , sehingga debit melimpas ke

badan jalan atau daerah di sekitar sungai. Disamping itu muka air di

Sungai Sempaja, khususnya di sebelah hilir sangat dipengaruhi oleh

pasang surut muka air Sungai Karang Mumus. Kapasitas Sungai

sempaja saat ini sudah terlampaui oleh debit banjir yang ada,

sehingga debit banjir melimpas ke badan jalan.

Seiring dengan maraknya pembangunan, kawasan Sempaja juga

mengalami perkembangan disegala sektor. Khususnya

pengembangan kawasan hunian dan pengembangan sarana olah

raga (stadion) dimana sektor tersebut terkait langsung dengan sistem

drainase di daerah tersebut. Pengembangan kawasan hunian

umumnya di daerah retarding basin (tampungan air hujan

sementara). Menurut data dari Dinas Pekerjaan Umum, Pengairan

dan Kimpraswil-Kalimantan Timur, 2004), dalam kurun waktu 5 tahun


5

terakhir perubahan daerah rawa menjadi kawasan hunian mencapai ±

195 ha. Kondisi ini akan meningkat seiring dengan dibangunnya

stadion Madya Sempaja, dimana diprediksikan akan tumbuh kawasan

bisnis atau dagang dan hunian.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa setiap perubahan

tata guna lahan akan berpengaruh terhadap besarnya koefisien

limpasan, koefisien limpasan berpengaruh terhadap jumlah debit,

ketinggian muka air, serta dimensi saluran drainase, dan untuk

memprediksi semua permasalahan di atas maka perlu dilakukan

identifikasi penyebab terjadinya genangan dan luapan drainase,

identifikasi derah-daerah genangan, melakukan analisa dan

perhitungan debit banjir, serta melakukan analisa dan perhitungan

hidraulika pada Sungai Sempaja.

1.3. Rumusan Masalah

Masalah pembuangan air dari saluran ataupun sungai,

dalam perencanaan suatu kota merupakan salah satu hal yang perlu

mendapat perhatian utama, agar dapat terwujud suatu lingkungan

yang bebas dari genangan, luapan ataupun banjir. Dengan

mengacu pada latar belakang dan identifikasi masalah maka dapat

dirumuskan permasalahan dalam studi ini adalah :

1. Berapa dimensi saluran drainase untuk dapat menampung debit

banjir ?

2. Berapa debit rancangan Sungai Sempaja untuk kala ulang 2, 5,10,

dan 25 tahun ?
6

3. Berapa dimensi penampang Sungai Sempaja untuk mengalirkan

debit banjir rencana ?

4. Dimana penempatan dan berapa dimensi Bozem untuk dapat

menampung debit banjir ?

1.4. Batasan masalah

Dalam studi ini pembahasan dititik beratkan pada hal-hal

sebagai berikut :

1. Semua kajian yang dilakukan hanya diarahkan untuk lokasi studi,

yaitu pada daerah Sempaja Kota Samarinda Kalimantan Timur.

2. Pembahasan dibatasi pada pengendalian banjir dengan cara

normalisasi sungai, penataan sistem drainase dan boezem.

3. Dari hasil pengendalian banjir yang dilakukan diharapkan

besarnya banjir dapat direduksi sebesar 70 %.

1.5. Tujuan dan Manfaat

Tujuan dari studi ini adalah untuk mengetahui dimensi

penampang Sungai Sempaja agar mampu mengalirkan debit banjir

rencana, dan mencari solusi atau pengendalian banjir dengan

normalisasi sungai dan retarding basin (Bozem).

Adapun manfaat dari studi ini adalah, diharapkan studi ini

bisa dipergunakan sebagai acuan dalam mengevaluasi kapasitas

suatu sungai dalam menampung debit banjir, dan melakukan bentuk


7

penanganan terhadap masalah genangan dan banjir di Kota

Samarinda.

1.6. Lokasi Studi

Daerah studi dipilih daerah pemukiman dan juga merupakan

daerah yang mulai berkembang dimana sedang giat-giatnya

melaksanakan pembangunan yang terus akan berkembang menjadi

lebih padat dan banyak mengalami perubahan tata guna lahan yang

memberikan kontribusi pada perubahan limpasan dan debit ,

terutama dimusim hujan sehingga berpengaruh pada dimensi saluran

drainase.

Adapun lokasi studi dapat dilihat pada gambar 1.1.


8

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Umum

Analisa ulang curah hujan rancangan (Rr) dan debit banjir

rancangan (Qr) perlu dilakukan karena adanya beberapa parameter

atau asumsi yang berbeda antara perhitungan awal dengan kondisi

saat ini, misalnya mengenai stasiun hujan yang dipakai sebagai

dasar perhitungan serta lamanya data pencatatan hujan,juga

dengan adanya perubahan perilaku pada daerah tangkapan air yang

bersangkutan.

Curah hujan rancangan dan debit banjir rancangan ini

didasarkan pada kala ulang tertentu. Dalam pemilihan kala ulang

ditentukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hidroekonomis,

yaitu didasarkan terutama pada:

a. Besarnya kerugian yang akan diderita jika terjadi pengrusakan

bangunan-bangunan oleh banjir atau limpasan (akibat hujan) dan

sering tidaknya pengrusakan itu terjadi.

b. Umur ekonomis bangunan

c. Biaya pembangunan

2.2. Analisa Hidrologi

Faktor-faktor yang menentukan debit air hujan adalah :


9

2.2.1. Curah hujan rancangan

Curah hujan rancangan adalah curah hujan terbesar yang

mungkin terjadi dalam suatu daerah dengan kala ulang atau

periode tertentu, yang dipakai sebagai dasar untuk perhitungan

perencanaan ukuran suatu bangunan. Salah satu metode yang

dapat dipakai dalam menganalisa curah hujan rancangan antara

lain Distribusi Gumbel dan Log Person Type III.

2.2.2. Curah hujan rancangan dan periode ulang dengan

Metode E. J. GUMBEL

Metode Gumbel adalah suatu metode dengan cara

analitis. Adapun Rumus dari Metode ini adalah sebagai berikut :

1
Χт = . Yt + b
a

1 x S
= y =
a Sn

σx = S = (X ) 2
 X .( X )
n 1

σy = Sn

1
b = X– . Yn
a

X = X
n
10

Dimana :

Хт = Variete yang diekstrapolasikan yaitu besarnya curah

hujan rencana untuk periode ulang Τ tahun.

Υт = Reduced variate sebagai fungsi dari waktu ulang (Τ).

σ x = S = Standar Deviasi.

Τy = Sn = Reduced standart deviation sebagai fungsi dari

bentuk data (n).

X = Harga Rata-rata dari data.

.n = Banyaknya data atau jumlah data.

Yn = Reduced mean sebagai fungsi dari banyak data (n).

Sumber : C.D. Soemarto. 1993. Hidrologi Teknik, Fakultas Teknik


UNIBRAW, Malang. Hal. 233 – 242.

2.2.3. Curah hujan rancangan dan periode ulang dengan Metode

Log Person Type III

Tahapan untuk menghitung curah hujan rancangan dengan

metode ini adalah sebagai berikut:

1. Hujan harian maksimum dirubah dalam bentuk logaritma

2. Menghitung harga logaritma rata-rata dengan persamaan:

LogXi
LogX =
n

3. Menghitung harga simpangan baku dengan persamaan:


11

S=
LogXi  LogX 2

n 1
4. Menghitung harga koefisien kemiringan dengan persamaan:

Cs =
nLogXi  LogX  3

(n 1)(n  2)Si 3

5. Menghitung logaritma curah hujan rancangan dengan kala ulang

tertentu:

Log Rt = LogX + G.Si

6. Menghitung antilog Rt untuk mendapatkan curah hujan rancangan

dengan kala ulang tertentu, atau dengan membaca grafik

pengeplotan Rt dengan peluang di kertas logaritma. Faktor

Frekuensi G merupakan fungsi dari kala ulang (return period) dan

nilai koefisien kemiringan logaritmis.

Sumber : Ibid. hal. 243 - 247

2.2.4. Uji Kesesuaian Frekuensi

Pemeriksaan uji kesesuaian distribusi bertujuan untuk

mengetahui kesesuaian data yang tersedia dengan distribusi yang

dipakai. Uji yang dipakai ada dua macam yaitu:

1. Uji Smirnov-Kolmogorov
12

Hasil dari pengujian ini didapat dengan cara membaca grafik

pengeplotan data curah hujan pada kertas probabilitas logaritma,

didapat perbedaan antara distribusi teoritis dan empirisnya pada

sumbu horisontal yang merupakan data probabilitas. Selisih ini

dicari yang maksimum yang disebut ∆maks. Uji Smirnov

Kolmogorov ini akan membandingkan harga ∆ maks dengan suatu

harga kritis yang ditentukan berdasarkan jumlah data dan batas

nilai simpangan data. Bila ∆maks < ∆ kritis, hipotesis tersebut diterima.

Plotting data pengamatan dan garis durasi pada kertas

probabilitas tersebut dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :

1. Data curah hujan maksimum harian rerata tiap tahun disusun

dari kecil ke besar.

2. Probabilitas dihitung dengan persamaan Weinbull sebagai

berikut:

m
P= .100
n 1

dimana:

P = Probabilitas (%)

m = nomor urut data dari seri yang telah disusun

n = besarnya data

3. Plot data hujan Xi dan probabilitas

4. Plot persamaan analisis frekuensi yang sesuai

2. Uji Kai Kuadrat

Dari hasil pembacaan grafik pengeplotan data curah hujan

pada kertas probabilitas logaritma, didapat perbedaan antara


13

distribusi teoritis dan empirisnya pada sumbu vertikal yang

merupakan data curah hujan rancangan.

Langkah-langkah pengujiannya adalah sebagai berikut:

1. Menghitung selisih nilai data curah hujan hasil perhitungan (X T)

dengan nilai data curah hujan hasil pengamatan (X e)

2. Menghitung nilai Kai Kuadrat (X2hit) dengan persamaan:

( EF  OF ) 2
X2hit =
EF

Dimana:

X2hit = harga Kai - Kuadrat

EF = Frekuensi (banyaknya pengamatan) yang

diharapkan, sesuai dengan pembagian

kelasnya

OF = Frekuensi yang terbaca pada kelas yang sama

3. Harga X2hit dibandingkan dengan harga X2cr dari tabel harga

Kai Kuadrat dengan level significance () dan jumlah data

(n) tertentu. Apabila X2hit < X2cr maka hipotesa distribusi

dapat diterima.

3. Pemilihan distribusi frekuensi

Metode distribusi frekuensi yang biasa digunakan di

Indonesia adalah Gumbel, Normal dan Log Person Type III.

Untuk memilih salah satu dari ke tiga metode tersebut, harus

dipilih salah satu sebaran yang paling sesuuai dengan sifat-sifat

statistik. Adapun parameter statistik yang digunakan adalah C k,

Cs dan Cv.
14

Dimana :

Ck = Koefisien kurtosisi atau koefisien kepuncakan yaitu

ukuran kepuncakan distribusi

Cs = Koefisien skewness atau koefisien penyimpangan yaitu

ukuran dari penyimpangan suatu distribusi

Cv. = Koefisien variansi atau koefisien keseragaman, untuk

menentukan macam analisis, contoh :

n = jumlah data

Xi = data curah hujan

Xrt = rerata curah hujan

S = simpangan baku

Dari ke tiga metode tersebut dibandinkan nilai C k, Cs dan Cv.

dengan syarat nilai statistiknya. Adapun syarat pemilihan agihan

frekuensi tersebut adalah :

Tabel 2.1. Syarat Pemilihan Agihan Frekuensi

Jenis distribusi Cs Ck
- Gumbel 5.40 1.14
- Normal 3 0
- Log Person Type III bebas bebas
Sumber : Shahin, 1976 : 123

2. 3. Distribusi Curah Hujan

Pola sebaran hujan jam-jaman diperlukan untuk mengetahui

besarnya limpasan tiap periode waktu jam. Untuk menaksir pola

distribusi curah hujan jam-jaman berdasarkan data hujan maximum

harian per tahun, dapat digunakan Persamaan Mononobe (Suyono,

1981:35):
15

2/3
t 
Rt = Ro x  
T 

Dimana :

Rt = Rata-rata hujan dari awal sampai dengan jam ke T

(mm/jam)

Ro = R24/5 (mm)

.t = waktu konsentrasi (jam)

T = waktu hujan dari awal hingga ke t (jam)

Curah hujan Jam Ke T :

Rт = t x Rt –  t  1.R  
t 1

Dimana :

Rт = Curah hujan pada jam ke T (mm).

Rt = Rata-rata hujan dari awal sampai dengan jam ke

T.

t = Waktu hujan dari awal sampai dengan jam ke T.

R (t – 1) = Rata-rata hujan dari awal sampai dengan jam

ke (t – 1).

Waktu konsentrasi adalah waktu yang diperlukan oleh air untuk

mengalir dari suatu titik yang terjauh pada suatu daerah aliran

sampai ke titik yang ditinjau. Untuk saluran di daerah perkotaan

(urban drainage) tc adalah waktu yang diperlukan oleh air untuk

mengalir di atas permukaan tanah sampai ke saluran yang terdekat

(t1) ditambah waktu aliran air di dalam saluran (t 2) sampai ke titik


16

yang ditinjau. Rumusan waktu konsentrasinya (t c) adalah sebagai

berikut :

tc = t1 + t2

Dimana :

tc = waktu konsentrasi (menit)

t1 = waktu aliran permukaan (menit)

t2 = waktu aliran di saluran (menit)

Waktu aliran permukaan (t1)

t1 merupakan waktu yang diperlukan air dari titik terjauh untuk

mencapai saluran terdekat yang ditinjau. Faktor-faktor yang dapat

mempengaruhi t1 antara lain :

- Intensitas hujan

- Jarak aliran

- Kemiringan saluran

- Kekasaran medan

- Kapasitas infiltrasi

Perhitungan t1 secara empiris disampaikan oleh Ozzard untuk

daerah aliran dengan panjang kurang dari 500 feet, Kerby untuk

panjang daerah pengaliran kurang dari 400 m dan oleh Kirpich

(1940). Persamaan Kirpich adalah sebagai berikut :


0 , 77
 L 
t1 = 0,0192  
 S

Dimana :

S = H/L (kemiringan)

t1 = waktu aliran permukaan (menit)


17

L = jarak terjauh aliran (meter)

H = perbedaan elevasi antara titik terjauh dengan inlet atau

titik yang ditinjau (meter)

Perhitungan t1 ditentukan berdasarkan perencanaan sistem

drainase yang ada yaitu pembagian sub-daerah drainase.

Waktu aliran di saluran (t2)

L
t2 =
V

Dimana :

t2 = waktu aliran di saluran (jam)

L = panjang saluran (m)

V = kecepatan aliran di saluran (m/dt)

Berdasarkan perumusan di atas, parameter L dapat ditentukan

secara langsung dari peta gambar 4.3. arah aliran pada segmen

sungai. Sedangkan nilai kecepatan aliran pada saluran, dapat

dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 2.2
Kecepatan Aliran Air Yang Diizinkan Berdasarkan Jenis Material
Jenis Bahan Kecepatan Aliran Yang Diizinkan (m/dt)
Pasir halus 0,45
Lempung kepasiran 0,50
Lanau alluvia 0,60
Kerikil halus 0,75
Lempung kokoh 0,75
Lempung Padat 0,10
Kerikil kasar 1,20
Batu- batu besar 1,50
Pasangan batu 1,50
Beton 1,50
Beton bertulang 1,50
Sumber : SNI No. 03-3424-1994, Tata Cara Perencanaan Drainase Jalan
18

2.4. Koefisien Pengaliran

Koefisien pengaliran adalah koefisien yang menunjukkan

perbandingan antara besarnya jumlah air yang dialirkan oleh suatu

jenis permukaan terhadap jumlah air yang ada. Koefisien

pengaliran merupakan suatu variabel yang didasarkan pada kondisi

daerah pengaliran dan karakteristik hujan pada suatu daerah

(Sosrodarsono S, 1989 : 38). Harga koefisien pengaliran untuk

tiap-tiap daerah pengaliran tidak akan sama, karena tidak ada

satupun daerah yang mempunyai daerah pengaliran dan

karakteristik hujan yang sama betul. Adapun perhitungan koefisien

limpasan untuk daerah pengaliran yang terdiri dari beberapa tipe

kondisi permukaan yang mempunyai nilai koefisien yang berbeda,

harga koefisien rata-rata ditentukan berdasarkan pada persamaan :

C1. A1  C 2. A2  C 3. A3.......... ...Cn. An


C=
A1  A2  A3.......... ... An

Dimana :

C1,C2,C3,…Cn = koefisien pengaliran yang sesuai dengan tipe

kondisi permukaan.

A1,A2,A3,…As = luas daerah pengaliran yang diperhitungkan sesuai

dengan kondisi permukaan.


19

Sumber : Suhardjono. Drainase Kota. Universitas Brawijaya. Hal


23.

Besarnya nilai koefisien limpasan ( C ) sebagai berikut :

Tabel 2.3. Hubungan kondisi permukaan tanah dengan koefisien


limpasan

Kondisi Pemukaan Tanah Koefisien limpasan berdasarkan Kala


Ulang
2 5 10 25 50 100 500

Daerah berkembang :
1. Aspal 0.73 0.77 0.81 0.86 0.90 0.95 1.00
2. Beton 0.75 0.80 0.83 0.88 0.92 0.97 1.00
3. Area Rumput :
a.Kondisi jelek (rumput
penutup 50 %)
- datar, 0-2% 0.32 0.34 0.37 0.40 0.40 0.47 0.58
- sedang, 2-7% 0.37 0.40 0.43 0.46 0.49 0.53 0.61
- curam, lebih 7% 0.40 0.43 0.45 0.49 0.52 0.55 0.62
b.Kondisi terbuka (rumput
penutup 50 – 75 %)
- datar, 0-2% 0.25 0.28 0.30 0.34 0.37 0.41 0.53
- sedang, 2-7% 0.33 0.36 0.38 0.42 0.45 0.49 0.58
- curam, lebih 7% 0.37 0.40 0.42 0.46 0.49 0.53 0.60
c.Kondisi baik, (rumput
penutup berkisar lebih
75 %)
- datar, 0-2% 0.21 0.23 0.25 0.29 0.32 0.36 0.49
- sedang, 2-7% 0.29 0.32 0.35 0.39 0.42 0.46 0.56
- curam, lebih 7% 0.34 0.37 0.40 0.44 0.47 0.51 0.58

Daerah tidak berkembang :


1. lahan yang ditanami
: 0.31 0.34 0.36 0.40 0.43 0.47 0.57
- datar, 0-2% 0.35 0.38 0.41 0.44 0.48 0.51 0.60
- sedang, 2-7% 0.39 0.42 0.44 0.48 0.51 0.51 0.61
- curam, lebih 7%
2. lahan ditanami berjarak: 0.25 0.28 0.30 0.34 0.37 0.41 0.53
- datar, 0-2% 0.33 0.36 0.38 0.42 0.45 0.49 0.58
- sedang, 2-7% 0.37 0.40 0.42 0.46 0.49 0.53 0.60
- curam, lebih 7%
3. Hutan 0.22 0.25 0.28 0.31 0.35 0.39 0.48
- datar, 0-2% 0.31 0.34 0.36 0.40 0.43 0.47 0.56
- sedang, 2-7% 0.35 0.39 0.41 0.45 0.48 0.52 0.58
20

- curam, lebih 7%

Sumber : Applied Hydrologi, Ven Te Chow, Civil Engineering Series

2.5. Daerah Pengaliran (Catchment Area)

Luas daerah pengaliran atau daerah tangkapan hujan dalam

perencanaan saluran drainase adalah daerah pengaliran yang

menerima curah hujan selama waktu tertentu (intensitas hujan),

sehingga menimbulkan debit limpasan yang harus ditampung oleh

saluran drainase untuk dialirkan ke saluran pembuang atau sungai.

Untuk menentukan luas daerah pengaliran, maka harus ditentukan

dahulu batas-batas daerah pengaliran dan panjang daerah

pengaliran.

2.6. Hujan Netto

Hujan netto adalah bagian hujan total yang menghasilkan

limpasan langsung (Direct run-off). Limpasan langsung ini

terdiri atas limpasan permukaan (Surface run-off) dan Interflow (air

yang masuk ke dalam lapisan tipis di bawah permukaan tanah

dengan permeabilitas rendah, yang keluar lagi di tempat yang lebih

rendah dan berubah menjadi limpasan permukaan).

Dengan menganggap bahwa proses transformasi hujan

menjadi limpasan langsung mengikuti proses linier dan tidak

berubah oleh waktu (Linier and time invariant process), maka

hujan netto (Rn) dapat dinyatakan sebagai berikut :


21

Rn = C x R

Dimana :

Rn = Hujan Netto.

C = Koefisien pengaliran.

R = Intensitas curah hujan.

2.7. Debit Banjir Rencana (Q rencana)

Debit banjir adalah volume air yang mengalir melewati suatu

penampang melintang saluran. Untuk mendapatkan besarnya

debit aliran rencana ini harus diketahui besarnya curah hujan

rencana dalam waktu konsentrasi dan faktor-faktor lain yang juga

mempengaruhi. Dalam perhitungannya, debit aliran rencana ini

memasukkan nilai-nilai dari perhitungan debit air hujan dan debit air

buangan domestik, dari rumah tangga dan fasilitas umum.

2.7.1. Debit Air Hujan

Metode yang paling umum dipakai dalam menghitung debit

rencana akibat air hujan adalah Metode Rasional. Metode ini telah

banyak dikembangkan oleh banyak pakar seperti oleh De

Weduwen, Melchior, Hasper dan Mononobe yang memberikan

perhatian pada komponen tertentu dari Rumus Rasional :

Q = 1/3.6 C . I . A

Dimana :

Q = Debit banjir maksimum (m3/dt)

C = Koefisien pengaliran atau limpasan


22

I = Intensitas curah hujan rata-rata selama waktu tiba dari

banjir (mm/jam)

A = Luas daerah pengaliran (km2)

Rumus ini dapat dipakai dengan asumsi-asumsi sebagai berikut:

a. Intensitas hujan merata di seluruh daerah aliran.

b. Debit banjir dan intensitas hujan mempunyai kala ulang yang

sama.

Asumsi di atas menyebabkan rumus di atas tidak cocok untuk

digunakan pada daerah aliran yang terlalau luas. Apabila luas

daerah pengaliran lebih kecil dari 0,80 km 2 maka

Metode Rasional tersebut harus dimodifikasi dengan

memperhitungkan efek penampungan saluran. Efek penampungan

tersebut dinyatakan dalam bentuk koefisien penampungan yang

berfungsi untuk memperkecil nilai estimasi suatu daerah pengaliran

yang relatif besar. Adapun Modifikasi Metode Rasional tersebut

adalah :

Q = 0.278. Cs . C. I . A

Dimana :

Q = Debit banjir maksimum (m3/dt)

Cs = Koefisien penampungan = 2tc/(2tc + td)

tc = waktu konsentrasi (menit)

td = lama pengaliran dalam saluran (menit)

C = koefisien pengaliran
23

I = intensitas curah hujan rata-rata selama waktu tiba dari

banjir (mm/th)

A = luas daerah pengaliran (km2)

Sumber : Imam Subarkah. 1980. Hidrologi Untuk Perencanaan


Bangunan Air. Idea dharma, Bandung.

2.7.2. Debit air buangan

Air buangan merupakan air sisa atau bekas dari air yang

dimanfaatkan untuk kepentingan sehari-hari. Sumber air buangan

yang penting dalam suatu kota atau pemukiman pada umumnya

adalah :

- Air buangan domestik, dari rumah tangga dan fasilitas umum

- Air hujan

Air buangan rumah tangga diperhitungkan berdasarkan penyediaan

air minumya. Diperkirakan besarnya air buangan yang masuk ke

dalam saluran pengumpul air buangan, sebesar 90% dari kebutuhan

standar air minum. Untuk fasilitas sosial, pemerintah dan

perdagangan air buangan yang masuk ke saluran pengumpul air

buangan diperkirakan sebesar 70 – 90% dari kebutuhan air bersih.

Besarnya air buangan berbeda-beda tiap jam dalam sehari untuk

suatu tempat pelayanan. Oleh karena itu fluktuasi pengaliran air

buangan tiap jam dapat diperkirakan mempunyai grafik yang tipikal

dengan bentuk grafik pemakaian air bersih tiap jam. Pada jam-jam

dimana kegiatan pemakaian air minum memuncak, maka besarnya

debit air buangan juga memuncak. Untuk perencanaan dimensi

saluran air buangan direncanakan untuk kuantitas air buangan pada


24

waktu puncak (Q peak) dan kuantitas air buangan minimum (Q min).

Pada saat Q peak, Q rata-rata, Q min, harus dipertimbangkan

kemungkinan adanya infilttrasi yang masuk ke saluran, sehingga

saluran masih mampu menampungnya. Sedangkan pada saat Q min

ada kemungkinan kecepatan aliran manjadi lambat, sehingga :

- air buangan mengalir lambat sampai ke bangunan pengolahan

- dapat terjadi endapan pada dinding saluran

- dapat terjadi proses pembusukan dari air buangan

- Ada kemungkinan tidak tercapai ketinggian minimum yang

diinginkan.

Untuk menghitung besarnya air buangan ada beberapa formula yang

bisa digunakan :

a. Formula Babbit

1. Q peak = 5.p0.8 qm.d + Cr.p.qr + (L/1000).qinf

2. Q min = 0.2 p1.2 qr

dimana :

p = jumlah populasi yang dilayani (dalam ribuan)

qm.d = debit harian maksimum

qr = debit rata-rata air buangan

L = panjang saluran (m)

qinf = debit air yang masuk ke dalam jalur pipa yang

besarnya (1 - 3) lt/dt/100 meter

Cr = koefisien infiltrasi (0.1 – 0.3)

Cr untuk daerah :
25

- Elite = 10 %, Sedang = 20 %, Slum = 30 %

Rumus berlaku pada, 100 ≤ p ≤ 1000000

Sumber : Suhardjono, Drainase Kota, hal 32 a

b. Formula H.M. GIFT

H.M. GIFT memberikan formula yang berlaku umum tanpa

memperhatikan batas-batas besarnya populasi.

1. Q peak = 5.p5/6. qm.d + Cr.p.qr + (L/1000).qinf

2. Q min = 0.2 p7/6 qr

Sumber : IBID, hal 33

c. Formula Degremont

Q peak = p . (Q max day) + qinf

2. 5
Dimana : p = 1.5 + qm

qm = debit air buangan pada hari maksimu (lt/dt)

p = peak faktor

Perhitungan Q peak

Kebutuhan air bersih rata-rata per


hari
Dikalikan dengan faktor
maks = 1.1 – 1.25
menghasilkan
Kebutuhan air bersih maksimum
per hari
Dikalikan dengan faktor
pengaliran buangan = 0.7 –
0.9 menghasilkan
Jumlah air buangan maksimum
per hari
Dibagi dalam 24 jam
menhasilkan
Jumlah air buangan rata-rata pada
hari maksimum
Dikalikan dengan faktor p
26

menghasilkan

Q peak

Harga p akan berkurang dengan bertambahnya besar debit air

buangan. Rumus Degremont digunakan untuk air buangan yang

berasal dari rumah tangga, komersil dan industri yang termasuk

dalam kategori kecil sampai sedang.

Sumber : IBID, hal 33

2.8. Perhitungan Hidrograf Debit Banjir Rancangan

Debit banjir rancangan adalah debit maksimum yang mungkin

terjadi pada suatu daerah dengan peluang kejadian tertentu. Untuk

menghitung debit banjir rancangan digunakan satuan yang

didasarkan oleh parameter dan karakteristik daerah pengalirannya.

Hidrograf satuan adalah suatu bentuk limpasan langsung yang

diakibatkan oleh suatu volume hujan efektif yang terbagi rata dalam

ruang dan waktu . Perhitungan debit banjir rancangan

menggunakan Metode Nakayasu (Soemarto, 1993 : 141) :

Unit Hidrograf HSS. Nakayasu

Besarnya banjir yang di akibatkan satuan spesifik curah hujan

dinyatakan dengan rumus :

1 Ro

Q max = — x A x
3,6 (0,3 TP + Tо,з)

Dimana :

Q max = Debit puncak banjir (m³/detik/mm).


27

A = Luas daerah aliran (Km²).

Tp = Tenggang waktu dan permulaan hujan sampai

puncak banjir (jam)

Ro = Curah hujan satuan (mm).

Tο,з = Waktu yang diperlukan pada penurunan debit puncak

ke debit sebesar 30 % debit puncak (Jam).

Untuk menentukan Tp dan Tο,з digunakan rumus :

Tp = Tg + 0,8 Tr

Tо,з = α x Tg

Tg dihitung berdasarkan rumus :

Tg = 0,40 + 0,058 L, untuk L > 15 km.

Tg = 0,21 L 0,70, untuk L < 15 km.

Tr = Satuan waktu hujan (Jam).

α = Parameter bernilai antara 1,5 – 3,5.

0,47 (A x L) 0,25
α = —–––––––––––––
Tg
Harga α itu mempunyai kriteria sebagai berikut :

 Untuk daerah pengaliran biasa, α = 2.

 Untuk bagian naik hidrograf yang lembut dan bagian menurun

dengan cepat, α = 15.

 Untuk bagian naik hidrograf yang cepat dan bagian menurun

lambat, α = 3.

Dimana :

L = Panjang alur sungai utama terpanjang (km).

A = Luas daerah aliran sungai (km²).


28

Sumber : CD. Soemarto. 1986. Hidrologi Teknik. Usaha nasional.


Surabaya. Hal. 167 – 173.

2.9. Perencanaan Jaringan

Drainase perkotaan merupakan sistem pengeringan dan

pengaliran air dari wilayah perkotaan yang meliputi pemukiman,

kawasan industri dan perdagangan, sekolah, rumah sakit dan

fasilitas umum. Dengan demikian kriteria desain drainase perkotaan

memiliki kekhususan, sebab untuk perkotaan ada tambahan variabel

desain seperti ketertkaitan dengan tata guna lahan, master plan

drainase kota serta masalah sosial budaya (kurangnya kesadaran

masyarakat dalam ikut memelihara fungsi drainase kota).

2.9.1. Menurut letak bangunan saluran drainase dapat

dibedakan menjadi dua macam yaitu :

1. drainase bawah permukaan (sub surface drainage) yaitu saluran

drainase yang bertujuan mengalirkan air limpasan permukaan

melalui media di bawah permukaan tanah (pipa-pipa),

dikarenakan alasan-alasan tertentu, antara lain tuntutan artistik,

fungsi permukaan tanah yang tidak membolehkan adanya

saluran permukaan tanah seperti lapangan sepak bola, lapangan

terbang, taman dan lain-lain.

2. Drainase permukaan tanah (surface drainage) yaitu saluran

drainase yang berada di atas permukaan tanah yang berfungsi

mengalirkan air limpasan permukaan. Analisa

alirannyamerupakan analisa aliran saluran terbuka.

2.9.2. Menurut Fungsi


29

Menurut fungsi saluran dapat dibedakan menjadi :

1. Single purpose yaitu saluran yang berfungsi mengalirkan satu jenis

air buangan, misalnya air hujan saja atau jenis air buangan yang

lain seperti limbah domestik, air limbah industri dan lain-lain.

2. Multi purpose yaitu saluran yang berfungsi mengalirkan beberapa

jenis air buangan baik secara bercampur maupun secara

bergantian.

2.9.3. Menurut Konstruksi

Menurut konstruksi saluran dibedakan menjadi :

1. Saluran terbuka yaitu saluran yang lebih cocok untuk drainase air

hujan yang terletak di daerah yang mempunyai luasan yang

cukup, ataupun untuk drainase air non hujan yang tidak

membahayakan kesehatan atau mengganggu lingkungan.

2. Saluran tertutup yaitu saluran yang pada umumnya sering dipakai

untuk aliran air kotor (air yang mengganggu kesehatan atau

lingkungan) atau untuk saluran yang terletak di tengah kota.

2.9.4. Pola Jaringan Penyaluran air Buangan

Beberapa faktor yang menentukan pola jaringan penyaluran air

buangan adalah :

a. Tipe dari sistem penyaluran (terpisah atau tercampur).

b. Jaringan jalan yang telah ada.

c. Geologi dan topografi.

d. Batas-batas administrasi.

e. Lokasi dari pengolahan air buangan.


30

f. Kepadatan penduduk.

Pola-pola jaringan yang umum digunakan adalah :

a. Pola Perpendicular yaitu pola jaringan penyaluran air buangan,

yang dapat dipergunakan untuk sistem terpisah dan tercampur

dimana karena pertimbangan-pertimbangan di atas sehingga

ada kemungkinan diperlukan banyak bangunan pengolah.

b. Pola interceptor dan pola zone yaitu dipergunakan untuk sistem

tercampur.

c. Pola fan yaitu pola jaringan dengan sambungan saluran atau

cabang yang dapat lebih daripada 2 (dua) saluran menjadi satu,

menuju ke suatu pembuangan.

d. Pola radial yaitu pola jaringan yang pengalirannya menuju ke

segala arah dimulai dari tengah-tengah kota sehingga ada

kemungkinan diperlukan banyak bangunan pengolahan air

buangan.

Untuk menjamin berfungsinya suatu sistem jaringan drainase perlu

diperhatikan hal-hal sebagai berikut :

1. Pola arah aliran

Dengan melihat peta topografi kita dapat menentukan arah

aliran yang merupakan sistem drainase natural yang terbentuk

secara alamiah, dan dapat mengetahui toleransi lamanya

genangan dari daerah rencana.

2. Situasi dan kondisi fisik kota


31

Informasi situasi dan kondisi fisik kota baik yang ada

(eksisting) maupun yang sedang direncanakan perlu diketahui,

antara lain yaitu sistem jaringan yang ada (drainase, air minum,

telephon dan listrik).

2.10. Analisis Hidraulika Sebagai Batasan Yang Digunakan Dalam

Perencanaan

2.10.1. Kapasitas Saluran ataupun Sungai

Penampang saluran direncanakan berpenampang trapesium dan

dihitung berdasarkan rumus :

MA

m
h
I

Gambar 1. Penampang Sungai

Q =AV
A = (B + mh) h
P  B  2h m 2 1

2 1
1
V  . R 3 .S 2
n
A
R 
P
Dimana :

Q = Debit rencana ( m3 / det )

A = Luas penampang basah saluran ( m )


32

P = Keliling basah penampang saluran ( m )

m = Kemiringan talud saluran

R = Jari – jari hidrolis ( m )

B = Lebar dasar saluran

Untuk menentukan perbandingan lebar saluran (b) dan tinggi

muka air (h) berdasarkan besarnya debit rencana, seperti terlihat

pada tabel berikut ini :

Tabel 2.5.
Perbandingan antara lebar saluran (b) dan tinggi muka air (h)
berdasarkan besarnya debit rencana

No Debit (m3/dt) b:h


1 0.0 0 – 00.15 1 : 1.0
2 00.15 – 00.30 1 : 1.0
3 00.30 – 00.40 1 : 1,5
4 00.40 – 00.50 1 : 1,5
5 00.50 – 00.75 1 : 2,0
6 00.75 – 01.50 1 : 2,0
7 01.50 – 03.00 1 : 2,5
8 03.00 – 04.50 1 : 3,0
9 04.50 – 07.50 1 : 3,5
10 07.50 – 09.00 1 : 4,5
11 09.00 – 11.00 1 : 5,0
12 11.00 – 15.00 1 : 6,0
13 40.00 – 80.00 1 : 12.0
Sumber : Pedoman Perencanaan Teknik Irigasi, DPU, Dirjen
Pengairan, 1980 : V – 1.

2.10.2. Kecepatan Aliran

Kecepatan aliran di saluran ditentukan dengan menggunakan rumus

2 1
1
tetapan Manning yaitu V  . R 3 .S 2
n

Dimana : V = Kecepatan aliran ( m / det )

R = Jari – jari hidrolis ( m )


33

I = Kemiringan saluran ( energi )

n = Koefisien kekasaran manning Sedangkan nilai

kecepatan aliran pada saluran, dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 2.6

Kecepatan Aliran Air Yang Diizinkan Berdasarkan Jenis Material

Jenis Bahan Kecepatan Aliran Yang Diizinkan (m/dt)


Pasir halus 0,45
Lempung kepasiran 0,50
Lanau alluvia 0,60
Kerikil halus 0,75
Lempung kokoh 0,75
Lempung Padat 0,10
Kerikil kasar 1,20
Batu- batu besar 1,50
Pasangan batu 1,50
Beton 1,50
Beton bertulang 1,50
Sumber : SNI No. 03-3424-1994, Tata Cara Perencanaan Drainase Jalan

2.10.3. Kemiringan dinding saluran (m atau z)

Kemiringan dinding saluran ditentukan berdasarkan bahan

pembentuk saluran. Berikut ini diberikan tabel kemiringan dinding

saluran berdasar jenis material.

Tabel 2.7.
Kemiringan dinding saluran berdasar jenis material
No Jenis material Kemiringan talud
1 Cadas Hampir vertikal
2 Tanah lumpur dan gambut 1/4 : 1
3 Lempung keras atau tanah ½ : 1 sampai 1 : 1
dengan lapisan penguat dari
beton
4 Tanah dengan lapisan batu atau 1:1
tanah untuk saluran yang besar
34

5 Lempung atau tanah untuk 11/2 : 1


selokan-selokan kecil
6 Tanah berpasir lepas 2:1
7 Lumpur berpasir atau lumpur 3:1
porous
Sumber : Ven Te Chow, Hidrolika Saluran Terbuka, 1989.

2.10.4. Tinggi Jagaan ( Free – board )

Fungsi tinggi jagaan dipergunakan untuk menaikkan muka

air di atas tinggi muka air maksimum yang direncanakan, dan juga

untuk mencegah adanya kerusakan tanggul saluran. Akibat

meningginya muka air sampai di atas tinggi yang telah

direncanakan. Disamping itu adanya air buangan yang masuk ke

dalam saluran. Besarnya tinggi jagaan minimum yang diberikan

pada saluran dikaitkan dengan debit rencana saluran adalah

sebagai berikut :

Tabel 2.8. Tinggi Jagaan

Debit rencana (m3/dt) Tinggi jagaan (m)


< 0.50 0.40
0.50 - 1.50 0.50
1.50 - 5.00 0.60
5.00 - 10.00 0.75
10.00 - 15.00 0.85
> 15.00 1.00
Sumber: Kriteria Perencanaan Saluran KP – 03,
Desember 1986
2.10.5. Lebar Tanggul

Lebar tanggul saluran diperhitungkan untuk keperluan operasi,

pemeliharaan serta inspeksi bila diperlukan. Berdasarkan

ketentuan dalam buku pedoman standart perencanaan saluran

KP – 03 adalah sebagai berikut :

Tabel 2.9. Lebar tanggul


35

Debit rencana Tanpa jalan Dengan jalan


(m3/dt) Inspeksi (m) Inspeksi (m)
< 0.50 1.00 3.00
1.00 - 5.00 1.50 5.00
5.00 - 10.00 2.00 5.00
10.00 - 15.00 3.50 5.00
> 15.00 3.50 5.00
Sumber : Kriteria Perencanaan Saluran KP – 03,
Desember 1986

2.10.6. Perhitungan Analisa Profil Aliran Dengan Paket

Program HEC-RAS

HEC-RAS dapat dipergunakan untuk menganalisa profil muka air

pada aliran tunak baik di saluran alami maupun di saluran buatan.

HEC-RAS menggunakan Metode Tahapan Standar dalam proses

perhitungannya. Dengan parameter hidrauliknya dihitung untuk

masing-masing penampang. Dengan persamaan energinya adalah

sebagi berikut :

vt2 v2
z1  h1  a1  z2  h2  a2 2  he
2g 2g

Dimana :

z = ketinggian dari datum (m)

h = kedalaman air (m)

a = α = koefisien distribusi kecepatan

V = kecepatan rerata (m/dt)

g = percepatan gravitasi (m2/dt)

he = kehilangan tinggi total (m)

a1 V12 he
Kemiringan garis energi
2g
a 2 V 22
2g

Dasar Saluran

Z1
36

…………………….

Gambar 2. Garis Energi

Sumber : Soewarno. 1991. Hidrologi (Pengukuran dan Pengolahan


Data Aliran Sungai/Hirometri). Nova bandung. Hal. 13 –
15.

2.10.7. Kehilangan tinggi energi

Geometri sungai ditentukan oleh panjang melintang dan

panjang jangkauan. Pendekatan yang digunakan untuk

menghitung distribusi aliran pada penampang melintang sungai

adalah sungai tersebut dibagi menjadi potongan-potongan yang

memiliki persamaan hidraulik pada aliran langsung. Kehilangan

tinggi energi pada penampang sungai diakibatkan oleh gesekan

dan perubahan penampang. Kehilangan akibat gesekan dihitung

dengan menggunakan persamaan : (anonim, 1993:9, John A.K) :


2
Q 
hf   
 K1 

A
2  A1   R 2  R1 
2
3

j 
1.49  2  2 
K1     
 1
 n j 
j 1  Lj2

Dimana :

A1,A2 = luas penampang hulu dan hilir (m2)

J = total jumlah sub bagian setiap penampang melintang

Kt = panjang pengangkutan aliran tiap sub bagian


37

LJ = jarak antar sub bagian (m)

n = koefisien kekasaran Manning

Q = debit aliran (m3/dt)

R1,R2 = jarak hidrolis hulu dan hilir berturut-turut (m)

Adapun kehilangan tinggi energi akibat perubahan penampang

terdiridari dua yaitu akibat kontraksi dan ekspansi. Kontraksi dan

ekspansi terjadi akibat back water yang disebabkan perubahan

penampang, atau perubahan kemiringan dasar saluran yang sangat

curam sekali. Kehilangan tinggi energi akibat kontraksi dan ekspansi

dapat dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut

(anonim, 1993:9, John A.K) :

a2 V22 a1 V12
ho  CL 
2g 2g

Dimana :

CL = koefisien akibat kehilangan tinggi kontraksi dan ekspansi

Program ini akan mengasumsi, kontraksi terjadi jika tinggi kecepatan di

hilir lebih besar dari tinggi kecepatan di hulu dan ekspansi terjadi pada

kondisi sebaliknya.

2.10.8. Pengangkutan aliran

Penentuan pengangkutan aliran total dan koefisien kecepatan

untuk suatu penampang melintang mengharuskan aliran dibagi

menjadi bagian-bagian dimana kecepatan tersebut akan didistribusikan

secara merata. Pendekatan yang digunakan dalam program ini adalah

membagi aliran di daerah pinggir sungai dengan menggunakan nilai

kekasaran n sebagai dasar pembagian penampang melintang.


38

Pengangkutan aliran KJ dihitung berdasarkan persamaan sebagai

berikut :
2
1.49
Kj  A j R j3 ……………. (dalam satuan Inggris)
nj

2
1
Kj  A j R j3 ………………(dalam satuan Metrik)
nj

Dimana :

KJ = pengangkutan tiap bagian

n = koefisien kekasaran Manning tiap bagian

Aj = daerah aliran tiap bagian

RJ = Jari-jari hidrolis tiap bagian

Program akan menjumlahkan penambahan pengangkutan di

daerah pinggir sungai untuk mendapatkan pengangkutan di daerah

samping kiri dan kanan. Pengangkutan di bagian utama saluran

dihitung sebagai elemen pengangkutan tunggal. Pengangkutan

total pada penampang melintang didapatkan dengan

menjumlahkan pengangkutan di tiga bagian (kiri, tengah dan

kanan).

nss

K1 = 
j 1
K1 ….

Dengan nss adalah jumlah sub bagian pada suatu penampang

melintang sungai.

2.10.9. Koefisien kekasaran

Aliran dalam suatu penampang melintang tidak dibagi menjadi

beberapa sub bagian, kecuali terjadi perubahan dalam area saluran


39

utama dan program akan menerapkannya dalam perhitungan pada

penampang melintang. Jika tidak dapat diterapkan, maka program

akan menghitung satu nilai n kekasaran untuk seluruh bagian saluran.

Untuk perhitungan n komposit, saluran utama dibagi menjadi n bagian,

dimana setiap sub bagian diketahui parameter keliling basah P i dan

koefisien kekasarannya ni . (anonim, 2001 : II – 6) :


2

 P n 
N 3
1,5
i i
nc  i 1

Dimana :

nc : koefisien kekasaran komposit

P : parameter basah untuk saluran

Pi : parameter basah untuk sub bagian ke-i

ni : koefisien kekasaran untuk sub bagian ke-i

2.10.10. Geometri Data

Data utama yang dibutuhkan pada suatu sistem sungai adalah

data potongan melintang sungai, panjang antar potongan melintang

(panjang jangkauan), koefisien kehilangan energi dan data

percabangan sungai.

2.10.11. Skema Sistem Sungai

Skema sungai menggambarkan berbagai variasi jangkauan

sungai yang saling berhubungan. Pada program ini, skema sistem

sungai merupakan data awal yang dibutuhkan sebelum data lain

dimasukkan. Setiap penampang sungai pada sistem skema sungai


40

diberi nama stasiun sebagai identifikasi yang dapat berupa nama

sungai, dan nomor stasiun dimana penampang melintang itu berada.

2.10.12. Geometri Potongan Melintang

Batas geometri pada analisa aliran sungai alami adalah profil

muka tanah (potongan melintang) dan jarak antar potongan melintang.

Data penampang melintang digambarkan berupa titik-titik koordinat

yang merupakan stasiun dan elevasi dari kiri ke kanan secara berurutan

dan sistematis dari daerah hulu menuju hilir. Data lain yang dibutuhkan

pada suatu penampang adalah : panjang jangkauan sampai daerah hilir,

koefisien kekasaran dan koefisien kontraksi dan ekspansi.

2.10.13. Jarak Jangkauan

Ukuran jarak antara potongan melintang diberikan dengan jarak

jangkauan. Jarak jangkauan antar potongan melintang untuk saluran

kiri, saluran utama dan saluran kanan memiliki jarak yang sama

pada sungai yang lurus. Namun ada beberapa kondisi dimana ketiga

saluran ini memiliki jarak yang berbeda misalnya pada belokan sungai.

2.10.14. Data Aliran Tetap (Steady Flow)

Data aliran ini diberikan untuk menampilkan perhitungan profil

muka air. Data aliran ini terdiri dari : regim aliran, kondisi batas dan

informasi debit puncak.

1. Regim Aliran
41

Perhitungan profil dimulai dari potongan melintang yang

diketahui elevasinya atau dimulai dari kondisi yang diasumsi yaitu

dimulai dari bagian hulu untuk aliran subkritis atau daerah hilir untuk

daerah superkritis. Pada kasus dimana regim aliran subkritis menuju

aliran superkritis atau sebaliknya, maka program akan menghitung

dalam bentuk regim aliran campuran (mixed flow regime).

2. Kondisi Batas

Kondisi batas diperlukan untuk menetapkan permukaan air

pada akhir dari sistem sungai (bagian hulu dan hilir). Pada regim

aliran subkritis, kondisi batas yang diperlukan adalah pada akhir dari

bagian hilir sistem sungai. Sedangkan untuk aliran superkritis,

kondisi batas diperlukan pada akhir dari bagian hulu dari sistem

sungai.

Terdapat empat (4) macam kondisi batas :

1. Elevasi muka air yang diketahui

Kondisi batasnya merupakan elevasi muka air yang diketahui

untuk setiap potongan melintang yang akan dihitung.

2. Kedalaman kritis

Jika kondisi batas ini yang dipilih maka komputer sendiri yang

akan menghitung kedalam kritis untuk setiap potongan

melintang dan akan menggunakannya sebagai kondisi batas.

3. Kedalaman normal
42

Untuk tipe kondisi batas ini, harus diketahui energi kemiringan

yang akan digunakan pada perhitungan kedalaman kritis

(menggunakan persamaan Manning). Pada umumnya energi

kemiringan didapat dengan pendekatan rata-rata kemiringan

saluran atau rata-rata kemiringan muka air pada potongan

penampang melintang.

4. Rating kurva

Kondisi batas yang digunakan adalah kurva hubungan antara

debit dan elevasi. Untuk setiap penampang melintang, elevasi

diperoleh dengan cara menginterpolasi dari rating kurva dengan

memasukkan besarnya debit.

5. Informasi Debit.

Informasi debit digunakan untuk menghitung profil

muka air. Data debit yang dimasukkan mulai dari daerah hulu

sampai daerah hilir untuk setiap jangkauan. Nilai debit yang

dimasukkan pada bagian hulu, diasumsikan akan konstan untuk

penampang berikutnya kecuali nilai debit berubah untuk

penampang tertentu.

2.10.15. Data Aliran Tak Tetap (Unsteady Flow)

Data aliran ini diberikan untuk menampilkan perhitungan

profil muka air. Data aliran tak tetap ini terdiri dari : Kondisi Batas

(boundary conditions) dan Kondisi Awal (initial conditions).

1. Kondisi batas ( Boundary Conditions)


43

Kondisi batas diperlukan untuk menetapkan permukaan

air pada akhir dari sistem sungai (bagian hulu dan hilir). Terdapat

beberapa macam kondisi batas yang akan digunakan dalam

analisa ini yaitu :

1. Flow Hydrograph

Kondisi batas ini dapat digunakan untuk dua (2) kondisi yaitu

baik kondisi batas hulu maupun kondisi batas hilir, akan tetapi

biasanya digunakan untuk kondisi batas hulu. Data yang

dimasukkan berupa data debit.

2. Stage Hydrograph

Kondisi batas ini dapat digunakan untuk dua (2) kondisi yaitu

baik kondisi batas hulu maupun kondisi batas hilir. Data yang

dimasukkan adalah data tinggi muka air.

3. Lateral Inflow Hydrograph

Hydrograf aliran lateral digunakan untuk kondisi batas internal.

Kondisi batas ini dapat digunakan sebagai informasi adanya

perubahan debit pada titik tertentu, yaitu dengan memasukkan

hidrograf aliran lateral tepat pada bagian hulu sebelum aliran

masuk.

2. Kondisi awal (Initial condition)

Sebagai tambahan untuk kondisi batas, kita harus

menetapkan suatu kondisi awal dari sistem pada saat akan

memulai simulasi perhitungan unsteady flow. Kondisi awal terdiri


44

atas informasi data aliran dan dalam versi ini kita hanya perlu

memasukkan satu aliran untuk semua reach (jangkauan).

2.11. Sistem Pengendalian Banjir

Banjir merupakan peristiwa alam yang dapat menimbulkan

kerugian harta, benda, penduduk serta dapat pula menimbulkan

korban jiwa. Pengurangan kerugian akibat banjir yang mencakup

metode-metode untuk melawan pengaruh air yang berlebihan di

dalan sungai atau daerah aliran sungai disebut pengendalian banjir

(flood control).

Dari uraian di atas, bentuk penanganan atau pengendalian banjir

yang dilakukan adalah :

1. Perbaikan alur sungai (normalisasi sungai) dengan tujuan untuk

menurunkan muka air banjir.

2. Atau Pemanfaatan retarding basin (boezem) untuk tampungan

banjir sementara, dimana boezem ini sebagai pengganti rawa

yang tadinya berfungsi sebagai parkir air sementara dan

sekarang telah berubah fungsi menjadi pemukiman.

3. Pengurangan puncak banjir dengan waduk.

4. Pengurangan aliran dalam suatu alur yang ditetapkan dengan

tanggul, tembok banjir atau suatu aliran tertutup.

5. Penurunan permukaan banjir dengan perbaikan alur yang

dikenal dengan istilah normalisasi.

6. Pengaliran air banjir melalui saluran banjir (floodway) ke dalam

alur sungai lain bahkan DAS lain


45

2.12. Normalisasi Sungai


Normalisasi sungai terutama di bagian hulu sungai atau

pada bagian sungai yang diidentifikasi mengalami kerusakan pada

alurnya. Ada 2 (dua) pekerjaan dalam penanganan ini yaitu :

pembuatan tanggul-tanggul sungai dan saluran, dalam hal ini

dengan melakukan pelebaran bentuk penampang Sungai Sempaja

dengan merencanakan geometrik penampang salurannya

berbentuk trapesium.

1. Perbaikan Alur Sungai

Perencanaan perbaikan alur sungai adalah untuk menetapkan

beberapa karakteristik alur sungai yaitu formasi trase alur

sungai, formasi penampangan sungai (lebar rencana sungai,

bentuk rencana penampangan sungai) dan kemiringan

memanjang.

2. Debit banjir rencana

Debit banjir (Qo ) dapat dihitung dengan berbagai metode yang

ada. Selanjutnya untuk memperoleh debit banjir rencana (Q p,

maka debit banjir hasil perhitungan ditambah dengan

kandungan sedimen yang terdapat dalam aliran banjir sebesar

10%, dan besarnya air buangan domestik. Sehingga diperoleh

hasil sebagai berikut:

Qp = 1,1.Qo

Dalam perhitungan tersebut, kecepatan aliran banjir dianggap

konstan, walaupun konsentrasi sedimennya tinggi.


46

Dimensi penampang melintang didasarkan atas besarnya debit

banjir maksimum yang direncanakan. Bentuk penampang

sungai yang dipakai adalah penampang berbentuk trapesium,

karena mudah dalam pelaksanaannya juga akan memberikan

efisiensi yang cukup tinggi dalam mengalirkan debit.

3. Lebar Rencana Sungai

Seandainya lebar sungai diperkecil, maka akan lebih besar

kemungkinan terjadinya limpasan atau jebolnya tanggul, karena

daya tampung sungai akan berkurang. Di samping itu

kemungkinan dapat terjadi penurunan dasar sungai yang

membahayakan pondasi bangunan–bangunan sungai,

mengingat sungai yang semakin dalam akan mempunyai gaya

tarik yang semakin besar. Sebaliknya apabila lebar sungai

diperbesar, maka lintasan aliran sungai semakin tidak teratur,

sehingga lintasa aliran banjir tidak dapat dipastikan. Berdasrkan

hal-hal tersebut diatas, maka penentuan lebar rencana sungai

adalah merupakan salah satu tahap perencanaan perbaikan

dan pengaturan sungai yang paling penting.

Guna lebih memudahkan penentuan lebar rencananya,

biasanya lebar sungai diambil dengan dasar penampang

sungai yang paling optimum yaitu B = 2h.

(Sosrodarsono, 1985:329) .

4. Kemiringan memanjang.
47

Sebaliknya kemiringan dasar sungai di daerah kipas

pengendapan tidak perlu dirubah. Kalaupun harus diadakan

perubahan seyogyanya tidak dilaksanakan secara drastis, tetapi

sedikit demi sedikit. Selanjutnya apabila secara mendadak

kemiringan dasar sungai menjadi lebih landai, maka pada titik

transisinya terjadi proses pengendapan dan tentulahakan diikuti

dengan penyempitan penampang basah sungai serta di waktu

banjir dapat terjadi luapan-luapan yang dapat menimbulkan

genangan-genangan di sekitar lokasi tersebut. Dan berhubung

pengendapan-pengendapan terus berlangsung serta bergerak

ke arah hulu, maka daerah-daerah yang terlanda luapan dan

genangan akan semakin meluas.

2.13. Boezem (Retarding Basin)

Boezem atau retarding basin dalam hal ini diirencanakan untuk

Perbaikan lingkungan, disini merupakan suatu usaha yang

bertujuan untuk memaksimalkan daerah resapan air di dalam DAS.

Boezem disebut juga retarding basin atau penampung sementara.

Adapun besarnya volume air yang harus ditampung jika terjadi

kondisi ekstrim adalah dengan jalan menghitung volume air banjir

ditambah aliran sedimen yang besarnya 10% dari debit banjir,

ditambah dengan volume air buangan dikurangi dengan kapasitas

tampungan sungai yang sudah dinormalisasi.

Berikut ini adalah beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam

perencanaan boezem yaitu antara lain :


48

1. Mengenai letak boezem, pada studi ini rencananya boezem

diletakan pada percabangan saluran yang padat.

2. Boezem diletakkan di bagian hilir sendiri atau dekat dengan

outlet, apabila berfungsi sebagai tampungan sementara.

3. Untuk mengetahui kapasitas maupun dimensi dari boezem

bisa diketahui dari debit banjir rencana. Agar kapasitas dari

boezem bisa optimal maka sebaiknya dipilih lokasi pada

daerah yang memiliki ruang bebas.

2.13.1. Perencanaan panjang mercu inlet boezem

Inlet pada boezem direncanakan dengan menggunakan

mercu atau ambang pelimpah. Hal ini dimaksudkan agar dapat

mengurangi sedimen yang masuk ke dalam boezem, sehingga

sedimen secara alamiah berada pada sungai dan sebagian

terbawa ke muara laut menjadi delta. Fungsi yang utama adalah

sebagai pengatur masuknya aliran yang akan dibuang ke sungai

melalui pintu outlet yang ada di boezem. Bangunan ini dapat

dengan mudah dibuat ditepi saluran atau sunga, sehingga disebut

pelimpah samping. Bangunan pelimpah harus direncana untuk

tinggi muka air maksimum tertentu di saluran yang akan dilindungi,

ditambah dengan debit maksimum yang dapat dilimpahkan. Tinggi

muka air yang merupakan dasar kerja bangunan pelimpah adalah

faktor yang sudah tertentu di dalam perencanaan.Debit di saluran

pelimpah samping tidak seragam dan, oleh karena itu persamaan

kontimyuitas untuk aliran mantap yang kontinyu tidak berlaku..


49

Janis aliran demikian disebut aliran tak tetap berubah berangsur

(gradually varied flow).

Keterangan : Side channel spillway (pelimpah samping)

Bangunan pelimpah dengan saluran samping atau sisi merupakan

suatu kontrol bendung yang ditempatkan ditepi atau sisi bendung

yang hampir sejajar dengan bagian atas saluran pengaliran

spillway. Suatu konstruksi bendung atau spillway dapat dibuat

melintang pada saluran pengaliran untuk mendapatkan stilling

basin di bawah pelimpah guna memecahkan energi. Aliran air yng

melimpah lewat mercu jatuh pada ujung side channel bagian atas

yang lebih sempit. Selanjutnya air mengalir lewat saluran

pembuang utama menuju hilir (stilling basin bagian bawah).

Karakteristik pengaliran pada side channel spillway sebenarnya

sebangun dengan tipe ogee, tergantung dari profil ambang atau

mercu yang dipilih. Aliran debit maksimum dari side channel akan

berbeda dengan spillway tipe ogee karena aliran air akan terendam

oleh suatu konstruksi bak atau kolam penerima baru dari bak

penampung berupa saluran terbuka, tertutup atau terowongan

miring. Jika diingini ambang atau kontrol bendung panjang karena

terbatasnya tinggi muka air dan adanya tebing yang terjal atau jika

kontrol bendung ini harus dihubungkan dengan saluran pengaliran

yang sempit atau terowongan, maka dalam hal yang demikian ini

pemilihan side channel spillway merupakan alternatif yang terbaik.


50

Saluran
cabang

Aliran

Saluran utama

Gambar 2.1. Bendung samping pada saluran cabang

Besarnya debit air banjir yang melimpah di atas mercu

penyadap dapat diperoleh dengan formula sebagai berikut

(Sosrodarsono 1994 : 119) :

Jika h1 > h

Maka Q = 1,77 x L. h3/2

Jika h1 < h

Maka Q = 0,89 x L. h1/2 (3h-h1)

Dimana :

Q = debit penyadapan (m3/dt)

h = kedalaman air di atas mercu penyadap (m)

h1 = perbedaan elevasi permukaan air disebelah hulu dan

hilir (m)

L = lebar mercu(m)

H
51

Gambar 2.2. Sketsa Mercu Penyadap Banjir

Ada dua metode perencanaan pelimpah samping yang

umum dsigunakan yaitu Metode Bilangan dan Metode Grafik.

Berikut ini diberikan penjelasan tentang Metode Bilangan yang

telah dikembangkan oleh De Marchi sebagai berikut. Berikut ini

diberikan gambar sketsa inlet boezem.

Keterangan :

Metode Bilangan

Metode ini didasarkan pada pemecahan masalah secara analisis

yang diberikan oleh De Marchi. Dengan mengandaikan bahwa aliran

adalah subkritis, panjang bangunan pelimpah dapat dihitung sebagai

berikut :

1. Di dekat ujung bangunan pelimpah, kedalaman aliran h 0 dan debit

Q0 sama dengan kedalaman dan debit potongan saluran di

belakang pelimpah. Dengan H0 = h0 + v02/2g tinggi energi di ujung

pelimpah dapat dihitung.

garis energi

H v2/2g Ho

h c h x ho h c
52

kemiringan dasar
x o
∆x B

Gambar 2.2.a. Sketsa definisi untuk saluran dengan pelimpah

samping

2. Pada jarak ∆x di ujung hulu dan hilir bangunan pelimpah tinggi

energi juga H0, karena sudah diandaikan bahwa tinggi energi di

sepanjang pelimpah adalah konstan.

Hx = hx + vx2/2g

= hx + Qx2/2g Ax2

dimana Qx adalah debit Q0 potongan hilir ditambah debit q x, yang

mengalir pada potongan pelimpah dengan panjang ∆x.

( h0  c)  (hx  c)3 / 2
qx = μ∆x 2g
2

Andaikan H0 = hx menghasilkan qx = μ∆x 2 g ( h0  c )3 / 2

dan Qx = Q0 + q dengan Qx ini kedalaman hx dapat dihitung dari

hx = Hx – Qx2/2g Ax2

Koefisien debit μ untuk mercu pelimpah harus diambil 5% lebih

kecil daripada koefisien serupa untuk mercu yang tegak lurus

terhadap aliran.

3. Setelah hx dan Qx ditentukan, kedalaman air h2x dan debit Q2x akan

dihitung untuk suatu potongan pada jarak 2∆x di depan ujung

pelimpah dengan cara yang sama seperti yang dijelaskan pada

nomor dua (2). Q0 dan h0 harus digantikan dengan Qx dan hx,

dalam langkah kedua ini Qx dan hx menjadi Q2x,, q2x dan h2x.
53

4. Perhitungan-perhitungan ini harus diteruskan sampai Q nx sama

dengan debit banjir rencana potongan saluran dibagian hulu

bangunan pelimpah samping. Panjang pelimpah adalah n∆x dan

jumlah air lebih yang akan dilimpahkan adalah Q nx – Q0.

2.13.2. Perencanaan kapasitas tampungan

Penentuan kapasitas tampungan boezem atau tampungan

sementara harus menghitung tampungan yang terjadi pada tiap

jam. Tampungan tiap jam akan dipengaruhi oleh inflow dan outflow.

Rencana boezem dibuat sederhana saja, dengan penampang

persegi. Rumus yang digunakan untuk menghitung volume

tampungan adalah sebagai berikut (Soemarto 1986 : 176) :

Qi = Qt+1 - Qs

Dimana :

Qi+1 = debit inflow pada periode awal (m3/dt)

Qt+1 = Debit puncak banjir pada periode awal (m 3/dt)

Qs = Debit sungai normalisasi (m3/dt)

Volume tampungan boezem dihitung dengan rumus sebagai berikut :

 Qi  Qi 1 
V =   .∆t
 2 

Dimana :

V = Volume inflow debit yang masuk ke boezem (m 3/dt)

Qi = Debit inflow pada periode awal (m3/dt)

Q inflow =Qbanjir - Q normalisasi


54

Qi+t = Debit inflow pada periode selanjutnya (m 3/dt)

∆t = periode waktu (detik)

Volume kumulatif yang akan ditampung oleh Boezem (volume

kumulatif ini merupakan kapasitas tampungan Boezem).

in
 Qi  Qi 1 
V =  
11 2
.t

Dimana :

V = Volume inflow debit yang masuk ke boezem (m 3/dt)

Qi = Jumlah debit inflow pada periode awal (m 3/dt)

Q inflow =Qbanjir - Q normalisasi

Qi+t = Jumlah debit inflow pada periode selanjutnya (m 3/dt)

∆t = Periode waktu (detik)

2.14. Pintu Otomatis

Pintu otomatis digunakan untuk mengatur proses

pembuangan air pada boezem, yang diletakkan di bagian hilir

boezem. Adapun pertimbangan dibuatnya pintu otomatis tersebut

adalah :

- Untuk mengatur keluar masuknya air akibat pengaruh pasang

surut (air balik), dimana hal ini tidak bisa dihindari karena

elevasi daratan relatif lebih rendah dibandingkan dengan elevasi

pasang surut air Sungai karang Mumus.

- Pintu dirancang dapat bekerja secara otomatis (tidak

membutuhkan operator). Hal ini lebih menguntungkan jika

dibandingkan dengan pintu biasa, karena pengoperasian pintu


55

biasa relatif sulit karena penambahan debit yang tidak menentu

akibat pengaruh fluktuasi muka air laut.

- Dasar pertimbangan yang utama dalam pemilihan tipe pintu,

ekonomis, dengan penerapan teknologi tepat guna untuk

mendapatkan pelayanan yang optimal, dalam artian dapat

berfungsi sebagaimana mestinya. Pintu klep otomatis

merupakan pintu yang cocok untuk daerah pasang surut,

mengingat tipe pintu ini memanfaatkan perbedaan tinggi muka

air di hulu dan hilir pintu. Selain itu konstruksi yang ringan

sehingga tidak perlu pondasi yang dalam sampai lapisan keras.

2.14.1. Hidrolika Pintu Klep Otomatis (Prinsip Kerja Pintu)

Pintu klep otomatis direncanakan dapat bekerja dengan

memanfaatkan beda tinggi muka air di hilir dan hulu pintu.

Sebagai dasar dari perencaan pintu klep otomatis adalah

(Nursyirwan, 1990:33) :

- Hilir : fluktuasi muka air akibat pengaruh pasang surut

- Hulu : a. tinggi muka air terendah yang masih boleh ada

b. tinggi muka air di saluran yang tertinggi

sistim gerakan pintu klep otomatis berdasarkan gaya-gaya yang

bekerja pada pintu yang menyebabkan pintu membuka dan

menutup sesuai fluktuasi. Pada gambar 2.6. (titik a) tinggi

muka air di hilir dan hulu sama tinggi. Bila tinggi muka air di hilir

turun terus akan mengakibatkan pintu klep otomatis secara


56

lambat laun akan terbuka, dan air di boezem akan mengalir,

akibatnya tinggi muka air pada boezem akan turun.

Apabila tinggi muka air naik sampai titik b maka pintu akan

segera tertutup dan air pada boezem akan tertahan sebagai

genangan atau tampungan sementara. Demikian seterusnya

sampai tinggi muka air di hulu dan di hilir pintu akan bertemu di

titik c dan kembali pintu akan terbuka.

MAT

A C

MAR

MART

Pengeluaran Tampungan

Gambar 2.6. Sistim operasi pintu klep otomatis

Keterangan :

MAT : muka air tertinggi di hilir pintu

MAR : muka air rata-rata di hilir pintu

MART : muka air terendah di hilir pintu


57

2.14.2. Urutan cara bekerjanya pintu air

Urutan cara bekerjanya pintu air adalah sebagai berikut (dimulai

pada saat pintu air otomatis dalam keadaan tertutup). Yaitu :

1. Pintu air akan terbuka penuh segera setelah air permukaan

yang ada di bagian downstream (hilir) lebih rendah dari air

permukaan yang ada di bagian upstream (hulu).

2. Pintu air otomatis tadi tetap akan terbuka sementara aliran air ke

arah downstream (hilir) sungai, yaitu pada waktu air mengalir ke

luar ke arah laut.

3. Apabila aliran air pasang ke arah upstream (hulu), yaitu

masuknya air pasang ke dalam sungai maka pintu air tersebut

akan segera tertutup.

4. Pintu air otomatis tersebut akan tetap tertutup sampai kondisi air

sungai kembali pada kondisi pada butir (1) di atas.

2.15. Geographical Information System (GIS)

Untuk mendapatkan informasi yang lebih detail tentang

lokasi studi sebaiknya digunakan bantuan GIS (Geographics

Information System). Diharapkan GIS mampu menjawab

pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam pengambilan

keputusan geografi, seperti :

- pertanyaan lokasional mengenai apa yang terdapat pada lokasi

tertentu
58

- lokasi apa yang mendukung untuk kondisi atau fenomena

tertentu

- identifikasi kecenderungan atau peristiwa yang terjadi

- analisis hubungan keruangan antar objek dalam kenampakan

geografis

- model seperti kecocokan lahan, resiko terhadap bencana, dll.

Data dalam GIS dibagi dalam 2 (dua) bentuk, yakni :

1. geographical (data spasial) adalah data yang terdiri atas lokasi

eksplisit suatu geografi yang diset ke dalam bentuk koordinat.

Sumber-sumber data spasial termasuk kertas peta, diagram

dan scan suatu gambar atau bentuk digitalnya ke dalam sistem.

File-file digital bisa diimpor dari CAD (Auto cad).

2. data attribut (data aspasial) adalah gambaran data yang terdiri

atas informasi yang relevan terhadap suatu lokasi, seperti

kedalaman, ketinggian, lokasi tertentu dengan maksud untuk

memberikan identifikasi, seperti alamat, kode pin.

Geographical information system sebenarnya adalah akronim dari :

- Geography

Istilah ini digunakan karena GIS dibangun berdasarkan pada

geografi atau spasial. Objek ini mengarah pada spesifikasi

lokasi dalam suatu space. Objek bisa berupa fisik, budaya atau

ekonomi alamiah. Penampakan tersebut ditampilkan pada

suatu peta untuk memberikan gambaran yang representatif dari

spasial suatu objek sesuai dengan kenyataanya di bumi.


59

Simbol, warna dan gaya garis digunakan untuk mewakili setiap

spasial yang berbeda pada peta dua dimensional. Saat ini

teknologi komputer telah mampu membantu proses pemetaan

melalui pengembangan dari automated cartography (pembuatan

peta) dan Computer Aided Design (CAD).

- Information

Informasi berasal dari pengolahan sejumlah data. Dalam GIS

informasi memiliki volume terbesar. Setiap objek geografi

memiliki setting data tersendiri karena tidak sepenuhnya data

yang ada dapat terwakili dalam peta, jadi semua data harus

diasosiasikan dengan objek spasial yang dapat membuat peta

menjadi intelligent. Ketika data tersebut diasosiasikan dengan

permukaan geografi yang representatif, data tersebut mampu

memberikan informasi dengan hanya mengklik mouse pada

objek. Namun perlu diingat bahwa semua informasi adalah

data, tetapi tidak semua adata adalah informasi.

- System

Pengertian suatu system adalah kumpulan elemen-elemen yang

saling berintegrasi dan berinterdependensi dalam lingkungan

yang dinamis untuk mencapai tujuan tertentu. Istilah ini

digunakan untuk mewakili pendekatan sistem yang digunakan

dalam GIS, dengan lingkungan yang kompleks dan komponen

yang terpisah-pisah, sistem digunakan untuk mempermudah

pemahaman dan penanganan yang terintegrasi. Teknologi


60

komputer sangat dibutuhkan untuk pendekatan ini, jadi hampir

semua sistem informasinya berdasarkan sistem.

Geographical information system (GIS) merupakan komputer

yang berbasis pada sistem informasi yang digunakan untuk

memberikan bentuk digital dan analisa terhadap permukaan

geografi bumi. Jadi definisi dari GIS adalah :

Sistem yang dapat mendukung pengambilan keputusan

spasial dan mampu mengintegrasikan deskripsi-deskripsi

lokasi dengan karakteristik-karakteristik fenomena yang

ditemukan di suatu lokasi.

Mapping Concept

Untuk menggunakan mapInfo dibutuhkan file yang terdiri dari

record dan peta yang berasal dari MapInfo atau dibuat sendiri.

MapInfo mampu mengorganisasikan semua informasi tersebut baik

berupa tekstual dan grafik dalam bentuk tabel. Setiap tabel

merupakan files Mapinfo Group yang menyusun file map lainya

atau data base.

MapInfo Building Block : Layer-layer Peta

Peta komputer dikendalikan oleh layer. Berpikir tentang layer

seperti adanya kertas transparan yang saling menutupi satu sama

lain. Setiap layer terdiri atas aspek yang berbeda. Dalam MapInfo

dimulai dengan membuka tabel data dan menampilkan secara

menyebar pada leyer. Setiap layer terdiri atas Map Objeck yang

berbeda-beda, seperti wilayah, titik, garis dan teks. Sebagai


61

contoh, layer pertama terdiri atas batasan wilayah, layer kedua

terdiri atas simbol yang mewakili ibukota, dan layer ketiga terdiri

atas label teks. Dengan menempatkan layer-layer tersebut secara

bersamaan akan membentuk map yang lengkap. Satu, dua, atau

tiga tabel dapat ditampilkan kapan saja.

Mendapatkan Data pada Map

Untuk menampilkan data pada MapInfo, dibutuhka data yang

terdiri atas koordinat X dan Y sehingga MapInfo mengetahui posisi

data pada peta. Proses penentuan koordinat peta dinamakan

geocoding. MapInfo menentukan koordinat dengan melihat

informasi geografis pada peta dan informasi geografis pada tabel

yang terdiri atas koordinat X dan Y. Sebagai contoh, data terdiri

atas alamat jalan dari retail toko. Perintahkan pada MapInfo untuk

mencari alamat jalan tersebut pada jalan yang ada pada tabel peta

kota. Setelah melakukan proses geocoding, record ini dapat

ditampilkan pada Map Window.

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Tempat Penelitian


62

Lokasi penelitian berada di Kota Samarinda Wilayah

Propinsi Kalimantan Timur, tepatnya di daerah Sempaja yang

berada di Kelurahan Sempaja, Kecamatan Samarinda Ulu. Daerah

ini dibelah oleh Sungai Sempaja yang bermuara di Sungai Karang

Mumus. Lokasi studi merupakan daerah cekungan topografi di

daerah Sempaja dimana di dalamnya meliputi sebagian Jl. Wakhid

Hasyim, Jl. A. Wahab Syahrani, Jl. Panglima Noor dan Jl.

Pertahanan. Di tinjau dari wilayah daerah aliran sungai, lokasi studi

termasuk dalam DAS Sungai Sempaja bagian hilir. Untuk lebih

jelasnya lokasi studi disajikan pada gambar 1.1.

3.2. Kondisi Topografi Daerah Studi

Kondisi topografi di kawasan Sempaja berupa cekungan

alam atau lembah dengan perbedaan tinggi antara

daerah terendah dan tertinggi ± 30 meter. Elevasi terendah

terdapat pada daerah sekitar Sungai Karang Mumus yakni

+ 0,3 m, sementara daerah tertinggi ± 35 m terdapat di dataran

tinggi Jl. A. Wahab Syahrani. Elevasi as jalan pada

simpang empat Sempaja + 3,5 m, adapun elevasi dasar

Sungai Karang Mumus + 0,3 m (Sumber: Dinas Pekerjaan

Umum dan Kimpraswil, Kota Samarinda, 2004). Di

sebelah Barat kemiringan lahan dimulai dari dataran tinggi yang

berada 1,5 km dari simpang Sempaja mengarah ke simpang

Sempaja, sebelah Selatan di mulai dari dataran tinggi di sekitar

POM Bensin Sempaja mengarah ke simpang Sempaja dan di


63

sebelah Utara dimulai dari dataran tinggi di sekitar perumahan

Pinang mas menuju ke simpang Sempaja. Hal tersebut

keseluruhan ditandai dengan arah aliran drainase jalan yang ada

(eksisting). Disamping itu di daerah Sempaja banyak dijumpai

areal genangan air (retarding Basin) sebagai konsekuensi dari

daerah cekungan. Untuk mendapatkan informasi yang lebih detail

tentang lokasi studi sebaiknya digunakan bantuan GIS

(Geographics Information System). Diharapkan GIS mampu

menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam

pengambilan keputusan geografi, seperti pertanyaan lokasional

mengenai apa yang terdapat pada lokasi tertentu, lokasi apa yang

mendukung untuk kondisi atau fenomena tertentu, identifikasi

kecenderungan atau peristiwa yang terjadi, analisis hubungan

keruangan antar objek dalam kenampakan geografis dan model

seperti kecocokan lahan, resiko terhadap bencana, dll. Data dalan

GIS dibagi dalam 2 (dua) bentuk, yakni geographical (data spasial)

dan data attribut (data aspasial). Data spasial adalah data yang

terdiri atas lokasi eksplisit suatu geografi yang diset ke dalam

bentuk koordinat. Data attribut (aspasial) adalah gambaran data

yang terdiri atas informasi yang relevan terhadap suatu lokasi,

seperti kedalaman, ketinggian, lokasi tertentu dengan maksud

untuk memberikan identifikasi, seperti alamat, kode pin, dll.

Sumber-sumber data spasial termasuk kertas peta, diagram dan


64

scan suatu gambar atau bentuk digitalnya ke dalam sistem. File-

file digital bisa diimpor dari CAD (Auto cad).

3.3. Kondisi Hidrologi

Data hidrologi dalam hal ini berupa data curah hujan, dimana

dalam studi ini dipakai data curah hujan dari Stasiun Pencatat

Curah Hujan Temindung. Distribusi hujan harian maksimum di

Stasiun Pencatat Hujan Temindung yang tercatat mulai tahun 1984

sampai dengan Tahun 2003 (20 tahun) disajikan pada tabel 3.1.

Tabel 3.1.
Curah Hujan Harian Maksimum (mm) Per Tahun Dari Stasiun
Bandara Temindung

No Tahun Curah hujan No Tahun Curah hujan


harian harian
maksimum maksimum
(mm) (mm)
1 1984 115,80 11 1994 141,80
2 1985 105,60 12 1995 82,00
3 1986 85,70 13 1996 79,10
4 1987 80,50 14 1997 94,60
5 1988 108,90 15 1998 85,00
6 1989 97,30 16 1999 117,10
7 1990 89,40 17 2000 83,80
8 1991 105,30 18 2001 101,60
9 1992 94,30 19 2002 66,30
10 1993 90,00 20 2003 39.00
Sumber : Stasiun Pencatat Curah Hujan Temindung Samarinda

Jumlah curah hujan yang terjadi di kota Samarinda berkisar

antara 2000 – 3000 mm/tahun (Sumber: Dinas Pekerjaan Umum

dan Kimpraswil, Kota samarinda). Secara hidrologis dan sesuai

dengan morfologinya wilayah studi dilalui oleh sungai, yakni Sungai

Sempaja. Apalagi ditinjau dari catcment area, daerah kajian

termasuk dalam Sub DAS Sempaja hilir. Daerah kajian juga


65

memiliki daerah-daerah yang kadang-kadang tergenang, rawa

serta rawan banjir. Disamping itu, saluran drainase yang ada,

khususnya Sungai Sempaja juga dipengaruhi oleh pasang surut

dari Sungai Karang Mumus (outlet Sungai Sempaja).

3.4. Kondisi Kependudukan

Tabel 3.2.

Data Jumlah rumah tangga, penduduk dan

kepadatan Kecamatan samarinda utara menurut

desa/ kelurahan tahun 2004 yang masuk dalam daerah studi

Jumlah Jumlah Kepadatan


Kec
Penduduk/km2 Penduduk/RT RT/Km2
RT penduduk
Sempaja 3723 22401 269 6 45

Lempake 3264 13673 256 4 61


Sumber : Data Statistik, Samarinda dalam Angka,2004

3.5. Kondisi Daerah Pengaliran Sungai Mahakam

Sungai Mahakam yang berhulu di pegunungan perbatasan

Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah dan Negara Bagian Serawak

serta bermuara di Selat Makasar, mempunyai daerah pengaliran

sungai (DPS) seluas 77.095,51 km 2, meliputi 5 kabupaten atau kota

dan 42 kecamatan di Propinsi Kalimantan Timur. Kondisi topografi


66

atau morfologi DPS Mahakam didominasi oleh satuan morfologi

dataran (kemiringan 0 – 8 %) sebesar 34 %, bergelombang landai

(kemiringan 8 – 25 %) sebesar 28 %, sedang sisanya sebesar 38 %

merupakan satuan morfologi perbukitan (kemiringan > 25 %).

Penggunaan terbesar di DPS Mahakam adalah hutan sebesar 50,67

%, semak 17,64 %, danau dan rawa 14,37 %, dan sisanya berupa

sawah, ladang, perkebunan, pemukiman, tambak dan tegalan

sebesar 17,32 %. Kondisi DPS Mahakam pada tahun 1962, sekitar

86 % wilayah DPS masih tertutup oleh hutan, sedangkan pada tahun

2001 wilayah DPS Mahakam yang masih tertutup oleh hutan sisa 51

%. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya erosi dan sedimentasi,

pendangkalan pada dasar sungai dan danau, serta terjadinya

kenaikkan fluktuasi debit maksimum dan minimum sungai. Alur

utama Sungai Mahakam yang panjangnya dari hulu sampai muara ±

920 km, melintasi 2 kabupaten dan 1 kota di Propinsi kalimantan

Timur, yaitu Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai Kartanegara

dan Kota Samarinda. Berdasarkan kondisi morfologinya, alur utama

Sungai Mahakam dapat dibag menjadi 3 bagian , yaitu :

 Bagian hilir (down stream), yaitu Ruas Sungai dari muara sampai

dengan Kota Samarinda.

 Bagian tengah (middle stream), yaitu Ruas Sungai dari Kota

Samarinda sampai dengan Melak.

 Bagian Hulu (up stream), yaitu Ruas Sungai dari Melak sampai

hulu.
67

Bagian Hilir (Ruas Sungai dari Muara sampai dengan Kota

Samarinda) :

Panjang sungai dari muara sampai dengan Kota Samarinda

± 60 km, dengan lebar bervariasi antar 500 – 850 meter dan

kedalaman antara 10 – 24 meter. Kemiringan sungai pada ruas ini

sangat datar yaitu antara 0 – 0,5%.

Alur Sungai Mahakam pada ruas ini melintasi delapan (8)

kecamatan di satu (1) Kabupaten dan satu (1) Kota.

1. Kabupaten Kutai Kartanegara.

 Kecamatan Anggana

 Kecamatan Muara Jawa

 Kecamatan Sanga-sanga

2. Kota Samarinda

 Kecamatan Samarinda Ilir

 Kecamatan Samarinda Ulu

 Kecamatan Sei Kunjang

 Kecamatan Samarinda Seberang

 Kecamatan Palaran.

Pada ruas ini dijumpai beberapa anak sungai, antara lain : Sungai

Mariam, Sungai Sanga-sanga, Sungai Karang Mumus dan Sungai

Karang Asam. Kesemua alur tersebut bermuara ke Selat Makasar.

Alur-alur atau muara-muara tersebut membentuk Delta Mahakam

menjadi beberapa pulau. Tiga pulau besar yang terbentuk oleh

adanya alur atau muara tersebut adalah Pulau Terentang, Pulau


68

Pemankaran, Pulau Rambalrangas. Sepanjang ruas ini (dari

Muara sampai Jembatan Mahakam) dipergunakan sebagai jalur

transportasi air oleh kapal-kapal relatif besar ( kapal barang, kapal

penumpang dan Tongkang) yang menghubungkan Kota

Samarinda dengan Kota-kota lainnya di Pulau Jawa dan Sulawesi.

Pada daerah kanan kiri sungai di wlayah Kota Samarinda

merupakan dataran rendah yang luas sedikit berawa-rawa, padat

penduduk dan banyak dijumpai fasilitas-fasilitas seperti jalan,

jembatan, bangunan perkantoran, pemukiman dan sebagainya.

Pengaruh pasang surut air laut pada ruas ini sangat dominan,

dimana akibat dari pasang surut tersebut muka air sungai di

Samarinda mengalami kenaikan dan penurunan antara 1-2 m.

Kondisi ini sangat mengganggu sistem pengaliran prasarana

drainase (baik alami maupun buatan) yang ada di Kota

Samarinda. Pada saat muka air sungai pasang dan bersamaan

pula terjadi hujan lebat di Kota Samarinda, maka terjadilah banjir

terutama pada daerah-daerah relatif rendah tidak dapat dihindari.

Hal ini disebabkan sistem pengaliran prasarana drainase yang

ada kurang berfungsi (prasarana drainase yang ada tidak dapat

mengalirkan limpasan air hujan dengan cepat dan lancar ke laut)

akibat adanya pembendungan aliran (back water) di Sungai

Mahakam. Angkutan sedimen yang datang dari hulu ke ruas ini

relatif besar, hal ini ditunjukkan oleh kondisi air sungai yang

berwarna kecoklatan. Pada beberapa tempat ditemukan adanya


69

sampah, sisi-sisa potongan kayu dan limbah lainnya seperti

plastik, botol plastik dan sebagainya. Sedimentasi yang terjadi

telah mengakibatkan terjadinya pendangkalan pada dasar sungai

yang selalu mengancam keselamatan kapal-kapal besar yang

masuk dan keluar pelabuhan Samarinda. Pada waktu musim

kemarau (saat debit sungai rendah) intrusi air laut dari muara

mencapai Kota Samarinda. Sungai Mahakam mempunyai 238

anak sungai dengan sungai terbesar antara lain di daerah hilir

yaitu Sungai Karang Mumus. Sebagian besar anak sungai

Mahakam bersifat sebagai sungai intermittent, yaitu sungai yang

hanya mengalir dalam jumlah besar pada musim hujan dan relalit

kering pada musim kemarau.

Permasalahan Spesifik Banjir Sungai Mahakam

Watak Sungai Mahakam dapat dilihat dari lingkungan alam yang

membentuknya. Sungai Mahakam bagian hulu masih mempunyai

DPS dengan penutup lahan berupa hutan lebat dan terbaik

dibanding bagian tengah maupun bagian hilir. Disamping itu

jumlah dan kepadatan penduduknya terkecil, yakni hanya 6 jiwa

per kilo meter persegi. Permasalahan banjir di bagian hulu Sungai

Mahakam relatif kecil bobotnya dibanding bagian tengah dan hilir.

Pada Sungai Mahakam bagian tengah, melewati daerah dataran

dengan kondisi DPS yang cenderung menurun kualitasnya.

Kondisi geografis dan topografis DPS Mahakam tengah sebagian

besar berupa rawa, danau dan dataran banjir. Dari Melak sampai
70

Muara Pahu aliran sungai pada waktu bulan basah mengalir

denga cukup deras karena pada bagian ini slope sungai relafit

besar. Namun dari Muara Pahu sampai Sebuluh aliran sungai saat

banjir menyebar ke rawa, danau dan dataran banjir yang sangat

luas dimana total luas genangan dapat mencapai 245.000 Ha.

Dari data duga muka air yang ada di DPS Mahakam, yaitu pada

pos-pos pengamatan sebagai berikut :

- Sungai Mahakam di Melak tahun 1990 – 1999

- Sungai Kedang Kepala di Muara Ancalong tahun 1990 – 1999

- Sungai Belayan di Tabang tahun 1993 – 1998

Khusus untuk Sungai Mahakam, masih terdapat beberapa lokasi

duga air, yaitu di Muara muntai, Kota Bangun, Tenggarong dan

Samarinda. Ke empat lokasi tersebut tidak digunakan dalam

analisa dikarenakan pada lokasi tersebut Sungai Mahakam masih

terpengaruh aliran balik akibat pasang surut Selat Makasar. Data

besaran debit pada masing-masing lokasi pencatat duga muka air

tersebut, diambil data lengkung debit hasil pencatatan debit yang

dilakukan pada periode-periode tertentu dalam kurun waktu seperti

yang tersebut di atas. Lengkung debit pada masing-masing lokasi

pencatatan hujan adalah sebagai berikut :


1,0806
- Sungai Mahakam (Melak), Q = 216,35 H

- Sungai Kd. Kepala (Muara Ancalong ), Q = 153,23 H 0.9961


1,3278
- Sungai Belayan (Tabang), Q = 81,74 H

3.6. Kondisi Daerah Pengaliran Sungai Karang Mumus


71

Sungai Karang Mumus merupakan out let dari Sungai Sempaja,

dimana di DAS ini Fenomena terjadinya banjir selain diakibatkan

oleh curah hujan yang turun relatif deras, juga pada saat yang

bersamaan ditopang oleh arus balik (back water) dari Sungai

Mahakam yang sedang dalam kondisi air pasang di bagian hilir

wilayah Kota Samarinda. Sementara itu, juga adanya kontribusi

limpasan permukaan (runoff) yang relatif besar dan laju tanah yang

tererosi sebagai sumber sedimen atau pendangkalan pada sungai

yang berasal dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Karang Mumus

yang luasannya sekitar 31.475 ha di wilayah Kota Samarinda.

Selain itu, dinamika perubahan pola penggunaan lahan juga

berpengaruh terhadap penurunan potensi kawasan yang disebabkan

oleh semakin meluasnya penggunaan lahan untuk bangunan-

bangunan di sekitar wilayah Kota Samarinda, yang cenderung

menyebabkan pengurangan lahan atau kawasan resapan air, antara

lain untuk keperluan pemukiman serta bangunan-bangunan

perdagangan dan perindustrian. Bencana kebakaran hutan dan

lahan serta perambahan hutan dan lahan yang terjadi di DAS Karang

Mumus wilayah Kota Samarinda juga dapat mempercepat proses

terjadinya banjir. Hal ini karena dapat menambah luasan lahan yang

terbuka, bila turun hujan deras dapat meningkatkan laju limpasan air

permukaan (surface runoff) dan laju erosi tanah yang merupakan

penyokong terjadinya banjir. Oleh karena itu, diperlukan upaya-

upaya identifikasi, penataan dan kajian terhadap kawasan


72

konservasi, kawasan resapan dan tampungan air serta optimalisasi

fungsi DAS Karang Mumus. Sehingga, kemungkinan terjadinya

bencana banjir dan laju tanah tererosi dapat diminimalkan atau

dihindari serta fungsi keseimbangan tata air di wilayah Kota

Samarinda bisa terjamin kesinambungannya.

Keberhasilan penataan kawasan-kawasan pada DAS Karang

Mumus, perlu ditunjang oleh suatu tindakan nyata yang dapat

menjamin kesinambungan fungsi kawasan dan DAS tersebut, di

antaranya melalui pendekatan Pola Pengelolaan DAS Karang

Mumus secara Terpadu dan Peraturan Daerah (PERDA)

Pengelolaan DAS Karang Mumus yang menaungi pengelolaan DAS

tersebut. DAS Karang Mumus memiliki luas  31.475 ha. Secara

geografis terletak antara 0 o17’30” ~ 0o27’20” Lintang Selatan (LS)

dan 117o09’30” ~ 117o22’00” Bujur Timur (BT).

DAS Karang Mumus dan Sub DASnya


Berdasarkan hasil pemaduserasian antara peta topografi dan

peta jaringan sungai pada DAS Karang Mumus didapatkan 8

(delapan) Sub DAS, yaitu Sub DAS Pampang, Sub DAS Karang

Mumus Ulu, Sub DAS Lantung, Sub DAS Siring, Sub DAS

Jayamulya, Sub DAS Muang, Sub DAS Betapus dan Sub DAS

Karang Mumus Ilir (Sungai Sempaja).

Penutupan lahan atau vegetasi yang terdapat pada DAS Karang

Mumus terutama tersusun oleh jenis-jenis lahan semak, belukar,

rawa, hutan, ladang, kebun, kebun campuran, sawah, pemukiman.


73

Pola Jaringan Sungai (Drainage Network Pattern)

Berdasarkan pola jaringan Sungai Karang Mumus, limpasan air

Sungai Karang Mumus beserta anak-anak sungainya mengalir

melewati Bendungan Benanga, selanjutnya limpasan air dari

Bendungan Benanga mengalir ke sungai utama Karang Mumus

menuju Kota Samarinda dan akhirnya bermuara ke Sungai

Mahakam yang limpasan air sungainya mengalir ke arah timur dan

bermuara ke Selat Makassar. Berdasarkan hasil analisis curah

hujan yang tercatat pada Stasiun Pengamat Curah Hujan Bandara

Temindung Samarinda dapat diketahui bahwa DAS Karang Mumus

memiliki curah hujan rata-rata tahunan sebesar 2.135,73 mm.

Curah hujan bulanan rata-rata tertinggi terjadi pada bulan Juni

sebesar 226,49 mm dan curah hujan bulanan rata-rata terendah

terjadi pada bulan Juli sebesar 115,9 mm. DAS Karang Mumus

termasuk tipe iklim A menurut Sistem Klasifikasi Schmidt dan

Ferguson dengan nisbah bulan kering terhadap bulan basah

sebesar 13,4 %. Iklim ini mencirikan daerah sangat basah dengan

vegetasi hutan hujan tropika. Dari data temperatur udara yang

tercatat pada Stasiun Pengamat Cuaca Bandara Temindung (1998

– 2000) diketahui bahwa temperatur udara rata-rata bulanan

berkisar antara 26 – 29 C dengan temperatur tertinggi terjadi pada

bulan April sebesar 28,2C dan terendah pada bulan Juli sebesar

26,7C.
74

3.7. Kondisi Drainase Existing

Sungai Sempaja merupakan drainase utama dalam sistem

drainase selama ini. Pada umumnya drainase jalan bermuara pada

Sungai Sempaja. Disamping drainase jalan, terdapat pula avour

atau drainase yang dibuat untuk mengalirkan air dari daerah rawa

menuju Sungai Sempaja. Adapun ruas-ruas Sungai Sempaja dan

drainase jalan yang ada di kawasan Sempaja ini meliputi:

1. Jl. AW. Syahrani Kiri

2. Jl. AW. Syahrani Kanan

3. Jl. Wakhid Hasyim

4. Jl. Pertahanan Kiri

5. Jl. Pertahanan Kanan

6. Sungai Sempaja ruas 1

7. Sungai Sempaja ruas 2

8. Sungai Sempaja ruas 3

Secara skematis drainase jalan dan sungai disajikan pada

gambar 4.24. Adapun dimensi dan kapasitas jaringan drainase

existing disajikan pada Tabel 4.38. Kapasitas Sungai Sempaja pada

umumnya tidak mampu menahan debit banjir tahunan, sehingga

debit melimpas ke badan jalan atau daerah disekitar sungai.

Disamping itu muka air di Sungai Sempaja, khususnya di sebelah

hilir sangat dipengaruhi oleh pasang surut muka air Sungai Karang

Mumus.
75

Kondisi saluran drainase yang ada saat ini ada sebagian

yang masih mampu menampung air dari daerah aliran drainase itu

sendiri dan ada yang sudah tidak mampu menampung debit air

hujan, dan banyak saluran drainase yang sudah tertimbun atau

hilang dengan adanya aktifitas pemukiman di sekitar saluran

tersebut. Diprediksikan di masa mendatang kapasitas saluran

tersebut tidak mampu menampung limpasan air akibat

bertambahnya koefisien limpasan dan berkurangnya daerah

retarding basin yang ada.

3.8. Pendekatan Penyelesaian Masalah

Dengan mengetahui kondisi eksisting sistem drainase yang ada

yaitu kondisi eksisiting Sungai Sempaja, sebagai drainase

utamanya. Sungai ini tidak mampu menampung seluruh debit

yang seharusnya ditanggung. Dengan semakin bertambahnya

limpasan debit dari masing-masing jalan, seiring dengan

tumbuhnya kawasan hunian, maka dengan tetap mengacu pada

sistem yang ada yakni Sungai Sempaja tetap dijadikan drainase

utama. Kemudian melakukan analisis kapasitas Sungai Sempaja

dan apabila kapasitas dari Sungai Sempaja tidak mampu

menampung debit banjir yang ada maka dilakukan penanganan

berupa normalisasi sungai. Setelah itu dianalisis lagi bagaimana

kapasitas sungai setelah dinormalisasi, apabila kapasitasnya masih

tidak mampu menampung debit banjir yang ada maka

pengendalian banjir dilakukan dengan pembuatan retarding basin


76

(Bozem). Apabila dari salah satu bentuk penanganan ini tidak

mampu menampung debit banjir yang ada, maka dilakukan

penanganan dengan memadukan keduanya baik normalisasi

maupun pembuatan retarding basin (bozem). Apabila kedua cara

ini masih tidak mampu untuk mengendalikan banjir maka bisa

dilakukan alternatif lain.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk penanganan

atau pengendalian banjir yang dilakukan pada studi ini adalah :

1. Perbaikan alur sungai (normalisasi sungai) dengan tujuan untuk

menurunkan muka air banjir

2. Atau Pemanfaatan retarding basin (Boezem) untuk tampungan

banjir sementara, dimana boezem ini sebagai pengganti rawa

yang tadinya berfungsi sebagai parkir air sementara dan

sekarang telah berubah fungsi menjadi pemukiman

3. Perpaduan antara normalisasi dan retarding basin (bozem).

4. Alternatif penanganan dengan bentuk lain.

Dari sistem pengendalian yang dilakukan, diharapkan dapat

menurunkan masalah genangan atau banjir di daerah Sempaja,

Kota Samarinda. Mengingat daerah tersebut adalah daerah

cekungan jadi tidak mungkin upaya ini akan menghilangkan

seratus persen masalah banjir yang ada di kota ini, namun paling

tidak upaya ini bisa mereduksi masalah genangan dan banjir yang

terjadi di kota ini.

Sistem Pengendalian Banjir Dengan Bentuk Lain


77

Banjir merupakan peristiwa alam yang dapat menimbulkan

kerugian harta benda penduduk serta dapat pula menimbulkan

korban jiwa. Pengurangan kerugian akibat banjir yang mencakup

metode-metode untuk melawan pengaruh air yang berlebihan di

dalam sungai disebut pengendalian banjir (flood control).

Tindakan lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi kerugian

banjir adalah :

1. Pengurangan puncak banjir dengan waduk atau suatu

tampungan

2. Pengurangan aliran dalam suatu alur yang ditetapkan dengan

tanggul, tembok banjir atau suatu aliran tertutup

3. Pengaliran air banjir melalui saluran banjir (floodway) ke dalam

alur sungai lain bahkan DAS lain

Selanjutnya harus diingat bahwa penerapan cara-cara

kegiatan penanggulangan banjir harus pula disesuaikan dengan

lokasi serta sifat dari banjir yang terjadi. Sebagaimana halnya di

bagian hulu biasanya arus banjirnya deras, daya gerusnya besar

tetapi durasinya pendek, sedangkan di bagian hilir arusnya tidak

deras (karena landai) tapi durasi banjirnya panjang (Sosrodarsono,

1985 : 348). Agar penanggulangan banjir dapat dilaksanakan

secara efektif maka setiap kondisi banjir di sepanjang sungai

haruslah dipelajari secara seksama, sehingga program

penanggulangannya dapat diterapkan secara lebih mantap.

Keterangan :
78

Normalisasi Sungai (Tanggul dan Saluran)


Normalisasi sungai terutama di bagian hulu sungai atau pada

bagian sungai yang diidentifikasi mengalami kerusakan pada

alurnya. Ada 2 (dua) pekerjaan dalam penanganan ini yaitu :

pembuatan tanggul-tanggul sungai dan saluran, dalam hal ini

dengan melakukan pelebaran bentuk penampang Sungai Sempaja

dengan merencanakan geometrik penampang salurannya

berbentuk trapesium.

Perbaikan saluran (penampang geometrik sungai)

Dari kondisi di lapangan saat ini, ada upaya penanganan

banjir yang dilakukan dengan meningkatkan kapasitas dimensi

saluran yang ada. Namun perencanaan dari pembangunannya

tidak diikuti dengan perencanaan teknis yang akurat, sehingga

pada saat terjadi hujan dan banjir, saluran tersebut masih belum

mampu menampung beban aliran dari hulu sungai. Secara visual

pengamatan setelah terjadi banjir, pada daerah tersebut masih

terjadi banjir pada saat hujan, terutama apabila diikuti pasang surut

dari sungai Karang Mumus sebagai outlet dari Sungai Sempaja.

Dari analisis sementara kapasitas saluran yang ada sudah tidak

mencukupi dalam menapung debit banjir yang ada.

Boezem (Retarding Basin)

Boezem atau retarding basin dalam hal ini dilakukan untuk

Perbaikan lingkungan, disini merupakan suatu usaha yang

bertujuan untuk memaksimalkan daerah resapan air di dalam DAS.


79

Boezem atau yang disebut juga retarding basin atau penampung

sementara, dalam studi ini dimanfaatkan untuk menampung

sementara sekaligus mengatur pembuangan saluran banjir dari

Sungai Sempaja ke Sungai Karang Mumus, karena apabila Sungai

Sempaja tidak mampu menampung air balik tersebut maka daerah

sekitarnya akan tergenang. Salah satu cara untuk menanggulangi

hal tersebut adalah dengan membuat tampungan sementara yang

lebih dikenal dengan Boezem. Adapun besarnya volume air yang

harus ditampung jika terjadi kondisi ekstrim adalah dengan jalan

menghitung volume air banjir ditambah dengan volume air buangan

dikurangi dengan kapasitas tampungan saluran.

Berikut ini adalah beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam

perencanaan boezem yaitu antara lain :

1. Mengenai letak boezem, boezem diletakan pada percabangan

saluran yang padat.

2. Boezem diletakkan di bagian hilir sendiri atau dekat dengan

outlet, apabila berfungsi sebagai tampungan sementara.

3. Untuk mengetahui kapasitas maupun dimensi dari boezem bisa

diketahui dari debit banjir rencana. Agar kapasitas dari boezem

bisa optimal maka sebaiknya dipilih lokasi pada daerah yang

memiliki ruang bebas.

Gambar 3.1. KONSEP PERENCANAAN BOEZEM SEMPAJA

BOEZEM
SEMPAJA
80

Inlet Outlet

Sungai Sempaja

Ke Muara

Sungai Karang Mumus

3.9. Tahapan Penelitian

Agar supaya maksud dan tujuan dari studi ini tercapai,

diperlukan tahapan studi yang akan dapat mempertajam kajian yang

akan dilakukan dalam studi ini, seperti yang tertuang dalam tahapan

berikut ini:

I. Tahap persiapan yang terdiri dari :

a. Pengumpulan data sekunder yang terdiri dari :

- Data curah hujan


81

- Peta topografi

- RUTRK (Rencana Umum Tata Ruang Kota) yang berupa

peta tata guna lahan

- Data kependudukan (demografi)

b. Pengumpulan data primer, yang terdiri dari:

- Pengukuran dimensi saluran secara langsung di lapangan

- Mengumpulkan informasi lapangan tentang daerah

genangan

II. Tahap Analisis atau kajian, yang terdiri

dari:

a. Analisis atau kajian Hidrologi yaitu:

- Curah hujan rancangan dengan Metode E.J.Gumbel dan

Log Person Type III

- Uji kesesuaian frekuensi yaitu terdiri dari Uji Smirnov –

Kolmogorov dan Kai Kuadrat

- Distribusi curah hujan dengan Persamaan Mononobe

- Koefisien Pengaliran

- Hujan netto

- Debit banjir akibat air hujan dengan Metode Rasional

- Debit air buangan

- Hidrograf Banjir dengan Metode HSS. Nakayasu

b. Analisis atau kajian Hidrolika, yang terdiri dari:

- Penentuan geometri saluran


82

- Dimensi saluran dan sungai untuk mengetahui kapasitasnya,

dengan batasan perencanaan pada debit, kecepatan aliran,

kemiringan dasar dan dinding saluran, harga kekasaran

bahan saluran, tinggi jagaan dan lebar tanggul

Berikut ini diberikan daftar alir rencana kerja pada gambar 3.2 yang lebih

memperjelas seluruh rangkaian kegiatan dari studi ini.

BAB IV
PENGOLAHAN DATA DAN PEMBAHASAN

4.1. Pengolahan Data Curah Hujan Menjadi Intensitas Hujan

Analisa hidrologi diperlukan untuk menghitung besarnya debit

rancangan yang akan dipakai dalam perhitungan kapasitas saluran


83

drainase, normalisasi sungai dan volume tampungan boezem.

Dalam studi ini dipakai data curah hujan dari Stasiun Pencatat

Curah Hujan Bandara Temindung yang berjarak 2 km dari lokasi

studi, yang tercatat (20 tahun) disajikan pada tabel 4.1. berikut ini :

Tabel 4.1.
Curah Hujan Harian Maksimum (mm) Per Tahun
Dari Stasiun Bandara Temindung Samarinda

No Curah hujan harian No Curah hujan harian


maksimum (mm) maksimum (mm)

1 115,80 11 141,80
2 105,60 12 82,00
3 85,70 13 79,10
4 80,50 14 94,60
5 108,90 15 85,00
6 97,30 16 117,10
7 89,40 17 83,80
8 105,30 18 101,60
9 94,30 19 66,30
10 90,00 20 39.00
Sumber : Stasiun Pencatat Curah Hujan Bandara Temindung
Samarinda

4.2. Perhitungan Curah Hujan Rancangan Dengan Metode Log

Person Type III

Perhitungan curah hujan rencana rata-rata pada studi ini

memakai Metode Log Person Type III. Metode ini lebih fleksibel

karena mempunyai nilai Cs, dan Ck bebas (tidak ada ketentuan

mengenai besarnya harga parameter statistiknya), sehingga dapat

dipakai untuk semua sebaran data hujan. Data diurutkan terlebih

dahulu dari data yang paling besar sampai pada data terkecil.
84

Adapun langkah perhitungan dari metode ini diuraikan sebagai

berikut :

1. Mengubah data curah hujan rerata harian maksimum ke dalam

bentuk logaritma.

2. Menghitung harga rata-rata logaritma


n
log Q 39,1350 = 1,9568
Log  = 1

n 20

3. Menghitung simpangan baku

 log   log  
n 2

S log  = 1

n 1

0,2437
=
20  1

= 0,0128

= 0,1133

4. Menghitung koefisien kemiringan atau koefisien kepencengan (C s

atau G) dengan rumus sebagai berikut :

n . 1
n
log   log   3

Cs = G =
 n  1  n  2 5 log  
3

20   0,0405 
=
 20  1  20  2  0,1133  3
 0,8100
= 38,7486

Cs = G = -0,0209
85

Untuk mencari Curah Hujan Rancangan (X T) dicari dulu nilai Pr

100
(Probabilitas kejadiannya) = … % ------ Pr =
Tr

Dengan diketahui Tr (periode ulang) maka bisa dicari nilai P r dan

dengan mengetahui hubungan C s dengan Pr dapat dicari nilai K

(bisa dilihat pada lampiran tabel 4.10. Faktor frekuensi K untuk

Distribusi Log Person Type III) dan dengan cara interpolasi linier

nilai K bisa dicari

100
Misalnya : Untuk Tr = 2 tahun – Pr = = 50%
2

G = Cs = -0,0209

Cs Pr K
0 50 % 0
-0,209 50 % … (0,004)  nilai K bisa dicari dengan cara
-0,1 50 % 0,017
interpolasi linier
Sumber : Hasil perhitungan

6. Menghitung logaritma curah hujan rancangan dengan kala

ulangnya

X2 = 10 (log  + k . s)

= 10 (1,9568 + 0,004 . 0,1133)

= 90,63 mm

7. Mencari Antilog dari logaritma X t untuk mendapatkan curah hujan

rancangan

Selanjutnya hasil curah hujan rancangan dengan Metode Log Person

Type III dapat dilihat pada lampiran tabel 4.2. dan 4.3.

4.3. Uji Kesesuaian Frekuensi


86

4.3.1. Uji Smirnov – Kolmogorov

Uji ini ditetapkan untuk menguji simpangan dalam arah

horisontal, adapun langkah-langkah perhitungannya adalah sebagai

berikut :

1. Menghitung peluang empiris dengan memasukkan nomor urut

data mulai dari data terkecil sampai yang terbesar.

2. Melakukan plotting data pengamatan pada kertas probabilitas

Log person type III, dengan logaritma data hujan sebagai

sumbu Y dan peluang empiris sumbu X (hasil plotting dapat

dilihat pada lampiran gambar 4.1.

3. Menggambarkan persamaan garis durasi pada probabilitas dan

menarik garis durasi dengan mengikuti persamaan garis Xt =

anti log (1,902 + G. 0,117).

Pengujian ini dilaksanakan untuk mengetahui simpangan

horisontal terbesar sebaran teoritis dan sebaran empiris (selisih atau

∆ nya). Adapun tahapan pengujiannya adalah sebagai berikut :

- Banyaknya data (n) = 20

- Taraf siginifikan  = 5%

- Dengan n = 20 dan  = 5%, maka dari lampiran tabel 4.7.

hubungan antara n dan  dapat dicari harga kritis (∆cr) untuk

Uji Smirnov Kolmogorov, yaitu (∆cr) = 0,29

  20  20  
∆cr =  , (0,29  0,29 ))  0,29
  20  20  
87

= 0 + 0,29

∆cr = 0,29

Maksud dari  = 5% (taraf signifikan 5% artinya) : kira-

kira lima dari 100 kesimpulan bahwa keterangan akan menolak

hipotesa y yang seharusnya diterima atau kira- kira 95% yakin

bahwa kita telah membuat suatu kesimpulan yang benar.

Baru ke lampiran tabel (4.6) perhitungan perbedaan probabilitas

Antara Distribusi Empiris dan Distribusi Teoritis

10 . m
Kolom (5) = P = (%)
n 1

100 .1
= 20  1

P = 4,76

Kolom (6) Bisa dilihat dari lampiran gambar 4.1. grafik

hubungan antara Percent Chance of Sceuronce (P r) atau

peluang dengan XT sehingga didapat P. Dist teoritis  misal PT

= 4,60

Kolom (7)  = PO – PT(%)

= 4,76 – 4,60

= 0,16

Kesimpulan :

 P maks = 13,71% = 0,1371  0,14%

Derajad signifikan () = 5%

Tingkat kepercayaan = 95%

Banyaknya data (n) = 20


88

 kritis = 0,29 %

Karena nilai  P maks < ∆cr

Yaitu : 0,14 < 0,29 – Hipotesis diterima.

4. Dari data tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa

hipotesa Metode Log Person Type III dapat diterima dan

memenuhi syarat atau dengan kata lain karena nilai  P maks

< ∆cr , maka dapat disimpulkan bahwa data curah hujan

maksimum tahunan yang dianalisa sesuai dengan distribusi

Log Person Type III.

4.3.2. Uji Kai Kuadrat

Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui simpangan

vertikal antara sebaran empiris dengan sebaran teoritis, apakah

persamaan distribusi peluang yang akan dipilih dapat mewakili

dari distribusi sampel data yang dianalisis. Adapun langkah-

langkah pengujian tersebut adalah sebagai berikut :

Jumlah kelas distribusi (k) :

n = 20

k = 1 + 3,322 x log n

= 1 + 3,322 x log 20

= 5,3  6

Sehingga dapat dibagi dalam 6 kelas distribusi.

mencari batas kelas :

100
Pr = = 16,667
6
89

Cs = G = -0,0209 ≈ -0,021

K = 1,068 (dari hasil interpolasi C s dan Pr pada lampiran

tabel 4.10. Log Person Type III)

Sd = 0,1133

Log X = log Xrt + (G x sd)

= log 1,9568 + (1,068 . 0,1133)

= 2,078

X = 119,62

Untuk semua batas kelas pada nilai Pr selanjutnya dilakukan tahapan

yang sama

1) Misal : perhitungan kelas I :

Dengan batas kelas = 0 – 69,98

Jumlah data
Frekuensi yang diharapkan (EF) = Jumlah kelas

20
= = 3,333
6

Frekuensi yang terjadi (QF) = 2

 2  3,333  2
((QF – EF))2/ EF = = 0,533
3,333

2) 69,99 – 80,16 – EF = 3,333 OF = 2

  OF  EF  2
   2  3,333   0,533
 2

 EF  3,333
 

3) 80,17 – 90,63 – EF = 3,333 OF = 6


90

  6  3,333  2 
   2,13
 3,333 
 

4) 90,64 – 102,34 – EF = 3,333 OF = 4

  4  3,333  2 
  = 0,83
 3,333 
 

5) 102,35 – 119,62 – EF = 3,333 OF = 5

  5  3,333  2 
  = 0,83
 3 ,333 
 

6) 119,63 – EF= 3,333 OF = 1

 1  3,333  2 
  = 1,63
 3,333 
 

Selanjutnya hasil perhitungan batas kelas dapat dilihat pada

lampiran tabel 4.14.

Kesimpulan :

Dengan  = 5% dan derajat bebas (V) = 6 – 1 = 5 dari tabel harga

Uji Kai Kuadrat didapat nilai X2 kritis = 11,07

Karena : X2 hit < X2 kritis

5,78 < 11,07 – maka persamaan distribusi Log Person

Type III dapat diterima atau dapat digunakan dalam

perhitungan curah hujan rancangan.

4.4. Distribusi hujan jam- jaman

Pola distribusi hujan terpusat di Indonesia berkisar antara

4-7 jam setiap hari dan dalam kajian ini diambil 5 jam, karena data

pengamatan sebaran hujan jam-jaman di DPS Sempaja tidak


91

tersedia maka untuk perhitungan digunakan persamaan Mononobe,

adapun persamaanya adalah sebagai berikut :


2/3
R t 
Rt = 24  
t T 

R 24
Dimana : RO = dan t = 5 jam, T = 0,5 jam
t
2/3
R24  5 
Rt =  
5  0,5 

R24
R0,5 =  4,64 
5

R0,5 = 0,928 . R24 Sehingga didapat :

2/3
R24  5 
R1 =   = 0,585, R24
5  1

Hasil perhitungan selanjutnya dapat dilihat pada tabel 4.15.

Tabel 4.15. Konsentrasi hujam jam- jaman

T(Jam) RT T(Jam) RT
0,5 0,928. R24 3,0 0,281. R24
1,0 0,585. R24 3,5 0,254. R24
1,5 0,446. R24 4,0 0,232. R24
2,0 0,368. R24 4,5 0,214. R24
2,5 0,317. R24 5,0 0,200. R24
Sumber : hasil perhitungan

4.5. Nisbah Hujan jam- jaman


92

Perhitungan distribusi hujan pada setiap jam kejadian hujan

terhadap curah hujan efektif 1 hari (R24) digunakan persamaan :

Rт = t x Rt –  t  1.R  
t 1

Tabel 4.16. Rata- Rata Hujan Sampai Jam Ke T (R t) Dan Hubungan Pada
Jam t (Rt) Serta Distribusi Hujan Harian

Ja Rt RT Rasio % (R) = RT x
100 %
0,5 0,928, R24 0,928, R24 0,00
1,0 0,585, R24 0,585, R24 58,5
1,5 0,446, R24 0,446, R24 44,6
2,0 0,368, R24 0,151, R24 15,1
2,5 0,317, R24 0,124, R24 12,4
3,0 0,281, R24 0,107, R24 10,7
3,5 0,254, R24 0,097, R24 9,7
4,0 0,232, R24 0,085, R24 8,5
4,5 0,214, R24 0,074, R24 7,4
5,0 0,200, R24 0,072, R24 7,2
Sumber : Hasil perhitungan

Rт = t x Rt –  t  1.R  
t 1

R0,5 = 0,5. 0,928 . R24 – (0,5 - 1) . R (0,5 - 1)

= 0,464 R24 – (-0,5) . (-0,928)

R0,5 = (0,464-0,464) R24 = 0


93

4.6. Koefisien Aliran (C)

Tabel 4.17. Harga Koefisien Pengaliran

No T Hujan Rencana (XT) mm Koefisien pengaliran (C)


(1) (2) (3) (4)
1 2 90,63 0,22
2 5 112,80 0,25
3 10 126,39 0,28
4 15 135,12 0,29
5 20 142,50 0,30
6 25 142,69 0,31
7 50 150,22 0,35
8 100 165,44 0,39
Sumber : hasil perhitungan

Keterangan :

C = Sungai datar, 0 – 2% = 0,31 (nilai koefisien limpasan

berdasarkan kala ulang 25 tahun)

Sumber : Banjir Rencana untuk bangunan air, Ir. Joesron, M. Eng,


Departemen Pekerjaan Umum, Yayasan Penerbit Pekerjaan Umum,
Jakarta, 1992

4.7. Hujan Netto

Hujan netto adalah merupakan bagian dari hujan total yang

menghasilkan limpasan langsung (direct run off), dimana nilai sangat

dipengaruhi oleh nilai C (koefisien limpasan). Hasil perhitungan

hujan netto secara lengkap dapat dilihat pada lampiran tabel 4.18.

dan 4.19.

97

tabel 4.18. Curah hujan Netto Jam- Jaman


Rn = C . R
94

No T C (R) - XT (mm) Rn (mm)


1 2 3 4 (5) = (3) x (4)
1 2 0,75 90,63 19,94
2 5 0,75 112,80 28,20
3 10 0,75 126,39 35,39
4 15 0,75 135,12 39,18
5 20 0,75 142,50 42,75
6 25 0,75 142,69 44,23
7 50 0,75 150,22 52,58
8 100 0,75 165,44 64,52
Sumber : Hasil perhitungan

4.8. Perhitungan Debit Banjir Rancangan Pada Sungai Sempaja

Dengan Metode HSS. Nakayasu

Dalam menganalisa banjir rancangan terlebih dahulu harus

dibuat hidrograf banjir pada sungai yang bersangkutan. Hidrograf

banjir dihitung dengan menggunakan Metode Hidrograf Satuan

Sintetik Dr. Nakayasu. Pada studi ini perhitungan debit banjir

rancangan dibagi menjadi dua. Perhitungan hidrograf bagian yang

pertama dari bagian hulu sampai titik outlet 18, selanjutnya dari titik

outlet 18 sampai ke titik outlet 24 perhitungan debit banjir memakaii

Metode Rasional Modifikasii. Metode ini dipakai karena luas DAS

Sempaja kurang dari 0,8 km 2 disamping itu Sungai Sempaja ini

juga berfungsi sebagai saluran drainase utama, serta diperlukannya

data teknis eksisiting sungai yang dapat diambil yaitu di sepanjang

sungai yang akan dilakukan normalisasi. Sedangkan untuk

pengendalian banjir yang berupa perencanaan boezem, perhitungan

debit banjir rancangan dipakai hidrograf di titik outlet 24. Berikut ini

diberikan contoh hitungan dari hidrograf di titik outlet 18.


95

1 Ro
Q max = 3,6 . A .  0,3 T  T 
p 0, 3

Tp = Tg + 0,8 . tr

T0,3 =  . Tg

Diketahui :

- Luas DAS (A) = 9.7759 km2

- Panjang sungai (L) = 6,92 km

Di 18
titik
outle19
t

Jadi Hidrograf banjir yang terjadi akibat hujan tersebut dengan

menggunakan metode dari Nakayasu adalah sebagai berikut :

Karena, L = 6,92 km < 14 km, maka

1.Tg = 0.21 . L0,70  untuk L < 15 km

= 0.21. (6.92)0.70

= 1.752 jam ≈ 2 jam

2.Tr = 1 jam  (satuan waktu hujan)

Tp = Tg + 0.80.Tr
96

= 2 + 0.80 (1)

= 2.8 jam ≈ 3 jam

0.47( A.L ) 0.25


3.  =
Tg

0.47((9.7759).(6.92))0.25
=
1.752

= 1.84 ~ 2

4. Waktu yang diperlukan pada penurunan debit puncak sampai

ke debit sebesar 30o 10’ dari debit puncak yaitu:

T0.3 = .Tg

= 2. (2)

= 4 jam

5. Waktu yang diperlukan pada penurunan debit puncak sampai ke

debit sebesar 60o 10’ dari debit puncak yaitu:

T0.3 2 = 1.5.T0.3

= 1.5 (4)

= 6 jam

6. Debit puncak banjir akibat hujan satuan:

Ro = 1 mm (satuan curah hujan)

1 Ro
Q maks = . A.
3.6 (0.3.Tp  T0.3 )

1
1
= 3.6 (9.7759) ((0.3)(3  4))

= 0.636 m3 / dt/ mm
97

7. Dengan menggunakan rumus “HSS Nakayasu” dan dengan

menentukan parameter – parameternya akan didapat koordinat

HSS Nakayasu sebagai berikut :

a. Kurva naik

0  t  Tp

0t3
2. 4
 t 
Qt = Qmaks  
 Tp 

2.4
 0 
Q0 = 0.636   = 0.636.0 = 0 m3/dt/mm
 2.552 

2.4
 1 
Q1 = 0.636   = 0.067 m3/dt/mm
 2.552 

2.4
 2 
Q2 = 0.636   = 0.354 m3/dt/mm
 2.552 

2.4
 2.552 
Q3 = 0.636   = 0.636 m3/dt/mm
 2.552 

b. Kurva turun

Tp  t  (Tp + T03)

3  t  (3 + 4)

3t7

 t  Tp 
Qt = Qmaks .0.3   
 T0.3 

 t  2.552 
Q4 = 0.636. 0.3   3
 = 0.545 m /dt/mm
 3.504 
98

(Tp + T0.3) t (Tp + T0.3 + 1.5 T0.3)

7 t (3 + 4 + 1.5 . 4)

7 t 13

 t  Tp  0.5.T0.3 
Qt = Qmaks .0.3   
 1.5 T0.3 

 t  2.552  0.5 . 3.504 


= 0.636. 0.3   
 1.5. 3.504 

 7  2.552  0.5 . 3.504 


Q8 = 0.636. 0.3   
 1.5. 3.504 

= 0.154 m3/dt/mm

t  (Tp + T0.3+ 1.5 . T0.3)

t  (3 +4 +1.5 . 4)

t  (13)

 t  Tp  1.5.T0.3 
Qt = Qmaks .0.3   
 2 T0.3 

 t  2.552  1.5 . 3.504 


= 0.636. 0.3   
 2. 3.504 

12  2.552  1.5 . 3.504 


Q13 = 0.636. 0.3   
 2. 3.504 

= 0.051 m3/dt/mm

Hasil perhitungan hidrograf HSS. Nakayasu untuk titik outlet 18

dapat dilihat pada lampiran tabel 4.20 , gambar grafik hidrografnya

pada gambar 4.5. Sedangkan untuk titik outlet 24 pada tabel 4.29.

dan gambar grafik 4.14. Sedangkan gambar grafik Hidrograf Banjir

Rancangannya pada gambar 4.23.

4.9. Perhitungan Saluran Drainase Kota Dengan Metode Rasional


99

Sebelum melakukan perencanaan saluran drainase dilakukan

perhitungan terhadap kapasitas saluran eksisting. Tujuannya adalah

untuk membandingkan hasil antara debit eksisting dengan debit

rencana, sehingga bisa ditentukan apakah perlu dibangun lagi

saluran drainase baru atau cukup hanya merehabilitasi saluran yang

lama. Adapun hasil perhitungan kapasitas saluran eksisting dapat

dilihat pada tabel 4.38. Dalam perencanaaan saluran drainasenya

dipakai Metode Rasional Modifikasi. Metode ini banyak digunakan

dalam perencanaan saluran drainase per segmen. Adapun

pertimbangan penggunaan metode ini karena :

- Ada pembuangan atau drainase utama dari pemukiman yang

direncanakan dengan T = 10 th

- Dari Q drain = Q hujan + Q air domestik  dihitung Q sungai

bagian hilir

Untuk saluran drainasenya (saluran drainase utama) berada pada

Jalan:

1. Wahab Syahrani

2. Wahid Hasyim

3. Pertahanan

Keterangan:

4.9.1. Perhitungan debit rencana saluran drainase

Contoh perhitungan debit rencana pada Jalan Wahab Syahrani :

1. Wahab Syahrani kiri dan kanan

Bagian kiri dengan luas (A) = A22 = 1.3502 km2


100

A (L1) = 0.425 km2

Bagian kanan dengan luas (A) = A (L2) = 0.599 km 2

Wahab Syahrani lanjutan :

Bagian kiri A26 = 0.1935 km2

A28 = 0.3546 km2

Bagian kanan dengan luas A34 = 0.2533 km2

* Dari QII (Saluran di Jl. Wahab syahrani ini ) bisa langsung

dibuang ke Sungai Sempaja, atau bertemu di persimpangan

dengan buangan dari JL. Wahid Hasym dan Jl. Pertahanan.

1
Rumus Rasional Modifikasi yaitu : Q = .Cs. C. I. A
3 .6

Wahab Syahrani

1. Nilai koefisien limpasan (C)  penggunaan lahan di daerah ini

adalah:

- Belukar dengan nilai C = 0.30 – seluas A22 = 1.3502 km2

- Ladang dengan nilai C = 0.30 – seluas A (L 1) = 0.425 km2

(.30 x1.3502)  (0.425 x0.30 )


C =
1.3502  0.425

0.5326
=
1.7752

= 0.3

2. Panjang saluran

Kiri dan kanan = (3249 -649.8) m = 2599.2 m/2 = 1.299.6 m

Lanjutan = 1/5x3249 km = 649.8 m


101

Nilai C untuk lanjutan Wahab Syahrani:

- Dengan A26 = 0.1935 km2

C = 0.30 (belukar/hutan dengan kondisi sedang

dengan rumput penutup sedang, datar

0-2%)

A28 = 0.3546 km 2 – nilai C =0.83 (pemukiman padat)

(0.30 x0.1935 )  (0.83 x3546 )


Jadi : C =
0.1935  0.3546

0.3524
=
0.5481

= 0.64

3. Waktu konsentrasi
0.77
 L 
t1 = 0.0192    S = 0.0025
 S

0.77
 1299.6 
= 0.0192  
 0.0025 

48.16
= menit
60

= 0.80 jam

L
t2 =  V untuk soal beton = 1.5 m/dt (lihat tabel)
V

1299.6
=
1 .5

= 866.4 menit = 14.44 jam

tc = t1 + t2
102

= (0.80 + 1.44) jam

= 15.24 jam

4. Intensitas hujan
2/3
R24  24 
It1 =  untuk X10 = 126.9 mm/jam
24  tc 

2/3
126 .39   24 
I10(1) = 
 29   7.69 

= 11.25 mm/jam

2/3
126.39   24 
I10(2) =   
 29  15.24 

= 7.13 mm/jam dst

2Tc
5. Cs =  dimana : Ts = T2
2Tc  Ts

2(15.24 )
Kiri -Cs1 =
2(15.24 )  1.44

= 0.68

2(30.25 )
Cs2 = = 0.68
2(30.25 )  28.88

2(37.73)
Cs3 = = 0.68
2(37.73 )  36.10

Hitungan : C.A  A = A (A perbagian)

Kiri - C1A1 = 1.3502 x 0.3

= 0.41
103

C2A2 = 0.425x0.3

= 0.13

C3A3 = 0.5481 x 0.64

= 0.35

Jumlah setelah di + dengan per segmen/bagian kiri

Kiri - CiAi  0.41

0.41+0.13 = 0.54

0.51+0.35 = 0.89

Q banjir  Rumus Rasional Modifikasi

1
Q1 = .Cs.C.I.A
3.6

Q1 = 1/3.6. Cs. (ΣC.A) . I

1
= (0.68)(0.41)(7.13)
3.6

= 0.546 m3/dt

4.9.2. Perhitungan Debit Air Buangan Rumah Tangga

(Domestik)

- Jumlah penduduk yang masuk dalam daerah studi =

36074 orang

- Standar kebutuhan air bersih rata – rata per orang per hari

sebesar 120 lt/orang/hari

Jadi perhitungan kebutuhan air bersih rata – rata per orang per hari

dengan Metode Degremont adalah sebagai berikut :

1. 90% x120lt/orang/hr = 108 lt/orang/hr


104

2. 108 lt/orang/hrx1,25 = 135 lt/orang/hr

3. 135 lt/orang/hrx0,9 = 121,5 lt/orang/hari di jadikan ke

lt/orang/jam

121,5lt / orang / hr
4. 24 jam
= 5,06 lt/orang/jam

2,5
5. P = 1,5 + 5,06
= 2,61 lt/orang/jam

6. Total air buangan domestik adalah :

Q buangan domestik = C . p . jumlah penduduk

= 5,06 . 2,61 . 36074

= 476.414,89 lt/jam --------- lt/dt

476.414,89lt
=
3600dt

= 132,34 lt/dt ------------------ m3/dt

= 132,34 . 10-3 m3/dt

= 0,132 m3/dt

Dari hasil perhitungan diketahui Q air buangan domestik =

0,132 m3/dt.

Jadi besarnya Q Rencana adalah :

Q Rencana = Q banjir + Q air buangan domestik

= (0,546 + 0,132) m3/dt.

= 0,678 m3/dt ≈ 0.70 m3/dt

Hasil perhitungan debit rencana tiap segmen saluran dapat dilihat

pada tabel 4.39.

4.9.2. Perencanaan Dimensi Saluran Drainase


105

Dalam perencanaan dimensi saluran drainase Kota Sempaja

tetap perlu memperhatikan saluran drainase eksisting, seperti yang

terlihat pada tabel 4.38. yaitu perhitungan kapasitas saluran

eksisting yang ada, dan untuk mempermudah pelaksanaan di

lapangan dari hasil perhitungan dilakukan pembulatan. Berikut ini

diberikan salah satu contoh perencanaan dimensi saluran drainase

yaitu pada Jalan Wahab Syahrani kiri dan kanan.

1. Jl. Wahab Syahrani Kiri:

Q = 1.90 m3/dt

m = 0.5 (saluran dari beton)

n = 0.016 (saluran beton kondisi baik)

V = 1.50 (kecepatan aliran air yang diijinkan untuk

saluran beton)

Perencanaanya :

Q = A.V

Q
A =
V

1.90m 3 / dt
A =
1.50m / dt

= 1.27 m2 ≈ 1,30 m2

Perbandingan b:h yang dianjurkan sesuai kapasitas saluran

Untuk

Q = 1.92 m3/dt  b:h = 2.5  b = 2.5 h


106

A = (b.m.h)h

1.30 = (2.5 h + 0.5h)h

1.30 = 2.5h2+ 0.5 h2

1.30 = 3h2

1.30
h =
3

h = 0.65 m

b = 2.5h

= 2.5 (0.65)

= 1.63 m ≈ 1,70 m

P = b + 2h m 2  1

= 1,70 + 2(0.65) (0.5)2  1

= 3.15 m

A
R =
P

1.30 m 2
=
3.15 m

= 0.42 m

1 2/3 1/2
V = .R . S
n

2
 V.n 
S =  2/3 
 (R ) 

1.5(0.016 ) 
=  2/3 
 (0.42) 
107

= 0.0018

Freeboard (jagaan)

Untuk Q antara = (1.5-85) m3/dt yaitu := 1.92 m3/dt

Maka : f = 0.75 m

H = h+f

= 0.65 + 0.75

H = 1.40 m

T = b + 2mH

= 1,70 + 2(0.5) (1.5)

= 3.10 m

T = 3.10 m

0.75

H = 1.40 m 1 1 0.65
0.5 0.5

b = 1.70 m

2. Wahab Syahrani kanan

Q = 1, 00 m3/dt

m = 0.5

h = 0.016

V = 1.50 m/dt

Perencanaan:

Q = A.V
108

Q
A =
V

1.00 m 3 / dt
=
1.50 m / dt

= 0.66 m2 ≈ 0,70 m2

A = (b + mh) h

Untuk Q antara = 0.5-1 m3/dt yaitu = 0.96 m3/dt

b/h = 1.5

b = 1.5 h

A = (b + mh) h

0.70 = (1.5 + 0.5 h)h

0.70 = 2h

0.70
h = = 0.59 m ≈ 0,60 m
2

b = 1.5 h

= 1.5 (0.60) = 0.90 m ≈ 1,00 m

P = b+2h m 2  1

= 1.00 + 2 (0.60) (0.5) 2  1 = 2.30 m

A
R =
P

0.70m 2
= = 0.30 m
2.3m 2
109

2
 V.n 
S =  2/3 
 (R ) 

2
1.5.(0.016 ) 
=  2/3 
 ( 0 .3 ) 

= 0.0029

Freeboard atau jagaaan ( f )  karena Q = 0.96

m3/dt terletak pada Q = 0.75 -1.50 m3/dt

maka f = 0.60 m

H = h.f

= (0.60 + 0.60)m

= 1.20m

T = b + 2 mH

= 1.00 + 2(0.5) (1.20)

= 2.20 m

T = 2.20m

0.60m

H = 1.20 m 1 1 0.60m
0.5 0.5

b = 1.00 m
110

Selanjutnya hasil perencanaan dimensi saluran Drainase Sempaja dapat

dilihat pada tabel 4.41.

1’

3’ 3’
3’ 3’

2’
3’ 3’
3’ 3’

3’ 3’
2
3’ 3’

1
A

4'

Gambar 4.24. Skema Jaringan Sungai Sempaja

Keterangan :

1 = Upstream Sungai Sempaja

1’
111

= Sungai Utama di Bagian Hulu

= Sungai Utama
2’
= Anak Sungai Sempaja
3’
A = Outlet dari Sungai Sempaja

4’ = Down-Stream Sungai Sempaja

1 2 3 = Saluran Drainase Eksisting

4.10. Upaya Penanganan

Dari hasil analisa profil muka air Sungai Sempaja pada

kondisi eksisting, dapat diketahui bahwa daerah sepanjang aliran

merupakan daerah rawan banjir dan semua ruas mengalami

limpasan. Sungai Sempaja yang mendapat pengaruh pasang surut

dari Sungai Karang Mumus hingga sepanjang 4,70 km,

mempunyai panjang sekitar 10,92 km, dengan lebar dasar sungai

5 m, dan lebar puncak 5,5 m, kedalaman sungainya 1,60 m, serta

luas daerah aliran sungainya 16,10 km 2. Sungai Sempaja juga

dimanfaatkan sebagai saluran pembuang untuk daerah sekitarnya

yaitu seluas 6,8741 km2. Berdasarkan hitungan hydrograf banjir

dengan periode ulang 25 tahun diketahui debit banjirnya sebesar

98 m3/dt.

4.10.1. Debit banjir rencana


112

Untuk memperoleh debit banjir rencana (Q R) , maka debit

banjir hasil perhitungan ditambahkan dengan kandungan sedimen

yang terdapat dalam aliran banjir sebesar 10 %, serta besarnya

aliran buangan. Sehingga diperoleh hasil sebagai berikut :

QR = 88,44 m3/dt + 10 % Q banjir berupa sedimen + air buangan

= 88,44 m3/dt + (10% . 88,44 m3/dt) + 0,132 m3/dt

= 88,44 m3/dt + 0,8844 m3/dt) + 0,132 m3/dt

= 97,416 m3/dt ≈ 98 m3/dt

Jadi besarnya debit banjir rencana yang akan melewati Sungai

Sempaja sebesar 98 m3/dt.

Sebagai upaya untuk menangani masalah air banjir tersebut, maka

akan diusulkan 3 alternatif penanganan sebagai berikut :

a. Normalisasi sungai

b. Pemanfaatan retarding basin (boezem).

c. Gabungan antara Normalisasi sungai dan retarding basin

(boezem).

4.10.2. Normalisasi sungai

Normalisasi sungai disini adalah rencana perbaikan alur yaitu

dengan menentukan bentuk rencana penampang sungai dan

menghitung dimensi sungai. Dimana bentuk penampang Sungai

Sempaja direncanakan tetap berpenampang trapesium.

Batasan-batasan yang digunakan untuk menentukan dimensi

penampang sungai sebagai berikut :


113

- Perbaikan penampang sungai dilakukan dengan memperhatikan

keadaan sungai yang sudah ada (eksisting sungai).

- Bentuk penampang sungai yang dipakai adalah penampang

berbentuk trapesium, karena mudah dalam pelaksanaannya dan

akan didapat efisiensi yang cukup tinggi dalam menampung debit

air.

- Dimensi penampang melintang sungai didasarkan atas besarnya

debit banjir maksimum yang direncanakan.

- Kemiringan tebing sungai direncanakan 1 : 0,5 sedangkan

kemiringan memanjang sungai tidak diubah mengingat kondisi

dasar sungai yang tidak beraturan.

Contoh perhitungan perencanaan dimensi Sungai Sempaja 1.

Diketahui :

Q = 22 m3/dt

m = 0.5 (saluran dari beton)

n = 0.016 (saluran beton kondisi baik)

V = 1.50 (kecepatan aliran air yang diijinkan untuk

saluran beton)

Perencanaanya :

Q = A.V

Q
A =
V

22m 3 / dt
A = = 14,67 m2 ≈ 15 m2
1.50m / dt
114

Perbandingan b:h yang dianjurkan sesuai kapasitas saluran

Untuk :

Q = 22 m3/dt  b:h = 5 b=5h

A = (b.m.h)h

22 = (5 h + 0.5h)h

22 = 2.5h2+ 0.5 h2

22 = 5,5h2

15
h =
5,5

h = 1,65 m ≈ 1,70 m

b = 5h

= 5 (1,70)

= 8,25 m ≈ 8,30 m

P = b + 2h m 2  1

= 8,30 + 2(1,70) (0.5)2  1

= 11,98 m

A
R =
P

15 m 2
=
12 m

= 1,25 m
115

1 2/3 1/2
V = .R . S
n

2
 V.n 
S =  2/3 
 (R ) 

1.5(0.016) 
=  2/3  = 0.00044
 (1,30) 

Freeboard (jagaan)

Untuk Q = 22 m3/dt, maka : f = 0.75 m

H = h+f

= 1,70+ 0,75

H = 2,57 m ≈ 2,75 m

T = b + 2mH

= 8,30 + 2(0.5) (2,75)

= 10,70 m ≈ 11,00 m

T = 11,00
mm.
0.75

H = 2.75 m 1 1 2.00
0.5 0.5 m

b = 8.30 m
116

Untuk hasil perencanaan tiap segmen pada Sungai Sempaja ini, bisa

dilihat pada tabel 4.42.

4.10.3. Perhitungan besarnya air yang dapat dialirkan oleh sungai

setelah dilakukan normalisasi sungai.

Dari hasil perencanaan normalisasi Sungai Sempaja baik Sempaja

1,2, dan 3 (tabel 4.42), pelaksanaan normalisasi sungai dilaksanakan

pada ketiga segmen sungai tersebut. Adapun panjang sungai yang

dinormalisasi adalah Sungai Sempaja 1 (segmen 19) sepanjang

1300 m, Sungai Sempaja 2 (segmen 22) sepanjang 700 m, dan Sungai

Sempaja 3 (Segmen 23) sepanjang 2700 m. Letak ketiga segmen

tersebut dapat dilihat pada gambar 4.26. yaitu arah aliran pada

segmen sungai. Di bawah ini diambil sebagai contoh adalah dimensi

Sungai Sempaja yang terbesar yaitu Sungai Sempaja 3, dengan data

teknis sebagai berikut :

- Lebar puncak sungai (T) = 15,87 m2 ≈ 16 m

- Lebar dasar sungai (b) = 12,60 m ≈ 13 m

- Tinggi muka air (h) = 3,25 m

- Kemiringan dinding sungai (m) = 0,5

Dengan melihat kondisi eksisting di lapangan, perlu diingat bahwa

daerah yang dianalisis dalam studi ini merupakan pemukiman yang

padat. Maka untuk melakukan normalisasi sungai selebar 16 m tidak

dimungkinkan, karena letak bantaran sungai yang sempit akibat

padatnya pemukiman. Sehingga perencanaan normalisasi sungai sulit


117

untuk dilakukan karena harus membebaskan lahan yang cukup mahal,

belum lagi masalah sosial yang akan muncul. Disamping itu apabila

lebar sungai diperbesar maka lintasan aliran banjir tidak dapat

dipastikan. Dan seandainya dimensi sungai tetap, maka akan terjadi

limpasan pada tanggul sungai. Limpasan air ini dapat menyebabkan

jebolnya tanggul, karena daya tampung sungai tidak memenuhi.

Apabila kedalaman sungai diperdalam , sungai akan mempunyai gaya

tarik yang besar. Hal ini perlu diwaspadai keamanannya apalagi bila

dibangun di dekat pemukiman. Pada studi ini kemiringan dasar sungai

tidak dirubah, dan apabila diperlukan perubahan sebaiknya

dilaksanakan sedikit demi sedikit (tidak dilaksanakan secara

mendadak). Kemiringan dasar sungai yang dilaksanakan secara

mendadak akan menyebabkan sungai menjadi lebih landai, karena

pada titik transisisnya akan terjadi proses pengendapan dan tentunya

akan diikuti dengan penyempitan penampang basah sungai.

Sehingga pada waktu banjir dapat terjadi luapan, karena perubahan

kapasitas penampang menjadi lebih kecil. Dan apabila pengendapan

berlangsung secara terus menerus, terutama pada daerah hulu akan

menyebabkan terjadinya luapan dan genangan baru yang semakin

luas. Sedangkan tanggul direncanakan disepanjang bantaran sungai.

Akan tetapi hal tersebut dapat dikatakan tidak ekonomis karena

volume tanah yang dibutuhkan menjadi sangat besar, disamping itu

untuk memperoleh bahan urugan dengan volume besar dan kualitas

yang bagus sulit diperoleh. Mengingat bahan urugan tanggul haruslah


118

merupakan bahan yang sangat mudah penggarapannya dan tidak

mudah mengalami keruntuhan. Disamping itu daerah yang

akan direncanakan tanggul merupakan daerah bantaran sungai yang

cukup padat sebagai tempat pemukiman. Dimana pada daerah yang

padat perolehan areal tanah untuk kedudukan mercu tanggul sangat

sulit, dan memerlukan biaya yang mahal untuk pembebasan lahan.

Sebagai alternatifnya perencanaan tanggul bisa direncanakan dengan

mercu yang tidak lebar dan kemiringan lereng tanggul yang agak

curam atau tegak, namun hal ini harus didukung oleh daya dukung

tanah yang bagus agar diperoleh stabilitas konstruksi yang baik pula.

Dari analisis tersebut di atas, jika pembangunan normalisasi sungai ini

dilaksanakan, maka harus memperhatikan kondisi di lapangan.

Mengingat lebar lahan yang masih tersisa di lapangan hanya kurang

lebih 15 m saja, maka pelaksanaan normalisasi sungai direncanakan

dengan kapasitas penampang saluran yang paling optimum. Adapun

syarat kapasitas saluran yang optimum adalah B = 2h. Apabila

diketahui h = 3,25 m, sehingga bisa dihitung lebar puncak sungai

adalah B = 2. (3,25) = 6,5 m, dan untuk lebar dasar sungai tetap 5 m.

Sedangkan mercu tanggul kiri dan kanan diambil masing-masing 1,5

m, dengan kemiringan dinding m = 0,5. Sehingga luas penampang

sungai menjadi :

Luas (A) = ( 6,5 + 5 ) /2 * (3,25) = 18,69 m2

Besarnya aliran yang dapat melewati sungai, setelah sungai

dinormalisasi adalah :
119

Debit (Q) = ( A x V )

= 18,69 m2 x 1,5 m/dt = 28,031 m3/dt

Jadi besarnya kapasitas debit yang mampu dialirkan oleh Sungai

Sempaja setelah dinormalisasi sebesar 28,031 m 3/dt, dari kapasitas

eksisting sebesar 15 m3/dt. Berarti sisa debit yang masih akan

melimpas dari Sungai Sempaja adalah sebesar :

Q sisa = Q banjir rencana – Q sungai yang dinormalisasi

Q sisa = ( 98 – 28,031 ) m3/dt

Q sisa = 69,969 m3/dt ≈ 70 m3/dt

Jadi besarnya aliran banjir yang akan melimpas dari sungai setelah

dinormalisasi adalah sebesar 70 m3/dt, yang merupakan debit banjir

sisa secara keseluruhan atau total . Ternyata dengan adanya

normalisasi Sungai Sempaja baik 1, 2 dan 3, dimana total panjang

sungai yang dinormalisasi sepanjang 4700 m, masih belum mampu

menampung debit banjir sisa secara keseluruhan. Maka untuk

menampung sisa debit banjir secara keseluruhan sebesar 70 m 3/dt ini,

maka dibuat alternatif penanganan yang ke 2 yaitu pembuatan

retarding basin (boezem).

4.10.4. Perencanaan retarding basin (boezem)

Sebagai upaya untuk mengurangi luapan banjir yang terjadi di

Sungai Sempaja, dengan melalukan normalisasi ternyata masih

belum mampu mengatasi luapan banjir yang terjadi. Maka dibuat

tampungan banjir sementara yang disebut retarding basin (boezem).

Fungsi utama boezem disini adalah menampung sementara debit


120

akibat limpasan curah hujan ketika air laut pasang dan melepas atau

membuang debit ketika air laut sudah surut.

Adapun besarnya volume air yang harus ditampung jika terjadi kondisi

ekstrim adalah dengan jalan menghitung volume air banjir ditambah

aliran yang membawa sedimentasi sebesar 10% dari debit banjir yang

terjadi serta air buangan domestik kemudian dikurangi dengan

kapasitas tampungan sungai yang sudah dinormalisasi.

Berikut ini adalah beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam

perencanaan boezem yaitu antara lain :

1. Mengenai letak boezem, pada studi ini rencananya boezem

diletakan pada bagian hilir sendiri atau dekat dengan outlet,

karena berfungsi sebagai tampungan sementara.

2. Agar kapasitas dan fungsi dari boezem bisa optimal, maka

sebaiknya dipilih lokasi pada daerah yang memiliki ruang bebas.

1. Perencanaan kapasitas boezem

Dalam perencanaan boezem kita dapat menetapkan terlebih

dahulu yaitu merencanakan lebar pintu outlet atau luas dari boezem itu

sendiri, sehingga akan diperoleh elevasi air tertinggi pada boezem

yang dapat dikatakan aman dari luapan atau limpasan air.

Formulasi / Langkah Kerja Perencanaan Pelimpah Samping pada

Boezem Sempaja :

1. Menghitung hidrograf banjir rancangan dengan Metode

HSS.Nakayasu.

2. Menghitung debit yang akan masuk / ditampung oleh Boezem.


121

Qi+1 = Qt+1 - Qs

Dimana : Qi+1 = debit inflow pada periode awal (m3/dt)

Qt+1 = Debit puncak banjir pada periode awal (m3/dt)

Qs = Debit sungai normalisasi (m3/dt)

Contoh perhitungannya :

Q inflow =Qbanjir - Q normalisasi

Q inflow = (39,323 – 28,031) m3/dt = 11,292 m3/dt

Hasil hitungan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.43.

Catatan : untuk Q inflow = 0,000 m3/dt, maksudnya adalah

bahwa debit total banjir di bawah kapasitas debit normalisasi

dianggap langsung bisa dibuang atau langsung bisa dilewatkan

penampang sungai yang sudah dinormalisasi.

3. Menghitung volume yang akan ditampung oleh Boezem.

 Qi  Qi 1 
Volume V =   .∆t
 2 

4. Menghitung volume komulatif yang akan ditampung oleh Boezem

(volume kumulatif ini dipakai sebagai dasar kapasitas tampungan

Boezem).

in
 Qi  Qi 1 
Volume kumulatif = V =  
11 2
.t

5. Mendimensi boezem dengan dasar kapasitas yang ada.

6. Membuat konsep mekanisme kerja pintu.

7. Mengolah data pasang surut air laut sebagai dasar untuk

perencanaan pintu pembuang / penguras.


122

8. Menghitung lebar pintu yang akan dipakai untuk membuang air di

boezem.

9. Menghitung kebutuhan tampungan minimum.

10. Melakukan kontrol / cek terhadap dimensi Boezem.

11. Melakukan kontrol / cek kebutuhan tampungan minimum dengan

tampungan yang ada.

12. Menghitung besarnya Q outflow yang akan dibuang memakai

rumus : Q = K.μ.a.b. 2.g.h

13. Menghitung besarnya volume outflow yang akan dibuang .

14. Menghitung tinggi bukaan pintu.

15. Melakukan cek / kontrol terhadap kemampuan pintu yang sudah

direncanakan dengan dasar :

Q inflow ≈ Q outflow atau Q inflow = Q outflow

Dengan mengetahui besarnya volume kumulatif boezem, dan

mengetahui luas lahan yang tersedia yaitu seluas 80 ha atau

80.000 m2, maka bisa direncanakan berapa dimensi dari boezem

tersebut. Untuk tujuan keamanan maka perencanaan volume

kumulatif boezem yang terpakai adalah volume kumulatif itu sendiri

ditambah 20% untuk angka keamanan. Elevasi dasar boezem

direncanakan + 0,30 m ARP dan elevasi tanggul boezem sama

dengan elevasi tanggul sungai yaitu +3,30 m ARP. Bentuk

boezem direncanakan berbentuk persegi panjang.


123

Dari sini dapat dihitung volume tampungan boezem terpakai adalah :

Volume boezem (V) = volume kumulatif + 20% volume kumulatif

Volume boezem (V) = (1.280.347,200 + 20% (1.280.347,200)) m 3

Volume boezem (V) = 1.536.416,640 m3

Volume boezem (V) = luas x kedalaman

1.536.416,640 m3 = A x (3,25 – 0,3) m

1.536.416,640 m3 = A x (2,95) m

1.536.416,640
(A) = 2,95
= 520.819,200 m2

Dengan melihat ukuran lahan yang, dapat dihitung berapa panjang (l)

dan lebar (b) Boezem Sempaja :

Luas (A) = panjang (l) x lebar (b)

520.819,200 m2 = 1125 m x (l)

520.819,200
b = = 462,95 m ≈ 500 m
1125

Jadi dimensi dari Boezem Sempaja adalah :

- Panjang (l) = 1125 m

- Lebar (B) = 500 m

- Kedalaman Boezem (h) = 2,95m ≈ 3 m

Peta rencana lokasi normalisasi dan boezem , serta potongan

melintang boezem dapat dilihat pada gambar 4.27, a dan b.

2. Perencanaan panjang mercu inlet

Metode Bilangan
124

Metode ini didasarkan pada pemecahan masalah secara analisis

yang diberikan oleh De Marchi. Dengan mengandaikan bahwa aliran

adalah subkritis, panjang bangunan pelimpah dapat dihitung sebagai

berikut :

1. Di dekat ujung bangunan pelimpah, kedalaman aliran h 0 dan debit

Q0 sama dengan kedalaman dan debit potongan saluran di

belakang pelimpah. Dengan H0 = h0 + v02/2g tinggi energi di

ujung pelimpah dapat dihitung.

garis energi

H v2/2g Ho

h c h x ho h c

kemiringan dasar
x o
∆x B

Gambar 4.28. Sketsa definisi untuk saluran dengan pelimpah samping

2. Pada jarak ∆x di ujung hulu dan hilir bangunan pelimpah tinggi

energi juga H0, karena sudah diandaikan bahwa tinggi energi di

sepanjang pelimpah adalah konstan.

Hx = hx + vx2/2g

= hx + Qx2/2g Ax2
125

dimana Qx adalah debit Q0 potongan hilir ditambah debit q x, yang

mengalir pada potongan pelimpah dengan panjang ∆x.

( h0  c)  (hx  c)3 / 2
qx = μ∆x 2g
2

Andaikan H0 = hx menghasilkan qx = μ∆x 2 g ( h0  c )3 / 2

dan Qx = Q0 + q. Dengan Qx ini kedalaman hx dapat dihitung dari

hx = Hx – Qx2/2g Ax2

Koefisien debit μ untuk mercu pelimpah harus diambil 5% lebih kecil

daripada koefisien serupa untuk mercu yang tegak lurus terhadap

aliran.

3. Setelah hx dan Qx ditentukan, kedalaman air h 2x dan debit Q2x akan

dihitung untuk suatu potongan pada jarak 2∆x di depan ujung

pelimpah dengan cara yang sama seperti yang dijelaskan pada

nomor dua (2). Q0 dan h0 harus digantikan dengan Qx dan hx, dalam

langkah kedua ini Qx dan hx menjadi Q2x,, q2x dan h2x.

4. Perhitungan-perhitungan ini harus diteruskan sampai Q nx sama dengan

debit banjir rencana potongan saluran dibagian hulu bangunan

pelimpah samping. Panjang pelimpah adalah n∆x dan jumlah air lebih

yang akan dilimpahkan adalah Qnx – Q0.

Adapun tahapan perencanaan pelimpah samping adalah sebagai

berikut :

Perencanaan Pelimpah Samping


126

1. Dari hasil perhitungan debit banjir yang akan ditampung oleh

boezem adalah 70 m3/dt. Untuk angka keamanan maka debit

yang akan melimpas melalui pelimpah samping harus ditambah

10% dari debit yang akan ditampung oleh boezem. Jadi besar

debit rencana yang akan mengalir melewati pelimpah samping

adalah sebesar = Debit boezem + 10%. Debit boezem

Debit boezem (Qb) = (70 + (10%.70)) m3/dt = 77 m3/dt

Jadi debit boezem yang terpakai (Qb) adalah sebesar ≈ 77 m3/dt

2. Perhitungan profil aliran di ujung hilir limpasan samping.

h c

Gambar 4.29. Tinggi muka air di atas pelimpah samping

3. Mencari Tinggi Muka Air Di Atas Mercu (h)

Q = A.V

1
= (b + mh).h) ( . R 2 / 3 . S1/ 2 )
n

nQ = (108 + 0,5.h 2 ) (R 2 / 3 . S 1 / 2 )

108h  0,5h 2 2 / 3
nQ = (108h + 0,15.h 2 ) 3 / 3 ( ) (0,00024) 1 / 2
108  2,24h
127

0,016(212,06) (108h  0,5.h 2 )5 / 3


1/ 2 = ……….. dicoba h = 2,74 m
(0,00024) (108  2,24.h) 2 / 3

(108.2,74  0,5.(2,74) 2 )5 / 3
218,90 =
(108  2,24  2,74) 2 / 3

2918,43
218,90 = 13,40

218,90 ≈ 217,80

Jadi tinggi muka air di atas mercu adalah

= 2,74 m – C = 2,74 m–1,87 m = 0,57 m ≈ 0,60 m.

4. Menentukan koefisien debit (μ)

Untuk menentukan koefisien debit (μ) maka :

H0 = 1,08 m

C 1,87
W = C = 1,87 m ; = 1,08 = 1,73 dengan
H0

W
menghubungkan nilai = 1,78 pada grafik variasi C0
H0

W
dengan (sumber : Rangga Radju, Aliran Melalui Pelimpah
H0

Samping ; 246), maka didapatkan nilai koefisien debit © = 0,73.

5. Menentukan Panjang Pelimpah Samping Dengan Metode De

Marchi.

Untuk menentukan panjang pelimpah samping dilakukan secara

analisis. Metode ini telah dikembangkan oleh De Marchi.

Adapun tahapan metode tersebut adalah dengan


128

mengandaikan bahwa aliran adalah subkritis, sehingga

panjang bangunan pelimpah dapat dihitung sebagai berikut :

1. Menghitung debit yang akan ditampung atau melewati

pelimpah (Qo)

2. Menentukan jarak perpias (∆x)

garis energi

H v2/2g Ho

h c h x ho h c

kemiringan dasar
x o
∆x B

Gambar 4.30. Sketsa definisi bangunan pelimpah samping

3. Menghitung luas per pias (Ao)

4. Menghitung kecepatan per pias (Vo)

5. menghitung Kedalaman aau ketinggian tanggul per pias (H o)

6. menghitung debit per pias (qx)

7. Untuk selanjutnya mencoba pias yang ke 2 yaitu (∆x2), dengan

cara yang sama hitung nilai qx2 dan hitungan dihentikan apabila

sudah didapatkan ∑qx nilainya sama dengan atau mendekati nilai

Qo.

8. Didapatkan nilai ∑(∆x) sebagai panjang pelimpah dengan debit

yang akan dilimpahkan sebesar ∑qx.


129

Contoh perhitungan sebelum pembulatan (lihat gambar 4.30) di

atas :

- Elevasi dasar saluran sebelum boezem = + 0,3 m

- Elevasi muka air sungai = + 2,90 m

- Elevasi puncak mercu pelimpah = + 2,30 m

- Lebar saluran sebelum ke boezem = 108 m

- m=1

- Langkah perhitungannya :

1. Q0 = 77 m3 / dt

2. ∆x = 6 m

A0 = ( b + m.h0).h0

= (108 + 0,5 . 2,90) . 2,90

= 317,4 m2

Q0= A0 . V0

Q0
V0 =
A0

77
V0 = 317,4 = 0,24 m/dt

Vo 2
3. H0 = h0 +
2g

(0,24) 2
= 2,90 + = 2,90 m
2.9,81

diambil tiap lebar pias = 6 m

andaikan ∆x = 6 m, koefisien debit (μ) untuk pelimpah = 0,73

(untuk pelimpah samping diambil 95%).


130

q x = μ. ∆x. (h0 – C)3/2

=  (0,694)(0,730)(6)  2,90  1,87  3 / 2

= 4,35 m3/dt

Qx = Q0 + qx

= 77 + 4,35 = 81,35 m3/dt

Ax = (b + m.h).h

= (108 + 0,5.2,90).2,90 = 314,7 m2

Qx
Vx =
Ax

77
= 314,7 = 0,66 m/dt

Qx 2
hx = h 0 - ( 2 g . Ax 2 )

 77  2
= 2,90 -
2.(9,81).(128,25) 2

= 2,90 – 0,020

= 2,90 m

4. Perhitungan dilanjutkan sampai Qnx adalah samadengan atau

mendekati debit banjir rencana yang akan masuk ke boezem.

Panjang bangunan pelimpah adalah n∆x dan jumlah kelebihan air

yang akan dilimpahkan adalah Qnx = Qo

Dengan cara yang sama dapat dilhasilkan seperti yang sudah

dijelaskan pada poin 4 (empat) dan untuk hasil perhitungan

selanjutnya lihat tabel 4.44. Dari hasil perhitungan didapatkan

panjang bangunan pelimpah samping adalah 108 m, dengan


131

kemampuan melimpahkan debit sebesar 78, 29 m 3/dt > 77 m3/dt

(debit yang akan ditampung oleh boezem) -------- (Aman)

6. Penentuan tinggi elevasi puncak mercu sampai tanggul (H)

Penentuan elevasi puncak mercu adalah sama dengan elevasi

muka air normal akibat debit banjir rencana, sehingga selisih tanggul

dengan puncak mercu adalah sebesar 1/3h. Dengan

mempertimbangkan selisih tinggi tersebut berarti tinggi muka air di

atas mercu lebih kecil dari tinggi jagaan (free board) pada sungai.

Dalam penentuan lebar mercu ini diasumsikan pintu air dalam kondisi

tertutup, sehingga debit tertampung di boezem melalui mercu

tersebut.

Adapun langkah-langkah perhitungannya adalah sebagai berikut :

1. Kontrol nilai h hitung < 1/3h, sampai didapat nilai h hitung mendekati

1/3h.

2. h ijin = 1/3h

h ijin = 1/3(3,00)

h ijin = 1,00 m

dari hasil perhitungan tinggi muka air di atas peimpah (poin 3)

didapat tinggi muka air di atas pelimpah adalah 0,60 m. Maka

dapat dikontrol seperti pada poin 4.


132

3. Kontrol, h hitung < 1/3h,

0,60 m < 1,00 m ------------ Memenuhi (ok)

4. Tinggi pelimpah adalah :

- Kedalaman boezem = 2,95 m ≈ 3,00 m

- Tinggi mercu sampai dengan tanggul (h) = 1,00 m

- Tinggi pelimpah samping = 2,95 – 1,00 = 1,95 m ≈ 2 m

Jadi tinggi pelimpah samping adalah 2 m.

- Tinggi muka air di atas pelimpah = 0,60 m.

V2
+ 3,30
2g

+ 2,90 MAS H = 1,00 m

0.60 m

+ 2,30

h0 = 3,00m

C = 2,00m

+ 0,3
133

Gambar 4.31. Dimensi pelimpah samping

7. Perhitungan lebar pintu outlet

Pada bagian outlet boezem yang merupakan saluran

pengeluaran dari boezem ini direncanakan dengan menggunakan

pintu otomatis, dengan waktu pembuangan mengikuti siklus pasang

surut yang terjadi. Prinsip dasar untuk menentukan berapa

besarnya dimensi pintu yang secara gravitasi mampu membuang

atau mendrain debit dalam periode waktu tertentu adalah mengacu

pada kondisi kedua sisi yaitu sisi hulu (dalam sistem) dan sisi hilir

(luar sistem). (Suprijanto, 1997 : 96). Sisi hilir atau di luar sistem

adalah kondisi fluktuasi muka air akibat pasang surut. Sisi hulu

atau di dalam sistem adalah kondisi tinggi tampungan maksimum

dan tinggi tampungan minimum. Hasil akhir dari analisis ini adalah

akan didapatkan rencana lebar pintu yang akan dioperasikan.

Sebagai gambaran kondisi tersebut dapat dilihat pada gambar

4.32. fluktuasi muka air akibat pasang surut. Adapun waktu

pembuangan mengikuti siklus pasang surut yang terjadi. Untuk

menghitung debit aliran per satuan lebar yang mampu dibuang

oleh pintu klep otomatis diperlukan data-data sebagai berikut :

Data pintu :

 HWL = +1.9 m (muka air pasang harian tertinggi)

 LWL = +0.3 (muka air surut terendah)


134

 Volume total yang akan dibuang untuk pasang surut siklus

satu hari adalah 1.536.416,640 m3.

Berikut ini diberikan langkah dan contoh perhitungannya :

 Penentuan volume total air yang dibuang untuk pasang surut

siklus satu hari adalah 1.536.416,640 m3.

 Penentuan periode waktu pembuangan atau drain T 1 dan T2

Dari gambar 4.32. fluktuasi muka air pasang surut

didapatkan :

T1 = 6 jam

S1 = 6 jam

T2 = 6 jam 15 menit = 6.25 jam

S2 = 6 jam 15 menit = 6.25 jam

 Setiap periode waktu T (pembuangan) dibagi menjadi

interval waktu (t) bagian yang lebih kecil. Penentuan

interval waktu t berkisar antara 1500 detik <t<3000 detik

dan untuk memudahkan perhitungan, nilai t diambil

konstan.

 Disini diambil :

t1 = 2250 dt dan t2 = 2500 dt

Jadi apabila T1 = 6 jam

Waktu drainase 6 jam = 6.60.60 = 21600 dt

Jika t1 = 2250 dt

2100 dt
Maka = 2250 dt
135

= 9.6 bag

= 10 bag

Dan untuk T2 = 6 jam 45 menit = 6,75 jam

Waktu drainase 6 jam = 6,75.60.60 = 24300 dt

Jika t2 = 2500 dt

24300 dt
Maka = 2500 dt = 9.72 bag = 10 bag

Jadi waktu drainase (Td) dibagi menjadi = 10 bagian (baik

pada bagian 1 dan 2)

 Sehingga : q n. = K..t.a. 2g.h

Ukur h dan h di tengah – tengah setiap interval waktu t.

Kemudian dicek, apakah kondisi aliran sama untuk seluruh

periode waktu drainase (pembuangan).

Pembuangan periode T1

H = hn + hn

Hn > (2/3 H)  aliran sub kritis   = 1.2

Tabel 4.48. Pembuangan Periode T1

No hn Hn  atau m t g 2.g.hn qn

(m) (m) (4) (dt) (m/dt2) (m3/dt/m)

(1) (2) (3) (5) (6) (7) (8)= 3.4.5.7


1 0,30 1,20 1,2 2250 9,81 2,426 7860,59
2 0,48 0,90 1,2 2250 9,81 3,069 7457,67
3 0,56 0,72 1,2 2250 9,81 3,315 6444,36
4 0,60 0,60 1,2 2250 9,81 3,431 5558,22
5 0,64 0,48 1,2 2250 9,81 3,544 4593,02
6 0,63 0,40 1,2 2250 9,81 3,516 3797,28
7 0,60 0,32 1,2 2250 9,81 3,431 2964,38
136

8 0,48 0,34 1,2 2250 9,81 3,069 2817,34


9 0,35 0,40 1,2 2250 9,81 2,620 2829,60
10 0,20 0,48 1,2 2250 9,81 1,981 2567,38
46.889,84

≈ 0,047.106
Sumber : hasil perhitungan

Pembuangan periode T2

 Diket : H = 1.50 dan Hn = 1.20

H = hn + hn ------- Hn > (2/3.1,50)

1,20 > 1,00  karena hn > 2/3 H maka jenis alirannya

adalah aliran sub kritis. Jadi debit per satuan unit waktu setiap

interval t = qn = . t. 2.g.hn dengan nilai  = m = 1,2

Tabel 4.49. Pembuangan Periode T2

No hn Hn  atau m t g 2.g.hn qn

(m) (m) (dt) (m/dt2) (m3/dt/m)

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)= 3.4.5.7


1 0,10 1,40 1,2 2500 9,81 1,401 5884,20
2 0,32 1,10 1,2 2500 9,81 2,506 8269,80
3 0,46 0,92 1,2 2500 9,81 3,004 8291,04
4 0,58 0,72 1,2 2500 9,81 3,373 7285,68
5 0,54 0,68 1,2 2500 9,81 3,255 6640,20
6 0,56 0,62 1,2 2500 9,81 3,315 6165,90
7 0,52 0,60 1,2 2500 9,81 3,194 5749,20
8 0,46 0,62 1,2 2500 9,81 3,004 5587,44
9 0,36 0,64 1,2 2500 9,81 2,658 5103,36
10 0,23 0,74 1,2 2500 9,81 2,125 4715,28
63.692,10

≈ 0,064.106
Sumber : hasil perhitungan

Hn > (2/3. 1,50)

1,40 > 1,00


137

karena hn > 2/3H maka jenis alirannya adalah aliran sub kritis

dengan nilai  = 1.2

 Perhitungan lebar pintu

- Menjumlahkan pembuangan periode satu dan dua.

- Mengetahui jumlah volume air yang dapat dibuang lewat pintu

dalam sehari.

- Menmasukkan dalam persamaan perhitungan lebar pintu.

(q1 + q2) * b = V

(4688,84 + 63.692,10) * b = 1.536.416,640

V 1.536416.640
b = = = 14,40 m
 q1  q2  110 .581,94

Karena lebar satu pintu adalah 2 m, maka untuk mempermudah

pembagian jumlah pintu maka dilakukan pembulatan terhadap

lebar total pintu yaitu selebar 16 m. maka jumlah pintu yang

16m
diperlukan adalah  = 8 buah pintu.
.2m

1. Perhitungan kebutuhan kapasitas tampungan minimum

Pada periode S1 dan S2 air akan tertampung, karena tidak

memungkinkan terjadi pembuangan. Volume tampungan minimum

yang dibutuhkan adalah :

Total aliran = 1.536.416,640 m3 dalam waktu satu hari

= (1.536.416,640 m3/jam)/(24)

= 66.300,75 m3/jam ≈ 0,066. 106 m3/jam

Volume tampungan minimum = 6 jam x 66.300,75 m 3/jam


138

= 397.804,50 m3

Cek perhitungan :Perhitungan permulaan waktu pengecekan

dimulai pada periode S1 .

Tabel 4.50. Kontrol Perhitungan Total Aliran

Periode Aliran masuk Aliran keluar Kebutuhan


tampungan tampungan tampungan
(106 m3) (106 m3) (106 m3
S1 S1 x (Q/jam) -
= 6 x 0,066
= 0,396 0,396

T1 T1 x (Q/jam) S1 x b (0,396 + 0,396)


= 6 x 0,066 = 0,047 x 14,40 – 0,677
= 0,396 = 0,677 = 0,115

S2 S2 x (Q/jam) -
= 6,25 x 0,066
= 0,413 0,413

T2 T2 x (Q/jam) S1 x b (0,413 + 0,413)


= 6,25 x 0,066 = 0,064 x 10,46 – 0,922
= 0,413 = 0,922 = -0,01

Perimbangan Total aliran masuk Total aliran keluar


= 1,60 = 1,60

Sumber : hasil perhitungan

Karena kebutuhan tampungan pada akhir periode T kecil sekali

maka dianggap nol, sehingga dimensi tampungan minimumnya

sebesar 1,5 kali dan besarnya tampungan yang diperlukan adalah :

= 1,5 x (0,396 + 0,115 + 0,413 - 0,010) . 10 6 m3

= 1,5 x (0,914.106)

= 1.371.000 m3

Jadi besarnya tampungan yang ada pada retarding basin (boezem)

akibat waktu pasang adalah sebesar 1.371.000 m 3.


139

Dari hasil perhitungan didapatkan volume eksisting sebesar

1.536.416,640 m3 masih lebih besar dari pada volume minimum

tampungan yang diperlukan.

Dan untuk kemudahan pelaksanaan dilapangan dilakukan

pembulatan nilai dimensi perencanaan yang ada . Jadi dari sini

dapat diketahui dimensi dari Boezem Sempaja adalah :

- Panjang (l) = 1125 m

- Lebar (B) = 500 m

- Kedalaman Boezem (h) = 3 m

- Kapasitas tampung (V) = 1.536.416,640 m3

Bisa disimpulkan bahwa volume efektik yang harus ditampung

boezem adalah 1.536.416,640 m3 .

Jadi : Volume boezem yang tersedia > Volume kebutuhan

1.536.416,640 m3 > 1.371.000 m3 --- Aman.

Adapun bentuk dan dimensi dari Boezem Sempaja diberikan pada

gambar 4.27. a dan b. yaitu gambar potongan melintang dan

tampak atas Boezem Sempaja. Setelah disain pintu bisa diketahui

maka selanjutnya adalah menganalisis berapa kemampuan pintu

dalam mengalirkan atau membuang debit banjir yang tertampung di

boezem.
140

8. Perhitungan besarnya debit outflow (Qo) sebagai berikut :

Untuk menghitung besarnya debit outflow yang akan

dikeluarkan oleh pintu otomatis, dilakukan perhitungan besarnya

debit outflow (Qo) dengan langkah sebagai berikut :

1. Setelah mengetahui volume kumulatif boezem atau kapasitas

tampungan boezem dan mengetahui luas tampungan boezem,

maka bisa dihitung elevasi muka air boezem.

2. Mengetahui elevasi bagian hilir pintu atau sungai.

3. Menghitung selisih ketinggian muka air di hulu dengan di hilir

pintu

4. Mengetahui lebar efektif pintu rencana

5. Menghitung koefisien debit pada pintu dengan rumus :

Q = K.μ.a.b. 2.g.h

6. Menghitung besarnya volume outflow yang akan dibuang

7. Melakukan cek / kontrol terhadap kemampuan pintu yang sudah

direncanakan dengan dasar :

Q inflow ≈ Q outflow atau Q inflow = Q outflow

Adapun hasil dari perhitungan debit yang akan dibuang oleh pintu

dapat dilihat pada tabel 4.51. Dari pengendalian banjir berupa boezem

ini, debit banjir yang akan ditampung oleh boezem sebesar 78,29 m 3/dt

yang merupakan debit total atau debit keseluruhan dari sisa banjir

yang akan dikendalikan atau dibuang. Jadi dengan adanya

pengendalian banjir yang berupa normalisasi Sungai Sempaja dapat

ditingkatkan kapasitas sungai dari 15 m 3/dt menjadi 28,031 m3/dt. Dan


141

sisa dari debit banjir total secara keseluruhan ditampung oleh boezem

sebesar 70 m3/dt, dimana kapasitas boezem mampu menampung debit

banjir sebesar 78,29 m3/dt. Besarnya tampungan boezem ini sudah

diperhitungkan untuk angka keamanan sebesar 10% dari debit banjir

total yang akan ditampung oleh boezem. Jadi total debit yang bisa

dikendalikan secara keseluruhan adalah (28 + 70) m 3/dt = 98 m3/dt,

dimana jumlah debit banjir ini besarnya samadengan nilai total debit

banjir rancangan sebesar 98 m 3/dt. Jadi total debit banjir rancangan,

dapat dikendalikan secara keseluruhan dengan sistem pengendalian

banjir yang berupa normalisasi sungai dan boezem.

4.10.5. Perhitungan tinggi bukaan pintu


142

y =3m Q = 78,29 m3/dt

g = 9,81 m/dt Z = m = 0,5

B = 16 m V1 = 1,5 m/dt (tabel)

V
F = 2.g.h

1.5
= 2.9,81.(3)
= 0,20

Kondisi aliran air setelah melewati pintu keluaran (outlet) dapat

dihitung :

y2
y1
=  1  8F1  1 
y2
=  1  8.0,20  1 
3

y2
= 0,61
3

y2 = 0,43 (3) = 1,32 m ≈ 140 m

A = h (B + z.h)

= 3 (16+ 0,5.3) = 51,55 m2 ≈ 52 m2

P = b + 2h 1 z 2

= 16 + 2 (2,95) 1  0,5 2

= 22,60 m2 ≈ 23 m

A 52 m 2
R = p = = 2,28 m ≈ 2,30 m
23 m

1 2 / 3 1/ 2
V2 = .R .5 --------- S = 0,00034, n = 0,016
n
143

1
(2,30) 2 / 3 (0,00034)1 / 2
V2 = 0.016 = 1,99 m/dt ≈ 2 m/dt

v
F2 = 2.g.h

2
= 2.9,81.(3)
= 0,25 ------ F2 < 1, sub kritis

tinggi aliran (a) dihitung dengan persamaan :

Q = K.μ. a.b 2 g .h1

78,29 = (0,80).(0,60).a.(16) 2(9,81)(3)

a = 1,34 m ≈ 135 m

Pintu Air

Tinggi bukaan pintu

h1 = 3 m

a = 1,35 m
V1 V2 h2 = 1,40 m
F1 F2

Gambar 4.35. Kondisi aliran terhadap pintu keluaran (outlet)


Retarding basin (boesem)
144

LANGKAH-LANGKAH PENGERJAAN PROGRAM HEC-RAS VERSI 3.0

Program Hydrologic Engineering Center – River Analysis System

(HEC-RAS) Versi 3.0 ini diluncurkan pada tahun 2001. Software ini dapat

digunakan untuk menghitung profil muka air untuk aliran tetap (steady)

dan tidak tetap (unsteady) berdasarkan persamaan aliran satu dimensi.

Pada studi ini perhitungan profil muka aliran sungai digunakan profil muka

air aliran tetap.

Komponen ini dimaksudkan untuk menghitung profil muka air untuk

kondisi aliran tetap berubah lambat laun (Steady gradually varied flow).

Prosedur perhitungannya dievaluasi berdasarkan gesekan (persamaan

manning’s) dan kontraksi/ekspansi (koefisien akibat perubahan

kecepatan). Persamaan momentum digunakan ketika profil muka air


145

berubah tiba-tiba contohnya pada saat perhitungan loncatan hidrolik. Data

masukan yang diperlukan adalah :

- Data Geometri

Data geometri terdiri dari skematisasi jaringan sungai yang akan

dianalisa, data potongan (cross section data), koefisien kehilangan energi

(kehilangan akibat gesekan dan kehilangan akibat kontraksi dan ekspansi,

informasi percabangan sungai, data bangunan struktur yang ada.

- Data Aliran Tetap


Station Elevation
(X) (Y) Data aliran yang dibutuhkan untuk
100 2.77
menampilkan perhitungan profil muka air
103 2.77
104.36 0.05 terdiri dari : rejim aliran, kondisi batas dan
106.36 0.05
informasi debit puncak.
108.56 0.05
Input data pada program HEC-RAS untuk
109.89 2.71
112.89 2.71 kondisi aliran tetap (Steady flow) adalah

sebagai berikut (sebagai contoh perhitungan dalam studi ini digunakan

data pada patok 11):

 Cross Section X-Y Coordinates

 Down Stream Reach

Lengths:
146

 LOB = 59.3 m

 Channel = 59.5 m

 ROB = 59.8 m

 Manning’s Values :

 LOB = 0.019

 Channel = 0.019

 ROB = 0.019

 Main Channel Bank Stations :

 Left Bank = 103

 Right Bank = 109.89

 Cont/ Exp Coefficients

 Contraction = 0.1

 Ekspansion = 0.3

 Debit Banjir Rancangan (Q25th) = 88.44 m3/det

Langkah-langkah untuk memasukkan data input pada program HEC-

RAS adalah :

1. Setelah masuk ke program HEC-RAS, pilih menu File → New Project.

Kemudian tulis nama project yang diinginkan. Misalkan nama

projectnya adalah Sempaja.


147

2. Kemudian masuk ke menu options → Unit system (US

Customary/SI) dan pilih satuan perhitungan yang akan digunakan

yaitu satuan metrik.

3. Kemudian masuk ke

Geometri Data pada

menu Edit
148

- Pertama kali yang dilakukan adalah menggambar skema sistem

sungai dengan menggunakan pilihan River Reach.

- Langkah selanjutnya adalah memasukkan data cross section

dengan cara menekan tombol Cross section pada menu

Geometik Data dan pilih menu Option → Add a new Cross

Section. Misalkan pada masukan data Cross section 11, maka

tulisakan nomor 11 dan klik OK. Pada menu ini data-data yang

harus diisi adalah:


149

a. Data Cross Section, yaitu data penampang melintang saluran

yang ditunjukkan dengan koordinat x/y.

b. Data Down Stream Reach, yaitu jarak potongan memanjang

saluran yang mana terdiri dari tiga bagian yaitu LOB (Left

Overbank) = jarak antar saluran ditinjau dari kiri saluran, Channel

= jarak antar saluran ditinjau dari tengah saluran dan ROB (Right

Overbank), = jarak antar saluran ditinjau dari kanan saluran. Pada

patok 11, masukkan nilai LOB = 59.3 m, Channel = 59.5 m dan

ROB = 59.8 m.

c. Data Manning’s n Value, yaitu koefisien kekasaran Manning untuk

masing-masing bagian yaitu pada kiri, tengah dan kanan saluran.


150

Pada patok 11, masukkan nilai LOB = 0.0019, Channel = 0.0019

dan ROB = 0.0019

d. Data Main Channel Bank Station, yaitu koordinat x yang mana

merupakan jarak dari saluran yang mengalirkan air. Pada patok 11,

masukkan nilai Left Bank = 103 dan Right Bank = 109.89

e. Data Cont\Exp Coefficients, yaitu koefisien akibat perubahan

kecepatan diisi dengan nilai 0.1 dan 0.3.

Dengan cara yang sama maka masukkan nilai untuk masing-

masing data Cross section untuk setiap penampang.


151

4. Data selanjutnya yang harus dimasukkan untuk menyelesaikan

perhitungan profil muka air adalah data aliran tetap (steady flow data).

Untuk memasukkan data aliran maka pilih Steady Flow Data pada

menu Edit di menu utama HEC-RAS.

- Bagian pertama adalah memasukkan jumlah profil yang akan

dianalisa. Pada studi ini profil aliran yang digunakan adalah 5, yaitu

: Q2th, Q5th, Q10th, dan Q25th.

- Langkah selanjutnya adalah memasukkan data aliran. Data aliran

dimasukkan dari hulu ke hilir untuk setiap jangkauan. Setidaknya

satu nilai aliran harus dimasukkan untuk semua jangkauan dalam

satu sistem sungai. Sekali nilai aliran dimasukkan, maka akan

diasumsi bahwa aliran akan tetap konstan sampai nilai aliran

lainnya dimasukkan pada pertemuan selanjutnya dalam jangkauan

tersebut.
152

- Langkah selanjutnya adalah memasukkan kondisi batas yang

dibutuhkan. Untuk memasukkan kondisi batas, tekan tombol Reach

Boundary Conditions. Pada menu ini terdapat empat pilihan

kondisi batas yaitu :

a. Known W.S. yaitu kondisi batas merupakan elevasi muka air yang

diketahui untuk setiap potongan melintang yang akan dihitung.

b. Critical Depth, jika kondisi batas ini yang dipilih maka komputer

sendiri yang akan menghitung kedalaman kritis untuk setiap

potongan melintang dan akan menggunakannya sebagai kondisi

batas.

c. Normal Depth, untuk kondisi batas ini harus diketahui energi

kemiringan yang akan digunakan pada perhitungan kedalaman

kritis (menggunakan persamaan Manning). Pada umumnya energi


153

kemiringan didapat dengan pendekatan rata-rata kemiringan

saluran atau rata-rata kemiringan muka air pada potongan

penampang melintang.

d. Rating Curve, yaitu kurva hubungan antara debit dan elevasi.

Untuk setiap penampang melintang, elevasi diperoleh dengan cara

menginterpolasi dari rating curva dengan memasukkan besarnya

debit.

Pada studi ini sebagai kondisi batas pada daerah downstream

menggunakan kondisi batas Critical Depth.

5. Perhitungan Hidrolik

Setelah semua data dimasukkan, maka dapat dilanjutkan

dengan perhitungan profil muka airnya. Untuk melakukan simulasi ini,

maka pilih Steady Flow Analysis dari menu Run pada menu utama
154

HEC-RAS. Langkah pertama adalah mendefinisikan suatu rencana

(Plan), pilih New Plan dari menu File. Pilih geometri file dan steady

flow file yang akan dianalisis. Kemudian pilih rejim aliran yaitu pada

subkritis. Setelah semua data dimasukkan maka perhitungan profil

muka air dapat dimulai yaitu dengan menekan tombol COMPUTE yang

terletak dibagian bawah. Setelah tombol COMPUTE ditekan, maka

akan tampil progres perhitungannya.


155

6. Setelah perhitungan selesai kembali ke menu utama dan pilih icon

Profile Output Table. Pilihlah menu Option untuk mengetahui

keluaran hasil perhitungan sesuai dengan yang diinginkan.

Hasil perhitungan secara lengkap dapat dilihat pada tabel 4.55.


156

Dari hasil perhitungan HEC-RAS dapat diketahui bahwa pada patok

10 sampai dengan patok 220 mengalami limpasan pada penampang

sungainya. Hal ini dapat dilihat dengan cara melihat selisih ketinggian

elevasi muka air yang terjadi dengan elevasi tanggul. Apabila elevasi

muka air lebih tinggi dari elevasi tanggul maka tejadi limpasan dan

sebaliknya apabila elevasi muka air lebih rendah dari elevasi tanggul

maka pada penampang tersebut tidak terjadi limpasan. Sedangkan untuk

menganalisis profil muka air akibat pengaruh pasang surut, normalisasi

sungai dan perencanaan boezem dilakukan dengan cara yang sama

seperti yang telah diuraikan diatas. Hasil selengkapnya disajikan pada

tabel 4.56 – 4.58. Dari analisis profil aliran untuk kondisi setelah dilakukan

perencanaan normalisasi sungai, masih terjadi limpasan yaitu pada patok

11 sampai patok 220. Oleh karena itu untuk menaggulangi agar tidak

terjadi limpasan maka dilakukan perencanaan boezem. Setelah dilakukan

analisis profil aliran pada sungai yang telah dinormalisasi dan

perencanaan boezem menggunakan program HEC-RAS, maka dapat

diketahui bahwa pada penampang Sungai Sempaja tidak tejadi lagii

limpasan.
157

BAB V
PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil perhitungan Perencanaan Pengendalian Banjir

Pada Sungai Sempaja yang meliputi penentuan dimensi saluran

drainase, dimensi Sungai Sempaja, dimensi mercu inlet dan

dimensi pintu outlet guna penanggulangan banjir pada wilayah

Sempaja, Kota Samarinda dapat disimpulkan :

1. Dimensi saluran drainase di wilayah Sempaja Kota Samarinda

a. Jalan Wahab Syahrani

Kiri : - Lebar dasar saluran (b) = 1,70 m

- Lebar puncak saluran (T) = 3,10 m

- Kedalaman air (h) = 0,65 m

- Tinggi tanggul atau jagaan (f) = 0,75 m

- Kemiringan dinding saluran (m) = 0,5

Kanan : - Lebar dasar saluran (b) = 1,00 m

- Lebar puncak saluran (T) = 2,20 m

- Kedalaman air (h) = 0,75 m

- Tinggi tanggul atau jagaan (f) = 0,75 m

- Kemiringan dinding saluran (m) = 0,5

b. Jalan Wahid Hasyim

Kiri : - Lebar dasar saluran (b) = 1,00 m

- Lebar puncak saluran (T) = 2,20 m


158

- Kedalaman air (h) = 0,60 m

- Tinggi tanggul atau jagaan (f) = 0,60 m

- Kemiringan dinding saluran (m) = 0,5

Kanan : - Lebar dasar saluran (b) = 1,00 m

- Lebar puncak saluran (T) = 2,20 m

- Kedalaman air (h) = 0,60 m

- Tinggi tanggul atau jagaan (f) = 0,60 m

- Kemiringan dinding saluran (m) = 0,5

c. Jalan Pertahanan

Kiri : - Lebar dasar saluran (b) = 1,10 m

- Lebar puncak saluran (T) = 2,30 m

- Kedalaman air (h) = 0,60 m

- Tinggi tanggul atau jagaan (f) = 0,60 m

- Kemiringan dinding saluran (m) = 0,5

Kanan : - Lebar dasar saluran (b) = 1,10 m

- Lebar puncak saluran (T) = 2,30 m

- Kedalaman air (h) = 0,60 m

- Tinggi tanggul atau jagaan (f) = 0,60 m

- Kemiringan dinding saluran (m) = 0,5

2. Besarnya debit banjir rancangan Sungai Sempaja untuk kala

ulang : 2 tahun = 39,89 m3/dt

5 tahun = 58,38 m3/dt

10 tahun = 70,76 m3/dt


159

25 tahun = 98,00 m3/dt

3. Dimensi penampang Sungai Sempaja setelah dinormalisasi

terdiri dari lebar dasar sungai (b) = 5 m, lebar puncak sungai

(T) = 6,5 m, kemiringan dinding sungai 1:0,5 dan ketinggian

tanggul sebesar 3,25 m.

4. Sungai yang dinormalisasi adalah Sungai Sempaja 1 (segmen

19) sepanjang 1300 m, Sungai Sempaja 2 (segmen 22)

sepanjang 700 m, dan Sungai Sempaja 3 (Segmen 23)

sepanjang 2700 m.

5. Penempatan boezem diletakkan pada bagian hilir sungai dengan

dimensi sebagai berikut :

- Tinggi tampungan boezem (H) = 3m

- Panjang boezem (L) = 1125 m

- Lebar booezem (B) = 500

- Kemiringan dinding (m) = 1 : 0,5

- Volume tampungan boezem (V) = 1.536.416,640 m 3

6. Pada bagian inlet boezem dilengkapi dengan pelimpah samping

dengan lebar 108 m, tinggi muka air diatas mercu 0,60 m dan

tinggi mercu sampai dengan tanggul 1,00 m.

7. Pada bagian outlet boezem dilengkapi pintu, dengan lebar efektif

pintu 16 m. Jumlah pintu sebanyak 8 buah pintu, dimana 1 unit

pintu tingginya 3 m, lebarnya 2 m dengan tinggi bukaan pintu


160

1,35 m, yang berfungsi mengatur sistem pembuangan atau

pengeluaran debit banjir dari boezem ke sungai dengan

memperhatikan pengaruh pasang surut air laut.

9. Dengan adanya sistem pengendalian banjir yang berupa

normalisasi Sungai Sempaja dapat ditingkatkan kapasitas

pengaliran sungai dari 15 m3/dt menjadi 28,031 m3/dt, dari total

aliran debit banjir rancangan sebesar 98 m 3/dt.

10. Dari sistem pengendalian banjir berupa normalisasi Sungaii

Sempaja, ternyata kapasitas dari Sungai Sempaja masih belum

mampu mengalirkan debit banjir rancangan terutama pada saat

air sungai pasang. Sehingga masih ada debit banjir rancangan

yang melimpas sebesar 70 m3/dt. Untuk menanggulangi

limpasan debit banjir yang tidak tertampung pada sungai yang

sudah dinormalisasi tersebut, maka limpasan debit banjir

tersebut

ditampung sementara pada retarding basin (boezem).

11. Boezem yang dilengkapi dengan pelimpah sepanjang 108 m,

ternyata mampu menampung debit banjir rancangan sebesar

78,29 m3/dt. Jadi dengan pembuatan boezem ini dapat

dikendalikan atau dibuang debit banjir total sebesar 98 m 3/dt,

yang merupakan debit banjir secara keseluruhan.


161

a. Saran

Pengendalian banjir pada studi ini terdiri dari penataan

saluran drainase, normalisasi sungai dan pembuatan retarding

basin (boezem), serta gabungan dari ke tiganya, merupakan salah

satu alternatif pengendalian banjir yang bisa diterapkan pada DPS

Sempaja. Masih banyak alternatif-alternatif lain yang bisa

diterapkan seperti, pembuatan long storage atau boezem yang

dikombinasi dengan rumah pompa pada bagian outletnya, bisa juga

dengan pembuatan saluran pengendali banjir (flood way),

pembuatan sumur resapan dan masih banyak alternatif-alternatif

lain yang perlu dikaji tersendiri.

Untuk dapat mewujudkan suatu pengendalian banjir secara

menyeluruh, perlu dukungan semua pihak agar perencanaan

pengendalian banjir dapat berfungsi secara efektif dan efisien.

Adapun usaha-usaha yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut

1. Perlu adanya penyuluhan dari pemerintah daerah setempat dan

mengajak peran serta masyarakat untuk tidak membuang

sampah pada saluran ataupun sungai, dan agar tidak menutup

saluran-saluran tersier (yang lebih kecil). Sebaliknya diperlukan

kesadaran masyarakat untuk berperan serta menjaga dan


162

memperbaiki saluran, agar saluran drainase dapat berfungsi

dengan benar.

2. Kepada pengembang agar benar-benar mematuhi tata guna

lahan atau rencana tata ruang kota yang telah dibuat oleh

Bappeda, terutama dalam rangka melindungi daerah

tampungan air.

3. Pengerukan dasar saluran dan pemeliharaan saluran perlu

dilakukan secara rutin, agar saluran dapat berfungsi

sebagaimana mestinya.

4. Perlunya studi lebih lanjut tentang detail konstruksi disaen

boezem, pelimpah samping (side spillway), dan pintu dibagian

outlet boezem.

5. Perlunya studi lebih lanjut tentang pengendalian banjir dalam

bentuk lain, sebagai pembanding dalam penentuan

perencanaan pengendalian banjir.


163

Anda mungkin juga menyukai