Blogger templates
Blogger news
Blogroll
Archives
2012 (7)
June (6)
Kesenian India Di Indonesia
KESENIAN INDONESIA MENJELANG DAN KEDATANGAN BANGSA...
KESENIAN INDONESIA ZAMAN MEGALITIKUM
KESENIAN INDONESIA ZAMAN PERUNGGU
KESENIAN INDONESIA ZAMAN MESOLITIKUM DAN NEOLITIKU...
Kesenian Indonesia Masa Paleolitikum
May (1)
BAB 1
KESENIAN ZAMAN MESOLITIKUM DAN NEOLITIKUM
A.
Prasejarah adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada masa di mana
catatan sejarah yang tertulis belum tersedia. Batas antara zaman prasejarah
dengan zaman sejarah adalah mulai adanya tulisan. Hal ini menimbulkan suatu
pengertian bahwa prasejarah adalah zaman sebelum ditemukannya tulisan,
sedangkan sejarah adalah zaman setelah adanya tulisan.
Berdasarkan ilmu arkeologi, zaman prasejarah atau sering juga disebut sebagai
Zaman Batu, dibagi menjadi tiga zaman, yaitu zaman paleolitikum (zaman batu
tua), mesolitikum (zaman batu tengah), dan neolotikum (zaman batu baru).
Manusia paleolitikum masih rendah sekali tingkat peradabannya. Hidupnya
mengembara sebagai pemburu, penangkap ikan dan pengumpul bahan-bahan
makanan, seperti buah-buahan, jenis ubi-ubian, dan bahan makanan lainnya
atau istilahnya food gathering.
Zaman paleolitikum yang merupakan bagian dari zaman pleistocen (zaman es)
dengan jenis manusianya Pitechantropus Erectus kemudian mengalami
perkembangan ketika es di kutub mencair, sehingga permukaan air laut menjadi
naik. Zaman ini disebut zaman Holocen. Pada zaman holocen kebudayaan
paleolitikum tidak begitu saja hilang tetapi mengalami perkembangan.
Kebudayaan paleolitikum mendapat pengaruh-pengaruh baru dengan
mengalirnya arus kebudayaan dari daratan Asia yang membawa coraknya
sendiri. Kebudayaan itu disebut mesolitikum.
B.
1.
Zaman Mesolitikum
Menurut penelitian para ahli sejarah, manusia yang hidup pada zaman
mesolitikum adalah Ras Melanosoide. Ras Melanesia atau disebut juga dengan
Papua Melanosoide merupakan rumpun bangsa Melanosoide/Ras Negroid.
Bangsa ini merupakan gelombang pertama yang berimigrasi ke Indonesia dan
berasal dari daratan Asia tepatnya di Yunan Utara bergerak menuju ke Selatan
memasuki daerah Hindia Belakang (Vietnam)/Indochina dan terus ke Kepulauan
Indonesia. Bangsa Melanisia/Papua Melanosoide yang merupakan Ras Negroid
memiliki ciri-ciri antara lain kulit kehitam-hitaman, badan kekar, rambut keriting,
mulut lebar dan hidung mancung. Bangsa ini sampai sekarang masih terdapat
sisa-sisa keturunannya seperti Suku Sakai/Siak di Riau, dan suku-suku bangsa
Papua Melanosoide yang mendiami Pulau Irian dan pulau-pulau Melanesia.
Homo Sapiens dari ras Papua Melanosoide yang hidup pada zaman mesolitikum
hidup menetap, namun kadang juga masih berpindah-pindah atau semi
nomaden. Mereka hidup menetap di gua-gua atau di pinggir pantai,sehingga
disebut juga dengan abris sous roche atau Kjokkenmoddinger(sampah dapur).
Abris sous roche adalah gua-gua yang digunakan sebagai tempat tinggal dan
perlindungan dari cuaca dan binatang buas.
a.
Kjokkenmoddinger
Suatu corak istimewa dari zaman mesolitikum ialah adanya peninggalanpeninggalan yang disebut dalam istilah Denmark Kjokkenmoddinger (kjokken
= dapur, modding = sampah). Sampah dapur ditemukan di sepanjang pantai
Sumatera Timur Laut, di antara Langsa di Aceh dan Medan, beberapa puluh
kilometer dari laut sekarang, tetapi dahulunya di tepi pantai karena garis pantai
berubah-ubah.
b.
Tempat penemuan kedua dari kebudayaan mesolitikum adalah abris sous roche,
yaitu gua yang dipakai sebagai tempat tinggal. Gua-gua ini sebenarnya
menyerupai ceruk-ceruk di dalam batu karang yang cukup untuk memberikan
perlindungan terhadap hujan dan panas. Di dalam dasar gua ini didapatkan
banyak peninggalan kebudayaan, dari jenis paleolitikum sampai permulaan
neolitikum, tetapi sebagian besar dari zaman mesolitikum.
Penyelidikan pertama terhadap abris sous roche dilakukan oleh van Stein
Callenfels di Gua Lawa dekat Sampung (Ponorogo, Madiun), dari tahun 1928-
2.
Zaman Neolitikum
2.
3.
Adanya bencana alam berupa banjir akibat sering meluapnya sungai She
Kiang dan sungai-sungai lainnya di daerah tersebut.
Suku-suku dari Asia tengah yakni Bangsa Aria yang mendesak Bangsa Melayu
Tua sudah pasti memiliki tingkat kebudayaan yang lebih tinggi lagi. Bangsa
Melayu Tua yang terdesak meninggalkan Yunan dan yang tetap tinggal
bercampur dengan Bangsa Aria dan Mongol. Dari artefak yang ditemukan yang
berasal dari bangsa ini yaitu kapak lonjong dan kapak persegi.
Kapak lonjong dan kapak persegi ini adalah bagian dari kebudayaan Neolitikum.
Ini berarti orang-orang Melayu Tua, telah mengenal budaya bercocok tanam
yang cukup maju dan bukan mustahil mereka sudah beternak. Dengan demikian
mereka telah dapat menghasilkan makanan sendiri (food producing).
Kemampuan ini membuat mereka dapat menetap secara lebih permanen. Pola
menetap ini mengharuskan mereka untuk mengembangkan berbagai jenis
kebudayaan awal. Mereka juga mulai membangun satu sistem politik dan
pengorganisasian untuk mengatur pemukiman mereka. Pengorganisasian ini
membuat mereka sanggup belajar membuat peralatan rumah tangga dari tanah
dan berbagai peralatan lain dengan lebih baik. Mereka mengenal adanya sistim
kepercayaan untuk membantu menjelaskan gejala alam yang ada sehubungan
dengan pertanian mereka. Sama seperti yang terjadi terdahulu, pertemuan dua
peradaban yang berbeda kepentingan ini, mau tidak mau, melahirkan
peperangan-peperangan untuk memperebutkan tanah. Dengan pengorganisiran
yang lebih rapi dan peralatan yang lebih bermutu, kaum pendatang dapat
mengalahkan penduduk asli. Kebudayaan yang mereka usung kemudian
menggantikan kebudayaan penduduk asli. Sisa-sisa pengusung kebudayaan Batu
Arus pendatang tidak hanya datang dalam sekali saja. Pihak-pihak yang kalah
dalam perebutan tanah di daerah asalnya akan mencari tanah-tanah di wilayah
lain. Demikian juga yang menimpa bangsa Melayu Tua yang sudah mengenal
bercocok tanam, beternak dan menetap. Kembali lagi, daerah subur dengan
aliran sungai atau mata air menjadi incaran. Wilayah yang sudah mulai
ditempati oleh bangsa melanesoide harus diperjuangkan untuk dipertahankan
dari bangsa Melayu Tua.
Tuntutan budaya yang sudah menetap mengharuskan mereka mencari tanah
baru. Dengan modal kebudayaan yang lebih tinggi, bangsa Melanesoide harus
menerima kenyataan bahwa telah ada bangsa penguasa baru yang menempati
wilayah mereka. Namun kedatangan bangsa Melayu Tua ini juga memungkinkan
terjadinya percampuran darah antara bangsa ini dengan bangsa Melanesia yang
telah terlebih dahulu datang di Nusantara. Bangsa Melanesia yang tidak
bercampur terdesak dan mengasingkan diri ke pedalaman.
Sisa keturunannya sekarang dapat didapati orang-orang Sakai di Siak, Suku Kubu
serta Anak Dalam di Jambi dan Sumatera Selatan, orang Semang di pedalaman
Malaya, orang Aeta di pedalaman Philipina, orang-orang Papua Melanesoide di
Irian dan pulau-pulau Melanesia. Pada gelombang migrasi kedua dari Yunan di
tahun 2000-300 SM, datanglah orang-orang Melayu Tua yang telah bercampur
dengan bangsa Aria di daratan Yunan. Mereka disebut orang Melayu Muda atau
Deutero Melayu dengan kebudayaan perunggunya. Kebudayaan ini lebih tinggi
lagi dari kebudayaan Batu Muda yang telah ada karena telah mengenal logam
sebagai alat perkakas hidup dan alat produksi. Kedatangan bangsa Melayu Muda
mengakibatkan bangsa Melayu Tua yang tadinya hidup di sekitar aliran sungai
dan pantai terdesak pula ke pedalaman karena kebudayaannya kalah maju dari
C.
1.
Pada zaman mesolitikum dihasilkan beberapa bentuk benda seni yang sebagian
besar dibuat dari batu dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari, diantaranya :
a.
Disebut dengan kapak Sumatera karena kapak ini paling banyak ditemukan
lokasinya di pesisir timur Sumatera yaitu antara Langsa dan Medan. Para
arkeolog menyebutnya dengan pebble. Terbuat dari batu kali yang dipecah atau
dibelah. Sisi luarnya yang sudah halus dibiarkan, sedangkan sisi dalamnya
dikerjakan lebih lanjut, sesuai kebutuhan.
Gbr 8 pebble
(sumber : http://history1978.wordpress.com/)
b.
Kapak ini adalah jenis kapak yang hanya ada di zaman mesolitikum. Bentuknya
kira-kira setengah lingkaran, dan seperti halnya kapak genggam dibuat dengan
memecahkan batu, dan tidak diasah. Bagian yang tajam terdapat pada sisi
lengkung.
c.
d.
Flakes
Ada juga ditemukan alat-alat lain berupa serpihan-serpihan yang disebut dengan
flakes,yang terbuat dari batu-batu biasa tetapi ada juga yang dari batu
berwarna/caldeson. Berbeda dengan kapak genggam, flakes ini berukuran lebih
kecil dan tajam.
Peralatan ini terutama ditemukan di sekitar daerah Sangiran, Pacitan,
Ngandong(Jawa), Lahat(Sumatera), Sumbawa, Sulawesi, dan Flores. Flakes ini
berfungsi untuk menguliti hewan buruan,mengiris daging atau memotong umbiumbian.Jadi fungsinya mirip dengan pisau sekarang.
Gbr. 10 Flakes
(sumber : http://wacananusantara.org/)
e.
Sampung Bone Culture merupakan istilah dari benda-benda yang terbuat dari
tulang hewan. Diberi nama Sampung Bone Culture karena pertama kali
ditemukan di Gua Lawa, Sampung, Ponorogo. Benda-benda dari tulang ini juga
ditemukan di gua Besuki, Bojonegoro(Jawa Timur), pulau Timor dan Rote, dan di
gua Leang Patae, Lomoncong, Sulawesi Selatan yang pendukungnya adalah
suku Toala yang sampai sekarang masih ada.
Alat-alat dari tulang ini digunakan untuk berburu, tidak sedikit yang digunakan
sebagai mata anak panah.
f.
Lukisan dinding zaman mesolitikum ini ditemukan di di sekitar Teluk Triton dan
Teluk Bisyari, Distrik/Kecamatan Kaimana atau di sekitar Kampung Maimai, Sisir,
dan Namatota. Lukisan-likisan ini masih menyimpan misteri dan keunikan yang
seakan menceritakan suatu jaman dengan suatu kehidupan tertentu. Daya tarik
Kaimana Rock Painting ini terletak pada letak dan bahan pewarna yang
digunakan. Letak lukisan-lukisan ini terdapat pada tebing-tebing batu yang tinggi
dan secara akal sehat manusia tidak mungkin dijangkau-apalagi teknologi jaman
itu. Bahan cat atau pewarna yang digunakan hingga kini masih misteri,
umumnya lukisan-lukisan ini berwarna merah darah dan hingga hari ini tak pudar
dimakan jaman.
Lukisan dinding di Kaimana memiliki keunikan tersendiri dan berbeda dengan
lukisan dinding yang terdapat di Kokas dan Raja Ampat, terutama dari segi
kekayaan motifnya. Jika di Kokas dan Raja Ampat umumnya bermotif tapak
tangan (finger-print), di Kaimana bukan saja finger print tapi ada lukisan ikan,
binatang, tengkorak, matahari.
2.
Zaman Neolitikum
a.
Kapak Persegi
Nama kapak persegi diberikan oleh Van Hein Heldren atas dasar penampang
lintangnya yang berbentuk persegi panjang atau trapesium,ada yang berukuran
besar yang lazim disebut beliung persegi yang fungsinya sebagia cangkul/pacul,
dan yang ukuran kecil disebut dengan tarah/tatah yang berfungsi sebagai alat
pahat. Bahan bakunya selain dari batu biasa juga dari batu api/chalcedon.
Kemungkinan yang terbuat dari batu chalcedon ini sebagai alat upacara suci,
tanda kebesaran atau jimat.Daerah penyebaran asal kapak persegi ini dari jalur
barat/Asia,yang menyebar ke pulau Sumatera, Jawa, Bali,Nusa Tenggara,
Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku.
b.
Kapak Lonjong
Sedang yang di Indonesia timur (jalur timur) menyebar kapak yang penampang
melintangnya berbentuk lonjong, yang disebut dengan kapak lonjong. Bahan
kapak lonjong dari batu kali berwarna kehitam-hitaman, bentuk keseluruhannya
adalah bulat telur dengan ujungnya yang lancip sebagai tempat tangkainya,
sedang ujung yang lainnya diasah sampai tajam, permukaannya halus merata.
Yang berukuran besar disebut sebagai Walzenbeil, sedang yang kecil disebut
dengan Kleinbeil. Fungsinya sama dengan kapak persegi. Daerah penyebarannya
di Minahasa, Gerong, Leti, Seram, Tanimbar dan Irian. Dari Irian kapak lonjong ini
akhirnya menyebar sampai ke kepulauan Melanesia, sehingga sering disebut
dengan Neolithikum Papua.
c.
Kapak Bertangkai
Apabila pada zaman Paleolitikum penggunaan kapak dari batu ini langsung
dipenggang dengan menggunakan tangan, tampa menggunakan alat bantu lain,
lain halnya dengan zaman Neolitikum. Mereka pada masa itu sudah mengenal
tangkai sebagai bahan yang digunakan untuk mengikat kapak dan digunakan
sebagai pegangan. Cara memasangkan mata kapak pada tangkai ialah dengan
memasukkan bendanya langsung dalam lubang yang khusus dibuat pada ujung
tangkai atau memasangkan mata kapak pada gagang tambahan yang kemudian
diikatkan menyiku pada gagang pokoknya. Pada kedua cara ini, mata kapak
dipasangkan vertikal.
Penambahan alat dalam menggunakan kapak dari batu ini merupakan sebuah
inovasi yang mampu dikembangkan oleh manusia pada zaman prasejarah.
Mereka terus berinovasi untuk menghasilkan yang lebih baik dan efisien,
termasuk kenyamanan dalam menggunakannya. Tangkai kapak atau gagang
kemungkinan berbahan dasar dari kayu dan sejenisnya. Kayu-kayu tersebut
mereka bentuk sedemikian rupa sehingga mudah untuk memasang mata kapak
atau kapak lonjong dan mudah dalam memegangnya.
d.
Gerabah
BAB II
KESIMPULAN