Anda di halaman 1dari 15

My Photo

Spenda on the blog


"MEMBACA DAPAT MENINGKATKAN DERAJAT BANGSA, DERAJAT suatu bangsa
bisa TERPURUK karena penguasaan ilmu pengetahuan yang rendah, untuk itu
bacalah bacaan yang baik sebagai jendela ILMU PENGETAHUAN"

View my complete profile


Powered by Blogger.
RSS
About

Blogger templates
Blogger news
Blogroll
Archives
2012 (7)
June (6)
Kesenian India Di Indonesia
KESENIAN INDONESIA MENJELANG DAN KEDATANGAN BANGSA...
KESENIAN INDONESIA ZAMAN MEGALITIKUM
KESENIAN INDONESIA ZAMAN PERUNGGU
KESENIAN INDONESIA ZAMAN MESOLITIKUM DAN NEOLITIKU...
Kesenian Indonesia Masa Paleolitikum
May (1)

KESENIAN INDONESIA ZAMAN MESOLITIKUM DAN NEOLITIKUM


6:10 PM |

BAB 1
KESENIAN ZAMAN MESOLITIKUM DAN NEOLITIKUM

A.

Latar Belakang Pertumbuhan

Prasejarah adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada masa di mana
catatan sejarah yang tertulis belum tersedia. Batas antara zaman prasejarah
dengan zaman sejarah adalah mulai adanya tulisan. Hal ini menimbulkan suatu
pengertian bahwa prasejarah adalah zaman sebelum ditemukannya tulisan,
sedangkan sejarah adalah zaman setelah adanya tulisan.
Berdasarkan ilmu arkeologi, zaman prasejarah atau sering juga disebut sebagai
Zaman Batu, dibagi menjadi tiga zaman, yaitu zaman paleolitikum (zaman batu
tua), mesolitikum (zaman batu tengah), dan neolotikum (zaman batu baru).
Manusia paleolitikum masih rendah sekali tingkat peradabannya. Hidupnya
mengembara sebagai pemburu, penangkap ikan dan pengumpul bahan-bahan
makanan, seperti buah-buahan, jenis ubi-ubian, dan bahan makanan lainnya
atau istilahnya food gathering.
Zaman paleolitikum yang merupakan bagian dari zaman pleistocen (zaman es)
dengan jenis manusianya Pitechantropus Erectus kemudian mengalami
perkembangan ketika es di kutub mencair, sehingga permukaan air laut menjadi
naik. Zaman ini disebut zaman Holocen. Pada zaman holocen kebudayaan
paleolitikum tidak begitu saja hilang tetapi mengalami perkembangan.
Kebudayaan paleolitikum mendapat pengaruh-pengaruh baru dengan
mengalirnya arus kebudayaan dari daratan Asia yang membawa coraknya
sendiri. Kebudayaan itu disebut mesolitikum.

Gbr.1 Perubahan daratan pada zaman Paleolitikum akhir


(sumber : ZAMAN PRASEJARAH INDONESIA Langueschachspiels Weblog.htm)

Zaman mesolitikum (10.000-4000 tahun yang lalu) atau zaman batu


pertengahan merupakan zaman peralihan dari zaman paleolitikum ke zaman
neolotikum. Pada Zaman batu tengah (mesolitikum) alat-alat batu zaman ini
sebagian sudah dihaluskan terutama bagian yang dipergunakan. Alat-alat dari
tulang dan juga flakes, yang didapatkan di zaman paleolitikum, mengambil
bagian penting dalam zaman mesolitikum.

B.

Masyarakat Pendukung dan Lokasi Pemukiman

1.

Zaman Mesolitikum

Menurut penelitian para ahli sejarah, manusia yang hidup pada zaman
mesolitikum adalah Ras Melanosoide. Ras Melanesia atau disebut juga dengan
Papua Melanosoide merupakan rumpun bangsa Melanosoide/Ras Negroid.
Bangsa ini merupakan gelombang pertama yang berimigrasi ke Indonesia dan
berasal dari daratan Asia tepatnya di Yunan Utara bergerak menuju ke Selatan
memasuki daerah Hindia Belakang (Vietnam)/Indochina dan terus ke Kepulauan
Indonesia. Bangsa Melanisia/Papua Melanosoide yang merupakan Ras Negroid
memiliki ciri-ciri antara lain kulit kehitam-hitaman, badan kekar, rambut keriting,
mulut lebar dan hidung mancung. Bangsa ini sampai sekarang masih terdapat
sisa-sisa keturunannya seperti Suku Sakai/Siak di Riau, dan suku-suku bangsa
Papua Melanosoide yang mendiami Pulau Irian dan pulau-pulau Melanesia.

Gbr 2. Suku di Papua


(sumber : http://sejarawan.wordpress.com/2007/10/05/)

Homo Sapiens dari ras Papua Melanosoide yang hidup pada zaman mesolitikum
hidup menetap, namun kadang juga masih berpindah-pindah atau semi
nomaden. Mereka hidup menetap di gua-gua atau di pinggir pantai,sehingga
disebut juga dengan abris sous roche atau Kjokkenmoddinger(sampah dapur).
Abris sous roche adalah gua-gua yang digunakan sebagai tempat tinggal dan
perlindungan dari cuaca dan binatang buas.
a.

Kjokkenmoddinger

Suatu corak istimewa dari zaman mesolitikum ialah adanya peninggalanpeninggalan yang disebut dalam istilah Denmark Kjokkenmoddinger (kjokken
= dapur, modding = sampah). Sampah dapur ditemukan di sepanjang pantai
Sumatera Timur Laut, di antara Langsa di Aceh dan Medan, beberapa puluh
kilometer dari laut sekarang, tetapi dahulunya di tepi pantai karena garis pantai
berubah-ubah.

Gbr.3 Kjokkenmoddinger(sampah dapur) di daerah Kawal, Bintan, Kep. Riau


(sumber : http://teguhsrahardjo.blogdetik.com)

Bekas-bekas itu menunjukkan telah adanya penduduk pantai yang tinggal di


dalam rumah-rumah bertonggak. Hidupnya terutama dari siput dan kerang.
Siput-siput itu dipatahkan ujungnya, kemudian dihisap isinya dari bagian
kepalanya. Kulit-kulit siput dan kerang yang dibuang itu selama waktu yang
bertahun-tahun, mungkin ratusan atau ribuan tahun, akhirnya membentuk bukit
kerang yang tinggi. Bukit-bukit inilah yang dinamakan kjokkenmoddinger.
Dari kjokkenmoddinger ini ditemukan juga bekas-bekas manusianya, seperti
tulang belulang, dan pecahan-pecahan tengkorak dan gigi. Meskipun tulangtulang itu tidak memberikan gambaran yang lengkap, namun penyelidikan yang
teliti memberikan kesimpulan bahwa manusia mesolitikum itu termasuk dalam
golongan bangsa Papua Melanosoide (Nenek moyang bangsa Irian dan Melanesia
sekarang).

b.

Abris sous roche

Tempat penemuan kedua dari kebudayaan mesolitikum adalah abris sous roche,
yaitu gua yang dipakai sebagai tempat tinggal. Gua-gua ini sebenarnya
menyerupai ceruk-ceruk di dalam batu karang yang cukup untuk memberikan
perlindungan terhadap hujan dan panas. Di dalam dasar gua ini didapatkan
banyak peninggalan kebudayaan, dari jenis paleolitikum sampai permulaan
neolitikum, tetapi sebagian besar dari zaman mesolitikum.
Penyelidikan pertama terhadap abris sous roche dilakukan oleh van Stein
Callenfels di Gua Lawa dekat Sampung (Ponorogo, Madiun), dari tahun 1928-

1931. Alat-alat yang ditemukan banyak sekali macamnya : alat-alat bantu,


seperti ujung panah dan flakes, batu-batu penggilingan, kapak-kapak yang sudah
diasah, alat-alat dari tulang dan tanduk rusa, dll.

Gbr.4 Jalur penyebaran kebudayaan Mesolitikum


(sumber : Pra Sejarah (3) sudartoyo putra muria.htm)

Pada zaman Mesolitikum terdapat 2 buah kebudayaan yang berbeda,


yaitu kebudayaan Bacson Hoabinh dan kebudayaan flakes. Kebudayaan Bascon
Hoabinh berasal dari Pegunungan Bacson dan Hoa Binh yang terletak di utara
kota Hanoi di daerah Tongkin, Vietnam. Ciri artefak peninggalan kebudayaan ini
adalah kapak yang bagian tajamnya telah diasah atau biasa disebut pebbles.
Alur penyebaran kebudayaan Bascon Hoabinh melalui jalan Barat melalui
Sumatera dan Malaysia. Itulah kenapa di abris sous roche di Sumatera banyak
ditemukan pepples. Sedangkan kebudayaan flakes (serpihan batu yang tajam)
masuk ke wilayah Nusantara melalui jalur Timur, bermula dari daratan Asia,
Jepang, Filipina, dan ke Indonesia. Itu dibuktikan dengan banyak ditemukannya
flakes di abris sous roche di Sulawesi. Kedua kebudayaan ini bertemu di Pulau
jawa dan Sulawesi.

Gbr 5 Abris sous roche di Mendale, Medan


(sumber : http://teguhsrahardjo.blogdetik.com)

Gbr. 6 Abris sous roche di Sulawesi Selatan


(sumber : http://teguhsrahardjo.blogdetik.com)

Gbr. 7 Pebbles dan flakes


(sumber : http://kaimanatourism.blogspot.com/2008/09/)

Artefak-artefak ini telah ditemukan juga di Gua Pawon, mikrolit-nya


terbuat dari batu obsidian. Perkakas mikrolith dari obsidian ini banyak ditemukan
di Jawa Barat (situs Ujung Berung, Nagreg, Cililin, Leuwi Liang-Bogor, Cikampek,
dll). Melalui penemuan ini dapat disimpulkan bahwa kebudayaan Bacson-Hoa
Binh terdapat di Jawa Barat pada zaman Mesolitikum, tetapi, baru di Gua Pawonlah ditemukan manusianya.

Binatang-binatang purba besar seperti antilop, kudanil, dan badak yang


hidup pada zaman Mesolitikum telah lama ditemukan fosil-fosilnya di endapan
teras Sungai Citarum sebelah barat kota Cimahi. Maka, dengan penemuan
rangka manusia di Gua Pawon yang berumur 9500-6500 tahun yang lalu,
lengkaplah penemuan tinggalan zaman Mesolitikum di Jawa Barat (mungkin ini
yang paling lengkap di Indonesia)- ada fosil binatang, manusia, dan artefaknya.

Temuan ras Mongoloid Mesolitikum di Gua Pawon sangat penting sebab


selama ini ada anggapan bahwa zaman ini didominasi oleh ras AustroMelanesoid. Ras ini diturunkan dari temuan fosil Homo wajakensis dan Homo
soloensis yang dipercaya merupakan leluhur bangsa pribumi Australia. Tetapi,
Homo soloensis dan Homo wajakensis hidup di zaman Paleolitikum akhir (35.00015.000 tahun yang lalu). Gelombang migrasi dari Asia dengan ras Mongoloid
sejak itu (sejak Mesolitikum) mendominasi sampai mendekati zaman sejarah.
Migrasi manusia/bangsa Proto-Melayu dan Deutero-Melayu sejak 3000-500 SM
menunjukkan hal ini.

Tabel 1 Tabel perkembangan kebudayaan zaman batu

2.

Zaman Neolitikum

Sekitar tahun 2000 SM, bangsa Melanesoide yang akhirnya menetap di


Nusantara kedatangan pula bangsa yang kebudayaannya lebih tinggi yang
berasal dari rumpun Melayu Austronesia yakni bangsa Melayu Tua atau Proto
Melayu, suatu ras mongoloid yang berasal dari daerah Yunan, dekat lembah
sungai Yang Tze, Cina Selatan. Alasan-alasan yang menyebabkan bangsa Melayu
tua meninggalkan asalnya yaitu :
1.

Adanya desakan suku-suku liar yang datangnya dari Asia Tengah;

2.

Adanya peperangan antar suku;

3.
Adanya bencana alam berupa banjir akibat sering meluapnya sungai She
Kiang dan sungai-sungai lainnya di daerah tersebut.
Suku-suku dari Asia tengah yakni Bangsa Aria yang mendesak Bangsa Melayu
Tua sudah pasti memiliki tingkat kebudayaan yang lebih tinggi lagi. Bangsa
Melayu Tua yang terdesak meninggalkan Yunan dan yang tetap tinggal
bercampur dengan Bangsa Aria dan Mongol. Dari artefak yang ditemukan yang
berasal dari bangsa ini yaitu kapak lonjong dan kapak persegi.
Kapak lonjong dan kapak persegi ini adalah bagian dari kebudayaan Neolitikum.
Ini berarti orang-orang Melayu Tua, telah mengenal budaya bercocok tanam
yang cukup maju dan bukan mustahil mereka sudah beternak. Dengan demikian
mereka telah dapat menghasilkan makanan sendiri (food producing).
Kemampuan ini membuat mereka dapat menetap secara lebih permanen. Pola
menetap ini mengharuskan mereka untuk mengembangkan berbagai jenis
kebudayaan awal. Mereka juga mulai membangun satu sistem politik dan
pengorganisasian untuk mengatur pemukiman mereka. Pengorganisasian ini
membuat mereka sanggup belajar membuat peralatan rumah tangga dari tanah
dan berbagai peralatan lain dengan lebih baik. Mereka mengenal adanya sistim
kepercayaan untuk membantu menjelaskan gejala alam yang ada sehubungan
dengan pertanian mereka. Sama seperti yang terjadi terdahulu, pertemuan dua
peradaban yang berbeda kepentingan ini, mau tidak mau, melahirkan
peperangan-peperangan untuk memperebutkan tanah. Dengan pengorganisiran
yang lebih rapi dan peralatan yang lebih bermutu, kaum pendatang dapat
mengalahkan penduduk asli. Kebudayaan yang mereka usung kemudian
menggantikan kebudayaan penduduk asli. Sisa-sisa pengusung kebudayaan Batu

Tua kemudian menyingkir ke pedalaman. Beberapa suku bangsa merupakan


keturunan dari para pelarian ini, seperti suku Sakai, Kubu, dan Anak Dalam.

Gbr 7 Kapan persegi dan kapak lonjong


(sumber : http://jatheymuna.blogspot.com/)

Arus pendatang tidak hanya datang dalam sekali saja. Pihak-pihak yang kalah
dalam perebutan tanah di daerah asalnya akan mencari tanah-tanah di wilayah
lain. Demikian juga yang menimpa bangsa Melayu Tua yang sudah mengenal
bercocok tanam, beternak dan menetap. Kembali lagi, daerah subur dengan
aliran sungai atau mata air menjadi incaran. Wilayah yang sudah mulai
ditempati oleh bangsa melanesoide harus diperjuangkan untuk dipertahankan
dari bangsa Melayu Tua.
Tuntutan budaya yang sudah menetap mengharuskan mereka mencari tanah
baru. Dengan modal kebudayaan yang lebih tinggi, bangsa Melanesoide harus
menerima kenyataan bahwa telah ada bangsa penguasa baru yang menempati
wilayah mereka. Namun kedatangan bangsa Melayu Tua ini juga memungkinkan
terjadinya percampuran darah antara bangsa ini dengan bangsa Melanesia yang
telah terlebih dahulu datang di Nusantara. Bangsa Melanesia yang tidak
bercampur terdesak dan mengasingkan diri ke pedalaman.
Sisa keturunannya sekarang dapat didapati orang-orang Sakai di Siak, Suku Kubu
serta Anak Dalam di Jambi dan Sumatera Selatan, orang Semang di pedalaman
Malaya, orang Aeta di pedalaman Philipina, orang-orang Papua Melanesoide di
Irian dan pulau-pulau Melanesia. Pada gelombang migrasi kedua dari Yunan di
tahun 2000-300 SM, datanglah orang-orang Melayu Tua yang telah bercampur
dengan bangsa Aria di daratan Yunan. Mereka disebut orang Melayu Muda atau
Deutero Melayu dengan kebudayaan perunggunya. Kebudayaan ini lebih tinggi
lagi dari kebudayaan Batu Muda yang telah ada karena telah mengenal logam
sebagai alat perkakas hidup dan alat produksi. Kedatangan bangsa Melayu Muda
mengakibatkan bangsa Melayu Tua yang tadinya hidup di sekitar aliran sungai
dan pantai terdesak pula ke pedalaman karena kebudayaannya kalah maju dari

bangsa Melayu Muda dan kebudayaannya tidak banyak berubah. Sisa-sisa


keturunan bangsa melayu tua banyak ditemukan di daerah pedalaman seperti
suku Dayak, Toraja, orang Nias, batak pedalaman, Orang Kubu dan orang Sasak.
Dengan menguasai tanah, Bangsa Melayu Muda dapat berkembang dengan
pesat kebudayaannya bahkan menjadi penyumbang terbesar untuk cikal-bakal
bangsa Indonesia sekarang.

Tabel 2 Tabel penyebaran bangsa pendatang di Nusantara

C.
1.

Karya Seni Awal dan Kajian Estetiknya


Zaman Mesolitikum

Pada zaman mesolitikum dihasilkan beberapa bentuk benda seni yang sebagian
besar dibuat dari batu dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari, diantaranya :
a.

Pebble (kapak genggam)

Disebut dengan kapak Sumatera karena kapak ini paling banyak ditemukan
lokasinya di pesisir timur Sumatera yaitu antara Langsa dan Medan. Para
arkeolog menyebutnya dengan pebble. Terbuat dari batu kali yang dipecah atau
dibelah. Sisi luarnya yang sudah halus dibiarkan, sedangkan sisi dalamnya
dikerjakan lebih lanjut, sesuai kebutuhan.

Gbr 8 pebble
(sumber : http://history1978.wordpress.com/)

b.

Hache cource (kapak pendek)

Kapak ini adalah jenis kapak yang hanya ada di zaman mesolitikum. Bentuknya
kira-kira setengah lingkaran, dan seperti halnya kapak genggam dibuat dengan
memecahkan batu, dan tidak diasah. Bagian yang tajam terdapat pada sisi
lengkung.

Gbr 9 Kapak pendek


(sumber : http://history1978.wordpress.com/)

c.

Pipisan (batu-batu penggiling)

Di bukit-bukit kerang (kjjokenmoddinger) ditemukan batu-batu penggiling


beserta landasannya. Pipisan ini ternyata tidak hanya digunakan untuk
menggiling makanan tetapi digunakan juga untuk menghaluskan cat merah.
Adapun kegunaan dari cat merah itu belum diteliti secara pasti, tetapi ada
kemungkinan pemakaiannya berhubungan dengan keagamaan/sihir, dimana
merah merupakan darah sebagai tanda dan sendi kehidupan. Cat merah
diulaskan ke badan memiliki maksud agar bertambah kekuatan dan tenaga
hidupnya.

d.

Flakes

Ada juga ditemukan alat-alat lain berupa serpihan-serpihan yang disebut dengan
flakes,yang terbuat dari batu-batu biasa tetapi ada juga yang dari batu
berwarna/caldeson. Berbeda dengan kapak genggam, flakes ini berukuran lebih
kecil dan tajam.
Peralatan ini terutama ditemukan di sekitar daerah Sangiran, Pacitan,
Ngandong(Jawa), Lahat(Sumatera), Sumbawa, Sulawesi, dan Flores. Flakes ini
berfungsi untuk menguliti hewan buruan,mengiris daging atau memotong umbiumbian.Jadi fungsinya mirip dengan pisau sekarang.

Gbr. 10 Flakes
(sumber : http://wacananusantara.org/)

e.

Sampung Bone Culture

Sampung Bone Culture merupakan istilah dari benda-benda yang terbuat dari
tulang hewan. Diberi nama Sampung Bone Culture karena pertama kali
ditemukan di Gua Lawa, Sampung, Ponorogo. Benda-benda dari tulang ini juga
ditemukan di gua Besuki, Bojonegoro(Jawa Timur), pulau Timor dan Rote, dan di
gua Leang Patae, Lomoncong, Sulawesi Selatan yang pendukungnya adalah
suku Toala yang sampai sekarang masih ada.
Alat-alat dari tulang ini digunakan untuk berburu, tidak sedikit yang digunakan
sebagai mata anak panah.

Gbr 11 Alat-alat dari tulang


(sumber : http://history1978.wordpress.com/)

f.

Lukisan Dinding Batu

Lukisan dinding zaman mesolitikum ini ditemukan di di sekitar Teluk Triton dan
Teluk Bisyari, Distrik/Kecamatan Kaimana atau di sekitar Kampung Maimai, Sisir,
dan Namatota. Lukisan-likisan ini masih menyimpan misteri dan keunikan yang
seakan menceritakan suatu jaman dengan suatu kehidupan tertentu. Daya tarik
Kaimana Rock Painting ini terletak pada letak dan bahan pewarna yang
digunakan. Letak lukisan-lukisan ini terdapat pada tebing-tebing batu yang tinggi
dan secara akal sehat manusia tidak mungkin dijangkau-apalagi teknologi jaman
itu. Bahan cat atau pewarna yang digunakan hingga kini masih misteri,

umumnya lukisan-lukisan ini berwarna merah darah dan hingga hari ini tak pudar
dimakan jaman.
Lukisan dinding di Kaimana memiliki keunikan tersendiri dan berbeda dengan
lukisan dinding yang terdapat di Kokas dan Raja Ampat, terutama dari segi
kekayaan motifnya. Jika di Kokas dan Raja Ampat umumnya bermotif tapak
tangan (finger-print), di Kaimana bukan saja finger print tapi ada lukisan ikan,
binatang, tengkorak, matahari.

Gbr 12 Kaimana Rock Painting


(sumber : httpkaimanatourism.blogspot.com/)

2.

Zaman Neolitikum

a.

Kapak Persegi

Nama kapak persegi diberikan oleh Van Hein Heldren atas dasar penampang
lintangnya yang berbentuk persegi panjang atau trapesium,ada yang berukuran
besar yang lazim disebut beliung persegi yang fungsinya sebagia cangkul/pacul,
dan yang ukuran kecil disebut dengan tarah/tatah yang berfungsi sebagai alat
pahat. Bahan bakunya selain dari batu biasa juga dari batu api/chalcedon.
Kemungkinan yang terbuat dari batu chalcedon ini sebagai alat upacara suci,
tanda kebesaran atau jimat.Daerah penyebaran asal kapak persegi ini dari jalur
barat/Asia,yang menyebar ke pulau Sumatera, Jawa, Bali,Nusa Tenggara,
Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku.

Gbr. 13 Kapak Persegi


(sumber : http://wacananusantara.org/)

b.

Kapak Lonjong

Sedang yang di Indonesia timur (jalur timur) menyebar kapak yang penampang
melintangnya berbentuk lonjong, yang disebut dengan kapak lonjong. Bahan
kapak lonjong dari batu kali berwarna kehitam-hitaman, bentuk keseluruhannya
adalah bulat telur dengan ujungnya yang lancip sebagai tempat tangkainya,
sedang ujung yang lainnya diasah sampai tajam, permukaannya halus merata.
Yang berukuran besar disebut sebagai Walzenbeil, sedang yang kecil disebut
dengan Kleinbeil. Fungsinya sama dengan kapak persegi. Daerah penyebarannya
di Minahasa, Gerong, Leti, Seram, Tanimbar dan Irian. Dari Irian kapak lonjong ini
akhirnya menyebar sampai ke kepulauan Melanesia, sehingga sering disebut
dengan Neolithikum Papua.

Gbr. 14 Kapak Lonjong


(sumber : http://wacananusantara.org/)

c.

Kapak Bertangkai

Apabila pada zaman Paleolitikum penggunaan kapak dari batu ini langsung
dipenggang dengan menggunakan tangan, tampa menggunakan alat bantu lain,
lain halnya dengan zaman Neolitikum. Mereka pada masa itu sudah mengenal
tangkai sebagai bahan yang digunakan untuk mengikat kapak dan digunakan
sebagai pegangan. Cara memasangkan mata kapak pada tangkai ialah dengan
memasukkan bendanya langsung dalam lubang yang khusus dibuat pada ujung
tangkai atau memasangkan mata kapak pada gagang tambahan yang kemudian
diikatkan menyiku pada gagang pokoknya. Pada kedua cara ini, mata kapak
dipasangkan vertikal.
Penambahan alat dalam menggunakan kapak dari batu ini merupakan sebuah
inovasi yang mampu dikembangkan oleh manusia pada zaman prasejarah.
Mereka terus berinovasi untuk menghasilkan yang lebih baik dan efisien,
termasuk kenyamanan dalam menggunakannya. Tangkai kapak atau gagang
kemungkinan berbahan dasar dari kayu dan sejenisnya. Kayu-kayu tersebut
mereka bentuk sedemikian rupa sehingga mudah untuk memasang mata kapak
atau kapak lonjong dan mudah dalam memegangnya.

Gbr. 15 Kapak bertangkai


(sumber : http://wacananusantara.org/)

d.

Gerabah

Selain kapak persegi dan lonjong juga terdapat barang-barang gerabah/belanga,


perhiasan, dan pakaian. Gerabah pembuatannya masih sederhana, tidak dengan
roda pemutar, hanya dengan tangan. Perhiasan terbuat dari batu-batu berwarna,
permata, dan kerang.

Gbr. 16 Pecahan gerabah pada zaman neolitikum


(sumber : http://teguhsrahardjo.blogdetik.com)

BAB II
KESIMPULAN

Zaman mesolitikum dan neolitikum merupakan fase yang penting dalam


perkembangan sejarah kehidupan di Nusantara. Pada fase ini berkembang
beberapa bentuk kebudayaan yang lebih maju dibandingkan zaman sebelumnya
(paleolitikum). Salah satu perkembangannya adalah pola hidup, dimana manusia
pada zaman mesolitikum sudah mulai hidup menetap, meskipun terkadang
masih berpindah-pindah untuk mencari lahan yang baru. Salah satu buktinya
adalah ditemukannya sampah dapur (kjokkennmoddinger) yang berupa
tumpukan kulit kerang. Manusia pada zaman neolitikum malah sudah bisa
bercocok tanam dan hidup bermasyarakat.

Di lihat dari aspek penyebarannya, manusia prasejarah pada jaman Mesolitikum


dan neolitikum merupakan bangsa pendatang. Sebagian besar dating dari
daratan Asia menggunakan jalur Barat dan jalur Timur. Ras papua Melanosoide,
Austro-Melanosoid, Proto Melayu, Deutro Melayu merupakan bangsa-bangsa
pendatang yang masuk ke wilayah Nusantara karena beberapa factor,
diantaranya perubahan iklim, geografis, dan adanya peperangan.
Dalam bidang hasil kebudayaan berupa benda-benda peninggalan sangatlah
beragam. Sebagian besar benda-benda yang dibuat berfungsi sebagai alat bantu
dalam kehidupan sehari-hari. Benda-benda tersebut juga mengalami
perkembangan, dimulai dari kapak genggam, flakes, kapak persegi, sampai
kapak lonjong yang sudah dihaluskan.
Perubahan-perubahan tersebut memberikan gambaran bahwa manusia terus
hidup berkembang, menggunakan akalnya untuk menemukan hal-hal yang baru.
Mempelajari dan menganalisis perkembangan manusia pada zaman prasejarah
sangatlah penting untuk memberikan kesadaran kepada kita akan pentingnya
menjaga keseimbangan alam

Anda mungkin juga menyukai