Anda di halaman 1dari 40

Accelerat ing t he world's research.

Jaringan Dunia Islam dan Islam di


Nusantara
abu aqil

Related papers Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

TASAWUF NUSANTARA (Ringkasan Mut iara Sufi Terkemuka)


dliyaul haq

st udi-st udi islam (t asawuf, fiqh, filsafat , dan t afsir) di indonesia dan t okoh wanit a muslimah indonesia
Izat ul Fit rah M Gust ari

IDENT ITAS DAN GLOBALISASI Menakar Kesadaran Polit ik, Ekonomi, dan Budaya Masyarakat Muslim In…
Andi Holilulloh
Jaringan Dunia Islam dan Islam di Nusantara
Oleh: Rahmat Hidayat (F02116027)

A. Latar Belakang
Islam yang ada di Nusantara adalah sebuah keunikan tersendiri jika dibandingkan dengan
konteks Islam di kawasan dunia lainnya. Bahkan pula jika keunikan tersebut dibandingkan dengan
Islam di kawasan Arab. Keunikan tersebut dapat diurai dalam beberapa hal: jumlah pemeluknya
yang terbanyak, adanya pelbagai aliran ideologi, adanya pelbagai macam kultur-budaya, adanya
pelbagai macam ajaran, mampu berdampingan dengan budaya asli, dan lain sebagainya.
Keunikan-keunikan tersebut menjadikan Islam di Nusantara sejak dulu sangat menarik untuk
dipandang banyak orang. Islam di Nusantara dengan pelbagai macam pernak-perniknya tersebut
menarik minat banyak kalangan terdidik untuk mempelajari dan mengkajinya. Mereka mengkajinya
dari pelbagai aspek keilmuannya masing-masing.
Para pengkaji tersebut tidak hanya dari internal Islam, pula dari eksternal Islam yang terdiri
dari kalangan akademisi perguruan tinggi-perguruan tinggi luar negeri. Mereka bahkan menjadikan
bahan kajian tersebut menjadi karya monumental yang mengokohkan dirinya sebagai bagian
ilmuwan berkelas dunia. Dalam kalimat yang sederhana, hal itu bermakna bahwa Islam di
Nusantara telah memberikan manfaat kepada banyak pihak.
Salah satu pernak-pernik yang sangat menarik tersebut antara lain mengenai sejarah masuknya
Islam di Nusantara dan bagaimana perkembangannya. Dalam hal perkembangan Islam, pada titik
inilah Islam di Nusantara diibaratkan laksana sebuah intan, yang pantulan cahayanya berpendar ke
berbagai arah, bergerak dengan dinamisasi yang luar biasa. Dinamisasi yang wujudnya pemikiran
dan pergerakan tersebut terjadi bahkan hingga hari ini. Sayangnya masih banyak muslim di
Nusantara yang belum memahami sejarah peradabannya sendiri, dan oleh karena itulah menjadi
penting disusunnya makalah ini.

B. Perkembangan Islam di Nusantara


1. Sejarah Islamisasi Nusantara
Pada umumnya penyebaran Islam di Nusantara berlangsung melalui dua proses. Pertama,
penduduk pribumi berhubungan dengan agama Islam kemudian menganutnya. Dan kedua, orang-
orang asing Asia, seperti Arab, India dan Cina yang beragama Islam bertempat tinggal secara
permanen di satu wilayah, melakukan perkawinan campuran dan mengikuti gaya hidup lokal.
Kedua proses ini dimungkinkan terjadi secara bersamaan. 1 Baik orang pribumi maupun para

1 SKI Fakultas Adab UIN Yogyakarta, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Pustaka, 2006) hal. 33

1
pendatang tersebut saling berakulturasi, bermasyarakat, dan di situlah proses Islamisasi berjalan
dengan otomatis.
Secara lebih spesifik Islamisasi di Nusantara merupakan suatu proses yang sangat penting
dalam sejarah dan juga yang paling tidak jelas faktanya. 2 Ketidakjelasan ini antara lain terletak pada
pertanyaan kapan Islam datang, dari mana Islam berasal, siapa yang menyebarkan Islam di
Nusantara pertama kali dan lain sebagainya.3 Hal tersebut terjadi dengan lumrah disebabkan
perbedaan data dari masing-masing peneliti, perangkat ilmu yang digunakan 4, serta perbedaan
waktu penelitian itu dikerjakan. Juga daerah pijakan awal yang dijadikan obyek penelitian, di mana
Nusantara ini dibagi dalam beberapa pulau besar yang sangat berbeda kultur masyarakatnya,
sehingga dapat memunculkan pula perbedaan pandangan dalam diri peneliti.
Lebih jauh Azyumardi Azra menjelaskan bahwa tiga masalah pokok yang menjadi faktor
diskusi intens dan perdebatan panjang tersebut antara lain; tempat asal kedatangan Islam, para
pembawanya dan waktu kedatangannya. Berbagai teori dan pembahasan yang berusaha menjawab
ketiga masalah pokok ini jelas belum tuntas, tidak hanya kurangnya data yang dapat mendukung
suatu teori tertentu, tetapi juga karena sifat sepihak (subyektif) dari berbagai teori yang ada.5
Hasan Mu’arif Ambary mensinyalir bahwa ketidakjelasan tentang Islamisasi di Nusantara dapat
ditunjukkan pada bukti-bukti tertua kehadiran orang atau komunitas muslim awal. Di antara
beberapa bukti tersebut antara lain di Leran Gresik (1082 M), di Barus, Sumatera Utara (1206 M),
Pasai, Aceh (1297 M), dan Troloyo, Mojokerto (1368 M).6 Bukti-bukti arkeologis yang berlainan itu
membuat perdebatan tentang kapan Islam datang ke Nusantara semakin meruncing.
a. Awal Masuknya Islam di Nusantara
Meskipun banyak perdebatan tentang sejarah masuknya Islam di Nusantara, secara umum
terdapat hanya dua perbedaan pendapat tentang kapan pertama kali Islam datang ke Nusantara.
Pertama, diasumsikan terjadi pada abad ke 7 H/ 13 M berdasarkan beberapa argumentasi,
antara lain:
 Tesis yang berpijak dari laporan Marcopolo yang berkunjung ke Nusantara pada abad ke 7
H/ 13 M sebagai utusan kekaisaran Cina dan menegaskan adanya Kesultana Islam Samudra
Pasai ketika ia sampai di Aceh melalui pelabuhan kecil di Pantai Utara Sumatera. Marcopolo
mendapati jika penduduk disekitar pelabuhan tersebut beragama Islam yang diduga kuat

2 Kalimat Ricklefs ini dikutip oleh Nor Huda, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia (Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2007) hlm. 31
3 Ibid
4 Secara umum perangkat ilmu yang dipakai dalam penelitian ini adalah sejarah, sosial dan arkeologi
5 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII: Akar Pembaruan Islam
Indonesia (Jakarta: Kencana Prenadamedia, 2013) hlm. 2
6 Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 2001) hlm. 35

2
diIslamkan oleh pedagang-pedagang dari Coromandel, India, yang sejak awal beragama
Islam. Tesis ini didukung oleh Winstedt.
 Islam masuk ke wilayah Nusantara setelah jatuhnya Baghdad pada 656 H/ 1258 M, dimana
ketika itu banyak ulama Arab bermigrasi (hijrah) ke wilayah Timur, untuk mengamankan
diri dari ancaman tentara Mongol. Diduga kuat penduduk di Pantai Utara Sumatera
menganut Islam adalah berasal dari para “muhajir” dari Baghdad tersebut. Tesis ini sangat
didukung kuat oleh C. Snouck Hurgronje.
 Masyarakat Islam sudah ada di wilayah Nusantara setelah kedatangan para sufi pada abad ke
7 H. Oleh orientalis John, tesis ini mendapatkan pembenaran melalui argumentasi bahwa
melalui tasawuflah, dalam hal ini tarekat, spirit perjalanan dakwah mereka menguat.
Sebagaimana perjalanan yang dilakukan sufi Ibnu Arabi dan al-Jili.7
Asumsi pertama ini mendapat beberapa sanggahan kuat. Antara lain: berita Marcopolo
menunjukkan pula bahwa sebelum ia datang ke Pasai, di daerah tersebut Islam sudah menyebar
dan dianut penduduk yang ada di situ; bahkan adanya Kerajaan Islam Samudra Pasai
menandakan bahwa sebetulnya Islam sudah kuat di daerah tersebut; hijrahnya sufi Baghdad ke
Nusantara di abad 7 H/ 13 M tidak didukung bukti tertulis yang kuat; dan benar memang jika
tasawuf merupakan aliran utama para pembawa Islam di Nusantara, namun belum mengerucut
menjadi lembaga tarekat.8
Sanggahan tersebut menjadikan asumsi pertama tersebut menjadi meragukan. Fakta
terbantahkan dengan bukti-bukti yang sangat meyakinkan. Akan terlihat berbeda ketika melihat
asumsi selanjutnya disebabkan kuatnya argumentasi yang mendukungnya.
Dan kedua, yang mengasumsikan bahwa Islam hadir di Nusantara sejak abad pertama
Hijriyah atau tujuh Masehi.9 Asumsi ini berdasarkan beberapa argumentasi:
 Adanya catatan resmi Kekaisaran Dinasti Tang (618 M) yang secara tersurat
memberitahukan tentang sudah masuknya Islam di wilayah Timur Jauh, yakni Cina dan
sekitarnya semenjak abad pertama Hijriyah. Yang dimaksud wilayah Timur Jauh selain Cina
adalah gugusan kepulauan Nusantara yang pada masa itu sudah berhubungan dagang dan
diplomatik dengan Cina. Dimana penduduk Nusantara yang telah memeluk Islam sudah
menguasai ilmu perdagangan yang didapat dari orang Arab yang memang hilir mudik
mendatangi Nusantara. Boleh dikata, kepentingan Cina datang ke Nusantara adalah
menyerap ilmu dari orang-orang Arab. Selain itu pula, di Nusantara sendiri sudah ada

7 Alwi Shihab, Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi: Akar Tasawuf di Indonesia,terjemahan Muhammad
Nursamad (Depok: Pustaka IIMaN, 2009) hlm. 6-7
8 Ibid hlm. 7-8
9

3
peradaban yang maju, yakni Kerajaan Sriwijaya yang oleh orang Arab dikenal dengan
sebutan “Negeri Maharaj”.
 Adanya laporan Cina lainnya yang memberitahukan jika bangsa Arab telah mengirim utusan
kepada sebuah kerajaan di Jawa yang dikenal dengan sebutan Ho Long, sekitar tahun 640,
666 dan 674 Masehi. Dalam catatan itu keduanya, bangsa Arab dan Kerajaan Ho Long,
sering saling mengirim utusan untuk mengetahui tentang kemajuan masing-masing. Dari
penelitian sejarah diketahui jika yang dimaksud Kerajaan Ho Long yang dimaksud itu
adalah Kerajaan Kalingga, sebuah kerajaan yang sudah dikenal adil dan sejahtera, yang
terletak di Jawa Timur, seperti yang dijelaskan Hamka yang sudah dikutip Alwi Shihab. Di
Kerajaan Kalingga tersebut dipimpin oleh seorang ratu penguasa yang diduga kuat sudah
memeluk Islam, namanya Ratu Sima.10
 Adanya peninggalan sejarah berupa iskripsi makam lama yang terletak di Leran, Gresik,
Jawa Timur. Makam tersebut bertulisankan tahun 431 H/ 1039 M di batu nisannya, yang
disimpulkan oleh beberapa sejarahwan sebagai bukti bahwa Islam telah hadir di Nusantara
sebelum tahun pada batu nisan tersebut, atau semenjak abad-abad awal Hijriah. Seperti yang
ditegaskan Morrison dan Drewes.11
Kelihatannya asumsi yang kedua inilah yang mendapat kata sepakat oleh banyak
sejarahwan. Di samping karena disokong argumentasi yang lebih kuat, juga diperkuat pula
dengan penjelasan-penjelasan dalam subtema selanjutnya.
b. Pembawa Islam Awal di Nusantara
Ada banyak versi tentang siapa yang pertama kali membawa Islam di Nusantara. Jika
diuraikan dengan lebih lengkap maka ada empat teori tentang siapa saja yang menjadi
pembawa Islam di Nusantara ini, antara lain:
1.) Teori India
Teori ini antara lain dikemukakan oleh Pijnappel, Snouck Hurgronje, Moquette dan
Fatimi. Dalam teori ini diuraikan bahwa Islam pertama kali datang ke Indonesia berasal dari
anak benua India, sekitar abad ke-13.
Pijnappel, seorang ahli dari Universitas Leiden, mengajukan bukti adanya persamaan
mazhab Syafi’i antara di Anak Benua India dengan Indonesia. Orang-orang Arab yang
bermazhab Syafi’i berimigrasi dan menetap di Gujarat dan Malabar kemudian membawa
Islam ke Nusantara.12 Jadi merekalah, orang-orang Arab yang bermukim di Gujarat dan
Malabar disinyalir sebagai pembawa Islam awal ke Nusantara.
10 Pada sumber yang lain disebutkan nama lain dari Kalingga antara lain Sima atau Simo, Kalanggara, Keling atau
Holing. Kekuasaannya meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura dan Bali. Ahmad Y. Samantho, Atlantis Nusantara:
Berbagai Penemuan Spektakuler yang Makin Meyakinkan Keberadaannya (Jakarta: Phoenix, 2015) hlm. 302
11 Alwi Shihab, Antara Tasawuf Sunni... hlm. 10-12
12 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama... hlm. 3

4
Teori tersebut mendapat bantahan dan kemudian direvisi oleh C. Snouck Hurgronje.
Menurutnya Islam yang menyebar di Nusantara ini, yang dulu dikenal dengan sebutan
Hindia Belanda, berasal dari wilayah Malabar dan Coromandel, kota-kota pelabuhan yang
ada di India selatan. Lebih spesifik, penduduk Deccan-lah yang menjadi pelantar awal
perdagangan antara negeri-negeri Islam dan penduduk di Nusantara. 13 Mereka kemudian
menetap dan bertempat tinggal, biasanya ada di wilayah pesisir yang kemudian
menyebarkan Islam secara akulturasi.
Setelah peristiwa tersebut, barulah berdatangan orang-orang Arab yang menyebut diri
mereka sayyid atau syarif yang merupakan para keturunan Nabi Muhammad. Mereka datang
untuk meneruskan Islamisasi dengan membawa pula keahlian ilmu organisasi dan
keintelektualan, sehingga mereka banyak yang berposisi sebagai ulama, penguasa-penguasa
agama dan sultan yang bertindak sebagai penegak pembentukan negeri-negeri baru.14
Kedatangan para sayyid atau syarif ke Nusantara terjadi pada abad ke-12 yang merupakan
periode paling mungkin sebagai permulaan penyebaran Islam di Nusantara. 15Dari merekalah
penduduk Nusantara banyak memperoleh proses transformasi ilmu-ilmu agama.
Sebagaimana Pijnappel dan Hurgronje, J.P Moquette juga berkesimpulan yang sama.
Dia berpendapat bahwa tempat asal Islam adalah dari Gujarat, India. Pendapat ini ia
dapatkan berdasarkan pengamatannya pada bentuk batu nisan di Pasai, Aceh, yang berangka
17 Dzulhijjah 831 H/ 27 September 1428. Dia juga mengamati bentuk batu nisan pada
makam Maulana Malik Ibrahim (w. 822 H/ 1419) di Gresik, Jawa Timur. Dua batu nisan
tersebut disinyalir sama bentuknya seperti batu-batu nisan yang ada di Cambay, Gujarat.16
Ada dua ciri khas dari dua batu nisan tersebut yang mirip atau sama dengan yang ada di
Cambay, Gujarat. Dua ciri khas itu, oleh Hasan Muarif Ambary disebutkan antara lain
berbahan marmer dan bertuliskan huruf kufi.17 Di Jawa, disamping makam Maulana Malik
Ibrahim yang menggunakan tulisan gaya kufi, makam Fatimah binti Maimun juga demikian,
tapi dengan tahun yang berbeda, 475 H/ 1082.18 Jadi temuan arkeologis inilah yang menjadi
argumentasi pokok dari pendapat Moquette.

13 Nor Huda, Islam Nusantara... hlm. 32


14 Ibid hlm. 33
15 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama... hlm. 3
16 Nor Huda, Islam Nusantara... hlm. 33
17 Kufi adalah salah satu jenis kaligrafi Arab tertua yang berasal dari kota Kufah di Irak. Merupakan kaligrafi yang
digunakan di semenanjung Arab sebelum Islam datang. Semua penulisan mushaf al-Qur’an sebelum abad ke-4 H
menggunakan huruf ini yang dulu disebut maysaq. Ciri khas huruf ini terletak pada panjangnya huruf dal, shad, tho’,
kaf dan ya’. Penjelasan ini didapat dari artikel “Kaligrafi Kufi” di https://kaligrafi-islam.blogspot.co.id/2015/05/kaligrafi-
kufi. Dijelaskan dalam buku yang lain, huruf kufi dikembangkan di Kufah, Irak semenjak paroh kedua abad ke-8
Masehi. Jenis huruf tersebut dikembangkan dari huruf-huruf Aramaic dan Syriac. Ismail Raji al-Faruqi, Seni Tauhid
terjemahan Hartono Hadikusumo (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1999) hlm. 96-97
18 Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban... hlm. 70

5
Pandangan Moquette tentang teori batu nisan tersebut coba ditentang oleh Fatimi dalam
karyanya “Islam Comes to Malaysia”. Dia berargumen bahwa keliru mengaitkan seluruh
batu nisan di Pasai termasuk batu nisan Malik al-Salih dengan batu nisan yang ada di
Gujarat. Menurut penelitiannya, bentuk dan gaya batu nisan Malik al-Salih sangat berbeda
dengan yang ada di Gujarat, bahkan tidak sama dengan batu-batu nisan lainnya di
Nusantara. Dia berpendapat bahwa justru batu nisan di Pasai tersebut sama dengan yang ada
di Bengal, India. Yang artinya dari Bengal itulah Islam awal datang ke Nusantara. Dia pun
mengkritik teori batu nisan dari teotirikus sebelumnya, yang ia katakan mengabaikan adanya
makam Fatimah binti Maimun yang ada di Leran, Gresik. 19 Kritikan tersebut menunjukkan
jika teori India ini belumlah mapan, sebab masih banyak kelemahan sejarah yang mendapat
penentangan dari beberapa sejarawan lainnya.
2.) Teori Arab
Teori Arab dimulai dengan kritikan Morrison yang menganggap teori India salah
kaprah. Morrison menjelaskan bahwa memang benar batu-batu nisan yang ada di beberapa
makam di Nusantara itu sama seperti yang ada di Gujarat, namun tidak bisa disimpulkan jika
Islam berasal dari wilayah tersebut. Lebih jauh ia menyatakan bahwa selama Islamisasi di
Samudra Pasai, Malik al-Salih yang merupakan raja pertama, wafat pada 698 H/ 1297,
padahal saat itu, di sekitar tahun-tahun itu, Gujarat masih merupakan kerajaan Hindu dan
wilayah Cambay sendiri pada tahun 699 H/ 1298 dalam kekuasaan Muslim. 20 Ketidaktepatan
teori India terletak pada tidak samanya momentum mapannya Islam di Samudra Pasai
sebelum Malik al-Salih wafat dan saat itu Cambay belumlah menganut Islam.
Teori yang dikemukakan Marrison kelihatan mendukung pendapat yang dipegang
Arnold. Menulis jauh sebelum Morrison, Arnold berpendapat bahwa Islam dibawa ke
Nusantara antara lain dari Coromandel dan Malabar. Ia menyokong teori ini dengan
menunjuk kepada persamaan mazhab fikih di antara kedua wilayah tersebut. Mayoritas
muslim di Nusantara adalah pengikut mazhab Syafi’i yang juga dominan di Coromandel dan
Malabar, seperti disaksikan ‘Ibn Bathuthah ketika ia mengunjungi kawasan ini.21
Menurut Arnold, para pedagang dari Coromandel dan Malabar mempunyai peran
penting dalam perdagangan antara India dan Nusantara. Sejumlah besar pedagang ini
mendatangi pelabuhan-pelabuhan dagang dunia Melayu-Indonesia di mana mereka ternyata
tidak hanya terlibat dalam perdagangan, tetapi juga dalam penyebaran Islam.22

19 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama... hlm. 4


20 Ibid hlm. 5
21 Ibid hlm. 6
22 Ibid

6
Mengenai pendapatnya tentang asal Islam Nusantara dari Arab, Arnold berpendapat
bahwa pedagang Arab membawa Islam ketika mereka menguasai perdagangan Barat-Timur
sejak abad ke-7 M dan ke-8 M. Dapat diduga bahwa mereka juga menyebarkan Islam ke
Nusantara. Dia juga menyatakan bahwa sebuah sumber Cina menyebutkan bahwa menjelang
seperempat ketiga abad ke-7 M ada seorang Arab yang menjadi pemimpin pemukiman Arab
Muslim di pesisir barat Sumatera. Mereka juga melakukan kawin campur dengan penduduk
setempat, sehingga muncullah komunitas muslim.23
Muhammad Hasan al-Aydrus, seorang sejarawan Universitas Uni Emirat Arab, lebih
menspesifikasi, bahwa orang Arab yang menyebarkan Islam di Nusantara adalah para syarif
atau sayyid Hadramaut yang merupakan keturunan Imam al-Muhajir Ahmad bin Isa. Ia
merupakan cucu dari Imam Ja’far as-Shadiq yang juga keturunan Sayyidina Ali r.a dan
Fatimah r.a, namun paham yang ia anut bukanlah Syiah, melainkan Sunni dan bermazhab
Syafi’i. Dialah penyebar paling awal paham Sunni di Hadramaut.24
Para keturunan Imam al-Muhajir Ahmad bin Isa menyebarkan Islam di Nusantara dalam
rangka hijrah yang kedua pada abad ke-14 Masehi, 25 yang lebih memantapkan lagi dakwah
Islam di wilayah Asia Tenggara. 26 Menurut Alwi Shihab, diantara keturunan Imam al-
Muhajir Ahmad bin Isa yang menyebarkan Islam di Nusantara pada periode kedua itu adalah
Wali Sanga.27 Memang mereka golongan alawiyin, namun dalam budaya Jawa mereka
dikenal dengan sebutan Sunan.
Adapun para keturunan Imam al-Muhajir Ahmad bin Isa lainnya yang sekarang masih
hidup dan tinggal di Nusantara ini antara lain, klan al-Qadri, al-Muthahhar, al-Haddad, al-
Basyaiban, Khaneman, al-Aydrus, bin Syahab, bin Syeikh Abu Bakar, as-Saqaf, Bafaqih,
Jamalullail, al-Habsy, asy-Syatiri, al-Baidh, Aidid? dan al-Jufri. Mereka menyebar ke
seantero Nusantara. Salah satunya seperti terlihat pada makam Sayyid Sulaiman di
Mojoagung yang bertuliskan Kyai al-Allamah Mansur bin Thaha bin Muhamad Baqir bin
Mujahid bin Ali Asghar bin Ali Akbar bin Sulaiman bin Abdurrahman bin Umar bin

23 Ibid
24 Muhammad Hasan al-Aydrus, Penyebaran Islam di Asia Tenggara: Asyraf Hadramaut dan Peranannya terjemahan
Ali Yahya (Jakarta: Lentera Basritama, 1997) hlm. 24
25 Dijelaskan dalam buku al-Aydrus tersebut bahwa ada dua kali hijrah para syarif Hadramaut ke Asia Tenggara.
Pertama, pada masa Bani Umayah, karena para syarif lari dari Irak, setelah penindasan Bani Umayah terhadap Alawiyin
yang berhaluan syiah. Tujuan mereka pada hijrah pertama ini adalah pulau-pulau di Filipina. Kedua, hijrahnya para
keturunan Imam al-Muhajir Ahmad bin Isa menuju negara-negara Asia Tenggara lainnya, termasuk Nusantara.
26 Ibid hlm. 33
27 Wali Sanga terdiri dari: Maulana Malik Ibrahim, Raden Rahmat atau Sunan Ampel, Maulana Makhdum Ibrahim atau
Sunan Bonang, Sunan Giri bin Maulana Ishaq, Sunan Drajad atau Maulana Syarifuddin, Sunan Kalijaga atau Maulana
Muhammad Syahid, Sunan Kudus atau Maulana Ja’far al-Shadiq, Sunan Muria atau Maulana Raden Umar Said dan
Sunan Gunung Djati atau Maulana al-Syarif Hidayatullah. Alwi Shihab, Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi: Akar
Tasawuf di Indonesia,terjemahan Muhammad Nursamad (Depok: Pustaka IIMaN, 2009) hlm. 38-39

7
Muhammad bin Ahmad Abi Bakar asy-Syaibani.28 Pekuburan tersebut terletak di Dusun
Betek Desa Mancilan Kecamatan Mojoagung Kabupaten Jombang.
Teori Arab ini juga dipegang oleh Crawfurd, walaupun ia menyarankan bahwa interaksi
penduduk Nusantara dengan kaum muslim yang berasal dari pantai timur India juga
merupakan faktor penting dalam penyebaran Islam di Nusantara. Sementara itu Keijzer
memandang Islam di Nusantara berasal dari Mesir atas dasar pertimbangan kesamaan
kepemelukan penduduk muslim di dua wilayah itu yang bermazhab Syafi’i.29
Adapun kalangan sejarawan dan budayan nusantara lebih condong dengan teori Arab
ini. Tercermin pada tahun 1963 mereka pernah mengadakan Seminar Masuknya Islam di
Indonesia yang dihelat dari tanggal 17 sampai 20 Maret di kota Medan. Dalam seminar
tersebut diputuskan beberapa poin; 1. Dari sumber-sumber yang kami telaah maka kami
mengerti bahwa Islam masuk ke Indonesia pertama kali pada abad pertama Hijriyah. 2.
Daerah pertama yang dimasuki Islam adalah pantai Sumatera bagian Utara. Setelah
terbentuknya masyarakat Islam dan setelah mendapatkan kebebasan dalam bidang politik
maka raja Muslim pertama adalah di daerah Aceh. 3. Orang-orang Indonesia setelah itu
mempunyai peran dakwah Islamiyah, dan lain sebagainya. 30 Nampaknya dilihat dari kuatnya
argumentasi baik mengenai para pembawa Islam, daerah mana pertama kali sebagai pijakan
dan kapan Islamisasi tersebut berlangsung, teori Arab ini lebih dapat diterima.
3). Teori Persia
Teori ini dikemukakan oleh P.A. Hoesein Djajadiningrat yang mengemukakan bahwa
Islam masuk ke Nusantara pada abd ke-13 M di Sumatera yang berpusat di Samudra Pasai.
Dia mendasarkan argumentasinya pada persamaan budaya yang berkembang di kalangan
masyarakat Islam Indonesia dengan budaya yang ada di Persia.31
Diantara bukti-bukti tersebut yaitu: adanya peringatan 10 Muharram atau Asyura yang
merupakan tradisi yang berkembang dalam masyarakat syiah untuk memperingati hari
kematian Husain di Karbala. Tradisi yang diperingati dengan membuat bubur syura. Di
Minangkabau bulan Muharram disebut bulan Hasan-Husain, di Sumatera tengah disebyat
bulan Tabut, dengan mengarak keranda yang diatasnamakan keranda Husain; adanya
persamaan antara al-Hallaj, tokoh sufi Iran dengan ajaran Syeikh Siti Jenar mengenai
wahdat al-wujud (panteisme) atau dalam istilah Jawa dikenal dengan manunggaling kawula
gusti; persamaan dalam sistem mengeja huruf Arab bagi pengajian al-Qur’an tingkat awal
dimana Jabar (Iran) sama dengan Fathah (Arab), Jer (Iran) sama dengan Kasrah (Arab), Pes

28 Ibid hlm. 39
29 Azumardi Azra, Jaringan Ulama... hlm. 8
30 Muhammad Hasan al-Aydrus, Penyebaran Islam... hlm. 54
31 SKI Fakultas Adab UIN Yogyakarta, Sejarah Peradaban... hlm. 40

8
(Iran) sama dengan Dhammah (Arab); adanya persamaan batu nisan yang ada di makam
Malik al-Salih di Pasai dan Malik Ibrahim di Gresik yang dipesan dari Gujarat. Munurut
Hoesein Djajadiningrat bahwa Gujarat adalah daerah di India yang dipenuhi dengan paham
syiah.32
Meskipun demikian teori Persia ini juga memandang adanya pengaruh mazhab Syafi’i
di Indonesia yang berasal dari Malabar, yang merupakan mazhab dominan yang dianut.
Teori ini juga sesuai dengan pendapat Muens. Dia berpendapat bahwa pada abad ke-5 M,
pada masa raja-raja Sasanid, banyak orang-orang Persia yang berada di Aceh. Dia juga
mengatakan bahwa sebenarnya kata “Pasai” itu berasal dari kata “Persia”. Muens juga
mengemukakan alasannya bahwa ketika Ibn Bathuthah datang ke Aceh, terdapat dua ulama
yang berasal dari Persia, yaitu Tadjuddin al-Syirazi dan Sayyid Syarif al-Asybahani.33
4). Teori Cina
Teori ini menyatakan bahwa Islamisasi di Nusantara berasal dari Cina yang terjadi pada
abad ke-9 M. Pada abad itu banyak orang muslim Cina terutama wilayah Kanton serta
wilayah Cina selatan lainnnya antara lain Zhangzhou dan Quanzhou yang mengungsi ke
Jawa, Sumatera dan Kedah. Hal ini terjadi karena pada masa Huan Chou terjadi
penumpasan terhadap penduduk Kanton dan wilayah Cina selatan lainnya yang
penduduknya beragama Islam. Mereka berusaha mengadakan revolusi politik terhadap
kekaisaran Cina pada abad ke-9 M.34
Di samping adanya pengungsi Cina di Jawa pada abad ke-9 M, pada abad ke-8 sampai
11 M sudah ada pemukiman Arab muslim di Cina dan Campa. Memang sudah terjadi
hubungan perdagangan yang cukup lama antara orang-orang Cina dengan orang-orang Jawa.
Suatu hal yang wajar jika pada abad ke-11 M telah terdapat komunitas muslim di Jawa
seperti makam Islam dan keramik Cina di situs Leran. 35 Hal itu menandakan bahwa Leran
saat itu menjadi daerah pusat perdagangan penting di Jawa Timur.
Catatan H.J. de Graf lebih spesifik lagi memberitahukan tentang pentingnya unsur Cina
dimasukkan sebagai penyebar Islam awal di Nusantara. De Graf menyunting sebuah catatan
pada literatur Jawa klasik (Catatan Tahunan Melayu) yang memperlihatkan betapa
pentingnya orang-orang Cina bagi pengembangan Islam di Nusantara. Dalam catatan
tersebut termaktub sejumlah tokoh-tokoh besar seperti Sunan Ampel atau Raden Rahmat,
yang dalam catatan Cina dikenal sebagai Bong Swi Hoo dan Raja Demak atau Raden Fatah

32 Ibid hlm. 41
33 Ibid
34 Ibid hlm. 42
35 Ibid

9
yang dikenal dengan sebutan Cina sebagai Jin Bun, keduanya disinyalir adalah keturunan
Cina.36
Pendapat tersebut juga disepakati Denys Lombard yang menjelaskan jika pengaruh Cina
terlihat pada peninggalan budaya. Beberapa peninggalan budaya atau kebiasaan Cina
tersebut antara lain berupa makanan, pakaian, bahasa, seni bangunan dan sebagainya. 37
Sampai sekarang budaya bangsa Cina itu masih bisa ditemui. Seperti adanya ukiran padas
masjid kuno di Mantingan Jepara, menara masjid di Pecinan Banten, konstruksi pintu
makam Sunan Giri di Gresik, arsitektur keraton Cirebon beserta taman Sunyaragi,
konstruksi Masjid Demak terutama soko tatal penyangga masjid dan lambang kura-kura,
dan lain sebagainya. Di Jakarta ada beberapa masjid peninggalan Cina muslim antara lain
Masjid Kali Angke dan Masjid Kebun Jeruk.38
Empat teori di atas telah menambah khazanah sejarah bagi Islam di Indonesia. Walau begitu
tentu diharapkan ada beberapa klausul yang bisa dijadikan patokan agar tidak terjadi
kebingungan sejarah. Seperti yang disampaikan Azyumardi Azra yang mengusulkan empat
tema pokok dari resiko kebingungan dimaksud. Pertama, Islam dibawa langsung dari Arabia;
Kedua, Islam diperkenalkan oleh para guru dan penyair profesional, yakni mereka yang
memang khusus bermaksud menyebarkan Islam; Ketiga, yang mula-mula masuk Islam adalah
para penguasa; dan Keempat, kebanyakan para penyebar Islam profesional ini datang ke
Nusantara pada abad ke-12 dan ke-13 Masehi.39 Tema pokok yang digagas Azra tersebut seperti
menyimpulkan bahwa memang sejak abad 1 Hijriah, Islam sudah mulai disebarkan di
Nusantara. Akan tetapi dalam periode pertama itu, penyebaran Islam belum bisa dikatakan
mapan. Baru pada abad ke-12 dan ke-13 Masehi, proses penyebaran Islam menjadi lebih
profesional dibanding periode sebelumnya itu.

2. Kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara


Islam dimulai di Nusantara ini melalui kehadiran individu-individu dari Arab atau
penduduk asli sendiri yang memeluk Islam. Dengan ikhtiar dakwah akhirnya Islam bisa
menyebar ke beberapa wilayah Nusantara. Setelah itu terbentuklah fase selanjunya yaitu
hadirnya kerajaan-kerajaan Islam.
Diantara kerajaan-kerajaan penting itu antara lain: Kerajaan Malaka (803-917 H/ 1400-
1511 M), Kerajaan Aceh (920-1322 H/ 1514-1904 M), Kerajaan Demak (918-960 H/ 1512-
1552 M), Kerajaan Banten (960-1096 H/ 1552-1684 M), Kerajaan Goa Makasar (1078 H/ 1667

36 Nor Huda, Islam Nusantara... hlm. 38


37Ibid
38 SKI Fakultas Adab UIN Yogyakarta, Sejarah Peradaban... hlm. 45
39 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama... hlm. 12

10
M.), Kerajaan Maluku.40 Kerajaan-kerajaan tersebut mempunyai andil besar dalam hal proses
dakwah Islam di wilayah tersebut. Biasanya diwujudkan dengan cara membuka perdagangan
dengan negeri-negeri lain sehingga, membuka pula pintu masuk arus pendakwah Islam.

C. Genealogi Keilmuan, Keterkaitan Dunia Islam dan Nusantara


Pembahasan tentang sejarah masuknya Islam di Nusantara, tentu akan terasa hambar ketika
tidak ditelisik bagaimana proses transformasi keilmuan Islam. Dalam proses dakwah tentu tidak
akan bisa melepaskan diri pada upaya pemahaman keilmuan Islam semacam tauhid, fiqh dan
tasawwuf. Oleh sebab itu perlu dikemukakan sebuah hipotesis bahwa tidak akan mungkin para
pendakwah Islam yang datang ke Nusantara tidak membawa pula ilmu-ilmu ke-Islaman yang sudah
mereka kuasai sejak awal. Dari merekalah keilmuan Islam dipelajari oleh para muslim awal dan
merupakan awal sebuah keterkaitan antara dunia Islam dan muslim Nusantara yang berjalan sampai
sekarang.
Mengapa ilmu atau intelektualitas yang menjadi ide utama pembahasan tentang peradaban
Islam di Nusantara? Bukan pada bidang politik Islam, misalnya?
Hamid Fahmy Zarkasy, seorang intelektual Islam kontemporer, putra dari KH. Imam Zarkasy,
pendiri dan pioneer majunya Pondok Pesantren Gontor di Ponorogo, pernah mengutip Ibnu
Khaldun. Dalam sebuah tulisan yang berjudul “Ikhtiar Membangun Kembali Peradaban Islam yang
Bermartabat”, Fahmi Zarkasy menyatakan bahwa menurut Ibnu Khaldun substansi dari tanda
wujudnya peradaban Islam adalah berkembangnya ilmu pengetahuan seperti fisika, kimia, geometri,
aritmatika, astronomi, optic, kedokteran, dan lain sebagainya. 41 Sebuah bangsa akan diakui tinggi
peradabannya apabila penguasaan akan ilmu pengetahuan terjaga dengan baik. Hal tersebut
sepertinya menjadi kesepakatan umum sampai detik ini.
Adapun yang menjadi faktor berkembangnya aktivitas dan kreativitas keilmuan itu adalah
agama, spiritualitas atau kepercayaan. Para sarjana Islam banyak yang menyepakati bahwa agama
adalah asas peradaban, sebab tidak mungkin agama melahirkan kebiadaban. Beberapa sarjana
dimaksud yang menyepakati pendapat ini adalah Sayyid Quthb, Muhammad Abduh, Syed
Muhammad Naquib al-Attas, dan lain sebagainya. 42 Jawaban ini dapat dijadikan locus idea pada
tulisan ini bahwa ketika peradaban Islam dielaborasi dari sisi keilmuan, baik ilmu pengetahuan
maupun ilmu-ilmu agama, Islam akan mendapat pengakuan yang sangat luas. Apabila dikerucutkan
bahwa sejarah peradaban Islam di Indonesia bisa dielaborasi dalam spektrum sejarah intelektual

40 Rahayu Permana, Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia artikel internet


41 Laode M. Kamaludin (ed.), On Islamic Civilization: Peradaban Islam yang Sempat Padam (Semarang: Unissula Press,
2010) hlm. 19
42 Ibidi hlm. 19-21

11
atau sejarah sosialnya. Sejarah Intelektual sendiri akan bersangkut paut dengan genealogi
keilmuannya, menyangkut pula keterkaitan dunia Islam dan Islam di Nusantara.
Genealogi yang dimaksud dalam bahasan ini lebih dititikberatkan pada silsilah atau asal
muasal transmisi keilmuan Islam yang didapat muslim di Nusantara. Para ulama di Nusantara yang
menguasai ilmu tauhid, fiqih, filsafat dan tasawuf tentu memperoleh penguasaan ilmu-ilmu tersebut
dari proses belajar yang panjang dari guru-guru tertentu. Mereka berguru bertahun-tahun, merantau
sampai menyeberang benua dan berpisah dengan keluarga dalam rentang waktu yang lama. Namun
hal tersebut merupakan proses kelanjutan setelah proses dakwah Islam awal yang belum melahirkan
muslim par exellence, sebab transmisi ilmu terjadi secara sederhana.
Fenomena sederhananya proses pengajaran itu disebabkan oleh tidak banyaknya waktu guru
mengajar muridnya. Waktu terbanyak mereka curahkan pada upaya perjuangan melawan para
penjajah yang datang silih berganti. Sebagaimana Nurcholish Madjid mensinyalir setelah Majapahit
jatuh pada tahun 1478 dan Malaka jatuh pada kekuasaan Portugis pada tahun 1511, disusul
berdatangannya penjajah Eropa lainnya, membuat para pendakwah Islam dan muslim pribumi
sendiri – dan bahkan di Asia Tenggara pada umumnya – tidak bisa membagi waktu dalam hal
konsolidasi pemikiran dan budaya.43 Sehingga saat itu belumlah muncul muslim par excellence
yang lahir dari proses pendidikan di Nusantara sendiri.
Lebih jelasnya proses transmisi keilmuan itu terdiri dua fase:
Pertama, yang terjadi di dalam negeri. Geneologi transmisi keilmuan ini diawali dengan
berdatangannya para syarif atau sayyid dari Hadramaut di Nusantara sekitar abad ke 1 Hijriyah,
seperti kesimpulan Azyumardi Azra. Para syarif atau sayyid tersebut disamping mendakwahkan
Islam, mengajak agar orang-orang pribumi memeluk Islam, tentu juga banyak sekali ilmu-ilmu
keIslaman dasar yang mereka ajarkan. Sehingga muslim nusantara sudah mengenal ilmu tauhid,
fiqih dasar dan lain sebagainya. Bisa disebut bahwa muslim awal di Nusantara tersebut hanya
menguasai ilmu-ilmu keIslaman untuk amal keseharian saja.
Silsilah model yang pertama ini diawali dengan peristiwa hijrahnya Imam al-Muhajir Ahmad
bin Isa (lahir 273 H) dari Irak menuju Hadramaut disebabkan adanya ancaman pembantaian oleh
orang-orang Qaramitha terhadap penduduk Baghdad. Imam al-Muhajir Ahmad bin Isa adalah cucu
dari Imam Ja’far al-Sadiq yang merupakan canggah dari Sayyidina Ali r.a. Namun bukan Syiah
sebagai aliran yang dianut oleh Imam al-Muhajir Ahmad bin Isa, melainkan Ahlu Al-Sunnah Wa Al-
Jamaah yang fiqihnya bermazhab Syafi’i. Bahkan dalam catatan sejarah, beliau inilah penyebar
awal mazhab Syafi’i kepada penduduk Hadramaut.44 Setelah dari Hadramaut itulah dimulailah

43 Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia (Jakarta:
Paramadina, 1995) hlm. 24
44 Alwi Shihab, Antara Tasawuf... hlm. 36

12
perjalanan panjang dakwah, menyebar ke Gujarat India dan juga kawasan Asia Tenggara, termasuk
pula Indonesia.
Di antara anak turun Imam al-Muhajir Ahmad bin Isa yang mendakwahkan Islam di Nusantara
adalah Wali Sanga. Data tersebut diketahui dari garis silsilah yang merupakan hasil penelitian
Sayyid Zein bin Abdullah al-Kaf dan termaktub dalam buku yang berjudul “Khidmat al-Asyirah”.
Dalam garis silsilah tersebut Wali Sanga, seluruhnya, adalah dua atau tiga keturunan ke atas dari
Jamaludin Husain Akbar yang merupakan keturunan ketiga (cucu) dari Adzamat Khan (Gujarat).
Adapun Adzamat Khan adalah keturunan kedelapan dari Imam al-Muhajir Ahmad bin Isa. Jika
ditulis lengkap, maka nama lengkapnya menjadi Adzamat Khan bin Alwi bin Muhammad bin Ali
bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Imam al-Muhajir Ahmad bin Isa.45
Corak dakwah yang disampaikan Wali Sanga adalah tasawuf yang merujuk pada ajaran Imam
al-Ghazali dan fiqihnya menganut mazhab Syafi’i. Gambaran besar mengenai karya apa yang sudah
dihasilkan Wali Sanga dan bagaimana konsep dakwah kepada penduduk Nusantara saat itu terekam
dalam sebuah artikel yang ditulis Prof. Wijayakoesno, lalu dikutip Alwi Shihab, memberitahukan
bahwa ada sebuah buku karya Sunan Bonang yang berjudul “Primbon”.46
Buku tersebut berisi hakikat pemikiran dan mazhab yang dianut Wali Sanga baik akidah,
syariat dan tasawuf. Diriwayatkan, seperti dalam artikel tersebut, Sunan Bonang mendiktekan kitab
tersebut kepada muridnya yang bernama Syaikh Abd al-Bari. Dalam kitab tersebut diajarkan
pandangan atau pemikiran yang mengajak kepada tauhid, menjauihi syirik, dan mengingkari
kesesatan-kesesatan yang terdapat dalam kepercayaan-kepercayaan kebatinan dan kepercayaan
lainnya yang sesat.47
Pertama-tama yang diuraikan dalam kitab tersebut tentang makna tauhid yang murni, sifat-sifat
Allah swt dan nama-nama-Nya. Kemudian diterangkan bahwa manusia mempunyai kebebasan
berikhtiar, persis dengan konsep Asy’ariyah. Pada bagian penutup pengarang menjelaskan bahwa
seharusnya manusia selalu berupaya agar perilakunya sesuai lahir dan batin dengan syariat Allah
Swt, berbuat berdasarkan cinta kepada Rasulullah Saw dan didorong hasrat untuk mengikuti
Sunnahnya.48 Ajaran-ajaran itulah yang mereka sampaikan kepada penduduk pribumi saat itu,
dengan kondisi keterbelakangannya. Adapun sebab Wali Sanga adalah keturunan para syarif
Hadramaut, hal ini menandaskan tentang hubungan keterkaitan antara Hadramaut sebagai
perwakilan dunia Islam, dengan Islam yang ada di Nusantara.
Dan kedua, penduduk pribumi melakukan proses pencarian ilmu ke luar Nusantara. Pada model
inilah Islam di Nusantara mampu melahirkan ulama Islam par exellence. Yang mengawali proses ini

45 Ibid hlm.32
46 Ibid hlm. 29
47 Ibid hlm. 30
48 Ibid

13
adalah dua orang ulama, Abd al-Rauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri al-Sinkili dan Muhammad Yusuf al-
Maqassari. Keduanya merupakan muslim Nusantara yang belajar di Haramayn (Makkah dan
Madinah). Keduanya belajar kepada ulama besar saat itu, Ibrahim al-Kurani. 49 Bahkan keduanya
merupakan jaringan ulama yang ada di selingkup Ibrahim al-Kurani. Rata-rata seluruh cabang ilmu
keIslaman dipelajari ulama Nusantara yang belajar di Haramayd. Akan diikuti pula ulama-ulama
Nusantara lainnya untuk belajar di Haramayn. Ketua PBNU yang sekarang KH. Said Aqil Siraj juga
lulusan Arab Saudi, mulai S1 di Universitas King Abdul Aziz, S2 dan S3 di Universitas Ummul
Qura.50 Bahkan sampai sekarangpun masih banyak mahasiswa Indonesia yang belajar di universitas-
universitas di Arab Saudi.
Selain Arab Saudi, banyak pula mahasiswa yang mengenyam pendidikan agama di negara lain
di wilayah Asia Selatan. Banyak yang pelajar Indonesia yang belajar agama di Yaman, Pakistan,
Iran, Suriah, Turki dan beberapa negara Islam lainnya. Sayang sekali dalam tulisan ini tidak banyak
terekam, padahal faktanya sangatlah banyak pula tentang siapa-siapa mereka yang pernah belajar di
negara-negara tersebut. Beberapa yang terekam, antara lain Prof. Komaruddin Hidayat pernah
belajar di Departmen of Philosophy, Institute of Social Sciences Middle East Technical University
(METU), Ankara, Turki, juga Prof. Amin Abdullah juga belajar di universitas yang sama. Di Iran,
yang terekam adalah Ammar Fauzi Heryadi yang pernah menulis sebuah artikel “Logika Tindakan:
Membangun Sistem Nilai Religius” dimuat pada Jurnal Al-Huda. Dalam profil singkatnya, Ammar
Fauzi Heryadi pernah mengenyam pendidikan di Hawzah Ilmiyah Qum, Iran.51
Di wilayah Afrika, khususnya Mesir, Sudan, Maroko dan Tunisia, juga banyak para sarjana
Islam di Nusantara yang pernah mengenyam pendidikan dalam waktu yang lama. Diantara
cendekiawan muslim kesohor Nusantara yang lulusan Afrika antara lain Prof. Quraish Shihab (al-
Azhar, Mesir), Prof. Rom Rowi (al-Azhar, Mesir), Prof. Ahmad Zahro (Sudan), dan lain-lainnya.
Tentu masih banyak para sarjana Islam di Nusantara tamatan Afrika tersebut.
Adanya fakta tentang transmisi ilmu dimana sarjana di Nusantara belajar ke negara-negara
Islam lainnya tersebut menunjukkan pula adanya keterkaitan di bidang lainnya. Misalnya, dalam
bidang diplomasi, perdagangan, pendidikan (seperti diterangkan), budaya dan politik. Mengenai
politik, Indonesia bersama negara-negara Islam lainnya berkumpul dalam sebuah wadah organisai
bernama Organization of the Islamic Cooperation atau dalam istilah Indonesia disebut Organisasi
Konferensi Islam (OKI), berdiri pada 25 September 1969. Berdirinya organisasi ini sebagai respon
peristiwa pembakaran Masjid al-Aqsa di Yerusalem pada 21 Agustus 1969. 52 Indonesia juga pernah
berposisi sebagai pimpinan OKI.
49 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama... hlm. 103
50 Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Said_Aqil_Siroj/
51 Ammar Fauzi Heryadi, Logika Tindakan: Membangun Sistem Nilai Religius dalam Jurnal Al-Huda volume II, nomor 8
(Jakarta: Islamic Center, 2002) hlm. 89
52 Lihat http://id.im.wikipedia.org/wiki/Organisasi_Kerjasama_Islam/

14
D. Capaian Peradaban Islam di Nusantara
Nusantara merupakan salah satu peradaban kuno yang ada di dunia ini. Peradaban ini dibangun
sejak sebelum masehi dengan bukti adanya sebuah kerajaan kuno yang bernama Kerajaan Kandis
yang berkuasa di wilayah Lubuk Jambi, Riau. Kerajaan ini meninggalkan jejak-jejak arkeologis
yang berada di tengah hutan adat Lubuk Jambi. Jejak arkeologis tersebut berwujud batu-batu kuno
diduga sebagai pagar batas kerajaan, tiang batu diduga sebagai menara kerajaan dan gua yang
diduga sebagai pintu gerbang kerajaan.53
Kerajaan Kandis adalah kerajaan tertua yang ditemukan oleh para arkeolog dan sejarahwan.
Jika ditelusuri lebih lanjut, kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Nusantara, dari berbagai suku dan
agama, dimulai Kerajaan Kandis sampai terakhir Kesultanan Langkat di Sumatera Utara yang
berdiri pada 1877, maka ada sejumlah 75 kerajaan. Kerajaan-kerajaan tersebut menyebar ke
seantero Nusantara dengan berbagai wujud peradabannya masing-masing.54 Data lebih lengkap bisa
dibaca pada buku yang ditulis Ahmad Y. Samantho berjudul “Atlantis Nusantara” yang diterbitkan
Phoenix Jakarta.
Akan halnya tentang peradaban Islam di Nusantara yang juga ada sejak abad 1 Hijriyah atau 7
Masehi, terang sekali ia berdampingan erat dengan peradaban asli Nusantara. Selama ini yang kita
ketahui bahwa hadirnya Islam tidak pernah mengeliminir bahkan mengganti peradaban yang sudah
ada di daerah dakwah Islam. Islam sebagai budaya dan ajaran selalu berdampingan erat, dan bisa
dikatakan pula beberapa ada yang saling bersinkretik. Keduanya saling berakulturasi dengan mesra,
sebab memang dakwah Islam di Nusantara bernuansa kedamaian.
Karena berdampingan itulah, pemandangan sampai detik ini menunjukkan bahwa budaya asli
daerah masih mengada dan lestari. Begitu pula dengan Islam sebagai peradaban juga menampakkan
wajahnya dengan cantas. Lalu apa saja wujud peradaban Islam yang ada di Nusantara yang muncul
mulai abad 17 Masehi sampai dengan sekarang ini? Jawabannya diuraikan di bawah ini.
Ulama Kesohor di Nusantara
1. Ulama Nusantara Abad ke 17 dan 18 M
 Hamzah Fansuri
Tidak diperoleh data sejarah yang lengkap mengenai kapan Hamzah Fansuri dilahirkan,
juga tentang guru-guru yang mengajarnya. Data yang diperoleh memberitahukan bahwa ia
berasal dari desa yang bernama Syahru Nawi di Siam, atau Thailand sekarang. Ia hidup dan
tinggal di Nusantara di masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda di Kerajaan Aceh antara
tahun 1550 – 1605 M.55

53 Ahmad Y. Samantho, Atlantis Nusantara... hlm. 329-331


54 Ibid hlm. 313-316
55 Alwi Shihab, Antara Tasawuf...hlm. 141

15
Dia dikenal sebagai pengusung ajaran tasawuf falsafi tentang wahdah al-wujud yang
diperkenalkan oleh Ibn ‘Araby. Dia pernah belajar ke Persia, India, dan Haramayn (Makkah
dan Madinah). Dalam karya-karyanya ia banyak menyebut sufi-sufi kesohor lainnya seperti
Abu Yazid al-Busthami, al-Junaid al-Baghdadi, al-Hallaj, al-Ghazali, dan lain-lainnya. Ia
sangat menguasai ajaran-ajaran para sufi tersebut.56
Hanya ada 3 karya Hamzah Fansuri yang berhasil dilacak para sejarahwan antara lain,
Kitab Asrarul ‘Arifin, Kitab Syarabul ‘Asyiqin dan Kitab al-Muntaha. Seluruh kitab-kitab
tersebut membicarakan tentang tauhid, makrifat dan suluk, seperti pemahaman Ibn Araby.
Karya-karya tersebut diklaim sebagai karya tasawuf pertama kali dari ulama Nusantara.57
Mengapa data tentang Hamzah Fansuri yang tidak banyak diketahui? Ternyata memang
di zaman kesultanan di Aceh saai itu, pemerintah tidak mempunyai i’tikad untuk menulis
riwayat tentang Hamzah Fansuri dalam catatan kesultanan yang berjudul Hikayat Aceh.
Salah satu faktor utama tidak diterakannya nama Hamzah Fansuri adalah sikap kritisnya
kepada pemerintahan dan para bangsawan saat itu yang suka berfoya-foya dan mengadakan
pesta.58 Kelak, ajaran dan citra Fansuri yang sebetulnya luar biasa, ditentang habis-habisan
oleh ar- Raniri.
 Nuruddin ar-Raniri
Nama lengkapnya Nur al-Din bin Ali bin Hasanji al-Hamid as-Syafii al-Asyariy al-
Aydrusi. Ia dilahirkan di Ranir, sebuah kota pelabuhan kuno di pantai utara Gujarat, India
pada tahun yang tidak diketahui. Meninggal dunianya pada hari Sabtu, 22 Dzulhijjah 1068 H
atau 21 September 1658 M.
Ia merupakan seorang muhajir dari Hadramaut, seorang yang diduga seketurunan
dengan seorang sahabat Nabi bernama Abdurrahman bin Auf r.a. Mungkin juga nenek
moyangnya adalah al-Humayd yang dihubungkan dengan nama Abu Bakar Abd Allah bin
Zubair al-Asadu al-Humaydi yang merupakan murid dari Imam Syafi’i.59
Pendidikan dasarnya ia selesaikan di tempat kelahirannya, Ranir, Gujarat. Kemudian ia
meneruskan pendidikan agamanya di kota Tarim, Hadramaut yang merupakan kawah
candradimuka para ulama Nusantara. Dia pernah belajar ke beberapa guru antara lain,
Syaikh Abu Hafs Umar ibn Abdullah Basyaiban al-Alawi yang menganugerahkannya ijazah
memasuki tarekat Rifaiyah, ajaran tasawuf banyak ia peroleh dari Sayyid Muhammad al-
Idrus al-Alawi. Ia merupakan penganut tasawuf Sunni yang berkiblat kepada al-Ghazali.60

56 Ibid hlm. 142


57 Ibid hlm. 144
58 Ibid hlm. 147
59 Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya (Depok: Rajagrafindo Persada, 2012) hlm.
234
60 Alwi Shihab, Antara Tasawuf... hlm. 82

16
Kedatangannya ke Aceh dan juga sebagai awal bertempat tinggal di daerah tersebut
pada 1637 M pada masa Sultan Iskandar II. Pendapat yang lain adalah kedatangannya
sebelum tahun tersebut, yang tercantum dalam buku karyanya as-Shirat al-Mustaqim,
sebuah buku yang berbahasa Indonesia.61
Diantara karya-karya yang sudah dihasilkannya antara lain, As-Shirat al-Mustaqim,
Durrah al-Fara’idh fi Syarh al-‘Aqaid, sebuah kitab penjelas dari kitab Syarh al-‘Aqaid al-
Nasafiyah (karya Imam Sa’duddin al-Taftazani), Hidayah al-Habib fi al-Targhib wa al-
Tarhib fi al-Hadits dalam bahasa Arab, Bustan al-Salathin fi Dzikr al-Awwalin wa al-
Akhirin (sebuah buku sejarah lengkap tentang Aceh yang dibahas juga sejarah nabi, wali,
raja-raja, sejarah Melayu, tentang akal, firasat, sifat-sifat perempuan dan cerita-cerita aneh),
Nubdzah fi Da’wah al-Dzill (yang membahas tasawuf tentang sesatnya paham panteisme),
Lathaif al-Asrar tentang tasawuf, Asrar al-Insan fi Ma’rifah al-Ruh wa al-Bayan (tentang
manusia dan Allah swt, ruh dan hakikatnya, ditulis dengan bahasa Indonesia), Al-Tibyan fi
Ma’rifah al-Adyan fi al-Tasawwuf tentang bantahan para pendukung Fansuri yang
menjadikan pula hujjah putusan hukuman mati kepada mereka.62 Dan masih ada 21 kitab
lagi yang dapat dibaca pada buku “Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi” karya Alwi
Shihab.
Mengenai pertentangannya dengan Hamzah Fansuri dan pengikutnya yang
menyebarkan ajaran panteisme Ibnu Araby, diceritakan bahkan ar-Raniri beserta
pengikutnya sampai membakar buku-buku karya Fansuri dan membunuh banyak sekali
pengikutnya. Sebagai bentuk penentangan ajaran yang dikatakannya sesat.63
Walaupun begitu jasa ar-Raniri terhadap Islam di Nusantara sangatlah besar. Dialah
peletak dasar pembaruan Islam yang ia bawa dari Haramayn. Jasanya kepada bangsa
Indonesia secara umum juga sangatlah besar sebab dia berperan sangat besar terhadap
perkembangan bahasa Melayu sebagai lingua franca di wilayah Melayu dan Indonesia.
Bahkan dialah yang disinyalir sebagai pujangga (sastrawan) Melayu pertama.64

 Abd al-Rauf al-Sinkili


Nama lengkapnya Abd al-Rauf bin ‘Ali al-Jawi al-Fansuri al-Sinkili, seorang Melayu
dari daerah Fansur atau Sinkel sekarang, sebuah wilayah di pantai barat laut Aceh. Rinkes

61 Ibid
62 Ibid
63 Ibid hlm. 138
64 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama... hlm. 237-238

17
seperti diungkapkan Azra meneliti bahwa al-Sinkili lahir pada 1024 H/ 1615 M 65 dan
meninggal pada 1105 H/ 1693 M66 yang artinya umur al-Sinkili sekitar 78 tahun.
Riwayat pendidikannya dimulai di desa kelahirannya untuk menempuh pendidikan
dasar. Selanjutnya ia teruskan ke Banda Aceh berguru kepada Hamzah Fansuri dan Syamsu
al-Din al-Sumatrani. Kemudian proses belajar itu ia teruskan di Arabia dengan berguru
kepada banyak syeikh. Dalam bidang hadis dan fiqih ia berguru kepada Ibrahim bin Abd
Allah bin Jam’an. Ibrahim al-Kurani, Isa al-Maghribi dan Ibn Abd al-Rasul al-Barzanji
merupakan guru-guru lainnya yang mengajar al-Sinkili. 67 Khusus tentang Ibrahim al-Kurani,
oleh banyak syeikh lainnya, ia dikenal sebagai mujaddid di abad itu, 11 Hijriah, karena
penguasaan dan pemahaman akan ilmu-ilmu keIslaman, fiqih, tauhid, tasawuf, tafsir dan
hadis. Yang memberikan kebanggaan bagi muslim Nusantara bahwa genealogi keilmuan
Islam Nusantara bersambung kepada seorang mujaddid tersebut.
Beberapa karya yang sudah ia hasilkan antara lain Mir’at al-Thullab fi Tasyi; Ma’rifat
al-Ahkam al-Syariyah li al-Malik al-Wahhab (fiqih), Tarjuman al-Mustafid yang disinyalir
sebagai fiqih muamalat pertama di wilayah Melayu dan Indonesia, Mawa’iz al-Badi’ah
(kumpulan hadis qudsi)68, ‘Umdat al-Muhtajin ila Suluk Maslak al-Mufridin (biografi
keilmuannya dan tasawuf), Kifayat al-Muhtajin ila Masyrab al-Muwahhidin al-Qailin bi
Wahdat Wujud (tentang mistisisme).69
Jasa besar dari al-Sinkili adalah penguatan keilmuan Islam dari Arab yang ia usung ke
Nusantara, yang juga dikatakan sebagai usaha pembaruan. Cara yang ia pakai berbeda
dengan ar-Raniri yang cenderung radikal-revolusioner, al-Sinkili menggunakan cara yang
damai ketika menghadapi paham-paham yang dianggapnya sesat.
 Muhammad Yusuf al-Maqassari
Nama lengkapnya adalah Muhammad Yusuf bin Abd Allah Abu al-Mahasin al-Taj al-
Khalwati al-Maqassari, yang dilahirkan di Makasar pada 1037 H/ 1627 M dan meninggal
pada 1111 H/ 1699 M. Menurut Azra, membicarakan al-Maqassari sangat luas
jangkauannya, sebab ia telah melalui banyak wilayah dan negara, antara lain Sulawesi
Selatan, Jawa Barat, Arabia, Srilanka dan Afrika Selatan. Dialah salah satu ulama Nusantara
yang domain aktivitasnya begitu luas, lintas benua. 70 Karena jangkauan yang sangan luas ia
kemudian dikenal dengan sebutan da’i kelana.

65 Ibid hlm. 239


66 Abuddin Nata, Sejarah Sosial... hlm. 237
67 Ibid
68 Ibid hlm. 238
69 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama... hlm. 257-259
70 Abudin Nata, Sejarah Sosial... hlm. 241-242

18
Diantara banyak gurunya yang tersebar di Haramayn, Damaskus, Hadramaut, dan lain
sebagainya adalah Ibrahim al-Kurani merupakan guru utamanya. Hubungannya begitu
dekat, sampai pernah al-Maqassari ditugaskan gurunya itu untuk menyalin beberapa kitab
antara lain al-Durrat al-Fakhirah dan Risalah fi al-Wujud.71
Tidak banyak karya-karya yang terekam dari al-Maqassari selain Safinat al-Najah
(fiqih). Yang jelas ia menduduki jabatan khalifah di tiga tarekat yang berbeda;
Naqsabandiyah, Qadiriyah dan Khalwatiyah.72
 Abd al-Shamad al-Palimbangi
Nama lengkapnya Abd al-Shamad bin Abd Allah al-Jawi al-Palimbangi, lahir di
Palembang pada 1116 H/ 1704 M dan meninggal pada 1203 H/ 1789 M. Beberapa guru yang
mengajarnya di Mekkah dan Madinah antara lain Syeikh Muhammad Samman, Muhammad
bin Sulayman al-Kurdi, Abd al-Mun’im al-Damanhuri, Ibrahim al-Rais, Muhammad Murad,
Muhammad al-Jauhari dan Atha Allah al-Mashri.73
Di antara karya-karya yang sudah dihasilkannya antara lain Hidayah al-Salikin, Siyar
al-Salikin, Zahrat al-Murid fi Bayan Kalimat al-Tauhid, Tuhfah al-Raghibin fi Bayan
Haqiqat Imam al-Mu’minin, Nasihat al-Muslimin wa Tadzkirat al-Mu’minin fi Fadhail al-
Jihad fi Sabilillah, al-Urwat al-Wutsqa wa Silsilat Uli al Ittiqa, Ratib Abdus Shamad al-
Falimbani dan Zad al-Muttaqin fi Tauhid Rabbil Alamin.
Al-Palimbangi dikenal sebagai ulama ahli tasawuf yang pernah mengirimkan surat
nasihat kepada Hamengku Buwono I dan Pangeran Singosari untuk menjalankan Jihad di
jalan Allah untuk meneruskan perjuangan para sultan Mataram melawan Belanda. Seperti
tercatat di dalam kitabnya Nasihat al-Muslimin wa Tadzkirat al-Mu’minin fi Fadhail al-
Jihad fi Sabilillah.74 Merupakan sebuah bukti bahwa ulama dulu tidak hanya menyampaikan
ilmu, tapi juga ikut berjuang dan menyemangati perjuangan tersebut.
 Muhammad Arsyad al-Banjari
Ia bernama lengkap Muhammad Arsyad bin Abd Allah al-Banjari. Ia dilahirkan di
Martapura, Kalimantan Selatan. Dia lahir pada tahun 1710 dan meninggal dunia pada tahun
1812 M. Ketika ia dewasa meneruskan pendidikan keagamaannya ke Makkah dan Madinah.
Diantara guru-gurunya antara lain al-Palimbangi, Abd al-Wahab Bugis dan Syeikh Abd al-
Rahman al-Misri.75
Arsyad al-Banjari dikenal sebagai pengarang buku fiqih Perukunan Melayu – di
samping ada karya-karya lainnya – yang menjadi pegangan selama 200 tahun. Ia dikenal
71 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama... hlm. 277
72 Nor Huda, Islam Nusantara... hlm. 187
73 Abuddin Nata, Sejarah Sosial... hlm. 246
74 Muhammad Syamsu, Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya ( Jakarta: Penerbit Lentera, 1999) hlm. 243
75 Ibid hlm. 244

19
pula menguasa tasawuf, ilmu hisab dan ilmu falak. Selain Perukunan Melayu ia juga
mengarang kitab Sabil al-Muhtadin.76
2. Ulama Nusantara Abad ke 19 dan 20 M
 Ahmad Ripangi
Ia dilahirkan di Kendal, Semarang pada tahun 1786 M dan meninggal dunia pada tahun
1859 M. Syeikh Ahmad Ripangi belajar di Mekkah dan Madinah selama 8 tahun, disamping
juga melaksanakan haji. Setelah kepulangannya ke tanah air ia bertempat tinggal di
Kalisasak, Kabupaten Batang Jawa Tengah. Ia dikenal sebagai ulama yang tidak mau tunduk
pada Belanda yang akibatnya ia pernah diasingkan ke Ambon hingga kematiannya di sana.77
Diantara karya-karya intelektualnya antara lain kitab Husn al-Mathalib, Asn al-
Maqashid, Jam’ al-Masail, Bayan al-Hawaij dan Ri’ayat al-Himmat. Ia merupakan
pengobar semangat perjuangan nasional pasca Belanda memadamkan Perang Diponegoro
pada 1825 sampai 1826 M.78
 Nawawi al-Bantani
Nawawi al-Bantani dilahirkan pada 1230 H/ 1813 M di Banten, Jawa barat dan
meninggal pada 1314 H/ 1887 M. di Makkah dimakamkan di Ma’la, berdekatan dengan
makamnya Siti Khadijah r.a. Ia sejak kecil dikenal sangat senang untuk mempelajari banyak
ilmu, antara lain ilmu kalam, nahwu, tafsir dan fiqih.79
Setelah dewasa ia meneruskan pencarian ilmunya ke Makkah dan Madinah ketika
usianya masih 15 tahun. Ia juga pernah belajar di Suriah dan Mesir. Diantara guru-gurunya,
antara laim Sayyid Ahmad bin Sayyid Abd Rahman al-Nahrawi, Sayyid Ahmad Dimyati,
Syeikh Khatib Sambas al-Hambali ada seorang guru yang bernama Sayyid Ahmad bin Zaini
Dahlan,80 yang dikenal sebagai gurunya para ulama Indonesia.81
Adapun murid-muridnya ketika ada di Makkah yang berasal dari Nusantara antara lain
KH. Hasyim Asy’ari, KH. Khalil Bangkalan, KH. Ilyas Serang dan KH. Tubagus
Muhammad Asnawi. Serta murid-murid lainnya yang tidak tercatat di dalam sejarah.82
Karena kealimannya iapun dijuluki sebagai Syeikh al-Hijaz oleh ulama-ulama Arab saat itu.

76 Ibid
77 Ibid hlm. 245
78 Ibid
79 Abuddin Nata, Sejarah Sosial... hlm. 252
80 Ibid
81 Diantara para murid Syeikh Ahmad bin Zaini Dahlan lainnya yang berasal dari Nusantara antara lain Kiai Muhammad
bin Abdullah al-Suhaimi, Kiai Muhammad Saleh Darat, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Sayyid Utsman bin Yahya
al-Batawi, Tuan Husni Kedah, Syekh Ahmad Yunus Lingga, Sayyid Abdullah al-Zawawi, Datuk Haji Ahmad, Syekh Abdul
Hamid Kudus, Kiai Muhammad Khalil al-Maduri, Haji Usman bin Abdullah al-Minangkabawi, Syekh Arsyad Thawil al-
Bantani, Syekh Muhammad al-Fathani bin Syekh Abdul Qadir, dll. Lihat Syekh Ahmad bin Zaini Dahlan, Menolak
Mazhab Wahabi: Ulasan Kritis Kesalahan dan Penyelewengan Aliran Wahabi terjemah oleh Agus Khudori (Jakarta:
Turos, 2015) hlm. 212
82 Abuddin Nata, Sejarah Sosial... hlm. 253

20
Ada banyak karya-karya intelektualnya yang berhasil ia susun, antara lain Tafsir Marah
Labid li Kasyfi ma’a al-Qur’an al-Majid (tafsir), Syarah Fath al-Qarib al-Mujib, Syarah
Kitab al-Jurumiyah, Lubabul Bayan (balaghah), Syarah Dhariat al-Yaqin, Syarah al-Durr
al-Farid, Syarah Bidayat al-Hidayah, Nashaih al-Ibad, dan lain sebagainya.83
 KH. Saleh Darat
Nama lengkapnya Muhammad Shalih bin Umar al-Samarani atau dikenal sebagai Kiai
Saleh Darat. Ia lahir di Kedung Jumbleng, Kecamatan Mayong Kabupaten Jepara pada
tahun 1820 dan wafat pada tahun 1903. Ia memiliki andil besar dalam upaya penyebaran
Islam di pantai utara Jawa, khususnya Semarang.84
Ayah dari Kiai Saleh Darat bernama Kiai Haji Umar, juga merupakan ulama terkemuka
yang dipercaya Pangeran Diponegoro dalam perang melawan Hindia Belanda. Sejak kecil
Kiai Saleh Darat sudah mengenyam pendidikan agama yang tekun, dari guru satu ke guru
yang lain dan mempelajari banyak kitab. Diantara nama guru-gurunya tersebut antara lain
KH. Syahid Waturaja, KH.M. Sahid (cucu Syeikh Ahmad Mutamakkin, Kajen), KH.
Muhammad Salih bin Asnawi, Kiai Iskak di Damaran, Kiai Abu Abdillah Muhammad al-
Hadi bin Baquini, dan lain-lainnya. Sementara muridnya sendiri juga banyak sekali, salah
satunya adalah KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, KH. Ahmad Dahlan, pendiri
Muhammadiyah dan RA. Kartini.85
Adapun gelar “Darat” sendiri merupakan nama panggilan disebabkan ia tinggal di darat,
tepatnya pantai utara, Semarang di Jawa Tengah. Sampai kini nama Darat masih abadi
disematkan pada dua desa yang ada di wilayah tersebut, Desa Nipah Darat dan Darat Tirto.86
Banyak sekali karya yang sudah ia hasilkan, antara lain Tarjamah Sabil al-Abid ‘ala
Jauhar al-Tauhid, Tafsir Faid al-Rahman, Majmu’ah al-Syariah al-Kufiyah li al-Awwam,
Kitab Munjiyat, Kitab Hikam (namanya sama dengan Hikam yang ditulis Ibn Athaillah al-
Sakandari dan sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, juga sudah diterbitkan), Kitab
Lataif al-Taharah, Kitab Manasik Haji, Kitab Pasalatan, Kitab Asrar al-Salah, dan lain
sebagainya.87
 KH. Mahfudz al-Tirmisi
Ia lahir di Pacitan Jawa Timur pada 12 Jumadil Ula 1258 H/ 1868 M dan meninggal
dunia di usia muda sekitar 51 tahuin di Makkah pada tahun 1338 H/ 1919 M. Dalam

83 Muhammad Syamsu, Ulama Pembawa... hlm. 246


84 Aguk Irawan MN, Penakluk Badai: Novel Biografi KH. Hasyim Asy’ari (Depok: Global Media Utama, 2012) hlm. 84
85 Ibid
86 Ibid
87 Ibid hlm. 89

21
peristiwa pemakamannya itu dihadiri ribuan pelayat yang mengantarkan jenazahnya ke
pekuburan keluarga Sayyid Abu Bakar bin Sayyid Muhammad Syata di Makkah.88
Sejak kecil ia sudah mengenyam pendidikan agama dari keluarganya. Pada usia yang
masih dini, 6 tahun, ia dibawa ayahnya ke Makkah. Selama di Makkah itulah ia
diperkenalkan oleh ayahnya banyak sekali kitab. Sampai kemudian di kala ia telah dewasa,
ia dibawa kembali oleh ayahnya ke tanah air dan dimasukkan ke pesantrennya Kiai Saleh
Darat di Semarang.89
Selain Kiai Saleh Darat, beberapa guru dari Mahfudz al-Tirmasi antara lain KH. Abd
Allah ayahnya, Muhammad al-Munsyawi, Syeikh Umar bin Barakat al-Sami, Syeikh
Mustafa bin Muhammad bin Sulaiman, Allamah al-Habib Sayyid Husain bin Muhammad
bin Husein al-Habsy, dan lain sebagainya. Guru-guru tersebut berasal dari Nusantara sendiri,
Makkah dan Madinah.90
Banyak sekali karya intelektual yang sudah ia hasilkan. Karya-karya tersebut tidak
hanya membicarakan fiqih, tapi juga tauhid, tafsir, hadis dan tasawuf. Kitab-kitab tersebut
antara lain al-Siqayah al-Mardliyah fi Asma al-Utub al-Fiqhiyah al-Syafiiyah, al-Minhaj al-
Khairiyah fi Arbain Haditsan min Ahadits Khair al-Bariyah, al-Khal’ah al-Fikriyah bin
Syarh al-Minhaj al-Khairiyah, Muhibah Dzi al-Fadhl ala Syarh Muqaddimah Bafadhal,
Kifarat al-Mustafid fima Ala min Asanid, al-Fawaid al-Tirmisiyah di Asanid al-Qura’at al-
Asy’ariyah, al-Budur al-Munir fi Qiraah al-Imam Ibn Katsir, dan masih banyak yang
lainnya. Al-Tirmisi dapat digolongkan ulama Nusantara yang sangat produktif dalam
berkarya. Menunjukkan pula betapa dalam penguasaan bahasa Arabnya dan pemahaman atas
ilmu-ilmu agama.91
 KH. Khalil Bangkalan
Ia lahir di Bangkalan Madura pada tahun 1235 H/ 1819 M dan meninggal dunia pada
tahun 1343 H/ 1925 M. Sejak kecil ia mencerap ilmu agama dari ayahnya yang bernama H.
Abd Latif. Di usia muda ia sudah bisa menghafal alfiyah karangan Ibn Malik (w. 1212 M),
konon membacanya dengan cara membalik kitab.92
Ketika ia telah dewasa, ia berangkan ke Makkah dan Madinah untuk meneruskan
belajar agama. Diantara guru-guru yang mengajarnya adalah Nawawi al-Bantani, Syeikh
Abd al-Karim (dalam bidang bahasa, fiqih dan tasawuf), Mahfuz al-Tirmisi dan lain-lainnya.
Adapun murid juga banyak sekali yang menjadi ulama disegani, antara lain KH. Hasyim
Asyari, K. Manaf Abd Karim, Lirboyo, KH. M. Munawir, pendiri Pesantren Krapyak, K.
88 Abuddin Nata, Sejarah Sosial... hlm. 254
89 Ibid
90 Ibid
91 Ibid hlm. 257
92 Abuddin Nata, Sejarah Sosial... hlm. 258

22
Maksum pendiri Pesantren Lasem, K. Wahab Hasbullah pendiri Pesantren Tambak Beras,
dan lain-lainnya.
Dalam proses lahirnya Nahdlatul Ulama, peran KH. Kholil Bangkalan sangatlah besar.
Sebagai guru dari KH. Hasyim Asy’ari, ia telah memberikan dorongan spirit dan merupakan
juga sebuah visi jangka panjang tentang pentingnya dibentuk organisasi yang didalamnya
menghimpun ulama dan umat Islam yang berpaham tradisional. Kemudian lahirlah NU di
tangan KH. Hasyim Asy’ari.
 KH. Hasyim Asy’ari
Ia lahir di Gedang Jombang pada tahun 1287 H/ 1871 M dari ayah yang bernama Kiai
Asy’ari yang berasal dari Demak, dan meninggal dunia pad 26 Juli 1947. Kiai Asy’ari
adalah keturunan ke 8 dari Jaka Tingkir atau Sultan Pajang, seorang putra Raja Brawijaya
VI. Oleh karenanya, jika dalam terminolgi Jawa, kedudukan KH. Hasyim Asy’ari adalah
sebagai seorang bangsawan Jawa.93
Sejak kecil ia sudah dididik dengan cara pesantren oleh Kiai Usman. Pada tahun 1876
M ia dibawa kedua orang tuanya ke Keras, sebuah desa di Kecamatan Diwek bagian selatan.
Hingga pada usia 15 tahun ayahnya telah memberikan dasar-dasar ilmu agama. Ia dikenal
cerdas dan gampang mencerna keterangan dari ayahnya dan gurunya yang lain.94
Diusia yang masih belia itu, 15 tahun, ia sudah mengunjungi dan bermukim di 5
pesantren di Jawa Timur, seperti Pesantrennya Kiai Ya’qub di Siwalan Panji Buduran
Sidoarjo, Pesantrennya KH. Kholil di Bangkalan, Pesantren Langitan Tuban yang diasuh
KH. Abdul Hadi, Pesantrennya KH. Shaleh Darat di Semarang. 95 Diduga pula KH. Hasyim
Asyari pernah bermukim pula di sebuah pesantren di Dusun Prapen Kelurahan Kranggan di
Mojokerto, namun belum ada data yang valid.
Ia pula pernah belajar ke Makkah pada guru-guru yang sudah kesohor, antara lain
Syeikh Nawawi al-Bantani, Syeikh Mahfuz al-Tirmisi, Syeikh Ahmad Khatib, Syeikh Abd.
Al-Hamid al-Darustani dan Syeikh Muhammad Syuaib al-Maghribi.96 Ketika di pesantren
Kiai Soleh Darat dan berguru kepada Syeikh Ahmad Khatib al-Sambas itulah bersama KH.
Ahmad Dahlan, sebagai kawan dan sama-sama sebagai murid dua syeikh tersebut. Dalam
novelnya Aguk Irawan MN, ada sebuah bab yang menunjukkan begitu akrabnya dua tokoh
besar Nusantara ini. Sangat mesra seperti adik dan kakak, bab tersebut berjudul “Kang Mas
Kiai Ahmad Dahlan.”97

93 Ibid hlm. 262


94 Ibid
95 Aguk Irawan MN., Penakluk Badai... hlm. 80
96 Abuddin Nata, Sejarah Sosial... hlm. 263
97 Aguk Irawan MN, Penakluk Badai... hlm. 183

23
Apa yang sudah dihasilkan dari sosok yang digadang sebagai “Hadratus Syeikh” ini
sungguh sangat besar bagi bangsa Indonesia. Di samping karya intelektualnya, juga yang
paling puncak adalah bersama kiai yang lain ia mendirikan Nahdlatul Ulama pada 31 Januari
1926, yang akan diuraikan di bab tersendiri. Adapun karya intelektual yang sudah
dihasilkannya antara lain al-Tibyan fi al-Nahy an Muqathaah al-Arham wa al-Aqarib wa al-
Ikhwan (tata cara silaturahmi), Mukaddimah al-Qanun al-Asasi li Jam’iyah Nahdlat al-
Ulama (undang-undang NU), Risalah fi Ta’kid al-Akhdz bi Mashab al-Aimmah al-Arbaah
(mazhab empat), Mawaiz (beberapa nasihat), Arbain Haditsan Tataallaq bi Mabadi’
Jam’iyah Nahdlatul Ulama (40 hadis), al-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin,
Risalah ahl Sunnah wa al-Jamaah fi Hadits al-Mauta wa Syarat as-Sa’ah wa Bayan
Mafhum al-Sunnah wa al-Bid’ah, al-Risalah fi al-‘Aqaid,98 dan masih banyak lainnya.
3. Ulama Moderen Nusantara
Berbeda dengan apa yang diuraikan pada penjelasan sebelumnya, pada subtema ini akan
diuraikan para ulama moderen atau pembaru Islam. Ulama yang telah meresapi semangat
pembaruan dari Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla. Ketiganya merupakan pengusung
gerakan Islam moderen di Timur Tengah. Ada yang mensinyalir, bahwa gerakan Islam
moderen atau pembaru Islam di Nusantara mengikut pula gerakan Wahabi yang diusung
Muhammad bin Abd al-Wahab di Hijaz. Namun hal tersebut dikritik oleh Suaidi Asy’ari,
dalam bukunya, Nalar Politik NU dan Muhammadiyah: Over Crossing Java Sentris, yang
menyatakan bahwa sangat berbeda gerakan pembaru di Indonesia dengan gerakan yang
diusung Muhammad bin Abd al-Wahab. Perbedaan tersebut terletak pada sikap tolerannya
para ulama pembaru dan organisasinya terhadap muslim di Nusantara yang banyak berbeda,
sedangkan Muhammad bin Abd al-Wahab cenderung intoleran bahkan kejam terhadap
perbedaan yang merupakan keniscayaan.99 Sehingga menjadi tidak berlaku lagi
pensinyaliran tersebut, sebab gerakan pembaruan Islam di Nusantara memang sangatlah
berbeda.
Lebih lengkapnya para ulama pembaru tersebut antara lain:
 Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi
Ia adalah seorang pelopor pembaruan Islam di Minangkabau. Ia dilahirkan di Bukit
Tinggi pada tahun 1855 dan meninggal dunia pada tahun 1916. Sejak kecil ia bersekolah
rendah pada lembaga sekolah Hindia Belanda. Baru pada usia 11 tahun ia dibawa ke
Makkah dan belajar agama di sana.100

98 Ibid hlm. 483-485


99 Suaidi Asyari, Nalar Politik Nu & Muhammadiyah: Over Crossing Java Sentris (Yogyakarta: LkiS, 2009) hlm. 40
100 Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900 – 1942 terjemah Deliar Noer (Jakarta: LP3ES, 1996) hlm.
38-39

24
Di Makkah ia menikah dengan putri Syeikh Saleh Kurdi. Setelah ia banyak belajar
kepada para ulama setempat dan dikenal sangat alim, bahkan dijuluki sebagai ulama
Indonesia di Makkah yang paling berilmu, ia diangkat sebagai khatib di Masjid al-Haram.
Merangkap pula sebagai Guru Besar di masjid suci umat Islam tersebut.101
Diantara murid-murid Nusantaranya yang terkenal antara lain KH. Ahmad Dahlan, Haji
Abd Karim Amrullah, Haji Muhammad Jamil Jambek dan Haji Abdullah Ahmad. 102 Mereka
merupakan pembawa gerakan pembaru di Nusantara, di mana oleh gurunya tersebut merka
tidak dilarang untuk menelaah tulisan-tulisan Muhammad Abduh seperti majalah al-Urwat
al-Wutsqa dan tafsir al-Manarnya. Walaupun sebenarnya tujuan dari diperbolehkannya itu
agar para murid menolaknya. Syeikh Ahmad Khatib juga terkenal menolak ajaran Tarekat
Naqsabandiyah yang saat itu banyak dianut muslim Minangkabau.103
Karya-karyanya antara lain Izharu Zaghl al-Kadzibin fi Tasyabbuh bi al-Shadiqin, al-
Minhaj al-Masyru’, Raudah al-Hussab fi Ilm al-Hisab, al-Jawahir an-Naqiyyah fi al-A’mal
al-Jauhariyyah dan Kitab Riyadh al-Wardiyah fi Ushul al-Tauhid wa Furu’ al-Fiqh.104
 Syeikh Thahir Jalaluddin
Nama lengkapnya adalah Muhammad Taher bin Syeikh Muhammad, lahir di Ampek
Angkek, Bukittinggi pada tahun 1869. Pengaruh Syeikh Taher pada kolega dan muridnya
dilakukan melalui majalah al-Imam, serta melalui sekolah yang ia dirikan, al-Iqbal al-
Islamiyah, di Singapura. Ia juga mendirikan sekolah Adabiyah di Padang.
Dalam majalah al-Imam tersebut dimuat artikel tentang pengetahuan populer, kejadian
penting dunia dan komentarnya, dan artikel masalah-masalah agama. Secara umum isinya
adalah propaganda mengenai kemajuan umat Islam di kancah dunia, demi menyaingi Barat.
Tulisan-tulisannya ia sering mengutip pendapatnya Muhammad Abduh.105
 Syeikh Muhammad Djamil Djambek
Ia dilahirkan di Bukittinggi pada tahun 1860, anak dari Muhammad Saleh Datuk
Maleka. Pendidikan dasarnya ia selesaikan di seolah milik Hindia Belanda. Di tahun 1896
ayahnya membawanya ke Makkah, dan iapun bermukim selama 9 tahun untuk belajar pada
ulama-ulama. Ia kembali ke Bukittinggi pada tahun 1903.106
Ketika sudah di Bukittinggi setelah lama di Makkah, iapun melihat banyak muslim di
wilayah tersebut dan juga murid-muridnya, mengikuti ajaran tarekat sufi. Ia yang dikenal
mengecam ajaran tarekat berusaha untuk memberikan penjelasan dan pencerahan kepada

101 Muhammad Syamsu, Ulama Pembawa... hlm. 245


102 Ibid hlm. 246
103 Deliar Noer, Gerakan Moderen... hlm. 40
104 Muhammad Syamsu, Ulama Pembawa.. hlm. 245
105 Deliar Noer, Gerakan Moderen... hlm 41
106 Ibid hlm. 42-43

25
para penganut tarekat agar kembali ke jalan yang benar. Sebagai ahli tabligh ia dikenal
sebagai pengkritik tarekat tapi tidak pernah melukai hati para penganutnya.107
Pada tahun 1918 ia mendirikan satu lembaga yang masih dikenal sampai sekarang,
bernama Surau Inyik Djambek. Sebuah tempat belajar agama dan juga markas konsolidasi
ormas-ormas yang ada di wilayah tersebut saat itu. Pada tahun 1913 ia pernah mendirikan
lembaga sosial yang bernama Tsamaratul Ikhwan, sebuah lembaga nirlaba yang menerbitkan
kitab-kitab dan brosur-brosur agama. Beberapa tahun kemudian, lembaga itu berubah
menjadi penerbit yang mapan.108
 Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul)
Seseorang yang terkenal dengan sebutan Haji Rasul ini lahir di Maninjau pada tahun
1879. Pendidikan elementernya ditempu pada lembaga tradisional di Minangkabau dan pada
1894 ia pergi ke Makkah untuk belajar selama 7 tahun.
Setelah ia kembali ke tanah air, ia mulai mengajar pada tahun 1906 di Padang Panjang
dan sekitarnya. Ia dikenal keras dalam mengajar, sangat berbeda dengan ulam-ulama
lainnya. Setiap tabligh-nya selalu diisi dengan kecaman dan serangan kepada pihak yang
menurutnya berbeda. Bahkan sampai persoalan tersebut tergolong kecil.109
Keaktifannya dalam gerakan agama, membuat suraunya di Padang Panjang di kemudian
hari berubah progresif menjadi Sumatera Thawalib yang nantinya menjadi embrio lahirnya
Persatuan Muslimin Indonesia. Ia pula menjadi penasihat guru-guru agama yang ada di
wilayah tersebut.110 Ia mempunyai putra yang bernama HAMKA, yang akan menjadi
seorang ulama dan sastrawan besar Nusantara.
Untuk lebih lengkap pembahasan ulama moderen di Minangkabau silahkan dibaca buku
Deliar Noer “Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942.

 KH. Ahmad Dahlan


Nama kecilnya Muhammad Darwis, lahir pada tahun 1868 dari Ibu Aminah dan ayah
bernama Kiai Abu Bakar di Yogyakarta, dan meninggal dunia pada tahun 1923 111. Ayahnya
tersebut adalah seorang khatib di Masjid Agung Kasultanan Yogyakarta. Sumber sejarah
mengatakan Muhammad Darwis (Dahlan kecil) adalah keturunan dari para syarif atau
sayyid Hadramaut yang dikenal pula sebagai Wali Sanga, dilihat dari silsilahnya yaitu
Muhammad Darwis bin Abu Bakar bin KH. Muhammad Sulaiman bin Kiai Murtadla bin

107 Ibid
108 Ibid hlm. 44
109 Ibid hlm. 45
110 Ibid hlm. 46
111 Nadjamuddin Ramly & Hery Sucipto (ed.), Ensiklopedi Tokoh Muhammadiyah: Pemikiran dan Kiprah dalam
Panggung Sejarah Muhammadiyah (Jakarta: Best Media Utama, 2010) hlm. 60

26
Kiai Ilyas bin Demang Juru Kapindo bin Demang Jurang Juru Sapisan bin Maulana
Sulaiman Ki Ageng Gribib bin Maulana Muhammad Fadlullah bin Ainul Yaqin bin Maulana
Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim.112
Sejak kecil Darwis kecil sudah diajari ayahnya ilmu-ilmu agama dasar. Seperti
menghafal sifat-sifat Allah dan membaca al-Qur’an lafaznya saja tanpa mengetahui makna
(kelak hal-hal seperti inilah yang dikritik oleh KH. Ahmad Dahlan). Semua itu dijalani
Darwis di kampung halamannya, Kauman, sebuah kampung yang dekat dengan Keraton
Yogyakarta. Di lingkungan kampung tersebut ada pula Masjid Gede, dimana para imam,
khatib dan kiai juga tinggal di daerah tersebut. Pijper mengatakan bahwa situasi yang
berdekatan dengan sesuatu “yang suci” tersebut dangat mendukung Darwis kecil tentang
kecintaannya kepada agama.113
Setelah mendapat pelajaran dasar dari ayahnya, beranjak dewasa dikirimlah ia berguru
ke beberapa pesantren dan beberapa guru. Dalam pelajaran fiqih ia belajar kepada KH. Saleh
Darat di Semarang, ilmu nahwu kepada KH. Muhsin, ilmu falak kepada Kiai Raden Haji
dahlan, ilmu hadis kepada Kiai Mahfuz dan Syeikh Khayyat, ilmu qiraah kepada Syeikh
Amin dan Sayyid Bakri Syata.114
Nama Ahamad Dahlan disematkan kepada Darwis ketika ia pergi haji ke Makkah pada
tahun 1890, di mana Syeikh Bakri Syata-lah yang menyematkan nama itu. Maka berubahlah
nama itu hingga dikenal sampai sekarang. Dua kali ia pergi ke Makkah, saat haji pertama itu
dan beberapa tahun kemudian. Pada tiap kepergiannya ke Makkah dan Madinah selalui ia
sempatkan untuk belajar agama kepada para ulama.115
Pada kunjungan yang kedua ke Makkah, KH. Ahmad Dahlan secara intens berdiksuki
dengan ulama-ulama “Jawi” yang sudah lama tinggal dan mengajar di Makkah atau
Madinah. Diantara ulama-ulama itu antara lain Syeikh Muhammad Khatib al-
Minangkabawi, Syeikh Nawawi al-Bantani, Kiai Mas Abdullah, Kiai Faqih
Maskumambang. Bahkan ia pernah bertemu dengan Rasyid Ridla, murid Syeikh
Muhammad Abduh, yang mempengaruhi semanga pembaruannya dalam Islam.116
Banyak sekali jasa dari KH. Ahmad Dahlan kepada bangsa Indonesia. Yang paling besar
adalah pendirian Muhammadiyah pada 18 November 1912 (akan dibahas pada bab
tersendiri), yang menjadi pemersatu bangsa serta kemajuan-kemajuan pendidikannya. 117
Tidak terekam apa saja karya intelektual yang sudah ia hasilkan.

112 Weinata Sairin, Gerakan Pembaruan Muhammadiyah (Jakarta: Pustaka Sinan Harapan, 1995) hlm. 36
113 Ibid hlm. 37
114 Ibid hlm. 39
115 Ibid
116 Ibid hlm. 42
117 Ibid hlm. 18

27
Tentu masih banyak sekali ulama-ulama lainnya yang belum ditulis dalam makalah ini.
Mereka rata-rata adalah ulama yang berpengetahuan mendalam dan mampu menghasilkan
karya ilmiah berupa kitab dan lain sebagainya.

Kitab-kitab Tafsir al-Qur’an


Islam di Nusantara sebenarnya memiliki kemajuan intelektual yang luar biasa. Mereka
adalah ulama Nusantara yang tidak hanya kesohor di Indonesia, tapi juga kesohor di dunia
Islam lainnya. Ilmu mereka diakui bahkan beberapa kitab karangannya juga dijadikan rujukan
utama oleh beberapa perguruan tinggi Islam di luar negeri.
Pada ulasan sebelumnya telah jelas diuraikan bagaimana kiprah ulama kita di kancah dunia
Islam. Mereka banyak memperoleh transmisi ilmu dari ulama kelas dunia dan mampu mengajar
kepada murid-muridnya yang juga banyak menjadi ulama terkemuka. Mereka laksana intan
permata yang kini sulit dimunculkan lagi.
Salah satu khazanah ulama yang juga punya nilai penting bagi dunia Islam adalah tafsir al-
Qur’an. Adanya pengenalan akan karya tafsir ulama Nusantara, baik klasik maupun
kontemporer, akan menambah rasa bangga dan mendorong keterbukaan intelektual. Mengapa?
Sebab memang banyak sekali karya tafsir al-Quran yang telah disusun ulama Nusantara.
Selain yang sudah disisipkan pada karya-karya ulama seperti ulasan sebelumnya, ada
beberapa karya tafsir al-Qur’an lainnya yang perlu diketahui, antara lain: Tafsir al-Misbah
karya Prof. Quraish Shihab, Tafsir al-Ibriz karya KH. Bisri Mustofa, Tafsir al-Azhar karya
Buya Hamka, Tafsir al-Furqon karya Ahmad Hassan, Tafsir Tamsiyat al-Muslimin fi Tafsir
Kalam Rabb al-’Alamin karya KH. Ahmad Sanusi, Tafsir al-Quran al-Karim karya KH.
Mahmud Yunus, Tafsir al-Kitab al-Mubin karya KH. M. Ramli, Tafsir al-Qur’an Suci karya
R.KH. Muhammad Adnan, Tafsir al-Qur’an al-Adzim karya H.A. Halim Hassan, H. Zainal
Abbas dan Abdurrahman Haitami, Tafsir al-Nur karya T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir
Qur’an Indonesia karya Syeikh Ahmad Surkati, Tafsir Rahmat karya KH. Oemar Bakri, Tafsir
al-Huda karya Drs. H. Bakri Syahid, Tafsir al-Iklil karya KH. Misbah Mustofa, Tafsir al-Munir
karya KH. Daud Ismail Soppeng, Tafsir Jamiul Bayan karya KH. Muhammad bin Sulaiman
Solo, Tafsir al-Mahmudy karya KH. Ahmad Hamid Wijaya 118, juga ada karya tafsir ilmiah yang
berjudul Tafsir Salman: Tafsir Ilmiah atas Juz ‘Amma yang disusun para ahli di ITB, disunting
oleh Ahmad Baiquni dan diterbitkan Mizan pada tahun 2014.

Kamus Bahasa Arab

118 Lihat http://generasisalaf.wordpress.com/2014/11/12/tafsir-tafsir-al-quran-karya-ulama-nusantara-indonesia/

28
Karya ulama Nusantara dalam bentuk kamus bahasa Arab juga banyak dihasilkan.
Beberapa kamus bahasa Arab tersebut antara lain, Kamus Bahasa Arab karya Mahmud Yunus,
Kamus al-Munawwir Arab Indonesia Terlengkap karya KH. Ahmad Warsoen al-Munawwir,
Kamus al-Bisri karya KH. Adib Bisri dan KH. Munawwir al-Fattah, dan lain-lainnya, yang
tidak terekam oleh penulis.

Sastrawan Muslim di Nusantara


Tidak bisa dipungkiri sastrawan adalah seorang “produser” tulisan yang genuine.
Walaupun banyak tulisannya yang dikarang atau mengikuti imajinasi pikiran, justru di situlah
letak betapa karya para sastrawan sangatlah original. Setiap kalimatnya murni keluar dari daya
intelektual dan imajinasi dirinya, sehingga banyak sekali hasil karya itu mampu menyihir para
pembacanya. Banyak pula yang mampu menghasilkan karya yang bisa merubah kesadaran
masyarakat, khususnya karya-karya yang nuansanya kritik diri dan kritik sosial.
Di Nusantara ini banyak sekali muncul sastrawan-sastrawan baik lama maupun
kontemporer yang telah menghasilkan karya yang luar biasa. Mereka menulis puisi, cerpen,
novel, prosa dalan lain-lainnya dengan corak yang beragam. Muslim di Nusantara juga
memiliki andil yang sangat besar memunculkan sastrawan-sastrawan tingkat dunia. Beberapa
karya sudah terangkum dalam bahasan tentang ulama nusantara.
Sastrawan-sastrawan muslim di Nusantara tersebut antara lain:
 Buya HAMKA
Nama lengkapnya Haji Abdul Malik Karim Amrullah, lahir di Maninjau Sumatera Barat
pada 16 Februari 1908.119 Membahas beliau, akan ditemukan sebuah kekaguman yang memang
layak dipandang dari HAMKA. Beliau ini adalah sosok yang komplit, penguasaan ilmunya
banyak, sehingga karya-karyanya juga banyak. Penguasaan ilmu tauhid, fiqih, tafsir, tasawuf
dan bahkan sastra, sungguh sangat luar biasa. Sangat sulit menemukan kembali sosok yang
bernama HAMKA ini.
Diantara banyak karya-karyanya antara lain, Dari Perbendaharaan Lama (sejarah),
Sejarah Umat Islam (sejarah), Pelajaran Agama Islam, Tasawuf Moderen (tasawuf), Pribadi
Hebat (motivasi), dan lain sebagainya yang masih banyak. Adapun karya-karya sastranya
antara lain, Si Sabariah, Di Bawah Lindungan Kakbah (sudah difilm-kan), Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijk (sudah difilmkan), Dijemput Mamaknya, Merantau ke Deli, Tuan
Direktur120 dan lain-lainnya.
 Taufik Ismail

119 Nadjamuddin Ramly & Hery Sucipto (ed.), Ensiklopedi Tokoh... hlm. 176
120 Lihat http://hajibuyahamka.blogspot.co.id/2009/07/daftar-karya-buya-hamka

29
Ia dilahirkan di Sumatera Barat pada 25 Juni 1935. Ia mempunyai gelar Datuk Panji Alam
Khalifatullah, sebagai gelar adat setempat. Sampai kini ia masih eksis berkarya di bidang
kepenyairan. Diantara karya-karyanya antara lain berupa buku kumpulan puisi, Malu (aku)
Jadi Orang Indonesia, Tirani dan Benteng, Buku Tamu Musim Perjuangan, Sajak Ladang
Jagung, Kenalkan Saya Hewan,121 dan masih banyak lagi yang lainnya.
 Ahmad Tohari
Ia kelahiran desa Tinggarjaya Kec. Jatilawang Kabupaten Banyumas Jawa Tengah pada 13
Juni 1948. Salah seorang novelis dan cerpenis muslim yang karya-karyanya penuh kritik sosial.
Namanya melejit di tahun 1980-an setelah menerbitkan tiga novelnya, Ronggeng Dukuh Paruk,
Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jentera Bianglala.122 Sampai sekarang masih eksis berkarya.
Diantara karya-karya lainnya yaitu, Orang-orang Proyek, Kubah, Lingkar Tanah Lingkar
Air, di Kaki Bukit Cibalak, Belantik, Bekisar Merah, dan lain sebagainya.
 Emha Ainun Nadjib
Dia dilahirkan di Menturo, Jombang pada 27 Mei 1953. Disamping sebagai sastrawan, Cak
Nun (nama panggilannya) adalah seorang budayawan multitalenta: penyair, esais, pegiat sosial,
pegiat teater, pemusik, cerpenis dan lain-lain. Sudah banyak sekali pentas teater yang sudah
dihelatnya. Salah satu yang sangat kesohor adalah pentas teater kolosal yang berjudul “Lautan
Jilbab”, sebuah pentas teater dengan jumlah penonton puluhan ribu. Peristiwa tersebut belum
pernah terjadi di negeri ini.
Banyak sekali karya yang sudah Cak Nun buat, antara lain, Dari Pojok Sejarah, Seribu
Masjid Satu Jumlahnya, Secangkir Kopi Jon Pakir, Markesot Bertutur, Merkesot Bertutur Lagi,
Slilit Sang Kiai, Jejak Tinju Sang Kiai, dan masih banyak lagi yang lainnya. Rata-rata karya-
karya Cak Nun penuh dengan kritik sosial, politik dan budaya populer.
Masih banyak lagi sastrawan-satrawan muslim Nusantara yang tidak dimuat di tulisan ini.
Sebagian dari mereka antara lain, Habiburrahman el-Shirazi, Akhmad Fuadi, Helvi Tiana Rosa,
Riri Reza, Sutarji Calzhoum Bahri, WS. Rendra, Gunawan Muhammad, dan lain sebagainya.

NGO (Non Goverment Organisation) Islam di Nusantara


Banyak sekali muncul NGO-NGO atau LSM-LSM yang ada di negeri ini. Mereka muncul
dengan berbagai macam program, merupakan wujud nyata tentang free public sphere
(keterbukaan urang publik) yang dinamakan juga civil society atau masyarakat madani.
Munculnya para NGO tersebut tidak hanya hari-hari ini, bahkan sebelum masa

121 Lihat http://id.m.wikipedia.org/wiki/Taufiq_Ismail


122 Yudiono KS., Ahmad Tohari: Karya dan Dunianya (Jakarta: Grasindo, 2003) hlm. 148

30
kemerdekaanpun sudah ada lembaga atau organisasi lahir dengan perjuangannya masing-
masing.
Islam di Nusantara juga mempunyai sejarah munculnya organisasi-organisai besar yang
berpengaruh kuat di Republik ini. Mereka antara lain:
 Jami’at al-Khair
Organisasi ini berdiri pada tanggal 07 Juni 1905 di Jakarta, didirikan oleh perkumpulan
Arab yang merasakan kebijakan Belanda yang membelenggu. Organisasi ini bergerak di bidang
sosial dan pendidikan. Perkumpulan ini membuka majlis ta’lim, mendirikan perpustkaan,
percetakan dan lain-lainnya.123
Diantara tokoh-tokoh nasional yang perrnah bergabung dengan Jami’at al-Khair antara
lain, Raden Umar Said Tjokroaminoto, R. Jayanegara, RM. Wiriadimaja, R. Hasan
Djajadiningrat dan KH. Ahmad Dahlan.124
 Muhammadiyah
Muhammadiyah didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada tanggal 18
November 1912. Ia merupakan gerakan pembaruan Islam atau pula biasa disebuat gerakan
Islam moderen atau gerakan reformasi, terbesar di Republik ini. Dengan semangat adaptip
terhadap perkembangan baru atas perubahan zaman.125
Muhammadiyah telah melahirkan banyak sekali tokoh-tokoh berkaliber nasional dan
internasional. Mereka telah memberikan andil besar terhadap pembangunan nasional. Diantara
tokoh-tokoh tersebut antara lain, KH. Ahmad Dahlan, Nyai Ahmad Dahlan, KH. Ibrahim, KH.
Hisyam, H. Muhammad Sujak, Ki Bagoes Hadikusumo, Buya Haji Ahmad Rasyid Sutan
Mansur, KH. Mas Mansur, Ir. Soekarno, KH. Ahmad Badawi, Muhammad Roem, Buya
HAMKA, Mr. Kasman Singodimejo, KH. M. Faqih Usman, AR. Fachrudin, Soedirman,
Djarnawi Hadikusumo, KH. Azhar Basyir, H. Lukman Harun, Ahmad Syafii Maarif, Amien
Rais, Din Syamsudin, Bambang Sudibyo, dan lain-lainnya. Semua tokoh Muhammadiyah
tersebut bisa dibaca di buku Ensiklopedi Tokoh Muhammadiyah: Pemikiran dan Kiprah dalam
Panggung Sejarah Muhammadiyah.
Banyak juga jasa-jasa Muhammadiyah kepada bangsa. Dalam wujud konret jasa-jasa
tersebut berbentuk Amal Usaha (data 2005) dengan perincian: Institusi Pendidikan Tingkat
Rendah mulai TK sampai pesatren berjumlah 10.590 unit, Institusi Pendidikan Tinggi mulai
politeknik sampai universitas berjumlah 190 unit, Layanan Kesehatan mulai pelatihan
kesehatan sampai Rumah Sakit Umum berjumlah 306 unit, Layanan Publik (sosial) mulai
institusi kesejahteraan sosial sampai rumah yatim piatu berjumlah 522 unit dan Usaha bisnis

123 Muhammad Syamsu, Ulama Pembawa... 282


124 Ibid hlm. 283
125 Weinata Sairin, Gerakan Pembaruan... hlm. 18

31
baik pedagang eceran maupun Bank Perkreditan berjumlah 10 unit. 126 Semuanya menyebar ke
seluruh Indonesia. Yang terbaru dari Muhammadiyah akhir-akhir ini adalah berkembangnya
wacana Islam Berkemajuan.
 Al-Irsyad
Organisasi ini didirikan di Jakarta pada 11 Agustus 1915 oleh Syeikh Ahmad Surkati dan
beberapa kolega Arabnya. Nama lengkap organisasi ini adalah Jam’iyah al-Islam wa al-Irsyad
al-Arabiyah. Adapun pengurus al-Irsyad pertama kali antara lain, Salim bin Awad Balweel,
Muhammad bin Abu Ubaid, Sain bin Salim Masyabi dan Saleh bin Ubaid Abdat.127
Banyak lembaga-lembaga sekolah yang sudah didirikan al-Irsyad bagi bangsa ini.
Organisasi ini masih eksis hingga hari ini.
 Persis
Persatuan Islam (Persis) didirikan di Bandung pada permulaan tahun 1920-an. Menurut
Deliar Noer, ide pembaruan di Bandung ini terasa agak telat melihat di daerah lain telah
terlebih dahulu melakukannya. Diawali dari kenduri masyarakat yang digawangi Haji Zamzam
dan Haji Muhammad Yunus, di dalamnya dibicarakan tentang isu-isu kontemporer. Misalnya
masalah agama dalam majalah al-Munir di Padang atau al-Manar di Mesir. Pertikaian antara al-
Irsyad dan Jamiat al-Khair, dan lain-lainnya.128
Tokoh yang paling kesohor adalah A. Hassan dan Mohammad Natsir. Keduanya sangat
terpengaruh oleh majalah-majalah para pembaru seperi al Manar di Mesir dan al Imam di
Singapura. Beberapa tahun setelah berdirinya Persis itu, A. Hassan menerbitan majalah resmi
organisasi yang bernama al-Fatwa.129 Diantara peradaban yang dibangun Persis untuk muslim
Nusantara adalah lembaga-lembaga pendidikan dan pesantren.
 Nahdlatul Ulama
NU didirikan di Surabaya pada 31 Januari 1926 oleh KH. Hasyim Asy’ari, KH. Abd
Wahab Hasbbullah, KH. Bisri Sansuri, KH. Ridwan, KH. R. Asnawi, KH. R. Hambali, KH.
Nawawi, KH. Nachrawi dan KH. Darumuntaha. Jabatan Rais Akbar pertama diserahkan kepada
KH. Hasyim Asy’ari, sedang ketua Tanfidziyah diserahkan kepada Kiai Hasan Gipo.130
Banyak sekali tokoh NU yang telah berjasa untuk bangsa, mereka antara lain KH. Hasyim
Asy’ari di kala perang 10 November 1945 telah mencetuskan Resolusi Jihad pada 22 Oktober
1945, KH. Abd. Wahab Hasbullah, KH. Wachid Hasyim, KH. Ali Yafi, KH. Achmad Siddiq,
KH. Abdurrahman Wachid (Gus Dur) yang menjadi tokoh kaliber dunia, dan lain-lainnya.

126 Suaidi Asyari, Nalar Politik... hlm. 70-73


127 Muhammad Syamsu, Ulama Pembawa...hlm. 288
128 Deliar Noer, Gerakan Moderen... hlm. 96
129 Ibid
130 Aguk Irawan MN. Penakluk Badai... 267

32
Adapun jasa-jasa konkret NU kepada bangsa antara lain pendirian madrasah, pesantren,
perguruan tinggi, serta beberapa rumah sakit yang menyebar ke seantero Nusantara. Juga
menjadi induk bagi beberapa tarekat sufi seperti Qadiriyah, Qadiriyah wa Naqsabandiyah,
Tijaniyah, Sadziliyah, dan lain-lainnya. Yang terbaru dari NU adalah menyeruaknya wacana
Islam Nusantara.

Produk Hukum Khas Indonesia


Perubahan hukum itu mengikuti perubahan waktu dan tempat adalah sebagai kaidah yang
selama ini dipahami. Artinya, hukum itu bersifat adabtable dengan perubahan tersebut, yang
pada intinya perubahan pada masyarakat. Bahkan hukum mampu menjadi alat perekayasa
masyarakat (social engineering). Sebagaimana Iredell Jenkins yang dikutip Imam Mawardi,
menyatakan bahwa dalam kaitan sejarah, hukum mempunyai 3 fase: conservative hukum
berfungsi memproteksi dan memperkukuh sebuah tatanan yang sudah mapan; liberalizing
hukum sebagai instrumen perubahan, untuk membentuk kembali tatanan sosial; dan
constructive hukum melakukan sebuah peran positif dan kreatif di masyarakat.131
Agaknya dasar analisis seperti itulah yang menjadi faktor dasar tentang kekhasan produk
hukum di Indonesia. Sebuah produk hukum yang sangat dipengaruhi dinamisasi masyarakat.
Lebih jauh MB. Hooker dalam bukunya Islam Mazhab Indonesia: Fatwa-fatwa dan Perubahan
Sosial mencatatkan adanya produk-produk hukum yang khas Indonesia, dalam bentuk fatwa
lembaga-lembaga tertentu, antara lain, fatwa dari Persatuan Islam (Persis) yang digagas Ahmad
Hassan,132 fatwa yang dikeluarkan Majlis Tarjih milik Muhammadiyah, 133 fatwa yang
dikeluarkan NU dalam forum Bahtsul Matsail, 134 fatwa yang dikeluarkan MUI yang merupakan
lembaga otoritatif milik pemerintah,135 dan tidak kalah pentingnya disusunnya Kompilasi
Hukum Islam (KHI) sebagai upaya kodifikasi hukum 4 Imam Mazhab sesuai Instruksi Presiden
No. 1/ 1991 tanggal 10 Juni 1991 dan ditindaklanjuti Keputusan Menteri Agama No. 154/ 1991
tanggal 22 Juni 1991.136 KHI merupakan rujukan utama bagi institusi Pengadilan Agama di
Indonesia.

Institusi Pendidikan Islam

131 Imam Mawardi, Rationale Sosial Politik Pembentukan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dalam Dody S. Truna &
Ismatu Ropi (peny.), Pranata Islam di Indonesia: Pergulatan Sosial, Politik, hukum dan Pendidikan (Ciputat: Logos,
2002) hlm. 101
132 MB. Hooker, Islam Mazhab Indonesia: Fatwa-fatwa dan Perubahan Sosial terjemah iding Rosyidin Hasan (Jakarta:
Teraju, 2002) hlm. 78
133 Ibid hlm. 84
134 Ibid hlm. 87
135 Ibid hlm. 92
136 Imam Mawardi, Rationale Sosial... hlm. 99

33
Salah satu wujud konkret peradaban Islam di Nusantara adalah institusi pendidikan Islam
yang sudah ada ketika bangsa ini belum merdeka. Para ulama sebagai pendiri telah banyak
berjasa atas pendirian lembaga-lembaga tersebut yang terekam hingga kini. Banyak sekali
lembaga pendidikan ini yang bahkan tidak ditemui di negara Islam lainnya.
Adapun beberapa institusi pendidikan tersebut antara lain:
 Meunasah, Dayah dan Rangkang
Ketiga istitusi pendidikan Islam ini ada di Aceh Darussalam dan sudah hadir sejak lama.
Meunasah adalah lembaga pendidikan Islam tingkat dasar. Ia tumbuh berasal dari madrasah.
Yang diajarkan adalah ilmu dasar Islam dan kemampuan baca al-Qur-an. Dayah adalah
lembaga pendidikan Islam tingkat menengah. Kata Dayah berasal dari kata zawiyah yang
berarti bagian dari ruangan masjid yang digunakan untuk melakukan kegiatan pendidikan dan
pelatihan yang berhubungan pada pengembangan spiritual agar dekat kepada Allah Swt. Ia
dapat disejajarkan dengan madrasah tingkat Tsanawiyah.
Adapun Rangkang adalah pendidikan Islam tingkat tinggi. Seorang anak dapat ikut sekolah
di Rangkang kalau ia sudah lulus mengikuti pendidikan di Dayah. Lulus dari Dayah diharapkan
pengetahuan agama dasar sudah dikuasai sehingga ketika masuk Rangkang iapun sudah siap.
Di dalam institusi Rangkang yang diajarkan adalah tafsir al-Qur’an, hadis, fiqih, kalam,
tasawuf, filsafat dan lain sebagainya.137
 Surau
Dalam istilah Melayu-Indonesia Surau adalah kata yang digunakan di Asia Tenggara.
Istilah ini banyak digunakan di Minangkabau, Sumatera Selatan, Semenanjung Malaysia,
Sumatera Tengah dan Pattani (Thailand Selatan). Secara bahasa surau berarti tempat atau
tempat penyembahan. Awalnya ia adalah tempat untuk penyembahan arwah leluhur. Biasanya
dibangun di puncak bukit.138
Keberadaan surau pertama kali didirikan oleh Raja Adityawarman pada tahun 1356 di
kawasan Bukit Gombak, Minangkabau. Ia digunakan sebagai pusat peribadatan Hindu-Budha,
juga sebagai tempat anak-anak muda mengenyam pendidikan agama. 139 Dengan datangnya
Islam, fungsi surau kemudian mengalami proses Islamisasi. Proses itu membawa perubahan
surau difungsikan sebagai tempat pengajaran agama bagi siapapun yang berminat. Sampai
kemudian surau dijadikan pula sebagai pusat-pusat kegiatan tarekat.140
 Pesantren

137 Abuddin Nata, Sejarah Sosial... hlm. 292-293


138 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Ciputat: Logos, 2000) hlm. 117
139 Ibid hlm. 118
140 Ibid hlm. 117 dan 119

34
Secara literal pesantren141 berarti “tempat para santri”, merupakan institusi pendidikan
Islam tradisional di Indonesia. Ia termasuk institusi pendidikan Islam yang paling lama dan
efektif melahirkan para intelektual Islam di Indonesia. Bahkan saking kuatnya pengaruh
pesantren, oleh Gus Dur pesantren dikatakan sebagai “subkultur” dengan empat ciri utamanya:
kiai, santri, teks klasik Islam dan proses belajar mengajar yang unik.142
Menurut Zamakhsyari Dhofier, seperti dikuti Suaidi Asyari, unsur pesantren ada lima;
model pendidikan, pondok asrama santri, masjid, santri, pengajaran kitab klasik dan kiai. Tanpa
adanya lima unsur ini, sebuah institusi pendidikan Islam tidak bisa dikatakan sebagai pesantren.
Memang lima unsur ini kerap ada di Nahdlatul Ulama, khususnya mengenai pengajaran kitab
klasik, tetapi institusi-institusi pendidikan yang ada di ormas moderen seperti Muhammadiyah
dan Persis juga bisa dikatakan sebagai pesantren.143
 Madrasah
Dalam sistem pendidikan nasional sekarang ini, “madrasah merupakan sebuah lembaga
pendidikan yang memprioritaskan masalah agama (Islam) sebagai mata pelajaran utama yang
diajarkan” (Kesepakatan tiga Menteri: Mendagri., Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan, 1975). Mencakup seluruh tingkatan madrasah yang ada; MI, MTs dan MA. 144
Tidak ada data sejarah tentang kapan institusi ini didirikan. Namun diketahui semenjak 1897 di
Sumatera Barat sudah ada sebuah madrasah yang bernama Madrasah Adabiyah Scholl yang
didirikan oleh Abdullah Ahmad. Selain pelajaran agama, juga diajarkan pelaran umum; ilmu
bumi, biologi, fisika, kimia, ekonomi, dan lain sebagainya.145
Adapun secara keseluruhan Madrasah yang ada di Indonesia sampai pada tahun 2003
berjumlah 37.362 buah menyebar ke seantero Nusantara. 3.226 buah adalah madrasah negeri
atau milik pemerintah.146
 IAIN
Salah satu bukti peradaban Islam di Indonesia adalah berdirinya perguruan tinggi Islam
yang disebut Institut Agama Islam Negeri. IAIN merupakan perkembangan lebih lanjut dari
Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang terletak di Yogyakarta dan Akademi
Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta, yang didirikan tanggal 1 Juni 1957. 147 Maka IAIN dalam
segi usia sudah disebut established.

141 Di tahun 2011 menurut data Badan Litbang dan Diklat Kementerian agama jumlah pesantren ada 25000 dengan
jumlah 3,65 juta santrinya. Lihat http://www.ristekdikti.go.id/saatnya-santri-membangun-indonesia/
142 Suadi Asyari, Nalar Politik... 78
143 Ibid hlm. 78
144 Ibid hlm. 89
145 Abuddin Nata, Sejarah Sosial... 299
146 Suaidi Asyari, Nalar Politik... hlm. 91
147 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam... 161

35
Ia hadir sebagai respon zaman. Respon utama itu adalah bahwa hadirnya IAIN dalam
rangka mewujudkan cita-cita Islam yaitu melahirkan para sarjana keIslaman. Berjalannya
waktu, IAIN merekrut pula kemajuan zaman dengan adanya pendidikan yang berkiblat di Barat
atau yang disebut sekuler. Oleh karenanya ada perpaduan antara pendidikan sekuler ala Barat
yang menitikberatkan pada penguatan metodologi dengan islamic studies yang sudah lama
dilakukan IAIN, yang menjadi semangat Peraturan Presiden No. 11 tahun 1960 tentang
Pembentukan IAIN.148
Di tahun 2000-an, beberapa IAIN telah mengalami beberapa perubahan, dengan membuka
beberapa program studi umum. Misalnya bahasa Inggris, komunikasi, psikologi, sosiologi,
ekonomi, politik, matematika, sains, teknik, bahkan kedokteran. Menurut Biyanto, ikhtiar
tersebut sebagai bentuk diversifikasi prodi untuk merespon kompetisi antar perguruan tinggi
yang semakin sengit.149
Adanya perubahan tersebut memunculkan ketakutan jika kemudian yang diminati
masyarakat adalah prodi-prodi umum itu, lalu bagaimana halnya dengan Islamic studies-nya.
Apakah akan terjadi ketimpangan jumlah peminat, sehingga akan mematikan justru pada prodi
ilmu agama? Biyanto kembali memberikan saran agar PTAI harus bersiap-siap dengan realitas
itu semua. Salah satu cara yang strategis adalah melakukan rebranding (konsep yang
dimassifkan Hermawan Kartajaya),150 di mana PTAI harus berani memberikan bungkus dan
trust yang baru, sehingga mampu meyakinkan masyarakat. Khususnya merespon banyak sekali
problem kekinian dimana Islamic studies sebenarnya mampu menjawabnya.

Wujud Peradaban Islam Lainnya


Diantara wujud peradaban Islam di Nusantara yang masih ada sampai sekarang antara lain
masjid, mushalla atau langgar, juga kuburan-kuburan lama seperti dijelaskan di awal. Tentu
saja jumlah masjid tersebut semakin hari bertambah banyak. Bahkan banyak pula dalam satu
desa jumlah masjidnya lebih dari satu. Yang perlu adanya pembenahan usaha revitalisasi
masjid, seperti yang ditulis Nurcholish Madjid, dimana masjid tidak saja difungsikan sebagai
tempat shalat, ia pula difungsikan sebagai penggugah etos baca bagi ummat dengan cara
membuat perpustakaan. Di samping itu pula menjadikan masjid sebagai sarana kepedulian
sosial.151
Juga sebagai capaian peradaban Islam lainnya adalah bermunculannya generasi-generasi
muda muslim yang menguasai sains. Salah satu wujud nyata adalah beberapa kali para pelajar

148 Ibid hlm. 161


149 Biyanto, Perlu Rebranding Perguruan Tinggi Agama Islam artikel di kolom Opini, Jawa Pos edisi 04 Februari 2015
150 Ibid
151 Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam (Jakarta: Paramadina, 1997) hlm. 36-39

36
muslim menjuarai olimpiade fisika, kimia atau matematika tingkat internasional. Salah satu
contoh konkret lainnya adalah munculnya para penemu baru dari muslim Nusantara di bidang
IT, seperti penemu signal 4G yang sekarang sedang booming. Ternyata yang menemukan signal
terbaru dari frekwensi seluler itu adalah seorang muslim Nusantara yang bernama Khoirul
Anwar yang sekarang tinggal di Nomi, Ishikawa Jepang. Karena temuan penting berkelas dunia
itulah ia diganjar gelar guru besar. Ia tidak hanya sebagai penemu tapi juga pemilik paten atas
teknologi 4G berbasis OFDM (Orthogonal Frequency Division Multiplexing) 152 yang sekarang
disematkan pada produk handphone terbaru.

E. Kesimpulan
Sejarah peradaban Islam di Nusantara merupakan sejarah yang penuh dinamisasi dan
perdebatan. Banyak teori tentang waktu, tempat dan siapa yang membawa Islam di Nusantara.
Walaupun penuh perdebatan, apa saja yang dihasilkan, sebagai capaian peradaban Islam di
Nusantara menunjukkan keunikan tersendiri. Semua terjadi sebab aliran, budaya, dan corak Islam
yang dipelajari berbeda-beda. Semua menunjukkan betapa besar dan bernilainya peradaban Islam di
Nusantara di kancah Dunia.
Dinamisasi tersebut nampaknya akan selalu berjalan dan berproses. Sebab, muslim Nusantara
bisa dikatakan sebagai muslim yang terus berpikir, terbuka akan globalisasi. Muslim Nusantara
akan terus bertemu dan berbenturan dengan banyak hal. Berhasil tidaknya, semua terserah Muslim
di Nusantara dalam rangka memelihara keunikan-keunikan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

al-Faruqi, Ismail Raji. Seni Tauhid. Yogyakarta: Bentang Budaya, 199


al-Aydrus, Muhammad Hasan. Penyebaran Islam di Asia Tenggara: Asyraf Hadramaut &
Peranannya. Jakarta: Lentera Basritama, 1997
Ambary, Hasan Muarif. Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia.
Jakarta: Logos, 2001
Asyari, Suaidi. Nalar Politik NU & Muhammadiyah: Over Crossing Java Sentris. Yogyakarta:
LkiS, 2009
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah & Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII:
Akar Pembaruan Islam Indonesia. Jakarta: Kencana Prenadamedia, 2013
______________. Pendidikan Islam: Tradisi & Modernisasi Menuju Milenium Baru. Ciputat:
Logos, 2002

152 Lihat http://bio.or.id/biografi-khoirul-anwar-penemu-4g/

37
Dahlan, Syeikh Ahmad bin Zaini. Menolak Mashab Wahabi: Ulasan Kritis Kesalahan &
Penyelewengan Aliran Wahabi. Jakarta: Turos, 2015
Fakultas Adab UIN Yogyakarta, SKI. Sejarah Peradaban Islam di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit
Pustaka, 2006
Heryadi, Ammar Fauzi. Logika Tindakan: Membangun Sistem Nilai. Jurnal Al-Huda Volume II
Nomor 8, 2002
Hooker, MB, Islam Mazhab Indonesia: Fatwa-fatwa dan Perubahan Sosial. Jakarta: Teraju, 2002
Huda, Nor. Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2007
Irawan, Aguk MN. Penakluk Badai: Novel Biografi KH. Hasyim Asy’ari. Depok: Global Media
Utama, 2012
Kamaluddin, Laode M. (ed.). On Islamic Civilization: Peradaban Islam yang Sempat Padam.
Semarang: Unissula Press, 2010
KS, Yudiono. Ahmad Tohari: Karya dan Dunianya. Jakarta: Grasindo, 2003
Madjid, Nurcholish. Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam
Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1995
_________________. Kaki Langit Peradaban Islam. Jakarta: Paramadina, 1997
Mawardi, Imam. Rationale Sosial Politik Pembentukan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
Dalam Pranata Islam di Indonesia: Pergerakan Sosial, Politik, Hukum & Pendidikan.
Dody s. Truna & Ismatu Ropi (peny.). Ciputat: Logos, 2002
Nata, Abuddin. Sejarah Sosial Intelektual Islam & Institusi Pendidikannya. Depok: Rajagrafindo
Persada, 2012
Noer, Deliar. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES, 1996
Ramly, Nadjamudin & Hery Sucipto (ed.). Ensiklopedi Tokoh Muhammadiyah: Pemikiran &
Kiprah Dalam Panggung Sejarah Muhammadiyah. Jakarta: Best Media Utama, 2010
Sairin, Weinata. Gerakan Pembaruan Muhammadiyah. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995
Samantho, Ahmad Y. Atlantis Nusantara: Berbagi Penemuan Spektakuler yang Makin Meyakinkan
Keberadaannya. Jakarta: Phoenix, 2015
Shihab, Alwi. Antara Tasawuf Sunni & Tasawuf Falsafi: Akar Tasawuf di Indonesia. Depok:
Pustaka, IIMaN, 2009
Syamsu, Muhammad. Ulama Pembawa Islam di Indonesia & Sekitarnya. Jakarta: Penerbit Lentera,
1999

Biyanto. Perlu Rebranding Perguruan Tinggi Agama Islam. Artikel Koran, Jawa Pos Edisi 04
Februari 2015

38
Permana, Rahayu. Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia. Artikel di internet

http://bio.or.id/biografi-khoirul-anwar-penemu-4g/
http://hajibuyahamka.blogspot.co.id/2009/07/daftar-karya-buya-hamka
http://generasisalaf.wordpress.com/2014/11/12/tafsir-tafsir-alquran
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Taufiq_Ismail
http://id.wikipedia.org/wiki/Said_Aqil_Siroj/
http://id.im.wikipedia.org/wiki/Organisasi_Kerjasama_Islam/
http://kaligrafi,islam.blogspot.co.id/2015/05/kaligrafikufi
http://www.ristekdikti.go.id/saatnya-santri-membangun-indonesia

39

Anda mungkin juga menyukai