I
Mengunjungi Acropolis
1
Plato (428/427 BC – 348/347 BC) menggambarkan bahwa dunia sejatinya terdiri dari dua realita.
Yang pertama adalah realita indrawi yang dapat ditangkap oleh indra manusia. Mengenainya, manusia
menurut Plato hanya dapat mengetahui pengetahuan yang tidak tepat atau kurang sempurna dengan
digunakannya lima indra. Wilayah yang lain adaah dunia ide, yang mengenainya seseorang dapat
memiliki pengetahuan sejati dan menggunakan akalnya. Dunia ide tidak dapat ditangkap melalui indra,
namun ide (atau bentuk-bentuk) itu sifatnya kekal dan abadi.
senantiasa terkikis oleh waktu, ia harus bergerak meninggalkan jasadnya, menuju realitas
lain, tempat pola-pola ideal bersemayam: dunia ide. Hampir saja saya lupa
menyebutkannya; nama pria itu, Plato.
Melihat wajahnya yang tiba-tiba berubah cemberut, hati saya mencelos tidak
karuan. Mungkinkah Sang Filsuf tidak berkenan?
Cukup sekali saja mendengar izinnya, saya langsung meraihnya sebelum Plato
berubah pikiran. Sekali lagi kami terbang bersama pusaran waktu, dan mendarat di
tempat yang paling saya kenal: rumah. Kami masuk lewat ruang tamu, dan berhenti di
ruang keluarga yang lebih mirip sebagai ruang pemujaan. Di mana sebuah televisi berada
di tengah-tengah, dengan beberapa orang – termasuk diri saya – duduk mengelilinginya.
Seperti halnya seorang filsuf yang hanya memperhatikan hal-hal yang benar-benar
penting, Plato tidak terlalu meributkan cara hidup dunia modern, atau bagaimana
mungkin dari sebuah kotak kecil hitam dapat muncul gambar manusia dan suara. Alih-
alih, ia bediri di sudut memperhatikan. Dari tempat sederhana ini perjalanan kami
bermula, sebab barangkali tidak ada cara yang paling mudah untuk belajar tentang
peradaban modern, melainkan dengan menonton televisi.
II
Medium adalah Metafora
Ya, globalisasi.
Anda benar.
Mendengarkan pemikiran tentang
ideologi yang berkembang, aku
berpikir jika bukan tidak mungkin kita
telah mencapai suatu masa di mana
RIASAN telah menggantikan ideologi
sebagai sebuah bidang keahlian, yang
setiap politisi di masamu ini harus
kuasai dengan sangat kompeten.
Sampah.
Sampah?
Ketidak-relevansian.
III
Zaman Bisnis Pertunjukkan
Saya telah ditunjukkan oleh tamu filsuf saya suatu perbedaan mendasar akan dua
ramalan yang dikatakan oleh dua filsuf besar lainnya, George Orwell, dan Aldous Huxley
akan masa depan dunia di era kapitalisme dan media. Tidak seperti yang banyak orang
kira sebelumnya, Neil Postman (1985) telah menunjukkan bahwa sesungguhnya dua
ramalan tersebut memiliki alur cerita yang berbeda, meskipun sama-sama memiliki akhir
yang mengerikan. Orwell mewanti-wanti bahwa akan datang suatu masa ketika manusia
akan ditekan oleh penindas dari luar. Namun dalam pandangan Huxley, tidak diperlukan
suatu makhluk monster mengerikan untuk mencabut manusia dari otonomi, kedewasaan,
maupun sejarahnya. Ia melihat bahwa orang-orang justru akan mencintai penindasnya,
memuja teknologi, yang justru merusak kapasitas mereka untuk berpikir.
Apa yang Orwell takutkan adalah kekuasaan yang dimiliki sebagian orang untuk
membredel buku. Sedangkan apa yang Huxley takutkan adalah bahwa tidak ada alasan
untuk membredel sebuah buku, sebab tidak seorangpun ingin membaca. Orwell takut
pada mereka yang memiliki kekuatan untuk menutupi orang-orang dari informasi, di sisi
lain Huxley takut pada mereka yang memberi terlalu banyak informasi, mengubah orang-
orang menjadi pasif dan egois. Orwell takut kebenaran akan ditutupi. Huxley takut
kebenaran akan tenggelam dalam lautan ketidak-relevansian.
2
Postman, Neil. 1985. Amusing Ourselves to Death: Public Discourse in the Age of Show Business.
New York: Penguin Books. hal. 107-108
Huxley takut apa yang kita
cintai justru yang akan merusak
kita.
Anda benar.
Bagaimana mereka
melakukannya?
Dengan teknologi.
Teknologi?
Ya.
Seluruh dunia kini menjadi
konteks bagi pemberitaan
modern.
IV
Pseudo-Context dan Matinya Kebudayaan
Fakta mendorong fakta lain masuk dan lantas dengan kecepatan tinggi keluar
dari kesadaran, dengan tidak mengindahkan, maupun menyediakan tempat bagi evaluasi.
Postman (1985) mencontohkan hal ini lewat fotografi berita yang dimuat di surat kabar.
“For the photograph gave a concrete reality to
the strange-sounding datelines, and attached
faces to the unknown names. Thus it provided
the illusion, at least, that “the news” had a
connection to something within one’s sensory
experience.”3
Ia menyebutkan bahwa fotografi menciptakan konteks bagi “berita hari itu”, dan
sementara itu “berita hari itu” menciptakan konteks bagi fotografinya. Namun menurut
Postman (1985), konteks itu sepenuhnya hanyalah ilusi. Sebagai contoh seseorang yang
tinggal di Indonesia membaca sebuah berita di situs berita resmi di internet. Lalu ia
bercerita kepada temannya bahwa telah ditemukan sebutir mutiara yang tiada duanya di
Jepang. Lalu si teman bertanya, apakah berita tersebut memiliki kaitan dengan dirinya.
“Tapi aku punya gambarnya, cobalah kau lihat! Sangat menarik dan indah!” seru penemu
berita itu sambil menyodorkan foto yang telah dicetaknya. Dan barangkali temannya akan
mengangguk-angguk menyetujui. Foto mampu menyediakan konteks bagi sebuah
kalimat, dan sebaliknya caption mampu memberikan konteks yang diperlukan bagi
sebuah foto. Maka barangkali orang akan mempercayai bahwa ia telah mempelajari
sesuatu setelah menyaksikan foto maupun membaca berita itu. Tapi sesungguhnya, ketika
konteks itu tidak berhubungan dengan masa lalu maupun rencana masa depan, bahwa itu
3
Ibid. hal. 75-76.
hanyalah awal sekaligus akhir, maka sesungguhnya kemunculan konteks itu hanyalah
ilusi belaka. Materi itu barangkali akan menghibur sebagai trivia; hanya akan menjadi
topik percakapan sambil lalu, atau muncul kembali saat mengisi teka-teki silang, tidak
lebih.
Sebuah film yang baru-baru ini meledak di tangga box office Amerika Serikat,
Slumdog Millionaire (2008) yang mengangkat keberhasilan anak jalanan menjadi seorang
milyarder lewat sebuah kuis yang tak kalah tenarnya, Who Wants To Be Millionaire. Apa
yang ingin saya katakan di sini ialah, bahwa media sekarang seolah-olah hendak
memunculkan keyakinan bahwa solusi bisa diperoleh dengan cepat dan instan. Iklan
televisi, misalnya, meminta kita untuk memercayai bahwa semua masalah sebenarnya
dapat diatasi. Dan tidak hanya itu, masalah itu sebenarnya dapat diatasi dengan cepat,
antara lain lewat intervensi teknologi, teknik, dan ilmu kimia. Tapi iklan sering
mengabaikan penjelasan, karena memakan banyak waktu dan memancing argumen,
sebab tentu saja akan menjadi iklan yang buruk jika sampai membuat audiens
mempertanyakan validitas produk yang ditawarkannya.
Kembali ke masalah Slumdog Millionaire, yang dibuat dengan sangat berdasar
pada budaya populer yang banyak digemari masyarakat. Kuis itu sendiri bagaikan jalan
pintas bagi seseorang untuk merubah nasib. Dan siapa yang tidak menyukai
kemudahannya, keberuntungannya, bahwa semisal, seorang loper koran biasa yang tidak
memiliki suatu gelar mampu menjawab semua pertanyaan karena ia dikatakan telah
mengedukasi dirinya selama ini dengan koran-koran yang ia jual. Sementara dalam film,
tokoh utama digambarkan secara kebetulan pada masa kecilnya memperoleh informasi
yang sepotong-sepotong ini yang rupanya relevan dengan masa depannya, di mana ketika
ia diberi pertanyaan oleh sang pembawa acara kuis semua jawabannya ia peroleh dari
informasi-informasi itu.
Tapi sesungguhnya, berapa perbandingan jumlah kemungkinan munculnya
slumdog-slumdog ini di dunia nyata?
4
Ibid. hal. 105
“There is no need for wardens or gates or Ministries of Truth. When a population
becomes distracted by trivia, when cultural life is redefined as a perpetual round of
entertainments, when serious public conversation becomes a form of baby-talk, when, in
short, a people become an audience and their public business a vaudeville act, then a
nation finds itself at risk; culture-death is a clear possibility.” (The Huxleyan Warning)
BAHAN BACAAN