Anda di halaman 1dari 15

Komunikasi dan Perubahan Sosial

MANUSIA GUA DI ERA MODERN


(ATAU MEMBAWA PLATO BERKELILING
MELIHAT-LIHAT GLOBALISASI)

Poundra Swasty Ratu Maharani Serikit


S 220809009

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI PASCASARJANA


UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
MANUSIA GUA DI ERA MODERN
(ATAU MEMBAWA PLATO BERKELILING
MELIHAT-LIHAT GLOBALISASI)

Oleh : Poundra Swasty Ratu Maharani Serikit


S 220809009

I
Mengunjungi Acropolis

Sebelum mulai bergerak ke manapun, ingin saya tekankan, bahwa pergerakan


yang terjadi dalam tulisan ini bukan terjadi pada ranah dunia yang fana. Dunia yang
dikenali lewat kekuatan indrawi semata, adalah dunia yang sifatnya mengalir, bergerak,
terus berubah, sehingga tidak akan dapat dijadikan pegangan yang berarti. 1 Yang saya
maksud adalah dunia yang satunya lagi, tempat manusia dapat mengembara secara
leluasa, maju ataupun mundur; dunia yang memungkinkan bagi seseorang untuk
melewati pusaran waktu, dan muncul kembali di suatu siang di Athena, melayang-layang
di atas sebuah kota kecil bernama Acropolis. Di sanalah saya dapat melihatnya, seorang
laki-laki berusia 40-an berjalan-jalan di tengah pasar. Wajahnya tampan, perawakannya
sedang, dan ia tampak sedang terburu-buru. Barangkali ia terlambat untuk sebuah sesi
mengajar di Academia, di mana murid-muridnya menunggu.
Tidak seorangpun di antara kerumunan di bawah yang akan melihat saya
melayang-layang mengitari pasar, kecuali laki-laki itu. Ia tampak tertegun saat pertama
kali menangkap gerakan saya di langit. Tentu saja hal yang cukup sopan, ketika saya
memutuskan untuk melambai ke arahnya. Ia melihat ke sekeliling, dan menyadari bahwa
hanya dirinya yang dapat melihat objek terbang tak dikenal ini. Kesadaran segera muncul
di wajahnya. Dia mengerti bahwa untuk dapat lepas dari belenggu dunia material yang

1
Plato (428/427 BC – 348/347 BC) menggambarkan bahwa dunia sejatinya terdiri dari dua realita.
Yang pertama adalah realita indrawi yang dapat ditangkap oleh indra manusia. Mengenainya, manusia
menurut Plato hanya dapat mengetahui pengetahuan yang tidak tepat atau kurang sempurna dengan
digunakannya lima indra. Wilayah yang lain adaah dunia ide, yang mengenainya seseorang dapat
memiliki pengetahuan sejati dan menggunakan akalnya. Dunia ide tidak dapat ditangkap melalui indra,
namun ide (atau bentuk-bentuk) itu sifatnya kekal dan abadi.
senantiasa terkikis oleh waktu, ia harus bergerak meninggalkan jasadnya, menuju realitas
lain, tempat pola-pola ideal bersemayam: dunia ide. Hampir saja saya lupa
menyebutkannya; nama pria itu, Plato.

Selamat siang wahai Murid


Socrates.

Selamat siang. Siapakah kamu?

Saya adalah pengelana. Izinkan


saya membawa Anda ke dunia
tempat saya berasal. Saya ingin
memperoleh pelajaran filsafat
dari Anda.

Di manakah tempat kamu berasal itu?

Di sana adalah tempat di mana


cakar-cakar berkuasa, dan
manusia berdiri tanpa kepala.

Melihat wajahnya yang tiba-tiba berubah cemberut, hati saya mencelos tidak
karuan. Mungkinkah Sang Filsuf tidak berkenan?

Apakah Anda tidak berkenan?

Demi Socrates. Tentu saja aku mau.


Ayo kita berangkat! Perasaanku
sedikit tidak enak mendengarkan
bagaimana mungkin manusia dapat
berdiri tanpa kepala. Alangkah sia-
sianya. Aku akan sedikit terlambat ke
Academia, tapi rasanya aku sudah
menemukan bahan diskusi yang
menarik dengan murid-muridku sore
ini. Semoga dengannya aku akan
dimaafkan.

Cukup sekali saja mendengar izinnya, saya langsung meraihnya sebelum Plato
berubah pikiran. Sekali lagi kami terbang bersama pusaran waktu, dan mendarat di
tempat yang paling saya kenal: rumah. Kami masuk lewat ruang tamu, dan berhenti di
ruang keluarga yang lebih mirip sebagai ruang pemujaan. Di mana sebuah televisi berada
di tengah-tengah, dengan beberapa orang – termasuk diri saya – duduk mengelilinginya.
Seperti halnya seorang filsuf yang hanya memperhatikan hal-hal yang benar-benar
penting, Plato tidak terlalu meributkan cara hidup dunia modern, atau bagaimana
mungkin dari sebuah kotak kecil hitam dapat muncul gambar manusia dan suara. Alih-
alih, ia bediri di sudut memperhatikan. Dari tempat sederhana ini perjalanan kami
bermula, sebab barangkali tidak ada cara yang paling mudah untuk belajar tentang
peradaban modern, melainkan dengan menonton televisi.

II
Medium adalah Metafora

Anda baru saja menyaksikan


penemuan mutakhir milenium
ini: media. Kini kita tengah
memasuki sebuah era yang
sama sekali baru, dengan
tingkat interkonektivitas yang
sangat tinggi.

Kalian menyebutnya globalisasi.

Ya, globalisasi.

Apa yang paling kamu takuti darinya?

Saya sependapat dengan Orwell


dalam banyak hal. Saya takut
bahwa kebenaran semakin
lama, akan semakin tertutupi.
Bahwa sistem yang bobrok ini
akan menjadi terasa terlalu
nyaman, namun sesungguhnya,
ketika berbicara masalah
media, kita berbicara siapa
yang lebih berkuasa.

Betul. Dalam dunia ide, maka kita


akan dapat melihat sebuah sistem
yang sungguh-sungguh ideal. Seperti
halnya kuda ideal dalam alam ide,
berasal dari cetakan agung. Namun
kita mendapati bahwa di dunia indera,
seperti halnya kuda ideal, kita tidak
akan menemukan suatu sistem ideal
manapun yang tanpa cacat. Tapi
masih adakah hal yang lain?

Hal yang lain.

Ya. Aku baru saja menyaksikan di


televisimu, sebuah penawaran…

Maksud Anda iklan.

Ya. Sebuah iklan minuman yang


berasal dari negeri yang kau sebutkan
tadi merasa berkepentingan untuk
menyebarkan nilai-nilai demokrasi ke
seluruh dunia.

Yang masih dianggap sebagai


mitos.

Ya. Dalam iklan itu aku melihat tidak


sedetikpun kualitas dan kegunaan
dari produk yang ditawarkan itu
disebut-sebut.

Benar. Iklan itu justru


menampilkan hal-hal yang lain.
Seperti betapa dapat menjadi
hebatnya kamu setelah
meminum minuman itu. Betapa
ganteng dan cantiknya orang-
orang yang digambarkan
meminum minuman itu.

Kualitas dan kegunaan menjadi


subordinat bila dibandingkan dengan
kelicikan tampilannya.

Anda benar.
Mendengarkan pemikiran tentang
ideologi yang berkembang, aku
berpikir jika bukan tidak mungkin kita
telah mencapai suatu masa di mana
RIASAN telah menggantikan ideologi
sebagai sebuah bidang keahlian, yang
setiap politisi di masamu ini harus
kuasai dengan sangat kompeten.

Ya. Ada sebuah kutipan tentang


para politisi di media. Satu-
satunya saat ketika politisi tidak
berbohong adalah saat bibir
mereka berhenti bergerak.

Kau yang lebih tahu.

Lantas apakah hal yang lain


yang Anda maksudkan
sebelumnya? Yang juga harus
kami khawatirkan pada saat
sekarang ini?

Sampah.

Sampah?

Jika Orwell takut akan tertutupinya


kebenaran dari mata kita. Maka
Huxley takut akan
ditenggelamkannya kebenaran dalam
lautan ketidak-relevansian.

Ketidak-relevansian.

Ya. Aku sangat heran, betapa tidak


berkeberatannya orang-orang di
masamu akan sampah yang
bertebaran di media massa. Tapi
rasanya aku mengerti. Dapatkah kau
mengatakan alasannya?

Karena seringkali hal-hal yang


menarik di televisi adalah
sampah-sampah itu.
Benar. Televisi atau media lain di
masamu sekarang sedang berada
pada titik paling sepelenya. Paling
berbahaya ketika ia mendapat banyak
aspirasi balik, dan justru
mempresentasikan dirinya sebagai
medium percakapan kultural penting.

Sepertinya saya dapat


memahaminya.

Kau menyebut zamanmu sebagai


zaman informasi. Mengapa begitu?

Karena seperti yang Anda lihat,


semakin banyak ketidak-pastian
menjadi berkurang berkat
informasi.

Tidakkah menurutmu sedikit


berlebihan bagi sebagian besar
masyarakat untuk tahu apa yang
sedang orang-orang itu lakukan di
balik dinding-dinding Hollywood?
Tidakkah kamu berpikir bahwa
voyeurisme, hasrat untuk mengintip,
kini tengah menggejala di
masyarakatmu? Sampah infotainment
yang kalian sebut berita.

Saya lihat Anda telah tahu soal


Hollywood. Tapi ya, Anda benar.

Yang aku maksudkan di sini adalah,


televisimu telah mengubah makna
dari “terinformasi” dengan
menciptakan spesies informasi baru
yang lebih tepat jika disebut
disinformasi.

Disinformasi. Apakah itu suatu


spesies informasi yang salah?

Disinformasi bukan berarti bahwa


informasi itu palsu. Disinformasi lebih
tepat jika diartikan sebagai informasi
yang menyesatkan – salah tempat,
tidak relevan, terpecah-pecah, atau
dangkal. Dengannya akan tercipta
ilusi bahwa kau telah mengetahui
sesuatu, sedangkan pada
kenyataannya justru membawamu
selangkah lebih jauh dari
mengetahui.2

Selangkah lebih jauh dari


mengetahui.

III
Zaman Bisnis Pertunjukkan

Saya telah ditunjukkan oleh tamu filsuf saya suatu perbedaan mendasar akan dua
ramalan yang dikatakan oleh dua filsuf besar lainnya, George Orwell, dan Aldous Huxley
akan masa depan dunia di era kapitalisme dan media. Tidak seperti yang banyak orang
kira sebelumnya, Neil Postman (1985) telah menunjukkan bahwa sesungguhnya dua
ramalan tersebut memiliki alur cerita yang berbeda, meskipun sama-sama memiliki akhir
yang mengerikan. Orwell mewanti-wanti bahwa akan datang suatu masa ketika manusia
akan ditekan oleh penindas dari luar. Namun dalam pandangan Huxley, tidak diperlukan
suatu makhluk monster mengerikan untuk mencabut manusia dari otonomi, kedewasaan,
maupun sejarahnya. Ia melihat bahwa orang-orang justru akan mencintai penindasnya,
memuja teknologi, yang justru merusak kapasitas mereka untuk berpikir.
Apa yang Orwell takutkan adalah kekuasaan yang dimiliki sebagian orang untuk
membredel buku. Sedangkan apa yang Huxley takutkan adalah bahwa tidak ada alasan
untuk membredel sebuah buku, sebab tidak seorangpun ingin membaca. Orwell takut
pada mereka yang memiliki kekuatan untuk menutupi orang-orang dari informasi, di sisi
lain Huxley takut pada mereka yang memberi terlalu banyak informasi, mengubah orang-
orang menjadi pasif dan egois. Orwell takut kebenaran akan ditutupi. Huxley takut
kebenaran akan tenggelam dalam lautan ketidak-relevansian.

2
Postman, Neil. 1985. Amusing Ourselves to Death: Public Discourse in the Age of Show Business.
New York: Penguin Books. hal. 107-108
Huxley takut apa yang kita
cintai justru yang akan merusak
kita.

Ya. Dan kemungkinan besar dia


benar.

Dan semua ini berawal justru


dari keinginan untuk memiliki
kebebasan berpikir.

Kamu barangkali akan memahami


makna informasi bebas-konteks
dengan menanyakan dirimu beberapa
pertanyaan ini: Seberapa sering
informasi yang disediakan untukmu di
siaran pagi radio dan TV, atau di surat
kabar pagi menyebabkanmu
mengubah rencana untuk hari itu,
atau mengambil suatu tindakan yang
sebelumnya tidak terpikir untuk kamu
ambil, atau menyediakan pencerahan
bagi permasalahan yang memerlukan
pemecahan?

Jawabannya, tidak terlalu


sering.

Tepat sekali. Budaya media adalah


target penerbitan. Bayangkan jika
sebuah perusahaan surat kabar hanya
akan mencetak mereka saat ada
informasi yang dianggap betul-betul
penting untuk disampaikan. Mereka
akan dianggap tidak profesional,
menerbitkan surat kabar yang asal-
asalan seperti itu.

Anda benar.

Dari sinilah kekacauan itu pelan-pelan


menjadi benang kusut. Orang-orang
berbudaya akan menganggap
tindakan membakar buku sebagai
sebuah tindakan anti-intelektualisme.
Namun aku melihat banyak orang di
masamu melakukannya.

Bagaimana mereka
melakukannya?

Dengan teknologi.

Teknologi?

Ya. Tidakkah kau melihat? Orang


berlomba-lomba menciptakan telegraf
yang akan dapat menghubungkan
komunikasi antara, katakanlah,
Jakarta dan Solo. Tapi apakah benar-
benar ada hal yang penting untuk
disampaikan antara Jakarta dan Solo?

Apakah Anda mengimplikasikan


bahwa teknologi telah
membawa konteks komunikasi
ke level yang berbeda?

Itu sudah jelas.

Lantas apakah yang menjadi


konteks bagi pemberitaan
modern?

Orang-orang beradab menganggap


perbuatan membakar buku adalah
perbuatan anti-intelektualisme.
Namun sesungguhnya saban hari
mereka melakukan hal yang sama.
Nilai suatu pemberitaan yang diusung
oleh teknologi itu dikurangi oleh ujian
seputar permanensi, kontinyuitas,
atau koherensi. Media seringkali
hanya pas untuk kilasan berita, yang
masing-masing dengan cepat
tergantikan oleh pesan yang lebih
baru.

Dengan kata lain…

Ya.
Seluruh dunia kini menjadi
konteks bagi pemberitaan
modern.

IV
Pseudo-Context dan Matinya Kebudayaan

Fakta mendorong fakta lain masuk dan lantas dengan kecepatan tinggi keluar
dari kesadaran, dengan tidak mengindahkan, maupun menyediakan tempat bagi evaluasi.
Postman (1985) mencontohkan hal ini lewat fotografi berita yang dimuat di surat kabar.
“For the photograph gave a concrete reality to
the strange-sounding datelines, and attached
faces to the unknown names. Thus it provided
the illusion, at least, that “the news” had a
connection to something within one’s sensory
experience.”3

Ia menyebutkan bahwa fotografi menciptakan konteks bagi “berita hari itu”, dan
sementara itu “berita hari itu” menciptakan konteks bagi fotografinya. Namun menurut
Postman (1985), konteks itu sepenuhnya hanyalah ilusi. Sebagai contoh seseorang yang
tinggal di Indonesia membaca sebuah berita di situs berita resmi di internet. Lalu ia
bercerita kepada temannya bahwa telah ditemukan sebutir mutiara yang tiada duanya di
Jepang. Lalu si teman bertanya, apakah berita tersebut memiliki kaitan dengan dirinya.
“Tapi aku punya gambarnya, cobalah kau lihat! Sangat menarik dan indah!” seru penemu
berita itu sambil menyodorkan foto yang telah dicetaknya. Dan barangkali temannya akan
mengangguk-angguk menyetujui. Foto mampu menyediakan konteks bagi sebuah
kalimat, dan sebaliknya caption mampu memberikan konteks yang diperlukan bagi
sebuah foto. Maka barangkali orang akan mempercayai bahwa ia telah mempelajari
sesuatu setelah menyaksikan foto maupun membaca berita itu. Tapi sesungguhnya, ketika
konteks itu tidak berhubungan dengan masa lalu maupun rencana masa depan, bahwa itu
3
Ibid. hal. 75-76.
hanyalah awal sekaligus akhir, maka sesungguhnya kemunculan konteks itu hanyalah
ilusi belaka. Materi itu barangkali akan menghibur sebagai trivia; hanya akan menjadi
topik percakapan sambil lalu, atau muncul kembali saat mengisi teka-teki silang, tidak
lebih.
Sebuah film yang baru-baru ini meledak di tangga box office Amerika Serikat,
Slumdog Millionaire (2008) yang mengangkat keberhasilan anak jalanan menjadi seorang
milyarder lewat sebuah kuis yang tak kalah tenarnya, Who Wants To Be Millionaire. Apa
yang ingin saya katakan di sini ialah, bahwa media sekarang seolah-olah hendak
memunculkan keyakinan bahwa solusi bisa diperoleh dengan cepat dan instan. Iklan
televisi, misalnya, meminta kita untuk memercayai bahwa semua masalah sebenarnya
dapat diatasi. Dan tidak hanya itu, masalah itu sebenarnya dapat diatasi dengan cepat,
antara lain lewat intervensi teknologi, teknik, dan ilmu kimia. Tapi iklan sering
mengabaikan penjelasan, karena memakan banyak waktu dan memancing argumen,
sebab tentu saja akan menjadi iklan yang buruk jika sampai membuat audiens
mempertanyakan validitas produk yang ditawarkannya.
Kembali ke masalah Slumdog Millionaire, yang dibuat dengan sangat berdasar
pada budaya populer yang banyak digemari masyarakat. Kuis itu sendiri bagaikan jalan
pintas bagi seseorang untuk merubah nasib. Dan siapa yang tidak menyukai
kemudahannya, keberuntungannya, bahwa semisal, seorang loper koran biasa yang tidak
memiliki suatu gelar mampu menjawab semua pertanyaan karena ia dikatakan telah
mengedukasi dirinya selama ini dengan koran-koran yang ia jual. Sementara dalam film,
tokoh utama digambarkan secara kebetulan pada masa kecilnya memperoleh informasi
yang sepotong-sepotong ini yang rupanya relevan dengan masa depannya, di mana ketika
ia diberi pertanyaan oleh sang pembawa acara kuis semua jawabannya ia peroleh dari
informasi-informasi itu.
Tapi sesungguhnya, berapa perbandingan jumlah kemungkinan munculnya
slumdog-slumdog ini di dunia nyata?

Saya berharap kita dapat


bercakap-cakap lebih lama.
Tapi setiap permulaan pasti ada
akhirnya. Kapanpun kau memerlukan
aku di dunia ide, maka aku akan
berada di sana. Terima kasih telah
mengundangku.

Apakah ada yang Anda ingin


katakan lagi pada Saya?

Ingat-ingatlah peringatan para


Huxleyan tentang pseudo-context ini.
Bahwa kini kebudayaan tengah
dibanjiri ketidak-relevansian,
inkoherensi, dan impotensi.

Ya. Apa yang lebih buruk dari


impotensi. Kiamat.

Yang kemudian tertanam dalam


kerangka surealis dari drama dalam
pertunjukan di televisi adalah macam-
macam wacana yang mengabaikan
logika, akal sehat, sekuen, dan aturan
tentang kontradiksi. Dalam estetika,
nama bagi teori ini adalah dadaisme;
dalam filsafat adalah nihilisme; dan
dalam psikologi adalah
schizophrenia.4

Apakah Anda akan pergi


sekarang?

Ya, sahabat-sahabatku telah


menunggu.

Sampaikan salam saya untuk


Aristoteles.

Akan kusampaikan. Tapi siapa dia?

Anda akan mengetahui jika ia


sudah datang. Sampai jumpa
lagi!

4
Ibid. hal. 105
“There is no need for wardens or gates or Ministries of Truth. When a population
becomes distracted by trivia, when cultural life is redefined as a perpetual round of
entertainments, when serious public conversation becomes a form of baby-talk, when, in
short, a people become an audience and their public business a vaudeville act, then a
nation finds itself at risk; culture-death is a clear possibility.” (The Huxleyan Warning)

BAHAN BACAAN

Barker, Chris. 1999. Television, Globalization, and Cultural Identities. Philadelphia:


Open University Press.
Berger, Arthur Asa. 1997. Narratives in Popular Culture, Media, and Everyday Life.
London: Sage Publications.
Boyd-Barrett Oliver dan Chris Newbold (Ed). 1995. Approaches to Media: A Reader.
New Tork: Oxford University Press.
Flew, Terry. 2002. New Media: An Introduction. New York: Oxford University Press.
Fukuyama, Francis. 1999. The End of History and The Last Man. (Penerjemah: M.H.
Amrullah). Yogyakarta: Qalam Press.
Gaarder Jostein. 1996. Dunia Sophie: Sebuah Novel Filsafat. (Penerjemah: Rahmani
Astuti). Bandung: Mizan.
Gelinas, Jacques B. 2003. Juggernaut Politics: Understanding Predatory Globalization.
(Translation: Raymond Robitaille) London: Zed Books.
Kellner, Douglas. 1995. Media Culture: Cultural Studies, Identity and Politics between
the Modern and Postmodern. London: Routledge.
Levinson, Paul. 1997. The Soft Edge: A Natural History and Future of Information
Revolution. London: Routledge.
Orwell, George. 2002. Animal Farm. (Penerjemah: J. Fransiska M.). Yogyakarta:
Penerbit Sumbu.
Postman, Neil. 1985. Amusing Ourselves to Death: Public Discourse in the Age of Show
Business. New York: Penguin Books.
Website:

Haymond, Bryce. 2009. A Modern Worldview from Plato’s Cave. http://www.


templestudy.com/wp-content/uploads/2009/09/A-Modern-Worldview-from-Platos-
Cave-by-Bryce-Haymond.pdf . Akses terakhir: 10 Mei 2010, pukul 16.00 WIB.

Anda mungkin juga menyukai