Anda di halaman 1dari 14

The Other Space Foucault

Analisa Permainan Ruang dan Waktu Dalam Film “Pintu Terlarang”

Keken Frita Vanri


208 000 036

Spasialitas (space) dan Virtualitas (virtuality)


Ruang adalah materi yang penting bagi manusia, baik secara tunggal ataupun sosial, untuk dapat
menjalankan segala aktivitas kehidupannya. Masyarakat tradisional memanfaatkan ruang fisik
untuk berinteraksi, mengobrol, melakukan transaksi ekonomi, menyebarkan budaya, bahkan
berpolitik, Itulah sebabnya kita sering mendengar bahwa banyak pedagang Arab dan China yang
jauh-jauh datang dari negerinya ke Hindia untuk berdagang dan menyebarkan ajaran agama.
Fenomena ini dibahas oleh teori global sphere yang menjelaskan bahwa perjalanan manusia menuju
tempat-tempat di seluruh dunia menimbulkan kesan bahwa dunia ini amat luas. Perjalanan itu
memakan waktu berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan, sehingga timbulah kelemahan dari
konsep ruang fisik yang kurang efektif dan efisien. Pasca revolusi industri pada akhir abad-18,
berkembanglah penemuan-penemuan baru yang membuat manusia terbiasa dimudahkan dan
dimanjakan oleh teknologi. Hadirnya media massa yang dikawinkan dengan teknologi dan
melahirkan new media menjadikan konsep ruang fisik sebagai konsep yang terbatas dan sempit.
Batas-batas geografis fisik antar kota, antar negara, bahkan antar benua dapat terhapus begitu saja
ketika televisi sebagai ruang virtual baru, muncul dan memungkinkan kita di Indonesia mampu
menyaksikan apa yang terjadi di Eropa atau Afrika. Media baru seperti internet dengan kemampuan
interaktivitasnya, lebih memudahkan kita untuk berkomunikasi dengan siapapun di belahan dunia
yang berbeda pada waktu yang sama, atau seakan-akan sama. Hal ini menyebabkan konsep ruang
(space) telah bergeser dari kondisi fisik menjadi kondisi non fisik, atau biasa disebut virtualitas.

TV dan internet telah menjadi ruang virtual baru bagi masyarakat modern. Jika kita memperhatikan
televisi dan internet yang diakses melalui teknologi computer, maka ada satu kesamaan bahwa
keduanya memiliki bagian penting yaitu layar. Layar televise atau komputer telah menjadi media
dimana masyarakat mencoba membangun aktifitas dan realitas sosialnya. Masyarakat secara
bersama-sama memindahkan segala aktifitas dan wacana, baik ekonomi, politik, sosial dan budaya
ke dalam sebuah layar virtual. Seperti yang dikatakan Yasraf A. Piliang dalam bukunya
Multiplisitas dan Diferensi :

Keberadaan aneka layar di dalam dunia kehidupan telah membentangkan sebuah model kehidupan bersama
(communality) --- yang tidak lagi sekedar hidup bersama manusia lain, alam dan dunia benda-benda di
ruang-waktu nyata --- tetapi hidup bersama melalui layar, yang di dalamnya manusia membangun sebuah
dunia bermakna, atau membangun dunia makna itu sendiri.i

Perpindahan ruang fisik ke ruang virtual berakibat pada berubahnya persepsi manusia tentang
kesadaran akan realitas. Realitas yang sebelumnya merupakan hasil dari first hand learning yang
dibangun melalui pengalaman dan kontak fisik langsung, kini dapat sekedar dilihat dan dipelajari
dari sebuah layar. Pola interaksi dan komunikasi pun berubah dimana batas antara ruang publik dan
ruang privat menjadi kabur. Itulah kenapa orang sering membahas persoalan pribadi di jejaring
sosial yang notabene merupakan ruang publik. Kepemilikan personal atas account dan kemampuan
jejaring sosial untuk memilih siapa yang dapat mengakses account tersebut membuat jejaring sosial
seakan-akan merupakan ruang privat dimana kita dapat menumpahkan segala perasaan dan curahan
hati di dalamnya. Padahal, apa yang kita tulis dapat dibaca oleh orang lain dan menjadi konsumsi
publik.

Layar tanpa disadari membuat manusia semakin jarang bergerak dan berpindah tempat. Contoh
paling simple di bidang ekonomi, seseorang tidak perlu pergi ke pasar untuk membeli pakaian atau
sepatu. Ia cukup mengakses e-shop atau online shop yang bertebaran di Internet. Layar juga
mampu menjadi media katarsis tempat seseorang melampiaskan perasaan kesal, marah, sedih atau
apapun. Identitas sosial seseorang tidak lagi dibentuk ketika ia berbicara dan berinteraksi dengan
orang lain di ruang fisik. Kini, melalui hal-hal yang kita tulis, dengan gaya dan emoticon-emoticon
tertentu di atas layar elektronik itu, orang yang melihat dapat dengan mudah memberikan penilaian
dan persepsi tentang diri kita.

Sebuah ruang fisik yang ada tidak akan berarti apa-apa sebelum ada yang memberikan pemaknaan
terhadap ruang tersebut. Ruang tercipta akibat dari aktivitas manusiaii Sebuah ruang disebut ruang
kelas, ketika orang-orang yang beraktifitas dan berinteraksi di ruangan itu telah memberikan
investasi makna “kelas” terhadap ruangan itu. Atau sebuah ruang disebut ruang keluarga, ketika
memang ia digunakan sebagai tempat berkumpul semua anggota keluarga untuk sekedar mengobrol
atau menonton TV. Sama halnya dengan ruang fisik, ruang virtualpun tidak bermakna apa-apa
ketika tidak terjadi aktivitas tertentu. Interaksi sosial dalam hal ini menjadi penting untuk
membentuk ruang-ruang sosial karena ketika interaksi terjadi, maka pihak-pihak yang berinteraksi
akan memberikan suatu investasi makna terhadap ruang di balik layar tersebut. Ruang atau space
yang telah diberi makna ini disebut place.

The Other Space Foucault

Seorang tokoh yang banyak bicara tentang space adalah Michel Foucault. Ia adalah seorang ilmuan
Prancis beraliran postmodern yang terkenal nyentrik dan banyak menghasilkan tulisan yang tidak
pernah diduga sebelumnya. Ia banyak membahas tentang implikasi dan wacana tentang isu ruang.
Banyak dari filsuf da ilmuan sosial lain yang mencoba mengembangkannya. Menurut pemahaman
saya tentang tulisan-tulisan Foucault, pembahasan tentang ruang dimulai dengan pembahasan
sejarah. Terdapat benturan antara konsep ruang dan konsep waktu di dalam sejarah, dimana terdapat
unsur-unsur yang salin jalin menjalin, saling bertentangan namun saling bersandingan satu sama
lain di dalam ruang tertentu dan dalam jangka waktu yang telah lewat.

Dalam Essai Foucault “The Other Space” 1967iii , ia mengatakan bahwa kita tidak hidup di dalam
sebuah ruang yang homogen. Kita hidup dalam ruang heterogen yang memiliki seperangkat
hubungan antara situs yang satu dan situs lain yang saling berhubungan dan saling merefleksikan.
Berbicara tentang refleksi, Foucault juga mengatakan bahwa ada ruang lain di luar ruang yang kita
tempati sekarang. Untuk menjelaskan hal ini, ia mengambil analogi cermin.iv

Refleksi di dalam cermin membuktikan bahwa ada sebuah aktivitas di balik cermin. Apabila kita
berdiri di depan cermin dan kita melihat bayangan kita di dalamnya, maka itu membuktikan kita
yang berada di dalam sana itu ada (ontologi), walaupun tidak nyata. Intinya, refeksi benar-benar ada
dan tercipta walaupun tidak secara material. Di dalam cermin, kita melihat refleksi dari diri kita
dan lingkungan di sekitar kita. Tanpa benda-benda di depan cermin, maka tidak akan ada bayangan
di dalam cermin. Ada ruang lain di luar ruang nyata tempat kita berdiri yang memuat representasi
dari hal-hal yang kita lakukan secara nyata. Itulah yang disebut sebagai virtualitas oleh Foucault.

Cermin telah membagi suatu entitas menjadi dua jenis, yakni entitas fisik dan entitas non fisik/ non
material. Entitas fisik identik dengan sesuatu di depan cermin, sedangkan entitas non fisik adalah
entitas yang ada di dalam cermin. Foucault menyebut entitas non fisik ini dengan sebutan Utopia.
Utopia adalah sebuah situs di dalam ruang yang tidak nyata. Mereka hadir karena memiki hubungan
umum atau analogi terbalik dari kondisi nyata di depan cermin. Utopia menghadirkan bayangan
dalam bentuk yang disempurnakan dan kondisinya terbalik. Selayaknya kita melihat cermin. Kita
dapat melihat diri kita di dalam sana, di dalam sebuah ruang virtual dimana kita dapat mengatakan
“dia yang di dalam cermin adalah aku di dalam cermin,aku di dalam ruang yang tidak nyata”.
Ketika kita mengangkat tangan kanan kita, maka bayangan di dalam cermin seakan-akan
mengangkat tangan sebelah kiri. Saat kita menggerakkan kaki kiri kita di depan cermin, maka kaki
sebelah kanan pada bayangan di dalam cerminlah yang akan bergerak. Ini yang dimaksud dengan
kondisi terbalik. Sebaliknya, bayangan diri kita akan hilang jika kita menyingkir dari depan kaca.
Kita hanya ada di dalam sana ketika kita dapat melihat diri kita sendiri dengan sangat nyata
bersamaan dengan ruang yang ada di sekeliling kita. Dan untuk berada di seberang sana, berarti kita
harus melewati sebuah point, yaitu cermin. Tanpa cermin, maka utopia tidak akan tercipta, dan
dalam hal ini, cermin adalah utopia itu sendiri.

Cermin yang berupa entitas fisik, yang menjadi pembatas antara ruang nyata dengan ruang tak
nyata disebut Foucault sebagai Heterotopia. Tidak hanya berupa cermin, heterotopia dapat
berwujud berbagai benda. Mungkin di setiap tempat, dalam setiap budaya dan di dalam setiap
peradaban, selalu ada tempat yang real dimana kita dapat melihat suatu kenyataan secara simultan
direfleksikan, dihadirkan, dipertarungkan dan diputarbalikkan, itulah heterotopia. Heterotopia
dibangun oleh masyarakat dan merupakan hal yang sangat nyata, layaknya cermin yang juga
merupakan entitas fisik yang nyata. Heterotopia dapat berupa apa saja, misalnya media massa,
rumah sakit, museum, gedung teater, penjara, dll.

Ada beberapa sifat dari heterotopia. Pertama, heterotopia memiliki fungsi yang khusus dan spesifik,
bagi suatu kalangan. Sulit menemukan heterotopia yang berfungsi secara universal. misalnya rumah
sakit jiwa, penjara, panti jompo adalah tempat-tempat khusus yang diciptakan untuk orang-orang
yang memiliki sifat devian atau berbeda dari orang kebanyakan, dan tempat-tempat itu tidak dapat
digunakan oleh semua orang.
Kedua, layaknya merancang sejarah, setiap masyarakat juga merancang heterotopia dengan gaya
mereka sendiri sesuai kebutuhan, yang mana masing-masing dari heterotopia tersebut memiliki
keistimewaan dan menentukan fungsi dalam masyarakat. Ketiga, Heterotopia mampu
menjungkirbalikkan dan membuat ruang-ruang sekaligus yang bertumpang tidih dalam satu tempat.
Contohnya, ketika kita menonton film, maka kita berada di ruang tertentu yakni bioskop, dan
dihadapkan dengan ruang-ruang lain di dalam film (utopia) melalui layar (heterotopia) . Berikutnya,
heterotopias mampu menghadirkan irisan-irisan waktu yang berbeda. Misalnya, ketika kita di
Indonesia melakukan chatting dengan teman kita di Turki, terdapat perbedaan waktu yang
signifikan di Negara masing-masing. Katakanlah di Indonesia saat itu pukul 24.05 malam dan
ternyata kondisi di Turki adalah pukul 07.35 pagi. Perbedaan waktu itu seolah-olah menjadi bias
dan saling beririsan ketika kita merasa mengobrol pada waktu yang sama (real time).v

Konsep Other Space dalam Film “Pintu Terlarang”

Film muncul pada akhir abad ke-19 dan merupakan alat komunikasi massa yang kedua muncul di
dunia setelah surat kabar.vi Film mencapai puncak keemasannya pada saat-saat di sela Perang Dunia
I dan II dimana film dimanfaatkan sebagai alat propaganda perang. Tahun 1920-an adalah masa
dimana parameter operasional dari industri ini mulai dibuat. Misalnya pada tahun itu kinetoscope,
sebuah perangkat yang memudahkan individu dalam melihat fim, hasil temuan Edison dapat dengan
cepat menggantikan sistem proyeksi yang diciptakan oleh Auguste dan Loui Lumiere. Dalam
periode ini juga terjadi peningkatan yang cukup signifikan pada teknik produksi, misalnya teknik
editing, pencahayaan dan pergerakan kamera.vii Setelah itu, perkembangan film menurun ketika
televisi diciptakan. Menurut Garin Nugroho (Kompas, 19 Mei 2002) viii Penurunan ini tidak terjadi
di Amerika karena para pembuat film seperti Spielberg dan George Lucas mengerti betul potensi
TV yang mampu menyebarkan film dalam bentuk sinema. Mereka yang menciptakan sensasi dan
menyebarkan demam sinema di TV.

Perkembangan film TV/sinema selanjutnya banyak diramaikan dengan film-film yang mengandung
konten seks dan kekerasan yang dominan. Di Indonesia sendiri, kemajuan bisnis film dimulai pada
tahun 1980-an dimana film lokal banyak diputar di bioskop-bioskop. Film-fim bernuansa komedi
dan percintaan banyak diproduksi sineas tanah air. Ada juga sederet film perjuangan semisal Tjut
Nyak Dien garapan Eros Djarot yang diproduksi tahun 1988.ix Namun pada tahun 90-an, di masa
pergolakan orde baru, muncul film-film khusus dewasa secara massive. Saya pribadi berpendapat
bahwa ini merupakan salah satu upaya politik pemerintah dalam mengalihkan isu seputar
kebobrokan rezim. Fenomena ini berlanjut dan lama kelamaan mematikan industri perfilman
Indonesia. Awal abad-21 adalah masa kebangkitan kembali film Indonesia dimana muncul film
“AADC” yang diperankan oleh Dian Sastro dan Nicolas Saputra, Petualangan Sherina, dll. Sejak itu
film-film Indonesia mulai banyak diproduksi dan tren genre selalu berganti. Tahun 2010 yang lalu
merupakan tahun yang emngecewakan karena film-film yang diproduksi banyak mengangkat tema
horror dan seks terselubung.

Film memiliki hubungan erat dengan masyarakat. Film tidak sekedar menjadi hiburan dan media
untuk mengekspresikan perasaan dan ambisi sang sutradara. Film dibangun dengan menggunakan
sistem tanda yang mampu menghasilkan imaji dan visualisasi sehingga ia mampu dan berpotensi
untuk menyebarkan sebuah ideologi dan kesadaran palsu. Masyarakat dapat dengan mudah
menyerap dan mengadopsi ideologi dalam film karena mereka memang membutuhkan sesuatu
untuk dijadikan sebagai prinsip dan parameter dalam hidup. Seperti yang dikatakan John Fiske
(1987) society without ideology is impossiblex Fiske juga mengadopsi teori wacana Foucault
dimana teks dalam film adalah wacana, dan kesadaran penonton pun adalah wacana. Ketika wacana
bertemu, maka akan menghasilkan sebuah arti yang berlanjut pada sebuah tindakan agreement atau
resistence.xi Karenanya, ada beberapa materi dalam film yang dapat langsung diadopsi sebagai
ideologi bersama, dan ada juga film-film yang mengundang kontroversi karena tidak sesuai dengan
sistem budaya setempat.

Sejarah kelahiran film tidak dapat dilepaskan dari peran penguasa untuk menyebarkan propaganda
perang. Sebagai contoh, ada satu film kartun karya Walt Disney dengan tokoh Donald Duck yang
ditayangkan pada tahun 1940-an yang bercerita bahwa hidup di Amerika lebih menyenangkan
daripada hidup di Jerman di bawah kekuasaan Hitler. Film “Rambo” sendiri merupakan propaganda
Amerika yang mengklaim kemenangan atas perang Vietnam. Di Indonesia, film banyak digunakan
oleh rezim Soeharto untuk menyebarkan ideologi anti-komunis.

Film merupakan representasi dari masyarakat dimana film itu dibuat atau menurut kritikus Prancis
dikatakan bahwa film adalah kopi realitas. xii Namun pendapat itu dibantah oleh Cristian Metz yang
mengatakan bahwa sinema merupakan “ilusi atau impresi tentang realitas”xiii karena sebagai
representasi dari realitas, film tidak hanya sekedar memindahkan realitas ke layar tapi juga
mengubah, mengulangi dan memberi interpretasi atau pemahaman baru terhadapnya. Film
menangkap dan memberi interpretasi pada realitas, dan kemudian mencomot realitas-realitas lain
untuk menyempurnakan jalan cerita. Inilah kenapa tidak ada realitas di dalam film, melainkan
hyperealitas dengan konsep intertekstualitas. Menurut Graeme Turner, film membentuk dan
menghadirkan kembali realitas berdasarkan kode, konvensi dan ideologi dari kebudayaannya. xiv
Dilihat dari konsep Other Space Foucault, film merupakan sebuah ruang virtual dimana apa yang
terjadi di dalam film merupakan sebuah utopia dan layar-layar bioskop atau televisi sebagai
heterotopia. Seperti yang dibahas di atas, salah satu prinsip heterotopia adalah terciptanya ruang-
ruang yang saling tumpah tindih serta adanya perbedaan waktu yang kabur.

Menurut dosen saya, Yuka Dian, judul dari film Pintu Terlarang pun sudah sangat spasial dan
memuat semiotik. Kata “pintu terlarang” merupakan sebuah teks yang tidak lain adalah sistem
tanda, sehingga melalui pemahaman bahasa di dalamnya, akan dapat dibayangkan gagasan, pikiran,
perasaan, bahkan ketaksadaran pengarang (Todorov, 1985 :26 ) xv. Kata “pintu” sebagai penanda
merujuk pada sebuah media yang menghubungkan dua ruang berbeda, dan melalui judul ini, kita
dapat membayangkan atau mengasumsikan bahwa terdapat ruang rahasia dan misteri di balik pintu
terlarang yang coba diungkap. Film ini adalah karya Joko Anwar di tahun 2009 dan merupakan
adaptasi novel dengan judul yang sama karya Sekar Ayu Asmara.xvi

Film ini bercerita tentang seorang seniman bodycasting sukses bernama Gambir (Fahrie Albar) dan
istrinya yang hebat dan dominatif bernama Talyda (Marsha Timothy). Kesuksesan Gambir adalah
hasil kerja kerasnya dalam membuat patung perempuan hamil yang sangat laku dijual. Menurut
para pembeli, patung buatan Gambir seolah-olah memiliki jiwa yang hidup. Ternyata, kesuksesan
itu berawal dari ide Talyda untuk memasukkan janin hasil aborsi ke dalam perut patung-patung
tersebut.

Saat membuat patung, Gambir menemukan pintu merah bergembok besar di rumahnya. Ketika ia
berupaya membuka pintu tersebut, Talyda datang melarang dan mengatakan bahwa di balik pintu
itu tersimpan kenangan pahit yang akan membuatnya terluka jika dibuka. Gambir yang sangat
menurut kepada istrinya langsung mengurungkan niatnya.

Sejak saat itu, Gambir mendapat pesan-pesan misterius berbunyi “tolong saya” dari seorang anak
kecil yang tidak ia kenal. Pesan itu tertulis dalam kertas, lantai, tembok dan disampaikan melalui
telepon. Di sana juga terdapat sebuah petunjuk bertuliskan “Herosase” yang ternyata merupakan
nama sebuah tempat. Setelah berhasil menjadi anggota Herosase, ia dijanjikan akan mendapat
jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya, dengan satu syarat, tidak boleh ada pertanyaan. Gambir
yang kebingungan diminta masuk ke suatu ruangan seperti kamar yang menyediakan saluran
televisi khusus. Kamera dari saluran televisi itu diletakkan di rumah orang-orang tertentu tanpa
diketahui pemiliknya. Akibatnya, melalui kamar itu Gambir dapat melihat kejadian-kejadian aneh
seperti perempuan tua yang menjahit tangannya sendiri, tindakan sodomi di penjara, dan yang
mengejutkana adalah tayangan seorang anak yang disiksa kedua orang tuanya. Dari tayangan
terakhir itu ia mendapat jawaban bahwa anak kecil misterius yang selama ini meminta tolong
kepadanya adalah anak di dalam tayangan itu. Gambir berniat menolong dengan berupaya meminta
alamat anak itu kepada pihak Herosase namun tidak diizinkan.

Dalam film ini, Gambir diceritakan sebagai laki-laki lemah, baik fisik, syahwat mapun motivasi,
yang diintervensi oleh orang-orang di sekelilingnya. Ia terus mendapat tekanan dari istri, ibu, dua
orang sahabat dan manajernya. Namun setelah kedatangannya yang pertama ke Herosase, Gambir
menjadi lebih brutal dan emosional. Ia amat marah karena ia tidak mampu menyelamatkan anak itu.
Saat ia kembali ke Herosase dan menonton saluran TV yang menayangkan penyikasaan anak kecil
itu, ia melihat bahwa anak kecil tadi membunuh kedua orang tuanya dengan pisau dan kemudian
bunuh diri. Gambir amat terpukul dan hampir jatuh pingsan sebelum ia melihat nama Talyda di
daftar channel TV aneh tersebut. Karena penasaran, Gambir menekan channel tersebut dan
menemukan bahwa selama ini Talyda tidur dengan dua sahabatnya, dan hal itu semata-mata karena
diminta oleh Ibu Gambir yang menginginkan anak dari Talyda. Gambir sangat terpukul dan marah
dan ia berencana menyiapkan jamuan makan malam untuk membantai orang-orang terdekatnya itu..
Setelah membunuh semuanya, ia teringat pada pintu merah yang ia temukan, dan ia pun langsung
membuka pintu tersebut. Setelah pintu itu terbuka, ia melihat sebuah ruangan yang ia kenal, yakni
rumah dimana anak kecil yang selama ini meminta tolong kepadanya . Ia semakin bingung ketika
mendapati bahwa Ibu sang anak yang telah mati terbunuh adalah Ibunya dan lambat-lambat ia
menyadari bahwa apa yang ia masuki adalah ruang masa lalunya, dan anak kecil itu sebenarnya
adalah dirinya sendiri. Semuanya terulang di dalam pikirannya dan ia pun kembali merasakan
menjadi anak kecil yang takut pada ibunya. Saking takutnya ia menjerit, dan kondisi berubah.
Gambir dewasa sedang duduk dan menangis dalam sebuah sel di rumah sakit jiwa.

Film ini sedikit membingungkan dan banyak mendapat kritik. Mulai dari kritik terhadap acting para
pemainnya, maupun kritik terhadap jalan cerita yang tidak logis dan terkesan dipaksakan. Namun
diluar itu semua, saya berupaya menganalisis film ini terkait persoalan ruang dan waktu dengan
menggunakan teori Other Space Foucault (Utopia dan heterotopia).

Setting yang banyak digunakan dalam film ini adalah kawasan kota tua, perumahan modern,dan
bangunan-bangunan bergaya era 70-an sebagai Rumah sakit Jiwa, Rumah Gambir kecil dan ruang
kerja Gambir. Alur yang digunakan dalam film ini adalah alur campuran dimana masa lalu dan
masa sekarang dicampurkan menjadi sebuah kesatuan yang harmonis. Saya menduga, konsep waktu
yang digunakan adalah era modern tahun 2000an yang terlihat dari gaya berpakaian para pemain,
gaya bicara dan gesture para pemain, dialog yang disisipi bahasa asing, serta arsitektur minimalis
dari rumah yang didiami Talyda dan Gambir. Tapi ada beberapa hal yang menurut saya janggal
ketika setting kota tua dipakai sebagai pusat kota pada film yang menggunakan konsep modern ini.
Selain itu billboard dan poster yang memuat gambar bergaya retro serta backsong yang mengajak
kita pada era 70-an membuat saya sulit menentukan setting waktu yang digunakan.

Suasana dalam film ini dibuat misterius, terlihat sekali bahwa sang sutradara berupaya memasukkan
secara paksa unsur klasik dalam film. Unsur klasik biasanya berhasil membangun suasana yang
dingin dan misterius, karena itu banyak tempat-tempat bernuansa masa lalu yang dgunakan dalam
film ini. Selain menggunakan arsitektur dan furniture yang memang terlihat sudah berumur,
sutradara menciptakan suasana klasik melalui efek kamera yang menggunakan teknik sephia.
Teknik ini digunakan sebagai petanda yang mengacu pada petunjuk waktu yang lebih usang dan
membedakannya dengan konsep sekarang, selain itu efek sephia juga menjadi penanda yang
membedakan antara ruang real dalam film tersebut dengan ruang imanjinasi-imajinasi Gambir.
Permainan ruang dan waktu menjadi ide cerita utama dalam film Pintu Terlarang. Hal ini terlihat
dari banyaknya adegan perpindahan pikiran Gambir dari masa kini ke masa lalu dan sebaliknya.
Menurut saya, adegan-adegan flashback yang digambarkan dalam film ini merupakan sebuah
utopia, dimana ia benar ada dan pernah terjadi di masa lalu , namun dalam konteks “sekarang” ia
hanya berada dalam ruang virtual tak nyata, yakni pikiran Gambir. Misalkan ketika Gambir sampai
di klinik aborsi setelah ia bermain tennis , tiba-tiba cerita berputar pada ingatan masa lalu Gambir
saat ia mengantarkan Talyda ke tempat itu untuk aborsi. Ingatan itu berlanjut pada adegan ketika
Gambir mulai membuat patung, memasukkan janin ke dalam perut patung, dan menjualnya kepada
manajernya. Karena permintaan makin banyak maka mau tidak mau ia harus sering kembali ke
klinik aborsi untuk mengambil janin-janin yang akan diletakkan di dalam patung. Ruang virtual/
imajinasi berakhir ketika Gambir diikuti dan didatangi oleh seorang Bapak yang tertawa dan tiba-
tiba ada di depannya dan berkata “Bangun”. Setelah itu kamera mengambil gambar Gambir yang
ternyata tertidur sejak ia sampai di klinik itu dan dibangunkan oleh Suster. Saat itu lah ia kembali
ke konteks ruang nyata. Bagi saya, selama Gambir tertidur, flashback yang terjadi adalah sebuah
utopia yang tercipta dan merupakan sebuah representasi atas apa yang sedang Gambir pikirkan.
Utopia juga tercipta saat Gambir memasuki Herasose yang diikuti dengan perubahan teknik kamera
menjadi teknik sephia yang menandakan bahwa Herosase hanyalah ruang imajinasi Gambir. Saya
mencoba mencerna bahwa Herosase sebetulnya adalah ruang dalam pikiran Gambir dimana ia akan
mendapatkan semua jawaban ketika ia berpikir, karena perempuan di Herosase itu berkata bahwa di
sana Gambir akan mendapatkan semua jawaban asal tidak bertanya. Jadi menurut saya kita diajak
untuk melihat isi pikiran Gambir yang penasaran dengan rahasia-rahasia dari orang sekitanya yang
berusaha ia ketahui, misalnya rahasia Talyda tentang pintu merah dibalik lemari dan rahasia anka
misterius yang memninta tolong padanya.
Dari pemahaman itu, saya melihat bahwa sutradara mampu membangun lapisan-lapisan ruang
tertentu melalui pemaknaan. Joko Anwar memaknai pikiran manusia sebagai sebuah ruang dimana
ia mencoba mencari tahu segalanya dengan berpikir. Ia mentransformasi pemaknaan itu kedalam
wujud ruang fisik berupa Herosase (walaupun di akhir cerita ia membuat saya memaknai Herosase
sebagai rumah sakit Jiwa tempat Gambir dikurung karena membunuh kedua orang tuanya).
Layaknya pikiran manusia, Herosase merupakan ruang dimana seseorang dapat berefleksi, melihat
dan memutar kembali pengalaman masa lalunya melalui simbol-simbol yang berasosiasi pada
memori tertentu. Sutradara juga menyadari bahwa Herosase sebagaimana pikiran manusia juga
tidak menihilkan kemungkinan adanya prasangka atau prejudice. Apalagi Herosase dalam film ini
adalah representasi dari pemikiran seorang Gambir yang pasti memiliki sudut pandang dan
subjektivitas tertentu yang memungkinkan dirinya menciptakan prejudice dan prasangka atas istri,
anak kecil yang meminta tolong padanya, teman-temannya, dan orang-orang sekitanya.
Channel televisi di Herosase itu membawa Gambir melihat dirinya saat masih kecil, ketika ia
mendapat siksaan dari ayah dan ibunya. Layar TV itu seakan-akan menjadi cermin yang
menampilkan masa lalunya. TV itu menjadi heterotopia yang menghubungkan dirinya dengan masa
lalunya yang direpresentasi, dipersandingkan dan diputar balik (sesuai dengan prinsip heterotopia).
Layar ini mempersandingkan dan membandingkan keadaan Gambir kecil yang malang dan disiksa
oleh orang tua dengan Gambir dewasa yang sukses. Kalau saya boleh menganalogikan, apa yang
dilihatnya di dalam channel itu sama seperti saat kita di usia 20 melihat-lihat foto masa kecil kita
saat bermain di pantai, di halaman rumah, dsb. Seperti yang saya katakan diatas bahwa sebagai
bentuk ruang berpikir, herosase juga mungkin memuat prejudice dan prasangka dari pikiran Gambir
sendiri. Mungkin saja, apa yang ia lihat di Layar TV Herosase tidak semuanya merupakan refleksi
akan dirinya, melainkan sekedar prasangka, misalnya tentang Talyda yang tidur dengan dua
temannya.
Konsep Pintu Merah di balik lemari juga merupakan persoalan space dan semiotik dimana pintu itu
menghubungkan ruang-ruang yang berbeda. Pintu merah itu menjadi sebuah petanda layaknya
dokodemo (pintu kemana saja Doraemon) yang bisa membawa Gambir kemana saja sesuai dengan
yang ia pikirkan. Setelah pintu merah itu dibuka dan gambir masuk, teknik kamera berubah menjadi
teknik sephia yang menandakan kita masuk kembali pada ruang pikiran Gambir. Ruangan di balik
pintu itu ternyata adalah rumah dimana Gambir kecil disiksa dan akhirnya membunuh kedua orang
tuanya. Saya baru menyadari bahwa Pintu merah ini merupakan Heterotopia yang membawa
Gambir kembali pada ingata saat ia disiksa kemudian membunuh kedua orang tuanya. Pintu ini
menjadi cermin dimana ia dapat merasakan kejadian-kejadian di masa lalunya dengan amat nyata,
bahkan dengan masuk ke pintu ini ia masih merasakan kengerian dan tekanan-tekanan yang ia
dapatkan di masa kecilnya. Pintu merah dalam makna konotatif merupakan penanda atas ruang
nostalgia gambir.
Di akhir film, saya dibuat kesal karena ternyata apa yang terjadi dari awal hingga akhir film
merupakan sebuah imajinasi Gambir yang menderita sakit jiwa setelah membunuh kedua orang
tuanya saat berumur 8 tahun. Apa yang real di dalam film ini justru apa yang ada di dalam televisi
Herasose, yakni gambaran seorang anak (Gambir kecil) yang dipukul, dimarahi, ditendang, dan
dibenamkan di dalam air oleh orang tuanya. Kehidupan Gambir dewasa tidak lain hanyalah
imajinasi yang ia buat dengan tokoh-tokoh yang memang berinteraksi dengannya setiap hari.
Talyda dalam kehidupan nyata di Film ini adalah seorang Jurnalis yang memantau kasus gambir
sejak 5 tahun yang lalu. Kedua temannya adalah pekerja dan penjaga di rumah sakit jiwa itu, dan
beberapa pemeran pembantu ternyata adalah penghuni rumah sakit jiwa itu juga.
Ending cerita Pintu Terlarang membuat saya sulit menarik kesimpulan dari film ini. Apa faktor
yang dapat membuat Gambir berpikir sedemikian terstruktur menciptakan ruang imajinasi yang
begitu kompleks dalam pikirannya, padahal jelas-jelas ia masuk rumah sakit jiwa saat berumur 8
tahun. Namun itu bukan fokus kajian saya sehingga saya tidak melakukan pembahasan lebih lanjut.
Ada beberapa kesimpulan yang dapat saya ambil :
1. Konsep “Pintu Terlarang” adalah persoalan Space dimana ia bermain dalam ruang-ruang
imaji Gambir, dan merupakan persoalan Semiotik, dimana Pintu menjadi penanda akan
sebuah ruang pemikiran dan nostalgia seorang Gambir, dimana penanda itu jauh melampaui
petandanya.
2. Ada beberapa ruang yang diciptakan dalam film ini dimana kaitan antara ruang-ruang itu
membentuk sebuah lingkaran logika.
Pertama (I), ruang yang benar-benar nyata dalam film dan menjadi akal dari setiap imajinasi
Gambir. Ruang ini ditunjukkan oleh scene Gambir di RSJ yang ternyata adalah penderita
sakit jiwa yang semasa kecilnya disiksa oleh ayah ibunya dan membuat ia nekat membunuh
keduanya. Ruang ini hanya ditunjukkan saat adegan terakhir ia berteriak dan menangis di
RSJ. Dalam ruang ini, Fahrie Albar berperan sebagai Orang Gila, Marsya Timothi sebagai
Wartawan, Dandung sebagai Penjaga rumah sakit Jiwa.
Kedua (II), ruang imajinasi tingkat pertama dari Gambir selama ia berada di RSJ (I). Gambir
(I) membayangkan dirinya adalah seorang pematung sukses yang mendapat banyak tekanan
dari keluarganya. Ia memiliki istri bernama Talyda, dan memiliki teman bernama Dandung.
Segala aktivitas di ruang ini ditunjukkan oleh scene gambir membuat patung, berpesta di
Galeri, bermain tenis, bicara dengan talyda, ibu dan temannya. Di ruang ini Fahrie Albar
sebagai Pematung, Marsya Timothi sebagai Talyda, Dandung sebagai teman baik Gambir.
Ketiga (III), ruang yang ada di dalam pikiran dan imajinasi Gambir (II). Aktivitas yang ada
di ruang ini adalah saat Gambir (II) tertidur dan melakukan flashback. Misalkan saat
pertama kali ia mengantar Talyda aborsi dan saat pertama kali ia memasukkan Janin ke
dalam patung. Aktivitas Gambir (II) saat masuk ke Herosase juga saya maknai berlangsung
di ruang ini.
Keempat (IV) Ruang yang tercipta ketika ia menonton TV di Herosase. Tayangan tentang
seorang anak yang disiksa dan akhirnya membunuh orang tuanya saya maknai sebagai ruang
dalam pikiran Gambir yang sedang berimajinasi. Namun, ternyata itu adalah ruang refleksi
Gambir karena anak dalam tayangan itu sebenarnya adalah dirinya di waktu kecil yang
memang disiksa dan membunuh orang tuanya. Karena itu, saya memaknai ruang ke-IV ini
sebagai ruang yang paling nyata dan sama dengan posisi Gambir di ruang I.
Konsep ruang yang bertumpuk-tumpuk ini mengacu pada prinsip heterotopia dan other
space Foucault. Analogi yang saya ambil untuk menjelaskan ini adalah dengan berdiri di
depan cermin sambil memegang cermin.
3. Jika kita tilik lebih jauh, maka kita akan menemukan bahwa terdapat beberapa kali
representasi dalam film ini. Pertama, film ini sebagai sebuah bentuk simulasi dan
representasi realitas dengan adegan-adegan film sebagai utopia dan layar bioskop sebagai
heterotopia. Kedua, kita menyaksikan Herosase sebagai bentuk representasi (r’) dari ruang
pikiran gambir. Ketiga, TV di Herosase melakukan representasi (r’’) atas masa lalu Gambir
di dalam ruang pikiran Gambir di dalam film Pintu Terlarang. Konsep ruang yang tumpang
tindih ini saya akui sangat membingungkan.

Itulah sedikit yang dapat saya jabarkan berdasarkan hasil pengamatan saya terhadap film Pintu
terlarang. Tulisan ini saya buat berlandaskan pada pemahaman saya terhadap materi semiotika yang
diajarkan di kelas, ditambah dengan sedikit bacaan dari buku-buku terkait. Saya sebagai penulis
mengakui sepenuhnya bahwa terdapat banyak kekurangan dari segi penulisan, terbatasnya literatur
dan referensi serta minimnya pemahaman saya terhadap konsep other space, utopia dan
heterotopia Foucault. Semoga apa yang saya tulis tidak menyesatkan dan dapat menjadi sebuah
stimulus bagi penulis lain untuk membahas film-film dengan konsep sejenis.

Referensi
i
Piliang, Y. A. (2008). Multiplisitas dan Diferensi. Yogyakarta: Jalasutra
ii
Pernyataan Yuka Dian dalam pembahasan “Relocating China” di ruang A.1.9
iii
www. Socyberty.com , 14 Januari 2011
iv
Dikutip dari Yuka Dian dalam pembahasan “Relocating China” di ruang A.1.9
v
Foucault. Des Espace Autres.French Journal Architecture .1984
vi
Sobur, Alex (2006). Semiotika Komunikasi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya hal. 126
vii
Robert V. Bellamy Jr. Film Industri. Encylopedia Of Communication.2002. hal.321
viii
Ibid hal. 127
ix
www.wikipedia.org , 14 Januari 2011
x
Paul Grosswiler.Cultural Studies. Encylopedia Of Communication 2002. hal. 203
xi
Ibid. hal. 204
xii
Masak, Pong Tanete. Semiotika dalam sinematografi : Teori Film Cristian Metz. Dalam.
Semiotik,kumpulan makalah Seminar. 2002. Depok : PPKBLP UI hal. 284
xiii
ibid
xiv
Sobur, Alex (2006). Semiotika Komunikasi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya hal. 128
xv
Widati, Sri. Membongkar Identitas Jender Dalam Karya Sastra Bernama Samaran Wanita. Dalam
Semiotik,kumpulan makalah Seminar. 2002. Depok : PPKBLP UI hal.175
xvi
www.imdb.com

Anda mungkin juga menyukai