Anda di halaman 1dari 14

BAB II

PEMBAHASAN

MEANING OF LIFE

Martin Seligmen membahas persoalan makna hidup dalam bab ini dikemukakan
sekelumit tentang persoalan besar yang menyelimuti masalah makna hidup; yang terkait
dengan bagaimana cara manusia modern memahami dunia yang sangat diwarnai oleh
berbagai kemajuan mutakhir dalam sains, baik itu temuan-temuan astrofisika tentang
kosmologi ataupun pandangan teori evolusi yang mendominasi bagaimana manusia
memahami dirinya sendiri. Dalam oandangan hidup yang modern, rasional, dan sangat
mengandalkan sains, ternyata sangatlah sulit untuk menemukan makna (meaning) dan
tujuan (purpose) dari semua proses perkembangan alam semesta dan evolusi makhluk
hidup.

Berikut ini akan dipaparkan dengan singkat tentang berbagai gejala problematik di
dunia modern yang memiliki kesalingterkaitan kuat dengan meaninglessness atau
ketakbermaknaan yang menyelimuti dunia modern.

ENLIGHTENMENT

Dalam dunia modern, salah satu kebanggan terbesar menusia terletak pada
adanya persepsi tentang kemajuan (progress) yang berkelanjutan, yang merupakan
hasil kerja keras manusia itu sendiri. Ada sebuah keyakinan diri bahwa manusia
mampu mengarahkan dan mentransformasi hidupnya sediri dengan kemampuannya
sendiri. Progress yang berkelanjutan ini diyakini akan membuat hidup manusia
makin baik di berbagai bidang kehidupan, dan ada janji akan hari esok yang bahkan
semakin baik, bilamana progress ini dapat terus dilanjutkan. Pandangan bahwa
manusia harus mengandalkan dirinya sendiri dan mendayagunakan akal budinya
secara maksimal dalam menghadapi segala persoalan dunia dan mentransformasi diri
adalah pandangan manusia modern yang bermula pada masa Enlightenment
(pencerahan). Pencerahan diartikulasikan oleh seorang filsuf terkemuka di abad ke-
18, yaitu Immanuel Kant (Kant, I., 1992). Ia memiliki visi yang mewakili semangat
zamannya, semangat yang akan terus bergaung hingga masa kini.

Kant mengatakan bahwa sudah waktunya manusia berani menggunakan akal


budinya dan bersandar pada kemampuannya sendiri, serta tidak lagi
menggantungkan hidupnya pada otoritas lain selain dirinya sendiri. Semangat
pencerahan ini mengubah total pandangan manusia tentang dunia, tentang alam
semesta, dan bahkan tentang dirinya sendiri, entah baik atau buruk. Melalui gerakan
yang terinspirasi ole ide tentang pencerahan, manusia membebaskan dirinya,
sekaligus meletakkan seluruh tanggung jawab tentang hidupnya dan dunianya pada
dirinya sendiri.

DUALISM DAN SELF-SUFFICIENCY

Semangat enlightenment ini menegaskan kembali dan memperkuat pandangan


self-sufficiency (kemandirian) yang sudah mulai mengemuka sejak masa pendahulu
Kant, yaitu Rene Descartes (Descartes, R., 1960). Self-sufficiency adalah pandangan
yang mengatakan bahwa kita dapat mengamati, mempelajari, dan memahami setiap
objek yang dapat kita pikirkan sebagai objek yang berdiri pada dirinya sendiri, tidak
terkait dengan objek lain. Menurut Descartes menjadi mungkin untuk bersikap dan
berpikir dengan sepenuhnya objektif, karena setiap objek memiliki posisinya dan
propertinya sendiri yang mandiri, tidak berkaitan ataupun bergantung pada objek
lain, bahkan dapat di pisahkan dari subjek yang memikirkannya.

Dalam self-sufficiency paradigm terkandung dualism, yaitu pemisahan subjek


yang berpikir dan objek yang dipikirkan. Descartes sampai pada kesimpulan ini
karena ia meletakkan cagito (berpikir) sebagai fondasi dan titik mula kemungkinan
kita untuk memahami segala sesuatu, sebagaimana terungkap dalam semboyannya
yang terkenal, “cagito ergo sum” (saya berpikir maka saya ada).

LEVELLING DOWN ATAU BANALIZATION

Penekanan pada cagito yaitu penghargaan yang tinggi pada kemampuan berpikir
serta memandang bahwa ide, konsep, atau teori lebih bernilai dan lebih penting
daripada realitas yang konkret membawa dampak lain, yaitu gejala yang disebut
Kierkegaard (Kierkegaard, S., 1962) sebagai leveling down atau banalization.
Leveling down bermula dari kenyataan bahwa di alam wacana, di alam konseptual,
segala sesuatu kehilangan makna dan kualitas signifikannya yang konkret. Ada
jurang yang memisahkan kualitas signifikansi sesuatu yang konkret dialami, dengan
konsep/wacana yang kita bentuk tentang hal itu.

Pada masa modern yang mementingkan akumulasi pengetahuan dan pengayaan


wacana, seorang pribadi kadang lupa atau bahkan tak sadar akan adanya jurang
perbedaan itu, dan berpuas diri ketika merasa dirinya memiliki pengetahuan yang
canggih tentang sesuatu tanpa pernah punya pengalaman konkret akan sesuatu itu.
Kondisi inilah yang mengarahan pada leveling down, yaitu ketika seseorang tidak
lagi menunjukkan kualitas signifikan yang sesungguhnya dan berpuas diri dengan
hanya memahaminya di level wacana. Dalam kondisi leveling down kualitas
signifikan dan makan sejati menjadi pudar, dangkal, dan digantikan dengan lapisan-
lapisan wacana yang menutupi dan menguburnya dari permukaan. Saat banyak sekali
area di kehidupan modern yang terjangkit gejala leveling down ini, maka hidup jadi
kehilangan banyak sekali kualitas signifikannya, banyak sekali kehilangan
maknanya.

ANTHROPOCENTRICISM

Pada saat yang sama, dengan penekanan yang kuat pada self-sufficiency (dualism),
wacana serta semangat enlightenment untuk menjadi otoritas bagi diri sendiri,
manusia yang sekarang dapat dipikirkan terpisah dari objek-objek lain dalam realitas
mendapat posisi yang paling sentral, menjadi objek pemikiran yang paling hangat
untuk diwacanakan, dan memperoleh kebebasan yang besar untuk selalu ditafsirkan
kembali oleh pemikiran manusia.

Kebebasan itu memberikan pilihan yang hampir tiada batasnya bagi manusia
untuk menafsirkan dan mendefinisikan siapa dirinya, sesuai pemikirannya.
Seseorang tidak lagi harus menerima saja pada kondisi-kondisi yang terberi,
misalnya asal-usulnya, silsilah orangtuanya, kondisi lingkungannya, dst; melainkan
dapat menentukan bagi dirinya sendiri tentang siapa dirinya. Ada suatu permenungan
intelektual tentang self, diri, aku; suatu perenungan yang di masa sebelumnya tidak
pernah terjadi secara massive seperti di masa modern (Taylor, C., 1989).

Diri (self) menjadi objek pemikiran yang sangat penting, dan ada semacam
preokupasi dan kegelisahan pada manusia modern untuk senantiasa berpikir tentang
dirinya, senantiasa berupaya merombak dan mengubah dirinya untuk menjadi pribadi
yang makin baik, dan memandang sangat tinggi kebebasan diri dan kebebasan dalam
menentukan sikap akan segala sesuatu dengan menjadikan diri sebagai acuan utama.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia, manusia menjadikan dirinya
sendiri sebagai sasaran utama, manusia ingin senantiasa “menciptakan” kembali
dirinya sendiri dengan kebebasannya (self-made-man). Gejala self-focused orang
modern dalam memandang dirinya sendiri sebagai objek terpenting dan titik acuan
utama dalam menyikapi sesuatu dan mengambil keputusan di sebut
anthropocentricism (antroposentrisme) sebuah gejala lain dari modernitas.

GROUNDLESSNESS

Dampak lain dari kebebasan bagi tiap-tiap pribadi untuk menentukan sikap dan
berpikir bagi dirinya sendiri tentang segala sesuatu adalah munculnya relativitas
kebenaran. Tidak ada kebenaran yang dihasilkan pemikiran manusia, yang dapar
mengklaim dirinya sendiri sebagai kebenaran yang sejati, karena orang lain tentu saja
berhak memiliki versi kebenaran yang berbeda. Tidak ada lagi kebenaran yang
mutlak yang dapat dijadikan dasar dalam menentukan pilihan-pilihan, khususnya
pilihan-pilihan eksistensial dalam hidup. Setiap pilihan adalah relative dan dapat
dikatakan sama baiknya dengan pilihan lainnya. Kebenaran versi saya tidaklah
mutlak, sebagaimana kebenarannya (orang lain) juga tidak mutlak. Tidak ada lagi
yang mutlak. Tidak ada lagi sumber kebenaran dan kepastian; yang ada hanyalah
interpretasi-interpretasi yang beraneka ragam tentang kebenaran. Dengan demikian,
nyatalah bahwa kebebasan ternyata membawa manusia pada kondisi groundlessness
(ketiadaan dasar yang mutlak) bagi manusia dalam mengambil pilihan bagi
kehidupannya terutama saat seseorang berhadapan dengan pilihan-pilihan yang
paling mendasar dalam hidup, yaitu pilihan-pilihan eksistensial.

FLEEING TO THE ONE

Ketiadaan kebenaran yang dapat dipegang, yang dapat dijadikan pijakan yang pasti,
membawa konsekuensi yang besar: kondisi itu menempatkan manusia modern pada
kondisi yang gamang dan menakutkan. Bila tidak ada yang sungguh-sungguh benar,
bila satu pilihan sama nilainnya dengan pilihan yang lain, pa maknanya pilihan yang
harus saya lakukan? Barangkali memilih secara acak, sembarangan, tidak lebih buruk
daripada memilih dengan sungguh-sungguh, karena semua sama saja. Menjalani
hidup secara acak, tanpa dipikirkan, barangkali tidak lebih buruk daripada menjalani
hidup dengan sebaik mungkin.

Pada saat gamang itu, manusia modern menjadi rentan untuk bersembunyi.
Bersembunyi dari kewajiban untuk menjalani hidup yang autentik, ketika
kemungkinan itu kelihatannya begitu memudar. Dan tempat bersembunyi yang
paling nyaman adalah dengan bersembunyi pada suara orang banyak dan
mengabaikan pertanyaan suara hari yang senantiasa mengganggu. Heidegger
mengacu pada Kierkegaard menyebut suara orang banyak itu the one (Kierkegaard’s
das man) (Dreyfus, H.L., 1991). Suara orang banyak member makna dan arah yang
semu pada hidup kita. Kita tidak usah repot berpikir tentang apa makna hidup ini dan
apa tujuan hidup saya, melainkan cukup mengikuti apa yang dipandang baik oleh the
one (orang banyak). Misalnya: suara orang banyak mengatakan bahwa manusia itu
hendaknya hidup dengan sedemikian rupa untuk memperoleh kesuksesan.
Kesuksesan adalah tujuan hidup yang hendaknya menjadi tujuan hidup semua orang.

Pribadi yang tunduk pada suara orang banyak ini akan menganggap bahwa tujuan
hidup nya adalah untuk menjadi sukses, dan ia akan menilai apakah hidupnya
bermakna atau tidak dari sejauh mana ia memperoleh kesuksesan. Contoh lain: suara
the one pada masa modern ini mengatakan bahwa esensi dari manusia adalah sumber
daya (resources) (Heidegger, M., 1954), dan kebanyakan orang akan setuju begitu
saja pada suara orang banyak ini, bahwa manusia adalah sumber daya dan bahkan
dengan senang hati ia memandang dirinya sendiri sebagai sumber daya. Apa
konsekuensinya ketika manusia dipandang sebagai sumber daya? Setiap sumber daya
dituntut untuk menjadi efesien, produktif, menghasilkan manfaat sebesar mungkin
dengan cost atau biaya atau pengorbanan sekecil mungkin; semisal sumber daya
listrik yang baik adalah dapat memberikan manfaat yang besar dengan cost sekecil
mungkin; dan akan selalu diupayakan teknologi baru untuk meningkatkan efisiensi,
untuk meningkatkan kemanfaatan sumber daya llistrik itu sebaik mungkin. Ketika
manusia dipandang atau memandang dirinya sendiri sebagai sumber daya, maka
nilainya sebagai manusia akan dilihat dari apakah ia bermanfaat atau tidak, apakah ia
produktif atau tidak, apakah ia telah menggunakan potensi dirinya sebaik mungkin?
Bilamana seseorang dianggap sebagai sumber daya yang unggul, yang produktif dan
memberikan manfaat yang besar, yang telat menggunakan seluruh potensi dirinya,
manusia itu bernilai; bila tidak, ia akan dianggap sebagai beban dan tak bernilai.
Mungkin begitu saja suara the one berarti menjalani keberadaan yang tidak autentik.
Dan keberadaan yang tidak autentik adalah jauh dari hidup yang bermakna.

DESACRALISATION

Berbagai gejala problematik dunia modern itu telah membuat hidup yang bermakna
menjadi makin sulit untuk diraih; bahkan lebih jauh lagi, mengarah pada
desacralisation (Lacocque, P.E., 1982), yaitu pemudaran dan pendangkalan makna
yang sakral menjadi maka yang taraf nya manusiawi. Manusia modern, yang
memandang dirinya sendiri sebagai pemegang otoritas bagi hidupnya sendiri, sulit
untuk menserap adanya kekuatan lain yang upaya pengaruh besar terhadap
keberadaannya. Bilamana ia bersedia mengakui ada kekuatan lain yang bisa jadi
lebih besar daripada dirinya sendiri, yang ada di luar kemampuan akan budinya
untuk dipahami, hal itu akan bertentangan dengan project enlightenment yang
didambakannya. Oleh karena itu, ada ketegantungan pada manusia modern untuk
mencurigai segala sesuatu yang dianggap sakral yaitu yang dianggap melampaui atau
diatas taraf manusiawi dan mendjadi pusat/penentu utama melebihi si manusia itu
sendiri dan ia akan berusaha merasionalisasi (downgrading) kesakralan itu supaya
sesuai dengan batas kemampuan berpikirnya, serta meletakkan dasar pemikiran logis
yang baru untuk menggantikan dasar mula yang berada di luar pemahamannya,
supaya tetap dirinya sendiri yang menjadi pusat.

MENEMUKAN KEMBALI MAKNA HIDUP

Setelah memahami sekelumit dari kompleksitas persoalan yang menyelimuti


permasalahan makna hidup, di bagian ini kita akan mencoba menyingkapkan
secercah cahaya yang diharapkan dapat membuka jalan menuju penemuan kembali
makna hidup di dunia modern. Makna hidup, bagi sebagian orang, ditafsirkan
sebagai suatu kesimpulan akhir dari suatu cerita kehidupan yang panjang dan
berliku-liku. Setelah buku kehidupan kita disingkapkan lembar demi lembar, makna
hidup baru muncul setelah lembaran terakhir dibuka dan dibaca. Makna itu
seharusnya jadi jawaban dari pertanyaan - pertanyaan yang menggunung saat kita
menempuh kehidupan, khususnya pertanyaan tentang mengapa hidup kita berjalan
sebagaimana ia berjalan apa makna dari ini semua, dan siapakah sesungguhnya saya
ini? Makna hidup seharusnya jadi kepingan terakhir dari suatu puzzle rumit, yang
dalam tiap detik kehidupan kita, kita susun dengan jerih payah. Makna hidup
bagaikan setitik cahaya yang menjadi arah tujuan saat kita tersaruk-saruk berjalan
keluar dari suatu labirin panjang dan gelap.

Oleh karena itu, makna hidup diidealisasi, sebagai "jawaban akhir" yang akan
menjelaskan ribuan tanya, yang akan menyelesaikan semua persoalan, dan membuat
segalanya menjadi baik pada akhirnya. Di saat yang sama makna hidup jadi terasa
begitu jauh, begitu abstrak dan begitu "out of this world" sehingga barangkali tak
akan pernah terjangkau oleh rengkuhan asa kita, saat hayat masih di kandung badan.
Barangkali, makna hidup hanya akan muncul suatu hari kelak, saat kita tak lagi
melangkah di dunia ini, saat seluruh buku kehidupan selesai dibacakan.

Tampaknya Martin Seligman memegang keyakiran semacam ini, ketika di bab


terakhir buku Authentic Happiness (Sellgmen, 2002), ia menaruh harapan pada
proses non-zero yang berkelanjutan, yang akhirnya akan menyingkapkan jawahan
dari seluruh proses panjang evolusi alam semesta. Di bagian akhir tulisannya,
Seligman melukiskan pergumulannya dalam keraguan dan harapan akan makna
transendental, yang akan tiba suatu hari nanti,

"So there was no such God and there is no such God now: But again, in the very
longest run, where is the principle of win-win headed? Toward a God who is not
supernatural, a God who ultimately acquires omnipotence, omniscience, and
goodness through the natural progress of win-win. Perhaps, just perhaps, God
comes ot the end."

Pandangan romantik tentang makna hidup itu mengidealisasi makna hidup, sekaligus
menjauhkannya dari hidup kita sat ini. Seligman mengatakan, "This is not of course,
a fulfillment that will be achieved in our lifetimes, or even in the lifetime of our
species The best we can do as individuals is to choose to be a small part of
furthering this progress". Sebuah makna hidup yang (mungkin) suatu hari akan
menjadi jelas, dan yang pastinya tidak akan pernah kira raih dalam hidup ini.

Pergumulan manusia modern untuk menemukan makna hidup bisa jadi terganjal oleh
kekeruhan pandangannya. Langkah pertama untuk memahami makna hidup adalah
dengan stepping back dan menjernihkan pandangan kita. Teka-teki Zen berikut ini
barangkali dapat membantu: Apakah yang tak dapat dilihat oleh seekor ikan?

Pertanyaan Zen semacam ini sebenarnya tidak untuk dijawab, melainkan untuk
dibiarkan bergaung di batin kita sampai ia membangkitkan pemahaman yang
melebihi yang dapat diungkapkan oleh kata-kata, membuka batin, dan membiarkan
terang pencerahan bersinar di dalamnya. Namun, untuk keperluan diskusi kita,
terpaksa saya akan mencoba menyajikan jawaban yang dapat memberikan ilustrasi
tentang diskusi kita tentang makna hidup.

Apa yang tak dapat dilihat oleh seekor ikan? Seekor ikan dapat melihat berbagai hal.
Barangkali satu-satunya yang tak terlihat olehnya adalah air yang melingkupinya. la
hidup dalam air, dan air dalam dirinya; tetapi barangkali justru airlah yang tak pernah
dilihatnya, sekalipun air adalah sesuatu yang memungkinkannya hidup, yang
memungkinkannya melihat segala sesuatu lainnya. Air yang memungkinkan ikan
hidup dan melihat, berfungsi paling baik saat ia sendiri tak kelihatan, tak disadari.

Pertanyaan yang sama bisa kita tarik lebih jauh lagi: Apa yang tak dapat dilihat ole
manusia (dan makhluk lainnya)? Jawaban yang sesual dengan keperluan diskusi Kita
adalah: cahaya. Kita dapat melihat segala sesuatu yang mungkin dilibat olen mata
kita, karena ada cahaya yang menyinarinya, Cahaya itu sendiri tidak kita lihat, dan
cahaya menjalankan fungsinya dengan paling baik saat ia sendiri tak kelihatan. Kalau
cahava itu menjadi kelihatan dan menonjol, barangkali malah akan mengganggu kita
dalam melihat dan mengamati yang lainnya.

Ilustrasi tentang air dan cahaya itu mungkin dapat merjadi pembuka jalan yang baik
untuk diskusi kita tentang makna hidup. Makna hidup sangat sulit diungkapkan
dengan kata-kata, tetapi bukan berarti ia jauh dari kita. Barangkali justru karena ia
sangat dekat dan senantiasa hadir sebagai latar belakang dari apa pun yang kita
lakukan, dan menjadi prasyarat mutlak yang tanpanya kita tak dapat mengada (exist)
dan melakukan apa pun juga. Seperti air bagi ikan, barangkali makna hidup juga
berfungsi paling baik justru saat ia tidak kelihatan, yaitu saat makna hidup sangat
jelas sehingga transparan dan memungkinkan kita me mandang segala sesuatu yang
lain melalui dirinya. Dan sebaliknya justru saat makna hidup itu keruh, barulah ia
"kelihatan" dan menghalangi kita memandang yang lain. Makna hidup adalah cahaya
yang memungkinkan kita melihat dan memikirkan segala persoalan lain di hidup
kita. Makna hidup bukanlah hasil pemikiran kita sebaliknya pemikiran itu hanya
mungkin ada, saat makna hidup ada. Sebelum nantinya menjadi akhir (omega), yang
menjadi purpose hidup kita, makna hidup pertama-tama adalah awal (alfa) yang
membuat segala sesuatu yang lain dapat mengada dalam jalinan makna yang
melingkupinya.

Ada suatu area kehidupan yang jarang kita perhatikan, dan saat area itu berfungsi
dengan baik, area itu sepenuhnya transparan dan berada di luar penglihatan kita,
sekalipun segala sesuatu yang lain kita pandang melalui dirinya. Area itu adalah area
background, yang berada di luar kemampuan kita untuk memikirkan dan
mengungkapkannya dengan kata-kata, karena pemikiran dan kata-kata hanya dapat
ada karena adanya background tersebut, dan area background itu sendiri ada sebelum
pemikiran dan kata-kata ada (pre-reflective, pre-thinking). Yang bisa kita lakukan
tentang area background ini adalah berusaha menangkap gejala-gejalanya, dan
menggambarkannya setransparan mungkin, sehingga pada akhirnya dirinya
sendirilah yang akan mengungkapkan maknanya pada kita, Saat kita menangkap
penyingkapan makna itu, kita akan melihatnya sekalipun sangat mungkin tak dapat
mengungkapkannya dengan kata-kata. Maka di sini saya mengajak Anda untuk
beralih dari metode pemikiran analitik yang sangat mengandalkan kemampuan kita
berpikir, ke metode lain yang tidak berupaya memaksakan diri untuk memikirkan
hal-hal yang berada sebelum pemikiran itu sendiri ada. Metode yang dimaksud
adalah metode phenomenology atau lebih spesifik lagi: Heideggerian
Phenomenology. Melalui metode ini, semoga kita bisa menghilangkan berbagai
distorsi yang menghalangi pandangan kita, sehingga cahaya itu (makna hidup) yang
sejak semula bersama kita yang menjadi sumber keberadaan kita menampakkan
dirinya pada kita.

LET THERE BE LIGHT

Ada seorang laki-laki di tanah Us bernama Ayub; orang itu saleh dan jujur; ia takut
akan Allah dan menjauhi kejahatan. la mendapat tujuh anak laki-laki dan tiga anak
perempuan. la memiliki tujuh ribu ekor kambing domba, tiga ribu ekor unta, lima
ratus pasang lembu, lima ratus keledai betina dan budak-budak dalam jumlah yang
sangat besar, sehingga orang itu adalah yang terkaya dari semua orang di sebelah
timur.. (Ayub 1: 1-3)

Izinkan saya menggunakan cerita Ayub untuk melanjutkan diskusi kita tentang
makna hidup. Cerita Ayub ini sekiranya dapat menjadi sarana yang sangat baik untuk
menjelaskan dengan sederhana, konsep-konsep filosofis yang sulit kalau diterangkan
dengan cara biasa. Kajian yang diterapkan di sini adalah kajjan fenomenologis, dan
bukan terutama kajian teologis apalagi dog-lmatik. Cerita Ayub sangat sarat makna
tetapi untuk keperluan kita, kita hanya akan terutama menyoroti sekelumit dari
bagian klimaks cerita itu, ketika Ayub mendengar jawaban Allah akan keluh
kesahnya.

Sebagaimana kita ketahui, diceritakan bahwa Ayub adalah seirang yang saleh dan
taat pada Allah. la diberkati dengan berkat melimpah, antara lain berupa kekayaan
yang besar, dan anak- anak laki-laki dan perempuan yang menjad sumber
sukacitanya. Suatu ketika, Iblis-dengan seizin Allah merenggut semua kekayaan
Ayub, semuanya musnah dalam waktu yang sangat singkat. Anak-anak Ayub pun
punah semuanya dalam suatu musibah yang tragis. Bahkan Ayub pun masih dilanda
sakit bisul-bisul sekujur tubuhnya. Istrinya meninggalkannya dan mendorong Ayub
untuk mengutuk Allah yang telah menimpakan bencana sedemikian besar pada
keluarga mereka. Dalam deraan penderitaan seberat itu, Ayub tidak berdosa dan
tidak pernah mengutuk Allah sebagaimana disarankan istrinya.

Penderitaan yang dialami Ayub mencengangkan kita. Namun bila kita menyimak
keluh kesah Ayub di bab-bab berikutnya, kita tidak akan mendengar satu kalimat pun
yang menyatakan Ayub sedih akan hartanya yang hilang: bahkan tak ada suara aral
dari Ayub tentang anak-anaknya yang punah, atau tentang sakit badan yang
senantiasa menyiksanya setiap saat. Barangkali ada penderitaan lain yang sepintas
tak kasatmata bagi kita, salah satunya adalah hilangnya makna hidup.

Di saat ia jaya, hidup Ayub bagaikan suatu bukti yang sempurna dari "kebenaran"
yang dipegang kebanyakan orang tentang kebaikan dan keadilan Allah, yaitu bahwa
orang yang saleh akan dilimpahi segala nikmat dan kemurahan, sementara orang
fasik akan menerima laknat dan azab yang pedih. Saat tragedi menimpa Ayub,
"kebenaran" itu menjadi porak poranda. Mengapa kutuk menimpa orang benar?
Mengapa azab menyambar orang saleh? Apa maknanya ini? Kalau Allah memang
baik, mengapa la melakukan ini semua? Mengapa la tidak adil? Dunia Ayub yang
berdiri di atas fondasi "kebenaran" itu menjadi runtuh, Dirinya (his Self) yang lama
juga runtuh. la tidak bisa mengada seperti dulu lagi saat dunia itu berlalu. Dirinya
yang lama sudah turut mati bersama anak-anaknya. la tak dapat lagi mengenal pria
yang dilihatnya di cermin, sesosok wajah asing dengan karut-marut derita dan
keputusasaan yang membekas di wajah tua itu. la tak dapat lagi mengenal Allah yang
memberi dia cobaan, Allah yang asing tidak seperti yang dulu dikenalnya. Allah adil
yang dikenalnya dulu telah pergi dari bersama runtuhnya dunianya.

Namun dalam jurang kematian eksistensial itu, Ayub terus bergumul dalam imannya,
la tersengal-sengal menggapai asa dan makna. la berseru pada Allah, bukan supaya
kekayaannya dikembalikan, bukan supaya anak-anaknya dihidupkan lagi, ataupun
kesehatannya dipulihkan lagi, melainkan supaya Allah menampakkan diri padanya,
supaya dirinya dapat mengenal dia kembali, supaya ia menemukan makna kembali
yang telah terkubur reruntuhan dunianya dan dirinya.

Dan Allah menjawab Ayub. Jawaban Allah inilah yang dapat menjadi petunjuk
tentang makna yang dicari Ayub dalam kesesakannya. Namun, jawaban Allah
bukanlah jawaban yang mudah dicerna. la bicara tentang berbagai hal yang sepintas
lalu tidak ada kaitannya dengan pertanyaan-pertanyaan Ayub.

Dalam jawaban-Nya, Allah tidak langsung menerangkan makna dan jawaban yang
dicari Ayub. Jawaban Allah (tentu saja) sangat dalam maknanya dan kompleks.
Salah satu hal yang sering dikemukakan adalah tentang penciptaan dunia.

38:1 Maka dari dalam badai TUHAN menjawab Ayub: 38:2 "Siapakah dia yang
menggelapkan keputusan dengan perkataan-perkataan yang tidak berpengetahuan?
38:3 Bersiaplah engkau sebagai laki-laki! Aku akan menanyai engkau, supaya
engkau memberitahu Aku. 38:4 Di manakah engkau, ketika Aku meletakkan dasar
bumi? Ceritakanlah, kalau engkau mempunyai pengertian! 38:5 Siapakah yang telah
menetapkan ukurannya? Bukankah engkau mengetahuinya? Atau siapakah yang
telah merentangkan tali pengukur padanya? 38:6 Atas apakah sendi-sendinya
dilantak, dan siapakah yang memasang batu penjurunya 38:7 pada waktu bintang-
bintang fajar bersorak-sorak bersama-sama, dan semua anak Allah bersorak-sorai?
38:8 Siapa telah membendung laut dengan pintu, ketika membual ke luar dari dalam
rahim? 38:9 ketika Aku membuat awan menjadi pakaiannya dan kekelaman menjadi
kain bedungnya; 38:10 ketika Aku menetapkan batasnyo, dan memasang palang dan
pintu; 38:11 ketika Aku berfirman: Sampai di sini boleh engkau datang, jangan
lewat, di sinilan gelombang-gelombangmu yang congkak akan dihentikan!

Jawaban Allah sepintas tidak "nyambung" dengan perta- hyean Ayub tentang makna
hidupnya. Namun bukan kebetul- an Allah banyak bercerita tentang penciptaan
dunia. Dalam certa tentang penciptaan dunia, ada imaji-imaji yang sangat kaya dan
makna yang sangat dalam, dan barangkali dapat membantu kita menyelami sedikit
tentang makna hidup. Apa yang terjadi pada penciptaan dunia?

1:1 Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. 1:2 Bumi belum berbentuk
dan kosong; gelap gulita menutupi samudera raya, aan Roh Allah melayang-layang
di atas permukaan air. 1:3 Berfirmanlah Allah: "Jadilah terang". Lalu terang itu
jadi.

Saat dunia belum terbentuk, yang ada adalah chaos (kekacauan). Lalu Allah
menciptakan dari chaos itu, cosmos (keteraturan). Cerita penciptaan adalah cerita
tentang terciptanya keteraturan dari kekacauan, berdirinya keberadaan dari ketiadaan,
dan tersingkapnya makna dari ketakbermaknaan. Imaji yang tersaji dalam cerita
penciptaan ini sangatlah kuat. Seperti saat sebelum ada penciptaan, dunia Ayub yang
terkoyak, juga tidak berbentuk, kosong, gelap gulita. Dan Allah menciptakan yang
ada dari yang tiada, yang teratur dari yang kacau, yang bermakna dari yang tak
bermakna. Dan apakah yang digunakan Allah untuk menciptakan dunia? Tidak lain
ialah firman-Nya (logos).

Logos-lah yang mengubah chaos menjadi cosmos; yang mengubah tiada menjadi
ada, kacau jadi teratur, tak ber- makna jadi bermakna. Logos adalah sebuah konsep
dari filsafat Yunani yang sangat penting sejak zaman Presocratic. Arti logos se cara
singkat ialah: ... the source (the ground, the basis, the womb) of intelligibility. Logos
adalah sumber dan dasar dari semua makna, Hanya karena ada logos maka
intelligibility itu sendiri menjadi mungkin, makna menjadi ada. Tanpanya tak ada
makna, dan tanpa pemeliharaan dari logos maka semuanya akan runtuh kembali pada
chaos dan ketakbermaknaan, Logos is the (hidden) mother of consciousness,
awareness, intelligibility, meaning. Maka dalam tradisi filsafat Yunani, logos adalah
konsep yang sangat dimuliakan sekaligus misterius. Tak ada filsuf Yunani yang
meninggalkan falsafah yang lengkap atau sistematis tentang logos. Barangkali, di
hadapan sang sumber dari inteligibility itu sendiri, sang intelek menjadi kelu dan
kehilangan kata.

Dan bila di tradisi filsafat Yunani logos begitu dimuliakan; terlebih lagi di tradisi
besar lainnya, yaitu tradis Judeo-Christian. Philo of Alexandria, salah seorang bapa
tradisi Yahudi yang fasih dengan filsafat Yunani mengenali persamaan antara konsep
Yunani tentang logos dengan pengertian archaic Yahudi tentang wisdom
(hikmat/kebijaksanaan). Bagi Philo "Logos is the visdom it self." (Wright, R., 2001,
2010). Dalam kutipan berikut, dinyatakan dengan jelas bahwa Tuhan menciptakan
dunia dengan hikmat (logos) Nya:

3:19 Dengan hikmat TUHAN telah meletakkan dasar bumi, dengan pengertian
ditetapkan-Nya langit (Amsal 3:19)

Dan lagi,

8:12 Aku, hikmat, tinggal bersama-sama dengan kecerdasan, dan aku mendapat
pengetahuan dan kebijaksanaan. 8:14 Padaku ada nasihat dan pertimbangan,
akulah pengertian, padakulah kekuatan. 8:18 Kekayaan dan kehormatan ada
padaku, juga harta yang tetap dan keadilan. 8:19 Buahku lebih berhargo daripada
emas, bahkan daripada emas tua, hasilku lebih dari pada perak pilihan. 8:20 Aku
berjalan pada jalan kebenaran, di tengah-tengah jalan keadilan 8:21 supaya
kuwariskan harta kepada yang mengasihi aku, dan kuisi penuh perbendaharaan
mereka. 8:22 TUHAN telah menciptakan aku sebagai permulaan pekerjaan-Nya,
sebagai perbuatan-Nya yang pertama-tama dulu kala. 8:23 Sudah pada zaman
purbakala aku dibentuk, pada mula pertama, sebelum bumi ada. 8:24 Sebelum air
samudera raya ada, aku telah lahir, sebelum ada sumber-sumber yang sarat dengan
air. 8:25 Sebelum gunung-gunung tertanam dan lebih dulu dari pada bukit-bukit aku
telah lahir; 8:26 sebelum la membuat bumi dengan padang-padangnya atau debu
dataran yang pertama. 8:27 Ketika la mempersiapkan langit, aku di sana, ketika la
menggaris kaki langit pada permukaan air samudera raya, 8:28 ketika la
menetapkan awan-awan di atas, dan mata air samudra raya meluap dengun deras,
8:29 ketika la menentukan batas ke- pada laut, supaya air jangan melanggar titah-
Nya, dan ketika la menetapkan dasar-dasar bumi, 8:30 aku ada serta-Nya sebagai
anak kesayangan, setiap hari aku menjadi kesenangan-Nya, dan senantiasa
bermain-main di hadapanNya; 8:31 aku bermain- main di atas muka bumi-Nya dan
anak-anak manusia menjadi kesenanganku. (Amsal 8)
Bagi Philo, yang mengubah chơos menjadi cosmos, mengubah tiada menjadi ada,
mengubah ketakbermaknaan menjadi makna adalah kebijaksanaan (hikmat).

Sementara dalam tradisi Kristen, Firman atau Logos atau sang Hikmat itu dinyatakan
secara demikian:

1:1 Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan
Firman itu adalah Allah. 1:2 la pada mulanya bersama-sama dengan Allah. 1:3
Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatupun yang telah jadi
dari segala yang telah dijadikan. 1:4 Dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah
terang manusia. 1:5 Terang itu bercahaya dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak
menguasainya.

Tradisi Kristen menyatakan hal yang senada dengan yang dikemukakan Philo, yaitu
bahwa segala sesuatu menjadi ada, menjadi teratur, menjadi bermakna karena sang
Hikmat (sang Firman).

Jadi dunia yang kita bahas secara fenomenologis di sini, bukanlah dunia dalam arti
the universe, yang menjadi pokok kajian para ilmuwan, yang tercipta melalui The
Big Bang dan evolusi miljaran tahun. Dunia yang kita bahas di sini adalah suatu
intel- ligibility (kebermaknaan), suatu matriks makna, di mana segala sesuatu
memperoleh maknanya dalam kesalingterkaitan dengan yang lain; dunia ini adalah
the background di mana manusia bisa mengada (exist-being in the world); dunia
yang ada dan keberlangsungan adanya bergantung pada Logos. Dunia ini tidak akan
pernah dapat dipahami melalui cogito (berpikir kognitif), melalui analisis ilmiah,
karena dunia itu adalah background yang justru menjadi dasar atau prasyarat dari
berpikir itu sendiri; ia sudah ada mendahului cogito, dan cogito itu sendiri hanya
dapat ada di dalamnya/bertumpu kepadanya. Martin Heidegger (Dreyfus, H., &
Kelly, S. D., 2011) menambahkan bahwa dunia itu secara fenomenologis
tersingkap/tercipta oleh Tuhan, Hanya dalam dunia semacam itu, makna ada, dan the
sacred (Yang llahi, Yang Kudus) menyingkapkan diri.

Makna bukanlah ciptaan manusia. Manusia bukan berpikir dan mengerahkan


kekuatan cogitonya untuk mengonstruksi makna. Untuk perkara lain, seperti
problem-solving, rational thinking, scientific reasoning, memang manusia yang
melakukan konstruksi dengan cogito-nya, tetapi untuk perkara makna yang ada di
background dari semua pemikiran hal itu tidak berlaku.

Makna itu menyingkapkan (mewahyukan-reveal) diri pada manusia. Tugas manusia


bukanlah menciptakan makna, melainkan membuka diri untuk menerimanya. Makna
menjadikan eksistensi manusia itu sendiri menjadi mungkin; dan dari situlah manusia
memperoleh identitasnya. Meneguhkan eksistensi, menjaga identitas dan hidup yang
bermakna diperoleh melalui kesetiaan kepada sumber makna itu.
THE COVENANT

Di akhir diskusinya yang panjang tentang absurditas eksistensi manusia dan


pergumulan melawan levelling down, melawan ketakbermaknaan, Soren
Kierkegaard akhirnya menyimpulkan bahwa absurditas dan ketakbermaknaan hidup
hanya dapat dikalahkan bila manusia mengikatkan diri pada sesuatu di luar dirinya
(Dreyfus, H. L., & Rubin, J., 1987). la menyebut komitmen semacam itu sebagai
defining commitment; yaitu komitmen yang mendefinisikan diri dan mendefinisikan
dunia. Absurditas keberadaan manusia, dan berbagai unsur yang saling bertentangan
dalam dirinya sendiri, yang selalu mencegahnya untuk meraih makna penuh, hanya
akan jadi seimbang bila manusia menemukan sesuatu di luar dirinya yang kepadanya
ia bisa menyerahkan diri dan mengikatkan diri. Dalam komitmen semacam itu,
kegelisahan yang selalu mengganggu akhirnya akan beroleh ketenangan, dan
kehampaan/ketakbermaknaan akhirnya sirna.

Pandangan Kierkegaard ini adalah pandangan yang orisinal, tetapi memiliki akar
sejarah yang panjang. Perumusannya adalah gaung dari sebuah tradisi yang berusia
ribuan tahun, yaitu tradisi Judeo-Christian. Tidak seperti tradisi Yunani Platonik
yang memuliakan intelektualitas, tradisi Judeo-Christian memuliakan (sumber)
makna. Dan karena dalam pandangan mereka, makna itu konkret, makna itu nyata,
makna itu hadir dalam hidup kita. makna itu penentu keberadaan dan identitas kita,
dan makna itu bukan ciptaan kita sendiri melainkan diberikan/diwahyukan kepada
kita, maka kesetiaan kepada sumber makna itu menjadi fondasi keberadaan mereka,
fondasi dunia mereka. Berbagai bencana dahsyat dan penindasan dapat datang silih
berganti, tetapi selama kesetiaan pada sumber makna itu terjaga, maka dunia mereka
akan bertahan, keberadaan mereka akan bertahan.

Kesetiaan kepada sumber makna itulah yang kita kenal de-ngan istilah the covenant
(perjanjian-baik itu perjanjian lama ataupun perjanjian baru) dalam tradisi Judeo-
Christian. Dalam covenant manusia menyadari bahwa ia disentuh dan disapa oleh
sang sumber makna. Sang sumber makna hadir secara konkret dalam hidupnya. Sang
sumber makna menyingkapkan dirinya sendiri kepada siapa la berkenan, dan
manusia menjawab-Nya. Dengan membuka diri dan menjawab pada sapaan-Nya,
manusia beroleh hidup yang penuh, beroleh terang yang sejati. (Hanya) Dalam terang
itulah ia mengenal dirinya sendiri, sebagaimana ia dikenal. Kesetiaan pada perjanjian
berarti menjaga agar makna tetap tinggal di dunia kita, dan saat makna berada di
antara kita, maka apa pun dapat ditanggung, dan semua bencana yang ter- buruk
sekalipun sebenarnya ranum dengan makna. "He (or she) who knows the why can
bear any how" kata Friedrich Nietzsche (Nietzsche, F., 2010).

Maka filsafat Kierkegaard sebenarnya meneguhkan kembali dan mengelaborasi dasar


tradisi Judeo-Christian yang telah berlangsung berabad-abad itu. Kierkegaard
memberikan elaborasi yang berharga, ketika ia mengatakan bahwa defining
commitment berarti menyerahkan diri dengan sukarela (self-surrender, self-giving)
kepada Sang Terkasih; dan hanya dengan demikianlah seseorang menyelamatkan
keberadaannya. Inilah paradoksnya, barangsiapa mau menjalani hidup yang berpusat
pada dirinya sendiri, dengan mana ia bermaksud menyelamatkan dirinya sendiri,
maka ia akan kehilangan dirinya hidupnya jadi tak bermakna; tetapi barangsiapa
menyerahkan dirinya karena Dia-Yang Terkasih maka ia menyelamatkannya.

To save yourself (to have a meaningful existence) is to commit To commit is to love


And to love is to be self-giving.

Anda mungkin juga menyukai