Anda di halaman 1dari 6

REALISME

Realisme (Aristoteles, Johan Amos Comenius, Wiliam Mc Gucken, Francis Bacon, John Locke,
Galileo, David Hume, John Stuart Mill)

Merupakan filsafat yang memandang realitas secara dualistis. Realisme berpendapat bahwa
hakekat realitas ialah terdiri atas dunia fisik dan dunia ruhani.

Realisme membagi realitas menjadi dua bagian, yaitu subyek yang menyadari dan mengetahui di
satu pihak dan di pihak lainnya adalah adanya realitas di luar manusia, yang dapat dijadikan
objek pengetahuan manusia.

PRAGMATISME

Pragmatisme (John Dewey, Charles Sandre Peirce, Wiliam James, Heracleitos)

Dipandang sebagai filsafat Amerika asli. Namun, sebenarnya berpangkal pada filsafat empirisme
Inggris, yang berpendapat bahwa manusia dapat mengetahui apa yang manusia alami.

Pragmatisme adalah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar adalah segala sesuatu
yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan melihat kepada akibat-akibat atau hasilnya
yang bermanfaat secara praktis. Dengan demikian, bukan kebenaran obyektif dari pengetahuan
yang penting melainkan bagaimana kegunaan praktis dari pengetahuan kepada individu-individu.
Dasar dari pragmatisme adalah logika pengamatan, di mana apa yang ditampilkan pada manusia
dalam dunia nyata merupakan fakta-fakta individual, konkret, dan terpisah satu sama lain. Dunia
ditampilkan apa adanya dan perbedaan diterima begitu saja.

Pendidikan yang mengikuti pola filsafat pragmatisme akan berwatak humanis, dan pendidikan
yang humanis akan melahirkan manusia yang humanis pula. Karena itu, pernyataan “man is the
measure of all things” akan sangat didukung oleh penganut aliran pragmatis, sebab hakekat
pendidikan itu sendiri adalah memanusiakan manusia

EKSISTENSIALISME

Eksistensialisme (Jean Paul Sartre, Soren Kierkegaard, Martin Buber, Martin Heidegger, Karl
Jasper, Gabril Marcel, Paul Tillich)

Memfokuskan pada pengalaman-pengalaman individu.

Secara umum, eksistensialisme menekankan pilihan kreatif, subyektifitas pengalaman manusia


dan tindakan konkrit dari keberadaan manusia atas setiap skema rasional untuk hakekat manusia
atau realitas.
Eksistensialisme adalah filsafat yang mengandung segala gejala dengan berpangkal kepada
eksistensi. Pada umumnya kata eksistensi berarti keberadaan, tetapi di dalam filsafat
eksistensialisme ungkapan eksistensi mempunyai arti yang khusus.

Eksistensi adalah cara manusia berada di dalam dunia. Cara manusia berada di dalam dunia
berbeda dengan cara berada benda-benda. Benda-benda tidak sadar akan keberadaannya, juga
yang satu berada di samping yang lain, tanpa hubungan. Tidak demikianlah cara manusia berada.
Manusia berada bersamasama dengan benda-benda itu. Benda-benda itu menjadi berarti karena
manusia. Di samping itu, manusia berada bersama-sama dengan sesama manusia. Untuk
membedakan dua cara berada ini di dalam filsafat eksistensialisme dikatakan bahwa bendabenda
“berada,” sedangkan manusia “bereksistensi.” Jadi, hanya manusialah yang bereksistensi.

Kata eksistensi berasal dari kata eks (keluar) dan sistensi, yang diturunkan dari kata kerja sisto
(berdiri, menempatkan). Oleh karena itu, kata eksistensi diartikan manusia berdiri sebagai diri
sendiri dengan keluar dari dirinya.

Ajaran eksistensialisme tidak hanya satu. Sebenarnya eksistensialisme adalah suatu aliran filsafat
yang bersifat teknis, yang terjelma dalam berbagai macam sistem, yang satu berbeda dengan
yang lain.

Eksistensialisme Menurut Martin Heidegger

Menurut Heiddegger, eksistensialisme lebih dikenal sebagai bentuk gaya berfilsafat, pokok
utamanya adalah manusia dan cara beradanya di tengah-tengah makhluk lainnya. Heidegger
dianggap mempunyai pengaruh yang besar atau tidak dapat diabaikan terhadap eksistensialisme.
Ia berusaha mengartikan makna keberadaan atau apa artinya bagi manusia untuk berada.
Pertanyaan ini adalah salah satu pertanyaan mendasar dalam cakupan wilayah ontologi Aliran-
aliran Filsafat 229 (ajaran tentang yang berada). Karangannya yang sangat berkesan ialah Being
and Time dan Introduction to Metaphysics. Kebanyakan tulisannya membahas persoalan-
persoalan seperti “What is being?” (apa maknanya bila suatu entitas dikatakan ada?), “Why is
there something rather than nothing at all?,” begitu juga judul-judul tentang eksistensi manusia,
kegelisahan, keterasingan, dan mati.

2. Beberapa Sifat Eksistensialisme

a. Eksistensialisme pada dasarnya adalah gerakan protes terhadap filsafat barat tradisional dan
masyarakat modern.

b. Eksistensialisme menolak untuk bergabung kepada suatu aliran. Mereka menolak watak
teknologi totalitarianisme yang impersonal.

c. Eksistensialisme membahas soal-soal kedudukan yang sulit dari manusia.


d. Eksistensialisme menekankan kesadaran “ada” (being) dan eksistensi. Nilai kehidupan
nampak melalui pengakuan terhadap individual, yakni “I” (aku) dan bukan “It.”

e. Eksistensialis percaya bahwa tak ada pengetahuan yang terpisah dari subyek yang mengetahui.

f. Eksistensialisme menekankan individual, kebebasannya dan pertanggungjawabannya.

g. Seperti Nietzsche, Sartre mengingkari adanya Tuhan. Manusia tidak diarahkan; ia


menciptakan kehidupannya sendiri dan oleh sebab itu ia bertanggung jawab seluruhnya atas
pilihan-pilihannya

PERENIALISME

Perenialisme (Robert Maynard Hutchins dan Ortimer Adler)

Perenialisme merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh.
Perenialisme berasal dari kata perennial yang berarti abadi, kekal atau selalu.

Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Perenialisme menentang
pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Jalan yang
ditempuh oleh kaum perenialis adalah dengan jalan mundur ke belakang, dengan menggunakan
kembali nilai-nilai atau prinsip- prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kuat
dan kukuh pada zaman kuno dan abad pertengahan.

Dalam pendidikan, kaum perenialis berpandangan bahwa dalam dunia yang tidak menentu dan
penuh kekacauan serta mambahayakan tidak ada satu pun yang lebih bermanfaat dari pada
kepastian tujuan pendidikan serta kestabilan dalam perilaku pendidik. Menurut pandangan
perenialis, pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat perhatiannya pada kebudayaan
ideal yang telah teruji dan tangguh. Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali
atau proses mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam kebudayaan ideal.

ESENSIALISME

Esensialisme (William C. Bagley, Thomas Briggs, Frederick Breed dan Isac L. Kandell)

Esensialisme berpendapat bahwa dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada cela yang mengatur
dunia beserta isinya dengan tiada cela pula. Esensialisme didukung oleh idealisme modern yang
mempunyai pandangan yang sistematis mengenai alam semesta tempat manusia berada.
Esensialisme juga didukung oleh idealisme subyektif yang berpendapat bahwa alam semesta itu
pada hakikatnya adalah jiwa/spirit dan segala sesuatu yang ada ini nyata ada dalam arti spiritual.

Esensialisme berpendapat bahwa pendidikan haruslah bertumpu pada nilai-nilai yang telah teruji
keteguhan, ketangguhan, dan kekuatannya sepanjang masa. Esensialisme adalah pendidikan yang
didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia.
Esensialisme muncul pada zaman Renaissance dengan ciri-ciri utama yang berbeda dengan
progresivisme. Perbedaannya yang utama ialah dalam memberikan dasar berpijak pada
pendidikan yang penuh fleksibilitas, terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada keterkaitan
dengan doktrin tertentu. Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-
nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih
yang mempunyai tata yang jelas.

PROGRESIVISME

Progresivisme (George Axetelle, William O. Stanley, Ernest Bayley, Lawrence B. Thomas,


Frederick C. Neff)

Progresivisme berpendapat tidak ada teori realita yang umum. Pengalaman menurut
progresivisme bersifat dinamis dan temporal, menyala, tidak pernah sampai pada yang paling
ekstrem, serta pluralistis.

Menurut progresivisme, nilai berkembang terus karena adanya pengalaman-pengalaman baru


antara individu dengan nilai yang telah disimpan dalam kebudayaan. Belajar berfungsi untuk
mempertinggi taraf kehidupan sosial yang sangat kompleks. Kurikulum yang baik adalah
kurikulum yang eksperimental, yaitu kurikulum yang setiap waktu dapat disesuaikan dengan
kebutuhan.

Progresivisme bukan merupakan bangunan filsafat atau aliran filsafat yang berdiri sendiri,
melainkan merupakan suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan tahun 1918.

Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar di
masa mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak bukannya memfokuskan pada guru atau
bidang muatan. Aliran filsafat progresivisme telah memberikan sumbangan yang besar di dunia
pendidikan pada abad ke-20, di mana telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan
kepada anak didik. Anak didik diberikan kebebasan baik secara fisik maupun cara berpikir, guna
mengembangkan bakat dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya, tanpa terhambat oleh
rintangan yang dibuat oleh orang lain. Oleh karena itu, filsafat progresivisme tidak menyetujui
pendidikan yang otoriter..

Aliran progresivisme mengakui dan berusaha mengembangkan asas progresivisme dalam semua
realita, terutama dalam kehidupan, yaitu tetap survive terhadap semua tantangan hidup manusia
dan harus praktis dalam melihat segala sesuatu dari segi keagungannya.

Progresivisme dinamakan instrumentalisme karena aliran ini beranggapan bahwa kemampuan


intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk kesejahteraan, untuk mengembangkan
kepribadian manusia.

Dinamakan eksperimentalisme, karena aliran tersebut menyadari dan mempraktekkan asas


eksperimen untuk menguji kebenaran suatu teori.
Progresivisme dinamakan environmentalisme karena aliran ini menganggap lingkungan hidup itu
mempengaruhi pembinaan kepribadian.

Progresivisme merupakan aliran filsafat yang lahir di Amerika Serikat sekitar abad ke-20. John
S. Brubaeher, mengatakan bahwa filsafat progresivisme bermuara pada aliran filsafat
pragmatisme yang diperkenalkan oleh William James (1842-1910) dan John Dewey (1885
1952), yang menitikberatkan pada segi manfaat bagi hidup praktis. Di dalam banyak hal,
progresivisme identik dengan pragmatisme. Oleh karena itu, apabila orang menyebut
pragmatisme, maka berarti sama dengan progresivisme.

Filsafat progresivisme sama dengan pragmatisme. Pertama, filsafat progresivisme atau


pragmatisme ini merupakan perwujudan dan ide asal wataknya. Artinya, filsafat progresivisme
dipengaruhi oleh ide-ide dasar filsafat pragmatisme yang telah memberikan konsep dasar dengan
azas yang utama, yaitu manusia dalam hidupnya untuk terus survive (mempertahankan
hidupnya) terhadap semua tantangan, dan pragmatis memandang sesuatu dari segi manfaatnya.
Oleh karena itu, filsafat progresivisme tidak mengakui kemutlakan kehidupan serta menolak
absolutisme dan otoriterisme dalam segala bentuknya.

Progresivisme dianggap sebagai he Liberal Road of Culture (kebebasan mutlak menuju ke arah
kebudayaan). Maksudnya, nilai-nilai yang dianut bersifat fleksibel terhadap perubahan, toleran
dan terbuka (open minded), serta menuntut pribadipribadi penganutnya untuk selalu bersikap
penjelajah dan peneliti guna mengembangkan pengalamannya.

REKONTRUKSIONISME

Rekonstruksionisme (Caroline Pratt, George Count, Harold Rugg)

Rekonstruksionisme merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme. Gerakan ini lahir


didasarkan atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri
dengan masalah-masalah masyarakat yang ada sekarang. Rekonstruksionisme ingin membangun
masyarakat baru, masyarakat yang pantas dan adil.

Aliran rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dan
membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Aliran rekonstruksionisme,
pada prinsipnya, sepaham dengan aliran perenialisme, yaitu hendak menyatakan krisis
kebudayaan modern. Kedua aliran tersebut, aliran rekonstruksionisme dan perenialisme,
memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman yang mempunyai kebudayaan yang
terganggu oleh kehancuran, kebingungan dan kesimpangsiuran. Walaupun demikian, prinsip
yang dimiliki oleh aliran rekonstruksionisme tidaklah sama dengan prinsip yang dipegang oleh
aliran perenialisme. Keduanya mempunyai visi dan cara yang berbeda dalam pemecahan yang
akan ditempuh untuk mengembalikan kebudayaan yang serasi dalam kehidupan. Aliran
perennialisme memilih cara tersendiri, yakni dengan kembali ke alam kebudayaan lama atau
dikenal dengan regressive road culture yang mereka anggap paling ideal. Sementara itu aliran
rekonstruksionisme menempuhnya dengan jalan berupaya membina suatu konsensus yang paling
luas dan mengenai tujuan pokok dan tertinggi dalam kehidupan umat manusia. Untuk mencapai
tujuan tersebut, rekonstruksionisme berupaya mencari kesepakatan antar sesama manusia atau
orang, yakni agar dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tatanan dan seluruh
lingkungannya.Oleh karena itu, proses dan lembaga pendidikan dalam pandangan
rekonstruksionisme perlu merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup
kebudayaan yang baru. Untuk mencapai tujuan utama tersebut memerlukan kerjasama antar umat
manusia.

Anda mungkin juga menyukai