Anda di halaman 1dari 8

BAB IV

BASIS FILOSOFIS
A. Filsafat Eksistensialisme
Eksistensialisme yaitu suatu usaha untuk menjadikan masalah menjadi
konkret karena adanya manusia dan dunia. Menurut Sartre, eksistensialisme
yaitu filsafat yang memberi penekanan eksistensi yang mendahului esensi.
Memandang segala gejala yang ada berpangkal kepada eksistensi. Dengan
adanya eksistensi akan penuh dengan lukisan-lukisan yang konkret dengan
metode fenomenologi (cara keberadaan manusia). (Adawiyah, 2015).
Secara harfiah, kata eksistensi berarti muncul, timbul, memiliki wujud
eksternal, sister (existere, latin) menyebabkan berdiri. Yakni sesuatu yang eksis
sesuatu yang memiliki aktualitas (wujud), keberadaan sesuatu yang menekankan
pada apa sesuatu itu (apakah benda itu sesungguhnya menurut wataknya yang
sejati),a tau kesadaran bahwa ia ada dan bahwa ia adalah mahluk yang
bertindak, memilih, menciptakan dan mengekspresikan identitas diri dalam
proses bertindak dan memilih secara bertanggungjawab filsafat ini merupakan
reaksi dan pemberontakan terhadap sifat dan filsafat tradisional dan masyarakat
modern, yakni protes terhadap rasionalisme Yunani, atau tradisi klasik dari
filsafat khususnya pandangan spekulatif tentang manusia seperti Plato dan
Hegel (Ekawati, 2015)
Eksistensialisme, berasal dari kata “eksistensi”, dalam bahasa Inggris
“existence” adalah bentuk kata benda, dengan kata kerja ‘to exist” yang berarti
“the state of being…” Ia berasal dari bahasa latin “existo” dan exister”. Dalam
bahasa Prancis: “existo”, yakni terdiri dari “ex” dan “sisto”, yang berarti to stand.
Semuanya itu dalam bahasa Indonesia berarti secara harfiah, ‘berdiri’ atau
‘menempatkan diri’. Kata “ex” berarti keluar. “To exist” di samping pengertian
seperti di atas juga secara harfiah berarti: keluar, ada, hidup, atau mengada.
Akan tetapi dalam eksistensialisme, artinya lebih kompleks, tidak cukup “ada”,
“mengada” atau “berada”. (Muzairi, 2002). Filsafat ini merupakan reaksi dan
pemberontakan terhadap sifat dan filsafat tradisional dan masyarakat modern,
yakni protes terhadap rasionalisme Yunani, atau tradisi klasik dari filsafat
khususnya pandangan spekulatif tentang manusia seperti Plato dan Hegel.
(Salim, 2010)

18
19

Eksistensialisme adalah filsafat yang memandang segala gejala dengan


berpangkal kepada eksistensi. Secara umum eksistensi berarti keberadaan.
Secara khusus eksistensi adalah cara manusia berada di dalam di dunia. Cara
manusia berada di dalam dunia berbeda dengan cara berada benda-benda.
Benda-benda tidak sadar akan keberadaannya. Berbeda dengan manusia.
Benda-benda menjadi lebih berarti karena manusia. Untuk membedakan dua
cara berada ini di dalam filsafat eksistensialisme dikatakan, bahwa benda-benda
“berada”, sedangkan manusia “bereksistensi”. Jadi hanya manusia yang
bereksistensi. (Hadiwijoyo, 1980).
Kelompok eksistensialis membedakan antara eksistensi dan esensi,
sesuatu yang selalu menjadi perbincangan menarik para filsuf. Eksistensi berarti
keadaan yang aktual, yang terjadi dalam ruang dan waktu; dan bereksistensi
yaitu menciptakan dirinya secara aktif, berbuat menjadi dan merencanakan.
Sedangkan esensi merupakan sesuatu yang membedakan antara suatu benda
dan corak-corak benda lainnya. Esensi adalah yang menjadikan benda itu seperti
apa adanya, atau suatu yang dimiliki secara umum oleh bermacam-macam
benda. (Yunus,2011)Eksistensi diartikan manusia berdiri sebagai diri sendiri
dengan keluar dari dirinya. Manusia sadar bahwa dirinya ada. Ia dapat
meragukan segala sesuatu, tapi satu hal yang pasti, yaitu bahwa dirinya ada.
Dirinya itu disebut “aku”. Segala sesuatu di sekitarnya dihubungkan dengan
dirinya contoh mejaku, kursiku, temanku,dan sebagainya. Di dalam dunia
manusia menentukan keadaanya dengan perbuatan-perbuatannya. Ia
mengalami dirinya sebagai pribadi. Ia menemukan pribadinya dengan seolah-
olah keluar dari diriya sendiri dan menyibukkan diri dengan apa yang di luar
dirinya. Ia menggunakan benda-benda disekitarnya. Dengan kesibukannya itulah
ia menemukan dirinya sendiri. Ia berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari
dirinya dan sibuk dengan dunia luarnya. Demikianlah manusia bereksistensi.
Sedangkan filsafat eksistensialisme adalah aliran filsafat yang
menyatakan bahwa cara berada manusia dan benda lain tidaklah sama. Manusia
berada di dalam dunia; ia menyadari dirinya berada di dunia. Manusia
menghadapi dunia, menghadapi dengan mengerti yang dihadapinya itu. Manusia
mengerti guna pohon, batu dan salah satu di antaranya ialah ia mengerti bahwa
hidupnya mempunyai arti. Artinya bahwa manusia sebagai subjek. Subjek artinya
20

yang menyadari, yang sadar. Barang-barang yang disadarinya disebut objek.


(Tafsir, 2003).
Eksistensialisme menekankan tentang kesadaran manusia, perasaan
subjektif, dan pengalaman-pengalaman personal yang berkaitan dengan
keberadaan indvidu dalam dunia bersama individu lainnya. Pandangan ini
disebut juga perspektif fenomenologis. Para eksistensialisme dan para ahli
psikologi yang berorientasi kepada humanistik sama-sama memperhatikan
pengalaman subjektif sebagai fenomena yang utama dalam studi tentang tingkah
laku manusia (Koswara, 1991).
Ajaran eksistensialisme tidak hanya satu. Sebenarnya eksistensialisme
adalah aliran filsafat yang bersifat tehnis, yang menjelma dalam bermacam-
macam sistem, yang satu berbeda dengan yang lain. Sekalipun demikian ada
juga ciri-ciri yang sama, yang menjadikan sistem-sistem itu dapat dicap sebagai
filsafat eksistensialisme. Paling sedikit ada empat pemikiran yang jelas dapat
disebut filsafat eksistensialisme, yaitu pemikiran Martin Heidegger, Jean Paul
Sartre, Karl Jaspers dan Gabriel Marcel.
Beberapa ciri-ciri yang sama yang dimiliki di antaranya:
1. Motif pokok adalah apa yang disebut eksistensi, yaitu cara manusia
berada. Hanya manusia yang bereksistensi. Eksistensi adalah khas
manusia berada. Pusat perhatian ini ada pada manusia. Oleh karena itu
bersifat humanitis.
2. Bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti
menciptakan dirinya secara aktif, bereksistensi berarti berbuat, menjadi,
merencenakan. Setiap saat manusia menjadi lebih atau kurang dari
keadaanya.
3. Di dalam filsafat eksistesialisme manusia dipandang sebagai terbuka.
Manusia adalah realitas yang belum selesai, yanng masih harus dibentuk.
Pada hakikatnya manusia terikat kepada dunia sekitarnya, terutama
kepada sesama manusia.
4. Filsafat eksistensialisme memberi tekanan kepada pengalaman yang
konkret, pengalaman eksistensial. Hanya arti pengalaman ini berbeda-
beda. Heidegger memberi tekanan kepada kematian, yang menyuramkan
segala sesuatu, Marcel kepada pengalaman keagamaan dan Jaspers
21

kepada pengalaman hidup yang bermacam-macam seperti kematian,


penderitaan, perjuangan dan kesalahan. (Hadiwijoyo, 1980)
Eksistensi merupakan keadaan tertentu yang lebih khusus dari sesuatu.
Apapun yang bereksistesi tentu nyata ada. Sesuatu dikatakan bereksistensi jika
sesuatu itu bersifat publik yang artinya objek itu sendiri harus dialami oleh
banyak orang yang melakukan pengamatan.
Jadi eksistensialisme betul-betul berusaha mengungkap manusia yang utuh
sebagai eksistensi yang mendahului essensinya, sebab eksistensi manusia itu
bukanlah selesai mantap, akan tetapi sebaliknya, terus mengada. Manusia
menyadari keterbatasannya serta temporalitsnya. Lewat itulah dia membuka
kemungkinan-kemungkinan sambil memproyeksikan dirinya ke depan, karena ia
adalah makhluk temporal. Eksistensi memandang makhluk manusia adalah yang
paling sadar waktu. Masa lalu, masa depan dan masa kini adalah tunggal dalam
penghayatannya. Bahkan yang lebih khas masa kini dengan segala kondisi
perangkatnya dikonstitusikan sebagai potensi bagi masa depannya yang diselipi
dengan kekuatiran dan kecemasan.
Maka eksistensialisme pada umumnya menyadari betul posisi manusia
dalam
kesejarahannya, yang melibatkan rentangan eksistensi antara kekuatan
konservatif yang berasal dari masa lalunya, serta kekuatan-kekuatan progresif
yang berasal dari proyeksi masa depan. Pada rentang kekuatan itu manusia
tidak mungkin menghindarkan diri dari ketegangan, kecemasan, kejenuhan hidup
serta kekuatirannya. Masa lalu tidak kenal pengulangan, masa depan baru
dirancang, hanya masa kini yang pasti, dan itulah eksistensi. (Muzairi,2002)
Keunikan filsafat eksistensialisme yaitu memfokuskan pembahasan pada
masalah-masalah individu. Dimana, eksistensialisme memberi individu suatu
jalan berpikir mengenai kehidupan, apa maknanya bagi saya, apa yang benar
untuk saya. Secara umum, eksistensialisme menekankan pilihan kreatif,
subjektifitas pengalaman manusiadan tindakan konkret dari keberadaan manusia
atas setiap skema rasional untuk hakikat manusia atau realitas. Dari perspektif
eksistensialisme, pendidikan sejatinya adalah upaya pembebasan manusia dari
belenggu-belenggu yang mengungkungnya sehingga terwujudlah eksistensi
manusia ke arah yang lebih humanis dan beradab.
22

B. Elemen-elemen Filsafat Eksistensialisme

Bagi Martin Heidegger (1889-1976), bahwa filsafat yang sekian lama


menggumuli realitas sudah lupa akan “adanya”. Dalam segala yang ada dan
nyata, yang paling dekat dan bisa diselidiki oleh filsafat adalah dirinya sendiri. Di
dalam diri manusia timbullah pertanyaan tentang “ada” itu, karena ia makhluk
yang ada dan mampu bertanya tentang itu, dan sekaligus akan menjawabnya.
Dan itulah yang di dalam terminologi Heidegger disebut “Dasein”, ini berarti
jargon esensialisme dalam tesis Hegel “Apa yang nyata dapat dipikirkan, dan apa
yang dapat dipikirkan adalah nyata”, tidak dapat diterima oleh Heidegger.” Lebih
jauh negasi Heidegger terhadap Hegel adalah dengan menempatkan verstehen
(mengerti, memahami) sebagai cara berada manusia yang dikaitkan dengan
kebebasan manusia (Wahyudi, 2012)

Berikut pandangan Heidegger tentang manusia dan kematian (Dagun, 1990):


1. Manusia
Dalam bukunya Ada dan Waktu (Sein und Zeit), Heidegger
menguraikan tentang ADA secara mendalam. Tetapi dalam buku ada dan
Waktu Heidegger menyebut manusia dengan nama dasein. “sein” berarti
ada dan kata, sedangkan “da” berarti disitu. Dalam bukunya Heidegger
mencoba secara rinci menganalisis dasein, ia menguraikan struktur-
struktur yang paling dasar dari dasein itu.
Menurut Heidegger manusia itu terbuka bagi dunianya dan
sesamanya. Kemampuan seseorang untuk berinteraksi dengan hal-hal
diluar dirinya karena memiliki kepekaan, pengertian, pemahaman,
perkataan atau pembicaraan. Unsur-unsur ini dapat diekspresikan dalam
berbagai reaksi seseorang. Misalnya faktor kepekaan itu dapat berupa
perasaan dan emosi. Perasaan cemas, senang, kecewa dan takut adalah
konsekuensi manusia berada di dunia.
Pada definisi ini Heidegger memandang manusia sebagai
eksistensi utama dalam manusia itu sendiri dengan unsur-unsur yang
dapat diekspresikan seperti emosi, sejalan dengan apa yang dijadikan
acuan Seligman bahwa emosi seseorang yang menjadi penentu
23

kebahagiaan. Seligman selanjutnya menjelaskan bahwa emosi positif


yang mendominasi sebagai output dari kebahagiaan. Emosi yang
dimaksud oleh Seligman adalah hal yang positif, yang dari Heidegger
memandang manusia apabila ridak memiliki hal tersebut manusia belum
sepenuhnya eksistensi.
2. Soal Berbicara
Hal tentang berbicara ini Heidegger beri sebutan sebagai Rede.
Rede ini mewujudkan asas yang eksistensial bagi kemungkinan untuk
berbicara atau berkomunikasi. Setiap kata yang diucapkan itu
berhubungan dengan arti. Dalam kenyataan sehari-hari manusia itu saling
bercakap-cakap. Dalam percakapan itu orang saling mengerti tetapi
pengertian itu tidak selalu benar. Ada orang yang hanya meniru
percakapan atas pikiran orang lain dengan hanya mengulang kembali dan
meneruskan pikiran orang. Menurut Heidegger bila seseorang bersikap
demikian maka akan mengakibatkan segala gagasan, pendapat dan
perbuatan orang itu menjadi absurd dan mengambang. Sehingga
manusia kehilangan eksistensinya, orang tidak lagi mengerti yang benar,
dan tidak lagi berkomunikasi yang benar.
Berangkat dari elemen yang dijabarkan Heidegger ini, dalam
teorinya Seligman seseorang bisa dengan emosi yang positif dalam
mencapai kebahagiaannya, memandang segala dari sisi positif adalah
kuncinya, berawal dari bagaimana bisa seseorang memahami mana yang
benar, yang kalau dari kacamata Heidegger melalui komunikasi. Proses
komunikasi dan menciptakan sudut pandang positif yang memunyai
korelasi dalam hal ini.
3. Schuld
Kata Schuld bearti utang atau salah, kata utang dan salah
dikaitkan dengan eksistensi manusia. Cara berada manusia ialah bahwa
manusia mengadakan adanya sendiri, bukan dalam arti menciptakan.
Manusia bertanggung jawab atas keberadaan dirinya. Menurut Heidegger
dalam kata Schuld senantiasa terkandung unsur yang hanya dapat
diungkapkan secara negatif.
Menurut Heidegger untuk mencapai manusia yang utuh maka
manusia tersebut harus merealisasikan segala potensinya. Mesti dalam
24

kenyataanya seseorang itu tidak mampu merealisasikan semua, namun


seseorang itu tetap bertanggung jawab atas potensi yang belum di
aktualkan. Manusia tidak diakibatkan oleh dirinya melainkan manusia
muncul dari asalnya, yaitu berserah kepada dirinya untuk mengada
sebagai diri ini atau itu. Dengan demikian, manusia memilih satu
kemungkinan, sehingga tidak memilih kemungkinan-kemungkinan lain,
lalu mengadalah kebebasan. Kebebasan baru mengada dalam hal
memilih satu kemungkinan artinya dalam menanggung bahwa
kemungkinan-kemungkinan lain tidak dipilih dan tidak dapat dipilihnya.
Klasifikasi kebahagiaan yang dijelaskan Seligman sebelumnya
yaitu tentang bagaimana bahagia itu dimaknai, kebahagiaan masa lalu,
kebahagiaan masa depan dan kebahagiaan masa sekarang. Dalam
kebahagiaan masa lalu seseorang dikatakan bahagia apabila sudah bisa
mensyukuri apa yang terjadi dan bertanggung jawab apa yang seseorang
lakukan dan memberikan dampak kepada kebahagiaan masa depannya.
Kebahagiaan masa sekarang adalah pilihan apa yang seseorang lakukan
demi kebahagiaannya termasuk tanggung jawab atau schuld dalam
isitilah Heidegger.
4. Kematian
Manusia harus merencanakan diri atau mengusahakan dirinya
sampai kemungkinan yang terakhir, yang tidak dapat dielakkan, yaitu
kematian atau maut. Kematian adalah batas terakhir dari keberadaan kita
sebagai eksistensi, batas yang tidak bisa dikalahkan. Kematian dalam
pemahaman Heidegger bukan kesadaran umum yang ada sehari-hari,
bahwa orang akan mati juga bukan kematian orang lain tetapi kematian
disini menunjukkan bahwa sejak seseorang itu mempunyai kemungkinan
maka kemungkinan itu dimustahilkan, artinya segala aktifitas kita akan
berakhir melalui peristiwa kematian. Manusia tau bahwa ia harus mati dan
untuk melupakan hal itu ia menyibukkan diri dengan kesia-sian hidup.
Redaksi kata kematian yang dikeluarkan oleh Heidegger memang
cukup berlebihan kalau ditarik ke dalam keseharian, intinya adalah
bagaimana seseorang bisa mewujudkan keinginan atau cita-citanya dan
ternyata tidak terwujud berarti kematian yang akan menghampirinya atau
dengan kata lain adalah keputus-asaan, ketika sudah terjadi seperti itu
25

hilang lah eksistensi seseorang sebagai manusia. Seligman dengan


psikologi positifnya memandang hal tersebut bukan dari aktualiasasi
seorang manusia, menurut Seligman berbagai hal dilihat dari sisi
positifnya, apabila terjadi peristiwa seperti itu harusnya manusia bisa lebih
mempersiapkan diri dan tidak menyalahkan situasi kondisi, selain itu juga
seseorang harus bisa mengambil hikmah apa yang terjadi dari semua
peristiwa. Termasuk peristiwa kematian atau keputus-asaan.

Martin Heidegger (1889-1976) seorang filsuf Jerman dan Karl Jaspers


(1883- 1969) (Hall, 1993:172-175) merupakan pencipta filsafat eksistensial dalam
abad ini. Hal yang lebih penting adalah bahwa Heidegger merupakan jembatan
ke arah psikolog dan psikiater. Ide pokok dalam ontology Heidegger (ontology
adalah cabang filsafat yang berbicara tentang ada atau eksistensi) ialah bahwa
individu adalah sesuatu yang ada-di dunia. Ia tidak ada sebagai diri atau sebagai
subyek yang berhubungan dengan dunia luar; seorang pribadi juga bukan
merupakan benda atau obyek atau badan yang berinteraksi dengan benda-
benda lain yang membentuk dunia. Manusia memiliki eksistensi dengan
mengada-di-dunia, dan dunia memiliki eksistensinya karena terdapat suatu Ada
yang menyingkapnya. Ada dan dunia adalah satu. Barret (1962, dalam Hall,
1993:172-175) menyebut ontology Heidegger dengan teori Medan tentang Ada.
Telaah aksiologi terhadap Psikologi Eksistensial dapat didekati dengan teori
ketika hak asasi manusia dari John Locke (1632-1704). Menurut John Locke, hak
asasi ditafsirkan sangat individualistic. Hak kebebasan individual, pada hak
negatifnya menjadi tidak mencampuri kehidupan orang lain. Melden (1977)
berpendapat bahwa hak moral kebebasan individu mempunyai saling keterkaitan
antar individu.

Anda mungkin juga menyukai