Anda di halaman 1dari 4

Eksistansialisme Hakikat Manusia Karl Jaspers

Disusun untuk Memenuhi Tugas Filsafat Manusia

Disusun oleh :

Alfin Ardiansyah 16/397349/FI/04214

Ambar Hapsari

Ni Luh Ayu F Aphrodita 16/397391/FI/04256

Nindya Rizqi Anisa 16/397393/FI/04258

Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada


Yogyakarta
2017
Eksistensialisme merupakan suatu aliran filsafat yang lahir karena latar belakang
ketidakpuasan beberapa filusuf yang memandang bahwa filsafat pada masa Yunani ketika itu
seperti protes terhadap rasionalisme Yunani, khususnya pandangan tentang spekulatif tentang
manusia. Intinya adalah Penolakan untuk mengikuti suatu aliran, penolakan terhadap
kemampuan suatu kumpulan keyakinan, khususnya kemampuan sistem, rasa tidak puas terhadap
filsafat tradisional yang bersifat dangkal dan primitif yang sangat dari akademik. Salah satu latar
belakang dan alasan lahirnya aliran ini juga karena sadarnya beberapa golongan filusuf yang
menyadari bahwa manusia mulai terbelenggu dengan aktifitas teknologi yang membuat mereka
kehilangan hakekat hidupnya sebagai manusia atau mahluk yang bereksistensi dengan alam dan
lingkungan sekitar bukan hanya dengan semua serba instant.

Dari sudut etimologi eksistensi berasal dari kata “eks” yang berarti diluar dan “sistensi”
yang berarti berdiri atau menempatkan, jadi secara luas eksistensi dapat diartikan sebagai berdiri
sendiri sebagai dirinya sekaligus keluar dari dirinya. eksistensialisme menurut pengertian
terminologinya adalah suatu aliran dalam ilmu filsafat yang menekankan segala sesuatu terhadap
manusia dan segala sesuatu yang mengiringinya, dan dimana manusia dipandang sebagai suatu
mahluk yang harus bereksistensi atau aktif dengan sesuatu yang ada disekelilingnya, serta
mengkaji cara kerja manusia ketika berada di alam dunia ini dengan kesadaran. Disini dapat
disimpulkan bahwa pusat renungan atau kajian dari eksistensialisme adalah manusia konkret
(Muchith, 2014).

Karl Theodor Jaspers lahir di Oldenburg, Jerman Utara, 23 Februari 1883, sebagai anak
sulung Carl Wilhelm Jaspers dan Henriette Tantzen. Ayahnya seorang ahli hukum dan bekerja
antara lain sebagai direktur bank dan pemimpin dewan kota. Suasana religious di dalam keluarga
Jaspers adalah Protestan Liberal. Jaspers bersekolah di Gymnasium di Oldenburg, dari tahun
1892 sampai tahun 1902. Ia tidak senang disekolah itu. Semua murid dipaksa untuk masuk
organisasi-organisasi siswa dengan struktur hirarkhis. Jaspers tidak mau menerima itu dan oleh
karena itu ia cukup sendirian. Alasan lain mengapa ia tidak ikut dalam kegiatan-kegiatan sosial
adalah kesehatannya. Seumur hidup ia menderita penyakit paru-paru ( Bronchiektasis ) dan
kelemahan jantung. Pada akhir hidupnya Jaspers sendirian heran bahwa ia mencapai umur begitu
tua. Kontak sosialnya yang kurang diimbanginya dengan interest untuk ilmu pengetahuan, sastra,
dan seni, dan dengan cintanya kepada alam (Hamersma, 1985 : 1).

Filsafat eksistensi adalah pemikiran yang memanfaatkan semua pengetahuan obyektif


tetapi juga mengatasi pengetahuan obyektif itu. Melalui pemikiran itu manusia ingin menjadi
dirinya sendiri. Pemikiran itu tidak mengenal obyek-obyek, melainkan menerangkan dan
sekaligus mengerjakan adanya oaring yang berpikir dengan cara itu. Ada dua fokus dalam
filsafat Jaspers, yaitu eksistensi dan transendensi. Ber-eksistensi berarti : berdiri di hadapan
transendensi. Transendensi menyembunyikan diri, dan dengan demikian justru merupakan dasar
kebebasan manusia. Jaspers setuju dengan Kant bahwa kebijaksanaan Ilahi kelihatan bukan
hanya dalam segala sesuatu yang diberikannya kepada manusia, melainkan juga dalam apa yang
disembunyikannya.
Filsafat eksistensi itu bukanlah filsafat yang “ merenungkan kebenaran ”. filsafat eksistensi
itu suatu praksis, yaitu: menghayati kebenaran. Artinya: kebenaran cara berpikir manusia
dibuktikan melalui tindakannya yang berdasarkan pemikiran itu. Seperti pemikiran orang-orang
yang dikagumi oleh Jaspers (Augustinus, Pascal, Kierkegard) demikian filsafat Jaspers cukup
mencerminkan hidupnya sendiri. Pengalaman pribadinya dipandangnya sebagai sesuatu yang
representatif untuk orang lain juga (Hamersma, 1985 : 9).

Eksistensi yang dalam Bahasa mitis disebut “ jiwa ” dan “ Allah ”, dalam Bahasa filsafat
disebut “ eksistensi ” dan “ transendensi ”. eksistensi manusia merupakan bentuk “ ada ” yang
memutuskan dalam waktu apakah dan bagaimanakah ia mau menjadi abadi. Eksistensi memang
tidak “ ada ”, hanya “ dapat ada ” dan “ harus ada ”. adanya manusia termasuk dunia empiris ; itu
oleh Jaspers disebut bidang Dasein ( Bahasa inggris being-there ). Namun “ eksistensi ”
(Existenz ) itu berupa “kemungkinan ”, kemajuan, atau kemunduran dalam menuju “ ada ” abadi.
Eksistensi adalah kebebasan yang diisi. Eksitensi termuat dalam waktu tetpi sekligus mengatasi
waktu, karena keputusan-keputusan bebas eksistensi menentukan sesuatu untuk selama-lamanya.

Dasein mencapai puncaknya di dunia ini, sedang eksistensi tidaklah demikian. Eksistensi
hanya “ menemukan dirinya sendiri di sunia ini ”. eksistensi berasal dari darah luhur. Eksistensi
hanya dapat diterangkan melalui signa (tanda-tanda) tertentu, seperti pilihan, tobat, komunikasi,
dan kebebasan. Kenyataan empiris menampakkan diri dalam “ fenomin-fenomin ”, sedang
transendensi menampakkan diri dalam chiffer-chiffer, dan eksistensi menampakkan diri dalam
signa. Manusia mengalami eksistensi sebagai sesuatu yang “ diberikan ” kepadanya. Eksistensi
adalah hadiah dari transendensi (Hamersma, 1985 : 12).

Eksistensi membutuhkan komunikasi. Penerangan eksistensi mulai dengan keinginan


untuk berkomunikasi dengan eksistensi lain. Bagi Jaspers suatu ide baru dapat disebut relevan
dari segi filsafat sejauh ide itu memajukan komunikasi. Dasar komunikasi itu cinta.

Sebagai eksistensi, manusia mengalami kesatuan paradoksal antara waktu dan keabadian.
Manusia itu selalu membutuhkan kebebasan karena ia tidak tau segala sesuatu, manusia harus
memutuskan karena ketidaktahuannya itu. Eksistensi tidak menyesali ketidaktahuannya karena
dengan itu bisa merasakan hubungannya dengan transedensi. Pada saat keputusan itu manusia
berada dengan dirinya sendiri, maka pada saat itu ia merasa tidak sendiri tetapi berdiri di
hadapan transedensi.

Situasi batas paling umum pada manusia adalah faktisitas dan nasib. Disamping itu ada
yang khusus yaitu kematian, penderitaan, perjuangan dan kesalahan. Manusia tidak pernah tau
mengapa semua itu harus ada. Maka semuanya tergantung dari manusianya, bereksistensi atau
berdiri di hadapan transedensi.

Eksistensialisme tidak merenungkan “esensi” atau hakikat abadi manusia, karena hakikat
itu dianggap belum ada.”esensi” manusia ditentukan oleh “eksistensi”nya. Pada manusia,
eksistensi mendahului esensi, keduanya bisa dipikirkan terpisah.
Pemikiran semua eksitensialis berkisar sekitarr sbyektivitas manusia. Pada Jaspers filsafat
merupakan refleksi atas tindakan: apa yang harus dibuat untuk menjadi dirinya sendiri.
Eksistensialisme sering dianggap sebagai filsafat yang individualis.

REFERENSI:

Muchith, Abdul. 2014. Aliran Eksistensialisme dalam Filsafat. Disalin :


https://www.kompasiana.com/abdulmuchith/aliran-eksistensialisme-dalam-
filsafat_54f7c4b8a33311641e8b4a99. ( Diakses pada : 2 November 2017 ).

Hamersma, Harry. 1985. Filsafat Eksistensi Karl Jaspers. PT Gramedia: Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai