Anda di halaman 1dari 5

BAB II

PEMBAHASAN

MEANING OF LIFE

Martin Seligmen membahas persoalan makna hidup dalam bab ini dikemukakan
sekelumit tentang persoalan besar yang menyelimuti masalah makna hidup; yang terkait
dengan bagaimana cara manusia modern memahami dunia yang sangat diwarnai oleh
berbagai kemajuan mutakhir dalam sains, baik itu temuan-temuan astrofisika tentang
kosmologi ataupun pandangan teori evolusi yang mendominasi bagaimana manusia
memahami dirinya sendiri. Dalam oandangan hidup yang modern, rasional, dan sangat
mengandalkan sains, ternyata sangatlah sulit untuk menemukan makna (meaning) dan
tujuan (purpose) dari semua proses perkembangan alam semesta dan evolusi makhluk
hidup.

Berikut ini akan dipaparkan dengan singkat tentang berbagai gejala problematik di
dunia modern yang memiliki kesalingterkaitan kuat dengan meaninglessness atau
ketakbermaknaan yang menyelimuti dunia modern.

ENLIGHTENMENT

Dalam dunia modern, salah satu kebanggan terbesar menusia terletak pada
adanya persepsi tentang kemajuan (progress) yang berkelanjutan, yang merupakan
hasil kerja keras manusia itu sendiri. Ada sebuah keyakinan diri bahwa manusia
mampu mengarahkan dan mentransformasi hidupnya sediri dengan kemampuannya
sendiri. Progress yang berkelanjutan ini diyakini akan membuat hidup manusia
makin baik di berbagai bidang kehidupan, dan ada janji akan hari esok yang bahkan
semakin baik, bilamana progress ini dapat terus dilanjutkan. Pandangan bahwa
manusia harus mengandalkan dirinya sendiri dan mendayagunakan akal budinya
secara maksimal dalam menghadapi segala persoalan dunia dan mentransformasi diri
adalah pandangan manusia modern yang bermula pada masa Enlightenment
(pencerahan). Pencerahan diartikulasikan oleh seorang filsuf terkemuka di abad ke-
18, yaitu Immanuel Kant (Kant, I., 1992). Ia memiliki visi yang mewakili semangat
zamannya, semangat yang akan terus bergaung hingga masa kini.

Kant mengatakan bahwa sudah waktunya manusia berani menggunakan akal


budinya dan bersandar pada kemampuannya sendiri, serta tidak lagi
menggantungkan hidupnya pada otoritas lain selain dirinya sendiri. Semangat
pencerahan ini mengubah total pandangan manusia tentang dunia, tentang alam
semesta, dan bahkan tentang dirinya sendiri, entah baik atau buruk. Melalui gerakan
yang terinspirasi ole ide tentang pencerahan, manusia membebaskan dirinya,
sekaligus meletakkan seluruh tanggung jawab tentang hidupnya dan dunianya pada
dirinya sendiri.

DUALISM DAN SELF-SUFFICIENCY

Semangat enlightenment ini menegaskan kembali dan memperkuat pandangan


self-sufficiency (kemandirian) yang sudah mulai mengemuka sejak masa pendahulu
Kant, yaitu Rene Descartes (Descartes, R., 1960). Self-sufficiency adalah pandangan
yang mengatakan bahwa kita dapat mengamati, mempelajari, dan memahami setiap
objek yang dapat kita pikirkan sebagai objek yang berdiri pada dirinya sendiri, tidak
terkait dengan objek lain. Menurut Descartes menjadi mungkin untuk bersikap dan
berpikir dengan sepenuhnya objektif, karena setiap objek memiliki posisinya dan
propertinya sendiri yang mandiri, tidak berkaitan ataupun bergantung pada objek
lain, bahkan dapat di pisahkan dari subjek yang memikirkannya.

Dalam self-sufficiency paradigm terkandung dualism, yaitu pemisahan subjek


yang berpikir dan objek yang dipikirkan. Descartes sampai pada kesimpulan ini
karena ia meletakkan cagito (berpikir) sebagai fondasi dan titik mula kemungkinan
kita untuk memahami segala sesuatu, sebagaimana terungkap dalam semboyannya
yang terkenal, “cagito ergo sum” (saya berpikir maka saya ada).

LEVELLING DOWN ATAU BANALIZATION

Penekanan pada cagito yaitu penghargaan yang tinggi pada kemampuan berpikir
serta memandang bahwa ide, konsep, atau teori lebih bernilai dan lebih penting
daripada realitas yang konkret membawa dampak lain, yaitu gejala yang disebut
Kierkegaard (Kierkegaard, S., 1962) sebagai leveling down atau banalization.
Leveling down bermula dari kenyataan bahwa di alam wacana, di alam konseptual,
segala sesuatu kehilangan makna dan kualitas signifikannya yang konkret. Ada
jurang yang memisahkan kualitas signifikansi sesuatu yang konkret dialami, dengan
konsep/wacana yang kita bentuk tentang hal itu.

Pada masa modern yang mementingkan akumulasi pengetahuan dan pengayaan


wacana, seorang pribadi kadang lupa atau bahkan tak sadar akan adanya jurang
perbedaan itu, dan berpuas diri ketika merasa dirinya memiliki pengetahuan yang
canggih tentang sesuatu tanpa pernah punya pengalaman konkret akan sesuatu itu.
Kondisi inilah yang mengarahan pada leveling down, yaitu ketika seseorang tidak
lagi menunjukkan kualitas signifikan yang sesungguhnya dan berpuas diri dengan
hanya memahaminya di level wacana. Dalam kondisi leveling down kualitas
signifikan dan makan sejati menjadi pudar, dangkal, dan digantikan dengan lapisan-
lapisan wacana yang menutupi dan menguburnya dari permukaan. Saat banyak sekali
area di kehidupan modern yang terjangkit gejala leveling down ini, maka hidup jadi
kehilangan banyak sekali kualitas signifikannya, banyak sekali kehilangan
maknanya.

ANTHROPOCENTRICISM

Pada saat yang sama, dengan penekanan yang kuat pada self-sufficiency (dualism),
wacana serta semangat enlightenment untuk menjadi otoritas bagi diri sendiri,
manusia yang sekarang dapat dipikirkan terpisah dari objek-objek lain dalam realitas
mendapat posisi yang paling sentral, menjadi objek pemikiran yang paling hangat
untuk diwacanakan, dan memperoleh kebebasan yang besar untuk selalu ditafsirkan
kembali oleh pemikiran manusia.

Kebebasan itu memberikan pilihan yang hampir tiada batasnya bagi manusia
untuk menafsirkan dan mendefinisikan siapa dirinya, sesuai pemikirannya.
Seseorang tidak lagi harus menerima saja pada kondisi-kondisi yang terberi,
misalnya asal-usulnya, silsilah orangtuanya, kondisi lingkungannya, dst; melainkan
dapat menentukan bagi dirinya sendiri tentang siapa dirinya. Ada suatu permenungan
intelektual tentang self, diri, aku; suatu perenungan yang di masa sebelumnya tidak
pernah terjadi secara massive seperti di masa modern (Taylor, C., 1989).

Diri (self) menjadi objek pemikiran yang sangat penting, dan ada semacam
preokupasi dan kegelisahan pada manusia modern untuk senantiasa berpikir tentang
dirinya, senantiasa berupaya merombak dan mengubah dirinya untuk menjadi pribadi
yang makin baik, dan memandang sangat tinggi kebebasan diri dan kebebasan dalam
menentukan sikap akan segala sesuatu dengan menjadikan diri sebagai acuan utama.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia, manusia menjadikan dirinya
sendiri sebagai sasaran utama, manusia ingin senantiasa “menciptakan” kembali
dirinya sendiri dengan kebebasannya (self-made-man). Gejala self-focused orang
modern dalam memandang dirinya sendiri sebagai objek terpenting dan titik acuan
utama dalam menyikapi sesuatu dan mengambil keputusan di sebut
anthropocentricism (antroposentrisme) sebuah gejala lain dari modernitas.

GROUNDLESSNESS

Dampak lain dari kebebasan bagi tiap-tiap pribadi untuk menentukan sikap dan
berpikir bagi dirinya sendiri tentang segala sesuatu adalah munculnya relativitas
kebenaran. Tidak ada kebenaran yang dihasilkan pemikiran manusia, yang dapar
mengklaim dirinya sendiri sebagai kebenaran yang sejati, karena orang lain tentu saja
berhak memiliki versi kebenaran yang berbeda. Tidak ada lagi kebenaran yang
mutlak yang dapat dijadikan dasar dalam menentukan pilihan-pilihan, khususnya
pilihan-pilihan eksistensial dalam hidup. Setiap pilihan adalah relative dan dapat
dikatakan sama baiknya dengan pilihan lainnya. Kebenaran versi saya tidaklah
mutlak, sebagaimana kebenarannya (orang lain) juga tidak mutlak. Tidak ada lagi
yang mutlak. Tidak ada lagi sumber kebenaran dan kepastian; yang ada hanyalah
interpretasi-interpretasi yang beraneka ragam tentang kebenaran. Dengan demikian,
nyatalah bahwa kebebasan ternyata membawa manusia pada kondisi groundlessness
(ketiadaan dasar yang mutlak) bagi manusia dalam mengambil pilihan bagi
kehidupannya terutama saat seseorang berhadapan dengan pilihan-pilihan yang
paling mendasar dalam hidup, yaitu pilihan-pilihan eksistensial.

FLEEING TO THE ONE

Ketiadaan kebenaran yang dapat dipegang, yang dapat dijadikan pijakan yang pasti,
membawa konsekuensi yang besar: kondisi itu menempatkan manusia modern pada
kondisi yang gamang dan menakutkan. Bila tidak ada yang sungguh-sungguh benar,
bila satu pilihan sama nilainnya dengan pilihan yang lain, pa maknanya pilihan yang
harus saya lakukan? Barangkali memilih secara acak, sembarangan, tidak lebih buruk
daripada memilih dengan sungguh-sungguh, karena semua sama saja. Menjalani
hidup secara acak, tanpa dipikirkan, barangkali tidak lebih buruk daripada menjalani
hidup dengan sebaik mungkin.

Pada saat gamang itu, manusia modern menjadi rentan untuk bersembunyi.
Bersembunyi dari kewajiban untuk menjalani hidup yang autentik, ketika
kemungkinan itu kelihatannya begitu memudar. Dan tempat bersembunyi yang
paling nyaman adalah dengan bersembunyi pada suara orang banyak dan
mengabaikan pertanyaan suara hari yang senantiasa mengganggu. Heidegger
mengacu pada Kierkegaard menyebut suara orang banyak itu the one (Kierkegaard’s
das man) (Dreyfus, H.L., 1991). Suara orang banyak member makna dan arah yang
semu pada hidup kita. Kita tidak usah repot berpikir tentang apa makna hidup ini dan
apa tujuan hidup saya, melainkan cukup mengikuti apa yang dipandang baik oleh the
one (orang banyak). Misalnya: suara orang banyak mengatakan bahwa manusia itu
hendaknya hidup dengan sedemikian rupa untuk memperoleh kesuksesan.
Kesuksesan adalah tujuan hidup yang hendaknya menjadi tujuan hidup semua orang.

Pribadi yang tunduk pada suara orang banyak ini akan menganggap bahwa tujuan
hidup nya adalah untuk menjadi sukses, dan ia akan menilai apakah hidupnya
bermakna atau tidak dari sejauh mana ia memperoleh kesuksesan. Contoh lain: suara
the one pada masa modern ini mengatakan bahwa esensi dari manusia adalah sumber
daya (resources) (Heidegger, M., 1954), dan kebanyakan orang akan setuju begitu
saja pada suara orang banyak ini, bahwa manusia adalah sumber daya dan bahkan
dengan senang hati ia memandang dirinya sendiri sebagai sumber daya. Apa
konsekuensinya ketika manusia dipandang sebagai sumber daya? Setiap sumber daya
dituntut untuk menjadi efesien, produktif, menghasilkan manfaat sebesar mungkin
dengan cost atau biaya atau pengorbanan sekecil mungkin; semisal sumber daya
listrik yang baik adalah dapat memberikan manfaat yang besar dengan cost sekecil
mungkin; dan akan selalu diupayakan teknologi baru untuk meningkatkan efisiensi,
untuk meningkatkan kemanfaatan sumber daya llistrik itu sebaik mungkin. Ketika
manusia dipandang atau memandang dirinya sendiri sebagai sumber daya, maka
nilainya sebagai manusia akan dilihat dari apakah ia bermanfaat atau tidak, apakah ia
produktif atau tidak, apakah ia telah menggunakan potensi dirinya sebaik mungkin?
Bilamana seseorang dianggap sebagai sumber daya yang unggul, yang produktif dan
memberikan manfaat yang besar, yang telat menggunakan seluruh potensi dirinya,
manusia itu bernilai; bila tidak, ia akan dianggap sebagai beban dan tak bernilai.
Mungkin begitu saja suara the one berarti menjalani keberadaan yang tidak autentik.
Dan keberadaan yang tidak autentik adalah jauh dari hidup yang bermakna.

DESACRALISATION

Berbagai gejala problematik dunia modern itu telah membuat hidup yang bermakna
menjadi makin sulit untuk diraih; bahkan lebih jauh lagi, mengarah pada
desacralisation (Lacocque, P.E., 1982), yaitu pemudaran dan pendangkalan makna
yang sakral menjadi maka yang taraf nya manusiawi. Manusia modern, yang
memandang dirinya sendiri sebagai pemegang otoritas bagi hidupnya sendiri, sulit
untuk menserap adanya kekuatan lain yang upaya pengaruh besar terhadap
keberadaannya. Bilamana ia bersedia mengakui ada kekuatan lain yang bisa jadi
lebih besar daripada dirinya sendiri, yang ada di luar kemampuan akan budinya
untuk dipahami, hal itu akan bertentangan dengan project enlightenment yang
didambakannya. Oleh karena itu, ada ketegantungan pada manusia modern untuk
mencurigai segala sesuatu yang dianggap sakral yaitu yang dianggap melampaui atau
diatas taraf manusiawi dan mendjadi pusat/penentu utama melebihi si manusia itu
sendiri dan ia akan berusaha merasionalisasi (downgrading) kesakralan itu supaya
sesuai dengan batas kemampuan berpikirnya, serta meletakkan dasar pemikiran logis
yang baru untuk menggantikan dasar mula yang berada di luar pemahamannya,
supaya tetap dirinya sendiri yang menjadi pusat.

Anda mungkin juga menyukai