Anda di halaman 1dari 8

RINGKASAN PEMBELAJARAN MATA KULIAH PENGANTAR FILSAFAT

UNTUK UJIAN MID SEMESTER GANJIL

BAB II
“MENUJU SISTEM FILSAFAT: SOKRATES, PLATO DAN ARISTOTELES”
Dalam bab ini pemikiran tiga filsuf besar Yunani kuno hendak disajikan. Mereka adalah
Sokrates, Plato dan Aristoteles. Sejarah ilmu filsafat biasanya membedakan dua periode filsafat
Yunani Kuno, yaitu “Filsafat masa pra-Soktrates” dan “Filsafat sejak Sokrates”. Artinya,
Sokrates menjadi titik-rujukan untuk periodisasi sejarah filsafat Yunani.
Sejak Sokrates, para filsuf Yunani secara definitif (pasti) memperluas wilayah filsafat
dari diskusi mengenai alam semesta (kosmologi) kepada problem tentang pengetahuan dan
kebenaran universal. Apakah rasio mampu mencapai pengetahuan yang universal?
A. Sokrates dan Dialektika
Sokrates lahir di Athena pada tahun 470 SM. Pada waktu pusat kebudayaan Yunani
mencapai masa keemasan. Karena ingin membela keadilan dengan aliran filsafatnya, ia harus
mengalami nasib tragis, yaitu ia dihukum dan dieksekusi mati pada tahun 399 SM dengan
meminum semangkuk racun. Sokrates dituduh meracuni jiwa kaum muda dengan ajaran-ajaran
yang menyimpang dari tradisi-tradisi umum masyarakat. Walaupun ia merasa bahwa ia tidak
bersalah, ia tetap taat dengan hukum. Sokrates pun rela dieksekusi mati. Dengan demikian, salah
satu jalan untuk memahami filsafat Sokrates ialah membandingkannya dengan kaum Sofis.
Kaum Sofis
Apa perbedaan Sokrates dan kaum Sofis? Siapakah kaum Sofis itu? Kata Sofis
berasal dari bahasa Yunani sophistes yang berarti orang bijaksana atau orang yang
mempunyai keahlian dalam bidang tertentu. Dalam abad ke-5 SM, nama itu dipakai dalam arti
sarjana atau cendekiawan. Tetapi, sejak abad ke-4 SM nama tersebut menunjuk pada guru-
guru yang berkeliling dari tempat ke tempat terutama untuk mengajar kaum muda. Beberapa
kalangan Sophistes yang terkenal ialah, Protagoras dari Abdera, di Thrace, Gorgias dari
Leontini di Sisilia Selatan, dan Hippias dari Elis. Mereka datang dari luar Athena, memiliki
pandangan yang luas dan segar, serta gemar mempertanyakan tradisi dan hukum yang berlaku
di Athena. Apa yang membedakan sophistes dan philosophos? Kaum sofis mengakui
bahwa mereka telah mendapatkan atau memiliki kebijaksanaan, sedangkan para filsuf terus
menerus mencari kebijaksanaan itu. Artinya, para filsuf (Sokrates) bukan seorang yang
memiliki kebijaksanaan seperti para kaum Sofis, tetapi mereka lebih merupakan seorang
pencinta kebijaksanaan.
Kaum Sofis terkenal karena 3 hal:
1. Memiliki kemampuan ber-retorika. Mereka mempelajari kesusasteraan dengan cermat,
serta melatih diri sungguh-sungguh sampai menguasai teknik-teknik berdebat dengan
persuasi.
2. Menganut skeptisisme. Mereka berpegang pada pandangan bahwa pikiran manusia tidak
mampu mencapai pengetahuan yang pasti, definitif dan universal.
3. Konsekuensinya, tidak ada kebenaran yang berlaku umum (universal). Sebab, apa yang
benar tergantung pada argumen perdebatan dan persuasi. Inilah relativisme moral yang
dianut kaum Sofis. Relativisme juga merujuk pada keyakinan bahwa masing-masing
budaya memiliki nilai kebenaran menurut tradisinya. Jadi, tidak ada nilai moral universal.
Jiwa sebagai dasar
Untuk mengatasi relativisme dan skeptisisme kaum Sofis, dibutuhkan dasar yang
kokoh bagi pengetahuan. Apakah dasar yang kokoh itu? Sokrates tidak seperti kaum Sofis
yang cenderung menghancurkan argument lawan. Ia membangun dialog dengan bertitik-tolak
dari argument lawan bicaranya menuju pengetahuan dan kebenaran. Jadi, dialog atau
dialektika yang dikembangkan oleh Sokrates bertujuan untuk menciptakan konsep-konsep
tentang kebenaran dan kebaikan.
Menurut sokrates, untuk mengatasi relativisme dan skeptisisme kaum Sofis, dibutuhkan
dasar yang kokoh bagi pengetahuan. Dasar itu ditemukan Sokrates bukan dalam realitas alam
semesta diluar manusia, tetapi justru di dalam diri manusia sendiri. Untuk menjelaskan
aktivitas internal tersebut, Sokrates menciptakan konsep jiwa atau psykhe. Sebab,
menurutnya, jiwa tidak merupakan kekuatan kodrati tertentu; tidak pula suatu substansi. Jiwa
lebih merupakan kapasitas untuk aktivitas intelegensi dan watak. Hanya dengan jiwa yang
diperhatikan dan dipelihara, seseorang dapat mengetahui perbedaan antara kenyataan dengan
ilusi, dan membangun hidupnya atas dasar pengetahuan yang benar tentang kehidupan.
Dengan demikian, Sokrates yakin bahwa konsepnya tentang jiwa dan aktivitasnya
memungkinkan manusia untuk mencapai pengetahuan yang dapat dicapai sebagai dasar
moralitas.
Dialektika

Bagaimana jiwa mendapatkan pengetahuan? Menurut Sokrates, cara yang paling pasti
untuk mencapai pengetahuan yang dapat dipercaya ialah melalui praksis percakapan. Metode
ini disebut dialektika. Sokrates percaya bahwa, melalui proses dialog, setiap partisipan
dibantu untuk menjelaskan ide-idenya, dan bergerak menuju hasil akhir berupa definisi yang
jelas tentang apa yang dimaksudkan pada awal dialog. Praktek ini sederhana, namun sering
kali mengandung ironi (eironeia) yang menyebabkan perasaan kurang enak. Dalam dialog
berjudul Euthyphro. Misalnya, Sokrates berlagak tidak mengerti banyak hal agar memancing
lawan bicaranya mengungkapkan segala pengetahuan yang dimilikinya. Dalam praktek
dialektikanya, Sokrates bertindak bagaikan seorang bidan yang membedah rahim intelektual
agar melahirkan pengetahuan yang tertinggi. Karena itu praktek ini disebut juga ilmu
kebidanan intelektual (maieutike tekhne=seni kebidanan).

Suatu contoh yang baik bagaimana Sokrates menerapkan konsep Dialektikanya ini
terdapat dalam dialog Euthypro (percakapannya dengan seorang yang bernama Euthypro)
yang direkam oleh Plato. Dialog ini terjadi di depan istana raja Arkhon. Di sana, ia menunggu
dengan penuh harapan agar bertemu dengan orang yang telah menuduhnya bersikap tidak
hormat terhadap para dewa (impiety).
Definisi

Apa tujuan praktik dialog Sokrates? Sokrates menggunakan metode dialektika dalam
rangka merumuskan apa yang disebut “Definisi”. Menurut Sokrates, definisi mengungkapkan
pikiran atau konsep yang jelas dan teguh. Konsep itu melandasi lapisan realitas yang berubah-
ubah. Sokrates yakin bahwa meskipun lapisan peristiwa-peristiwa dan benda-benda terus-
menerus berubah, tetapi harus terdapat sesuatu yang sama (katakanlah ‘factor x’) yang
merajut semua peristiwa atau realitas tersebut. ‘Faktor x’ itu tak berubah, tidak pernah
lenyap, dan merupakan definisi atau hakikatnya. Hakikat itulah yang sebetulnya Sokrates
harapkan diungkapkan oleh Euthypro. Sokrates berkeyakinan juga bahwa, Jiwa (akal budi)
secara sadar dan serentak dapat berpikir tentang dua jenis objek, mis: (a) bunga mawar yang
indah dan (b) ide keindahan yang ditangkap oleh pikiran. Menyusun definisi tidak lain dari
proses di mana pikiran berupaya membedakan secara jelas apa yang bersifat particular
(bunga yang indah tertentu) dan apa yang bersifat universal (ide keindahan yang
padanya objek particular berpartisipasi). Jadi, ide universal dapat dicapai melalui proses
yang berangkat dari objek-objek particular (disebut dengan gaya “induksi”).

Dengan itu, pengetahuan yang sejati pun harus dihubungkan dengan kekuatan rasio untuk
menemukan hakikat realitas (elemen pemersatu yang tetap) sesudah objek empiris lenyap.
Atas cara yang sama, Sokrates berpendapat, kita pun dapat merumuskan konsep keadilan,
kebaikan, kebenaran meskipun terdapat perbedaan-perbedaan budaya dan situasi aktual.

B. Plato dan Dunia Ide

Plato lahir di Athena pada tahun 428/27 SM, ketika Sokrates berumur 42 tahun. Keluarga
Plato termasuk salah satu keluarga yang terkemuka. Jadi, tak mengherankan jika sejak berusia
muda Plato mendapatkan pendidikan yang baik, termasuk dalam bidang seni, politik dan
filsafat. Satu-satunya hal yang ia dapat pastikan ialah metode dialektika (cara berfilsafat
Sokrates) sebagai cara yang paling tepat untuk memperoleh pengetahuan. Kehidupan dan cara
tersebut menjadi contoh bagi Plato.

Matematika sebagai Model

Plato bertitik-tolak dari realitas seperti yang dicerap oleh pancaindera, yaitu realitas yang
berubah-ubah. Tetapi ia bergerak melampau realitas inderawi. Ia percaya bahwa dibalik
realitas dunia yang dapat dicerap oleh pancaindera, terbentang lapisan dunia lain yang dapat
ditangkap hanya oleh rasio. Dunia atau realitas di balik alam fisik itu ialah “dunia pemikiran”
atau “dunia ide-ide”. Menurut Plato, dunia fisik memungkinkan adanya ilmu pengetahuan
alam. Tetapi untuk mengerti apa yang diselidiki oleh ilmu pengetahuan alam, intelek perlu
memahami matematika. Mengapa? Karena agar mampu memahami “perilaku” objek-objek
fisik secara keseluruhan, intelek perlu menemukan prinsip-prinsip universal. Sebab, menurut
hakikatnya, matematika tidak terikat pada objek-objek particular, karena coraknya sebagai
konsep yang universal dan objektif. Secara tak terhindarkan, matematika membimbing Plato
menuju filsafat.

Apakah dunia ide itu bereksistensi (ada) secara riil? Tentu saja Plato perlu
menjelaskan bahwa, bukan dunia inderawi melainkan dunia ide-ide yang merupakan realitas
yang paling riil. (mis. Ide dua buah mangga tak terubahkan dan tidak dibatasi oleh ruang dan
waktu, meskipun dua buah mangga telah habis dimakan). karena itu, orang mengira bahwa
dunia yang disajikan oleh pacaindera merupakan pengetahuan yang sejati. Padahal
pengetahuan yang sejati (episteme) baru diperoleh kalau dunia ide-ide menjadi
objeknya; sedangkan dunia inderawi hanya menghasilkan pendapat atau pendirian
(doxa).

Dengan memiliki pandangan yang searah dengan Sokrates, Plato pun menolak
relativisme moral kaum Sofis. Plato yakin bahwa teori pengetahuan yang ia kemukakan dapat
menjadi dasar untuk menjembatani filsafat dan etika. Karena, pengetahuan yang benar tentang
hakikat realitas dengan sendirinya membantu pengenalan yang benar tentang hakikat kodrat
manusia. Selanjutnya, pengetahuan tentang kodrat manusia menentukan cara berperilaku yang
benar. Oleh karena itu, Plato menyatakan dimensi tingkah laku manusia yang terdiri atas : (1)
tingkah laku pertama-tama bersifat personal, tetapi juga (2) terkait dengan sesama
manusia, dan (3) mengandung tujuan akhir tertentu.

Dualisme Platonis

Teori ini dijelaskan dalam mitos tentang para tahan di dalam gua. Katanya, realitas harus
dibedakan atas “dunia yang gelap” (simbolisme gua) dan “dunia yang terang” (simbolisme
terang matahari). Intinya, menurut Plato: realitas yang dicerap oleh pancaindera atau realitas
inderawi bukanlah realitas yang sejati. Realitas yang sejati ialah realitas ide-ide.
Konsekuensinya, pengetahuan yang sejati harus menjadikan ide-ide sebagai objeknya.

Pengetahuan ini dapat dicapai dengan rasio. Dalam menolak pandangan kaum Sofis yang
bersifat relative atau berdasarkan pandangan-pandangan dunia indrawi, menurut Plato,
pengetahuan tentang ide-ide dapat melawan pandangan tersebut sebab, dunia ide lebih bersifat
objektif dan mutlak serta ide-ide itu sendiri tak terubahkan dan begitu pasti. Dalam konsep
itu, pendidikan berfungsi untuk mengantar peserta didik berbalik dari “dunia bayang-bayang”
yang gelap kepada “dunia terang” atau dunia ide-ide. Pendidikan merupakan proses
mencari pengetahuan yang sejati, yaitu suatu “pertobatan” atau pemutarbalikan
pengetahuan dari dunia yang tampak (appearance) kepada realitas sejati (reality).
Pengetahuan sejati, menurut perumpamaan tentang gua tadi, hanya dapat dicapai oleh mereka
yang melepaskan diri dari pengetahuan inderawi yang menyesatkan. Dalam mitos tahanan
dalam gua, tahanan yang terlepas dan menemukan pengetahuan yang sejati melambangkan
mereka yang berhasil mencapai pengetahuan yang sejati itu. Mereka itu adalah para filsuf.
Sebagaimana yang terjadi dalam mitos tersebut, para filsuf pun tidak akan dipercaya
orang.

Ajaran Plato tentang Ide dan Forma

Ajaran ini merupakan sumbangan filosofis terbesar Plato. Apa hakikat dari ide-ide itu?
Menurut hakikatnya, ide-ide bersifat tak berubah, kekal dan tidak bermateri. Ide merupakan
pola yang darinya objek-objek kelihatan mendapatkan bentuknya yang lahiriah. (mis. semua
segitiga hanyalah bayangan dari ide segitiga).

Apa sesungguhnya ide-ide itu? Ide-ide tak lain dari pola-pola yang bersifat kekal
(tetap), yang darinya objek-objek inderawi mendapatkan wujudnya. Dalam dialog
Symposion, Plato mengemukakan bahwa dalam kehidupan sehari-hari kita pertama mengerti
“keindahan” pada objek particular tertentu. Tetapi kemudian intelek segera membayangkan
suatu ide keindahan yang universal. Pada ide itu semua keindahan dari objek-objek lain
berpartisipasi. Dengan kata lain, objek-objek yang indah bervariasi dan menjemuk, menunjuk
pada suatu ide keindahan. Tetapi, ide keindahan bukan semata-mata suatu konsep. Ide
keindahan merupakan realitas objektif. Karena ide keindahan itu objek-objek dapat menjadi
indah; tetapi, ide keindahan selalu adalah indah. Kosenkuensinya, ide keindahan memiliki
eksistensi yang terpisah dari objek-objek yang indah. Sedangkan dalam dialog Politeia, Plato
menunjukkan bahwa seorang filsuf yang sejati harus berusaha memiliki pengetahuan tentang
hakikat objek-objek inderawi. Kalau ia bertanya apa itu keadilan dan keindahan, tidak
dimaksudkan hanya beberapa contoh dari tindakan adil dan objek yang indah. Ia ingin
mengetahui apa yang membuat suatu tindakan adil disebut adil dan sebuah rumah yang indah
disebut indah. Perbedaan antara opini dan pengetahuan terletak di sini. Orang yang berada
pada tataran opini dapat mengenal hanya tindakan adil, tetapi tidak mengetahui hakikat
keadilan, yang darinya tindakan adil particular berpartisipasi. Pengetahuan selalu berpusat
pada being (yang ada), yaitu esensi (inti, hal pokok, hakikat) dari segala yang ada. Itulah
ide-ide atau forma realitas yang menjadi arketipe (dasar) dari segala sesuatu,
berksistensi secara kekal, dan hanya dapat ditangkap oleh intelek, tidak oleh
pancaindera.

Dimanakah dunia ide-ide itu bereksistensi? Plato hanya mengatakan secara tegas dan
jelas bahwa ide-ide “terpisah” dari benda-benda konkrit (yang kita cerap). Karena itu,
meskipun objek-objek itu lenyap, ide tetap bertahan. Dalam dua konteks yang sama: (1) Plato
menghubungkan jiwa manusia dengan ide-ide. Katanya, jiwa manusia sama kekalnya dengan
ide-ide. (2) Dalam proses penciptaan, Dermigue atau Tuhan mengenakan forma kepada alam
semesta, sehingga terjadi kosmos dengan susunan benda-benda secara tertib. Jadi, eksistensi
“dunia ide” mendahului eksistensi “dunia inderawi” dalam arti kosmos. Agaknya, dunia
ide-ide sudah lebih dahulu bereksistensi dalam “intelek sang pencipta” secara abadi.
Bagaimana menjelaskan hubungan antara suatu ide dengan benda atau forma? (a)
ide merupakan penyebab (causa) dari esensi benda particular (b) benda-benda (forma)
particular berpartisipasi dalam dunia ide-ide (c) benda-benda (forma) particular merupakan
bayangan atau gambaran dari ide.

Bagaimana hubungan antara ide-ide dapat dimengerti? Plato mengandaikan hal itu
dengan sebuah “Percakapan” dan “pertalian ide-ide”. Percakapan dalam kehidupan sehari-hari
dapat terjadi karena ide-ide saling bertalian. (mis. Berbicara tentang Hitam-cantik-orang).
Percakapan ini merujuk pada Ide yang bersatu. Kesatuan ide-ide ini membuat hubungan antar
ide-ide dapat dimengerti. Sebaliknya, apabila salah satu pembicaraan tersebut dihilangkan,
maka hubungan dari percakapan antar ide-ide itu menjadi rancu dan tak mungkin dimengerti.

Bagaimana ide-ide itu dapat diketahui/dikenali? Menurut Plato, sekurang-kurangnya


ada tiga cara intelek untuk dapat mengenal ide-ide: (1) melalui “Rekoleksi”. Dengan bantuan
penerapan inderawi dalam kehidupan sehari-hari, jiwa mengingat atau merekoleksikan ide-
ide yang sudah pernah dikenalnya. Karena itu, belajar tak lain dari proses mengingat
kembali (2) melalui dilalektika seseorang dapat sampai pada pengetahuan dasar tentang ide-
ide. Ide dicapai melalui proses abstraksi yang melampaui sekadar pencerap inderawi.
(3) melalui daya keinginan cinta (eros): dapat memimpin seseorang tahap demi tahap
(dalam dialog symposion) untuk mencapai ide yang kekal dan sempurna.

C. Aristoteles dan Metafisika


Aristoteles (384-322 SM) lahir di Stageira, sebuah kota kecil di Yunani Utara. Ketika
berumur 17 atau 18 tahun, ia pergi ke Athena dan masuk Akademia yang dipimpim oleh Plato.
Disana ia terkenal sebagai pembaca dan pemikir yang serius. Secara mendasar ia dipengaruhi
oleh pribadi dan filsafat Plato. Secara istimewa, ia tertarik pada konsep Plato tentang Forma,
meskipun kelak ia mengkritik dan merintis jalannya sendiri. Menurutnya, Semakin suatu ilmu
tidak tergantung pada ilmu yang lain, tingkatan ilmu independen ilmu itu semakin tinggi.
Ilmu yang paling tinggi kedudukannya ialah, ilmu yang berbicara tentang penyebab
utama dari segala sesuatu. Selain ilmu-ilmu itu (fisika, etika, politik dan estetika), Aristoteles
mengatakan bahwa masih terdapat lagi suatu ilmu yang lain, yaitu “filsafat pertama”, atau
yang di zaman sekarang dikenal sebagai “Metafisika”. Objek “filsafat pertama” melampaui
objek semua ilmu yang lain, yakni being atau pengada.

Substansi sebagai Esensi Realitas


Aristoteles mengenal sejumlah kategori seperti kualitas dan kuantitas. Tetapi, menurutnya,
sesuatu dapat diketahui dengan lebih baik kalau orang mengetahui hakikatnya (what it is) dan
bukan hanya warna dan ukuran. (mis. Mengenal si A, B, C, D secara unik yang di dalamnya
terkandung bebagai kualitas=tinggi, pendek, hitam, dan putih; menyatu dalam suatu kesatuan
“manusia”). Pertanyaannya apa yang menyebabkan individu-individu tersebut disebut
“manusia”? Yaitu, “substansi”.
Bagaimana sesungguhnya esensi yang universal dapat dihubungkan dengan benda-
benda particular? Aristoteles tidak menyangkal bahwa kualitas-kualitas tersebut juga
memiliki eksistensi riil. Di balik kualitas-kualitas itu terletak apa yang membuatnya disebut
“manusia”, yaitu esensinya. Tanpa esensi, kualitas-kualitas sulit dimengerti. Dengan kata lain,
harus terdapat sesuatu yang universal pada setiap orang, sehingga di mana pun dan kapan pun
ia dapat disebut “manusia”. Dalam arti ini, esensi atau substansi memang harus independen
(tidak bergantung) terhadap kualitas-kualitas particular. Jadi yang ditekankan oleh
Aristoteles ialah, harus terdapat suatu “substare” (sub=di bawah, stare=berdiri. Yaitu,
yang berdiri di bawah) semua kualitas. Jadi, tentang suatu benda dapat membedakan
dua hal. Di satu pihak, terdapat himpunan kualitas-kualitas particular; dan di lain pihak,
terdapat suatu substratum yang padanya kualitas itu dikenakan.

Teori Hilemorfisme (bah. Yunani hyle=Materi, morphe=bentuk)


Apa yang menjadi substansi disebut substansi, materi atau forma? Meskipun
Aristoteles membedakan materi dari bentuk, ia tidak beranggapan bahwa materi dapat
ditemukan terpisah dari tanpa bentuk, atau pun sebaliknya bentuk tanpa materi. Segala sesuatu
secara konkret, setiap benda, objek atau manusia particular, merupakan satu kesatuan materi
dan bentuk (materia dan forma). Dengan demikian, Aristoteles menyatukan materia dan
forma dalam suatu “substansi atau esensi”.
Aristoteles berpendapat bahwa pandangan Plato tentang bentuk yang dapat bereksistensi
lepas dari dunia inderawi, tidak membantu orang untuk memiliki pengetahuan yang sejati
tentang benda-benda seperti yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Masalahnya, karena
ide-ide bersifat immaterial (tidak berbentuk). Bagaimana objek-objek inderawi dapat
dimengerti tanpa perantaraan ide-ide tersebut? Menurut Aristoteles, tidak pernah ada suatu
materi primer tanpa bentuk, Karena tidak terdapat materi tanpa bentuk, dan tidak ada bentuk
tanpa materi. Kemudian, muncul pertanyaan: Apa sesungguhnya hakikat atau perubahan
itu?

Proses perubahan: Empat “Penyebab (causa)”


Bagi Aristoteles, perubahan berarti suatu materi mengambil bentuk yang baru. mengenai
proses perubahan dapat dikemukakan empat pertanyaan: (1) apa yang berubah? (2) apa materi
dari hal yang berubah itu? (3) apa atau siapa yang menjadikan perubahan itu terjadi? (4) apa
tujuan perubahan tersebut? Maksud dari empat penyebab ini ialah, memberikan penjelasan
tentang bagaimana sesuatu dapat berubah menjadi sesuatu yang lain.
Secara teknis, Aristoteles menyebut keempaat penyebab itu sebagai: (1) penyebab forma
(2) penyebab material (3) penyebab efisien (4) penyebab final. Di sini, Aristoteles
memandang kehidupan dengan mata seorang ahli biologi. Menurutnya, alam itu hidup.
Segala sesuatu berada dalam gerak, yaitu dalam proses menjadi dan kemudian mati.
Baginya proses reproduksi merupakan contoh yang menjelaskan bagaimana sesuatu
yang hidup berubah dan menjadi sesuatu yang lain.
Potensialitas dan Aktualitas
Menurut Aristoteles segala sesuatu yang bersifat material dapat mengalami proses
perubahan. Karena setiap benda atau objek, juga manusia perorangan, mengandung dalam
dirinya kemungkinan untuk menjadi sesuatu yang lain. Secara kodrati segala sesuatu
mengandung kekuatan dinamis yang mengarah kepada “tujuan” tertentu. Dari antara itu
semua, ada yang bersifat imanen. Artinya, dinamika itu memiliki tujuan pada dirinya.
Aristoteles menyebut “tujuan” yang imanen ini “entelekhy”. Segala sesuatu mempunyai
dalam dirinya entelekhy.
Di sini, potensialitas berarti apa yang belum berkembang atau belum mencapai
kepenuhannya; sedangkan aktualitas berarti apa yang telah mencapai tahap perkembangan diri
secara penuh. Pembedaan ini digunakan Aristoteles untuk menjelaskan proses perubahan
dan pekembangan. (Mis. pertumbuhan Pohon). Dalam proses ini, kelihatan bahwa
potensialitas selalu terkandung dalam aktualitas tertentu (satu benih dipersemaikan dapat
bertumbuh atau mempunyai tujuan dalam diri atau mengandung potensialitas), dan berubah
menjadi aktualitas yang baru (menjadi pohon yang besar). Jadi, tidak terdapat potensialitas
murni. Pertanyaannya, apakah terdapat aktualitas murni, yaitu kondisi di mana tidak
terdapat lagi potensialitas? Aristoteles menjawab, perubahan dari potensialitas kepada
aktualitas diakibatkan oleh adanya gerak (motus). Karena itu, hanya dalam kondisi dimana
sesuatu sama sekali tidak memiliki kemungkinan digerakkan, maka disitulah terdapat
aktualitas murni tanpa kandungan potensialitas apapun. Apakah itu mungkin?
Pertanyaan ini dapat dijawab pada teori Aristoteles tentang “Penggerak-yang-tidak-
digerakkan”.
Penggerak-yang-tidak-digerakkan (the unmoved mover)
“Penggerak-yang-tidak-digerakkan” itu bersifat impersonal. Maksudnya, ia tidak
memiliki kesadaran dan kehendak tertentu dan tidak pula berpikir tentang tujuan particular
yang mau dicapai. Jadi, fakta perubahan harus mengandung implikasi (mempunyai hubungan)
tentang eksistensi sesuatu yang actual yaitu, suatu aktualitas yang sama sekali murni tanpa
campuran potensialitas. Bagaimana hal itu dicapai? Untuk mencapai itu, semua
potensialitas diaktualisasikan. Dalam konteks proses gerak yang menyeluruh inilah,
Aristoteles menempatkan “Penggerak-yang-tidak-digerakkan” sebagai prinsip penggerak
secara abadi. Atas cara itu, Aristoteles menjelaskan bahwa “Penggerak-yang-tidak-
digerakkan” selalu berada dalam keadaan bergerak atau beraktivitas secara abadi.
Konsekuensinya, tidak terdapat peristiwa penciptaan pada waktu tertentu. Sebab, “Penggerak-
yang-tidak-digerakkan” merupakan penyebab final yang menggerakkan “penyebab efisien”,
yaitu pelaku yang karena kekuatannya segala sesuatu mengaktualisasikan diri kearah
tujuan kodratinya.
Prinsip ini kelak akan dikembangkan oleh Thomas Aquinas dalam abad ke-13 dalam
upayanya untuk menjelaskan eksistensi Tuhan menurut teologi Kristen.

Anda mungkin juga menyukai