BAB II
“MENUJU SISTEM FILSAFAT: SOKRATES, PLATO DAN ARISTOTELES”
Dalam bab ini pemikiran tiga filsuf besar Yunani kuno hendak disajikan. Mereka adalah
Sokrates, Plato dan Aristoteles. Sejarah ilmu filsafat biasanya membedakan dua periode filsafat
Yunani Kuno, yaitu “Filsafat masa pra-Soktrates” dan “Filsafat sejak Sokrates”. Artinya,
Sokrates menjadi titik-rujukan untuk periodisasi sejarah filsafat Yunani.
Sejak Sokrates, para filsuf Yunani secara definitif (pasti) memperluas wilayah filsafat
dari diskusi mengenai alam semesta (kosmologi) kepada problem tentang pengetahuan dan
kebenaran universal. Apakah rasio mampu mencapai pengetahuan yang universal?
A. Sokrates dan Dialektika
Sokrates lahir di Athena pada tahun 470 SM. Pada waktu pusat kebudayaan Yunani
mencapai masa keemasan. Karena ingin membela keadilan dengan aliran filsafatnya, ia harus
mengalami nasib tragis, yaitu ia dihukum dan dieksekusi mati pada tahun 399 SM dengan
meminum semangkuk racun. Sokrates dituduh meracuni jiwa kaum muda dengan ajaran-ajaran
yang menyimpang dari tradisi-tradisi umum masyarakat. Walaupun ia merasa bahwa ia tidak
bersalah, ia tetap taat dengan hukum. Sokrates pun rela dieksekusi mati. Dengan demikian, salah
satu jalan untuk memahami filsafat Sokrates ialah membandingkannya dengan kaum Sofis.
Kaum Sofis
Apa perbedaan Sokrates dan kaum Sofis? Siapakah kaum Sofis itu? Kata Sofis
berasal dari bahasa Yunani sophistes yang berarti orang bijaksana atau orang yang
mempunyai keahlian dalam bidang tertentu. Dalam abad ke-5 SM, nama itu dipakai dalam arti
sarjana atau cendekiawan. Tetapi, sejak abad ke-4 SM nama tersebut menunjuk pada guru-
guru yang berkeliling dari tempat ke tempat terutama untuk mengajar kaum muda. Beberapa
kalangan Sophistes yang terkenal ialah, Protagoras dari Abdera, di Thrace, Gorgias dari
Leontini di Sisilia Selatan, dan Hippias dari Elis. Mereka datang dari luar Athena, memiliki
pandangan yang luas dan segar, serta gemar mempertanyakan tradisi dan hukum yang berlaku
di Athena. Apa yang membedakan sophistes dan philosophos? Kaum sofis mengakui
bahwa mereka telah mendapatkan atau memiliki kebijaksanaan, sedangkan para filsuf terus
menerus mencari kebijaksanaan itu. Artinya, para filsuf (Sokrates) bukan seorang yang
memiliki kebijaksanaan seperti para kaum Sofis, tetapi mereka lebih merupakan seorang
pencinta kebijaksanaan.
Kaum Sofis terkenal karena 3 hal:
1. Memiliki kemampuan ber-retorika. Mereka mempelajari kesusasteraan dengan cermat,
serta melatih diri sungguh-sungguh sampai menguasai teknik-teknik berdebat dengan
persuasi.
2. Menganut skeptisisme. Mereka berpegang pada pandangan bahwa pikiran manusia tidak
mampu mencapai pengetahuan yang pasti, definitif dan universal.
3. Konsekuensinya, tidak ada kebenaran yang berlaku umum (universal). Sebab, apa yang
benar tergantung pada argumen perdebatan dan persuasi. Inilah relativisme moral yang
dianut kaum Sofis. Relativisme juga merujuk pada keyakinan bahwa masing-masing
budaya memiliki nilai kebenaran menurut tradisinya. Jadi, tidak ada nilai moral universal.
Jiwa sebagai dasar
Untuk mengatasi relativisme dan skeptisisme kaum Sofis, dibutuhkan dasar yang
kokoh bagi pengetahuan. Apakah dasar yang kokoh itu? Sokrates tidak seperti kaum Sofis
yang cenderung menghancurkan argument lawan. Ia membangun dialog dengan bertitik-tolak
dari argument lawan bicaranya menuju pengetahuan dan kebenaran. Jadi, dialog atau
dialektika yang dikembangkan oleh Sokrates bertujuan untuk menciptakan konsep-konsep
tentang kebenaran dan kebaikan.
Menurut sokrates, untuk mengatasi relativisme dan skeptisisme kaum Sofis, dibutuhkan
dasar yang kokoh bagi pengetahuan. Dasar itu ditemukan Sokrates bukan dalam realitas alam
semesta diluar manusia, tetapi justru di dalam diri manusia sendiri. Untuk menjelaskan
aktivitas internal tersebut, Sokrates menciptakan konsep jiwa atau psykhe. Sebab,
menurutnya, jiwa tidak merupakan kekuatan kodrati tertentu; tidak pula suatu substansi. Jiwa
lebih merupakan kapasitas untuk aktivitas intelegensi dan watak. Hanya dengan jiwa yang
diperhatikan dan dipelihara, seseorang dapat mengetahui perbedaan antara kenyataan dengan
ilusi, dan membangun hidupnya atas dasar pengetahuan yang benar tentang kehidupan.
Dengan demikian, Sokrates yakin bahwa konsepnya tentang jiwa dan aktivitasnya
memungkinkan manusia untuk mencapai pengetahuan yang dapat dicapai sebagai dasar
moralitas.
Dialektika
Bagaimana jiwa mendapatkan pengetahuan? Menurut Sokrates, cara yang paling pasti
untuk mencapai pengetahuan yang dapat dipercaya ialah melalui praksis percakapan. Metode
ini disebut dialektika. Sokrates percaya bahwa, melalui proses dialog, setiap partisipan
dibantu untuk menjelaskan ide-idenya, dan bergerak menuju hasil akhir berupa definisi yang
jelas tentang apa yang dimaksudkan pada awal dialog. Praktek ini sederhana, namun sering
kali mengandung ironi (eironeia) yang menyebabkan perasaan kurang enak. Dalam dialog
berjudul Euthyphro. Misalnya, Sokrates berlagak tidak mengerti banyak hal agar memancing
lawan bicaranya mengungkapkan segala pengetahuan yang dimilikinya. Dalam praktek
dialektikanya, Sokrates bertindak bagaikan seorang bidan yang membedah rahim intelektual
agar melahirkan pengetahuan yang tertinggi. Karena itu praktek ini disebut juga ilmu
kebidanan intelektual (maieutike tekhne=seni kebidanan).
Suatu contoh yang baik bagaimana Sokrates menerapkan konsep Dialektikanya ini
terdapat dalam dialog Euthypro (percakapannya dengan seorang yang bernama Euthypro)
yang direkam oleh Plato. Dialog ini terjadi di depan istana raja Arkhon. Di sana, ia menunggu
dengan penuh harapan agar bertemu dengan orang yang telah menuduhnya bersikap tidak
hormat terhadap para dewa (impiety).
Definisi
Apa tujuan praktik dialog Sokrates? Sokrates menggunakan metode dialektika dalam
rangka merumuskan apa yang disebut “Definisi”. Menurut Sokrates, definisi mengungkapkan
pikiran atau konsep yang jelas dan teguh. Konsep itu melandasi lapisan realitas yang berubah-
ubah. Sokrates yakin bahwa meskipun lapisan peristiwa-peristiwa dan benda-benda terus-
menerus berubah, tetapi harus terdapat sesuatu yang sama (katakanlah ‘factor x’) yang
merajut semua peristiwa atau realitas tersebut. ‘Faktor x’ itu tak berubah, tidak pernah
lenyap, dan merupakan definisi atau hakikatnya. Hakikat itulah yang sebetulnya Sokrates
harapkan diungkapkan oleh Euthypro. Sokrates berkeyakinan juga bahwa, Jiwa (akal budi)
secara sadar dan serentak dapat berpikir tentang dua jenis objek, mis: (a) bunga mawar yang
indah dan (b) ide keindahan yang ditangkap oleh pikiran. Menyusun definisi tidak lain dari
proses di mana pikiran berupaya membedakan secara jelas apa yang bersifat particular
(bunga yang indah tertentu) dan apa yang bersifat universal (ide keindahan yang
padanya objek particular berpartisipasi). Jadi, ide universal dapat dicapai melalui proses
yang berangkat dari objek-objek particular (disebut dengan gaya “induksi”).
Dengan itu, pengetahuan yang sejati pun harus dihubungkan dengan kekuatan rasio untuk
menemukan hakikat realitas (elemen pemersatu yang tetap) sesudah objek empiris lenyap.
Atas cara yang sama, Sokrates berpendapat, kita pun dapat merumuskan konsep keadilan,
kebaikan, kebenaran meskipun terdapat perbedaan-perbedaan budaya dan situasi aktual.
Plato lahir di Athena pada tahun 428/27 SM, ketika Sokrates berumur 42 tahun. Keluarga
Plato termasuk salah satu keluarga yang terkemuka. Jadi, tak mengherankan jika sejak berusia
muda Plato mendapatkan pendidikan yang baik, termasuk dalam bidang seni, politik dan
filsafat. Satu-satunya hal yang ia dapat pastikan ialah metode dialektika (cara berfilsafat
Sokrates) sebagai cara yang paling tepat untuk memperoleh pengetahuan. Kehidupan dan cara
tersebut menjadi contoh bagi Plato.
Plato bertitik-tolak dari realitas seperti yang dicerap oleh pancaindera, yaitu realitas yang
berubah-ubah. Tetapi ia bergerak melampau realitas inderawi. Ia percaya bahwa dibalik
realitas dunia yang dapat dicerap oleh pancaindera, terbentang lapisan dunia lain yang dapat
ditangkap hanya oleh rasio. Dunia atau realitas di balik alam fisik itu ialah “dunia pemikiran”
atau “dunia ide-ide”. Menurut Plato, dunia fisik memungkinkan adanya ilmu pengetahuan
alam. Tetapi untuk mengerti apa yang diselidiki oleh ilmu pengetahuan alam, intelek perlu
memahami matematika. Mengapa? Karena agar mampu memahami “perilaku” objek-objek
fisik secara keseluruhan, intelek perlu menemukan prinsip-prinsip universal. Sebab, menurut
hakikatnya, matematika tidak terikat pada objek-objek particular, karena coraknya sebagai
konsep yang universal dan objektif. Secara tak terhindarkan, matematika membimbing Plato
menuju filsafat.
Apakah dunia ide itu bereksistensi (ada) secara riil? Tentu saja Plato perlu
menjelaskan bahwa, bukan dunia inderawi melainkan dunia ide-ide yang merupakan realitas
yang paling riil. (mis. Ide dua buah mangga tak terubahkan dan tidak dibatasi oleh ruang dan
waktu, meskipun dua buah mangga telah habis dimakan). karena itu, orang mengira bahwa
dunia yang disajikan oleh pacaindera merupakan pengetahuan yang sejati. Padahal
pengetahuan yang sejati (episteme) baru diperoleh kalau dunia ide-ide menjadi
objeknya; sedangkan dunia inderawi hanya menghasilkan pendapat atau pendirian
(doxa).
Dengan memiliki pandangan yang searah dengan Sokrates, Plato pun menolak
relativisme moral kaum Sofis. Plato yakin bahwa teori pengetahuan yang ia kemukakan dapat
menjadi dasar untuk menjembatani filsafat dan etika. Karena, pengetahuan yang benar tentang
hakikat realitas dengan sendirinya membantu pengenalan yang benar tentang hakikat kodrat
manusia. Selanjutnya, pengetahuan tentang kodrat manusia menentukan cara berperilaku yang
benar. Oleh karena itu, Plato menyatakan dimensi tingkah laku manusia yang terdiri atas : (1)
tingkah laku pertama-tama bersifat personal, tetapi juga (2) terkait dengan sesama
manusia, dan (3) mengandung tujuan akhir tertentu.
Dualisme Platonis
Teori ini dijelaskan dalam mitos tentang para tahan di dalam gua. Katanya, realitas harus
dibedakan atas “dunia yang gelap” (simbolisme gua) dan “dunia yang terang” (simbolisme
terang matahari). Intinya, menurut Plato: realitas yang dicerap oleh pancaindera atau realitas
inderawi bukanlah realitas yang sejati. Realitas yang sejati ialah realitas ide-ide.
Konsekuensinya, pengetahuan yang sejati harus menjadikan ide-ide sebagai objeknya.
Pengetahuan ini dapat dicapai dengan rasio. Dalam menolak pandangan kaum Sofis yang
bersifat relative atau berdasarkan pandangan-pandangan dunia indrawi, menurut Plato,
pengetahuan tentang ide-ide dapat melawan pandangan tersebut sebab, dunia ide lebih bersifat
objektif dan mutlak serta ide-ide itu sendiri tak terubahkan dan begitu pasti. Dalam konsep
itu, pendidikan berfungsi untuk mengantar peserta didik berbalik dari “dunia bayang-bayang”
yang gelap kepada “dunia terang” atau dunia ide-ide. Pendidikan merupakan proses
mencari pengetahuan yang sejati, yaitu suatu “pertobatan” atau pemutarbalikan
pengetahuan dari dunia yang tampak (appearance) kepada realitas sejati (reality).
Pengetahuan sejati, menurut perumpamaan tentang gua tadi, hanya dapat dicapai oleh mereka
yang melepaskan diri dari pengetahuan inderawi yang menyesatkan. Dalam mitos tahanan
dalam gua, tahanan yang terlepas dan menemukan pengetahuan yang sejati melambangkan
mereka yang berhasil mencapai pengetahuan yang sejati itu. Mereka itu adalah para filsuf.
Sebagaimana yang terjadi dalam mitos tersebut, para filsuf pun tidak akan dipercaya
orang.
Ajaran ini merupakan sumbangan filosofis terbesar Plato. Apa hakikat dari ide-ide itu?
Menurut hakikatnya, ide-ide bersifat tak berubah, kekal dan tidak bermateri. Ide merupakan
pola yang darinya objek-objek kelihatan mendapatkan bentuknya yang lahiriah. (mis. semua
segitiga hanyalah bayangan dari ide segitiga).
Apa sesungguhnya ide-ide itu? Ide-ide tak lain dari pola-pola yang bersifat kekal
(tetap), yang darinya objek-objek inderawi mendapatkan wujudnya. Dalam dialog
Symposion, Plato mengemukakan bahwa dalam kehidupan sehari-hari kita pertama mengerti
“keindahan” pada objek particular tertentu. Tetapi kemudian intelek segera membayangkan
suatu ide keindahan yang universal. Pada ide itu semua keindahan dari objek-objek lain
berpartisipasi. Dengan kata lain, objek-objek yang indah bervariasi dan menjemuk, menunjuk
pada suatu ide keindahan. Tetapi, ide keindahan bukan semata-mata suatu konsep. Ide
keindahan merupakan realitas objektif. Karena ide keindahan itu objek-objek dapat menjadi
indah; tetapi, ide keindahan selalu adalah indah. Kosenkuensinya, ide keindahan memiliki
eksistensi yang terpisah dari objek-objek yang indah. Sedangkan dalam dialog Politeia, Plato
menunjukkan bahwa seorang filsuf yang sejati harus berusaha memiliki pengetahuan tentang
hakikat objek-objek inderawi. Kalau ia bertanya apa itu keadilan dan keindahan, tidak
dimaksudkan hanya beberapa contoh dari tindakan adil dan objek yang indah. Ia ingin
mengetahui apa yang membuat suatu tindakan adil disebut adil dan sebuah rumah yang indah
disebut indah. Perbedaan antara opini dan pengetahuan terletak di sini. Orang yang berada
pada tataran opini dapat mengenal hanya tindakan adil, tetapi tidak mengetahui hakikat
keadilan, yang darinya tindakan adil particular berpartisipasi. Pengetahuan selalu berpusat
pada being (yang ada), yaitu esensi (inti, hal pokok, hakikat) dari segala yang ada. Itulah
ide-ide atau forma realitas yang menjadi arketipe (dasar) dari segala sesuatu,
berksistensi secara kekal, dan hanya dapat ditangkap oleh intelek, tidak oleh
pancaindera.
Dimanakah dunia ide-ide itu bereksistensi? Plato hanya mengatakan secara tegas dan
jelas bahwa ide-ide “terpisah” dari benda-benda konkrit (yang kita cerap). Karena itu,
meskipun objek-objek itu lenyap, ide tetap bertahan. Dalam dua konteks yang sama: (1) Plato
menghubungkan jiwa manusia dengan ide-ide. Katanya, jiwa manusia sama kekalnya dengan
ide-ide. (2) Dalam proses penciptaan, Dermigue atau Tuhan mengenakan forma kepada alam
semesta, sehingga terjadi kosmos dengan susunan benda-benda secara tertib. Jadi, eksistensi
“dunia ide” mendahului eksistensi “dunia inderawi” dalam arti kosmos. Agaknya, dunia
ide-ide sudah lebih dahulu bereksistensi dalam “intelek sang pencipta” secara abadi.
Bagaimana menjelaskan hubungan antara suatu ide dengan benda atau forma? (a)
ide merupakan penyebab (causa) dari esensi benda particular (b) benda-benda (forma)
particular berpartisipasi dalam dunia ide-ide (c) benda-benda (forma) particular merupakan
bayangan atau gambaran dari ide.
Bagaimana hubungan antara ide-ide dapat dimengerti? Plato mengandaikan hal itu
dengan sebuah “Percakapan” dan “pertalian ide-ide”. Percakapan dalam kehidupan sehari-hari
dapat terjadi karena ide-ide saling bertalian. (mis. Berbicara tentang Hitam-cantik-orang).
Percakapan ini merujuk pada Ide yang bersatu. Kesatuan ide-ide ini membuat hubungan antar
ide-ide dapat dimengerti. Sebaliknya, apabila salah satu pembicaraan tersebut dihilangkan,
maka hubungan dari percakapan antar ide-ide itu menjadi rancu dan tak mungkin dimengerti.