PENDAHULUAN
Istilah “filsafat” yang kita gunakan saat ini berasal dari kata serapan bahasa
arab falsafah yang juga diambil dari bahasa yunani yaitu philosophia yang terdiri dari
kata philein yang artinya mencintai dan Sophia yang artinya kebijaksanaan. Makna
kata filsafat sendiri berarti cinta pada kebijaksanaan. Istilah tersebut mula-mula
digunakan oleh Herodotos ketika membahas Solon (640-560 SM), yaitu salah satu
dari ketujuh orang bijaksana di zamannya (yang mencakup juga Thales). Kendati
begitu, ‘filsafat’ sebagai istilah teknis, dengan makna seperti yang umumnya
dipahami pada zaman kita, berasal dari Phytagoras.1
Perkembangan filsafat pada saat ini tidak lepas dari perkembangan pada
masa peradaban kuno (masa Yunani). Filsafat Yunani memang tidak memberikan
jawaban atas semua pertanyaan, tetapi mereka telah mengajukan pertanyaan-
pertanyaan untuk menjelaskan realitas. Supaya bisa bekerja dalam dunia filsafat
Yunani klasik, kita perlu memahami konsep-konsep dan istilah yang mereka
kembangkan. Konsep dan istilah tersebut tidak hanya dipakai dalam bidang-bidang
fisika, matematika, biologi dan medik, tetapi digunakan juga dalam bidang politik.2
Banyak pengetahuan tentang filsafat Yunani klasik yang mengandalkan
tradisi bahkan mitos yang hidup dikalangan orang Yunani. Hal tersebut terpaksa
terjadi karena sejumlah filsuf Yunani klasik tidak meninggalkan jejak karya tulis,
serta banyak karya tulis para filsuf yang lenyap akibat peperangan. Dalam makalah
ini, kita akan membahas tentang konsep dan istilah yang digunakan oleh tokoh-tokoh
filsafat pada masa Yunani klasik.
BAB II
PEMBAHASAN
1
Dario Composta, History of Ancient Philosophy, Bangalore: Theological Publicationsin India, 1990,
hlm. 14-15 dalam Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Yunani Klasik (Yogyakarta : Jalasutra, 2013), 1
2
Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Yunani Klasik (Yogyakarta : Jalasutra, 2013), 7
1
A. Sejarah Yunani Klasik
Pemikiran pada zaman Yunani klasik seperti pada bangsa lain. Orang Yunani
kuno mula-mula berusaha menjelaskan alam semesta dan asal usul hidupnya dengan
mitos atau cerita yang mirip dengan dongeng. Namun, dengan nuansa rasionalisasi,
itulah sebabnya dalam kerangka filsafat Yunani klasik kita sulit menyangkal bahwa
seluruh filsafat Yunani dapat dianggap sebagai suatu pergumulan yang panjang antara
mythos dan logos.
Puncak filsafat yunani sebenarnya terjadi pada periode zaman klasik. Zaman
ini ditandai dengan munculnya sekelompok kaum sophis yang mengajarkan kepada
pemuda-pemuda athena tentang keunggulan retorika dan kebenaran subyektif.
Menurut kaum ini manusia merupakan ukuran bagi segala sesuatu (homo mensura).
Akibat dari ajaran ini, maka ukuran kebenaran menjadi relative dan subyektif. Kaum
sophis membawa perubahan terhadap corak pemikiran filsafati yang semula terarah
pada kosmos (alam semesta) menjadi coak berpikir filsafati yang terarah pada teori
pengetahuan dan etika.
2
dijatuhi hukuman mati dengan harus meminum racun, saat itu ia berusia 70
tahun. Ia diadukan oleh para kaum sofis pada muka hakim atas tuduhan
merusak jiwa pemuda dan mengajarkan kepercayaan baru.3 Sokrates sangat
menentang ajaran para filsuf sebelumya. Para filsuf sebelumnya berlaku
sombong atas apa yang mereka ketahui. Sedangkan Sokrates dengan
ketinggian ilmunya dia masih tetap menganggap dirinya adalah seorang yang
tidak memiliki pengetahuan, bahkan apa yang ia ketahui saja adalah hanya
soal ketidaktahuannya.
Sokrates merupakan seorang ahli pikir yang amat besar pengaruhnya
dalam dunia filsafat. Ia tidak meninggalkan jejak tulisan atas pemikiran-
pemikirannya. Kematiannya tidak membuat ajarannya hilang, melalui murid-
muridnya yang pandai ajaran Sokrates diwariskan pada dunia. Salah satu
muridnya yang banyak memberikan penjelasan dari pemikiran Sokrates
adalah Plato. Berbeda dengan kaum sofis, Sokrates tidak meminta bayaran
pada para muridnya atas ilmu yang telah ia ajarkan.
3
pada kemauan manusia itu sendiri. Apabila seorang manusia
melakukan sebuah kesalahan itu karena manusia itu tidak memiliki
pengetahuan tentang suatu kebaikan, bukan karena ia ingin berbuat
kesalahan. Pada dasarnya tidak ada manusia yang ingin untuk berbuat
salah baik pada dirinya sendiri maupun pada lingkungan sekitarnya.
2). Pandangan tentang yang dicari manusia
Sokrates mencari pengertian yang murni dan sebenarnya yang
kerap disebut dengan pengertian sejati. Pengertian sejati didapatkan
dari pengamatan yang konkrit dan bermacam-macam coraknya. Dari
sana hal yang berbeda dihilangkan sehingga hanya tersisa hal yang
umum, dari situ Sokrates mendapatkan pengertian sejati. Bukan berarti
ia membuat pengertian sejati tersebut, hanya saja ia sebagai “bidan”
yang membantu lahirnya pengertian sejati.
3). Dialektik sebagai metode pengajarannya
Bertanya adalah sumber dari pengetahuan. Menurut Sokrates
jika di kehidupan ini tidak ada yang perlu dipertanyakan lagi maka
sesungguhnya hidup itu tidak layak untuk dihidupi. Sokrates
menggunakan metode pengajaran dialektika , disebut begitu karena
dalam pengajarannya dialog memegang peranan yang penting.5 Atau
kerap disebut dengan metode mayeutike (kebidanan). Sokrates
memberikan ajarannya dengan cara mendatangi berbagai macam orang
yang memiliki latar belakang pekerjaan yang berbeda. Seperti tukang,
ahli politik, dan sebagainya. Sokrates mengajukan pertanyaan pada
mereka tentang pekerjaan dan keahlian mereka, juga tentang kegiatan
sehari-hari. Dari merekalah Sokrates mendapatkan jawaban yang
dianalisa menjadi hipotesa, dari hipotesa tersebut Sokrates
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sengaja dimaksud untuk
membingungkan orang-orang itu. Dengan begitu jawaban-jawaban
5
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat (Yogyakarta : Kanisius, 1980), 36.
4
dari pertanyaan itu menjadi saling bertentangan, sehingga penjawab
ditertawakan banyak orang. Metode seperti ini disebut metode ironi
(eironeia). Metode ini mengupas “pengetahuan semu” dari orang-
orang itu. Secara tidak langsung dengan begitu Sokrates telah
memberikan pelajaran pada mereka tentang filsafat, dengan mereka
berpikir lebih kritis dan dalam lagi tentang siapa mereka dan apa yang
mereka lakukan. Dari itu Sokrates menemukan cara berpikir induksi,
yakni menyimpulkan pengetahuan yang bersifat umum dengan
berpangkal pada yang khusus. Dari situ muncullah dengan apa yang
disebut definisi umum yang keberadaannya penting bagi sebuah ilmu
pengetahuan. Definisi umum diperlukan bagi etika. Yang diperlukan
adalah pengertian-pengertian etis seperti: kejujuran, kebaikan,
keadilan, dan lain-lain.
4). Jiwa sebagai inti sari manusia
Jiwa yang pada intinya sebagai inti sari seorang manusia maka
dari itu manusia wajib untuk mengutamakan kebahagiaan jiwa, lebih
dari kebahagiaan tubuh maupun lahiriah seperti halnya kekayaan,
jabatan dan sebagainya. Alat untuk mencapai kebahagiaan yakni
dengan kebajikan atau keutamaan. Memiliki kebajikan atau keutamaan
berarti telah memiliki kesempurnaan sebagai manusia. Bagi Sokrates
keabadian jiwa menjadi prasyarat akali, bahkan syarat mutlak untuk
melengkapi hidup dan mencapai kebahagiaan filosofis.
Jiwa itu adalah agen yang menghidupkan serta tidak ikut mati
ketika ia berhenti menggerakkan tubuh
5
Jiwa mirip dengan para dewa karena mengendalikan kehendak
terhadap segala fakulti manusia lainnya, dan karenanya bersifat
abadi
Akal itu menilai atau memutuskan dengan kekuatan yang lebih
besar dan secara proporsional seiring dengan sirnanya material
(tubuh).6
5). Pandangan Sokrates tentang negara
Sokrates tidak memiliki pandangan yang jelas terhadap negara.
Hanya saja ia berpendapat bahwa negara memiliki tugas untuk
membahagiakan warganya. Sehingga penguasa harus tahu “yang baik”
bukan hanya yang demokratis atau mementingkan suara dari rakyat,
tapi yang mengenal apa “yang baik”.
2. PLATO
a. Biografi Plato
Bisa jadi peran Platon menjadi sangat menonjol karena ditunjang oleh
Akademia yang didirikannya pada tahun 385 SM. Semua ilmu yang diajarkan
6
Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Yunani Klasik (Yogyakarta : Jalasutra, 2013), 169
7
Paul Strathern,90 Menit Bersama Plato, op. Cit.,hlm.7.dalam Budiono Kusumohamidjojo,Filsafat
Yunani Klasik (Yogjakarta: Jalasutra,2013)
6
Platon di Akademia kira-kira 40 tahun diberi nama “filsafat”.8 Sekolah yang
menjadi model bagi perguruan tinggi di abad pertengahan Eropa maupun
zaman modern itu bertahan sampai delapan abad berikutnya, yakni sampai
kaisar Yustinianus I pendiri Kekaisaran Romawi Timur menutupnya pada
tahun 529 M dengan alasan dia khawatir filsafat Yunani, termasuk ajaran
Platon akan menghambat perkembangan agama Nasrani.9
b. Naskah-naskah Platon
Dalam abad pertengahan, para filusuf skolastik Eropa tidak
mempunyai akses kepada karya Platon. Mereka hanya mendapatkan akses
melalui terjemahan Latin dari bahasa Arab yang dilakukan oleh sarjana-
sarjana Arab dan Persia. Yang terutama dari para sarjana tersebut adalah Abu
Nasr Al-Farabi dari Persia (870-950). Istilah “filsafat” yang kita gunakan
berasal dari falsafah hasil transliterasi al Farabi dalam bahasa arab itu.
Kemudian Ibnu Sina (Avicenna, 980-1037) dan Ibn Rushd (Averroes, 1126-
1198) juga dipandang berjasa dalam mengenalkan filsafat Yunani kepada
akademisi Eropa. Baru pada abad pertengahan abad ke-14 karya-karya Platon
itu dibawa ke Firenze, Italia, dari Konstatinopel (Istanbul) oleh Georgios
Gemistos Plethon, sebelum kota itu jatuh ke tangan dinasti Usman pada tahun
1453. Di Frenze ia mendapatkan dukungan dari penguasanya, Cosimode’
Medici, yang memerintahkan proyek penerjemahan karya-karya Platon ke
dalam bahasa Latin.10
Hampir semua karya Platon ditulis dalam bentuk tanya jawab atau
dalam bentuk dialog. Studi stilometri telah dilakukan sejak abad ke-19
8
Kees Bertens, Sejarah Filsafat Yunani,op.cit.,hlm.97 dalam Budiono Kusumohamidjojo,Filsafat
Yunani Klasik (Yogjakarta: Jalasutra,2013)
9
Ibid.
10
http://en.wikipedia.org/wiki/plato. Dinastoi Medici kemudian kerap disebut oleh Machiavelli dalam
buku-bukunya.
7
terhadap karya-karya Platon. Atas dasar itu Friedrich Daniel Ernst
11
Schleirmacher (1768-1834) telah membagi karya Platon dalam tiga bagian
utama. Daftar karya Platon yang disusun oleh Scheiermacher menurut proses
pematangan berpikirnya :
1. Karya Dasar (Foundation), dimana pikiran-pikiran Socrates lebih
ditonjolkan: phaidros, Lysis, Protagoras dsb. Karena naskah-
naskah ini lebih mencerminkan pikiran Socrates.
2. Masa Transisi ( Transition), dimana Platon mulai beralih kepada
pandangannya sendiri : Gorgias, Theaitheos, Meno dsb. Dengan
sendirinya muncul kesulitan untuk menentukan hal-hal dalam
naskah-naskah Tradisional ini yang lebih mencerminkan pemikiran
Socrates, dan manasaja yang mengedepankan gagasan Platon.
3. Masa Puncak (Culmination), dimana ia mengajukan konsepnya
sendiri : Politeia (dalam literatur Inggris: Republik), Kritias
(dalam literatur Inggris: Crytias), Timaeos dan Nomoi (dalam
literatur Inggris: The Law)12
11
http://en.wikipedia.org/wiki/Friedrich_Daniel_Ernst_Schleiermacher dalam Budiono
Kusumohamidjojo,Filsafat Yunani Klasik (Yogjakarta: Jalasutra,2013)
12
http://en.wikipedia.org/wiki/Plato. dalam Budiono Kusumohamidjojo,Filsafat Yunani Klasik
(Yogjakarta: Jalasutra,2013)
8
setahap. Proses ini diselenggarakan lewat abalysis (menguraikan) dan
syntesis(memadukan) serta pembangunan hypothesis (praduga) yang dapat
dipastikan (verifikasi) atau dikesampingkan (falsifikasi). Dialetik merupakan
pangkal dalam keseluruhan teori pengetahuan yang dibangun oleh Platon.
13
http://en.wikipedia.org/wiki/plato. dalam Budiono Kusumohamidjojo,Filsafat Yunani Klasik
(Yogjakarta: Jalasutra,2013)
14
Kees Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, op.cit.,hlm.109 dalam Budiono Kusumohamidjojo,Filsafat
Yunani Klasik (Yogjakarta: Jalasutra,2013)
15
Petter Kunzmann,op.cit.,hlm.43 dalam Budiono Kusumohamidjojo,Filsafat Yunani Klasik (Yogjakarta:
Jalasutra,2013)
9
kesemetaraan dan keterbatasan badan, namun terjebak dalam badan seperti
penyakit.
Platon berpendapat bahwa roh terbagi atas dua bagian utama: Roh
abadi dan illahi yang bersemayam dalam akal serta roh yang duniawi. Roh
duniawi terdiri atas dua bagian: yang lebih luhur berupa keberanian dan yang
lebih rendah berupa hasrat/nafsu. Akal atau noesis berfungsi untuk
mengantarkan kebijaksanaan. Keberanian bertugas untuk menaati akal dan
berlaku gagah/tangguh, Hasrat/nafsu harus tunduk pada akal dan bertugas
untuk menahan diri.
Jika ketiga kebijakan ini berfungsi secara benar, maka keadilan
berkuasa, yang mencerminkan kecenderungan kuno mitologi Yunani kepada
keseimbangan atau harmoni, kebajikan inilah yang sampai sekarang dikenal
dengan kebajikan utama (cardinal virtues).
f. Politik
Hasrat manusia untuk bernegara tidak lahir dari dorongan untuk
membangun negara, melainkan dari kelemahan yang memaksanya untuk
hidup secara kolektif. Pemerintahan harus dijalankan dengan akal dan
kebijaksanaan dan bukannya dengan retorika dan persuasi seperti yang
dilakukan oleh kaum Sofis.16
Penggolongan masyarakat oleh Platon dibagi menjadi tiga:
Golongan Penguasa yang ditempati oleh mereka yang paling bijaksana
( terdiri dari para filusuf yang paling memahami persoalan kehidupan
manusia), Golongan militer bertugas menjaga keamanan dalam arti menjamin
bahwa rakyat menaati semua penguasa dan menangkal serbuan dari luar
negeri, Golongan Profesional (terdiri dari para petani, tukang, perajin, dan
pedagang) yang bertugas memastikan pemasokan dan distribusi barang-
16
http://en.wikipedia.org/wiki/Plato. dalam Budiono Kusumohamidjojo,Filsafat Yunani Klasik
(Yogjakarta: Jalasutra,2013)
10
barang kebutuhan hidup dari masyarakat. Jika semua itu berjalan dengan baik,
terciptalah keadilan. Agar fungsi berjalan para warga harus disiapkan melalui
pendidikan yang bagi Platon memang merupakan dasar utama bagi negara.17
Keadilan merupakan tujuan akhir dari organisasi kenegaraan.
Negara ideal Platon diperintah secara aristokratis (diperintah oleh orang-orang
terbaik diantara warga negara). Namun keadaan seperti itu tidak berlangsung
terus karena merupakan proses yang tunduk pada dialetik yang disebutnya
situs konstitusional.18
3. ARISTOTELES
a. Biografi Aristoteles
17
Peter Kunzamann, op. Cit., hlm.145 dalam Budiono Kusumohamidjojo,Filsafat Yunani Klasik
(Yogjakarta: Jalasutra,2013)
18
Dalam literatur filsafat politik jerman hal ini disebut Kreislauf der Verfassungen.Lih. Peter
Kunzmann, ibid., hlm.145,
19
FX.Mudji Sutrisno, Para Filsuf Penentu Gerak Zaman (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 19
20
Paul Strathern, 90 Menit Bersama Aristoteles (Jakarta: Erlangga, 2001), 5
21
FX. Mudji, Para Filsuf… , 19
11
1) Logika
2) Filsafat pengetahuan
3) Filsafat manusia
22
Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat......., 237-238
23
FX. Mudji, Para Filsuf…, 19
12
bentuk (morphe) yang sama. Dengan demikian ia berusaha menerangkan
adanya banyak individu yang berbeda-beda, dalam satu “jenis” (species).
“bentuk” (morphe, form) dianggapnya sebagai yang memberi “aktualitas”
pada individu yang bersangkutan. Sedangkan “materi” (hyle,matter)
seakan-akan menyediakan “kemungkinan” (yunani: dynamis, Latin:
Potentia) untuk pengejawantahan bentuk dalam setiap individu dengan
cara yang berbeda-beda.
4) Metafisika
Nous atau akal budi merupakan bagian paling mulia dalam diri
manusia. Tak mengherankan kalau sesuai dengan keyakinan itu unsur-
unsur filsafat ketuhanan yang kita temukan dalam karya Aristoteles,
bertitik pangkal pada uraian kemampuan akal budi itu. Namun, berbeda
dari kontemplasi terhadap idea-idea gaya Plato, Aristoteles dalam hal ini
juga mencari dasar uraiannya dalam pengamatan inderawi di dunia yang
berubah-ubah ini. Umpamanya pengamatan mengenai gejala adanya
gerak; gerak fisik saja. Secrara spontan kita mencari penggeraknya, yang
pada gilirannya tidak bebas dari gerak (dan perubahan) juga.
13
Dalam filsafatnya Aristoteles mempunyai kecenderungan kearah suatu
totalitarisme negara. Monarkhi ialah cara pemerintahan di bawah satu
(monos) orang saja yang dapat menjadi tirani. Aristokrasi merupakan cara
pemerintahan di bawah sekelompok orang yang dinilai terbaik (aristoi),
dan dapat merosot menjadi oligarki( dikuasai oleh segerombolan orang
yang bersekongkol). Demokrasi yan diberi nama “politea” berada di
bawah kuasa rakyat (demos), yang dapat merosot menjadi anarki (tanpa
arkhe atau asas). Namun Aristoteles tidak memilih salah satu dari ketiga
bentuk dasar itu. Ia juga tidak suka memakai perbandingan dengan
susunan manusia seperti dilakukan Plato.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pemikiran pada zaman Yunani klasik merupakan puncak kejayaan para
filsafat di Yunani, karena pada zaman ini terdapat tokoh-tokoh pembesaran filsafat,
mereka adalah Sokrates (guru Plato), Plato (guru Aristoteles) dan Aristoteles itu
sendiri. Meskipun mereka guru dan murid, tetapi pemikiran mereka bertolak
belakang, seperti pemikiran Plato dan Aristoteles , sedangkan pemikiran Socrates
dan plato masih mempunyai keterkaitan satu sama lain. Hal inilah yang menjadi
faktor, zaman ini begitu kaya akan pemikiran yag luar biasa. Mulai dari logika,
metafisika, politik, etika bahkan alam semesta. Semua itu merupakan bentuk kerja
keras mereka dalam meneliti apa arti sebenarnya makna dari kehidupan ini yang
sesungguhnya, meskipun pandangan mereka begitu berbeda.
14
DAFTAR PUSTAKA
Sutrisno, FX. Mudji. Para Filsuf Penentu Gerak Zaman. Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Tim Reviewer MKD. Pengantar Filsafat. Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2017,
Cet. VII.
15