Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Filsafat, terutama filsafat Barat muncul di Yunani semenjak kira kira

abad ke-7 SM. Filsafat muncul ketika orang-orang mulai berpikirpikir dan

berdiskusi akan keadaan alam, duni, dan lingkungan di sekitar mereka dan

tidak menggantungkan diri kepada agama lagi untuk mencari jawaban atas

pertanyaan-pertanyaan ini.

Filsafat adalah jalan keluar dari sesuatu masalah yang tidak dapat

dipecahkan oleh sains, filsafat dapat dipecahkan secara logis, estetika, dan

metapisika. Filsafat adalah induk ilmu pengetahuan, filsafat disebut ilmu

pengetahuan karena, memang filsafatlah memang melahirkan segala ilmu

pengetahuan yang ada Kehadirannya yang terus menerus disepanjang

peradapan manusia telah memberi kesaksian yang meyakinkan tentang betapa

pentingnya filsafat bagi manusia. Filsafat disebut sebagai suatu ilmu

pengetahuan yang bersifat eksistensial, artinya sangat erat hubungannya

dengan kehidupan kita sehari-hari. Bahkan filsafatlah yang jadi motor

penggerak kehidupan kita sehari-hari baik sebagai manusia pribadi maupun

sebagai manusia kolektif dalam bentuyk masyarakat atau bangsa.

Filsafat merupakan salah satu disiplin ilmu yang sangat mendasar,

sehingga semua disiplin ilmu yang lain akan membutukan pijakan filsafat.

Dengan demikian, kajian ilmiah yang terdapat dalam ilmu pengetahuan akan

ditemukan hakikat, seluk beluk, dan sumber pengetahuan yang mendasarinya.

1
Untuk itu sebagai manusia yang harus mencari kebenaran, perlu

bahwasanya untu mengetahui lebih jelas tentang filsafat. Bagaimanakah sifat

filsafat sebenarnya metode apa yang harus dipelajari dalam filsafat.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan Latar Belakang diatas, Rumusan Masalahnya adalah

Bagaimanakah Metode-Metode Dalam Filsafat?

C. Tujuan

Berdasar rumusan masalahnya tujuan penulisan makalah adalah

Membahas Metode-Metode dalam Filsafat.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Metode

1. Arti harafiah

Kata metode berasal dari kata Yunani Methodos, sambungan kata

depan meta (ialah: menuju, melalui, mengikuti, sesudah), dan kata

benda hodos (ialah: jalan, perjalanan, cara, arah). Kata Methodos

sendiri lalu berarti: penelitian, metode ilmiah, hipotesa ilmiah, uraian

ilmiah.

2. Arti luas

Metode ialah: cara bertindah menurut sistem aturan tertentu.

Maksud metode ialah: supaya kegiatan praktis terlaksanakan secara

rasional dan terarah, agar mencapai hasil optimal.

3. Arti khusus

Metode menurut arti luas ialah dapat dikhususkan berhubungan

dengan pemikiran pada umumnya: cara berpikir menurut sistem aturan

tertentu.

Khususnya arti itu berlaku bagi ilmu pengetahuan sebagai bidang

atau daerah terbatas didalam keseluruhan pengertian manusia. Metode

ilmiah ialah: sistem aturan yang menentukan jalan untuk mencapai

pengertian baru pada bidang ilmu pengetahuan tertentu. Justru

metodelah yang menjamin sifat hakiki bagi ilmu pengetahuan, menjadi

pengetahuan sistematis-metodis.

3
Metode demikian bukan hanya merumuskan fragmen-fragmen

secara terpisah, seperti misalnya: pertanyaan, observasi,

hipotesa,perbandingan, asas-asas, teori. Metode itu meliputi seluruh

perjalanan dan perkembangan pengetahuan, seluruh urutan-urutan dari

permulaan sampai kesimpulan ilmiah, baik untuk bagian khusus

maupun untuk seluruh bidang atau objek penelitian.

Bagaimana seorang filosof (ahli pikir) bekerja?

Pertanyaan tersebut mungkin pernah terbesit dalam hati, jawaban

dari pertanyaan tersebut sangatlah mudah. Bekerjanya seorang filosof

mungkin sama dengan cara bekerjanya sebuah pabrik, yaitu

mengadakan kegiatan kefilsafatan, sedangkan bekerjanya sebuah

pabrik adalah menghasilkan proses produksi.

Perlu kita ketahui bahwa isi filsafat amatlah luas, luasnya itu pertama

disebabkan oleh luasnya objek penelitian filsafat. Kedua filsafat adalah

abang pengetahuan tertua. Dan krtiga adalah filsafat tidak ada yang

ketinggalan zaman, filsafat selalu mengikuti perkembangan zaman yang

semakin modern ini. Dalam bidang filsafat terdapat metode. Metode

sering diartikan sebagai jalan berpikir dalam bidang keilmuan

4
B. Macam-Macam Metode Dalam Filsafat

Macam-Macam Metode Dalam Filsafat seperti sebagai berikut:

1. Metode Kritis : Sokrates, Plato

a. Sokrates (470-399 SM)

Sokrates tidak meninggalkan tulisan. Ia hanya dikenal

dalam kesaksian beberapa pengarang lain: Xenophon,

Aristophanes, Aristoteles. Dan terutama ia muncul sebagai tokoh

pembicara dan karya-karya Plato. Maka ada sarjana yang

berpendapat bahwa Sokrates tak pernah hidup. Memang sekarang

sulit dibedakan gagasan Sokrates dan Plato. Namun ada persetujuan

umum bahwa metode dan ajaran Sokrates dengan paling tepat

ditemukan dalam dialog-dialog Plato yang lebih dahulu. Mereka

disebut: “dialog-dialog sokratis” : yaitu Apologia, Kriton,

Euthyphron, Lakhes, Ion, Protagoras, Kharmides Lysis,

dan Politeia I. Para filsuf sebelum Sokrates terutama peneliti

kosmos. Sokrates mulai mengarahkan pemikiran filosofis kepada

manusia, terutama pada bidang etis.

Metode Kritis dari Socrates Metode ini bersifat praktis dan

dijalankan dalam berbagai percakapan. Socrates tidak menyelidiki

fakta-fakta, melaikan ia menganalisis pendapat atau aturan-aturan

yang dikemukakan orang. Setiap orang mempunyai pendapat

tertentu. Seorang negarawan misalnya, mempunyai pendapat tertentu

mengenai keahliannya, kepada mereka dan kepada warga negara

5
Athena lainnya, Socrates mengajukan pertanyaan mengenai

perkerjaan mereka dan soal-soal pratik dalam hidup seorang

manusia.

Socrates selalu memulai dengan menggap jawaban pertama

sebagai suatu hipotensis dengan pernyataan lebih lanjut ia menarik

segala konsekuensi yang dapat disimpulkan dari jawaban tersebut.

Jika ternyata hipotensi pertama tidak dapat dipertahankan, karena

membahwa konsekuensi yang mustahil maka hipotensi itu diganti

dengan hipotensis lain. Hipontensi kedua diselidiki dengan

ernyataan lain dari pihak Socrates dan seterusnya berikut.

Metode Socrates tersebut biasanya disebut “dialektika” karena

dialog atau wawancara mempunyai peranan hakiki di dalamnya.

Dalam suatu kutipan yang terkenal dari dialog Theaitetos, Socrates

sendiri mengusulkan nama lain untuk menunjukan metodenya, yaitu

maleutike tekhe (sini kebidanan). Seperti ibunya adalah seorang

bidan, tetapi Socrates tidak menolong bidan bersalin, melainkan

Socrates membidani jiwa-jiwa. Socrates sendiri tidak menyampaikan

pengetahuan, tetapi dengan pertanyaan-pertanyaan ia membidani

pengetahuan yang terdapat dalam jiwa orang lain. Pertanyaan yang

lebih lanjut ia menguji nilai pikiran yang sudah dilahirkan.

Dengan cara dialog tersebut Socrates menemukan suatu cara

berpikir induksi, maksudnya berdasarkan beberapa pengetahuan

mengenai masalah-masalah khusus memperoleh kesimpulan

6
pengetahuan yang bersifat umum Dapat disimpulkan metode kritis

bersifat analisis istilah dan pendapat. Merupakan hermeneutika, yang

menjelaskan keyakinan, dan memperhatikan pertentangan. Dengan

jalan bertanya (berdialog), membedakan, membersikan, menyisikan

dan menolak, akhirnya ditemukan hakikat.

b. Plato (427-347 SM)

Plato hanya memperluaskan metode sokrates, mulai dalam

dialog-dialog yang disebut “dialog tengah”. Tujuan metode ini

ialah membuka pemahaman tentang hakikat yang tak terubahkan.

Seperti ada dalam masing-masing hal/benda/manusia. Namun

pemahaman itu diberikannya latar belakang lebih ’idealistis’

dengan ajarannya mengenai ide-ide

2. Metode Intuitif (Plotinos, Henri Bergson)

a. Plotinos (205-270)

Plotinos adalah pendiri neo-platonisme, dan sekaligus

tokohnya yang paling besar. Ia belajar filsafat pada Ammonius

Saccas, dari umur 27 sampai 38 tahun (231-242). Filsafat Plotinos

merupakan sesuatu kulminasi dan sintesa definitif dari aneka unsure

filsafat Yunani.

Plotinos merupakan suatu kulminasi dan sintesa definitif dari

aneka unsur filsafatYunani. Plotinos sendiri mengaku mengikuti

ajaran Plato(Hendry, “Introduction”; dalamMackenna, The Enneads,

hlm.XXXVII). Plotinos seorang mistikus yang mempunyai

7
pengalaman langsung dan pribadi akan rahasia Illahi (IV 8, 1).

Tetapi, pemikirannya benar-benar bersifat metafisik; merupakan

filsafat sistematik, dan bukan berdasarkan wahyu. Tingkat-tingkat

dan penghayatan-penghayatan kesatuan dengan “Yang -Mutlak”

diungkapkannya dengan kategori-kategori intelektual dan spekulatif.

Metode Plotinos berfilsafat disebut “ intuitif”, atau pula

“mistik”. Segi intuitif itu telah ditemukan pada Plato juga; ia

‘melihat’. Pemakaian ‘mistik’ itu berhububgan dengan

perkembangan baru di zaman itu. Di Mesir didirikan kelompok-

kelompok teolog-teolog kontemplatif, yang berbeda sifatnya baik

dari para filsuf dalam tradisi Yunani, maupun dengan penganut-

penganut agama yang berkecimpung dalam rite dan ibadat.

Kelompok-kelompok tersebut bersama-sama melakukan kontemplasi

akan hal-hal religius. Sikap kontemplatif demikian meresapi seluruh

metode berfikir pada Plotinos. Filsafatnya bukan hanya dokrin,

melainkan pula a way of life. Hasil metode jalan pikiran metodis

membawa orang ke kontemplasi ( I 3, 4).

Kontemplasi itu mencangkum seluruh jiwa; ia melewati dan

mengattasi setiap obyek tertentu dan terbatas ( sebab itu hanya

penghalang). Ia melepaskan diri dari pencerapan, kemudian dari

penalaran diskursif. Kegiatan kontemplasi sendiri, dengan

gerakannya, menjadi obyek Jiwa manusia makin bersihkan, dan

berhasil naik sampai ke sumber kenyataan; dengan semua lain

8
diemanasikan darinya. Akhirnya seluruh kenyataan menjadi

transparant. Tercapai kesatuan mistik dengan Tuhan. Sebagai

penutup uraian Plotoris kerap mengajukan

semacam pengakatan jiwa atau mazmur, yang mengungkapkan

kebahagiaan, bahwa dapat masuk dunia pemahaman

b. Hendri Bergson

Bergson seorang Yahudi. Mulai umur 22 ia mengajar dibanyak

sekolah. Sejak 1900 ia berjabatan guru besar selama 24 tahun di le

college de France di Paris. Ia sangat tertarik oleh filsafat Plotinos,

Filsafat Bergson bersifat spirikualistis. Ia mau

menyelami kegiatan spritual intern di dalam induvidu konrik, tetapi

dengan cara ilmiah, cara yang dapat bertanggung jawabkan.

Metode Intuisi dikembangkan oleh Plotinus dan Henri Bergson

Dengan jalan introspeksi intuitif, dan dengan pemakaian simbol- simbol

diusahakan pembersihan intelektual (bersama dengan penyucian moral)

sehingga tercapai suatu penerangan pikiran. Bergson: dengan jalan

pembauran antara kesadaran dan proses perubahan tercapaikan

pemahaman langsung mengenai kenyataan Guna menyelami hakikat

segala kenyataan diperlukan intuisi, yaitu

suatu tenaga rohani, suatu kecakapan yang dapat melespakan diri dari

akal, kecakapan untuk menyimpulkan serta meninjau dengan sadar.

Intuisi adalah naluri yang telah mendapatkan kesadaran diri, yang telah

9
kehendak diciptakan untuk memikirkan sasaran serta memperluas sasaran

itu menurut kehendak sendiri tanpa batas. Intuisi adalah suatu bentuk

pemikiran yang berbeda dengan pemikiran akal, sebab pemikiran intuisi

bersifat dinamis. Fungsi intuisi adalah untuk mengenal hakikat pribadinya

atau “aku” dengan lebih murni dan untuk mengenal hakikat “seluruh

kenyataan” oleh intuisi diintuisi dilihat sebagai “kelangsuran murni” atau

“murni”, yang keadaannya berbeda sekalian dengan “waktu” yang dikenal

akal.

Akal, jika ingin mengerti keadaan suatu kenyaatan, kenyataan itu

dianalisis, dibongkar dalam banyak unsur. Unsur yang satu dibedakan

dengan yang lain, dipisahkan dari yang lain, dan ditempatkan yang satu di

samping yang satu disamping yang lain serta sesudah yang lain. Artinya,

akal memikirkan kembali unsur-unsur itu dalam ruang dan waktu. Kerja

akal yang demikian itu oleh ergson disebut kerja yang sinematografis.

Prinsip metode Plotinus adalah harmoni, maksudnya

mengumpulkan banyak bahan dari beberapa filsuf lain kemudian

dibanding-bandingkan dan ditimbangkan-timbang kembali sehingga dapat

diberi tafsiran baru. Selanjutnya ia cari kebenaran dengan jalan yang

sangat rumit (kompleks).

3. Metode Skolastik: Thomas Aquinas (1225-1247)

Thomas seorang imam katolik dan biarawan. Ia termasuk murid

Albertus Agung, di Paris dan di Koln (1245-1252). Thomas

mempergunakan berfilsafatnya banyak sumber pikiran; tetapi sistemnya

10
sendiri menemukan keseimbangan bagus antara ekstrem- ekstrem.

Filsafatnya bersifat sangat sistematis-metodis, dengan penalaran logis-

tegas, dan bahasa tepat dan kering. Hanya dicarinya

kebenaran, dan sedapat mungkin dihindarinya emosi dan fantasi.10

Metode Skolastik dengan tokoh yang terkenal adalah Aristoteles

dan Thomas Aquinas: Metode Skolastik bersifat sintetis-dedukatif.

Dengan bertitik tolak dari definisi atau prinsip yang jelas dengan

sendirinya, ditarik dengan kesimpulan.

Sering nama metode skolastik dipakai untuk menguraikan metode

mengajar, seperti terjadi disekolah-sekolah dan universitas-univertas;

bukan hanya dalam filsafat, melaikan dalam semua ilmu, seperti huku,

kedokteran, ilmu pasti, dan artes. Namun, itu belum cukup. Kalau

dicari metode filsafat Thomas Aquinas, pertama-pertama harus diteliti

cara berfikir, cara menguraikan dan membutikan ajaran. Filsafat

Thomas Aquinas dihubungankan erat sekalian dengan teologis.

Sekalian-pun demikian dasarnya filsafatnya dapat dipadang sebagai

suatu filsafat.

4. Metode Geometris: Rene Descartes (1596-1650)

Descartes adalah salah satu pendiri pemikiran moden. Ia belajar

filsafat 3 tahun, ialah: logika, ilmu pasti-alam (termasuk astronomi dan

asitektur), dan metafisik. Descartes tidak puas dengan filsafat yang

diterimanya. Ia menyadari jurang antara filsafat Aristoles dan orientasi

ilmiah baru. Filsafat Descartes tetap memberikan kesan amatiristis.

11
Metode Geometris melalui analisis mengenai hal-hal kompleks,

dicapai intuisi akan hakikat ‘sederhana’ (ide terang dan berbeda dari

yang lain); dari hakikat itu dideduksikan secara matematis segala

perngertian lainnya.

Descartes menyebut metodenya: metode analitis. Menurut Descartes

ada ketersusunan natural dalam kenyataan, berhubungan dengan

pengertian manusia (Vleeschauwer, 74). Ketersusunan itu

sesuai dengan cara penemuan (via inventionis), yaitu cara menghadapi

problem baru. Pendekatan itu telah ditemukan pada Francis Bacon dan

Galilei.Descartes menegaskan metode lain: empirisme rasionil. Metode

itu mengintegrasikan segala keuntungan dari logika, analisa geometris,

dan aljabar; dan menghindari kelemahannya (Vleeschauwer, 75-76).

Yang dimaksud dengan geometris analitis ialah ilmu yang menyatukan

semua disiplin yang dikumpulkan dalam nama ‘ilmu pasti’. Itu mau

didasarkan pada kuantitas murni yang bersifat umum.

Metode itu membuat kombinasi dari dua hal (Copleston,73):

a) Pemahaman intuitif akan pemecahan soal

b) Uraian analitis, yang mengembalikan soal itu ke hal yang teah

diketahui, dan toh mengasilkan pengertian baru

(Vleeschauwer,77)

Metode tidak lain hanya menggambarkan jalan yang diikuti

akal-budi dalam pemahamannya intuitif akan kebenaran.

12
5. Metode empiris: Hobbes, Locke, Berkeley, Hume.

Hanya pengalamanlah menyajikan penegertian benar; maka semua

pengertian (ide-ide) dalam intropeksi dibandingkan dengan cerapan-

cerapan (impressi) dan kemudian disusun bersama secara geometris.

6. Metode Eksperimentil: David Hume (1711-1776)

Hume dari semula sangat tertarik oleh sastra dan filsafat

(Copleston, 258). Hume merupakan puncak aliran empirisme (Hobbes,

Locke, Berkeley). Menurut Hume semua ilmu berhubungan dengan

hakekat manusia. Ilmu tentang manusia merupakan satu-satunya dasar

kokoh bagi ilmu-ilmu lain; jadi ilmu tentang manusia itu perlu disusun

dulu; dalam Treatise. Filsafatnya terutama bersifat psikologi mengenai

struktur manusia, mengenai etik, dan mengenai beberapa segi metafisik.

Hume memakai metode eksperimental. Metode itu bersukses dalam ilmu

alam. Mustahillah mulai dengan intuisi akan hakekat

manusia; perlu diambil jalan lebih induktif dari pada deduktif

(Copleston, 261). Dengan metode tersebut hanya dapat disusun filsafat

( ilmiah) yang sangat terbatas. Banyak hal lain yang dengan spontan

menjadi keyakinan manusia, tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Hanya dapat disebut ‘keprcayaan-kepercayaan’ (Copleston, 288-292).

Hume menerangkan terjadinya belief itu, tetapi tidak dapat diberi dasar

logis-ilmiah. Hampir seluruh filsafat moral dikembalikan kepada belief

dan feeling demikian.

13
7. Metode Kritis-Transendental: Immanuel Kant, Neo-Skolastik

Kant adalah orang yang hidupnya sangatteratur. Pada tahu 1740 ia

mulai berstudi pada universitas konigsberg. Sejak 1770 ia menjabat

guru besar di Konigsberg. Filsafat Kant merupakan titik-tolak periode

baru bagi filsafat barat. Ia menyimpulkan dan mengatasi aliran

rasionalisme dan empirisme. Dalam filsafat Kant tekanan tertama

terletak pada (kegiatan) pengertian dan pernilaian manusia, bukan

menurut aspek psikologis seperti dalam empirisme, melainkan sebagai

analisa kritis. Aliran rasionalisme dan empirisme akhirnya diatasi oleh

filsafat Immanuel kant. Menurut Kant, pemikiran telah mencapai

arahnya yang pasti di dalam ilmu pengetahuan alam, seperti yang telah

disusun oleh Newton.

Ilmu pengetahuan alam itu telah mengajarkan kita, bahwa perluh

terlebih dahulu secara kritis menilai pengenalan atau tindakan

mengenal itu sendiri. Metode ini bertitik tolak dari tepatnya

perngertian tertentu, dengan jalan analisis diselidiki syarat-syarat

apriori bagi pengertian sedemikian

8. Metode Dialektis: George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831)

Hegel menjadi mahasiswa pada sekolah tinggi Teologi, di universitas

Tubigen. Bersama Schelling dan Holderlin ia mempelajari

Rousseau. Pada 1816 ia diangkat guru besar di Heidelberg; dan tahun

1818 ia pindah ke universitas Berlin, dan tinggal disitu sampai

meninggal. Sesudah kematiannya diterbitkan oleh mahasiswa-

14
mahasiswanya: filsafat kesenian, filsafat sejarah, filsafat agama,

sejarah filsafat; semua berdasarkan catatan-catatan kuliah. Hegel

mamandang filsafatnya sendirin sebagi puncak sejarah. Merupakan

idealisme; jadi meletakan segala tekanan pada subyektivitas

Subyektivitas itu meliputi seluruh kenyataan, dan menjadi

self- sufficient, ‘yang nyata’ adalah sama dengan ‘yang dipikirkan’,

ataupun: pikiran ialah sama dengan kenyataan (Copleston VII,179).

Dengan jalan mengikuti dinamis pemikiran atau alam sendiri,

menurut tride tesis, antitesis, sintesis dicapai hakikat kenyataan.

Jalan untuk memahami kenyataan bagi Hegel adalah mengikuti

gerakan pikiran atau konsep. Asal saja mulai berpikir secara benar, ia

akan dibawa oleh dinamika pikiran itu sendiri dan akan dapat

memahami seluruh perkembangan sejarah pula. Struktur di dalam

pikiran adalah sama dengan proses genetis dalam kenyataan, maka

metode an teori atau sitem tidak dapat dipisahkan. Karena mengikuti

dinamika di dalam pikiran dan kenyataan itu, metode Hegel disebut

metode dialektis. Dialektis itu itu diungkap sebagai tiga langkah, yaitu

dua pengertian yang bertentangan, kemudian didamaikan (tesis-

antitesis-sintesis).

9. Metode Fenomenologis: Husserl, Eksistensialisme

Husserl berpromosi tahun 1881 dalam bidang ilmu pasti.

Kemudian ia menjabat sebagai asisten dalam mata kuliah ilmu pasti

pula. Tetapi lama-lama ia tertarik oleh soal-soal filosofis; dala tahun

15
1884-1886 ia ikut kualiah pada Franz Brentano, di wina. Kata

fenomenologi berasal dari bahasa Yunani fenomenon yang berati

sesuatu yang tampak, atau gejala. Fenomenologi adalah suatu aliran

yang membicarakan tentang segala sesuatu yang menampakan diri,

atau suatu aliran yang membicarakan tentang gejala.

Pada prinsipnya dengan metode fenomenologi yang dibangun oleh

Husserl ingin mencapai “ Hakikat segala sesuatu”, maksudnya agar

mencapai “pengertian yang sebenarnya” atau ” hal yang sebenarnya”

yang menerobos semua gejala yang tampak. Usaha untuk mencapai

hakikat segala sesuatu adalah reduksi atau penyaringan. Husserl

mengemukakan tiga macam reduksi, yaitu sebagai berikut:

a) Reduksi fenomelogis, kita harus menyaring pengalaman kita,

dengan maksud supaya mendapatkan fenomen dalam wujud

yang semurni-murninya.

b) Reduksi eidetis, penyaringan atau penempatan dalam tanda

kurung segala hal yang bukan eidos atau inti sari atau hakikat

gejala atau fenomenon. Jadi, hasil reduksi kedua ialah

“penilikan hakikat”. Di sini melihat hakikat sesuatu. Inilah

pengertian yang sejati.

c) Reduksi transendental, yang harus ditempatkan di antara tanda

kurung dahulu ialah eksistensi dan segla sesuatu yang tiada

hubungan timbah balik dengan kesadaran murni, supaya dari

16
objek itu akhirnya orang sampai kepada apa yang ada pada

subjek sendiri.

10. Metode Analitika Bahasa: Ludwig Wittgenstein (1889-1951)

Wittgenstein lahir di austria. Tahun 1906 ia belajar pada sekolah

tinggi Teknik di Berlin (Nuchelmans, Overzicht van de analytische

wijsbegeerte, 106: Encyclopedia of Philosophy, 8-327). Bagi Wittgenstein

persoalannya sama bagi Georgemoore: ada begitu banyak teori filsafat

yang membingungkan. Bahasa filosofis memperlihatkan kekacauan

bahasa yang begitu besar: dan bahasa itu begitu jauh dari

bahasa sehari-hari.Maka sebelum bertanya mengenai benar-

salahnya, pemakaian bahasa sendiri harus dicurigai.

Metode ini dapat dinilai cukup netral sebab sama sekali tidak

mengendalikan salah satu filsafat. Keistimewaan dalam metode ini adalah

semua kesimpulan dan hasilnya senantiasa didasarkan kepada

penelitian bahasa yang logis. (Sudarsono, 1993, hlm. 96-102).

Dengan jalan analisis pemakaian bahasa sehari-hari ditentukan sah

atau tidaknya upacara-upacara filosofis.

17
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam pembahasan untuk mencari metode dalam bidang filsafat

tersebut maka dapat disimpulkan bahwa filsafat mempunyai 10 metode, yaitu:

1. Metode kritis: Sokrates, Plato

Bersifat analisa isatilah dan pendapat. Merupakan Hermeneutika,

yang menjelaskan keyakinan, dan memperhatikan pertentangan. Dengan

jalan bertanya (berdialog) , membedakan, membersikan, menyisihkan dan

menolak, akhirnya ditemukan hakekat

2. Metode Intuitif: Plotinos, Bergson

Dengan jalan instropeksi intuitif, dan dengan pemakaian simbol-

simbol diusahan itelektual (bersama dengan percucian modal), sehingga

tercapai suatu penerangan pikiran. Bergson: dengan jalan pembauran

antara kesadaran dan proses perubahan, tercapai pemahaman langsung

mengenai kenyataan.

3. Metode Skolastik: Thomas Aquinas Filsafat abad pertengahan.

Bersifat sintetis-deduktif. Dengan bertitik-tolak dari definisi -definisi

atau prinsip-prinsip yang jelas dengan sendirinya, ditarik kesimpulan-

kesimpulan.

18
4. Metode Geometris: Rene Descartes

Melalui analisis mengenai hal-hal kompleks, dicapai intuisi akan

hakikat-hakikat ‘sederhana’ (ide terang dan berbeda dari yang lain); dari

hakikat itu deduksikan secara matematis segala pengertian lainnya.

5. Metode empiris: Hobbes, Locke, Berkeley, Hume.

Hanya pengalamanlah menyajikan penegertian benar; maka semua

pengertian (ide-ide) dalam intropeksi dibandingkan dengan cerapan-

cerapan (impressi) dan kemudian disusun bersama secara geometris

6. Metode transendental: Kant, Neo-skolastik

Bertitik-tolak dari tepatnya pengertian tertentu, dengan jalan analisa

diselidiki syarat-syarat apriori bagi pengertian sedemikian.

7. Metode dialektis: Hegel, Marx

Dengan jalan mengikuti dinamik pikiran atau alam sendiri, menurut

triade tesis, antitesis, sintensis dicapai hakekat kenyataan.

8. Metode fenomenologis: Husserl, eksistensialisme.

Dengan jalan beberapa pemotongan sistematis (reduction), refleksi

atas fenomin dalam kesadaran mencapai penglihatan haketak-haketak

murni.

9. Metode neo positivistis

Kenyataan dipahami menurut hakekatnya dengan jalan

mempergunakan aturan-aturan seperti berlaku pada ilmu pengetahuan

positif (eksakta).

19
10. Metode analitika bahasa: Wittgenstein

Dengan jalan analisa pemakaian bahasa sehari-hari ditentukan sah

atau tidaknya ucapan-ucapan filosofis.

B. Saran

Demikianlah makalah yang dapat kami susun, Semoga bermanfaat.

kami menyadari bahwa makalah ini bukanlah proses akhir, tetapi merupakan

langkah awal yang masih banyak memerlukan perbaikan. Karena itu kami

sangat mengharapkan tanggapan, saran dan kritik yang membangun demi

kesempurnaan makalah yang selanjutnya. Atas perhatiannya kami sampaikan

terima kasih.

20
DAFTAR PUSAKA

Rapar, Jan Hendrik, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1996.

Musnur hery 2017. Studi hermeneutik filosofis. Tadib: Jurnal pendidikan agama

islam. ISSN:2477-5436. Vol.3. No. 1. Hlm.16.

Ritaudin Sidi, Mengenal filsafat dan karakteristiknya. Kalam: Jurnal,Study

Agama dan pemikiran Islam. Vol. 09. Nomor 01, Juni 2015.Hlm 10-12.

Bakker Anton, Metode-Metode Filsafat, Jakarta Timur:

Penerbit Balai Aksara, Saadiyah, 1986.

Ahmadi Asmoro, Filsafat Umum, Jakarta: Penerbit Rajawali Pers, 2013

Surajiyo, Ilmu Filsafat suatu pengantar, Jakarta: Penerbit Bumi Askara, 2014.

21

Anda mungkin juga menyukai