Anda di halaman 1dari 2

Nama Kelompok

1. Netta Farania (122221107)


2. Vino Aldy Nugroho (122221099)
3. Yonathan Putra Hartono G. (122221082)

Tugas Filsafat di Era Komunikasi Digital


Filsafat sudah berakhir, demikianlah kesalahpahaman yang terjadi. Kesalahpahaman terjadi
karena “akhir” yang dimaksud para filsuf kontemporer itu sebenarnya adalah cara-cara
berfilsafat yang kedaluwarsa. Penjelasannya sederhana. Selama manusia berfikir, selama itu
filsafat masih hidup dan bahkan dilahirkan kembali. Namun, kita sedang menghadapi masalah
yang jauh lebih rumit dari wacana-wacana tentang kematian filsafat. Apakah manusia masih
berpikir di era komunikasi digital? Apakah arti berpikir di zaman kita?
Zaman kita memiliki banyak sebutan, diantaranya adalah post-modern, revolusi industry 4.0, dan
di sini kita disebut era komunikasi digital. Transisi ke era itu disebut revolusi digital. Apa yang
menyamakan isi semua nama itu adalah luapan informasi yang diakibatkan pemakaian teknologi
komunikasi digital. Berbicara tentang simulacra, yaitu tentang kondisi kita saat ini, Ketika
realitas digantikan dengan simbol. Isi zoom, Whatsapp, tik tok dan twitter, terasa lebih real
daripada orang yang duduk di depan kita. Kita menjadi gugup menghadapi kelangsungan.
Dengan telepon cerdas,ideal-ideal demokrasi seolah dapat diraih. Inilah era ketika siapa saja bisa
bicara, seolah dapet mengakses kekuasaan. Dalam komunikasi digital tidak ada hirarki yang
membatasi. Tetapi persis pada saat ini pula, Ketika akses langsung ada dalam genggaman. Alih-
alih mengupayakan saling pemahaman, kerap kali media-media social menjadi sarana
menyebarkan hoaks, berita palsu, dan berbagai kecohan lain dalam bentuk teks, video, psoter,
chat, atau foto yang mendistorsi kenyataan.
Filsafat telah mengemban tugasnya sejak kelahirannya di zaman Yunani kuno. Tugasnya adalah
mengajak berpikir. Di zaman modern filsafat mempersoalkan ideologi dan bahkan agama
sebagai bentuk lain mitos. Saat itu fiksi masih relatif mudah dibedakan dari realitas. Dalam
revolusi digital, Ketika luapan informasi mengacaukan persepsi, distingsi antara fiksi dan realitas
mulai kabur dan agaknya tidak menarik lagi untuk dipersoalkan. Para pengguna gawai tidak lagi
peduli bahwa mereka telah menjadi tawanan seperti dalam cerita Plato itu. Bukan dinding goa,
melainkan layar; bukan bayang-bayang, melainkan simulacra sedang menjebak mereka. Namun
mereka tampaknya menikmati bayang-bayang itu. Apakah filsafat masih dapat menunaikan tugas
klasiknya?
Jawabannya adalah filsafat harus tetap menjalankan tugas klasiknya, yaitu mengajak berpikir
untuk menemukan kebenaran, memaknai keindahan, dan menilai kebaikan. Tugas ini diperlukan
justru di zaman kita, Ketika komunikasi digital menjadi mode of being kita yang baru.
Di samping gambaran manusia, secara praktis cara-cara pencarian kebenaran, keindahan, dan
kebaikan juga berubah. Mereka tidak dicari dengan refleksi-diri di dalam benak, pada daya
cerap, atau dalam lubuk hati sendiri, melainkan dicari dengan klik ke dalam belantara informasi
arahan Google atau Youtube. Akal tidak lagi herois seperti di zaman Pencerahan.
Ada sekurangnya tiga tugas filsafat di era komunikasi digital. Tugas pertama adalah menyingkap
ambivalensi komunikasi digital. Tugas kedua adalah kritik ideologi dan refleksi nasional.
Sebagai pengetahuan kritis, filsafat bertugas mewaspadai hubungan-hubungan kekuasaan
teknokratis dan dogmatism sains dan teknologi. Akhirnya tugas ketiga adalah memberi tilikan
etika komunikasi digital. Etika penting untuk membuat para pengguna media social mengalami
komunikasi sebagai suatu dunia yang meneguhkan kebersamaan mereka sebagai digital citizens.

Anda mungkin juga menyukai