MODUL PERKULIAHAN
W042100027 –
Cyber Culture
Hiper-realitas
Abstrak Sub-CPMK
06
Engga Probi Endri, S.I.Kom., M.A. &
Fakultas Ilmu Komunikasi Ilmu Komunikasi Tim Teaching
Pendahuluan
Latar Belakang
Dalam sebuah tataran teoritis, Hiper-realitas digunakan di dalam semiotika dan filsafat
pascamodern untuk menjelaskan ketidakmampuan kesadaran hipotetis untuk
membedakan kenyataan dan fantasi, khususnya di dalam budaya pascamodern
berteknologi tinggi. Jean Baudrillard adalah salah seorang tokoh kunci dalam konsep
postmodernisme. Pemikiran Baudrillard dikenal sebagai kritik terhadap budaya yang
berkembang pada masyarakat kontemporer, terutama penggunaan media massa dalam
men-seduksi masyarakat untuk mengkonsumsi. Menurut Baudrillard masyarakat berada
pada hiperrealitas model-model dan kode-kode hiper-realitas yang sangat mempengaruhi
pola pemikiran, tingkah laku dan makna. Dalam karya terbesar Baudrillard berjudul
Simulations (1983), ia menjabarkan apa itu simulasi, simulacra, dan kaitannya dengan
hiper-realitas.
Jean Baudrillard (1929-2007), adalah salah seorang tokoh kunci dalam konsep
postmodernisme. Pemikiran Baudrillard dikenal sebagai kritik terhadap budaya yang
berkembang pada masyarakat kontemporer, terutama penggunaan media massa dalam
men-seduksi masyarakat untuk mengkonsumsi. Menurut Baudrillard masyarakat berada
Tim Teaching
pada hiperrealitas model-model dan kode-kode hiper-realitas yang sangat mempengaruhi
pola pemikiran, tingkah laku dan makna
Dalam buku Simulations (1983), Baudrillard menguraikan tanda dalam tiga ordo
simulakra:
1. Simulakra sebagai representasi atas yang riil,
2. Simulakra sebagai representasi yang sama seperti yang riil
3. Simulakra sebagai representasi yang lebih riil dari yang riil. –dibahas detil dibawah
Ketiga hal diatas berkembang seiring perkembangan teknologi. Semakin maju suatu
teknologi, semakin riil pula representasi yang dihasilkan. Pada Ordo Ketiga
Simulakra—sebagamana kita alami saat ini—teknologi begitu maju sampai-sampai
representasi itu sendiri hadir sebagai realitas. Gejala inilah yang Baudrillard sebut
sebagai hiperrealitas, yaitu ketika representasi tidak memiliki kaitan dengan realitas
dan telah menjadi realitas itu sendiri.
Ciri-Cirii hiper-realitas:
1. Ledakan tanda dalam hiperrealitas menghilangkan yang riil. Dengan banyaknya
tanda, yang riil telah hilang ditelan tanda-tanda yang dianggap sebagai realitas.
2. Ledakan informasi telah menghilangkan makna media. Dalam hiperrealitas, media
tidak lagi berperan sebagai sarana komunikasi, tetapi sebagai sarana kontrol dan
kuasa.
Tim Teaching
Terlepas dari keempat kelemahan tersebut, pemikirannya telah menjadi dasar bagi
gerakan postmodernisme serta memberikan cara pandang baru untuk merefleksikan
gejala-gejala pada Abad XX
Pengertian simulacra menurut kamus Inggris The Oxford memberi arti berupa “aksi atau
tindakan menirukan dengan maksud menipu.” Konsep simulacra dari Jean Baudrillard
hadir sebagai akibat perkembangan teknologi dan perkembangan ekonomi, terutama
dengan pekembangan reproduksi mekanis, dan kemudian produksi elektronik dunia
virtual.
Tim Teaching
Latar belakang yang membuat hiper reallitas:
1. Fenomena cyberspace menjadi sebuah dunia baru sekaligus melahirkan dinamika
sosial yang baru bagi masyarakat. Holmes (2005) mengungkapkan adanya
ledakan eksponensial dalam jejaring ICT (Information Communication and
Technology) telah masuk pada tingkat menggeser orientasi sebagian orang untuk
dapat mengubah perasaan tentang ‘other’ atas pihak lain. Misalnya, saat
hubungan face-to-face telah digantikan oleh hubungan interface dan saat dunia
penuh dengan dengan benda-benda teranimasi yang bersaing dengan manusia itu
sendiri, dimana diisyaratkan oleh Sherry Turkle sebagai ‘second self’ atau diri
yang kedua.
2. Purwasito (2015) juga mengidentifikasi adanya perubahan besar akibat dari
perkembangan ICT ini, yaitu berpindahnya warga tradisional yaitu Citizen menjadi
warga negara global (Netizen).
3. Dampak dinamika sosial dalam bentuk semakin kaburnya realitas sosial yang
diteorikan Jean Baudrillard sebagai hiper-realiti
Contoh Hiper Realitas dalam sebuah penelitian kuliner di Solo (Jurnal Cakrawala E ISSN
2655-1969) mengatakan salah satu aktivitas update status yang banyak dilakukan dan
menjadi trend di kalangan anak muda salah satunya di Kota Solo adalah meng-update
aktivitas kuliner atau makan dan tempat makan mereka. Makan saat ini bukan hanya
sebagai aktivitas untuk memenuhi kebutuhan mereka untuk mendapatkan sumber energy,
namun makan saat ini telah menjadi gaya hidup bagi anak muda. Makan tidak lagi sebuah
rutinitas pokok dan biasa lagi, namun makan menjadi sebuah peristiwa penting yang
mesti mereka share teman media Emi W & Seto H Identitas Diri 234 sosial mereka dan
begitu penting melaporkan apa yang mereka makan dan dimana mereka makan, dengan
memanfaatkan media sosial seolah-olah mereka ingin menunjukkan status sosial mereka.
Tahapan Simulacra
Baudrillard membagi simulacra dalam tiga tingkatan untuk perbedaan antara simulacra itu
sendiri dengan simulasi, sekaligus mau menunjukkan tahap-tahap perkembangan
simulacra atau perintah-perintah simulacra
Tingkatan pertama adalah simulacra yang berlangsung sejak era Renaissance hingga
permulaan revolusi industri. Pada tingkatan ini, bahasa, tanda dan objek adalah
representasi dari realitas alamiah dan mulai membentuk yang imaginasi (tiruannya),
sekaligus memiliki sifat transenden. Representasi tersebut masih mempunyai jarak dan
perbedaan dengan realitas alamiah tersebut. Contohnya: karya seni, misalnya, masih
Tim Teaching
dibuat berdasarkan representasi dengan realitas alamiah atau realitas transenden.
Lukisan-lukisan berusaha menggambarkan realitas alamiah, yang walau tidak sama
persis dengan realitas, namun merepresentasikan realitas. Di sana ada sifat transendensi
yang dihasilkan.
Tingkatan kedua, simulacra berlangsung seiring perkembangan era industrialisasi. Pada
tingkatan ini terjadi pergeseran mekanisme representasi akibat berbagai dampak negatif
industrialisasi. Pada tingkatan ini berlaku mekanisme representasi berkat teknologi
reproduksi dan segala bentuk materialisasi oleh kekuatan mesin, yakni objek tiruan tidak
lagi mempunyai jarak dengan objek yang asli.
Contohnya: Lukisan diganti dengan foto, yang memiliki keserupaan dengan objek aslinya.
Mekanisme representasi pada tingkat ini merupakan mekanisme reproduksi material yang
kehilangan aura transendensinya.
Tingkatan ketiga, simulacra pada tingkat ini sering disebut Baudrillard sebagai stadium
akhir dari simulasi, yang mana, terjadi berkat dampak perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi informasi, media massa, komunikasi global dan konsumerisme. Pada
tingkatan ini simulacra merupakan wujud silang antara tanda dan kode budaya, yang tidak
lagi mempunyai representasinya atas realitas. Simulacra tingkat ini yang dinamakan
secara khusus sebagai “simulasi”.
Kesimpulan : Baudrillard menyatakan bahwa manusia telah bergerak dari meniru benda-
benda real (periode Renaissance dan simulacra tingkat pertama), lalu memproduksi
barang-barang real (kapitalisme konsumen atau simulacra tingkat kedua), ke
mereproduksi proses peniruan itu sendiri (simulasi).
Era Simulasi menurut Baudrillard adalah era dimana seseorang telah kehilangan
keasliannya dan secara cepat digantikan dengan pesona kepalsuan yang ditawarkan
dunia. Era simulasi telah mengancam bentuk orisinil dari realitas dan sekaligus
mengubahnya dalam bentuknya yang lain, tanpa substansi, tanpa makna dan tanpa
kebenaran. Era simulasi, secara radikal telah menghapus perbedaan antara yang real
dengan yang imaginer, “yang nyata dengan yang palsu” dan saling bercampur.
Penyatuan dan percampuran antara yang asli (real) dan yang palsu (imaginary) ini,
membentuk sebuah kenyataan baru yang lebih benar dari yang benar, lebih nyata dari
yang nyata. Batas yang dulunya nampak secara jelas, berubah menjadi kabur, bahkan
hancur ke dalam “longsoran simulacra”. Jadi simulacra merupakan perpaduan dan
Tim Teaching
kesatuan antara nilai, fakta, tanda, citra dan kode, yang tak terbedakan lagi dari masing-
masing unsur tersebut.
Dalam dunia simulasi, realitas dibentuk dari model-model dan model-model itu menjadi
rujukan bagi nilai dan referensi bagi makna budaya, sosial, dan politik, yang kemudian
disebarluaskan melalui media informasi seperti televisi, iklan, film, internet dan lain
sebagainya.
Contoh : mobil merk A disinonimkan dengan maskulinitas dan laptop merk B seakan-
akan bisa membuat orang terlihat lebih cerdas.
1. Foto Digital
Bila mendengar kata ‘foto’, maka yang terlintas dalam benak kita adalah hasil cetak
dari negatif film yang dihasilkan oleh kamera. Prosesnya cukup rumit, memakan
waktu yang lama dan hasilnya fix seperti gambar obyek aslinya yang diambil.
Seseorang difoto di depan Monas, maka hasil yang diperoleh : orang di depan Monas
(Monumen Nasional). Dengan kemampuan digital, kini foto-foto disimpan dalam
bentuk data (bit) yang ringkas, dikenal juga dalam istilah komunitas komputer grafis :
pixel. Banyak tidaknya pixel ini menentukan resolusi pada gambar digital. Semakin
banyak, maka semakin rapat gambar, semakin halus tampilan gambar. Dengan
berupa data, gambar-gambar ini dapat dengan mudah diolah kembali pada media
komputer grafis. Suatu software manipulasi foto dapat dengan mudah mengganti
setting background foto dengan setting baru yang diinginkan. Orang tidak perlu ke
Tim Teaching
kutub untuk berfoto dengan orang eskimo. Orang tidak perlu ke bulan untuk berfoto
dengan latar belakang pemandangan bumi. Memperbagus tampilan foto pun dapat
dilakukan. Orang tidak perlu sibuk menutupi jerawat dengan make up tebal plus lensa
soft pada kamera. Kini orang dapat tampil mulus pada foto dengan olahan image
komputer. Kehadiran foto digital menimbulkan pula dampak negatif. Rekayasa/
manipulasi foto yang dilakukan melalui media grafis computer saat ini semakin
berkembang dengan mumculnya aplikasi gratis untuk merubah tampilan foto.
Misalnya, foto aktris dipisah antara badan dan kepalanya, kemudian kepala aktris
tersebut dipasangkan pada tubuh wanita lain yang tampil polos.
3. Game
Salah satu bentuk aplikasi dari animasi 3D adalah penggunaannya dalam game, baik
itu untuk PC (komputer) maupun untuk mesin video game (play station, sega, dsb).
Game-game yang dihasilkan secara tampilan grafis memang tampak luar biasa.
Karakter tokoh pemain dapat dimunculkan sedemikian baik dengan bantuan
komputer. Sehingga pemain semakin dimanjakan dalam bermain. Permainanpun
dipercantik dengan selingan cerita yang direfleksikan melalui klip animasi 3D atau 4D.
Demikian permainan kini lebih hidup, menarik pemain masuk dalam dunia khayalan
Tim Teaching
yang diciptakan melalui plot skenario permainan. Hal ini pula yang menyebabkan
tidak hanya anak-anak yang menyukai permainan video games tapi juga kini para
eksekutif muda masih berhasrat untuk memainkan play station. Industri hiburan
khususnya video game ini, seperti halnya dengan industri film benar- benar
memanfaatkan kemampuan grafis untuk menjaring lebih banyak maniak game. Tidak
hanya menciptakan variasi permainan tapi juga penampilan grafis. Hal ini berlaku
juga bagi industri game bagi komputer PC, terutama game online. Sepertinya kelak
game akan menuju babak baru di mana pencitraan visual akan mendekati pada
kesempurnaan ilusi. Hal ini dibentuk melalui media virtual reality (VR). Di sini pemain
akan menggunakan fisiknya (seluruh tubuh) untuk melawan musuh-musuh khayalan
yang tampak nyata didepan mata. Ini lah bentul lain dari hiperrealitas visual lewat
game.
4. Virtual Reality (VR) Pada awalnya, VR ini merupakan simulasi akan suatu keadaan
lingkungan, terutama untuk simulasi (latihan) penerbangan bagi para pilot pesawat
terbang. Kemudian berkembang sebagai sarana simulasi tempur militer. Bentuknya
merupakan layar dengan proyeksi film yang memperlihatkan keadaan sebenarnya,
sehingga dengan demikian diharapkan pelaku dapat merasakan seolah-olah berada
pada kondisi / keadaan yang sesungguhnya, sebagaimana dengan gagasan dibalik
VR sendiri yaitu memberikan pengalaman “berada di sana”. Pada dunia arsitektural,
kita dikenalkan dengan teknologi walkthrough. Walkthrough ini merupakan salah satu
‘gerbang’ menuju VR. Dengan fasilitas ini, seorang arsitek dapat mempresentasikan
rancangannya dengan mensimulasikan keadaan pada ruangan yang dimaksud. Klien
seakan diajak untuk mengamati dan merasakan seperti bagaimana ruang yang akan
dibangun tersebut. Matshuhita, sebuah perusahaan Jepang, misalnya, telah
menerapkan sistem desain virtual pada produk kitchen set-nya. Dengan
menggunakan sarung tangan dan kacamata cyberspace, memungkinkan calon
pembeli menciptakan model dapur yang diinginkan lewat komputer. Model ini
kemudian dipindahkan ke silicon graphic untuk menciptakan citraan grafis. Lalu eye
phone dan data glove dihidupkan, tanpa bergerak selangkahpun secara fisik,
seseorang dapat berjalan mengitari dapur virtual: menaruh peralatan dapur,
menggesernya ke tempat lain, mengubah warna kulkas, memperkecil oven
microwave, dan seterusnya. Calon pembeli juga dapat mengitari dapur untuk
melihatnya dari sudut manapun. Calon pembeli mengalami hidup di sebuah dapur
yang nyata, meski belum satu rakpun yang diproduksi. VR masih dalam tahap
pembangunan menuju tahap sempurna. Hal-hal teknis seperti resolusi yang masih
Tim Teaching
rendah dan kasar, respon yang masih tidak sesuai seperti yang diharapkan
(terlambat), dll., kesemuanya dalam proses penyempurnaan. Kelak, dengan
peralatan tertentu (Helm dgn kaca pencitraan visual, kostum) yang dihubungkan
dengan komputer, kita akan dapat merasakan berjalan di Mars, merasakan berada
pada ketinggian tertentu dan terbang, yang tentu saja semuanya tidak nyata
melainkan hasil simulasi 3D atau 4D secara total sehingga orang tersebut seakan
berada secara nyata pada kondisi/tempat yang diinginkan, sekaligus berinteraksi di
dalamnya. Hal ini dimungkinkan mengingat VR merespon setiap gerakan dan posisi
untuk kemudian simulasi menyesuaikan dengannya. Dalam bidang seni, teknologi
virtual telah melapangkan jalan bagi proses produksi, reproduksi, dan dekonstruksi
estetik. Proses reproduksi seni yang dimungkinkan lewat kemajuan teknologi
reproduksi seperti yang dikatakan Walter Benyamin di dalam Art in the Age of
Mechanical Reproduktion’ beberapa abad yang lalu, kini telah berkembang ke arah
kemungkinan manipulasi, dan penggunaan trik-trik visual.5 Pada proses seni lukis
konvensional sebuah lukisan diciptakan oleh seniman secara dua dimensi di atas
permukaan kanvas dengan memadukan bentuk dan warna, untuk menghasilkan satu
citraan. Atau sebuah patung meluas ke dalam ruang tiga dimensi, namun bentuk
yang dihasilkan tetap saja bersifat statis, dalam pengertian tidak berubahubah pada
pandangan pengamat. Seni virtual, sebaliknya, memungkinkan penjelajahan bentuk
dan pengalaman estetik yang jauh berbeda. Tidak seperti format seni yang
sebelumnya, seni virtual bersifat tiga dimensi semu, interaktif dan dapat melibatkan
indra dan perasaan secara total. Kita, misalnya, dapat melangkah ke dalam lukisan,
seakan-akan kita masuk ke dalam sebuah ruang gelas kaca, untuk seterusnya
menggembara ke dalam dunia psikis seniman. Lebih dari itu, kita dapat secara nyata
mengambil bagian dalam proses penciptaan atau dekonstruksi master piece seperti
Monalisa-mengubah, menghapus, menambahkan apapun sesuka kita.6 5. Internet
Dalam internet, di mana berjuta informasi tertampung, maka format still image (jpg,
bmp, dll.) juga format gambar bergerak (Avi, Mov, dsb.) akan semakin mudah
dijumpai dan diakses secara langsung di manapun orang berada. Dampak positifnya,
sumber informasi berupa teks, gambar dan film dengan mudah didapat. Tapi
kemudian, dampak negatifnya pun jelas. Berbagai macam pornografi dapat diperoleh
dikarenakan kemudahan akses gambar dan film. Sebut saja artis-artis terkenal baik
yang legal maupun ilegal dapat dilihat (diakses) dalam keadaan tanpa busana. Juga
klip/potongan film porno dapat diakses dan di download dengan mudah. Setelah
diuraikan beberapa pencitraan digital saat ini dan masa yang akan datang,
Tim Teaching
Bahan Diskusi :
Pemikiran Baudrillard dapat memberikan kontribusi atas beberapa pertanyaan berikut:
- Bagaimanakah anda dapat menjelaskan krisis multi dimensional di Indonesia?
- Apakah untuk hidup kita memerlukan identitas? Bila identitas itu tidak perlu, apakah
kekacauan yang kita alami sekarang ini disebabkan tidak adanya identitas kita sebagai
bangsa?
- Bagaimanakah, berhadap-hadapan dengan globalisasi – tanpa identitas akankah sirna
masyarakat “Indonesia” itu? Atau sebaliknya dengan ditemukannya suatu formulasi
tentang apa yang disebut “Kebudayaan Indonesia”, dapatlah kiranya menyelesaikan
segala kemelut, mempersatukan bangsa dan kita dapat bersaing dengan bangsa-bangsa
lain?
- Apakah ledakan revolusi informatika yang berpusing membentuk galaksi menjadikannya
sebagai chain of signifier tanpa referen yang semakin membesar tanpa batas itu
menentukan segala nilai-nilai kebudayaan kita?
Tim Teaching
Daftar Pustaka
Referensi Buku :
Bell, David ; Brian D.Loader ; Nicholas Pleace and Douglas Schuler. 2004. Cyberculture
The Key Concepts. Taylor & Francis e-Library. London and New York
Sumber Artikel :
Pawanti, Mutia Hastiti. 2013. Masyarakat Konsumeris Menurut Konsep Pemikiran Jean
Baudrillard. http://lib.ui.ac.id
https://ejournal.uksw.edu/cakrawala/article/view/3567
http://repository.wima.ac.id/id/eprint/22425/
http://download.garuda.ristekdikti.go.id/article.php?article=1348069&val=354&title=HIPER
-REALITAS%20VISUAL
Tim Teaching