Hiperrealitas
(Rachmadhidayat@ugm.ac.id)
Teori hiperealitas adalah teori untuk menjelaskan konstruksi kesadaran populis pada
masyarakat post-modern yang, menurut Baudrillard, dipenuhi distribusi dan reproduksi
tanda-tanda yang masif. Ketergantungan pada tanda yang akut adalah salah satu ciri
masyarakat post-modern.
Menurut Baudrillard, masyarakat modern dicirikan dan diorganisasi oleh bentuk produksi
dan konsumsi akan komoditas. Sementara masyarakat post-modern atau masyarakat
kapitalis lanjut, diatur berdasar simulasi dan permaian tanda dan imaji-imaji. Sebagai
implikasinya, model-model, tanda dan imaji adalah bentuk pengorganisasian dari
tatanan sosial yang lebih baru, masyarakat post-modern, di mana simulasi tanda-tanda
tersebut beroperasi. Masyarakat post-modern adalah masyarakat penonton, pemirsa,
spectacle society.
Tanda adalah objek buatan yang semula berfungsi untuk mengkomunikasikan suatu
keadaan atau kenyataan. Artinya tanda tidak berdiri sendiri, karena ia hanyalah sinyal
dari sebuah keadaan empiris lainnya. Namun dalam masyarakat post-modern, tanda
telah bergeser dari fungsi dan posisi tersebut, di mana tanda diciptakan dan digunakan
untuk dirinya sendiri tanpa perlu merujuk pada kenyataan. Teori tanda ini adalah adopsi
dari teori semiologi Roland Barthes.
Tanda yang seperti ini, yang berdiri sendiri dan tidak memiliki relasi dengan duninya
nyata, disebut oleh Baudrillard sebagai Simulakrum.
1
Produsen utama simulakrum adalah teknologi media dan informasi, yang didorong oleh
politik ekonomi, pertarungan kekuasaan dan manipulasi populasi modern.
Baudrillard menjelaskan bahwa hiperrealitas adalah tahap kritis dari simulakra, di mana
kesadaran massa tidak lagi memiliki kaitan sama sekali dengan dunia nyata. Kesadaran
publik didikte oleh tanda-tanda atau imaji yang menjelma menjadi kenyaataan itu sendiri
dan membentuk ruang persepsional publik. Dalam keadaan seperti itu, kenyataan
sesungguhnya sekedar menjadi efek operasional dari proses-proses atau dynamika
simbolik.
Pada tahap ini, posisi kekuatan teknologi seolah telah menaklukkan kapasitas subjek
manusia yang dibayangkan oleh Immanuel Kant mampu mensitesis konsep dan intuisi.
Bahkan menggeser posisi pekerja Marxian yang menghasilkan makna melalui kerja. Lebih
2
jauh teknologi mengatasi dimensi ketidaksadaran dan mekanisme represi hasrat
sebagaimana dinyatakan dalam teori Sigmund Freud.
Konteks sosial di mana teori hiperrealitas khususnya dimaksudkan adalah sirkulasi tanda-
tanda dan simbol di dunia media masyarakat industri yang kemudian berkembang sangat
pesat sebagai akibat teknologi internet. Internet mendorong penciptaan dunia maya
menjadi situs hiperrealitas yang semakin masif.
Wujud dunia hiperreal ada pada realitas sehari-hari misalnya Disneyland, realitas simulasi
media-- seperti iklan, vidoe klip--, dunia hollywood dengan film-filmnya, taman-taman
hiburan artificial, malls dan lahan fantasi komersial, TV sports, reality games virtual,
media sosial (istagram, facebook, youtube, dll), pornografi, dan bentuk-bentuk artificial
dari dunia ideal fantasional.
Menurut Baudrillard, realitas fantasional ini lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri.
Model-model, imaji, dan simbol-simbol yang beredar di sana mengontrol pikiran dan
perilaku massa, lebih daripada pengalaman real.
Beberapa satu contoh bentuk hiperalitas adalah propaganda industri global peluncuran
film-film fantasional hollywood seperti Frozeen II dan I, the Avengers, Fast and Fourius I-
IV, Harry Potter yang menciptakan kesadaran fantasi di kalangan massa. Seperti juga
peluncuran virtual games Mobile Legend, GTO, Resident Evil atau Pokemon, hingga
propaganda terorisme global, dan produksi hoax secara masif saat kampanye. Iklan-ikan
komersial di layar kaca, poster, baliho juga adalah bentuk simulakrum yang dikonsumsi
setiap hari.
3
Dalam masyarakat simulasi, identitas individu dan kelompok dibentuk melalui permaian
imaji-imaji yang dicocokkan. Kode, mimik, postur dan model-model menentukan
bagaimana individu-individu mempersepsi diri sendiri dan berhubungan dengan orang
lain. Keputusan untuk mengkonsumsi atau membeli-membayar (ekonomi), pilihan dan
referensi politik , pergaulan sosial dan ekspresi nilai dan estetika (budaya) semua
organisasi produk simulasi. Produk-produk ini muncul dalam layar kaca publik dan
personal: iklan-iklan, video klip, budaya hollywood, bollywood dan sinetron/opera sabun,
dan program TV, propaganda politik, hoax, hate speeches, sirkulasi wacana dan fantasi
tentang identitas, kemakmuran, kejayaan, kesuksesan dan kehebatan di berbagai
platform sosial media. Kesemua simulasi simulakrum ini membentuk kesadaran dan lebih
jauh mengatur realitas sosial.
Disebutkan di muka, bahwa simulakrum adalah tanda yang tidak merujuk pada fakta
real. Tetapi dia merujuk pada dirinya sendiri sebagi tanda atau merujuk pada tanda yang
lain. Situasi ini digambarkan oleh Baudrillard seperti parade cermin, sebuah etalase
ruang yang hanya berisi cermin, di mana sebuah bayang-bayang (sebgai tanda) tidak
merujuk pada sebuah objek real, tapi merujuk pada bayangan cermin-cermin lainnya
dengan rangkaian yang tidak terbatas. Yasraf Amir Pilliang menyebut rangkaian tanda
tanpa henti ini sebagai labirin impian (Pilliang 2001).
Dalam bentuk realnya, contoh dari parade cermin ini adalah simulakrum dan imaji yang
muncul di layar TV, yang adalah bayangan atau kelanjutan dari tanda lain yang muncul di
layar komputer personal (lewat youtube, game virtual, facebook dll), yang adalah
cerminan dari tanda lain yang muncul di gadget personal (istagram, facebook, WA, iklan
4
dll), dan yang adalah cermin dari tanda lain yang muncul di papan iklan komersial, yang
adalah bayangan dari tanda lain yang muncul di layar cinema, demikian seterusnya
dengan rangkaian simulasi yang tidak ada ujungnya. Inilah gambaran sederhana dari
simulakra, jaringan simulakrum, tanda dan citra tanpa rujukan.
Akibat simulasi tanda tersebut, maka kelas-kelas sosial menghilang, politik mati (karena
tidak ada tujuan kehidupan politik yang sesungguhnya), demikian juga misi-misi besar
seperti kebebasan, revolusi and keadilan (karena artikulasi dari misi-misi tersebut telah
terserab hanya sebagai tanda).
Baudrillard menjelaskan lebih jauh bahwa efek lebih jauh dari hiperealitas adalah reduksi
dan leburnya batas-batas dan dikotomi yang semua muncul dalam masyarakat modern
seperti dikotomi kelas, gender, keperpihakan politik, budaya dan masyakarat, rasio dan
emosi. Apabila masyarakat modern awal dicirikan oleh perbedaan maka masyarakat post-
modern dicirikan oleh leburnya perbedaan itu, karena semua ekspressi dan organisasi
beroperasi dengan manipulasi dan permainan tanda.