Anda di halaman 1dari 14

TUGAS KELOMPOK

MATA KULIAH MEDIA AND CULTURAL STUDIES


“Semesta OASIS: Analisis Hyperreality dalam Film Ready Player One”
Dosen pengampu: Dr. Desi Dwi Prianti, M. Comn.

Kelompok 1:
Alleyda Maharani Ambadar (215120207111022)
Andika Hema Wirayudha (215120200111024)
Maria Desvita Sari (215120200111019)
Rahma Dina Noviani R (215120207111074)
Ricky Starky Krones (215120207111099)

Departemen Ilmu Komunikasi


Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Brawijaya
Malang
2023
Abstrak
Tulisan ini berusaha menganalisis konsep hyperreality Baudrillard dalam film science
fiction Ready Player One. Keseluruhan film menunjukan secara gamblang bagaimana konsep
hyperreality terjadi di realitas masa depan yang dikemas dengan visual yang sedemikian rupa.
Hyperreality pada film ditunjukan dari berbagai aspek yaitu bagaimana semesta OASIS yang
diakses melalui teknologi virtual-reality sebagai jaringan permainan role-play global dapat
dilihat sebagai bentuk simulacrum, bagaimana tahapan simulacrum di dalamnya,
phantasmagoria game, akhir dari panopticon, dan ledakan makna di media.
Kata Kunci: hyperreality, ready player one, simulacrum, simulation, OASIS.

Pendahuluan
Pada era digital yang semakin maju seperti saat ini, teknologi telah memengaruhi
berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk di dalamnya adalah cara manusia memandang
dunia. Peningkatan penggunaan teknologi yang begitu pesat telah mengubah cara manusia
berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya dan memperkenalkan konsep-konsep baru seperti
hyperreality. Hyperreality adalah sebuah konsep yang mengacu pada pengaburan batas antara
realitas dan dunia maya yang diciptakan oleh media dan teknologi. Menurut Baudrillard (1994),
hiperrealitas adalah kondisi ketika orang tidak dapat membedakan antara dunia nyata dan dunia
maya. Hiperrealitas tidak didasarkan pada realitas melebihi dirinya sendiri.
Salah satu contoh dari representasi hyperreality dapat ditemukan dalam film Ready
Player One yang dirilis pada tahun 2018. Film tersebut mengambil latar di masa depan di mana
manusia lebih memilih untuk menghabiskan waktu mereka di dalam dunia virtual yang disebut
OASIS daripada dunia nyata yang kacau dan kotor. Dalam film ini, OASIS menjadi sebuah
contoh dari hyperreality karena dunia maya tersebut memungkinkan penggunanya untuk
mengganti identitas, mengubah penampilan, dan mengeksplorasi dunia dengan cara yang tidak
mungkin di dunia nyata.
Analisis hyperreality dalam Ready Player One adalah topik yang menarik untuk
dieksplorasi. Hyperreality mengacu pada kondisi di mana dunia maya atau virtual dianggap
sebagai realitas yang sama pentingnya dengan dunia nyata. Film ini menunjukkan bagaimana
pengalaman virtual dalam OASIS mampu menggantikan realitas yang sebenarnya bagi
karakter-karakternya.
Dalam konteks analisis hyperreality, Ready Player One menunjukkan betapa pentingnya
dunia maya dalam kehidupan kita saat ini dan bagaimana kita dapat terjebak dalam kehidupan
virtual yang terasa nyata. Namun, film ini juga menunjukkan betapa pentingnya memiliki
hubungan yang sehat dengan dunia nyata dan menemukan keseimbangan antara kehidupan maya
dan kehidupan nyata.

Hyperreality
Hyperreality adalah konsep yang diperkenalkan oleh Jean Baudrillard. Istilah tersebut
mengacu pada kondisi saat realitas digantikan oleh simulacra, sesuatu yang tidak memiliki
referensi dunia nyata. Dengan kata lain, hyperreality adalah keadaan pikiran saat orang tidak
dapat membedakan mana yang nyata dan mana yang tidak (Baudrillard, 1994).
Baudrillard berpendapat bahwa munculnya budaya konsumen dan media massa telah
menyebabkan keadaan hyperreality. Dia percaya bahwa kita sekarang hidup di dunia saat citra
menjadi lebih nyata daripada yang sebenarnya. Ini karena media menciptakan aliran simulasi
tanpa henti yang dikonsumsi orang setiap hari. Simulasi ini menjadi lebih nyata bagi orang
daripada objek atau pengalaman aktual yang mereka wakili.
Untuk memahami hyperreality, kita perlu memahami perbedaan antara realitas dan
simulasi. Realitas mengacu pada dunia sebagaimana adanya, terlepas dari persepsi kita
tentangnya. Simulasi, di sisi lain, adalah salinan atau representasi dari sesuatu yang ada dalam
kenyataan. Misalnya, lukisan manusia adalah simulasi dari manusia asli. Namun, dalam
hyperreality, simulasi menjadi lebih nyata daripada realitas yang diwakilinya sehingga menjadi
simulacrum atau simulacra.
Contoh hyperreality lainnya adalah cara orang mengonsumsi berita. Media menciptakan
simulasi peristiwa yang disederhanakan dan dibuat sensasional. Orang-orang mengonsumsi
simulasi ini dan percaya bahwa itu nyata. Namun, simulasi bukanlah representasi akurat dari
kenyataan. Informasi tersebut diedit dan dikemas dengan cara yang dirancang untuk menarik
perhatian orang dan membuat mereka tetap menonton.
Orang mungkin percaya bahwa mereka dapat mencapai kehidupan yang sempurna jika
mereka membeli produk yang tepat atau mengikuti gaya hidup yang benar. Mereka mungkin juga
percaya bahwa mereka dapat mengubah dunia dengan membagikan postingan media sosial atau
menandatangani petisi online. Keyakinan ini didasarkan pada simulasi yang tidak memiliki
referensi dunia nyata. Oleh karena itu, ini berkaitan juga dengan berita bohong.
Selanjutnya, Baudrillard berpendapat bahwa hyperreality menciptakan budaya manusia
menjadi konsumen pasif dari simulasi. Mereka tidak terlibat secara aktif dengan dunia di sekitar
mereka karena terlalu sibuk mengonsumsi simulasi. Ini menciptakan rasa keterasingan dan
keterputusan dari kenyataan.
Kondisi ini disebabkan oleh maraknya budaya konsumtif dan media massa. Akibatnya,
terdapat terdapat rasa keterasingan atau alienasi dari kenyataan. Untuk memerangi hiperrealitas,
orang perlu lebih sadar akan simulasi yang mereka konsumsi dan secara aktif terlibat dengan
dunia di sekitar mereka.
Simulacrum adalah istilah yang sering muncul dalam pembahasan terkait Hyperreality.
Simulacrum (simulacra, dalam bentuk jamak) mengacu pada reproduksi akan sesuatu yang
konkret dimana gagasan tentang yang nyata tidak lagi menjadi referensi/petanda, melainkan
simulacrum itu sendiri yang menjadi referensi (Wolny, 2017). Baudrillard (1994) dalam bukunya
menjelaskan bahwa simulacra bukan lagi sesuatu yang memiliki referensi, tetapi disebut sebuah
generasi model yang nyata tanpa asal atau realitas. Dalam hal ini, simulacra-lah yang menjadi
realitas itu sendiri, hyperreality. Simulacrum adalah realitas baru yang dibentuk melebihi realitas
yang kita kenal sekarang.

Film Ready Player One


Ready Player One merupakan film Amerika bergenre science fiction yang dirilis pada
tahun 2018 dan merupakan film karya Steven Spielberg mengangkat cerita dari novel yang
ditulis oleh Ernest Cline. Film ini diawali dengan penggambaran realitas dunia nyata pada tahun
2045 yang penuh kekacauan dan kerusakan. Masyarakat dalam film ini menggunakan teknologi
virtual reality sebagai hiburan yang disebut semesta “OASIS” (Ontologically Anthropocentric
Sensory Immersive Simulation) yang diciptakan oleh James Halliday dan Ogden Morrow of
Gregarious Games. Ketika James Halliday meninggal dunia, ia mewariskan kekayaannya kepada
orang yang berhasil menemukan Easter Egg yang tersembunyi dalam semesta OASIS. Kontes ini
kemudian diikuti oleh banyak orang termasuk Wade Watts seorang yatim piatu yang hidupnya ia
habiskan hanya dalam semesta OASIS. Wade Watts memiliki teman virtual yang kemudian
bersekutu dengannya untuk memenangkan kontes Halliday sebelum dimenangkan oleh
perusahaan jahat yang semena-mena pada masyarakat di kehidupan dunia nyata. Keseluruhan
film ini menggambarkan secara gamblang bagaimana bentuk nyata dari teori Hyperreality yang
dikemukakan oleh Jean Baudrillard yang dikemas dengan sedemikian rupa.

Hyperreality dalam Film Ready Player One


a. OASIS Universe as Simulacrum
OASIS (Ontologically Anthropocentric Sensory Immersive Simulation)
merupakan jaringan permainan role-playing global yang diakses oleh jutaan pengguna
dalam film Ready Player One melalui teknologi virtual reality. Menurut Mihelj (dalam
Putro, 2015) virtual reality merupakan simulasi komputer interaktif yang menggunakan
alat (satu atau lebih) sebagai pengganti indera sensor bagi pengguna untuk terjun ke
dalam dunia virtual. Semesta OASIS yang diciptakan James Halliday dan Ogden Morrow
of Gregarious Games ini berisikan segala hal yang berasal dari imajinasinya maupun
pengguna yang divisualisasikan dengan sedemikian rupa.
Pengguna dalam OASIS dapat merepresentasikan dirinya menjadi karakter
apapun sesuai imajinasi pengguna tanpa batasan, baik itu berbentuk seperti manusia yang
dimodifikasi rupanya, robot, monster, dan masih banyak lagi yang tidak memiliki
referensi dari dunia nyata. Hampir seluruh pengguna berfokus pada kehidupannya di
dalam OASIS sehingga kehidupan di dunia nyata menjadi terbengkalai, apa yang ada di
dalam OASIS yang kemudian dianggap menjadi realitas baru yang melampaui realitas
aslinya. Hal ini sejalan dengan konsep simulacrum dalam teori Hyperreality Baudrillard.
b. Three Orders of Simulacrum
Teori Baudrillard (dalam Patra 2021) menyebutkan ada tiga tatanan dalam
simulacrum, sebagai berikut ini:
Penggambaran realitas dapat dipahami sebagai ilusi yang kedudukannya
sangat bergantung pada yang ‘nyata’, di mana realitas disini diilustrasikan dan
diidentifikasi sebagai pemalsuan mutlak dari yang nyata. Berkaitan dengan film Ready
Player One sebagai film yang diadaptasi dari novel dengan judul serupa karya Ernest
Cline. Cline menghadirkan salah satu dunia fiksi yang dikonstruksikan oleh simulakrum
dan dikenal dengan sebutan OASIS (Ontologically Anthropocentric Sensory Immersive
Simulation) yang merupakan sebuah MMOSG (massively multiplayer online simulation
game) ciptaan karakter James Halliday dan Ogden Morrow yang berasal dari GSS
(Gregarious Simulation Systems) atau sebelumnya memiliki sebutan Gregorious Games.
Dalam film Ready Player One ‘keterasingan kognitif’ dikonstruksikan oleh
simulasi teknologi yang imersif dan menyusup ke dalam diri pengguna atau semua
karakter yang terlibat di sepanjang alur cerita. OASIS juga berperan sebagai jenis
mediatrix utama, di mana realitas dari seseorang disimulasikan maupun diproyeksikan
memiliki suatu kemiripan dengan realitas yang ‘nyata’ di depan jutaan audiens. Film
Ready Player One juga menawarkan sebuah dunia fiksi yang melibatkan ide-ide utopis
dan dystopis, karena film tersebut mengilustrasikan dunia dengan obsesinya terhadap
sebuah game di mana dunia fiksi ini merupakan kolaborasi antara realitas virtual
berteknologi tinggi dan realitas sebenarnya yang dikemas ke arah nostalgia tahun 80-an,
seperti halnya visualisasi lingkungan yang beragam, mulai dari kota-kota bertemakan
cyberpunk, tanah berlatarkan zombie pasca perang, dunia sihir, berbagai planet dirancang
secara detail, dan lingkungan lainnya yang dibuat secara acak berdasarkan pada
serangkaian template. Lingkungan dalam OASIS dihuni oleh berbagai avatar sebagai
karakter yang dapat diciptakan oleh setiap orang (pemain) sesuai dengan kehendak yang
diinginkannya, berbagai NPC (nonplayer character) dengan kecerdasan secara artifisial,
baik manusia, hewan, monster, alien yang berinteraksi satu sama lain dan dikontrol oleh
komputer.
Batasan antara realitas dan representasi mulai kabur atau memudar, karena
sebagian besar diakibatkan oleh produksi massal dari proliferasi salinan sehingga hal
tersebut mencakup upaya untuk menggantikan realitas yang mendasarinya, namun tidak
menutup kemungkinan seseorang juga mampu mengakses fakta tersembunyi dari realitas
baru atau replikasi tersebut melalui kritik yang efektif. Semua karakter yang terlibat
dalam film Ready Player One, divisualisasikan melalui avatar yang menawarkan kepada
setiap orang (pemain) untuk menciptakan persona apa pun untuk dirinya sendiri dan
memungkinkan untuk mengontrol bagaimana penampilan bahkan suara mereka saat
berbicara dengan tingkat anonimitas yang tinggi. Sementara tubuh para pemain bergerak
dalam ruang fisik realitas yang sebenarnya, pikiran mereka tetap bebas mengembara di
ruang fase multi-dimensi dunia hyperreality–dikenal dengan sebutan OASIS, maka dari
itu avatar dalam simulasi ini pada hakikatnya bebas mengembangkan realitas psikologis
dan tubuh mereka sendiri.
Para pemain di balik avatar juga dapat meng-upgrade diri mereka untuk naik ke
level yang lebih tinggi dengan spesifikasi dan kemampuan yang lebih kompleks lagi
sehingga mereka semakin tertarik dengan realitas virtual atau simulasi yang penuh
dengan teka-teki, kompleks, dan menimbulkan rasa adiksi. Dengan kebebasan akan
pemenuhan hasrat yang tidak dapat disalurkan pada realitas yang sebenarnya, membuat
orang-orang tersebut rela menghabiskan uang ‘sungguhan’ mereka agar mampu
mendapatkan dan membeli simbol pada status sosial virtual seperti aksesori untuk avatar
mereka, properti virtual, bahkan kendaraan virtual, seperti mobil terbang.
Tidak ada perbedaan antara realitas dan representasinya, sebagaimana
representasi atau replikasi sudah mendominasi dan mulai membentuk sifat realitas
barunya sendiri. Dalam OASIS perbedaan antara realitas sebenarnya dan realitas virtual
kian lama kian melebur, objek-objek tiga dimensi dari realitas virtual melampaui dan
menggantikan peran dari realitas yang sebenarnya. Dalam hal ini teknologi simulasi tidak
hanya berfokus dalam menyeragamkan semua keunikan, tapi juga menciptakan pola-pola
yang sudah dikenali sebelumnya kemudian mendorong pembangunan dunianya sendiri.
Pada akhirnya OASIS akan mengubah cara hidup setiap orang di seluruh dunia, cara
mereka bekerja, berkomunikasi, hiburan yang digemari mereka, jejaring sosial, bahkan
politik secara global. OASIS yang semula dipasarkan sebagai jenis game online terbaru
berbasis multipemain masif, berevolusi dengan cepat menjadi cara hidup yang baru.
Dengan demikian dapat kita amati bahwa mesin dan manusia menyerap dalam hubungan
simbiosis yang erat sebagaimana mesin tidak lagi berperan sebagai pelengkap justru
beroperasi secara berdampingan dan selaras dengan manusia.
c. Phantasmagoria Game
Phantasmagoria awalnya merupakan bentuk hiburan teater yang populer pada
abad ke-18 penampakan hantu dibentuk. Pada akhir abad ke-18 fisikawan dan pesulap
menciptakan pertunjukan cahaya jenis baru, yang mereka sebut phantasmagoria atau
fantasmagoria (Mannoni & Brewster, 1996). Hiburan ini membentuk keadaan seperti
mimpi di mana elemen nyata dan imajiner menjadi kabur bersama. Berdet (2013) juga
menyebutkan “phantasmagoria is a set of images, more precisely a set of dream-image”.
Dapat diringkas bahwa phantasmagoria adalah konsep tentang permainan
gambar-gambar selayaknya mimpi yang menipu manusia hingga sulit membedakan
kenyataan dan fantasi.
Penggambaran OASIS dalam permainan virtual Ready Player One sebenarnya
menggambarkan konteks phantasmagoria dalam dunia game, yaitu pada bagaimana
gambar-gambar realitas yang dibuat selayaknya orang yang sedang bermimpi namun
dapat mengaburkan batasan antara fantasi dan realitas sebenarnya bagi para pemain.
OASIS menawarkan apa yang disebut dengan dream-images berupa fitur-fitur realitas
baru yang membuat pemain dapat melakukan apa saja dalam permainan tersebut dan
merasakan perasaan yang nyata di dalam permainan virtual, phantasmagoria, tumbukan
realitas dan fantasi. Bahkan, lebih parahnya lagi, tipuan gambar yang ditawarkan OASIS
dalam permainan tersebut membuat pemain rela mengorbankan hal-hal nyata demi
peningkatan pamor dalam dunia virtual, seperti membayar peningkatan level game
dengan uang dunia nyata.
Pada banyak literatur, seperti Katiambo (2021), Hallman (2022), Gunning (2004),
phantasmagoria sering dipasangkan dengan frasa “ilusi”. Baudrillard (1994) juga
menyandingkan kata ilusi dan phantasms–atau phantasmagoria. Ilusi yang dimaksud
awalnya tentang bagaimana ilusi hantu dibuat untuk hiburan penonton pertunjukan.
Dalam OASIS Ready Player One, segala fitur dan gambar yang ditampilkan adalah ilusi
bagi para pemain yang memengaruhi pikiran pemain bahwa itu adalah realitas yang
penting adalah apa yang ditampilkan pada permainan tersebut. Terlihat dari kondisi dunia
nyata yang lebih, berantakan daripada dunia yang dibangun di semesta OASIS dalam
permainan. Sama halnya dengan apa yang dijelaskan Baudrillard (1994) tentang
bagaimana Disney menyajikan Disneyland sebagai imajiner agar kita percaya bahwa itu
adalah hal nyata dan lainnya tidak, konsep semester OASIS juga menawarkan dunia
imajiner melebihi realitas agar pemain percaya bahwa apa yang terjadi pada game lebih
nyata daripada realitas nyata itu sendiri. Tumbukan kenyataan dan fantasi terlihat pada
bagaimana perselisihan kontes pencarian kunci dalam game OASIS berujung pada
pengancaman langsung di dunia nyata yang diceritakan pada salah satu tokoh utama
dalam film Ready Player One. Ini menandakan bahwa, gambar-gambar yang tampil di
dalam OASIS menciptakan ilusi gambar realitas hingga orang tidak lagi dapat
membedakan yang asli dan tidak, phantasmagoria.
d. The End of Panopticon
Panopticon adalah sebuah algoritma yang diciptakan oleh karakter utama, Wade
Watts, untuk melacak lokasi dan aktivitas pemain lain di dalam game virtual bernama
OASIS. Konsep dasar dari Panopticon diambil dari teori sosial yang diciptakan oleh
seorang filsuf abad ke-18 bernama Jeremy Bentham, yang mengusulkan sebuah bentuk
penjara yang dapat memonitor tahanan dari satu titik pandang pusat tanpa sepengetahuan
tahanan.
Dalam konteks OASIS, Panopticon dapat membantu Wade dan teman-temannya
untuk menemukan lokasi dan aktivitas pemain lain yang terkait dengan perburuan Easter
egg. Easter egg adalah sebuah pesan atau fitur rahasia yang disembunyikan di dalam
game oleh penciptanya, James Halliday (diperankan oleh Mark Rylance), dan menjadi
kunci untuk memenangkan hadiah utama dalam permainan, yaitu kendali penuh atas
OASIS.
Dalam film, Panopticon digunakan oleh Wade dan teman-temannya untuk
menemukan tiga kunci dan membuka gerbang ke tantangan berikutnya dalam perburuan
Easter egg. Namun, mereka juga harus menghadapi musuh yang kuat yang berusaha
untuk mengalahkan mereka dalam perburuan tersebut, termasuk perusahaan jahat
bernama IOI yang ingin memperoleh kendali penuh atas OASIS untuk kepentingan
bisnisnya sendiri.
Dalam konteks film Ready Player One, akhir dari Panopticon terjadi ketika
karakter utama, Wade Watts, berhasil menemukan Easter egg terakhir dan memperoleh
kendali penuh atas OASIS. Sebagai pemenang perburuan Easter egg, Wade memiliki hak
penuh atas OASIS dan dapat mengontrolnya secara langsung tanpa perlu lagi
mengandalkan algoritma Panopticon untuk melacak aktivitas pemain lain.
Dalam teori sosial Jeremy Bentham, panopticon merupakan bentuk penjara yang
dapat memonitor tahanan dari satu titik pandang pusat tanpa sepengetahuan tahanan.
Konsep ini menciptakan kontrol total atas tahanan dan mendorong mereka untuk
melakukan perilaku yang diinginkan karena mereka merasa selalu diawasi. Namun,
dalam konteks film Ready Player One, karakter-karakter utama menggunakan
Panopticon sebagai alat untuk mencapai tujuan mereka dalam perburuan Easter egg.
Setelah tujuan itu tercapai, alat tersebut tidak lagi diperlukan.
Dalam konteks ini, Panopticon dapat dianggap sebagai alat yang digunakan oleh
Wade dan teman-temannya untuk mencapai tujuan mereka dalam perburuan Easter egg.
Setelah Wade memperoleh kendali penuh atas OASIS, mungkin dapat disimpulkan
bahwa Panopticon tidak lagi diperlukan karena Wade telah memperoleh akses ke seluruh
sistem dan dapat mengontrolnya secara langsung terhadap realitas OAISIS itu sendiri.
Secara keseluruhan, Panopticon di film Ready Player One merupakan
representasi dari teknologi yang digunakan untuk mencapai tujuan dalam game virtual
yang kompleks dan menuntut. Meskipun konsep dasarnya diambil dari teori sosial yang
kontroversial, Panopticon dalam film tidak menimbulkan efek samping yang serius dan
digunakan secara positif oleh karakter utama untuk mencapai tujuan mereka dan tidak
menimbulkan efek samping yang serius. Akhirnya, Wade dan teman-temannya
memperoleh kendali penuh atas OASIS dan menjadikannya platform yang lebih inklusif
dan adil bagi semua pemain.
e. The Implosion Meaning of in the Media
Ledakan makna di media (the implosion of meaning in the media) mengarah pada
proses runtuhnya makna asli di media, menghasilkan keadaan hiperrealitas saat simulasi
menjadi lebih nyata daripada realitas itu sendiri (Baudrillard, 1994). Media menciptakan
simulasi realitas yang lebih menarik daripada yang sebenarnya, sehingga digambarkan
seperti terjadi ledakan makna. Ini berarti bahwa simbol dan representasi dari media
menjadi lebih krusial daripada realitas yang seharusnya mereka wakili. Akibatnya,
manusia mulai kekurangan hingga kehilangan interaksi dengan dunia nyata.
Menurut Baudrillard, ledakan makna difasilitasi oleh menjamurnya media
elektronik dan meningkatnya dominasi image atau citra. Citra media tidak lagi mewakili
realitas tetapi sudah menjadi hyperreal (tidak memiliki referensi ke dunia nyata) dan
self-referential, berkenaan hanya pada diri mereka sendiri (Baudrillard, 1994).
Dalam keadaan hyperreality ini, batas antara yang nyata (real) dan yang
disimulasikan (simulation) menjadi tidak jelas (blurred). Orang-orang mulai bingung
untuk membedakan keduanya. Terdapat konsekuensi mendalam bagi masyarakat, seperti
hilangnya nilai-nilai budaya, dominansi individualitas, dan berkurangnya interaksi sosial.
Analisis Baudrillard tentang ledakan makna di media berpengaruh dalam
pemikiran postmodern dan telah digunakan untuk menjelaskan berbagai fenomena, mulai
dari kebangkitan TV hingga dampak media sosial dalam kehidupan kita. Ide-idenya
menyoroti urgensi peran media dalam membentuk persepsi kita tentang realitas dan
kebutuhan untuk menjaga keseimbangan antara yang nyata dan yang disimulasikan dalam
hidup kita.
Konsep ini sangat relevan dengan film Ready Player One yang menggambarkan
masa depan distopia, keadaan saat manusia menghabiskan sebagian besar waktu
hidupnya di dunia maya yang disebut OASIS. Pada film tersebut, OASIS menjadi sangat
realistis sehingga menggantikan dunia nyata sebagai realitas asli mereka.
Seperti yang diceritakan pada tokoh utama, Wade Watts, ia menghabiskan
sebagian besar waktunya di OASIS. Ia berkompetisi dan berinteraksi dengan
pemain-pemain lainnya dalam permainan yang bernama “Easter Egg Hunt” atau
pencarian telur Paskah yang dibuat oleh mendiang pencipta OASIS, James Halliday.
OASIS telah mengubah cara orang-orang di sana hidup dan berinteraksi satu sama lain.
Dalam realitas virtual OASIS, pemain menggunakan avatar dan karakter game dengan
persona baru yang mereka buat sendiri. Bahkan, karakter dan avatar tersebut sama sekali
tidak mewakili diri mereka di dunia nyata dan mereka pun tidak ingin mengungkap
identitas aslinya kepada siapa pun.
Dalam Ready Player One, OASIS adalah produk dari sebuah korporasi yang telah
mengambil alih dunia, berfungsi sebagai bentuk pelarian dari kehidupan yang
menyedihkan di luar OASIS. Ledakan makna terbukti dengan cara OASIS telah
menggantikan dunia nyata sebagai realitas dominan bagi banyak orang. OASIS adalah
simulasi realitas yang lebih menyenangkan daripada dunia nyata. Ini menawarkan kepada
pengguna kemampuan untuk melarikan diri dari keduniawian dan memasuki dunia baru
yang tidak terbatas. OASIS adalah ruang batas antara realitas dan simulasi menjadi kabur
dan manusia bisa menjadi siapa pun yang mereka inginkan.
Film ini juga menyoroti peran teknologi dalam ledakan makna. Teknologi telah
memungkinkan terciptanya OASIS, dunia maya hyperreal yang telah menggantikan
dunia nyata sebagai realitas dominan bagi banyak orang. OASIS menawarkan kepada
pengguna kemampuan untuk melarikan diri dari dunia nyata dan memasuki dunia dengan
kemungkinan tak terbatas, tetapi dipada saat yang sama, hal itu mengakibatkan erosi
hubungan sosial dunia nyata dan hilangnya individualitas.
Selain itu, film tersebut juga menimbulkan pertanyaan tentang peran korporasi
dalam membentuk kehidupan kita dan bahayanya memberi mereka terlalu banyak
kekuasaan. OASIS adalah produk korporasi yang telah mengambil alih dunia, dan
berfungsi sebagai bentuk pelarian dari realitas suram kehidupan di luar OASIS.
Transformasi ini telah mengakibatkan erosi koneksi sosial dunia nyata dan hilangnya
individualitas. Film ini menunjukkan bagaimana ledakan makna dapat mengarah pada
situasi di mana korporasi mengendalikan setiap aspek kehidupan kita, dan di mana dunia
nyata menjadi gurun distopia.
Namun, keruntuhan makna ini memiliki konsekuensi. Di OASIS, orang bisa
menjadi siapa pun yang mereka inginkan, dan mereka bisa berinteraksi dengan orang lain
tanpa batasan identitas dunia nyata mereka. Adanya anonimitas pemain juga
menyebabkan perilaku jahat. Seperti tergambar dalam film, para pemain akan menjual
aset asli mereka di dunia nyata hingga tak bersisa hanya untuk membeli token game yang
bisa meningkatkan kemampuan karakter mereka. Mereka lebih mementingkan tampak
hidup mewah dan keren di OASIS, daripada hidup kayak di dunia nyata. Ledakan makna
di OASIS telah mengakibatkan krisis identitas dan berkurangnya interaksi sosial. Seperti
pada karakter Aech di OASIS yang seorang pria dewasa bertubuh mesin ternyata di
kehidupan aslinya adalah perempuan tomboy bernama Helen. Selain itu, tokoh Daito
yang ternyata tidak memiliki teman di kehidupan aslinya dan hanya memiliki teman di
OASIS.
Film ini juga menyoroti peran teknologi dalam ledakan makna dan bahaya
memberikan terlalu banyak kekuasaan kepada perusahaan. Pada akhirnya, Ready Player
One adalah kisah peringatan tentang konsekuensi ledakan makna dan pentingnya
menjaga keseimbangan antara dunia nyata dan dunia maya.
Kesimpulan
Film Ready Player One yang disutradarai oleh Steven Spielberg ini, menawarkan sebuah
dunia fiksi dari realitas virtual yang mencakup ide-ide utopis dan dytopis sebagaimana karakter
James Halliday dan Ogden Morrow of Gregarious Games pada mulanya menciptakan dunia
OASIS sebagai pelarian yang masif dilakukan oleh manusia dari kehidupan yang penuh dengan
kekacauan dan kerusakan ke arah kehidupan idealis yang didambakan oleh manusia sebagai
karakter dalam OASIS yang dikenal dengan sebutan avatar. Film ini juga mengilustrasikan
bagaimana realitas absolut mengalami kemunduran sebagai akibat dari adanya realitas baru yang
dikemas dengan visualisasi berbasis teknologi virtual reality. Hampir seluruh pemain (avatar)
hanya berfokus pada kehidupannya di dalam OASIS sehingga mengabaikan kehidupan dalam
realitas yang sebenarnya, semua hal yang ada di dalam OASIS kemudian dianggap menjadi
realitas baru yang melampaui realitas aslinya. Pada akhirnya OASIS itu sendiri menjadi
simulakra yang sejalan dengan teori hyperreality Baudrillard.
DAFTAR PUSTAKA

Baudrillard, J. (1994). Simulacra and simulation. University of Michigan press.


Bentham, Jeremy. The Panopticon Writings. Ed. Miran Bozovic. London: Verso, 1995.
Berdet, M. (2013). Eight Thesis on Phantasmagoria. Anthropology & Materialism, 1, 1–8. DOI:
10.4000/am.225.
Gunning, T. (2004). Phantasmagoria and the manufacturing of illusions and wonder: Towards a
cultural optics of the cinematic apparatus. Le cinématographe, nouvelle technologie du
XXe siècle= The cinema, a new technology for the 20th century, 31-44.
H. T. Putro, “Kajian Virtual Reality,” Makal. Stud. Mandiri, vol. 1, no. 09150, 2015.
Hallman, D. R. (2022). Grand Illusion: Phantasmagoria in Nineteenth-Century Opera, by
Gabriela Cruz, 186–191.
Katiambo, D., & Ochoti, F. O. (2021). Illusion in the Digitised Public Sphere: Reading
WhatsApp through the Grammar of Phantasmagoria. Critical Arts, 35(2), 39–54.
doi:10.1080/02560046.2021.194564.
Mannoni, L. & Brewster, B. (1996). The Phantasmagoria. Film History, 8(4), 390–413.
Patra, I. (2021). To Immerse is to Escape: Analyzing the Power of Simulacra and Simulation
Ernest Cline’s Ready Player One and Ready Player Two. Ilkogretim Online-Elementary
Education Online, 20(1), 1658-1671.

Anda mungkin juga menyukai