Kelompok 1:
Alleyda Maharani Ambadar (215120207111022)
Andika Hema Wirayudha (215120200111024)
Maria Desvita Sari (215120200111019)
Rahma Dina Noviani R (215120207111074)
Ricky Starky Krones (215120207111099)
Pendahuluan
Pada era digital yang semakin maju seperti saat ini, teknologi telah memengaruhi
berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk di dalamnya adalah cara manusia memandang
dunia. Peningkatan penggunaan teknologi yang begitu pesat telah mengubah cara manusia
berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya dan memperkenalkan konsep-konsep baru seperti
hyperreality. Hyperreality adalah sebuah konsep yang mengacu pada pengaburan batas antara
realitas dan dunia maya yang diciptakan oleh media dan teknologi. Menurut Baudrillard (1994),
hiperrealitas adalah kondisi ketika orang tidak dapat membedakan antara dunia nyata dan dunia
maya. Hiperrealitas tidak didasarkan pada realitas melebihi dirinya sendiri.
Salah satu contoh dari representasi hyperreality dapat ditemukan dalam film Ready
Player One yang dirilis pada tahun 2018. Film tersebut mengambil latar di masa depan di mana
manusia lebih memilih untuk menghabiskan waktu mereka di dalam dunia virtual yang disebut
OASIS daripada dunia nyata yang kacau dan kotor. Dalam film ini, OASIS menjadi sebuah
contoh dari hyperreality karena dunia maya tersebut memungkinkan penggunanya untuk
mengganti identitas, mengubah penampilan, dan mengeksplorasi dunia dengan cara yang tidak
mungkin di dunia nyata.
Analisis hyperreality dalam Ready Player One adalah topik yang menarik untuk
dieksplorasi. Hyperreality mengacu pada kondisi di mana dunia maya atau virtual dianggap
sebagai realitas yang sama pentingnya dengan dunia nyata. Film ini menunjukkan bagaimana
pengalaman virtual dalam OASIS mampu menggantikan realitas yang sebenarnya bagi
karakter-karakternya.
Dalam konteks analisis hyperreality, Ready Player One menunjukkan betapa pentingnya
dunia maya dalam kehidupan kita saat ini dan bagaimana kita dapat terjebak dalam kehidupan
virtual yang terasa nyata. Namun, film ini juga menunjukkan betapa pentingnya memiliki
hubungan yang sehat dengan dunia nyata dan menemukan keseimbangan antara kehidupan maya
dan kehidupan nyata.
Hyperreality
Hyperreality adalah konsep yang diperkenalkan oleh Jean Baudrillard. Istilah tersebut
mengacu pada kondisi saat realitas digantikan oleh simulacra, sesuatu yang tidak memiliki
referensi dunia nyata. Dengan kata lain, hyperreality adalah keadaan pikiran saat orang tidak
dapat membedakan mana yang nyata dan mana yang tidak (Baudrillard, 1994).
Baudrillard berpendapat bahwa munculnya budaya konsumen dan media massa telah
menyebabkan keadaan hyperreality. Dia percaya bahwa kita sekarang hidup di dunia saat citra
menjadi lebih nyata daripada yang sebenarnya. Ini karena media menciptakan aliran simulasi
tanpa henti yang dikonsumsi orang setiap hari. Simulasi ini menjadi lebih nyata bagi orang
daripada objek atau pengalaman aktual yang mereka wakili.
Untuk memahami hyperreality, kita perlu memahami perbedaan antara realitas dan
simulasi. Realitas mengacu pada dunia sebagaimana adanya, terlepas dari persepsi kita
tentangnya. Simulasi, di sisi lain, adalah salinan atau representasi dari sesuatu yang ada dalam
kenyataan. Misalnya, lukisan manusia adalah simulasi dari manusia asli. Namun, dalam
hyperreality, simulasi menjadi lebih nyata daripada realitas yang diwakilinya sehingga menjadi
simulacrum atau simulacra.
Contoh hyperreality lainnya adalah cara orang mengonsumsi berita. Media menciptakan
simulasi peristiwa yang disederhanakan dan dibuat sensasional. Orang-orang mengonsumsi
simulasi ini dan percaya bahwa itu nyata. Namun, simulasi bukanlah representasi akurat dari
kenyataan. Informasi tersebut diedit dan dikemas dengan cara yang dirancang untuk menarik
perhatian orang dan membuat mereka tetap menonton.
Orang mungkin percaya bahwa mereka dapat mencapai kehidupan yang sempurna jika
mereka membeli produk yang tepat atau mengikuti gaya hidup yang benar. Mereka mungkin juga
percaya bahwa mereka dapat mengubah dunia dengan membagikan postingan media sosial atau
menandatangani petisi online. Keyakinan ini didasarkan pada simulasi yang tidak memiliki
referensi dunia nyata. Oleh karena itu, ini berkaitan juga dengan berita bohong.
Selanjutnya, Baudrillard berpendapat bahwa hyperreality menciptakan budaya manusia
menjadi konsumen pasif dari simulasi. Mereka tidak terlibat secara aktif dengan dunia di sekitar
mereka karena terlalu sibuk mengonsumsi simulasi. Ini menciptakan rasa keterasingan dan
keterputusan dari kenyataan.
Kondisi ini disebabkan oleh maraknya budaya konsumtif dan media massa. Akibatnya,
terdapat terdapat rasa keterasingan atau alienasi dari kenyataan. Untuk memerangi hiperrealitas,
orang perlu lebih sadar akan simulasi yang mereka konsumsi dan secara aktif terlibat dengan
dunia di sekitar mereka.
Simulacrum adalah istilah yang sering muncul dalam pembahasan terkait Hyperreality.
Simulacrum (simulacra, dalam bentuk jamak) mengacu pada reproduksi akan sesuatu yang
konkret dimana gagasan tentang yang nyata tidak lagi menjadi referensi/petanda, melainkan
simulacrum itu sendiri yang menjadi referensi (Wolny, 2017). Baudrillard (1994) dalam bukunya
menjelaskan bahwa simulacra bukan lagi sesuatu yang memiliki referensi, tetapi disebut sebuah
generasi model yang nyata tanpa asal atau realitas. Dalam hal ini, simulacra-lah yang menjadi
realitas itu sendiri, hyperreality. Simulacrum adalah realitas baru yang dibentuk melebihi realitas
yang kita kenal sekarang.