Anda di halaman 1dari 6

Idiocracy: Sebuah Peringatan Masa Depan

Idiocracy adalah judul sebuah film yang dibuat oleh Mike Judge pada tahun 2006. Joe Bauers (diperankan oleh Luke Wilson), seorang penjaga perpustakaan militer kecil, menjadi bagian dari proyek rahasia bernama Human Hibernation Experiment dimana Joe dan seorang wanita bernama Rita (Maya Rudolph) akan dihibernasikan selama satu tahun untuk membuktikan bahwa manusia dapat hidup setelah dibekukan. Namun keadaan tidak berjalan dengan baik. Collins, sang komandan, ditangkap karena sebuah kasus amoral dan akhirnya base ditutup dan proyek tersebut terlupakan sama sekali. Joe dan Rita, yang masih tersegel dalam tube, akhirnya terbangun pada tahun 2505 dan menemukan dunia tidak sama lagi seperti sebelumnya. Kemajuan teknologi yang membantu manusia melakukan setiap pekerjaan membuat manusia masa depan menjadi pemalas dan bodoh, permasalahan mengenai sampah yang tidak terselesaikan

menciptakan sebuah gunungan sampah yang tingginya mencapai gunung sungguhan, pemakaian bahasa slang dalam kehidupan sehari-hari yang sama sekali tidak sesuai dengan etika yang sebelumnya dianut, dan banyak hal yang sama sekali berbeda dengan apa yang sebelumnya mereka lihat dan alami. Joe dan Rita menjadi manusia yang paling pintar di dunia dan mereka mempunyai tanggung jawab untuk mengembalikan evolusi kehidupan manusia yang terjadi ke jalan yang seharusnya, yaitu kemajuan peradaban manusia, bukan kemunduran seperti apa yang sedang terjadi. Sekarang manusia sedang mengalami masa transisi menuju sebuah peradaban baru. Perkembangan teknologi yang sangat pesat, bergesernya norma-norma, nilai dan aturan dalam kehidupan bermasyarakat, globalisasi dan berbagai isu-isu low politics lain yang mulai naik ke permukaan, hanyalah sebagian kecil dari perubahan yang sedang terjadi. Manusia berharap perkembangan yang terjadi akan menuju ke arah yang lebih baik, tetapi tentunya kita perlu

mempertimbangkan kemungkinan buruk yang akan terjadi. Kemungkinan terburuk inilah yang ingin disampaikan dalam film Idiocracy. Adanya ketakutan akan pergeseran kenyataan dari harapan masa depan menjadi sesuatu yang perlu ditanamkan dalam pemikiran manusia lainnya. Apakah film Idiocracy merupakan sebuah propaganda untuk menyadarkan manusia atas masa depan mereka? Harold Laswell (1937) mengatakan bahwa propaganda adalah sebuah teknik untuk mempengaruhi kegiatan manusia dengan memanipulasikan representasinya, dalam hal ini, melalui sebuah film komedi yang menarik lebih banyak orang. Jadi, menurut saya, jawabannya adalah: ya. Film ini didasarkan pada dasar pemikiran Social Darwinist mengenai evolusi manusia. Evolusi yang selama ini terjadi dalam kehidupan manusia menghasilkan hal-hal yang baik dan berguna, seperti kecerdasan yang menghasilkan teknologi yang mampu mempermudah segala pekerjaan manusia. Namun pada titik tertentu, evolusi yang terjadi akan berhenti atau bahkan berputar balik dengan apa yang diharapkan terjadi. Apa yang selama ini digambarkan dalam film science fiction mengenai keadaan masa depan ternyata tidak menjadi kenyataan. Seleksi alam tidak menghasilkan manusia yang lebih pintar dan lebih kuat di masa depan, melainkan sebaliknya (Greene 2010, p.199). Dalam Idiocracy diceritakan bahwa manusia yang mempunyai IQ yang tinggi cenderung akan menunda untuk memiliki anak, sedangkan manusia yang mempunyai IQ rendah cenderung mempunyai banyak anak. Akibatnya, manusia yang ber-IQ rendah semakin lama semakin menguasai bumi dalam hal jumlah, sementara manusia ber-IQ tinggi semakin berkurang. Keadaan ini membuat permasalahan yang dihadapi di dunia menjadi tidak terselesaikan karena tidak adanya manusia yang mampu atau cukup cerdas untuk menemukan solusi dari permasalahan di dunia. Idiocracy menggambarkan masalah fundamental antara kapitalisme dan

demokrasi yang didasarkan pada will of the people (Greene 2010, p.199). Kapitalisme dan budaya konsumerisme yang terjadi akan menjadi sebuah hal yang tidak dapat dihentikan dan menjadikan manusia cenderung bersikap praktis,

mengikuti apa yang mereka inginkan tanpa memikirkan hal lainnya, menerima apa yang tersedia, tidak mau berpikir lebih kritis dan kurangnya kepekaan untuk terlibat dalam kegiatan di lingkungannya, seperti partisipasi politik. Keadaan ini, apabila dibiarkan, akan menjadi tidak terkendali, bahkan oleh pemerintah negara sekalipun (Aneesh, Hall, dan Petro 2011, p. 62). Sebagai contoh, dalam film tersebut digambarkan bagaimana sebuah perusahaan produsen minuman bersoda bernama Brawndo berkuasa dan menjadi sumber konsumsi air masyarakat, bahkan untuk menyiram tanaman sekalipun. Keadaan ini juga sesuai dengan pernyataan Greene mengenai buying power. Saat sesuatu yang baru disukai, ia akan diterima dan dibeli sehingga ia dapat berkembang, namun kemudian keadaan berbalik sehingga sesuatu yang baru tersebut menjadi sesuatu yang besar yang mampu menguasai power pihak yang telah menerimanya tersebut. Menurut Silverblatt, Ferry, dan Inan (2009) terdapat myth of progress dimana terdapat kepercayaan bahwa kehidupan akan semakin baik. Adanya penemuanpenemuan baru akan meningkatkan taraf hidup manusia, seperti apa yang dikatakan oleh David Nye new creation, a new civilization. Pada masa sekarang, banyak warga Amerika yang meragukan hal ini yang dibuktikan dengan hasil poling pada tahun 2007 yang menunjukkan bahwa hanya 34% yang meyakini bahwa anak sekarang di masa depan akan menjadi lebih baik dibanding sekarang. Idiocracy, merupakan cerminan dari keraguan tersebut. Idiocracy juga menggambarkan situasi dunia yang telah begitu dipengaruhi oleh adanya pop-culture. Pemakaian bahasa slang yang cenderung menggunakan kata-kata kasar digunakan dalam pidato-pidato kenegaraan. Acara TV yang berjudul Aw My Balls!, Holy %&#*!, dan Scarred menjadi tontonan sehari-hari. Sikap hidup yang cenderung egosentris dan tidak peduli pada keadaan sekeliling. Keadaan ini sebenarnya telah berlangsung pada saat ini di dunia nyata, hanya saja dalam skala yang masih kecil. Adanya pop-culture dan berbagai sarana yang meliputinya adalah sesuatu yang baik pada awalnya, namun ketika mereka bertumbuh secara tidak terkendali, wajar apabila terdapat kekhawatiran bahwa

pop-culture yang ada semakin tidak masuk akal (Zeisler 2008, p.145). Menurut Wanda Teays (2012) kita juga harus memperhatikan pernyataan Aristoteles mengenai perlunya keseimbangan antara moral virtues dengan intellectual virtues yang terdiri dari Kreativitas, Pengetahuan Logis, Kebijakan Praktis, Kebijakan Filosofis, dan Komprehensi. Adanya keseimbangan antara keduanya akan mampu membantu manusia menghadapi perubahan keadaan yang dialami. Sebagai kesimpulan, Idiocracy menyajikan kemungkinan keadaan dunia di masa depan yang merupakan hasil dari apa yang sekarang sedang berlangsung. Perkembangan dunia sekarang terjadi begitu cepat dan tanpa kita sadari akan berpindah menuju sebuah dunia lain yang menjadi impian banyak orang yaitu masa depan. Namun kita tidak dapat mengabaikan kemungkinan adanya hal-hal yang tidak sesuai dengan rencana. Idiocracy menggambarkan kekhawatirankekhawatiran tersebut dan mengemasnya dalam sebuah film komedi yang menarik sehingga lebih banyak orang yang akan tertarik dan memaknainya. masa depan ada di tangan manusia sekarang, tidak hanya sebagian, melainkan keseluruhan. Inilah pesan yang ingin disampaikan oleh film Idiocracy, sebuah peringatan mengenai masa depan.

TUGAS ESAI PENDEK KOMUNIKASI MEDIA GLOBAL

Idiocracy: Sebuah Peringatan Masa Depan

Sarita Kasetyanku 170210090061 sarita.kasetyanku@yahoo.com No. Telp/HP: 089655731261

Tugas dikumpulkan pada 20 April 2012

JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS PADJADJARAN 2012

DAFTAR PUSTAKA

Aneesh, A., Hall, L., dan Petro, P. (2011) Beyond Globalization: Making New Worlds in Media, Art, and Social Practices, New Jersey: Rutgers University Press. Greene, D. (2010) The American Worker on Film: A Critical History, 1909-1999, North Carolina: McFarlan. Lasswell, H. D. (1937) Propaganda dalam Encyclopedia of the Social Sciences, New York: Macmillan. Silverblatt, A., Ferry, J., dan Finan, B. (2009) Approaches to Media Literacy: A Handbook, 2nd ed., New York: M. E. Sharpe, Inc. Teays, W. (2012) Seeing the Light: Exploring Ethics Through Movies, Oxford: John Wiley & Sons. Zeisler, A. (2008) Feminism and Pop Culture, Berkeley: Seal Press.

Anda mungkin juga menyukai