Anda di halaman 1dari 10

Bab X

Iman, IPTEK dan Ekologi: Menjalin Konektivitas yang Mendalam

Hidup kita tak bisa dilepaskan lagi dari teknologi, khususnya teknologi informasi. Zaman
berubah dengan cepat, antara lain dipicu oleh perkembangan teknologi. Orang mulai gencar
bicara mengenai Revolusi Industri 4.0. Namun pada saat yang sama lingkungan hidup dan bumi
kita terus terancam, antara lain karena perkembangan ekonomi dan teknologi yang tidak
dilakukan secara bijaksana. Singkatnya, ada banyak hal yang sudah dan akan berubah dalam hidup
kita, termasuk hidup beragama kita, karena perkembangan teknologi ini. Maka, sebagai orang
beriman yang terpelajar, kita perlu mendalami persoalan di sekitar hubungan antara iman, IPTEK
dan ekologi.

Kita akan memfokuskan pembahasan kita pada perkembangan teknologi komunikasi (dunia
digital) yang paling mempengaruhi kita.

I. Teknologi Baru: Revolusi Internet


Pada tahun 1984, terbit suatu novel sains fiksional, Neuromancer oleh William Gibson. Dalam
novel itulah untuk pertama kalinya muncul konsep “cyberspace”, dunia siber atau dunia maya.
Novel ini dianggap sebagai salah satu pioner perkembangan dunia internet. Dalam novel itu,
cyberspace menunjuk pada sebuah dunia atau lingkungan digital, yang berbeda dengan lingkungan
fisik material, di mana tokoh utama novel itu, Case, seorang hacker, hidup dan bekerja sebagai
makhluk yang tak bertubuh. Dalam novel ini dan karyanya yang lain, Gibson menggambarkan
cyberspace bukan sebagai ruang fisik, melainkan sebagai ruang data yang difasilitasi oleh jaringan
komputer, dan juga menjadi tempat perjumpaan orang dari seluruh penjuru dunia. Ternyata
imaginasi seperti ini akan berpengaruh pada perkembangan internet tahun 1990-an.1 Dalam arti
ini, perkembangan teknologi informasi juga tak terpisahkan dari imaginasi manusia untuk
berhubungan satu sama lain dengan cara yang baru, mengatasi pelbagai keterbatasan, dengan
memasuki jaringan baru (network).

Dunia internet atau cyber memang telah menjadi sarana atau wahana bagi pelbagai pengharapan,
fantasi, dan spekulasi manusia. Ketika lahir, internet dianggap penemuan teknologi yang sangat
khusus dan “misterius” yang diprediksi akan mengubah secara radikal semua hal dalam kehidupan
manusia. Ada wartawan yang menyebutnya sebagai “Bit Bang”, sebuah revolusi yang
mengingatkan kita pada teori Big Bang (Dentuman Besar) mengenai asal usul alam semesta.
Bahkan “Internet” (dengan huruf besar I) diprediksi akan bersaing dengan agama, dengan
menyajikan diri sebagai agama. Ada yang menyebutnya sebagai “internet religion, web religion, dan
digital religion”. Banyak pengamat melihat ada agama baru yang sedang lahir dalam internet.

1
Karen Pärna, Believing in the Net: Implicit Religion and the Internet Hype, 1994-2001 (Leiden University Press,
2010), 74.
Dunia internet atau cyberspace memiliki kemampuan untuk membuat orang mengalami
transendensi (melampaui diri sendiri dan dunia yang terbatas), keselamatan dan keamanan
ontologis, serta kharisma (membuat orang percaya dan mengikuti), dan internet pun bisa
mengubah eksistensi atau hidup manusia. Dalam hal ini, dunia internet berfungsi seperti agama,
meskipun secara implisit, bukan menggantikan agama yang tradisional. Internet dipercaya bisa
memberi rasa nyaman dan kepastian bagi manusia dalam memaknai hidup dan dunia, terutama
ketika umat manusia sedang mengalami krisis besar. Keajaiban-keajaiban dalam teknologi
internet membuat manusia percaya akan kemampuan dirinya, membuat optimis terhadap masa
depan yang akan dirajutnya.

Dalam suasana yang tidak menentu dan penuh kecemasan yang melanda dunia di tahun 1980-an
dan 1990-an, perkembangan teknologi komunikasi internet dan revolusi dunia digital dirayakan
sebagai sesuatu yang akan mengubah dunia secara radikal. Dunia digital memberi harapan baru
akan kehidupan yang lebih baik. Orang bicara mengenai “the digital era, the Internet age, the
information age, the network society” dan sebagainya.2 Dunia baru ini akan ditandai oleh kedamaian,
kebebasan, demokrasi dan kemakmuran. Ramalan Alvin Toffler di tahun 1980 dalam bukunya
The Third Wave makin dipercayai, yakni perkembangan dunia ke arah peradaban yang baru
(Gelombang Ketiga) yang dipacu dan dimotori oleh perkembangan teknologi. Bagi Toffler,
gelombang pertama peradaban adalah teknologi pertanian yang mulai pada revolusi neolitik.
Gelombang kedua adalah revolusi industri di Eropa, dan gelombang ketiga adalah teknologi
informasi modern dalam masyarakat post-industrial yang kita nikmati sekarang.

Bagi beberapa pengamat, kemajuan dunia internet pun dimengerti sebagai pemenuhan dari visi
Teilhard de Chardin (1881-1955), seorang Jesuit ahli paleontologi dari Perancis yang pernah
mengadakan penelitian di Cina dan Jawa. Teilhard menggambarkan dunia ini sebagai proses yang
bergerak secara evolutif, dengan bantuan sains dan teknologi, di mana kesadaran individu
manusia akan mengatasi diri sendiri dan kemudian kesadaran individu ini menyatu dalam kesatuan
kesadaran semesta, yang disebut “noosphere.” Proses penyatuan ini akan memuncak dan mencapai
tujuannya dalam Omega, yaitu Kristus sendiri, di mana Kasih menjadi pemenuhannya. Gagasan
kesatuan komunal dari pikiran atau kesadaran manusia inilah yang menarik bagi para pengusung
dan penggagas internet. Mereka menghubungkan internet dengan fase berikutnya dalam
perkembangan evolusi manusia dan dunia. Jennifer Cobb misalnya meyakini bahwa komunikasi
internet merupakan perwujudan dari visi Teilhard karena internet merepresentasikan sebuah
energi spiritual yang memungkinkan pikiran dan gagasan individu untuk merasuki gagasan dan
pikiran individu lain sehingga menciptakan sebuah kesadaran yang lebih luas.3

III. Teknologi Internet: Bukan Sekedar Sarana atau Medium


Secara umum, sampai sekarang teknologi internet dan teknologi informasi yang lebih luas (ICT-
Information and Communications Technology) dianggap memiliki capaian-capaian luar biasa
sebagai berikut:
1. mengatasi kelemahan manusia,

2
Parna, Believing in the Net, 80.
3
Stephen Garner, “Theology and the new media,” dlm Heidi A. Campbell (ed.), Digital Religion, 261; cfr.
Cobb (1998).
2. membantu manusia mengontrol materi dan ruang,
3. membuat manusia bisa membebaskan diri dari kungkungan dunia fisik,
4. memberi kebebasan dan demokrasi,
5. membuat manusia terhubung satu sama lain dan hidup dalam keselarasan,
6. mendatangkan kemakmuran dan kemewahan,
7. menggantikan kerja fisik manusia,
8. menyediakan ruang hidup baru bagi manusia,
9. dan seterusnya.

Sebenarnya teknologi komunikasi tidak pernah netral kalau dilihat dari akibat-akibatnya.
Teknologi komunikasi bukanlah sekedar “medium” (sarana) untuk menyampaikan pesan,
melainkan bahwa media itu sendiri merupakan suatu lingkungan budaya yang mempengaruhi
banyak hal (the medium is the message). Lingkungan hidup kita diubah oleh penemuan-penemuan
teknologis kita: uang, jam, kereta api, pesawat terbang, ATM dan pusat-pusat perbelanjaan.
Semua ini tidak hanya mempengaruhi mentalitas kita, tetapi juga gerak-gerik dan kebiasaan tubuh
kita (cara kita merespons impuls dari luar dan sebagainya). Inilah yang disebut sensorium dan
proximetrics of everyday life. Tanpa sadar, banyak spontanitas gerak tubuh kita sudah dikendalikan
dan dibentuk oleh teknologi. Misalnya, saya biasa menaruh HP saya di saku celana bagian kanan
sebelah depan (di sebelah kiri saya menyimpan dompet). Sebelum bepergian, dan berkali-kali
dalam sehari, tangan saya akan spontan meraba saku itu. Saya tidak perlu melihat HP, cukup
meraba. Kalau ada, ada rasa aman dan lega. Kalau gak teraba, langsung kaget dan bisa panik. Wah
HP-ku gak ada! Berabe!

Contoh lain: untuk mengusir rasa kikuk dalam pergaulan dengan orang yang tidak begitu akrab,
tangan kita langsung menggapai gadget untuk mengusirnya. Bagi generasi tertentu, memegang
buku kertas terasa asing untuk tubuh dan mata, tidak familiar. Menurut Asrul Sani, anggota DPR,
perpustakaan DPR sepi (hanya dikunjungi oleh 1-3 orang saja per hari) karena anggota DPR sudah
memenuhi kebutuhan membaca lewat daring dan gadjet mereka. Benarkah demikian? Kita boleh
skeptis. Tetapi jelas juga bahwa kalau tidak ada sambungan internet sebentar saja, kebanyakan
dari kita menjadi panik, dan tubuh kita juga bereaksi, gelisah.

Seperti dituturkan Sherry Turkle, teknologi komunikasi telah mengubah sopan santun dan gerak-
gerik tubuh, bahkan rasa perasaan tubuh. Banyak remaja mengatakan bahwa meskipun mereka
sedang tidak memegang telpon genggam, mereka bisa merasakan getaran (vibrasi) dari telpon
genggam itu ketika ada orang menelpon. Turkle mengutip kata-kata seorang gadis remaja: “My
cellphone is my only individual zone, just for me.” 4 Bahkan sering orang dewasa pun mengaku
bersaksi: aku tidak bisa berpisah dengan telpon genggam-ku, karena telpon genggam-ku adalah
pelindungku.” Orang menjadi tergantung pada gadget dan internet (konektivitas) dan
ketergantungan ini mempengaruhi pikiran, perasaan dan tubuh mereka.

4
Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other (Basic Books, 2011),
275.
Menurut para sarjana, internet sebenarnya bukanlah sarana atau medium, tetapi sebuah
lingkungan atau wahana baru di mana terjadi banyak hal (new environment or context where things
happen). Internet juga bukan sekedar sarana yang tersedia bagi komunitas-komunitas yang sudah
ada sebelumnya. Dalam hal agama, misalnya, dunia internet tidak hanya menjadi tempat di mana
komunitas agama yang lama hadir dan menawarkan banyak hal yang selama ini sudah mereka
miliki pada orang-orang yang selama ini juga sudah akrab dengan mereka. Melainkan, terbentuk
model-model pencarian agama yang baru, yang dulu tidak ada; apa yang mereka cari pun
mengandung banyak hal yang baru. Ada banyak dimensi pengalaman religius yang baru yang lahir
dari dunia internet.

III. Tanggapan Gereja


Pada tahun 1990 Paus Yohanes Paulus II sudah menyatakan bahwa teknologi komunikasi sosial
adalah sebuah “kultur” yang sedang berkembang. Pada tahun itu, Paus mengatakan bahwa kita
belum tahu mengenai potensi dan implikasi dari kultur yang baru ini. Lalu pada tahun 2002
Dewan Kepausan untuk Komunikasi Sosial juga menyatakan bahwa perkembangan teknologi
internet adalah hasil dari ikhtiar manusia yang memajukan penemuan akan pelbagai kekayaan dan
nilai yang terkandung dalam ciptaan. Perkembangan teknologi ini “merupakan anugerah Allah
yang sesuai dengan kehendak Allah untuk menyatukan manusia dalam persaudaraan dan
membantu keselamatan mereka.”5 Menarik sekali bahwa dokumen Kepausan ini juga berbicara
mengenai internet bukan hanya sebagai alat (media) untuk penyebaran warta Kristiani, tetapi
menyadari bahwa telah terbentuk sebuah kultur baru, yaitu kultur media. Pengalaman manusiawi
zaman sekarang adalah pengalaman media juga (no. 4).

Contohnya adalah fenomen peziarahan virtual (virtual pilgrimage). Sekarang ini peziarahan virtual
telah menjadi salah satu cara untuk pencarian spiritual di dunia posmodern. Praktik ini didasarkan
pada relasi simbolis antara situs-situs di dunia virtual dan situs peziarahan yang riil di dunia nyata
(Lourdes, Yerusalem dsb). Website seperti ini memberi pengalaman spiritual baru pada para
peziarah. Fasilitas virtual seperti ini mengeksplorasi pelbagai kemungkinan teknologis dari dunia
internet untuk meng-imaginasikan lagi warisan-warisan tradisional agama, seperti orang-orang
suci, kisah, simbol dan tempat-tempat suci. Dalam pengalaman ziarah virtual seperti ini, Yang
Ilahi juga dialami lewat medium interaktif yang bersifat visual dan audio. Menariknya,
pengalaman religius ini dialami dalam suasana santai (leisure) lewat komputer di rumah atau
kantor. Para peziarah ini membentuk komunitas yang berziarah dalam dunia virtual. 6

Salah satu ruang baru yang dibuka oleh teknologi komunikasi paling kini adalah ruang untuk
“kharisma.” Teknologi internet dan media sosial membuka ruang baru bagi tokoh-tokoh
kharismatis, termasuk tokoh agama. Seperti kita ketahui, kultus individu telah menjadi fitur yang
biasa dalam media yang lama, misalnya dunia musik atau televisi.7 Di zaman sekarang, sosok Paus
Fransiskus hadir dengan cara yang amat versatil di dunia maya. Baru pada 19 Maret 206 Paus
Fransiskus membuka akun di Instagram, tetapi sebetulnya Paus Fransiskus sudah ada di Instagram
sejak dipilih, ketika beliau memberi berkat perdana di balkon Vatikan. Foto Fransiskus ini segera
5
Pontifical Council for Social Communications, The Church and Internet (2002), n. 1.
6
Mark W. MacWilliams, “Virtual Pilgrimage to Ireland’s Croagh Patrick,” dalam Lorne L. Dawson dan
Douglas E. Cowan, Religion Online, 224.
7
Bdk. Rupert Till, Pop Cult: Religion and Popular Music (Continuum, 2010).
menyebar ke jutaan telpon genggam dan gadget. Fransiskus menjadi bahan dan topik yang
diangkat di media sosial dalam hampir semua bahasa di dunia. Dan yang menarik adalah bahwa
yang memotret adalah orang-orang biasa, umat biasa, bukan fotografer profesional, apalagi
fotografer pribadi Paus. Seringkali kualitas foto-foto ini tidak baik: kabur, tidak fokus. Paus
sendiri dalam foto itu mungkin tidak sedang berada dalam pose yang paling elegan. Tetapi ketika
foto ini diunduh oleh orang yang bertemu langsung dengan Paus dan diunggah (upload) di laman
personal orang-orang itu, maka ada unsur yang amat personal juga dalam munculnya Paus
Fransiskus di media sosial.

Mungkin kita masih ingat foto selfie yang diambil oleh seorang gadis remaja, anggota Pramuka
dari Piacenza, yang sedang berkunjung ke Vatikan dan ditemui Paus pada 28 Agustus 2013. Gadis
itu meminta foto selfie dengan Paus dan teman-temannya. Kualitas foto ini tidak begitu bagus
tetapi langsung diunggah di akun Instagram gadis itu. Sejak itu, media sosial dibanjiri dengan
orang-orang muda yang berfoto selfie dengan Paus. Pater Antonio Spadaro berkomentar: “If
politicians and diplomats take a protocol or so-called hand kissing photo, the young people take a selfie. And
the Pope accepts this communicative dynamic.”8

Dengan demikian Paus yang memang amat populer itu diwartakan oleh orang-orang ramai yang
telah melihat dan menangkap gerak Paus dan mereka memberi makna personal pada foto dan
informasi tentang Paus ini. “The Pope of the people is related by the people who catch not only the gestures
but also the context of the gestures from within.”9 Apakah tindakan seperti ini mengurangi otoritas
Paus? Bagi Spadaro, kedekatan Paus dengan anak muda justru meningkatkan otoritasnya sebagai
gembala. Lebih dari sekedar berkomunikasi, Paus menciptakan “peristiwa komunikatif”
(communicative events) karena dia mengajak orang-orang untuk terlibat secara aktif. Dalam hal ini,
lanjut Spadaro, “in this sense you are before a reconfiguration of language that poses different accents and
new priorities.”
Dalam hal ini, peristiwa komunikasi yang dilakukan Paus juga memanfaatkan foto yang
dibagikan. Menurut Spadaro, photo-sharing adalah peristiwa yang sangat personal, karena
merupakan tindakan membagikan sebuah bagian dari hidup yang sedang dihidupi. Kamera telpon
genggam adalah sebuah revolusi fotografi, karena menjadikan fotografi sebagai bagian dari setiap
detik kehidupan. Dan dalam hal ini, pengambilan foto itu sendiri hanyalah tindakan pertama,
karena disusul tindakan berikutnya, yaitu mengedit foto, dan kemudian yang tak kalah penting,
menyebar foto itu. Langkahnya adalah: shot, elaboration, sharing.

Dengan revolusi fotografi lewat media sosial ini, fotografi berubah dari “memory” (sekedar
kenangan akan peristiwa masa lalu) ke “experience” (pengalaman). Kata Spadaro, “more than the
creation of memory, then, it is to shape the experience and share it.” Foto memiliki kekuatan untuk
membentuk pengalaman. Dan pengalaman itu tetap nyata, berbasis pada kejadian nyata, tetapi
kemudian dialami lebih lanjut lewat foto yang dibagikan dan disebarkan. Orang-orang sungguh
merasa berjumpa dengan Paus, dan ada kehangatan ketika foto itu dibagi satu sama lain.
Kehadiran Paus di media sosial, bagi Spadaro, merupakan perluasan dari “piazza” yang fisik, yang

8
Website dari Antonio Spadaro SJ http://www.cyberteologia.it/2016/03/why-did-pope-francis-join-
instagram/(diakses 22 April 2016)
9
http://www.cyberteologia.it/2016/03/why-did-pope-francis-join-instagram/ (diakses 22 April 2016)
lebih luas dan sangat kelihatan (visible). Internet telah menjadi ruang yang khas bagi kehadiran
sosok Paus Fransiskus dan pesan-pesannya.

Lewat revolusi teknologi komunikasi, ekspresi simbolis manusia telah diperluas. Dalam dunia
internet dan media sosial, Spadaro melihat adanya “desiderium naturale videndi Deum (keinginan
alamiah untuk melihat Tuhan). Gereja memiliki tradisi pengajaran iman lewat media visual
(gambar, ikon, lukisan, patung, arsitektur). Maka, tradisi inilah yang akan membantu orang
zaman sekarang dalam pencarian akan simbol atau imagi yang tersebar di internet, yang akan
membantu mereka untuk meraih hidup yang lebih penuh dan bermakna, dan mencari hal dan
nilai yang transenden. Spadaro adalah pemikir Katolik yang pertama yang mulai memikirkan
secara positif implikasi kultur internet bagi Gereja dan teologi.10

IV. Persoalan dan Ambiguitas Kultur Internet


Sesudah optimisme yang begitu kuat dan hype tentang internet di tahun 1990an, pembicaraan
mengenai internet di tahun 2000-an berubah nadanya: internet (bukan “Internet”) cenderung
dianggap sebagai fenomen biasa, bagian dari hidup sehari-hari. Internet memang diakui sebagai
sebuah wahana kultural, yang membentuk sikap-sikap batiniah orang dengan kompleksitasnya,
segala baik dan buruknya. Internet makin disadari sebagai sebuah lingkungan kultural (cultural
environment) yang terkait erat dengan kehidupan harian banyak orang. Namun, seperti setiap
budaya, budaya yang dibentuk internet bersifat ambigu dan kompleks: positif dan negatif.

Sherry Turkle, seorang pengamat teknologi yang namanya sudah disebut di atas, memiliki banyak
catatan kritis berkenaan dengan budaya internet. Misalnya, teknologi internet memang
mengurangi pekerjaan fisik kita, tetapi fisik dan psike kita tetap dibuat super capek oleh pekerjaan
yang kita lakukan online. Kita membawa pulang pekerjaan, sehingga tak punya lagi waktu yang
sungguh-sungguh privat. Perkembangan teknologi yang makin canggih ternyata mendatangkan
beban pekerjaan yang lebih banyak juga.

Teknologi yang memungkinkan makin banyak orang untuk bertemu, juga dituntut untuk
menyentuh orang semakin banyak lagi. Adalah ironis bahwa menurut data, orang Amerika merasa
memiliki lebih sedikit teman meski punya ribuan teman di Facebook.11 Meskipun ada banyak
sahabat dan teman online, bagi kebanyakan orang, keluarga adalah tempat yang diandalkan pada
saat krisis dan darurat. Namun demikian, ternyata banyak orang zaman sekarang juga makin susah
untuk menjalin komunikasi yang wajar dan perlu dengan anggota keluarga. Turkle menyebut
adanya fenomen baru yang melanda keluarga zaman sekarang, yaitu “post-familial families”.
Artinya, banyak keluarga sekarang ditengarai cenderung menjadi bukan keluarga lagi (post-
familial). Misalnya, di sore hari, ketika semua anggota keluarga sudah ada di rumah, masing-
masing asyik dengan komputer dan gawai di kamar masing-masing. Mereka lebih banyak
menghabiskan waktu dengan teknologi daripada bersama satu sama lain. Konektivitas dengan
orang-orang yang jauh menjadi alasan untuk bersembunyi dan menghindar dari orang-orang yang
paling dekat. 12 Menurut pengamatan dan penelitian Turkle, perjumpaan dan pertemanan di
10
Antonio Spadaro, Cybertheology: Thinking Christianity in the Era of Internet (Fordham University Press, 2011).
11
Turkle, Alone Together, 280.
12
Turkle, Alone Together, 281.
media sosial bukanlah sesuatu yang sungguh-sungguh menyatukan (bind), tetapi yang justru
membuat kita sibuk (preoccupy).
Bagi Turkle, kecintaan kita pada teknologi (technophilia) adalah alami bagi manusia. Kita
cenderung mencintai gawai kita, tetapi ada harga yang harus dibayar. Kalau Oedipus itu dihukum
karena tidak menghormati atas batas-batas pengetahuan, kita juga terhukum bukan karena
menemukan teknologi baru seperti internet, melainkan karena menolak untuk menyadari batas-
batas dan harga yang harus dibayar oleh teknologi temuan kita itu. Kita menolak untuk menyadari
pelbagai kekerdilan dan pemiskinan yang dibawa oleh teknologi itu bagi hidup kita. Salah satu
pemiskinan yang ditunjuk Turkle dan para pengamat teknologi lainnya adalah menipisnya
keterhubungan kita satu sama lain sebagai manusia, khususnya perjumpaan muka dengan muka
yang personal. Menurut riset tahun 2010 yang melibatkan 14 ribu mahasiswa, sejak tahun 2000
minat mahasiswa untuk bergaul dengan orang lain mengalami penurunan drastis. Mereka tidak
lagi tertarik untuk mencoba menempatkan diri dalam situasi orang lain (ber-empati dan simpati).
Menurut para peneliti, hilangnya empati ini disebabkan oleh ketersediaan games online dan
network sosial (media sosial).13

Menurut Turkle, teknologi bisa menipu kita, karena kita tidak sadar akan kebutuhan kita
yang sebenarnya. Kita mungkin merasa butuh konektivitas setiap saat, terhubung dengan orang
lain dan dunia setiap saat, kita menolak untuk merasa sendirian (alone). Padahal, yang sebenarnya
kita perlukan mungkin adalah solitude, keheningan yang mendalam dan personal, dan ketenangan.
Mungkin kita tidak butuh untuk selalu terhubung dengan orang. Mungkin kita butuh untuk
bertemu dengan lebih sedikit orang, tetapi dalam perjumpaan yang lebih mendalam dan personal.

Persoalan lain yang amat parah di kultur internet adalah privasi (privacy). Turkle bertanya:
mungkinkah kita ciptakan “sacred space” dalam internet, yaitu privacy? Harus disadari bahwa bahwa
privacy adalah penting untuk demokrasi yang sehat. Demokrasi tidak hanya membutuhkan
penyebaran informasi, tetapi juga privacy karena privacy adalah sebuah ruang suci (sacred space)
yang dibutuhkan seseorang untuk menjadi seorang pribadi. Turkle memberi sebuah contoh yang
menarik dari dunia arsitektur. Meskipun sekarang dibantu oleh komputer, para arsitek mau tetap
mempertahankan “hand drawing”, yaitu kemampuan mereka untuk menggambar dengan tangan.
Karena, ketika mereka menggambar dengan tangan, mereka bukan hanya insinyur tetapi juga
“seniman.” Karena hand drawing, mereka meninggalkan jejak-jejak personal dalam karya
arsitektur mereka. Maka, mereka mau membatasi peran komputer. Bagi para arsitek, hand
drawing adalah sebuah “sacred space,” yakni wilayah di mana kita merasa sungguh-sungguh menjadi
“kita”, tidak diserbu dan diinterupsi oleh teknologi. Meski khotbah bisa digantikan oleh video,
tetapi mungkin bagi banyak imam, komunikasi alami, dengan mata, suara, tatapan, senyuman
dengan menatap manusia-manusia nyata, masih menjadi “sacred space” itu.

Kritik Turkle ini sebetulnya mengafirmasi lagi peran agama tradisional bagi perkembangan
teknologi virtual. Kultur komunikasi di era internet sebenarnya menyediakan banyak hal yang
kaya bagi manusia: suara, imagi, gerak dan sebagainya. Ada sentuhan-sentuhan komunikatif yang
lebih kaya daripada sekedar tulisan. Teknologi komunikasi modern juga disebut “technologies of
extension” karena memperluas jaringan keterhubungan manusia. Namun demikian, dalam kultur

13
Turkle, Alone Together, 293.
internet, keterhubungan antar orang cenderung menjadi “tak bertubuth” (disembodied) dan
abstrak. Komunikasi di dunia cyber tidak selalu menjadi pengalaman komunikatif yang manusiawi
dan kaya.

Teknologi komunikasi memang menjanjikan pada kita sebuah tempat hidup baru: on the screen.
Menurut Turkle, janji ini menyimpan persoalan. Karena, manusia biasanya menghubungkan erat
antara (location) dan nilai atau makna (values).14 Dalam dunia internet dan games yang penuh
dengan simulasi, kita bisa bertanya: di manakah tempat pijakan hidup kita, dan manakah nilai-
nilai yang kita perjuangkan? Bagi Turkle, pertanyaan ini memang tidak mudah dijawab, yakni
apakah dunia internet bisa menjadi tempat di mana kita bisa berkomitmen pada kehidupan, di
mana kita bisa sungguh-sungguh hidup dalam kepenuhannya. Namun, paling tidak, pertanyaan
ini bisa menjadi rujukan yang baik untuk mulai berbicara mengenai masalah ini.

Dewan Kepausan untuk Komunikasi Sosial juga melihat sebuah kecenderungan yang cukup
berbahaya dari dunia internet, yaitu kecenderungan untuk melupakan dan menafikan dunia nyata
atau real. Dewan ini menegaskan: tidak ada sakramen dalam internet! Ditegaskan bahwa realitas
virtual tidak bisa menggantikan realitas yang real. Misalnya, Ekaristi (Kehadiran Real Kristus)
dan pelbagai sakramen yang lain, juga ibadah dan liturgi yang dilakukan dalam komunitas manusia
yang bertemu muka (flesh and blood) tidak bisa digantikan begitu saja dengan segala sesuatu yang
virtual belaka. Bahkan, pengalaman religius yang terjadi dalam dunia virtual terjadi karena rahmat
Allah dan tidak bisa dipisahkan dari interaksi dengan umat beriman lain dalam persekutuan yang
nyata. (No. 9)

Kultur internet memang kecenderungan yang bisa berlawanan dengan dinamika dasar teologi
inkarnasi yang penuh: Sang Sabda yang menjelma menjadi Yesus Kristus yang sungguh-sungguh
manusia, bertubuh dan hidup dalam sejarah yang kongkrit; merasuki sejarah secara radikal, yang
melahirkan paham komunalitas yang berisikan persekutuan manusia-manusia yang kongkret
dengan seluruh dinamikanya dalam sejarah yang nyata pula, dengan tantangan-tantangan yang
harus dilibati dengan darah dan daging. Dalam sejarah yang kongkret itulah para anggota
komunitas ini bertumbuh, lewat pelbagai pengalaman yang tidak selalu mudah tetapi kaya makna.
Dalam pesannya pada 70.000 kaum muda yang berkumpul di Vatikan pada Minggu, 24 April
2016 lalu, Paus Fransiskus berpesan:
Kebahagiaan kalian tidak bisa dibeli. Karena, kebahagiaan itu bukanlah sebuah aplikasi
yang bisa diunduh dalam telpon genggam-mu. Bahkan versi yang paling baru sekali pun
tidak bisa membantumu untuk bertumbuh dan menjadi bebas dalam kasih.
Di akhir sambutan lewat video, Paus Fransiskus yang memegang iPhone, berkata bahwa hidup
tanpa Yesus itu seperti halnya ketika kita tidak mendapatkan signal untuk handphone kita. Maka
ia berpesan: “Always be sure to go where there is a network: family, parish, school.” Pergilah selalu ke
tempat-tempat di mana ada jaringan: keluarga, paroki, sekolah.
Dalam hal ini, harus ditambahkan pula bahwa di dunia kita sekarang, di tengah budaya internet
yang kian meluas, kebutuhan untuk bersentuhan dengan dimensi tubuh dan alam juga makin kuat,
termasuk dalam bidang agama. Praktek yoga, meditasi dan pelbagai olah fisik-spiritual justru

14
Turkle, Alone Together, 277.
makin diminati oleh kalangan orang yang amat dipengaruhi oleh kultur internet dan dunia
digital.15 Bermunculan juga banyak komunitas atau klub atas dasar hobi yang selalu berkumpul
dan bertemu muka secara rutin, dengan fasilitas komunikasi internet.

Salah satu kekayaan tradisi Gereja yang justru makin terasa relevan di dalam kultur konektivitas
internet adalah keheningan, atau spiritualitas pertapa. Kata Basil Hume, seorang kardinal dan
biarawan Benediktin: “Seorang pertapa itu akan merasa aman di pasar (keramaian), karena dia
merasa nyaman dan kerasan di gurun (keheningan).”16 Agar orang bisa memasuki hiruk pikuk dan
intensitas komunikasi dunia internet dan tinggal di dalamnya secara bermakna tanpa kehilangan
keseimbangan dan arah, mereka perlu mempunyai keheningan batin yang hanya bisa dipupuk
lewat solitude, yaitu olah jiwa dalam keheningan, seperti yang ditengarai juga oleh Sherry Turkle.
Dan Gereja memiliki tradisi dan kekayaan besar di bidang ini.

Dalam interaksinya dengan kultur internet, komunitas Kristiani membawa pesan penting
mengenai konektivitas yang lebih mendalam, baik horizontal dan vertikal. Lingkungan budaya
internet bisa membantu memperluas dan memperdalam, tetapi tidak bisa diharapkan
memecahkan masalah dan menggantikan apa yang diusung oleh Gereja dengan tekanan pada
perjumpaan personal dan nyata, lewat tradisi sakramen, komunitas, persekutuan dengan sesama,
Tuhan dan kosmos.

V. Konektivitas dengan Kosmos

Laudato Si adalah ensiklik Paus Fransiskus yang menyadarkan seluruh dunia untuk
memahami kerusakan yang dibuat oleh manusia terhadap alam dan sesamanya. Ensiklik ini
memang mengangkat soal lingkungan hidup sebagai rumah bersama, namun cakrawala dokumen
ini juga luas karena juga membahas tidak hanya akibat-akibat buruk yang diakibatkan oleh manusia
pada lingkungan alam tetapi juga sebab-sebab filosofis, teologis dan budaya yang mengancam
hubungan antara manusia dengan alam dan dengan sesamanya dalam banyak situasi.
Setelah berbicara mengenai segala persoalan yang mengancam kelestarian dan harmoni
lingkungan hidup (polusi, air, keragaman hayati, kemerosotan sosial, ketimpangan global dsb)
yang belum mendapatkan tanggapan dan solusi yang tepat, Paus menawarkan bagaimana Injil dan
tradisi Kristiani bisa menerangi pesoalan ini; dan setelah mengkritik mentalitas teknokratis
(mentalitas yang mengandalkan teknologi sebagai solusi untuk semua) sebagai sebab krisis
ekologis, Paus menawarkan visi ekologi yang integral yang menyatukan ekologi lingkungan,
ekonomi, sosial, budaya dan hidup sehari-hari yang dibingkai oleh prinsip kesejahteraan umum
dan keadilan antargenerasi. Bagian akhir dokumen ini dilengkapi dengan beberapa pedoman
untuk bertindak menangani krisis lingkungan hidup, misalnya dialog dalam politik internasional,
nasional dan lokal. Dokumen ini ditutup dengan penjelasan mengenai pendidikan dan spiritualitas
ekologis.

15
Meredith McGuire, “Embodied Practices: Negotiation and Resistance,” dlm. Nancy T. Ammerman, Everyday
Religion, 187-200.
16
Kathleen Norris, Dakota: A Spiritual Geography (Mariner Books, 2001), 16.
Spiritualitas yang perlu dikembangkan di zaman teknologi digital justru adalah
konektivitas yang lebih mendalam dan luas, dengan seluruh ciptaan. Kita bisa meniru semangat
Fransiskus Assisi. Dia adalah seorang mistikus dan peziarah yang hidup dalam kesederhanaan dan
dalam harmoni yang indah dengan Allah, dengan orang lain, dengan alam, dan dengan dirinya
sendiri.

Sama seperti yang terjadi ketika kita jatuh cinta pada seseorang, setiap kali Fransiskus
menatap matahari, bulan, atau bahkan hewan terkecil, ia mulai bernyanyi, sambil
mengikutsertakan semua makhluk lain dalam pujiannya. Dia berkomunikasi dengan semua
ciptaan, bahkan berkhotbah kepada bunga-bunga, mengundang mereka “untuk memuji Tuhan,
seolah-olah mereka dikaruniai akal budi”

Fransiskus Assisi menolak mengubah realitas menjadi objek yang hanya untuk digunakan
dan dikendalikan. Alam sebagai Kitab yang indah, tetapi mata kita sering kabur sehingga tidak
melihatnya. Kalau tidak hati-hati, teknologi komunikasi yang kita nikmati sekarang akan
mengerdilkan kemampuan kita untuk menjalin konektivitas dengan Allah lewat alam semesta.
Sekarang ini kita melihat gejala yang aneh: ketika orang mengunjungi tempat yang indah, mereka
malah sibuk berfoto di tempat itu, tidak menikmati keindahan dengan hati. Orang malah sibuk
mengambil foto untuk dipajang di medsos. Alam hanya dijadikan alat untuk membuat orang
“eksis” di medsos. Apakah ini sikap yang benar?

Refleksi:

1. Carilah tulisan-tulisan, penelitian, pendapat orang, di internet mengenai hal-hal positif


dan negatif dari teknologi komunikasi.

2. Bagaimana pengalaman Anda dengan teknologi komunikasi baru (gadget, medsos dll):
apakah Anda merasa bertumbuh? Dalam hal apa saja teknologi komunikasi ini membuat Anda
bertumbuh? Apakah merasa terbelenggu dan menjadi kerdil? Dalam hal apa saja Anda merasa
teknologi justru menghambat pertumbuhan jiwa Anda?

Anda mungkin juga menyukai