Anda di halaman 1dari 9

Yusuf Maulana Yuliansyah

carpe diem, quam minimum credula


postero, bona fide, pulchrum splendor
est veritatis.
Menu

Stasiun
Diposkan pada 28 Oktober 2021

-yusuf maulana yuliansyah-

Sepanjang hidup saya dan sepanjang perjalanan


yang pernah saya lakukan dan tempuh terutama
sekali menggunakan moda kereta api, ada dua
stasiun kereta yang begitu berkesan dan
tertancap dalam dalam sanubari. Dua dari
beberapa stasiun yang demikian adalah Stasiun
Pasar Senen dan Stasiun Lempuyangan. Ada pesona,
nuansa, rona, dan kenangan yang menggelayut dan
terkait erat dengan kedua stasiun itu di samping
tentu saja stasiun lain seperti Bogor dan Tanah
Abang.

Pasar Senen merupakan salah satu stasiun yang


terletak di dataran Jakarta. Stasiun ini
merupakan stasiun yang menyambungkan Jakarta
dengan transit yang lainnya, Aksesnya baik
betul, jalan depan stasiun ada stasiun bus dan
jalan yang suka macet-macet. Menarik mengenai
keterangan mengenai stasiun tersebut sehingga
mereka yang kurang awas atau tidak terbiasa akan
kecele melihat lingkungan stasiunnya.

Sejauh ingatan saya di sana, stasiun ini selalu


ramai, sedang saja. Rata-rata pengunjungnya
merupakan mahasiswa atau muda-mudi komuter yang
punya keperluan keluar kota. Selain muda-mudi,
banyak juga ibu-ibu yang membawa anaknya,
mungkin mengajak mereka piknik atau mengunjungi
sanak saudara. Kehadiran kereta dari Pasar Senen
sangat membantu pergerakan orang-orang ini sebab
bila tidak, mereka harus merogoh kocek lebih
dalam untuk membayar Damri melewati jalan tol
atau memanjangkan kesabaran naik angkot dan
tenggelam dalam kemacetan.

Stasiun berikutnya adalah Lempuyangan. Stasiun


terindah yang pernah saya kunjungi. Oh yah, saya
bersungguh-sungguh. Stasiun ini terletak di
Yogyakarta. Apa yang menjadi keindahan stasiun
ini adalah, sejauh yang saya amati, tidak ada
alasan lain karena saya bertemu dengan sang
pujaan hati hoho.

Saya menyukai sekali tempat-tempat transit


seperti stasiun, terminal, atau bandara. Sangat
menyenangkan berada di sana. Saya bisa
menghabiskan banyak waktu sambil membaca dan
memperhatikan orang-orang serta suasana di sana.
Begitulah, setiap saya diminta tolong untuk
menjemput sesorang saya akan tiba lebih awal
untuk sekadar memperhatikan manusia-manusia
datang dan pergi. Tergesa mengejar moda atau
duduk suntuk terpuruk karena penundaan atau
pembatalan pemberangkatan. Siapa mereka? Kemana
mereka? Dari mana mereka? Apa yang telah mereka
lalui disana datau disini? Mengapa mereka
tergesa? Pertanyaan yang terus saya munculkan
untuk saya nikmati imajinasinya. Saya menikmati
memperhatikan kesedihan mereka yang ditinggalkan
atau kegembiraan mereka yang diikat pertemuan.
Gerbang kedatangan atau keberangkatan sama-sama
memberikan pesona manusia yang melenakkan.

Dari para penumpang tersebut, saya mendapati


makna soal perpisahan dan pertemuan juga makna
soal kepergian dan kedatangan, sesuatu yang
tampaknya kini begitu sering terjadi pada saya
dan teman-teman saya.

PS. Oh yah hari ini saya bertemu dengan


Pramudyautari sudah lama menabung rasa rindu dan
kami dipertemukan semoga kita menikmati waktu 5
hari ini.

Bagikan ini:

! Press-kan Ini " Twitter # Facebook


$ WhatsApp % Lagi
Sesuaikan tombol

Suka
Jadilah yang pertama menyukai ini.

Dikirimkan di beginning, Self Opinion


Dengan kaitkata #stasiun

Tinggalkan komentar
Sunting

Evaluasi
Diposkan pada 11 Oktober 2021

-yusuf maulana yuliansyah-

Sudah seminggu saya tidak menulis, saya sudah


kehilangan konsep dan ide-ide yang muncul setiap
harinya jadi saya akan menceritakan kisah-kisah
waktu kebelakang saja.

Suatu waktu, saya pernah ditugaskan untuk


membantu membuat dokumen (analisis resiko)
terkait program yang dijalankan oleh partner
saya yang di APRI (Asosiasi Pertambangan Rakyat
Indonesia). Tentu saja, seperti yang selama ini
terjadi, saya memiliki tingkat skeptisme
tersendiri perihal penyusunan dokumen semacam
ini. Sejauh yang pernah juga saya lakukan di
masa-masa giat ber HMTG “GEOI”, saya pernah juga
membuat pedoman baku yang pada akhirnya tidak
betul-betul dijadikan acuan oleh tiap orang,
apalagi dievaluasi dan dikembangkan atau
diperbaiki.

Tapi disamping kepentingannya untuk akhirnya


bisa dipahami oleh semua orang dan kekecewaan
saya karena hasil kerja tersebut seringkali
dianggap angin lalu dan tidak diperhatikan, saya
merasakan ada manfaat tertentu dalam proses
penyusunannya.

Saat getol sekali menyusun SOP misalnya, atau


panduan pengarsipan di lingkungan HMTG “GEOI”,
saya memasukkan idealisasi tertentu dalam
penyusunannya. Walaupun akhirnya tidak digunakan
oleh orang lain, tapi tata cara pengarsipan itu
saya aplikasikan ke filing dokumen digital saya,
juga pembagian kategorisasi koleksi buku saya di
rumah. Tetap ada manfaatnya tentu saja.

Jadi akhirnya, sembari skeptis dan sumpah


serapah saya kala itu, juga perihal
ketidakpercayaan diri karena notabene saya tidak
paham keseluruhan program di instansi, akhirnya
saya melakukan analisis resiko dan menyusun
dokumen mitigasi dan antisipasi. Dokumen itu
pelan-pelan saya susun berdasarkan kendala dan
pengendalian yang saya dan partner kami lakukan
di lapangan, meski secara keseluruhan kami belum
menyelesaikan tugas.

Tidak disangka, di tengah prosesnya saya


memahami lebih jauh hal yang sebelumnya belum
mampu saya pahami secara keseluruhan. Yang
paling saya suka dari analisis resiko adalah
menduga-duga hal yang akan terjadi kemudian,
menganalisis antisipasi dan merencanakan
mitigasinya jika sudah terlanjur terjadi. Pun
memperhitungkan kapan dan di mana letak titik
kritisnya sehingga suatu tindakan harus diambil.

Ini juga tidak jauh berbeda dengan postingan


saya. Secara praktis, analisis semacam ini juga
berguna untuk menjalani hidup yang biasa saja,
yang bahkan tidak membawa dampak buruk
sekalipun. Tentu kadang lalai juga dengan hal-
hal yang sudah direncanakan dan dianalisis,
misalnya, melupakan kronologis atau tanggal
penting. Meleset dalam memperhitungkan progres,
tapi setidaknya hal-hal semacam itu bukan
mendadak muncul, tapi pernah dipikirkan.

Juga soal hidup. Setiap mengambil keputusan akan


ada hal lain yang aksesnya terputus, atau
setidaknya aksesnya akan terhambat oleh
keputusan yang diambil. Misalnya saya memilih
pindah kota dari Bogor ke Sukabumi, tentu saya
akan kehilangan teman, tidak akan bisa menikmati
biaya hidup yang murah, harus mencari komunitas
baru, tidak akan sering ikut kegiatan outdoor,
dst. Selanjutnya pola hidup saya juga akan
berubah, rutinitas harian yang mengharuskan saya
menjadi seperti sekarang dengan tumpang tindih
dengan kebiasaan sebelumnya, akhirnya juga mudah
menerima perubahan saking seringnya menerima
kejutan. Hal-hal praktis semacam ini.

Saya kira menjalani hidup semaksimal mungkin dan


menyadari soal ‘di sini kini’ tidak juga harus
melepaskan semua kemampuan kita dalam
menganalisis resiko. Fungsinya jelas, untuk
mengendalikan. Jikapun kita tidak mampu
mengendalikan hal-hal yang ada di luar diri,
semisal takdir atau kejutan-kejutan hidup,
setidaknya kita pernah memikirkan cara
menghadapinya, dan bagaimana mengatasi dan
membatasi respon terhadap hal semacam itu.

Ini saya tulis juga berkenaan dengan realitas


yang saya hadapi selama 1 tahun belakangan ini.
Setelah sekian banyak memikirkan kemungkinan,
saya tidak di APRI lagi yang tidak pernah saya
inginkan sebelumnya, itu juga bisa mana suka.
Demikian, sekali lagi saya tidak berorientasi
pada tujuan atau goal, tapi lebih ke respon
personal terhadap sesuatu. Yang manapun itu.

Dan yah, terima kasih sudah membaca sejauh ini.


Hari ini saya cukup produktif dengan postingan
membabi buta ini. Hahahaha. Semoga tetap
berkenan. Tabik.

Bagikan ini:

! Press-kan Ini " Twitter # Facebook


$ WhatsApp % Lagi
Sesuaikan tombol

Suka
Satu bloger menyukai.

Dikirimkan di #diary, Self Opinion


Dengan kaitkata #hmtggeoi dokumen Evaluasi

Tinggalkan komentar
Sunting

What about lifes?


Diposkan pada 1 Oktober 2021

-yusuf maulana yuliansyah-

Tulisan ini hanya sekelebat aforisme dari


kulminasi yang saya simpan dalam noumena,
keadaan seseorang tidak cukup mampu
mengeekspresikan fenomena, singkatnya begitu, ya
ampun sambil menatap nanar langit kamar tibalah
saya pada kondisi terdehumanisasi, aroma dan
wangipun datang akhirnya bermelankolia, dan
sedikit klise. Tapi saya tidak akan menulis hal-
hal klise cukup rasa sakit secara fisik dan
psikomasis ini terkubur dengan sendirinya tak
ada lagi tulisan-tulisan klise. Bulan Oktober,
resolusi saya terhadap Blog ini sedikit menulis
perbanyak membaca lagi.

Bukan kerja lo !

Usia yang masih prima dan bergairah 25-an ini,


bobot yang saya tanam dan bangun dalam kerangka
metailmiah ini, proses berfikir, dan futurist,
serta stilistika yang mewah pasti akan berkurang
dan tentu pembaca setia harus sabar dengan
resolusi ini. Sebagai gantinya saya akan
produktif pada fisik, mental-kesehatan, menaikan
berat badan, merefresh otak haha. Tentu bacaan
saya akan lebih ringan akan di fokuskan sama
buku-buku lama yang saya pernah beli dan saya
akan baca lagi.

Loh Anda kapan kerjanya kalo begitu?.

Well saya tiba pada keadaan ketakterpisahan


antara jaringan atau nodes yang belum terhubung
bahwa saya bagian dari sosial, saya bagian dari
alam dan saya bagian dari doi yang mestakung,
ataupun sebaliknya. Romantika dan sesuatu pasti
akan menjadi tawar di akhir.

Dua tahun yang lalu saya mendalami “A new


scientific understanding of living system’s” Web
of Life-Fritjop Capra, buku ini saya sudah
masukan dalam daftar My Top List, dan saya masih
cukup muda untuk mempertanyakan apa itu hidup
seperti Erwin Schrodingers, sejatinya kehidupan
adalah bekerja Karl Marx, sejatinya kehidupan
adalah komunikasi. Tentu, saya sering
diselamatkan dengan ragu diperjalanan kehidupan
saya yang bored dan tak menghasilkan cuan, bukan
dengan pragmatism, optimism, well tepatnya
skeptism.

Dan disaat melihat nanar langit dikamar tidur,


saya memproyeksikan memori-memori yang ada dalam
pikiran saya dan terbentuklah suatu nodes dan
jalur-jalur, sehingga saya dapat mengetahui
titik dan posisi saya.

Disitulah saya sadar betul saya simpan dan tunda


di usia sekarang dan saya tidak cukup mampu
mengekspresikan fenomena tersebut.

Sebagai janji, pertanyaan diatas yang saya


simpan dalam noumena akan di elaborasi ketika
sudah waktunya, dan kali itu sudah ada bumbu
penyedapnya.

Sabar.

Tabik.

Bagikan ini:

! Press-kan Ini " Twitter # Facebook


$ WhatsApp % Lagi
Sesuaikan tombol

Suka
Jadilah yang pertama menyukai ini.

Dikirimkan di #diary, Self Opinion


Dengan kaitkata #sabar Crisis old

Tinggalkan komentar
Sunting

Refleksi merepih alam


Diposkan pada 25 September 2021

-yusuf maulana yuliansyah-

Masih dalam kondisi yang tidak jauh berbeda


dengan sebelumnya, saya masih impoten dalam
produksi-reproduksi ide-ide secara terstruktur.
Kalau sudah begitu, meracau lah solusinya. Tidak
apa, tentu saja. Namun, semakin kesini, saya
sadar semakin eksklusif saja. Saya semakin
enggan membagikan perasaan saya tentang suatu
apa pun lewat kanal-kanal media. Lebih
menyenangkan, menurut saya, untuk berdiskusi
langsung dengan berbagai kekurangan dan
kelebihannya. Namun demikian, ada hal-hal
tertentu yang perlu saya paksakan untuk saya
buka di postingan saya ini.

Saya punya permenungan di bidang-bidang


metafisika, eksistensial, spiritual, hingga
konspirasi. Beruntungnya, lewat pengalaman dan
jaringan yang terbangun, saya dapat memberikan
umpan balik yang tujuannya adalah
mengamplifikasi keresahan itu sendiri. Meskipun
pada akhirnya saya sadar bahwa permasalahan
tersebut kemudian akan terlipat dan tersimpan
rapi dalam almari-almari pemikiran saya, toh
saya menikmati keresahan itu setiap malam dan
bangun pagi yang menyegarkan itu.

Maka lewat tulisan sekepret ini saya mau


menyampaikan terima kasih saya untuk orang-orang
di sekeliling saya yang luar biasa. Benar lah
bahwa jika sesuatu berjalan, ia tidak lah
berjalan dengan baik melainkan sebaik-baiknya.

Dalam proses eksistensi, posisi makna adalah


sine qua non dan tidak dapat direduksi lewat
sindiran atau eufimisme. Kritik adalah ketegasan
dan bukan nada sindiran atau cemoohan.

Saya menemukan redaksi yang mengatakan:

“Pecinta alam punya kemalasan dalam mencintai


alam dan kemalasan di dalam mencintai alam.”

Kemalasan pecinta alam dalam mencintai alam


adalah bahwa mereka kemudian bersembunyi dalam
bungkus cinta. Cinta yang erotis dan fetisis,
cinta buta yang tidak punya sisi
pertanggungjawaban. Cinta yang membius dan
membuat terbang melayang tak tentu arah. Mereka
yang mencintai alam dengan demikian hanya akan
mencari pemandangan semata. Manifestasi
eksistensi mereka hanya sebatas foto-foto selfie
yang diunggah ke media sosial. Inilah pecinta
alam yang tak punya pijakan.

Cinta yang berikutnya adalah cinta posesif yang


egoistis. Cinta jenis ini akan melahirkan
pecinta alam yang begitu protektif terhadap alam
dan malah membunuh dirinya sendiri sebagai
manusia. Mereka yang mencintai alam dengan
demikian akan menjadi ekofasis dan reifikasis.
Inilah pecinta alam yang terlalu kuat
berpijakan.

Sementara, menurut Pablo Neruda: “love is the


revolutionalitation of self”, to love is to
revolute. Mencintai berarti berjuang dan tidak
hanya bersembunyi dari rumitnya fenomena yang
terjadi dalam bingkai cinta. Kemalasan tersebut
yang pada akhirnya melahirkan generasi
reaksioner yang tidak paham apa yang terjadi,
mengapa terjadi, lantas kemudian hanya menjadi
korban emosi komunal.

Interpretasi dari pembaca lah yang kemudian


mengadakan makna dari pesan tersebut. Saya masih
belum bisa memperkirakan seberapa jauh penerima
berita di Indonesia sadar dan kritis terhadap
kepentingan-kepentingan yang menunggangi media-
media masa di sini. Ataupun jika terlepas dari
media masa, siapa yang menshare atau mengcopy
paste sebuah tautan di timeline media sosialnya.

Pesan saya : Jangan tutup media sosial Anda tapi


cerdaskan diri Anda untuk memilih berita-berita
faktual. Kontestasi atau dialektika tidak
terjadi dalam persepsi namun terjadi secara
konstruksi oleh pemikiran Anda. Dalam dunia
media sosial, kebenaran tidak ada dalam an sich
dari suatu pesan melainkan diadakan secara
epistemologis lewat interpretasi.

Bagikan ini:

! Press-kan Ini " Twitter # Facebook


$ WhatsApp % Lagi
Sesuaikan tombol

Suka
Jadilah yang pertama menyukai ini.

Dikirimkan di #diary, Science, Self Opinion


Tinggalkan komentar
Sunting

The Ant
Diposkan pada 21 September 2021

-yusuf maulana yuliansyah-

Berbicara tentang semut mereka hidup berkoloni


dengan sang ratu sebagai titik sentralnya, sang
pejantan adalah kelas drone, pekerja serta
tentara mereka, semuanya perempuan.

Ketika pejantan siap kawin, mereka mencari


tempat tinggi beserta pejantan lainnya untuk
menarik perhatian sang ratu.

Ketika mereka sudah kawin, sial bagi si pejantan


harus binasa dan sang ratu memutuskan sayapnya
untuk membuat koloni yang baru.

Dan saat itu, ratu menghasilkan telur dan


membentuk prajurit, serta pekerja.

Apa yang saya ambil hikmahnya dari pengantar


diatas melihat siklus semut, suatu hari nanti
kita akan didominasi oleh perempuan dan laki-
laki akan binasa.

Kesimpulan yang malas.

Bagikan ini:

! Press-kan Ini " Twitter # Facebook


$ WhatsApp % Lagi
Sesuaikan tombol

Suka
Satu bloger menyukai.

Dikirimkan di Science, Self Opinion


Dengan kaitkata Semut Siklus

Tinggalkan komentar
Sunting

Obsesi
Diposkan pada 19 September 2021

-yusuf maulana yuliansyah-

Anda tidak ingin di miliki oleh seorangpun, Anda


takut ini adalah obsesi yang selalu berdampingan
dengan cinta. Anda hanya ingin hidup dalam
keterikatan dalam cinta, kalo Anda ingin memilih
untuk menikah dengan seseorang, bukan karena
ingin memiliki dan dimilikinya melainkan yang
membebaskan Anda, melegakan Anda membuat hidup
berwarna tanpa saling ingin mempunyai apa yang
kita sebut obsesi.

Karena Anda melihat perempuan bukan barang


ataupun harta yang harus dimiliki melainkan
teman hidup yang harus Anda jaga.

Semuanya gara-gara kita binatang yang berfikir


memiliki nafsu dan ingin sex yang selalu
dilekatkan dengan cinta yang memunculkan obsesi.

Karena kita Zoo dan bukan Bios?

Kita manusia.

Bagikan ini:

! Press-kan Ini " Twitter # Facebook


$ WhatsApp % Lagi
Sesuaikan tombol

Suka
Jadilah yang pertama menyukai ini.

Dikirimkan di #diary, Self Opinion


Dengan kaitkata Obsessed

Tinggalkan komentar
Sunting

Passion
Diposkan pada 17 September 2021

-yusuf maulana yuliansyah-

Mereka yang berbahagia adalah mereka yang


mencintai pekerjaannya. Mengapa? Sebab manusia
menciptakan dan menjadi diri mereka lewat
pekerjaan mereka. Marx mengatakan hal tersebut
setelah Hegel menegaskannya lewat filsafat
pekerjaannya. Namun, Marx berkembang lebih
lanjut, ia mengatakan bahwa pada era
kapitalisme, orang-orang tercerabut dari
pekerjaannya. Mereka bekerja bukan sebagai
pemenuhan eksistensi mereka, melainkan untuk
menghamba pada akumulasi kapital. Maka demikian,
tercipta lah keterasingan atau alienasi. Ini lah
adagium sederhana konsep Marx. Pada era modern
ini, para Marxist ortodoks bangkit kembali dan
mengaitkan konsep tersebut dengan kondisi masa
kini.

Kontekstual sekali dengan penduduk nampaknya. Di


kota seperti ini, mana lagi yang bekerja untuk
passion mereka? Mereka menghamba kepada
para owner, pemilik korporasi yang menguasai
seluruh faktor produksi.

Well, guess what? Ada yang menghamba kepada


owner, namun tetap mencintai pekerjaannya. False
consciousness? Di era schizofrenik semacam ini
siapa yang mengklaim dirinya dalam kesadaran
asli? Ada orang-orang yang menemukan diri
mereka, jati diri mereka dalam pekerjaannya.
Aduh, saya malas membahas kerangka teorinya
terlalu banyak; belum, belum waktunya.

Begitulah kegamangan antara idealisme dan


realisme, office’s life, tantangan, hingga visi-
misi dan hambatan yang dihadapi. Kita dihadapkan
pada dinginnya suasana mekanisme korporasi namun
lewat hangat kegembiraan dan senyum mereka.
Walau tubuh mereka lumat menghadapi bajingan
pengerat, namun tataplah sorot matanya,
menyimpan bara api yang tidak akan mati.
Pengalaman? penting sekali mengingat kita akan
masuk ke dalam sistem ini, sekarang atau nanti.

Dan sebagai penutup, saya akan menjumpai salah


satu perempuan yang berada di jajaran orang-
orang terpenting dalam perjalanan kehidupan saya
yang tak seberapa ini. Mereka memegang peranan
dalam meredam kegaduhan-kegaduhan dalam pikiran
yang terus terjadi. Tentu ini perjumpaan
pamungkas dalam menghadapi resah yang tak
kunjung kandas dan gundah yang takan tuntas.
Semua akan terangkum dan dicatat dalam senyap
oleh ia yang begitu romantis ini: pramudya
wardani puji lestari.

Bagikan ini:

! Press-kan Ini " Twitter # Facebook


$ WhatsApp % Lagi
Sesuaikan tombol

Suka
Satu bloger menyukai.

Dikirimkan di Self Opinion


Dengan kaitkata Pashion

1 Komentar
Sunting

The Man
Diposkan pada 16 September 2021

-yusuf maulana yuliansyah-

Di tengah tenggat waktu yang mencekik, saya


hanya akan menempatkan ide utama di sini
terlebih dahulu, poin demi poin.

1. kita, manusia adalah makhluk mitos. Kami


mengaburkan segalanya. Selayaknya kita bisa,
kita masih akan, untuk waktu yang cukup lama,
melihat sesuatu dengan mitos.
2. Internet sebagai penyedia informasi tercepat
adalah sumber mitos terbesar. Semuanya tidak
pernah seperti yang terlihat, kita sangat
menyukainya. Kami kagum dengan kehadiran yang
tidak ada dan mencapai titik kecanduan, kami
rela memberikan apa saja kepada mereka.
3. Ini mungkin menjelaskan bagaimana influencer
muncul. Mereka tampaknya memiliki segalanya dan
kami membelinya. Kami menikmati ilusi apa pun
yang mereka tunjukkan. Itu menyenangkan kita,
mempesona kita, dan bahkan memberi kita makna
tetapi kita tidak tahu bagaimana dan mengapa dan
pada titik ini kita mengaburkannya.
4. Tidak hanya influencer, tetapi juga berlaku
pada politisi, motivator, selebriti, atau pemuka
agama yang memproklamirkan diri. Dan di sinilah
saya lagi, tidak tahu apa-apa atas dasar nilai.
5. Apa itu nilai? Bagaimana cara menghargai
orang?

Bagikan ini:

! Press-kan Ini " Twitter # Facebook


$ WhatsApp % Lagi
Sesuaikan tombol

Suka
Satu bloger menyukai.

Dikirimkan di beginning, Self Opinion


Dengan kaitkata Fine Man
Tinggalkan komentar
Sunting

Magis
Diposkan pada 15 September 2021

-yusuf maulana yuliansyah-

Taken by pramudya_utari

Aku berpuisi pada sore, warnamu yang abu gelapmu


yang menggebu tuntunlah diriku dalam waktu yang
terobjektifikasi ini.

Potret wajahnya terukir dalam waktu, sorotan


sinarnya terpancar dalam bingkai dimensi.

Dan rindu ini menuntunku dalam.

magis.

Bagikan ini:

! Press-kan Ini " Twitter # Facebook


$ WhatsApp % Lagi
Sesuaikan tombol

Suka
Satu bloger menyukai.

Dikirimkan di #poetry
Tinggalkan komentar
Sunting

Vox Populi Vox Dei


Diposkan pada 10 September 2021

-yusuf maulana yuliansyah-

liberty leading the people, Eugene Delacroix,


February 1830

Saya mencoba merangkum konsep-konsep plotis-


ideologis yang beberapa saat ini berseliweran di
sekitar saya. Teks ini mencoba bicara secara
singkat soal praktik-praktik demokrasi lewat
kritik teks yang telah ada sebelumnya

Pertama, saya membaca artikel dari Franz Magnis-


Suseno yang diupload kawan saya di media sosial.
Romo Magnis di artikel itu menyerang kebijakan
mengenai hukuman mati. Namun ada satu paragraf
yang kemudian begitu mengena dalam praktik soal
penetapan hukum dan aturan yang berlaku di
masyarakat.

Buat saya, hukum merupakan suatu produk


kedaulatan masyarakat. Dan seperti yang kita
tahu, kedaulatan bisa berada di mana saja. Bisa
berada di Tuhan dan menjadikan masyarakat yang
bersepakat atasnya menjadi masyarakat yang
agamis. Bisa berada di tangan orang atau person
semata sehingga menjadi masyarakat yang monarkis
atau diktatoris. Bisa berada pula di tangan
masyarakat itu sendiri sehingga menjadi
masyarakat yang demokratis.

Hukum ataupun aturan yang berlaku, bertindak


dalam dimensi-dimensi. Pertama, masyarakat
bersepakat dalam pembuatan hukum dan hukum
berfungsi sebagai panduan dalam masyarakat
bergerak yang tercermin dari tindakan-tindakan
masyarakat yang dipandu oleh hukum tersebut.
Kedua, hukum sebagai pembatas dalam kebebasan
individu di masyarakat (freedom precede the
law). Dalam konteks sosiologi hukum, menurut
Emile Durkheim hukum menuruti kondisi masyarakat
sekaligus mewakili transisi masyarakat dari
‘mechanical solidarity’ menuju ‘organic
solidarity’.

Seperti lukisan Delacroix diatas, masyarakat


(barat pada khususnya) benar-benar mengacu
kepada kebebasan sebagai ‘leading of the
people’. Kebebasan diletakan sejajar dalam
revolusi Prancis sebagai slogan sejajar dengan
kesetaraan dan persaudaraan. Dikenal dengan
trumvirate yang dipopulerkan oleh Roberpierre
selepas Revolusi Prancis yakni ‘liberté,
égalité, fraternité’. Setengah abad kemudian,
semboyan tersebut dibakukan dalam bentuk lukisan
oleh Delacroix lewat semangat romantismenya.
(dan sedikit kritik oleh feminitas bagaimana
freedom dibawa oleh seorang wanita, seperti pula
simbol kebebasan Lady Liberty yang mengangkat
semangat feminisme)

Kebebasan individu begitu dipentingkan sehingga


mendahului aturan yang berlaku. Sebagai gambaran
umum, sistem hukum terdiri dari dua sistem yakni
Civil dan Common Law. Perbedaannya, menurut the
Economist terletak pada sumber-sumber hukum dan
mekanisme penggunaannya. Common Law bersifat
akumulatif dan lebih fleksibel dimana hakim dapt
berperan aktif dalam penyusunnannya. Civil Law
lebih rigid dan ketika penyusunnannya dibuat
untuk memperkirakan setiap kemungkinan kasus
yang terjadi. Negara-negara seperti Amerika dan
bekas jajahan Inggris umumnya menetapkan common
law sebagai sistem hukum mereka.

Oleh karena itu, penyusunan hukum tak lepas dari


peran aktivitas masyarakat didalamnya.
Dikembalikan kepada masyarakat, maka sistem
demokrasi sebagai penjamin kebebasan individu di
masyarakat menjadi point penting.

Namun kemudian, kritik berdatangan dari para


kaum agamis. Agama berusia sama tuanya dengan
masyarakat dan memiliki peran yang bersifat baik
secara komplementer maupun substitutif terhadap
ideologi. Ditengah jaminan kebebasan yang
dilegitimasi oleh postmodernisme yang menyusui
kebebasan individu sebagai ‘narasi kecil’,
tampaknya agama yang mengedepankan moral dan
kesempurnaan tatanan masyarakat lewat
justifikasi-justifikasi lokalnya gerah dengan
konsep kebebasan yang kebablasan tampaknya.

Kepada ke Romo Magnis, dia mengkritik adagium


yang menyetarakan masyarakat dengan Tuhan
sebagai afirimitas kuasa demokrasi: ‘Vox Populi,
Vox Dei’. Tapi seperti yang dia tulis di buku
etika dasar-nya, suara masyarakat tidak mungkin
menjadi suara Tuhan karena suara masyarakat bisa
salah. Romo Magnis berpendapat bahwa suara Tuhan
tidak pernah salah dan ia termanifsetasi bukan
sebagai suara masyarakat, melainkan sebagai
suara hati. Insting kita untuk menjustififkasi
benar salah dalam konteks moral.

Argumentasinya menyerang kecenderungan


masyarakat yang lantas cuma ikut-ikutan ketika
terjadi sesuatu. Supporter bola bisa begitu
beringas dan mencabut nyawa suporter lawannya
ketika berada dalam suatu ‘masyarakat’ yang
bergerak karena tindakan individunya. Lantas
bagaimana justifikasi moral ketika terjadi
demikian? Narasi kecil seperti apa yang bisa
membenarkan tindakan main hakim sendiri atau
membakar orang ketika masyarakat atau sekumpulan
orang secara kolektif sadar akan tindakan
mereka. Bukan, suara masyarakat bukan suara
Tuhan.

Kemudian, kritik dilontarkan oleh Hizbut-Tahrir


lewat website resmi mereka mengenai demokrasi.
HTI menyoal bagaimana hukum yang dibuat oleh
manusia bersumber dari manusia itu sendiri.
Padahal, kembali ke argumentasi Franz Magnis,
manusia tidak akan luput dari kesalahan. Untuk
hal ini, HTI maju lebih jauh: sumber hukum
terutama adalah Allah SWT, manusia tidak
diperkenankan membuat hukum. Namun, selama
demokrasi yang kufur tersebut masih menjadi ide
dasar, maka masyarakat punya kebebasan dalam
merumuskan hukum yang sesuai dengan keinginan
mereka. Untuk itu demokrasi harus diganti dengan
sistem yang dikenal sebagai kekhalifahan.

Tak bisa tidak, saya sepakat dengan argumentasi


para kaum agamis ini mengenai kecacatan manusia.
Manusia sebagai ciptaan tidak akan mampu
menyaingi ciptannya. Dalam ajaran katolik,
manusia hanya serupa dalam citra namun tidak
serupa dalam kualitas dan kongruen dengan
argumentasi Aristoteles bahwa ciptaan tidak akan
sesempurna ciptannya. Sementar bagi kaum
emanatif yang tertuang dalam paket ajaran
Kaballah, luahan yang keluar dari sang Divine
Being diproses dalam ets khayim atau sephirot
dan lewat fabrikasi luahan, maka sang luahan
bukanlah sang luah itu sendiri.

Artinya: sistem manusia akan selalu menemui


kecacatan.

Sementara, argumentasi kaum agamis kembali


kepada ajaran utopianisme yang absolut dimana
ada suatu standard tanpa cacat, kuasa transenden
yang sedemikian sempurnanya sehingga menjadi
pakem dan tolok ukur utama dari aspek terkecil
seperti ‘dinamika string’ hingga aspek terbesar
seperti ekspansi jagat raya. Kesempurnaan
regulasi tersebut terejawantah dalm mekanisme
hukum alam yang bersumber dari sang pencipta itu
sendiri, baik deistik ataupun interventif.

Kemudian, mengutip HB Jassin: tidak ada yang


final di manusia dan dipopulerkan kembali oleh
Gumawan Moehammad and the gang dan melahirkan
produk-produk liberal seperti Jaringan Islam
Liberal. Artinya, cacat manusia adalah suatu
fenomena an sich yang nyata adanya dan bukan
sesuatu yang patut dipermasalahkan. Ia akan
terus berdinamika lewat dialektika atau
mekanisme lain dan tidak akan berhenti pada
titik apapun. Argumentasi yang sangat menjunjung
tinggi relativitas namun secara romantis
memiliki intensi keindahan sendiri. Manusia
sebagai makhluk, aktif dalam mencipta,
menghancurkan.

Argumentasi apapun menjadi sangat krusial dalam


menyoal permasalahan apapun yang mengemuka. Bagi
saya, yang lucu dari manusia adalah mereka
berani menentukan hal-hal diluar diri mereka
sebelum mereka mendefinisikan diri mereka
sendiri. Maka jangan heran, di luar sana ada
yang sanggup memenggal kepala manusia lainnya
atas nama posisi yang mereka ciptakan sendiri.

Bagikan ini:

! Press-kan Ini " Twitter # Facebook


$ WhatsApp % Lagi
Sesuaikan tombol

Suka
Satu bloger menyukai.

Dikirimkan di beginning, Jurna Science, Self


Opinion
Dengan kaitkata #selfopinion #VoxPopuliVoxDei

beginning

Tinggalkan komentar
Sunting

Rex Discussto
Diposkan pada 6 September 2021

-yusuf maulana yuliansyah-

Ah, kembali saya harus bernostalgia pada


momentum waktu itu, hari ini, saya ingin
menceritakan rapat himpunan HMTG GEOI.

Posting kilat ini saya tulis ketika sedang


berada di tengah-tengah forum Mahasiswa Fakultas
Teknik Geologi. Waktu itu sedang senja,
mendekati maghrib tepatnya, dan saya sendiri di
ruangan 304, ruangan lantai 3 Fakultas Teknik.

Jemu, tentu saja. Sedikit banyak saya mulai


memahami bagaimana menjadi para wakil rakyat
yang kerjanya membahas peraturan-peraturan
diatas kertas, berdiskusi dan musyarawah sampai
berdarah-darah.

Saya tidak cocok di bidang itu, mungkin..

Berat ternyata harus duduk di ruangan dan


dikelilingi anggota-anggota himpunan dan
memperhatikan bagaimana pasal demi pasal dikaji,
direformasi, dan dikembalikan pada keadan yang
riil. Sedikit berdosa juga karena saya malah
menggunakan waktu-waktu tersebut untuk
mendownload hampir 3 album musik. Namun disini,
kualitas seorang pemimpin tentulah diuji,
bagaimana mereka bisa berbuat yang terbaik untuk
para bawahannya.

kebetulan lagunya Sgt the papers, slipknot,


Depapepe, ah..

Tidur, nyepep, mangkir.. Mungkin itu yang


terjadi dan yang kita lihat di persidangan-
persidangan para pemimpin kita. Namun sungguh,
jikalau Anda yang berada di posisi mereka ada
godaan yang tak terkira untuk melakukan hal-hal
demikian. Harus mereka yang benar-benar
bermental baja dan berjiwa luar biasa luas untuk
melakukannya.

Salut saya untuk mereka yang masih sanggup


berpikir untuk bawahannya. Namun toh yang
terjadi bukan kualitas pemimpin yang terjadi dan
kita lihat. Ah, miriiis. Semoga yang berikutnya
sanggup memahami keutamaan seorang pemimpin.

Bagikan ini:

! Press-kan Ini " Twitter # Facebook


$ WhatsApp % Lagi
Sesuaikan tombol

Suka
Satu bloger menyukai.

Dikirimkan di #diary
Dengan kaitkata #diary #hmtggeoi

Tinggalkan komentar
Sunting

Nasib
Diposkan pada 1 September 2021

-yusuf maulana yuliansyah-

Minggu-minggu ini disisi yang lain saya


kehilangan privilege, kontrakan yang saya huni
sebagai tempat dimana kehidupan yang sunyi
sebagai tempat berefleksi telah saya tinggalkan.
Saya menyukai kontrakan tersebut sebagai mana
saya menyukai keindahan, pada waktu pagi, saya
bisa melihat matahari terbit dari nadir yang
jauh di sana, siang hari, saya berjemur sambil
menikmati awan-awan yang berbentuk, sore hari,
saya bisa menyaksikan burung-burung berkicauan
serta anak kecil yang bermain layang-layang,
waktu malam hari, saya bisa melihat bulan yang
begitu dekat, dan pada waktu subuh, saya bisa
merasakan dinginnya bogor, udara yang sejuk yang
begitu membeku.

Keindahan kadang perlu rasional, dalam hal ini,


tiap hari saya disana meluangkan waktu menikmati
setiap hembusan angin serta suasananya disana,
keindahan yang saya alami di kontrakan tersebut
akan saya ingat, terlepas saya tidak begitu suka
dengan kebisingan, atau interaksi sosial yang
melelahkan, yang membuat energi terkuras.

Sebagai preambule di atas, saya ingin


menyampaikan tidak ada sesuatupun yang kita
inginkan terus akan tetap dan bertahan, pasti
selalu ada perubahan seperti heraclitos “phanta
rei”, oleh karena itu saya ingin menggeser
sesuatu yang saya inginkan lebih kepada nasib,
dan takdir.

Disatu sisi, nasib bisa di lengkungkan dengan


niat dan berusaha, sedangkan takdir adalah
mutlak.

Oleh karena itu mari bermain-main dengan nasib


saja, seberapa jauh Anda melengkungkan dan
membengkokan nasib tersebut, sebelum kesana,
apakah Anda tau yang disebut benar-benar nasib?
Kita sering mendengar ketika ema-ema atau WAgrup
ema-ema sedang menggibah, “kamu tau ga, nasib si
A sekarang gimna?” Kamu tau kan si B yang
dulunya begitu, sekarang nasibnya begini”, tentu
banyak sekali perbincangan untuk membicarakan
seseorang apalagi perihal nasib.

Karena nasib ini ada dalam domain terendah,


sering disandingkan dengan obrolan banal,
ngegosip, jadi, saya agak ragu dengan esensi
dari orang-orang yang membicarakan nasib.

Bagi saya, nasib bisa kita lihat dengan piramida


maslow, ada level-levelnya, seperti yang pernah
saya tuliskan. Jadi, tergantung level dan
kondisi Anda, ada diposisi mana saat ini m,
tentu dalam kondisi sedang hidup, itulah Nasib
anda.

Nasib berkorelasi dengan pengakuan terhadap


eksistensi Anda.

Lagi-lagi eksistensi kita sebagai manusia, yuk


bermain-main dengan nasib hehe.

Untuk perihal nasib saya.

Saya tidak ingin mengutak-atik selama saya


menikmati hari ini, dan esok harus lebih baik
dari hari ini, sedikit oportunis, sedikit
skeptis, maklum ya saya anaknya sedikit
ngeposmo, dan di bekali dengan pertahanan
kesederhanaan yang saya jungjung tinggi dan well
kesederhanaan mungkin sudah banyak dijadikan
self-motivation sama orang-orang serta pesantren
gontorpun motonya kesederhanaan. Hehe btw Utari
sedang apa ya.

Inilah tujuan blog saya dibuat agar saya bisa


tau ke arah mana nasib saya dan menuju meski
hanya sekedar mengarsipkannya.

Bagikan ini:

! Press-kan Ini " Twitter # Facebook


$ WhatsApp % Lagi
Sesuaikan tombol

Suka
Satu bloger menyukai.

Dikirimkan di #diary, Self Opinion


Dengan kaitkata #nasib

1 Komentar
Sunting

Etika Keteknikan
Diposkan pada 29 Agustus 2021

-yusuf maulana yuliansyah-

Berhubung tanggal 29 Agustus adalah hari


memperingati hari internasional menolak test uji
coba nuklir, saya ingin mulai dari pendekatan
etika keteknikan.

Tanggung jawab saya sebagai sarjana teknik yang


menjungjung suatu etika dan upaya saviorism,
tulisan ini akan terposting pada jadwal yang
sudah ditentukan. Well, sambil hari itu tiba
saya akan menuliskannya disini sebagai catatan.

Pengantar: Anak teknik dan etika

Di tengah berbagai kontroversi dan polemik


mengenai pendayagunaan dan penyalahgunaannya,
ada satu imaji tentang nuklir yang begitu kuat
melekat di masyarakat: bom nuklir. Sebagian
masyarakat bereaksi: “wiiih, bahaya tuh mas
“wah, nuklir bom ya?”, saya coba mengerti bahwa
reaksi masyarakat-masyarakat tersebut sebagai
dampak simbolik dari aspek fenomenalistik
nuklir. Bahwa “tak ada asap bila tak ada api”,
imaji dan konstruksi gagasan yang beredar di
masyarakat tidak dibangun dari ruang kosong
melainkan dari pengalaman-pengalaman empiric
mereka dalam berhadapan dengan fenomena
kenukliran bahwa nuklir berkenaan dengan
persenjataan dan ancaman perang.

Nuklir sebagai suatu ancaman adalah kenyataan.


Itu adalah fakta yang siapapun harus menerimanya
agar tidak terlena dalam pendayagunaannya.
menolak fakta yang demikian akan membuat nuklir
justru menjadi suatu mitos belaka. Melihat
nuklir hanya semata-mata dari manfaatnya akan
membuat telaah nuklir menjadi pincang.
Kedahsyatan nuklir sebagai suatu objek merupakan
suatu buah iblis tersendiri. Ada pahit dalam
setiap manis, ada derita dalam setiap nikmat. Di
tengah pendayagunaan nuklir ada hal lain yang
bisa berkembang menjadi penyalahgunaan. Senjata
nuklir, perang nuklir, hingga akibat yang
ditimbulkan dari radiasinya adalah akibat-akibat
yang dapat ditimbulkan oleh sebab penyalahgunaan
tersebut. Maka diperlukanlah suatu etika
pendayagunaan, budi pekerti dan pemahaman yang
benar tentang pendayagunaannya. Senangnya, kini,
paham terebut dimasukan dalam domain ilmiah
dalam cabang keamanan nuklir (nuclear security).

Biarpun telah dimasukn ke dalam domain tersebut,


saya tidak mendalaminya. Teori-teori keamanan
nuklir bukan menjadi bidang saya yang fisika
medik yang masih belum jelas arahnya jua (maklum
saya anak geologi). Namun, keamanan nuklir jelas
mutlak dibutuhkan dalam menciptakan batasan
pendayagunaan tenaga nuklir terutama dari aspek
lembaga dan organisasi. Sayangnya kembali,
seperti yang terjadi di berbagai macam ilmu
pengetahuan, keamanan nuklir maju terlalu jauh.
Saya belum menjumpai ajaran mengenai etika
teknologi untuk menjawab mengapa nuklir bisa
dijadikan ancaman? Perkara dayanya yang besar
itu adalah miliknya domain empiris yang
berurusan sama yang teknis-teknis aja. Oh ya,
sekali lagi karena kita berada di fakultas
teknik dan butuhnya perekayasaan semata yang
hanya bisa dilakukan di domain empiris tersebut.
Aduh, bosan saya dengan jawaban demikian.
Sebagai seorang sarjana, jadilah sarjana
pemberontak yang melawan aturan-aturan
metodologis.

Perkembangan teori-teori pengetahuan dan


filsafata terjadi karena para pemikirnya melawan
metode yang berlaku sebelumnya atau secara
cerkas mematahkannya (lih. Feyerabend, 1992:
14). Mematahkan dikotomi saja enggan, bagaimana
mematahkan teori. Mulailah dari bahwa urusan
etika adalah perkara kita sebagai sarjana,
sebagai akademisi, bukan perkara sarjana teknik
atau sarjana filsafat.

Soal Perkembangan IPTEK dan Pembangunan (Lagi)

Menyatir sedikit mengenai proses produksi sosial


yang menyatakan bahwa individu membentuk
masyarakat yang kemudian membentuk mereka
kembali, proses produksi teknologi juga
bertindak dengan mekanisme yang demikian.
Manusia menciptakan teknologi yang kemudian
menciptakan mereka kembali. Teknologi yang
diciptakan manusia telah melewati batas dan
kebablasan. Memodifikasi sedikit T. Jacobs dalam
bukunya “Menuju Teknologi Berprikemanusiaan”,
perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan
terlalu pesat sehingga manusia sendiri
tertinggal. Salah satunya adalah karena
perkembangan atau pembangunan manusia itu
sendiri terabaikan (lih. Jacobs, 1995: 147).
Manusia yang tertinggal dari teknologinya jelas
manusia yang terpisah dari teknologinya.
Bagaimana mungkin manusia terpisah dari
teknologinya? Manusia tidak menginternalisasi
proses penciptaan teknologi itu ke dalam dirinya
melainkan untuk tujuan lain, yang dari
perspektif kapitalistik bisa dikatakan untuk
mengakumulasi keuntungan. Nenek moyang kita
menciptakan artefak-artefak untuk kebutuhan
mereka dalam bertahan hidup. Mereka menggunakan
teknologi sebagai tujuan dari dalam diri mereka
sendiri, bukan dari luar mereka sehingga
teknologi menjadi cerminan dari diri mereka,
refleksi manusia dan yang paling krusial adalah,
teknologi tersebut tidak akan melampaui manusia
dan kemampuan alamnya.

Begitulah kini bagaimana nuklir telah melampaui


kemampuan manusia dalam mengendalikannya. Ia
adalah salah satu contoh pengembangan ilmu
pengetahuan yang paling berbahaya memang. Begitu
berbahanya sehingga terbentuk imaji-imaji yang
mengerikan di kalangan awam melebihi pemahaman
mengenai manfaatnya. Imaji tersebut adalah suatu
indikasi yang tidak bisa dipandang sebelah mata
bagaimana dampak nuklir begitu besarnya sehingga
menjadi sebuah gagasan yang sedemikian
dahsyatnya terkonstruksi di masyarakat.
Masyarakat pun bersepaham dalam hal itu dan
hampir seluruh masyarakat dari berbagai kalangan
mempunyai imaji yang demikian, bahkan dari
golongan akademisi. Imaji-imaji tersebut adalah
bukti bagaimana nuklir mempunyai dampak yang
begitu luas hingga ke perspektif masyarakat.

Daya Nuklir dan Perang

Daya nuklir yang begitu besar bukan hanya secara


aktualnya melainkan secara potensialnya juga.
Dalam dikotomi Aristoteles, gerakan akan terjadi
dari dari posisi potensialnya ke potensi
aktualnya. Potensi adalah sesuatu yang akan
menyebabkan aktualitas terjadi. dalam konteks
nuklir, secara aktual, daya nuklir dapat menjadi
ledakan, radiasi tingkat tinggi, hingga limbah
radioaktif. Sementara secara potensial nuklir
adalah ancaman, suatu strategi perang urat
syaraf. Saya mungkin akan lebih bicara mengenai
potensi dari nuklir sebab saya tidak mau
membayangkan aspek aktualnya.

Dalam istilah Dulles (dalam Russel, 2002),


potensi nuklir digunakan dalam suatu relasi
internasional dengan nama brinkmanship. Untuk
menjelaskan bagaimana brinkmanship, digunakan
analogi mengenai dua mobil yang dipacu dalam
satu jalur lurus secara berlawanan sehingga akan
bertabrakan. Pengemudi yang kemudian membelokan
arah mobilnya terlebih dahulu akan dianggap
pengecut dan sebagai pihak yang kalah. Inilah
model yang digunakan dalam kebijakan politik
barat-timur.

Mengapa brinkmanship kemudian diterapkan? Oleh


sebab nuklir menemui jalan buntu. Seperti yang
telah sejarah tunjukan, bahwa perang nuklir
semasa perang dingin dapat dihindari salah satu
faktornya adalah brinkmanship ini. Bertrand
Russell mengatakan bahwa bila salah satu pihak
tidak mau melakukan perang global, maka pihak
yang bersedia menanggung risiko akan berada di
atas angin. Para politisi, menurut Russell akan
mengatakan bahwa lebih baik sebagai pihak yang
waras mengalah dari yang tidak waras demi
kedamaian dunia namun juga Negara yang punya
harga diri akan menyerah dalam “peran yang
memalukan”, karena itu pilihannya adalah
brinkmanship atau menyerah (lih. Russell, 2002:
25).

Itulah contoh bagaimana potensi nuklir dijadikan


sebagai suatu ancaman. Kedua pihak akan terus
mengembangkan senjata nuklir hingga salah satu
pihak mengalah. Tujuannya adalah bukan akhirnya
terjadi perang nuklir atau dalam analogi
mengenai mobil tersebut kemudian terjadi
tabrakan dimana kedua pihak akan sama-sama
hancur. Dalam istilah lain dapat digunakan
istilah psychological war dimana masing-masing
pihak menggertak lewat senjata nuklirnya.

Bagaimanapun memang, penggunaan senjata nuklir


adalah suatu kegilaan. Tidak ada yang mau
menggunakan suatu senjata yang pada akhirnya
akan memusnahkan juga si pengguna itu sendiri.
Perang nuklir bagaimanapun akan berakhir dengan
hancurnya dunia ini dan merupakan contoh
bagaimana suatu konflik akan berujung pada
kehancuran bagi semua pihak. Dalam hal ini,
Bertrand Russell menawarkan tiga proposal:

1. Perang nuklir akan menjadi bencana dan tidak


akan menghasilkan apapun bagi masyarakat dengan
akal sehat.

2. Perang besar atau perang nuklir dapat dipicu


oleh perang kecil.

3. Sekalipun semua senjata nuklir dihancurkan,


pihak pihak yang bertikai akan mampu membuat
senjata nuklir lagi segera setelah perang nuklir
dinyatakan dimulai.

Dengan demikian, untuk menghindari perang nuklir


yang harus dilakukan adalah menghindari perang
dalam bentuk apapun.

Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan sebuah


pandangan baru dimana perang sebagai suatu
bentuk jalan keluar harus dihentikan. Suatu
Negara didasarkan atas dua tujuan. Yang pertama
adalah kemakmuran internalnya dan yang kedua
adalah dominasi, hegemoni, keunggulan atas
bangsa dan Negara lain. Bertrand Russell mungkin
menawarkan solusi berupa pembentukan komite,
rekonfigurasi teritori, hingga keinginan yang
benar-benar tulus dari pihak-pihak yang
terlibat.

Bagi saya untuk mencapai tujuan itu ialah


berhenti memaksakan keyakinan Anda kepada orang
lain. Dunia ini adalah dunia yang merayakan
perbedaan dan pertemuan gagasan. Berhentilah
memurnikan sesuatu dan rayakanlah perbedaan.

Ah, kesimpulan yang tidak nyambung bukan? Pikir


lagi yuk.

Bagikan ini:

! Press-kan Ini " Twitter # Facebook


$ WhatsApp % Lagi
Sesuaikan tombol

Suka
Jadilah yang pertama menyukai ini.

Dikirimkan di beginning, Jurna Science, Science,


Self Opinion
Dengan kaitkata #energi #etikaketeknikan

#nuklir

Tinggalkan komentar
Sunting
Dalam sajak curhat pada
semesta.
Diposkan pada 27 Agustus 2021

-yusuf maulana yuliansyah-

Sajak ini tak panjang, tapi kamu tahu hal-hal


yang melayang di sebalik baris-barisnya. Kata
ini tak seberapa, tapi kamu bisa menerka rentang
waktu yang habis untuk mencapainya.

Ada wujudmu yang semakin sempurna terlukis di


dalam ingatan, dalam ruang tempat mengenang.
Yang aku surati setiap pagi, kutawarkan cerita-
cerita, keresahan dan komedi. Kudekap kuat
ketika aku jatuh tersungkur, ku genggam erat
ketika ragu menghambur. Yang padanya tak ada
canggung yang menipu mengaburkan.

Oh semesta, aku jatuh cinta kepadanya Pramudya


wardani puji lestari.

Bagikan ini:

! Press-kan Ini " Twitter # Facebook


$ WhatsApp % Lagi
Sesuaikan tombol

Disukai
Anda dan 2 blogger lainnya menyukai ini.

Dikirimkan di #poetry
Tinggalkan komentar
Sunting

Relasi alam dan perempuan.


Diposkan pada 26 Agustus 2021

-yusuf maulana yuliansyah-

Relasi-relasi yang Terjadi: Rekonstruksi Feminis

Seperti disinggung dimuka bahwa, meurut Marx,


relasi antara manusia dengan alamnya adalah
relasi partisipasi. Dalam hal ini, Marx
menyatakan bahwa dalam prinsip partisipasi,
manusia bisa dinaturisasi dan alam bisa
dihumanisasi. Dengan demikian, akan ada relasi-
relasi yang bersifat simbolik antar manusia
dengan alamnya sebagai perwujudan dari
partisipasi tersebut. Relasi simbolik tersebut
merupakan suatu parameter yang sangat penting,
karena lewat simbol-simbol, struktur-struktur
hingga telaah linguistik kita mampu menemukan
bagaimana relasi alam dengan manusia. Relasi
demikian dikaji dalam cabang etnoekologi.

Sekali lagi ditemukan kesulitan dalam mendudukan


posisi manusia dalam relasinya dengan alam. Marx
keluar dari jerat positivistik yang memandang
alam sebagai suatu mesin dengan mekanisme yang
tunduk pada hukum-hukum mekanistik. Agaknya ini
cukup sejalan dengan jamannya dimana banyak
kaum-kaum naturalis bermunculan, sebutlah Alfred
Russell Wallace atau Carl Gustav Junghuhn. Para
naturalis ini merupakan symbol pada era itu
dimana mereka menampakan resistensi mereka
terhadap penggambaran alam yang serba
mekanistik. Lukisan-lukisan, puisi dan hasil
karya romantisme menampilkan alam dari segi
keindahannya, bukan hanya dari mekanismenya yang
rigid.

Meskipun demikian, Marx tetap dalam paham


matrealisme dialektik yang menyatakan bahwa alam
adalah suatu proses yang dinamis dan belum usai.
Oleh sebab itu, partisipasi manusia dibutuhkan
didalamnya. (lih. Ramly, 2000). Maka munculah
relsi partisipasi tersebut. Dari partisipasi
tersebut akhirnya muncul pada nilai-nilai
simbolik sebagai perwujudan nyata relasi manusia
dengan alamnya. Manusia secara spiritual terikat
dengan nilai dalam simbolisme suatu benda dan
bergerak dalam suatu sistem bahasa yang menandai
adanya realitas simbolik yang berjalan dalam
sistem kesadaran manusia. Benda tersebutlah yang
kemudian disebut sebagai totem. (Savitri, 2013:
19)

Sementara itu, proses simbolisasi tersebut


melibatkan perempuan sebagai elemen manusia yang
kemudian menjadi yang paling banyak
dinaturisasi. Simbol-simbol alam, merupakan
simbol-simbol perempuan. Sebagai contoh, suku
Amungme yang menempati kawasan Freeport-Rio
Tinto, menganggap bahwa tanah adat adalah ibu
mereka. Dugu-dugu di puncak gunung Etzberg
adalah tempat peristirahtannya. Kini lokasi
tersebut dikeruk oleh Freeport. Orang Amungme
kemudian menganalogikan pengerukan Etzberg
dengan analagi “Bagaimana jika ibu Anda kami
ambil dan kami belah payudaranya? Begitulah
perasaan orang Amungme” (penuturan Linda Beanal,
2008 dalam Maemunah, 2012).

Itulah bagaimana proses simbolisasi berkenaan


dengan spiritualitas masyarakat tempatan dalam
membangun relasi dengan alamnya. Menganalogikan
alam dengan ibu adalah suatu keraifan lokal yang
sangat luar biasa dalam menjaga alam mereka.
Ibu, sebagai figure yang sangat feminis,
berkenaan dengan falsafah masyarakat tempatan
dalam memandang alam sebagai pihak yang memberi
mereka kehidupan, menjada, serta melindungi
mereka dalam hidup mereka. Pandangan tersebut
adalah spiritualitas yang berkaitan dengan
kearifan lokal masyarakat tempatan.

Spiritualitas adalah dasar dari paham


spiritualisme. Suatu pergerakan yang melesat
seiring dengan kejenuhan manusia dalam memandang
rasionalitas sebagai suatu pryek modernitas.
Bambang Sugiharto (1996), mengkategorikan
spiritualitas sebagai suatu gerakan dalam
postmodernisme dimana mistisme (umumnya dari
timur) bertemu dengan rasionalisme (umumnya dari
barat) sehingga terjadi sintesis dan memunculkan
gerakan metafisika new age. Di luar pemahaman
mengenai spiritualisme kita perlu mengkaji
spiritualitas dalam melihat bagaimana
ekofeminsime menjadi strategi dalam mengatur
relasi dengan alam. Ini merupakan sesuatu yang
sangat sulit bagi saya, penulis, sebagai seorang
laki-laki. Akan terjadi banyak mispersepsi atau
perbedaan kesan dalam menangkap tulisan setelah
ini. Anda perempuan, harus dapat melihat tulisan
setelah ini lebih dalam untuk menangkap
spiritualitas yang dengan susah payah akan saya
sajikan. Semisal gagal, ah, yasudahlah.

Saya mulai dari pendapat Starhawk (dalam Dwi


Susilo, 2012) bahwa dalam gerakannya sebagai
spiritualisme, kaum spiritual tidak akan
menyalahkan pihak tertentu baik laki-laki maupun
perempuan. Alam dan perempuan adalah satu. Lebih
lanjut ia menekankan bahwa dalam kerangka
berpikir feminism ada tiga hal yang harus
diperhatikan: yang pertama adalah imanensi,
kedua saling keterkaitan, dan yang ketiga adalah
gaya hidup saling mengasihi.

Imanensi merupakan suatu kekuatan yang tak


terbayangkan, salah satu ciri dimensi Tuhan. Ia
merupakan kekuatan yang jauh di luar daya
manusia. Dalam pandangan Starhawk, imanensi
hadir sebagai salah satu pengontrol. Prinsip
saling keterkaitan adalah prinsip metafisika new
age yang juga dijelaskan oleh Fritjof Capra
dalam bukunya “The Web of Life” dimana muncul
paradigm-paradigma baru dalam memandang
kehidupan ini sebagai suatu sistem. Prinsip
ketiga inilah yang menjadikan feminisme menjadi
begitu kontekstual dalam menjadi relasi baru
antar manusia dengan alamnya.

Susan Griffin berpendapat bahwa perempuan lah


yang seharusnya mengontrol alam. Perempuan
memiliki kecintaan yang lebih terhadap
keberlangsungan dan bukannya pada keberakhiran.
Mereka adalah para pencipta dan penjaga
kehidupan. Selain itu, Griffin menambahkan bahwa
perempuan diberikan karunia untuk melahirkan.
Oleh karena itu, perempuan lebih mengetahui soal
kehidupan dibanding laki-laki. (Arivia, 2003).

Demikian, bagaimana pola-pola relasi antara


feminisme dan ekologi sesungguhnya berada pada
tujuan yang sama. Tujuan mereka adalah
melepaskan dunia dari paradigma yang mendominasi
(Dwi Susilo, 2012). Ini akan berujung kembali
pada relasi antar dominasi laki-laki dan
perempuan. Kita tahu bahwa perempuan disimbolkan
dengan elemen-elemen alam. Perempuan adalah
tanah, gunung, laut, hewan-hewan. Dalam
perspektif romantik, maka bisa dikatakan wanita
adalah keindahan dan representasi dari alam.
Praksis emanispatif feminsime terhadap dominasi
kaum laki-laki secara juga langsung merupakan
praksis emansipatif alam. Dari proses
simbolisasi perempuan-alam, dapat dikatakan
bahwa selama penindasan terhadap perempuan masih
ada, maka penindasan atau eksploitasi terhadap
alam juga tidak akan berhenti.

Saya hampir tidak pernah merasakan rasanya


melahirkan, rasanya merawat sesuatu hingga dia
tumbuh besar, rasanya memberikan kehidupan
terhadap sesuatu, rasanya menjaga, rasa khawatir
setengah mati mengenai kehilangan atau
kerusakan. Saya hampir tak pernah merasakannya,
hampir. Saya tidak bisa juga mengimajinasikan
bagaimana kebahagiaan melihat sesuatu tumbuh
atau kesedihan melihat sesuatu hancur dan
hilang. Saya pikir hanya mereka perempuan yang
melalui seluruh proses tersebut untuk dapat
memahaminya. Saya tidak belajar feminisme, tidak
mengetahui apa-apa tentang teorinya juga, namun
dalam suatu proses belajar saya selalu mencoba
untuk menginternalisasi kajian-kajian yang saya
buat. Maka buah dari proses internalisasi kajian
singkat yang ga berarti apa-apa ini saya adalah
apresiasi yang setinggi-tingginya buat para
perempuan. Terima kasih untuk telah menjaga
kehidupan selama berabad-abad ini. Soal
kritiknya? Nanti saja ah, ini saja memerlukan
waktu beberapa minggu.

Tabik!

Bagikan ini:

! Press-kan Ini " Twitter # Facebook


$ WhatsApp % Lagi
Sesuaikan tombol

Suka
Jadilah yang pertama menyukai ini.

Dikirimkan di beginning, Jurna Science, Science,


Self Opinion
Dengan kaitkata #feminism #perempuan

#relasialam

Tinggalkan komentar
Sunting

Nodes
Diposkan pada 21 Agustus 2021

-yusuf maulana yuliansyah-

Apakah ini indah di awal namun tawar diakhir?


itu pertanyaan untuk yang sedang jatuh cinta
yang tidak mesti untuk dijawab biarkanlah
menjadi sesuatu yang tetap begitu saja
Absurditas. Betul, hidup adalah demikian
mengutip dari camus. Bagaimana seseorang dapat
melihat konsekuensi ya saya ingin membahas hal
itu dalam kerangka pandangan pribadi its to
short for me because i don’t have to much idea.

Berawal dari fenomena bucin-bucinan adapun tidak


bucin tetap harus seimbang dengan common sense.
Yang saya ingin tuliskan adalah tentang
konsekuensinya.

Konsekuensi merupakan sesuatu yang Anda pilih,


dalam hal kasus “aku memilih untuk menjadi
seorang yang penuh pertimbangan dengan
konsekuensi terlalu banyak planning” sehingga
tidak terealisasikan, begitupun sebaliknya “aku
adalah orang yang tergesa-gesa” dengan
konsekuensi penuh dengan kecacatan yang manakah
diri Anda.

Well, diatas adalah preambule dua perspektif


yang berbeda selalu ada tesis dan antitesis, ada
hitam dan putih, kedua hal tersebut adalah suatu
pilihan yang manasuka dengan diri Anda,
pengetahuan credo ergo sum atau cogito ergo sum.
Lalu dimana letak yang pa;ing benar dan tepat
diantara kedua perspektif tersebut, apakah yang
penuh pertimbangan atau tergesa-gesa, yang kita
cari adalah common good nya atau sintesisnya
pinjam istilah Hegelian.

Kalo Anda lebih condong kearah penuh


pertimbangan ini bukan tentang benar atau kurang
benar, kalo Anda lebih condong kearah tergesa-
gesa belum tentu juga salah, kedua perspektif
tersebut adalah cara kita memihak pilihan yang
disediakan, tidak ada yang paling benar ataupun
tepat. Sekali lagi hidup adalah esensi tanpa
konklusi.

Apa yang saya mau angkat di tulisan ini adalah


bagaimana seseorang memiliki common sense yang
mewah dapat melihat pilihan alternatif lain
(sintesisnya) yang tidak disediakan oleh
keyakinan ataupun pikiran. Tentu anda bisa
memprediksikan kemungkinan-kemungkinan yang akan
terjadi dan itu mengasyikan, sekali lagi ini
bukan tentang benarnya tetapi cara Anda memihak
suatu pilihan mari kita lupakan mana yang
benarnya, tetapi sadari atas pilihan Anda.

Misalkan saya membuat pilihan untuk menjalin


hubungan dengan dasar kesadaran akan konsekuensi
katakan saya memiliki pertimbangan ataupun
tergesa-gesa. Ya, kemungkinan seperti itu,
mengasyikan bukan. Tetapi saya ingin pilihan
lain, alternatif lain. Saya berada di nodes
penghubung diantara keduanya, ko bisa, ini
sementara tentu saya dan dia’ yang saya pilih
atau kitanya sudah berada dalam tingkat
kematangan dari sesuatu yang bisa menjebak, apa
itu: ego dan kuasa, itu yang membuat dasar yang
kuat dalam hubungan, sebelum komitmen dan
pilihan lainnya.

Tentu socrates pernah bilang cinta atau mencinta


adalah bagian refleksi dari kehidupan.
Kehidupan, tentu saja yang kita hadapi sehari-
hari, pagi, siang dan malam adalah waktu yang
tepat untuk berefleksi, agar tidak terjebak oleh
nafsu dan ego.

Lalu beberapa hari yang lalu saya menonton video


di YouTube tentang menjalin hubungan its make
sense to me click saja linknya untuk lebih
lanjut.

By the way saya di kirimi video tersebut dari


seseorang saya berterimakasih untuknya.

PS : njir gue jadi so tau tentang relationship


padahal gue masih banyak kekurangan (Tinggi hati
bangeut).

Bagikan ini:

! Press-kan Ini " Twitter # Facebook


$ WhatsApp % Lagi
Sesuaikan tombol

Suka
Jadilah yang pertama menyukai ini.

Dikirimkan di Self Opinion


Dengan kaitkata nodes

Tinggalkan komentar
Sunting

Kognisi
Diposkan pada 19 Agustus 2021

-yusuf maulana yuliansyah-

Cognitive Modul

Jadi sekarang setelah kita berbicara, beri tahu


saya dari mana semua kecemasan ini berasal dan
Anda mungkin mengatakan ‘demi, neraka juga dari
mana asalnya’. Ya, tidak apa-apa.

Saya membaca artikel menarik dari John Haidt


yang bukunya ‘The Righteous Mind‘ baru saja saya
baca baru-baru ini. Saya mengagumi psikologi dan
bagaimana hal itu menjelaskan manusia sebagai
kekacauan tetapi dapat diprediksi dan Haidt
cukup menguraikannya dengan penuh rasa ingin
tahu. Dia berangkat dari perspektif moral untuk
menjelaskan dorongan untuk melakukan sesuatu
untuk kita dalam buku itu, tetapi saya tidak
akan menulis tentang itu terlalu banyak di sini.
Yang ingin saya sampaikan dari artikelnya adalah
tentang kecemasan terhadap perubahan iklim
bekerja.

Haidt menyatakan bahwa jika kita ingin mengubah


pikiran seseorang, kita perlu mengguncang
emosinya. Oleh karena itu membuat perdebatan
dengan ‘tidak ada pelanggaran’ dalam pembukaan
sama sekali tidak ada artinya. Itu bukan debat
tapi hanya obrolan ringan. Orang tidak akan
diganggu untuk mengubah perilaku mereka hanya
dari fakta atau opini, mereka perlu diganggu
pada tingkat tertinggi. Saya setuju dengan ini
karena begitulah cara kerja meme. Ada tiga
metode bagaimana kita bisa menembus lapisan
tebal pikiran kita dan disonansi kognitif adalah
salah satu metodenya.

Itu mungkin menjelaskan dalam pelatihan dasar,


para siswa atau taruna harus ditekan sampai
titik didih dan mereka mungkin bertanya ‘mengapa
saya ada di sini?’. Saat mereka bertanya tentang
keberadaan atau tujuan mendasar mereka adalah
titik yang tepat dari bagian kognitif otak
mereka diaktifkan dan katakanlah alam bawah
sadar mereka terbuka. Setelah itu, informasi
baru dapat tertanam dan akan tetap berada di
pikiran mereka sampai disonansi kembali.

Dan mungkin itu sebabnya kita selalu cemas. Kami


menerima sejumlah besar informasi setiap detik.
Kami dihadapkan pada fakta dan pengetahuan entah
bagaimana itu terlalu berlebihan dan kami tidak
bisa bertahan. Kita mungkin tidak menyadarinya
tetapi sekali lagi, alam bawah sadar kita tidak
pernah beristirahat sampai mati. Itu menelan
semua informasi yang tidak terdeteksi dan
kemudian memprosesnya tanpa izin kita dan ketika
selesai, alam bawah sadar membuang semua hal
yang tidak perlu itu ke pikiran kita, dan tiba-
tiba, kita merasa lelah dengan dunia.

Hal yang sama terjadi dengan kecemasan iklim.


Ketika itu datang, itu memicu semua keinginan
yang ditekan dan secara sewenang-wenang
menghubungkannya dengan gagasan menjadi bebas
anak. Di satu sisi, itu pasti menguntungkan.
Kita perlu tindakan, sekarang, di sini. Orang
perlu diganggu tapi di sisi lain, saya juga
prihatin dengan mereka yang hanya menerima
kelebihan dari proses ini.

Sains itu rumit dan ketika sampai pada


intervensi, itu menjadi dasar bagi ide-ide
dogmatis. Dan pada titik ini, saya dapat
mengatakan bahwa sains telah menjadi agama. Anda
tidak perlu bertanya tentang kiamat iklim karena
sains mengatakan demikian. Saya ingat dengan
jelas apa yang saya katakan sebelumnya, sains
selalu memiliki keraguan dan ketidakpastian. Itu
tidak pernah seharusnya menjadi dogma. Tapi
sekali lagi bagaimana kita bertindak jika kita
membiarkan keraguan itu mengambil kendali?
Baiklah, mari kita simpan pertanyaan ini untuk
nanti.

Yang ingin saya katakan adalah, jangan biarkan


kebutaan mengendalikan Anda (terdengar sangat
murahan tapi saya akan lulus). Jangan biarkan
kecemasan mengendalikan perilaku Anda atau
bahkan keputusan Anda. Pikiran kita cenderung
melebih-lebihkan sesuatu. Psikologi dapat
membantu Anda mengenali kecemasan dan
menaklukkannya. Di sini izinkan saya berbagi
jenis kecemasan yang mungkin ada.

1. Membaca pikiran. Anda berasumsi bahwa Anda


tahu apa yang dipikirkan orang tanpa memiliki
bukti yang cukup tentang pemikiran mereka. “Dia
pikir aku pecundang.”

2. Peramal nasib. Anda memprediksi masa depan


secara negatif: keadaan akan menjadi lebih
buruk, atau ada bahaya di depan. “Saya akan
gagal dalam ujian itu,” atau “Saya tidak akan
mendapatkan pekerjaan itu.”

3. Bencana. Anda percaya bahwa apa yang telah


atau akan terjadi akan sangat mengerikan dan tak
tertahankan sehingga Anda tidak akan tahan.
“Akan sangat buruk jika aku gagal.”

4. Pelabelan. Anda menetapkan sifat negatif


global untuk diri sendiri dan orang lain. “Saya
tidak diinginkan,” atau “Dia orang yang busuk.”

5. Diskon positif. Anda mengklaim bahwa hal-hal


positif yang Anda atau orang lain lakukan adalah
sepele. “Itulah yang seharusnya dilakukan istri—
jadi tidak dihitung kapan dia baik padaku,” atau
“Keberhasilan itu mudah, jadi tidak masalah.”

6. Penyaringan negatif. Anda fokus hampir secara


eksklusif pada hal-hal negatif dan jarang
memperhatikan hal-hal positif. “Lihat semua
orang yang tidak menyukaiku.”

7. Terlalu menggeneralisasi. Anda melihat pola


global negatif berdasarkan satu insiden. “Ini
biasanya terjadi pada saya. Sepertinya aku gagal
dalam banyak hal.”

8. Berpikir dikotomis. Anda melihat peristiwa


atau orang dalam istilah semua-atau-tidak sama
sekali. “Saya ditolak oleh semua orang,” atau
“Itu benar-benar buang-buang waktu.”

9. Menyalahkan. Anda berfokus pada orang lain


sebagai sumber perasaan negatif Anda, dan Anda
menolak untuk bertanggung jawab untuk mengubah
diri Anda sendiri. “Dia yang harus disalahkan
atas perasaanku sekarang,” atau “Orang tuaku
menyebabkan semua masalahku.”

10. Bagaimana jika? Anda terus mengajukan


serangkaian pertanyaan tentang “bagaimana jika”
sesuatu terjadi, dan Anda gagal untuk puas
dengan salah satu jawaban. “Ya, tetapi bagaimana
jika saya merasa cemas?,” atau “Bagaimana jika
saya tidak bisa bernapas?”

11. Penalaran emosional. Anda membiarkan


perasaan Anda memandu interpretasi Anda tentang
kenyataan. “Aku merasa depresi; oleh karena itu,
pernikahan saya tidak berhasil.”

12. Ketidakmampuan untuk diskonfirmasi. Anda


menolak bukti atau argumen apa pun yang mungkin
bertentangan dengan pikiran negatif Anda.
Misalnya, ketika Anda berpikir bahwa saya tidak
dapat dicintai, Anda menolak bukti yang tidak
relevan bahwa orang menyukai Anda. Akibatnya,
pemikiran Anda tidak dapat disangkal. “Itu bukan
masalah sebenarnya. Ada masalah yang lebih
dalam. Ada faktor lain.”

sourche :
https://www.theatlantic.com/magazine/archive/201
5/09/the-coddling-of-the-american-mind/399356/

Bagikan ini:

! Press-kan Ini " Twitter # Facebook


$ WhatsApp % Lagi
Sesuaikan tombol

Suka
Jadilah yang pertama menyukai ini.

Dikirimkan di beginning, Science


Dengan kaitkata #gangguankognisi #kognisi

Tinggalkan komentar
Sunting

Ditinggal pergi
Diposkan pada 18 Agustus 2021

-yusuf maulana yuliansyah-

Tak ada perasaan yang butuh diterjemahkan ia


hanya wajib dirasakan, lalu kamu, jangan lupakan
setiap verba yang terrekam dan chat yang
tersimpan.

Barangkali aku melupakan maknanya dalam kita


pada malam dan pagi, menghamburkan yang tertera,
mengabarkan kekosongan antara aku dan rindu.

Rindulah yang paling memanusiakan, sisanya


berlaku meramaikan, kamu ingin pergi esok, atau
hari selanjutnya mengingat ada tubuh-tubuh yang
tetap pergi meski kita melarang, ada raga yang
tak mau tinggal meski memohon, ada raga yang
terbatas jarak meski begitu ingin, terlalu
banyak batas yang mengerdilkan ingin menjadi
angan.

Kadang doa tak seberapa panjangnya, tapi begitu


yakin akan sampai pada tempatnya.

apa masih percaya doa?

Di dalam kesendirian datang sepi yang terlalu


sepi, atau dikeramaian merasa sepi, sesibuk itu
aku mengingat yang lewat, hanya saja tetap suka.

Nanti di dalam sepi yang terlalu sepi, kamu


datang dan kemudian pergi, dirimu rindu yang
kunanti.

Bagikan ini:

! Press-kan Ini " Twitter # Facebook


$ WhatsApp % Lagi
Sesuaikan tombol

Suka
Satu bloger menyukai.

Dikirimkan di #diary, #poetry


Dengan kaitkata #menanti berharap rindu

Tinggalkan komentar
Sunting

Penghubung
Diposkan pada 17 Agustus 2021

-yusuf maulana yuliansyah-

Berangkat dari narasi kepahlawan hari ini saya


mau mulai mengisi cawan ini dengan kegiatan
menulis, seperti halnya Pram menulis adalah
pekerjaan abadi. Baik sebenarnya ada tema yang
ingin saya bahas yaitu penghubung.

Bayangkan ini: Anda dan saya, kami tidak sengaja


bertemu dan kami berdua makan malam romantis,
entah bagaimana, dan kemudian berakhir di kamar
Anda atau kamar saya karena saya tidak keberatan
dan menikmati seks yang baik untuk sekali dalam
beberapa saat dan di kemudian hari Anda mungkin
bertanya: ‘kamu, apa hal favoritmu di dunia
ini?’. Saya akan mengatakan: ‘ini koneksi’. Lalu
begitulah, coba tangkap jawabanku tapi kamu
tidak bisa dan kamu berbisik ‘oh untuk abu nenek
moyangku, dia aneh tapi seksnya bagus!’ dan kami
saling berpelukan sampai aku bangun dan
menyadari itu hanyalah hal lain bermimpi untuk
memasuki hari merdeka yang lain.

Itu semua fantasi, kecuali jawaban yang saya


berikan kepada Anda. Itu benar, jika sekarang
Anda bertanya apa yang mungkin menjadi favorit,
itu adalah koneksi.

Saya sangat suka ketika hal-hal terhubung,


bersatu, terjalin, terjerat, atau bertabrakan.
Itu tetap menjadi kesatuan dari asal kita yang
sebenarnya. Fakta bahwa kita terhubung dan
digabungkan dari bahan yang sama, berarti Anda
dan saya tidak berbeda sama sekali. Kita adalah
satu, kita adalah musuh. Koneksi adalah tempat
segala sesuatu terjadi dan bersatu adalah
penyangkalan terakhir terhadap hukum paling
dasar di alam semesta: semuanya meluruh. Oleh
karena itu, perjuangan kita, kerja kita sebagai
manusia untuk melawan tatanan alam adalah tetap
bersama. Astaga, itu sangat cheesy.

Richard Dawkin menjelaskan bahwa banyak makhluk


berasal dari organisme yang sama dan kita
berbagi nenek moyang. Nenek moyang kita yang ke-
185 juta adalah seekor ikan dan entah bagaimana
hanya Tuhan yang bisa melarang mereka menemukan
seks dan kita mengulangi aktivitas itu selama
jutaan tahun. Lihat, kita datang dari titik yang
sama.

Lucu melihat bagaimana orang sangat terobsesi


untuk menonjolkan perbedaan dalam hidup mereka.
Namun, mengapa repot-repot mencari apa yang bisa
menyatukan kita di mana kita bisa memisahkan
diri dan merasa lebih baik tentangnya? Sekali
lagi, seperti yang dijelaskan oleh Ahli Biologi
Perilaku Manusia Stanford, Robert Sapolsky di
salah satu kuliahnya, manusia selalu berpikir
dalam kategori. Ini adalah kategori, identitas
yang membentuk makna. Hanya dengan
mengkategorikan dan memisahkan diri kita
terhadap orang lain, kita bisa merasakan hal itu
dan itulah yang menentukan perilaku manusia pada
akhirnya. Itu wajar jadi saya pikir saya tidak
bisa berbuat apa-apa selain menerimanya dan
melanjutkan.

Masyarakat ini jelek karena tidak membiarkan


saya mendapatkan apa pun yang saya inginkan jadi
mari kita lanjutkan ke apa yang saya sukai
selanjutnya tentang koneksi. Anda tahu, mereka
selalu menyuruh Anda untuk menjadi generalis dan
spesialis dan Anda dibatasi untuk memilih hanya
satu. Menjadi generalis berarti memperluas
pikiran Anda secara luas, seperti danau atau
kolam sementara menjadi seorang spesialis
membuat Anda menggali diri Anda lebih dalam
seperti sumur. Apa yang Anda pilih bukan urusan
saya, semuanya tepat kapan dan di mana itu
benar. Untuk diri saya sendiri, saya menetapkan
diri saya untuk menjadi penghubung. Saya mungkin
harus menjadi generalis saat menyelam untuk
menghubungkan node yang hilang dan membuat
keseluruhan sistem.

Jadi mari kita berhenti di sini dan kembali ke


pos yang didedikasikan untuk membahas masalah
khusus ini. Sekali lagi selamat hari merdeka
Indonesia.

PS : apakah benar-banar sudah merdeka mari


tanyakan?

Bagikan ini:

! Press-kan Ini " Twitter # Facebook


$ WhatsApp % Lagi
Sesuaikan tombol

Suka
Jadilah yang pertama menyukai ini.

Dikirimkan di Science, Self Opinion


Dengan kaitkata #penghubung

Tinggalkan komentar
Sunting

Bhakti-Negara
Diposkan pada 16 Agustus 2021

-yusuf maulana yuliansyah-

Saya sangat percaya bahwa Negara ada untuk


melayani hak asasi manusia tanpa memandang hal-
hal subjektif. Bagaimanapun, mata pencaharian
manusia, khususnya di Asia Timur, sangat
bergantung pada keluarga dan kekerabatan. Ini
berjalan pada konsep ‘bhakti’ dan saya telah
menyebutkan konsep ini di suatu tempat di blog
ini, saya cukup yakin. Orang menggunakan bhakti
sebagai alat untuk mengukur nilai seseorang.

Saya sangat setuju. Dalam beberapa kasus, bhakti


benar-benar menguji integritas, komitmen, dan
kebajikan tertinggi manusia. Namun demikian, itu
harus digunakan sebagai nilai pribadi bukan
sosial. Ini menjadi masalah karena
mencampuradukkan kualitas pribadi dengan
kualitas sosial dapat memberikan beban yang
berat dan benturan kepentingan dalam diri
seseorang. Bhakti menjadi tindakan yang sangat
indah jika dilakukan secara sukarela.

Saya tahu saya membawa keterikatan moral pada


saat ini jadi mari kita ubah topik pembicaraan.
Negara ideal bagi saya harus bekerja sampai
memadamkan semua niat saviourisme.

Ya, keinginan untuk menjadi pahlawan adalah


salah satu kekuatan pendorong utama dalam
perilaku manusia. Kami ingin menjadi signifikan
dengan bersikap baik satu sama lain. Itu memberi
hidup kita yang kosong dan tidak berguna tujuan,
menciptakan makna dan nilai dan akhirnya,
menciptakan kegembiraan dan kebahagiaan sebanyak
yang saya yakini kebahagiaan hanya nyata ketika
dibagikan atau berbagi adalah kepedulian.

Ini mendesak orang untuk menunjukkan kemurahan


hati mereka dan mengatakan “Saya senang ketika
mereka bahagia”. Sungguh mengharukan dan
menyentuh hati bukan? Ya, tetapi orang-orang
mulai bosan. Ada yang mengatakan tindakan itu
dan kemurahan hati itu tidak perlu. Alih-alih
memberi sedekah, mengapa kita tidak memajaki
orang kaya dengan benar sehingga Negara dapat
mendistribusikan sumber daya itu dengan lebih
tepat. Amal bersifat sangat eksklusif dan hanya
diberikan kepada sasaran yang disukai donatur
atau patronnya. Ini sangat subjektif dan seperti
bhakti, juga sangat pribadi.

Orang-orang mulai menyadari bahwa ada orang lain


yang tidak terdeteksi dan tidak terafiliasi
sehingga mereka membutuhkan agen nilai bebas
untuk melayani mereka dan Negara diharapkan
untuk mengambil pekerjaan itu.

Namun. NAMUN. Mari kita lihat Negara saya dan


pemerintah di dalamnya. Oke, saya tidak bisa
memikirkan kata apa pun untuk itu, terlalu
terdiam. Mari kita akhiri di sini, saya punya
poin.

Bagikan ini:

! Press-kan Ini " Twitter # Facebook


$ WhatsApp % Lagi
Sesuaikan tombol

Disukai
Anda menyukai ini.

Dikirimkan di Self Opinion


Dengan kaitkata #pahlawan bhakti negara

Tinggalkan komentar
Sunting

Kecemasan Iklim
Diposkan pada 13 Agustus 2021

-yusuf maulana yuliansyah-

IPCC merilis laporan perubahan iklim saat ini


beberapa hari yang lalu dan tentu saja itu
memicu perdebatan sengit dan memanaskan media
sosial. Perdebatan terdengar seperti ‘baiklah,
kita sudah tahu bahwa kita ditakdirkan, sekarang
apa?’. Anehnya, saya kebetulan menangkap topik
yang cukup menarik yang melibatkan malapetaka
iklim tentang pilihan bebas anak. Dasar
ontologis mereka adalah bahwa pada keadaan saat
ini, generasi berikutnya akan putus asa jadi
mengapa repot-repot?

Saya membuka tesis tentang kelebihan populasi


dan menelusurinya kembali dari ‘The Population
Bomb’ (1968) karya Paul Elrich hingga esai
Malthus. Populasi itu sendiri tidak terlepas
dari masalah lingkungan karena merupakan salah
satu kekuatan pendorong utama dinamika planet
kita dan saat saya menulis posting ini, planet
kita harus menopang lebih dari 7 miliar orang
dengan kecemasan mereka masing-masing. Kecemasan
yang sama yang memaksa mereka untuk tidak
memiliki anak.

Sejauh saya merasa sangat nyaman untuk


menyalahkan penduduk, saya selalu mengakar dan
menempatkan diri saya kembali ke masalah aktual
yaitu, seperti yang selalu ditekankan oleh
banyak kaum kiri, distribusi sumber daya.
Situasi ini semakin diperparah oleh kebutuhan
kapitalisme untuk selalu memperluas pasarnya.
Lebih banyak orang, seperti yang dinyatakan
Magdoff dan Foster (2018), berarti lebih banyak
pasar. Pertumbuhan penduduk maka secara default
diperlukan dan tak terelakkan di bawah sistem
ini.

Begitulah cara kerja sistem, sekarang mari kita


lihat pilihan childfree.

Sebagai catatan, bencana iklim selalu menjadi


tren selama beberapa dekade terakhir seperti isu
childfree. Revolusi seks, didorong oleh
kontrasepsi yang memungkinkan kita untuk benar-
benar bersenang-senang (seks) dengan sebaik-
baiknya tanpa mengkhawatirkan konsekuensinya
(anak-anak). Ini harus menjadi penemuan terbesar
yang pernah ada. Kombinasikan itu dengan
kecemasan dan Anda akan mendapatkan ide untuk
membenarkan kebebasan anak (pada tahun 1972, ada
Pertumbuhan Populasi Nol di Yogyakarta, yang
menunjukkan bagaimana kaum muda benar-benar
peduli dengan masalah populasi (Daldjoeni,
1974)).

Jadi di mana saya berdiri di atas ini?

Saya tidak pernah memiliki niat untuk memiliki


anak, namun, sejauh ini. Tetapi hanya untuk
masalah praktis dan pribadi yang tidak pernah
saya sukai untuk anak-anak, itu bukan urusan
saya, saya kira dan saya tidak pernah membahas
kiamat iklim untuk pertimbangan tidak memiliki
anak. Sains sebagai dasar dari hukuman kiamat
iklim kematian selalu memiliki keraguan dan saya
tertarik untuk mengikuti keraguan itu pada
sains. Saya sepenuhnya mendukung praksis
tindakan sehari-hari yang ramah lingkungan dan
ya, kita harus bertindak dan berubah sekarang
karena tidak ada waktu yang lebih baik tetapi
tolong biarkan saya memiliki ketidakpastian
tentang kiamat iklim. Selain itu, kiamat iklim
juga menumbuhkan apa yang mereka sebut sebagai
kecemasan iklim, dan ini juga merupakan penyebab
lain dari keputusan bebas anak.

Jauhkan kecemasan Anda di mana uang Anda berada.


Kami masih bisa mengubah banyak hal.

Sekali lagi, kembali ke normatif.

kita lebih sering menderita dalam imajinasi


daripada dalam kenyataan

Seneca

Bagikan ini:

! Press-kan Ini " Twitter # Facebook


$ WhatsApp % Lagi
Sesuaikan tombol

Disukai
Anda menyukai ini.

Dikirimkan di beginning, Science, Self Opinion


Dengan kaitkata kecemasan Krisisiklim

Tinggalkan komentar
Sunting

Letih
Diposkan pada 11 Agustus 2021

-yusuf maulana yuliansyah-

Kamu bisa merasakan letihnya dunia di pagi hari,


dalam hening dan alunan subuh.

Betapa beban yang dibaringkan kini berdiri lagi,


di antara tanganmu, di ujung pundak-pundakmu, di
pinggang, di siku.

Kamu bisa merasakan letihnya dunia ketika ia


tidak berkata apa-apa, hanya nyanyian jangkrik,
kabut, dan gumaman doa.

Betapa sakit telinga kita akan kata-kata, di


antara bibir, yang serupa duri dan bisa.

Bagikan ini:

! Press-kan Ini " Twitter # Facebook


$ WhatsApp % Lagi
Sesuaikan tombol

Suka
Jadilah yang pertama menyukai ini.

Dikirimkan di #poetry
Dengan kaitkata #poetry Letih Pagi

Tinggalkan komentar
Sunting

Jurnalku
Diposkan pada 10 Agustus 2021

-yusuf maulana yuliansyah-

Di kisaran tahun 2014, saya yang kuliah di


lingkungan Fakultas Teknik tetiba dikerubungi
oleh banyak orang dari jurusan lain yang
kebetulan datang ke lingkungan kami untuk
bertemu dan diskusi dengan beberapa teman. Saya
yang sedari sma tidak diperkenalkan lebih jauh
dengan ilmu sosial (sekolah saya maksa semua
siswa jadi anak IPA), baru mulai terbukakan
dunianya dengan betapa serunya dunia sosial.
Setelahnya, saya mencekoki diri sendiri dengan
berbagai jenis buku yang bisa dan tidak bisa
saya pahami secara keseluruhan untuk akhirnya
berkesimpulan bahwa ilmu sosial ternyata jauh
lebih menarik dari yang saya duga sebelumnya.

Lalu random betul, saya merasa saya ingin


belajar lebih jauh tentang ilmu-ilmu lainnya
disela waktu kuliah, dan akhirnya memutuskan
untuk mengambil langkah ekstrim saya untuk
kesekian kali dalam hidup: mendalami filsafat
dari classic hingga postmo yang notabenenya saya
geologi. Waktu itu sebetulnya anggan-anggan saya
hanya ingin belajar, tetapi jika dipikir lebih
jauh, alasan semacam itu terlalu naif dan egois.
Meski demikian, pengalaman belajar di lingkungan
yang sama sekali baru itu ternyata jauh lebih
menarik dari yang saya duga. Saya menghabiskan
satu tahun untuk menyelesaikan materi bersama
HMI dikampus UIK, bisa dikatakan ketika itu saya
tersadar ada langkah yang salah yang saya ambil
ketika memutuskan untuk mendalami filsafat lagi.
Saya lantas ‘melarikan diri’ ke kegiatan lain
selama satu semester, akhir cerita hanya untuk
mendapat teman-teman. Kemudian saya sudah merasa
cukup mapan untuk melakukan tugas akhir dan
sudah siap-siap untuk melakukan riset penelitian
dan penulisan. Di masa itu juga saya merasa
tertinggal dan tersadar sekali lagi, bahwa hal-
hal semacam itu adalah tanggung jawab
personal. Well, saya justru mengambil lebih
banyak mata kuliah dan memenuhi sks saya sampai
melebihi batas, lalu meyakinkan diri bahwa sudah
saatnya untuk mengambil langkah kongkret dalam
menulis tugas akhir.

Ditahun 2020 singkat cerita, saya mendapat


tawaran untuk mengisi slot penelitian tugas
akhir dari salah seorang dosen, salah satu yang
paling saya hormati di kampus ibu Teti
Syahrulyati, selama kurang dari 2 bulan saya
harus mengejar target ketertinggalan kuliah
saya, dan tidak luput dibimbingi oleh beliau
yang sama-sama sedang mengambil pendidikan
doktor nya.

Ini klise sekali, tetapi saya pernah putus asa


betul karena merasa tidak akan memiliki waktu
untuk menyelesaikan tugas akhir karena moodian
dalam mengerjakannya. Saya meninggalkan prahara
penulisan tugas akhir selama 6 bulan ya karena
covid juga waktu itu dan membiarkan biaya kuliah
yang telah saya bayarkan menguap begitu saja.
Tidak memiliki waktu untuk bimbingan, karena
pembimbing saja juga membimbing beberapa anak
lain yang kondisinya sama seperti saya. Sampai
akhirnya saya pun berhasil ujian kolokium di
bulan Januari, tanpa woro-woro ke siapapun
bahkan ke keluarga. Saya lebih tidak suka
dikasihani karena belum lulus tapi lebih-lebih
saya tidak ingin jumawa atas hal-hal yang belum
pasti, karenanya hal-hal seputar ujian saya
rahasiakan. Dengan perasaan luar biasa lega
karena kuliah saya akhirnya hampir bisa saya
selesaikan. Tulisan ini lebih sebagai pengingat
ke diri sendiri juga, betapa hampir 7 tahun
kuliah di dunia yang sama sekali berbeda
akhirnya bisa saya selesaikan dan tidak berakhir
menjadi kesia-siaan. Saya memang procrastinator,
tetapi hampir sangat percaya diri bahwa apa-apa
bisa saya selesaikan sebelum limit masa
tenggangnya dan semoga saja saya bisa selalu
begitu. Juga soal betapa penuh keberuntungannya
saya dalam menjalani hari-hari, dan karenanya
selalu berterima kasih kepada orang-orang yang
pernah mengiringi langkah saya di masa-masa
sulit, dan berkenan menjadi teman berdiskusi
atau bertukar pikiran.

Setelah lulus kemudian, teman-teman kuliah saya


sudah memiliki dunianya masing-masing. Whatever
they are doing, Ima proud friend and will always
support them. Nggak peduli meski kami kadang
berbeda prinsip, tapi bahkan di kuliah saya
memahami bahwa perbedaan prinsip bisa saling
menguatkan jika dibawa ke arah yang benar.
Semoga hal-hal baik yang saya pelajari selama 6
tahun lebih, secara keilmuan maupun interaksi
sosial tidak menguap begitu saja.

Bagikan ini:

! Press-kan Ini " Twitter # Facebook


$ WhatsApp % Lagi
Sesuaikan tombol

Suka
Jadilah yang pertama menyukai ini.

Dikirimkan di #diary, Jurna Science, Tugas Akhir


Dengan kaitkata #tugasakhir

Tinggalkan komentar
Sunting

Ilusi dan obsesi


Diposkan pada 9 Agustus 2021

-yusuf maulana yuliansyah-

kita menumpuk semua yang kita miliki dalam ilusi


waktu dan menempa diri kita dalam imersi
kemajuan sementara tidak dapat membedakan sebab
dan akibat.

obsesi kita dari awal menipu kita dengan


kekuatan mengubah sesuatu, semuanya tidak bisa
dihindari karena semuanya adalah konsekuensinya,
tidak ada yang namanya penyebab.

Bagikan ini:

! Press-kan Ini " Twitter # Facebook


$ WhatsApp % Lagi
Sesuaikan tombol

Suka
Jadilah yang pertama menyukai ini.

Dikirimkan di #poetry, Self Opinion


Dengan kaitkata #diary ilusi Larik obsesi

Tinggalkan komentar
Sunting

Bersenandung
Diposkan pada 7 Agustus 2021

-yusuf maulana yuliansyah-

Sepi, terasa menyeramkan dan menyenangkan tiap


detik-menit-jam berteman dengannya, tidak mudah
memahami apa yang akan terjadi kedepannya memang
tidak harus di prediksi bukan?

Malampun begadang sambil bermain game Mobile


Legend, kadang tidak bermain juga dan
menghabiskan waktu dengan bengong, bersenandung
dan berselancar di dunia maya.

Oh iya keluar juga tidak tau harus ngapain lebih


baik memilh berdiam ditempat kalo lapar tidak
berani keluar, alternatifnya mengunakan
grabfood, skip saja lanjutannya hehe.

Beberapa kebelakang pilihan untuk menutup


interaksi dengan teman-teman karena merasa
terganggu ko bisa terganggu? Kesimpulan
sementara sedang bermasalah dengan diri sendiri
dan bermasalah pula dengan yang diluar diri
begitu saja.

Setelah menutup diri dari teman-teman dan


pangilan-panggilan lainnya hal yang perlu
dilakukan adalah introspeksi dan membuat
resolusi kedepan dan akan seperti apa
kelanjutannya, akhirnya disatu kesempatan
tulisanpun rampung satu persatu, menuliskan hal-
hal yang sungguh membuat ironi seperti ini :
“tidak pergi kemana-mana, lupa dalam
keseharian”, tentu harus bertaubat dan berubah,
ada niatan untuk melakukan hal tersebut
sebaiknya saya simpan dulu bersama kucing
Schrodinger.

Oke baik persoalan sekarang saya ingin


menuliskan tentang keprestasian dan kekaryaan
fyuh. Tidak ada yang perlu dibanggakan dengan
prestasi dan tidak juga pula untuk direndahkan,
u know what I mean just think if. Seseorang
bertanya “prestasi mu apa”? di level tertentu
bila ada orang yang sudah diakui dan dikenali
oleh masyarakat banyak tentu kebanggaan terasa,
tetapi bagaimana dengan tidak dilevel demikian
tentu pertanyaan tersebut membuat jengkel bagi
orang yang masih ada dalam batasan-batasan, di
era kompetisi ini tentu prestasi dengan karya
yang paling dekat-dekat bagi mahasiswa adalah
skripsi, bagi yang bukan mahasiswa, prestasinya
apa, karyanya apa, ya mungkin bekerja, belum
cukup dengan itu? tambahan nya bersedakah,
berbagi sesama dan masih banyak lagi bila
ditambahi dan dibumbui unsur-unsur etis
didalamnya.

Apa sih prestasi itu dan apa karya itu sehingga


menjadi suatu kebanggaan yang terasa di era
kompetisi ini, semua orang berkompetisi mungkin
ada sebagian kecil yang seperti selalu ngeposmo
melihat jalan alternatif lainnya dengan tidak
membeli hal-hal yang diperjuangkan oleh
kebanyakan orang; prestasi, karya, legacy.
(Ngomongin diri sendiri). Its make sense tidak
ingin berada disana cukup para pendahulu saja.
Saya senang bila seseorang mengganggap begitu,
biasa-biasa saja dan prestasi yang terbaik
melampaui batasan. Batasan saya dulu masih
terbatas dengan orang yang akan memperhatikan
seperti rival, saingan, dan sahabat sehingga
bila tidak dapat dari salah satunya kebutuhanpun
belum terpenuhi. Well untuk sekarang apa? Yah
mari ngobrol didunia nyata.

Kesederhanaan adalah entitas paling mewah karena


dengan itu, saya bisa terus fokus menulis hoho,
saya pun terbebas dari; tidak ada cicilan mobil,
rumah dan barang harga lainnya kebahagiaan ala-
ala stoa haha. Kalo ditanya emangnya lu ga mau
kaya, hidup lo gitu-gitu aja? “Oh mungkin harus
jadi gini-gini ya haha” well saya tidak
menginginkannya melainkah melihat kebutuhan-
kebutuhan diri kalo sudah naik level keluarga
yang harus terpenuhi. So simple as yet.

Baiklah saya tidak ingin meneruskan tulisan –


tulisan yang berbau-bau curhat seperti ini tapi
untuk kali ini saya menuliskannya haha
terimakasih yang mengganggap saya sebagai bukan
apa-apa, siapa-siapa dan bukan hal lainnya. Saya
menghargai anda sebagaimana saya menghargai diri
sendiri.

Bagikan ini:

! Press-kan Ini " Twitter # Facebook


$ WhatsApp % Lagi
Sesuaikan tombol

Suka
Satu bloger menyukai.

Dikirimkan di #diary, beginning


Dengan kaitkata #diary beginning

Tinggalkan komentar
Sunting

Pain
Diposkan pada 5 Agustus 2021

-yusuf maulana yuliansyah-

In other words: pain is not an end, it’s a


means. A resource, if you might.

Of all pains, the most politically supported one


to claim throne is that of a broken hearted
person. Because what could’ve been more wounding
than an unrequited love? To find out that the
man/woman you dearly care about does not
reciprocate, must’ve bashed your heart to the
ground; or at least numbed it off for a little
while.

I would’ve thought so, too—had I not been


introduced to another breed of pain: that of not
being able to love back, no matter how hard
you’ve tried. You might think that being loved
is simple: it’s a blessing from the universe, to
have another living soul beaming affection onto
your worthless self. But ‘being loved’ also
endorses the power—or, as I’d like to call it,
‘the burden’—to hurt, to cause pain onto
somebody else. And not just ‘somebody else’—it’s
the very person who would trade the world to
make you happy.

Love is beautiful when there is give and take—


life is created upon cyclical patterns after
all. Our lungs breath in and out, humans return
to earth as soon as they die, while capitalism
prevails because market lets you buy and sell at
the same time. Mutualism sustains, but
imbalanced bond destroys.

Being the party who only receives does not only


make you an involuntary villain, but also a
depressed black hole, incapable of providing
back. And the thing about black holes, they
grow. The more you feed them, the bigger they
get, and sooner or later, they will end up
eating themselves.

The most deranged part of this scheme: you have


absolutely no control upon it. It’s like
standing just one step behind the line to
‘perpetual happiness’ zone, and yet you could
not move your foot any inch closer.

What a pain, don’t you think, to be deeply loved


by someone you can’t love back.

Bagikan ini:

! Press-kan Ini " Twitter # Facebook


$ WhatsApp % Lagi
Sesuaikan tombol

Suka
3 blogger menyukai ini.

Dikirimkan di beginning, Self Opinion


Dengan kaitkata Love Pain

1 Komentar
Sunting

My feeling crush !
Diposkan pada 3 Agustus 2021

-yusuf maulana yuliansyah-

Feelings are like words: just because you don’t


know about them does not mean they do not exist—
sometimes even in your own language. I’d like to
think that writing love letters is like looking
them up in dictionaries, exploring the
undiscovered pages, and realize that you might
have been wrong about how you (think you) feel
all this time.

Yellow Submarine

Bagikan ini:

! Press-kan Ini " Twitter # Facebook


$ WhatsApp % Lagi
Sesuaikan tombol

Disukai
Anda menyukai ini.

Dikirimkan di #diary
Dengan kaitkata #crush #diary

Tinggalkan komentar
Sunting

Landak philosophy
Diposkan pada 2 Agustus 2021

-yusuf maulana yuliansyah-

Imagine yourself as a hedgehog, irresistibly


cute yet so ‘edgy’ that anyone would have to
think twice before getting too close because
they don’t want to get hurt. You might survive
without problems during the Spring, Summer, or
even Fall, but when the breeze of Winter comes,
you might need to consider having friends to
warm up together.

The hedgehog dilemma was first coined by a


German philosopher named Arthur Schopenhauer to
portray mankind’s constraint in social
relationships. In his metaphor, a group of
hedgehogs are assembling to feel warmer in the
Winter. However, given their thorns as
‘borders’, they should keep a certain distance
so that nobody would hurt one another.

His main argument was that human’s need of


social relationships will always clash with our
basic characteristics to hurt one another. This
analogy later became popular in psychology after
quoted by Sigmund Freud himself. The result of
these two contradicting natures is a dilemma all
and every man should face. In most cases,
mankind ‘deal’ with the dilemma through creating
‘safe space’ where they can interact with other
men without getting hurt. ‘Politeness’ as well
as ‘good manners’ are two essential tools to
stay secure. There are, however, people who ‘has
enough warmth in themselves’ and opt to create
huger space–by completely restraining themselves
from social lives. A trauma might be one good
reason to commence such behavior.

The villains in most superhero stories offer us


alternatives: ‘to abandon free will’, ‘to be
independent’, ‘to focus on individuality’, as
well as other indicators that separate one human
from their ‘social-ness’. The conflicts of
loneliness would then vanish beacause ‘all are
one’, and ‘one is all’. This is almost similar
to the action of peeling these hedgehogs’
thorns.

Apakah perbedaan selalu menjadi duri yang


menyakiti sehingga harus ada jarak atau durinya
harus dicabut? Bukankah landak sebenarnya bisa
melipat duri mereka sehingga bisa berkumpul
sedekat mungkin tanpa saling menusuk?

(Do differences always hurt like thorns so that


there should either be a space or peeled? Can’t
the hedgehogs bend their thorns so that they can
assemble as close as possible without being
afraid of pricking one another?)

How can we, human, hold one little hedgehog in


our hand and don’t bleed? Does that mean we got
tougher skin? Can’t the hedgehogs use some ways
to make them immune towards their own ‘edgy’
thorns?

I consider myself as one pessimistic hedgehog


who prefers to not let myself wounded by
creating ‘enough space’ from others, but not too
wide indeed. I still consider myself friendly as
I always try to be as cordial as possible. There
are, however, people who are more ‘socially
optimistic’ and ready to make new friends and
have bonds with new people.

What do you say?

Bagikan ini:

! Press-kan Ini " Twitter # Facebook


$ WhatsApp % Lagi
Sesuaikan tombol

Disukai
Anda menyukai ini.

Dikirimkan di beginning, Science, Self Opinion


Dengan kaitkata arthurscopanhauer hedgehogs

Landak

Tinggalkan komentar
Sunting

System Prisoner
Diposkan pada 29 Juli 2021

-yusuf maulana yuliansyah-

Those who become heroes are those who are


outside the system.

Somehow, I need to pour out some things that


have been worrying me lately.

Not much, but quite annoying. Again, revealing a


phenomenon that will adorn the universe of every
romantic identity: resistance.

Resistance has now become an identity and


resistance as one of its passive forms has
become a word that is so hegemonic, perhaps
since Widji Tukul’s adage has penetrated, there
is only one word: FIGHT!

After resistance forms awareness and identity,


then it will move towards social life to form a
resistant community group.

Instead of criticizing and acting actively in


making changes, they choose to isolate
themselves from the system and do what they want
in “no man’s land”. The status quo space where
positive law cannot touch them, norms are not
strong enough to control them, and adat is only
something that is taken for granted’. Passive
resistance is symbolized in the form of apathy,
pessimism, and an attitude of hating the system.

And they unconsciously, succeed in becoming a


product of alienation while cursing their own
otherness. Unfortunately, they do not escape
from two things that subconsciously hegemony
them: rationality and capitalism.

In the book ‘Radical is selling‘ written by


Joseph Healt and Andrew Potter, it is explained
how the resistance movement was then co-opted by
capitalists and then arbitrarily commodified.
Soe Hok Gie also once told how the Hippies
movement and its culture became a tourist
attraction in America when he visited there.
This hegemony is so entrenched that even those
who are immersed in the romance of alienation
may not realize that they are under the co-
optation.

I can’t conclude arbitrarily, but as long as


alienation is made into a utopia without
anything to account for, then it is forever just
outside. Floating like a piece of cork in the
ocean going with the current. Movement is just
movement without value.

In addition, as long as the movement only exists


on the outside, it will continue to be co-opted
and exploited symbolically. Pater Baskara, SJ
said in his book ‘liberating spirituality’ that
basically the dichotomy or separation between
the system and resistance is like the separation
between spirituality and separation. Quoting
Robert McAfee Brown, such thinking is called the
great fallacy. There should be a unification
between spirituality and the praxis of
liberation so that the exploitation and
repression of the system is truly liberated. As
is also done in the system domain with
resistance. Those who stand outside, those who
choose to isolate themselves out of fear of
hypocrisy will be adopted as mere symbols after
they are gone. Tan Malaka, Soe Hok Gie, Kurt
Cobain, resistance figures who for me are now
nothing more than symbols on t-shirts as a
symbol of self-scarcity. Remember, ‘scarcity
makes identify’.

Once means, already it’s dead

Chairil Anwar-Diponegoro, February 1943.

Bagikan ini:

! Press-kan Ini " Twitter # Facebook


$ WhatsApp % Lagi
Sesuaikan tombol

Suka
Satu bloger menyukai.

Dikirimkan di Self Opinion


Dengan kaitkata Systemprisoner

Tinggalkan komentar
Sunting

The solitude (on philosophy)


Diposkan pada 28 Juli 2021

-yusuf maulana yuliansyah-

Nobody enjoys being left alone…or so the society


thinks.

Individuals who hide behind the walls of


isolation are just a bunch of cowards who don’t
possess enough bravery to face the imperfection
of human beings that has disturbed them to an
intolerable level…or so the society thinks.

I believe otherwise: it is our nature to live


all by ourselves.

Yes, Aristotle‘s concept of zoon politicon puts


people as social animals, political animals, who
would not survive without the help of others.
I’m not sure if I understand the argument behind
his notion, but his empirical observation might
be surprisingly wronged.

We were born from a mother, that is a factual


truth. However, being part of a family is not
even a choice we make. Some of us are, indeed,
lucky enough to receive love from our given
parents (whom we don’t pick from a market’s
display window, by the way), but some others are
less fortunate in a way that they have to build
their own kit-to-survive-childhood institution
named orphanage. Some others fail to even
understand why they were born when they’re
unwanted. Okay that went a little bit off the
main line. My point is, there is no
unfalsifiable justification to a subjective view
that we are all born social. Although, you can
always argue the other way around.

My main, semi-physical evidence to prove the


case to you, ladies and gentlemen, is the
existence of our thoughts–subsonscious,
undermind, or other alternative nouns that
English is kind enough to provide us with.

No one, I repeat, no one can ever understand


another person’s idea completely.

Not even Plato towards Socrates. Our brain,


sometimes stimulated by rationality or faith,
produces insights that are solid enough to
require extra efforts for one to break in.
Everyone has the right to compose a thorough
explanation in order to assist a second party to
enter your room of thoughts, but there will
always be a shadowy section of which they would
not comprehend completely. The same framework
can also be utilized to shed some light upon
analyzing our dreams–one of our most personal
belongings.

So I contend, as long as human still owns the


attribute of private properties–a wholly
different realm whose entrance is not accessible
by another person even when the owner wishes so,
we are pretty much secluded creatures.

Another bad news, even love might have been


designed to put us into a state of extreme
alienation. Peek into Jeffrey Eugenides, in The
Marriage Plot:

Madeleine fully understood how the lover’s


discourse is of an extreme solitude. The
solitude was extreme because it wasn’t physical.
It was extreme because you felt it in the
company of the person you loved. It was extreme
because it was in your head, the most solitary
of all places.

In the end, I don’t necessarily expect you to


understand such a saturated theory, because I
know you wouldn’t. I comprehend that we were all
born as unique individuals, not as groups of
people, with our incomprehensible minds as a
valid distinction.

You should not, however, misperceive me as a


skeptic to social or even romantic interaction
between human beings. I always admire, as a
matter of fact, how people are able to create
some kind of connection with others–whom of
which was once a complete stranger to their own
being.

Most blessed of all are people who believe in,


and find, their true love–despite the
solitudeness they were naturally born with.

Bagikan ini:

! Press-kan Ini " Twitter # Facebook


$ WhatsApp % Lagi
Sesuaikan tombol

Suka
Jadilah yang pertama menyukai ini.

Dikirimkan di beginning, Self Opinion


Dengan kaitkata #philosophie #solitude

Tinggalkan komentar
Sunting

A good readers make good


writers
Diposkan pada 26 Juli 2021

-yusuf maulana yuliansyah-

There’s only a few things I hate in the world,


not too many that I could name them one-by-one:
dog-eared books, reckless taxi drivers, and
arriving late to a meeting, among others. On top
of this, however, is my perpetual loathing
towards ‘How to Be a Good Writer’ workshops.

I MEAN, SERIOUSLY.

[Disclaimer: I take writing (and reading, as


well as other literary-related
activities) personally. So personal that I
easily get offended when the notion of profit or
profanity in general make its way into my
romanticized world of literatures. And I could
be offensive in return.]

First of all: no great writers had been born


from a two-hour seminar.

It takes years of writing shapelessly, then a


period of finding your own writing character
(length may vary), then every-now-and-then-
looking-back-with-embarrassment at your old
writings, then finally settling down with your
own identity—first without confidence, and later
with (if you’re lucky enough to be surrounded by
an audience of your kind).

Bottomline: it’s a pretty long process, and I’m


quite sure it involves a lot of practice,
confusion, temporary assurance, second
confusion, and so on.

Second of all: good readers make good writers.


Surprise, surprise, but it’s sort of the law.

Don’t get me wrong: I’m not saying that one is


supposed to read more shall he/she want to write
better. Yes, doing that can help you store
richer perspectives in your mind palace and
wider vocabularies in your word bank, but they
would not necessarily sharpen your ability to
argue or creativity to develop a moving story.

I’m saying that a writer’s opus always reflects


the collection of the books that captivate
her/him the most throughout his/her course of
literary exploration. In my case, there are five
major writers (and therein elements) whose
writings have been an influence to the voice of
my own:

Ayu Utami

Ayu Utami

There was a period back when I was under the


dilemma of fiction/non-fiction dichotomy—never
been quite assured that I belonged in either of
the two. As much as I enjoyed developing story
lines, I still thought that a writer could only
do his/her writing a justice had he/she used it
to make a bigger, factual point. One book that
later made a huge impact on me by answering this
was Ayu Utami’s. An in-depth, research-based
criticism toward militarism, monotheism, and
modernism, Bilangan Fu is also an eloquent novel
about three young lovers.

On one occasion, she told me (and a room of


starstruck audience) that it is the duty of a
writer, or artists in general, to make truth a
little more bearable. She’s the queen of both
worlds I look up on.

Alain the Botton

Alain the Botton

The second writer who gives a huge impact on me


is, apparently, a British bloke. I love Alain de
Botton not only for his wide range of topics
(read through this blog and you’ll see that I
never really succeed in trying to stick to one
theme) and his generalist point of view (an
inseparable consequence of the first notion),
but also his intellectually astute, eloquent way
of elaborating a profound observation. In Essays
In Love, de Botton uses diagrams to point out
how we often feel like a different ‘amoeba’
around people we love. He writes above dull
rhetorics and cheap philosophy, resulting in
pure, golden thoughts. He shows me the magnitude
of brilliance you can create with just words.

Pramoedya Ananta Toer

Pramoedya Ananta Toer

Pram is a one-in-every-century writer whom you


shall not compare with other writers. It is
already a literary sin to put him on a list like
this, but some sins are worth it, and I just
have the urge to bring this up: that the
greatest writers are great because they capture
not just stories, but an entire civilization.
His Child of All Nations effortlessly helped me
understand the initial confusion of our identity
as a nation, and later growing consciousness of
being ‘Indonesian’ throughout the colonization
area.

This, fellow aspiring writers, is just not


something that you can acquire. This takes real
experience and personal contemplation, something
that our generation had no privileges upon. I
learned a great deal from you, old man.

Joanne Kathleen Rowling

Joanne Kathleen Rowling

Spending 10 years of my childhood coursing


through Rowling’s story of Harry Potter and the
wizarding world, it would simply be a lie (a
lame one) not to say that her writings inspired
me big time. For one thing, her seven books set
the standard of how well-developed characters
could make a very significant difference to your
story. If there’s any writer who treats the
characters in their novel like treating actual
children, it’s her. She wouldn’t stop at only
giving a very well-thought name, she would go as
far as making a separate chapter of background
story for them. If we’re now familiar with the
humane side of villains, remember that it was
her who first made us fall in love with Snape.

I mean, come on. It’s been years since she


finished the series and she still thinks that
maybe Hermione would’ve be happier had she been
with Harry.

Jhon Green

Jhon Green

it is his unique way of grammar-mixing ability


to cook new form of words and sentences that
give you enjoyable pops in your head. If you
notice my liking of writing whispers inside
brackets “(…)” or Capitalization of Words that
Are Not Somebody’s Name or neverending-dash-to-
make-a-sentence-a-word, the credits go to him.

John hosts literature crash courses on YouTube,


all the more proof that, beyond his preference
of writing overly-young adult stories (I really
enjoyed Looking for Alaska, btw), he loves
English.

The list goes on ..

I know I should stop, and I will, in fact, stop,


but I have to say that my quick overview
suggests that there are four kinds of awesome
fiction writers:

1. ones with strong characters (where authors


spend enough time to help us understand them,
such as J.K. Rowling and Harper Lee);

2. ones capturing the status quo of a


civilization very well (the writer was lucky
enough to be born in a historic scene, including
Pramoedya Ananta Toer);

3. ones supported by really good, extensive


research (Dan Brown and most of the other
science-fiction writers, besides Ayu Utami);

4. ones depicting what’s might happen in a


utopia future (I worship George Orwell and
Aldous Huxley’s works for their imagination wild
enough to soar in possibilities but also
grounded enough to make us think that it might
actually happen)

Do you have a different idea on what makes a


book great, or want to share which authors make
the hugest impact on you? Feel free to write it
down in the ‘Comments’ section.

“Well this post so special because this my


birthday”

P.S. in case you haven’t, also read:


https://coverfieldland.wordpress.com/unpluged/#.

Bagikan ini:

! Press-kan Ini " Twitter # Facebook


$ WhatsApp % Lagi
Sesuaikan tombol

Disukai
Anda dan seorang blogger lainnya menyukai ini.

Dikirimkan di beginning, Self Opinion


Dengan kaitkata #selfopinion

1 Komentar
Sunting

Hbd for me
Diposkan pada 25 Juli 2021

-yusuf maulana yuliansyah-

Selamat bertambah usia untuk diri saya yang


entah tak pergi kemana-mana tak lepas dari waktu
yang terus bergerak seakan semuanya tak ada yang
berarti dan sesuatupun mengalir lekas-lekas
pergi dari kehidupan.

Kalian yang mengenal saya sungguhkah kalian


tidak perduli. Tahun ini banyak kekecewaan,
dosen, teman, semuanya memandang saya adalah
keberadaan tak dianggap saya seberusaha
melakukan yang terbaik untuk mereka skripsi yang
saya kerjakan dari 0 dan effort kepada teman
saya seoptimal mungkin baiklah kalian semuanya
juga sampah yang saya tak anggap terimakasih
sudah menjadi ujian yang saya akan ingat.

Well sayapun demikian. Untuk keluarga saya di


rumah sehat-sehat terus di sela bertambah nya
usia saya semakin tidak berguna tapi tunggu
semoga keajaiban kan segera datang kalian yang
selalu memberikan semangat tiada henti.

Sekali lagi selamat ulang tahun buat saya nanti


beli kue besok !

Bagikan ini:

! Press-kan Ini " Twitter # Facebook


$ WhatsApp % Lagi
Sesuaikan tombol

Suka
Jadilah yang pertama menyukai ini.
Dikirimkan di #diary
Dengan kaitkata #chaos

Tinggalkan komentar
Sunting

Determinisme acak
Diposkan pada 24 Juli 2021

-yusuf maulana yuliansyah-

Nyampah dulu aja yak.

Berawal dari adu ideologis kembali antara saya


dengan ayah saya soal bagaimana saya bisa
menempatkan diri dalam narasi besar pragmatis
dunia ini. Adu ideologi ini jelas bukan bukan
merupakan interaksi patrialis antara ayah dan
anak, melainkan sudah terseret menjadi dialog
antar generasi dari dua alma mater yang berbeda.
Dialog antara pragmatisme generasi tua yang
kenyang asam garam dengan segenap argumentasi
empiriknya melawan idealisme muda dengan
optimisme diri terhadap masa depan. Secara
eksplisit tentu saja ini adalah pukulan telak
secara epistemologis bagi gelora idealisme yang
coba saya perjuangkan. Biarpun pada ujungnya,
kapital lah yang menunjukan superioritasnya
(emang siapa yang bayarin kuliah? siapa yang
ngasih duit saku? siapa yang nyediain uang buat
beli buku2?) ehehehe.

Ini mengganggu dan saya limbung. Menjelang


setelah studi saya, saya dihadapkan pada
pilihan-pilihan yang sangat matrealistik.
Menjadi sulit karena tak ada jaminan utopis
mengenai apa yang akan saya hadapi di masa
mendatang. Tak ada seorang pun yang bisa
mencegah saya mengambil pilihan menjadi apa pun,
orang tua saya pun menegaskan demikian. Namun
mengikuti trajektori pemikiran-pemikiran liberal
seperti Sartre misalnya, manusia justru akan
menghadapi ketakutan terbesarnya dihadapan sang
kebebasan.

Saya dibesarkan di kawasan abu-abu dan di area


tempat identitas tak lebih dari wahana oportunis
untuk menyesuaikan diri. Ketika dihadapkan pada
kenyataan idealistik dan narasi besar yang
tengah terjadi ya, saya limbung. Ibarat berdiri
di pinggir sungai berarus deras dan tinggal
menunggu waktu untuk menceburkan diri ke
dalamnya.

Lebih menegangkan, adu argumen tersebut


berlangsung ketika saya sedang kondisi yang
sangat terdesak dalam urusan mencari pekerjaan.

hehe, meskipun saya cukup percaya diri bahwa


semua ini toh pada akhirnya berlalu karena
pengalaman-pengalaman sebelumnya, sensasi
menegangkan ini cukup dahsyat, bahkan bisa saya
katakan tekanan sebesar ini baru terjadi saat
ini.

Sebab menulis adalah berdialog dengan diri


sendiri, maka bagian ini merupakan upaya saya
menenangkan diri saya sendiri.

Segalanya akan berlalu, apapun yang terjadi


adalah semata determinisme acak dari rangkaian
peristiwa yang terjadi sebelumnya. Karena
deterministik, bisa dibayangkan secara kuat apa
yang akan terjadi, karena acak, kemungkinan
tersebut bisa saja diganti kemungkinan yang
lain. Percuma tahu hukum-hukum statistik lengkap
dengan teori chaos dan fraktal kalo buat urusan
kayak gini aja saya masih khawatir. Kalau
menggantungkan nyawa di tali setebal ibu jari
saja berani, mengapa tidak berani menggantung
ekspektasi di horison waktu dan ruang yang tak
terbatas dan di simulakra yang berisi
kemungkinan tak berhingga. Mari kembali ke
kalimat sederhana ini, ‘lakukan yang bisa
dilakukan saat ini, disini.’

Yok, berangkat!

Bagikan ini:

! Press-kan Ini " Twitter # Facebook


$ WhatsApp % Lagi
Sesuaikan tombol

Suka
Satu bloger menyukai.

Dikirimkan di #diary, beginning


Dengan kaitkata #coverfieldland #diary

Tinggalkan komentar
Sunting

Pemiskinan (project)
Diposkan pada 18 Juli 2021

-yusuf maulana yuliansyah-

Ketika manusia menciptakan mesin dan merevolusi


segala bentuk produksi dalam bingkai
industrialisasi di abad 17, dunia mengalami
perubahan diri yang sangat radikal. Periode
tersebut kemudian menggeser paradigma-paradigma,
pola pikir, hingga meredefinisikan hakikat dan
cara pikir manusia. Industrialisasi diboncengi
oleh saudara sedarahnya : teknologi yang
kemudian membawa revolusi besar-besaran. Tak
heran, Lenin berpendapat bahwa untuk merevolusi
Soviyet, industrialisasi merupakan jalan
utamanya. Hasilnya tidak buruk, Soviyet
menempati negara industri terbesar kedua di
dunia pada masanya.

Revolusi industri juga kemudian membawa


materialisme menemukan jati diri barunya.
Merkantilisme kemudian juga beroperasi plastik
dan merubah namanya menjadi komersialisme dengan
ditemukannya sistem tukar baru menggunakan uang.
Uang menjadi salah satu bentuk aset dan alat
ukur kepemilikan. Semakin banyak uangnya,
semakin banyak yang dimiliki dan yang dapat
dimiliki. Dalam perspektif ekonomi, standard
kepemilikan tersebut kemudian berselingkuh
dengan sistem kapitalistik melahirkan sang anak
haram : kemiskinan.

Secara kasat mata, kemiskinan akan selalu


diidentikan dengan indikator ekonomi. Mengapa
demikian? Implikasi kemiskinan akan langsung
terasa pada tataran rumah tangga yang berkutat
di sekitar urusan perut. Bagaimana kita
mendapatkan makan hari ini? Atau apa yang kita
punya untuk kita makan? Urusan makan memakan
adalah urusan yang sangat personal. Bagaimana
tidak? Makan sendiri kenyang sendiri. Seandainya
bisa ditemukan Anda yang makan dan saya yang
kenyang, maka kita bisa menghapus tiga paragraf
diatas dan mari kita bicara soal gosip artis
sepanjang waktu. Namun karena tidak, maka kita
harus selalu bicara soal bagaimana kita bisa
mengisi perut kita lewat apa yang kita punya.

Adam Smith memimpikan bahwa suatu komunitas akan


mencapai kemakmurannya ketika setiap individu
didalamnya bekerja sepenuhnya untuk
kemakmurannya sendiri-sendiri. Ia mungkin
melihat bahwa kemudian dengan semakin
berkembangnya kemampuan manusia, maka tidak
mungkin setiap manusia membuat roti untuk
dirinya masing-masing. Kita mungkin membutuhkan
tukang roti untuk itu. Manusia juga tak mungkin
menanam sayur untuk dirinya masing-masing, maka
diciptakanlah profesi petani untuk itu. Ketika
tukang roti dan petani ini kemudian bekerja
sepenuhnya untuk mengejar kemakmurannya masing-
masing, niscaya komunitas tempat mereka berada
akan mencapai kemakmurannya pula.

Pendapat klasik tersebut menunjukan bahwa


ekonomi berkutat pada urusan rumah tangga yang
spesifik. Namun, ketika akhirnya industrialisasi
melahirkan sistem kapitalistik, terciptalah
motif ekonomi baru : mengejar keuntungan
sebesar-besarnya. Fungsi rumah tangga untuk
pemenuhan kebutuhan semata tidak relevan lagi.
Kini yang menjadi intinya adalah bagaimana saya
dapat memiliki sebanyak-banyaknya.

Sayangnya sumber daya di bumi terbatas. Tapi


manusia tak ambil pusing: kami selalu mau lebih!
Kemudian agar memudahkan, nafsu kepemilikian
bergelojontoh tersebut dieufimiskan dan ditutupi
dengan alasan kebutuhan yang dimanipulasi oleh
para pelaku pasar yang kapitalistik. Hingga
kini, ekonomi klasik yang berbicara soal
pemenuhan kebutuhan dengan sumber daya yang
terbatas berdiri di tepi jurang, siap bunuh diri
digantikan dengan ekonomi kapitalistik yang
berorientasi pada pengejaran keuntungan.

Kapitalistik merupakan ayah kandung dari


kemiskinan. Buat kaum kapital, kemiskinan adalah
data dan teori semata. Bahwa ada orang miskin,
itu adalah kebenaran ontologis. Bahwa kemudian
kemiskinan disebabkan sistem kapitalistik, itu
adalah akibat yang tak terelakan, harga yang
harus dibayar untuk kemakmuran dan penumpukan
sumber daya dunia yang terbatas ini. Kemiskinan
adalah ruang dimana sumber daya tidak dimiliki
karena tertumpuk pada ruang yang lain. Dibatasi
oleh tembok penindasan dan represi fisik oleh
institusi yang lebih besar, negara atau
perusahaan misalnya.

Terlepas dari argumentasi ekonomi, saya lebih


suka mengekstensifikasi spektrum kemiskinan
menjadi aspek sosial, bahwa kemiskinan bukan
hanya soal urusan kepemilikan aset seperti yang
dibingkai oleh ekonomi. Kemiskinan dalam kolam
sosial berubah rupa menjadi 5 wujud, yakni
menurut Leo M. Schrel : kekurangan aset dan
pendidikan; kurangnya kesempatan untuk terlibat
dalam kegiatan produktif untuk keberlangsungan
hidupnya; hak suara dan pemberdayaan yang lemah
terkait proses pengambilan keputusan, sistem
pemerintahan, dan hukum; rentan terhadap
bencana, kesehatan buruk, dan tekanan ekonomi;
kurang kapasitas untuk memunculkan dan
mempertahankan kepentingannya.

Kemiskinan dan Kebebasan

Ketika kemiskinan diseret paksa masuk ke dalam


ruang sosial, maka aspek kemanusiaannya akan
lebih mudah terlihat. Sulit untuk mempertemukan
kemiskinan dengan kemanusiaan dalam bingkai
ekonomi masa kini. Ekonomi masa kini masih
mewarisi sifat-sifat positivis yang karenanya
mungkin membuat urusan romantika kemanusiaan dan
urusan pembebasan ini kurang diminati. Lihatlah
bahwa ekonomi lebih dicintai ketika ia
berkepribadian bisnis ketimbang menjadi dirinya
sendiri sebagai ilmu ekonomi. Ia sebagai pribadi
bisnis kurang tertarik untuk membicarakan
masalah kemiskinan dan bagaimana mengatasinya.
Sehingga manusia kemudian melupakannya, biar ia
menjadi urusan sosial sementara kita
berkompetisi dalam pasar, saling mangsa memangsa
untuk mendapatakan keuntungan yang sebesar-
besarnya. Merasa tertarik, sosial kemudian
memungut kemiskinan dari tempat sampah untuk
diteliti.

Sehingga kini kemiskinan lebih menarik untuk


diikuti dalam bingkai sosial. Ilmu sosial yang
kemudian diberi sedikit nafas romantis oleh
postmodernisme melihat kemiskinan sebagai hal
yang berbeda. Dalam ilmu sosial, kemiskinan juga
masuk ke dalam dimensi esoteris yang sarat
dengan sensasi. Ia diteliti dengan gairah yang
tinggi dan direproduksi dengan kemasan empati
dan simpati bagi khalayak ramai. Dari situ, sisi
kemanusiaan sebagai dimensi esoteris manusia
kemudian terpanggil dan menyambut kemasan
kemiskinan sosial tersebut dengan senang hati.

Kembali ke topik pembebasan. Apabila melihat


dalam kacamata kritis, kemiskinan bukanlah suatu
konsep yang kaku. Ia adalah idea yang aktif,
bukan semacam eksistensi dingin yang ada begitu
saja sebagai akibat dari takdir. Sehingga untuk
argumentasi tersebut dan menambah kadar kritis
dalam tulisan ini, saya lebih memilih
menggunakan terminologi pemiskinan dibanding
kemiskinan. Kemiskinan hadir lebih disebabkan
oleh ulah dan aksi sekelompok manusia yang
merasa memiliki otoritas lebih dalam hal
kepemilikan, itu saja.

Pemiskinan kemudian menjadi jembatan dan akses


utama dalam penghilangan kebebasan melintas. Dan
dari arah berlawanan, kemanusiaan masuk untuk
menghadapi penirbebasan tersebut. Kepemilikan
menjadikan manusia buta. Kepemilikan pula
membuat manusia melupakan manusia lain dan
ujung-ujungnya menirmanusiakan manusia. Pada
titik ini, sisi kemanusiaan menemukan maknanya
dalam urusan kemiskinan. Kaum yang merasa
memiliki otoritas lebih dan memiliki lebih
banyak akan menutup kanal-kanal kebebasan bagi
kaum miskin. Tujuannya jelas, untuk membarikade
suber daya, aset, kapital yang mereka punya agar
tidak menembus batas-batas stratifikasi sosial
lewat cara-cara yang tidak semestinya. Barikade
stratifikasi sosial tersebut perlu dibuat
seimpermeabel mungkin dan dilakukan dengan
teror, penyewaan penjaga atau aparat, lewat
manipulasi regulasi, atau pembangunan fisik
berupa pagar-pagar tinggi di sekitar rumah kaum
borju. Mereka yang berada dalam kondisi
pemiskinanlah yang kemudian diatur dalam jalur-
jalur sempit penuh sesak untuk dapat dikucurkan
sedikit aset dari mereka. Pada titik ini,
stratifikasi sosial tersebut perlu dihancurkan
dengan : Revolusi!! Inilah yang menjadi inti
pemikiran Marxisme.

Selain barikade fisik yang dipasang, kaum borju


juga menggunakan simulasi untuk melanggengkan
dominasi mereka terhadap kaum pemiskinan
tersebut, dapat lewat dominasi (Gramsci),
Reifikasi (Lukasc) atau lewat kesadaran palsu
(Marx). Saya berikan contoh yang cukup menarik
untuk dilihat. Sistem kasta di timur merupakan
contoh paling kasatmata mengenai stratifikasi
sosial. Disana terdapat sumber daya-sumber daya
baik berupa sumber daya fisik maupun sumber daya
non-fisik yang dapat membuat kita kata katakan
ada kaum tak miskin dalam starata sosial
tertentu. Sebagai upaya barikade, diciptakanlah
kesadaran palsu pada masyarakat timur yang
memang memegang teguh nilai tradisional dan
perenial bahwa pemiskinan merupakan takdir.

Paulo Freire mengatakan hal tersebut dalam


Pedagogy of the Oppressed bahwa upaya penindasan
(dalam hal ini pemiskinan) merupakan kehendak
Tuhan dan tidak dapat dihindari. Lebih parah
lagi, pemikiran fatalis semacam ini kemudian
menjadi tumbuh dengan sangat subur di dunia
timur karena kepercayaan mereka terhadap apa
yang digariskan oleh Tuhan. Berangkat dari titik
ini, Marx kemudian bahwa agama adalah candu
masyarakat. Ia merupakan kesadaran palsu yang
ditanamkan untuk melanggengkan dominasi kaum
borju kapitalistik tadi. Agama dimanipulasi
sedemikian rupa sehingga kaum yang dimiskinan
menerima nasibnya secara lebih tenang. Doktrin
fatalistik tersebut merupakan pelecehan terhadap
kemanusiaan karena ia semakin mengukung
kebebasan manusia dalam kerangka teologis yang
justru seharusnya membebaskan.

Dalam hal ini, saya ingin menunjukan point-point


penting dari Leo M. Schrel diatas bahwa
kemiskinan adalah pemiskinan dan ia lebih dari
sekedar kekurangan aset dan pendapatan. Sebagai
humanis yang menekankan aksinya kepada upaya
pembebasan, maka yang dapat dilakukan adalah
membuka kanal-kanal akses terhadap kaum yang
dimiskinkan. Namun untuk melakukan hal tersebut
yang pertama dilakukan untuk melakukan
pembebasan adalah upaya penyadaran terlebih
dahulu. Upaya ini sulit sebab kita berhadapan
dengan manusia yang tertindas oleh doktrin
fatalistik yang mengobral kenyamanan dan
keamanan jangka pendek. Perlu kesadaran bahwa
selain pemiskinan yang akan terus dilestarikan,
kaum borjuis kapitalis akan menghabiskan sumber
daya bumi ini dan membuat masa depan terseret
dalam kehancuran diri. Saat segalanya habis,
maka tidak siapapun mendapatkan apapun.
Pemahaman seperti ini yang perlu ditekankan
bahwa hanya dengan berbagi, masa depan itu tetap
tersedia.

Bagikan ini:

! Press-kan Ini " Twitter # Facebook


$ WhatsApp % Lagi
Sesuaikan tombol

Suka
Jadilah yang pertama menyukai ini.

Dikirimkan di beginning, Self Opinion


Dengan kaitkata #pemiskinan #selfopinion

Tinggalkan komentar
Sunting

Anathema
Diposkan pada 13 Juli 2021

-yusuf maulana yuliansyah-

Pencitraan, eksistensi, apresiasi, kalo


diteruskan bisa menjadi tragedi siklus manusia
masa kini, dan saya sudah berjalan tidak membeli
hal-hal konyol, banal dan semu fyuhhhh, baiklah
secara verbal saya memproklamirkan untuk menjadi
seorang absurdis menuju nihilis, dalam
literature-literatur saya, saya perlu
mengekspansi pemikiran saya atau kalau perlu
menggantinya. Kini biarlah Anda tahu bahwa saya
seorang romantis. Saya seorang timur, timur
adalah ranah penuh makna dan mistis. Ya, saya
harus mengakui pendapat Jung soal arketipe. Ia
ada dalam saya, ia membantu saya melihat
kehidupan dalam bingkai kesadaran.

Arketipe timur buat saya adalah apresiasi


terhadap hal-hal mistis

(selalu, dalam setiap post saya saya menulis,


“saya pikir”, “buat saya”, “bagi saya”, hei!
Saya tidak sedang menulis tugas akhir dan juga
tidak punya wewenang ilmiah untuk menarik opini
menjadi postulat, teori, atau hukum)

Mungkin itu menjelaskan tumbuh suburnya legenda,


cerita rakyat hingga tayangan hantu-hantuan yang
ada di layar kaca. Sementara banyak yang mencela
hal-hal tersebut karena tidak mendidik, saya
punya pandangan lain. Selain karena kenaifan
dalam menjustifikasi secara sepihak perkara
“mendidik”, celaan tersebut adalah seruan anti-
identitas yang kerap saya temui.

Perlu diakui ada rasa menggelitik, ketakutan


yang menyenangkan setiap berurusan dengan hal
tersebut. Maka kita bisa menghabiskan semalam
suntuk bertukar cerita tentang hal-hal mistis
dan gaib yang ada di sekitar kita. Itu, bagi
saya, merupakan bentuk apresiasi dan karenanya
perlu dilestarikan.

Terlebih apabila topic tersebut digabung dengan


isu-isu seksualitas, jadilah formulasi klop
tayangan – tayangan dewasa ini. Menggabungkan
mistisme dengan seksualitas adalah langkah
terbaik mendapat masa. Tak berhenti diproduksi
walau selalu dikritisi.

Rendahkah itu? Adorno mengatakan bahwa budaya


masa adalah budaya yang sanggup diterima oleh
sebagian besar masyarakat maka karenanya identik
dengan banalitas. Menurut kacamata barat, ya,
itu rendah. Menurut saya, itu banal. Banal
karena tidak ada satupun romantisme yang ditemui
didalamnya, hanya id-id yang gegap gempita
dilepas di alam bawah sadar manusia yang
menontonnya.

Banalitas perlu dilestarikan? Ya tentu saja.


Dalam kerangka pragmatis, untuk apa repot-repot
mengurusi makna dalam nafsu.

Menggantung? Selalu, ini juga saya pikir


tantangan bagi saya untuk menyelaraskan antara
tulisan dengan pikiran.

Bagikan ini:

! Press-kan Ini " Twitter # Facebook


$ WhatsApp % Lagi
Sesuaikan tombol

Suka
Jadilah yang pertama menyukai ini.

Dikirimkan di beginning, Self Opinion


Dengan kaitkata #anathema #selfopinion

Tinggalkan komentar
Sunting

Aforisme (Kurt”)
Diposkan pada 9 Juli 2021

-yusuf maulana yuliansyah-

“Aku mulai tidak percaya dengan apa itu


“kepercayaan” pasti manusia berfikir dan meminta
alasannya. Bahkan aku sendiri tidak percaya pada
“alasan” itu.

“Aku bertanya kenapa bisa seperti itu, apa yang


membuat aku tidak percaya. Aku tidak ingin masuk
kedalam subjektivisme dan objektif itu sendiri
karena aku tidak percaya dengan penilaian itu,
bahkan aku tidak percaya dengan “nilai” itu
sendiri. Sebagai contoh dunia ini bulat, kotak,
segitiga atau apapun bentuknya. Berdasarkan
objektivisme dunia ini seperti apa dan
subjektivisme dunia ini seperti apa? Aku tidak
ingin masuk kedalam dua hal itu. Dan aku tidak
percaya terhadap isme, isme. Pengetahuan,
pengalaman, bahkan masa depan “nilai” itu
sendiri aku tidak percaya. Aku tidak yakin
dengan “alasan” itu sendiri bahwasanya aku yang
bertanya dan siapa aku yang harus menjawab hal
itu, aku tau “tuhan” itu ada, dan penciptaannya
itu ada. Dan kenapa harus aku percaya pada hal
itu, karena aku berfikir maka aku ada, atau aku
tidak berfikir. Agar aku percaya, dan tidak
percaya. Apa aku hanya pengikut tuhan. Yang akan
membelanya. Apa aku tidak mengikutinya sehingga
aku tidak percaya. Aku tidak masuk kedalam kedua
hal itu. Itu adalah alasan bahwa kita memegang
suatu kepercayaan. Tuhan, pengetahuan,
pengalaman, masa depan, dan isme isme.

Bahkan dengan kekosongan itu sendiri aku tidak


yakin itu adalah bentuk dari dimana aku harus
memulai dan mengakhirinya. Aku masuk kedalam
jurang apa itu karena pilihan,kehendak, atau itu
takdir. Aku memilih jawaban diluar hal itu
mungkin kalian berfikir. Apa yang membuat aku
masuk kejurang. Alasan dan jawaban misteri apa
yang kau katakan. Aku sendiri tidak percaya
dengan alasan dan jawaban apa yang bisa “aku
masuk kejurang”. Seperti itulah aku memulainya.
Siapa aku dan kenapa aku bisa seperti ini, apa
aku berdosa, apa aku suci. Sungguh aku tidak
punya kepercayaan kesana, dan menilai diriku
seperti itu, aku lebih senang mengatakan kamu
yang mengakatakannya. Diluar hal itu aku tidak
ingin aku mengakhirinya, dengan sebuah solusi
dan kesimpulan karena aku tidak percaya dengan
alasan itu.

“Aku telah masuk kedalam jurang dan aku tidak


rindu dengan tepian. Aku telah berlabuh dan aku
tidak rindu kampung halaman. ” aku harus memulai
didalam jurang ini dengan langkah awal dimana
kegelapan dan sedikit cahaya yang aku bawa yaitu
masih ada harapan. Meskipun aku tidak percaya
dengan harapan itu. Karena aku bisa mati dengan
harapan. Aku tidak berfikir aku berusaha
berjalan dengan langkahku. Siapakah yang
menggerakan kakiku ini hingga aku masih bisa
berjalan dengan langkah kaki kedua. Bahkan
terlintas pikiran itu datang apa yang akan
terjadi pada langkah kakiku yang ketiga atau
seterusnya. Aku berbicara pada kakiku jagalah
aku tetap terus bisa melangkah dalam kegelapan
jurang ini. Tentunya kakiku tidak akan menjawab
hal itu. Dan aku bertanya kenapa aku bisa
melangkah dalam kegelapan ini. Disitulah membuat
aku tidak punya alasan. Keberuntungan, aku tidak
percaya.”

“Dan aku mulai berusaha melangkahkan kembali


kaki ini dikegelapan yang tidak ada harapan
untuk aku ingin kembali karena aku tidak tau
waktu bisa kembali berputar ke masa lalu bila
memang ada teori contoh nya tentang relativitas
albert einstein yang memungkinkan bisa kembali
berputar tapi bagaimana pertanyaan nya,

Setiap manusia akan terbentur dengan pertanyaan


bagaimana kita melakukannya, aku tetap berbicara
pada diriku dengan sadar kalo aku bisa kembali
apa yang akan aku lakukan, ketahuilah aku tidak
punya jawaban hal itu. Aku masuk kejurang ke
dasar kegelapan ini bukan karena aku memilih.
Dan kalian berfikir kita mempunyai pilihan atas
apa yang ingin kita tempuh. Dan aku berfikir
sebaliknya jurang ini memilih diriku bukan
karena aku yang terpilih. Karena aku berfikir
begitu alasannya kenapa. Aku tidak berfikir
dengan alasan karena aku tidak percaya. Kalo aku
berfikir alasannya berarti itu adalah kehendak
aku memilih hal ini, terlepas dari hal itu
kegelapan yang mengajarkan kepadaku bagaimana
manusia ditempa oleh jauh dari kepercayaan, dan
harapan.”

Ps : Kurt Cobain dalam kotak masa depannya.

Kurt In saturday night live

Bagikan ini:

! Press-kan Ini " Twitter # Facebook


$ WhatsApp % Lagi
Sesuaikan tombol

Suka
Jadilah yang pertama menyukai ini.

Dikirimkan di Tak Berkategori


Dengan kaitkata #aforisme #kurtcobain

Tinggalkan komentar
Sunting

ad majorem Dei gloriam


Diposkan pada 3 Juli 2021

-yusuf maulana yuliansyah-

Kita terdiri dari ruang-ruang kosong,”


katamu
Lalu aku mengamini
“Tapi kita pepat dan bergravitasi?”
Aku daulat — kita ilusi

Aku daulat — kita ledakan


Bintang yang masih berpijar
Bintang yang hilang perkasa
Bintang yang runtuh
karena gravitasinya sendiri, meraja

Namun tetes tangismu meleleh di dadaku


Oleh gerimis awan matamu terlingkar
Gemuruh doa berbaris di telinga
yang aku — engkau dekap
Sedari purba gemanya berderap

Engkau daulat — kita hanya manusia, bumi


kecil merengkuh diam
debu di tata surya
tidak dapat menangkap cahaya
bagian semesta yang belum sampai
tapi sudah kita percaya;
bait-bait kita berbunyi ramai

“Kita mungkin cukup kuat untuk menarik bulan


hingga sejengkal di muka,”
katamu
rerumput bersaksi dan massa kita
runtuh di dalam magi

ad majorem Dei gloriam

Bagikan ini:

! Press-kan Ini " Twitter # Facebook


$ WhatsApp % Lagi
Sesuaikan tombol

Suka
Jadilah yang pertama menyukai ini.

Dikirimkan di #poetry
Dengan kaitkata #magi #poetry

Tinggalkan komentar
Sunting

Yah, aku berduka


Diposkan pada 29 Juni 2021

-yusuf maulana yuliansyah-

Tetes gerimis terus menitik di wajahku, tetesnya


terasa menekan, lalu sirna. Udara dingin sepoi
berhembus dari belakang. Jauh di depan bendera
berkibar perlahan. Lampu jalan yang selalu
pendar, banyak, bulat, nan tenang. Lalu sebuah
layang-layang tersangkut di sebuah pohon.
Gemerisik terdengar di kejauhan, dan angin
menggoyang dedaunan dengan sangat pelan. Aku
sendirian. Rasa yang akrab berkembang, lalu
meski sepi dan agak menakutkan, ada tenang yang
terselip dengan pasti; rumahku tak jauh lagi.

Kurasai bagaimana orang-orang berduka di


sekelilingku. Seorang yang putus asa. Seorang
yang patah arang. Seorang yang bimbang. Seorang
yang ragu. Seorang yang terluka. Seorang yang
sengaja mencari luka. Lalu seorang demi seorang
lain bermunculan. Berapa banyak yang ditanggung
sebuah jiwa sebelum akhirnya ia kalah berjuang?

Lalu air mata lain jatuh di ujung lain


percakapan. Di layar yang sama berita gembira
menyebar begitu saja. Bercanda sekali kita
semua. Tidak lelah, tidak juga ingin berbenah.

Tuhan punya cara bercanda yang sangat lucu.


Kadang terlampau cerdas hingga kurasai tak mampu
kutemukan di mana titik kelucuannya. Tapi benar,
dia sungguh lucu.
Maka aku harus juga menangis hari ini, seperti
juga seminggu yang lalu kukatakan, esok akan
begitu berat untuk dihadapi. Entah kenapa, aku
selalu bisa meramalkannya, itu sungguh aneh.
Tapi berkali-kali kupikir, berpikir saja
ternyata tidak cukup. Berkata juga tidak cukup.
Hanya aku begitu ragu, karena tatap mata yang
menuduhku, kalimat yang mencurigaiku, logika
yang memfalsifikasiku. Ah, lagi-lagi harus ada
korban dan tersangka dalam setiap perkara.

Kupikir, sudah tepat jika aku ingin undur diri


secepat mungkin. Mungkin secepat nasib membawaku
ke umur 25, atau secepat mimpiku dihapus oleh
pukul 5.

Bagikan ini:

! Press-kan Ini " Twitter # Facebook


$ WhatsApp % Lagi
Sesuaikan tombol

Suka
Jadilah yang pertama menyukai ini.

Dikirimkan di #diary
Dengan kaitkata #diary

Tinggalkan komentar
Sunting

Prima Causa
Diposkan pada 27 Juni 2021

-yusuf maulana yuliansyah-

Infinite; /ˈɪnfɪnɪt/
adjective : limitless or
endless in space, extent, or
size; impossible to measure or
calculate:

Mari bicara mengenai yang tak terbatas..

Dunia ini, kita merupakan dimensi yang tak


terbatas, infinit..

Infinite diambil dari bahasa latin “in” berarti


tidak dan “finite” dari “finitus” yang berarti
selesai finitus ==> finish

dunia kita, secara tak terbatas terdiri atas dua


aspek, dunia yang kecil (mikrokosmos) dan dunia
yang besar (makrokosmos). Pembagian ini juga
dapat dikatakan sebagai atman dan brahman.
Manifestasi immanen dan transeden, Tak masalah
kecil dan besar, dua-duanya sama, sama-sama tak
terbatas.

Atman merupakan bentuk mikrokosmos atau yang


lebih dapat dikenal sebagai jiwa. Atman dikenal
abadi, tidak dapat dihancurkan dan akan terus
bereproduksi.

Sementara Brahman adalah jiwa dunia, yang tak


terbatas. Brahman adalah realitas (ultimate
reality) yang menjadi inti dari alam semesta. Ia
juga dikenal sebagai makrokosmos. Sementara ia
juga berlaku sebagai “neti-neti” (bukan ini dan
bukan itu) tak dapat dijelaskan namun
termanifestasi dalam bentuk trimurti sesuai
dengan keyakinan hindu.

Atman akan mokhsa dari samsara dan kembali ke


brahman selayaknya setetes air yang kembali ke
samudera

Atman tidak lebih kecil dari brahman, dan


seandainya ada atman dalam tubuh, maka atman
tersebut analog dengan percikan dari brahman itu
sendiri. Dan sebagai atman, kita manusia
harusnya mengerti akan hal tersebut.

Sebagai insan yang mengalami kesadaran, tidak


mungkin kita dapat menangkap atman dan brahman
selama mereka tidak terbatas.

prinsip kerja tubuh adalah selalu membatasi


sesuatu agar dapat diproses sebagai realitas

cahaya hanya tampak pada batasan panjang


gelombang 390-700 nm

bunyi hanya didengar pada batasan 20-2000 hz

betapa indera kita harus membatasi realitas


karena kemampuannya yang terbatas. Itu empirik.
Sementara pikiran kita hanya terbatas pada rasio
semata. Imajinasi? Hanya berbatas pada kesadaran
yang terbatas pada kemampuan empirik.

Brahman tak berbatas, maka ia tak dapat


ditangkap oleh indera, ia adalah sang
transenden. Namun, sang brahman memiliki
percikan atman yang tinggal dalam badan, maka ia
adah sang imanen.

Perhatikan bagaimana konsep ini akan menuntun


kita pada sang pencipta. Dualisme timur akan
selalu bicara tentang keselarasan, berbeda
dengan dualisme barat yang selalu bicara tentang
pertentangan.

maka atman adalah brahman dan brahman adalah


atman

Sebagai brahman, maka kita dan seluruh percikan


brahman adalah satu. Kesatuan yang berbeda
tubuh. Namun, sebagai atman yang brahman maka
kita adalah satu kesatuan yang holistik. Saya,
Anda, Kutu di rambut Anda, Paus biru di samudera
sana, Inti matahari, hingga artis atau koruptor
yang selalu Anda benci.

Matrealistis teori atom Demokritus juga


mengungkap teori yang sama bukan?

Sebagai satu kesatuan, mengapa kita lalu saling


menganggap berbeda. Namaste, salam itu berarti
mengucap dan memberi rasa hormat terhadap atman-
atman yang berada pada tubuh masing-masing. Kita
adalah satu, adalah sama.

Sementara hubungan maya sebagai dunia ini,


merupakan bagian dari brahman, dimana maya dapat
kita distrack apabila kita mencoba kembali pada
brahman. Segala realitas inderawi adalah semu,
dan tak lebih hanya persepsi dari otak ketika
merasio. Hanaya brahman sang realitas yang hanya
dapat dicapai apabila kita mengambil atman kita
dan masuk kedalamnya.

Fisika modern juga mengenal konsep ini sebagai


teori hologram dimana segalanya adalah berada
pada satu dimensi tertentu. Semantara psikologi
mengatakan bahwa dengan memasuki atman berarti
mengambil area alam bawah sadar. Sebagai
kestuan, maka jleas kita dapat menjadi dan
berinteraksi dengan apapun apabila masuk ke
kondisi atman.

Begitulah kita sebagai manusia, kecil namun tak


terbatas.

Lalu untuk mencapai brahman, maka masuklah


menjadi atman. Sadarilah hal-hal tersebut dan
mulailah dengan penghayatan. Melangkahlah dari
simulakra ini dengan mengedepankan cita rasa.
Biar atman dalam diri kita menuntun kita pada
brahman yang tak terbatas.

Sang Infinit. Yang tak mulai dan tak akhir. Alfa


dan Omega

Tuhan.

Bagikan ini:

! Press-kan Ini " Twitter # Facebook


$ WhatsApp % Lagi
Sesuaikan tombol

Suka
Jadilah yang pertama menyukai ini.

Dikirimkan di beginning, Science, Self Opinion


Dengan kaitkata #infinitum #selfopinion

Tinggalkan komentar
Sunting

Untuk mereka yang jauh dari


keluarga (teman-teman)
Diposkan pada 22 Juni 2021

-yusuf maulana yuliansyah-

Saya mendapati dan memaksa diri untuk menerima


ide bahwa kepergian dan kedatangan, pertemuan
dan perpisahan adalah alamiah. Tak terhitung
banyaknya saya mencoba untuk meromantisasi jarak
dan ruang yang terjadi antar, katakan lah, saya
dengan teman-teman saya, sekedar untuk menggeser
nuansa kelabu rindu menjadi pesona yang merona.
Pada dasarnya upaya tersebut hanya berbuah
kegagalan sehingga seringkali saya lebih suka
menerimanya sebagai suatu kejadian alamiah yang
kering dan nirfaedah. Meskipun demikian,
terkadang emosi yang disuguhkan oleh perpisahan
tidak semudah itu dijeruji. Kadang ia menjebol
dinding-dinding kegersangan kognisi yang saya
bangun dan terus saya perkuat dari hari ke hari.
Menelurkan berbagai kebimbangan, kegalauan,
termasuk tulisan yang tengah Anda baca ini.

Tulisan singkat ini hendak saya berikan kepada


mereka-mereka yang tengah berada di luar kota
jauh di sana. Mereka yang kini menyadari bahwa
luasnya dunia ini menipu anggapan mereka
sebelumnya bahwa lingkungan mereka adalah yang
utama. Mereka yang kini sebelum memejamkan mata
bertanya apa yang sebenarnya saya lakukan
disini? Siapakah saya sebenarnya? Benarkah yang
selama ini sudah saya lakukan. Mereka yang
memilin rindu untuk menjadi temali yang suatu
saat nanti mengikat ia yang mereka cinta dalam
pertemuan abadi. Mereka yang tengah
mempertaruhkan kehidupan untuk sampai ke tempat
tujuan. Mereka yang memikirkan rumah dan cinta
yang membanjiri mereka disana. Mereka yang
lidahnya kelu mengecap makanan yang tidak pernah
mereka alami sebelumnya. Mereka yang bersedih
karena perbedaan budaya. Mereka yang memikirkan
pulang setiap detiknya, setiap helaan nafasnya.

Juga kepada mereka yang tengah menunggu


kedatangan seseorang. Mereka yang tengah
berpanjang sabar. Mereka yang tengah setengah
mati mencoba mengerti, mencoba memahami bahwa
ini semua sementara. Mereka yang tengah resah
terus meyakini diri bahwa yang disana tengah
baik-baik saja. mereka yang terjaga di tengah
malam dan bersimbah air mata karena mimpi yang
terasa begitu nyata.

Seluruh rasa kagum saya ada pada mereka itu.


Tidak mudah menyerah kalah pada jarak dan jeda
yang terjadi antar manusia dan menyerahkan
semuanya kepada kebutaan dan ketidakhadiran.
Segalanya akan berlalu, Anda bersama waktu dan
tidak ada yang sanggup menghentikannya. Ia akan
membawa Anda kepada tujuan-tujuan baru yang
tidak Anda duga sebelumnya. Waktu akan terjalin
seiring rindu, mengikat para manusia, menembus
jarak, memotong jeda dan hela. Tunggulah, sehari
akan berganti, sedetik akan terlalui.

Bagikan ini:

! Press-kan Ini " Twitter # Facebook


$ WhatsApp % Lagi
Sesuaikan tombol

Suka
Jadilah yang pertama menyukai ini.

Dikirimkan di beginning, Self Opinion


Dengan kaitkata #perpisahan keluarga

pertemuan

Tinggalkan komentar
Sunting

Matamu (sebuah prosa)


Diposkan pada 19 Juni 2021

-yusuf maulana yuliansyah-

Buta?

Kamu jijik mendengarnya? Merasa kasihan? Merasa


bingung berinteraksi dengannya? Atau merasa
bersyukur karena bukan kamu yang seperti itu?

Ah jangan munafik, aku yakin kamu berpikir


begitu.

Tidak, tidak usah kasihan padaku, tidak usah


berbicara padaku jika memang tidak mau, tidak
usah melihat ke arahku dengan tatapan itu.

Apa? Kamu bilang aku buta, jadi tidak mungkin


tahu wajahmu?

Ah, itu kan menurutmu.

Di dalam sini-di dadaku-ada banyak hal yang kamu


tidak tahu. Kamu kira buta itu mengurangi
kemampuanku untuk berpikir dan merasa?

Sok tau kamu.

Mata itu hanya menipu. Ia hanya membatasi.


Kalian saja yang dengan mudahnya mau ditipu
mata. Padahal pada setiap komponen tubuhmu,
masing-masingnya mempunyai ‘mata’ yang lebih
cemerlang. Mereka yang melihat dengan sudut
pandang dan kepekaan yang berbeda.

Jadi jangan kira aku buta begitu saja. Kalau


kamu mengira demikian, berarti kamu yang buta.

Thomas Anshutz – Woman Reading at a Desk


[c.1910]

http://gandalfsgallery.blogspot.com/?m=1

Bagikan ini:

! Press-kan Ini " Twitter # Facebook


$ WhatsApp % Lagi
Sesuaikan tombol

Suka
Satu bloger menyukai.

Dikirimkan di #poetry, beginning


Dengan kaitkata #coverfieldland #poetry

Fiction

2 Komentar
Sunting

Opto Ergo Sum


Diposkan pada 17 Juni 2021

-yusuf maulana yuliansyah-

Beberapa peristiwa kebelakang membuat saya untuk


membuka kembali keyakinan saya terhadap apa yang
dengan begitu indah dielaborasi oleh Paulo
Coelho dalam novelnya ‘the Alchemist’ sebagai
pertanda. Pertanda merupakan cara alam berbicara
kepada sebab ia bicara dalam bahasa diam.

Meskipun demikian, ilmu pengetahuan tampaknya


sudah begitu jengah dengan nuansa metafisik yang
terus-menerus dipakai untuk mencapai kebenaran.
Sah-sah saja untuk mengambil pendapat demikian.
Namun, gelora spiritualis dan perenialis atau
bahkan postmo telah menunjukan gelagat soal
bagaimana perkara yang non metafisis atau ‘yang
pasti-pasti aja deh’ kini juga tidak dapat
memonopoli klaim terhadap kebenaran.

Well, soal pertanda memang bisa didekati lewat


fenomonologi milik Husserl atau dari cara yang
lebih ramah, menelusur kembali ke hakekat
keberadaan ala heidegger atau sartre. Namun
kemudian, para filsuf tersebut tidak mampu
menjelaskan sensasi yang terjadi ketika manusia
melihat pertanda tersebut lalu memilih untuk
mempercayainya.

Kita lihat ajaran buddha dalam hal ini. menurut


Master Chin Kung, kebijaksanaan yang didapat
oleh Buddha Satyamukti meliputi tiga jenis yakni
Kebijaksanaan Sravaka atau Sravakayana yang
berisi pemahaman mengenai eksistensi alam
semesta ini kemudian Kebijaksanaan Boddhisatva
atau kebijaksanaan yang berisi pemahaman
mengenai dunia yang dinamis atau fenomena yang
terjadi dan yang terakhir adalah kebijaksanaan
Buddha yang berbicara mengenai hakekat
kebenaran. Tiga kebijaksanaan tersebut berpadu
menjadi satu untuk akhirnya menuntun manusia
kepada Nirvana.

Saya beum mampu merangkum konsep-konsep tersebut


menjadi benang merah, namun apabila kita lihat
maka membaca pertanda adalah dialog aktif antara
manusia dengan alam semestanya. Filsafat barat
(sampai pada era Heidegger) boleh saja
memisahkan antara manusia dengan fenomena fisis
alamnya sebagai entitas yang terpisah. Sementara
Ajaran Buddha semenjak awal bersikukuh bahwa
seluruh entitas di dunia ini adalah satu.

Sebagai sastrawan, saya berasumsi bahwa Ceolho


memahami konsep dead of author, sehingga ia
memberikan saya kemewahan terbesar yang bisa
didapat sebagai seorang pembaca: interpretasi
bebas atas karyanya.

Mungkin sedikit sinkretis, saya coba mengawinkan


dua perbedaan aliran besar gagasan manusia
tersebut dalam suatu konsep. Bagaimana alam
berbicara pada kita adalah lewat pemahaman
rasional idea kita yang dibawakan oleh
pengalaman empirik. Tugas indera kita adalah
menangkap pengalaman-pengalaman fisik yang
terjadi di sekitar ‘aku’ agar si ‘aku’ kemudian
sanggup melahirkan realitas di dunia idea. Tidak
perlu ideal seperti konsep Plato, namun juga
tidak seempirik gagasan Aristoteles. Mekanisme
pemahaman tersebut memang belum sepenuhnya dapat
dijelaskan oleh ilmu vaal yang berkembang pada
masa kini. Setidaknya seluruh umat manusia
secara otomatis memiliki kosensi yang sama
tentang begaimana mereka bereaksi terhadap
fenomena fisis tersebut. Entah lewat dialektika
superego dan id atau archtype, bisa lewat
preferensi nilai atau penetrasi meme.

Sementara yang terjadi di dalam adalah peristiwa


samadhi (positive vibration, hehe, lucu juga ada
tegur sapa istilah antara buddha dan rasta) yang
membuat kita sebagai manusia merasakan getaran
atau sensasi yang tidak dapat diejawantahkan
lewat aksara atau dibingkai lewat metode
komunikasi struktural.

Kemudian muncul gagasan untuk tetap mempercayai


apa yang terjadi di luar tanpa harus mematikan
apa yang ada di dalam. Berhubung istilah ini
sudah sedemikian dieksploitasi oleh penulis yang
mencoba menjelaskan sesuatu dengan istilah baru,
maka gagasan pokok kalimat awal alinea ini saya
namakan post-modernisme. Silahkan nikmati
sensasi yang ada ketika Anda melihat atau
mendengar atau mengindera suatu fenomena yang
Anda anggap sebagai pertanda. Sementara diluar,
Anda juga tidak perlu khawatir dicap psikososial
atau mentally disorder karena percayalah, Anda
yang mampu bereaksi terhadap fenomena lingkungan
di luar ‘aku’ niscaya adalah mental yang sehat.
Saran saya, belajarlah imprinting dan ikuti
bagaimana masyarakat bereaksi.

Tidak, kita tidak bicara kebenaran. Kebenaran


adalah sesuatu yang hanya ada antara Anda dan
dosen pembimbing skripsi Anda (meskipun itu juga
bisa kita katakan sebagai ‘validitas data’ bukan
kebenaran). Kita bicara soal samadhi alias
positive vibration yang ada ketika Anda
mempersepsi suatu fenomena lewat indera Anda,
yaps, itu dia. Dalam bingkai post-modernisme,
segala sesuatu adalah relatif dan semua orang
mendadak punya klaim atas kebenaran. Jangan
khawatir, tidak ada yang kemudian memaksa Anda
untuk membuat kebenaran sendiri. Silahkan
mengikuti nabi, junjungan, panutan, pahlawan
Anda dengan riang gembira, Anda dijamin
kebebasannya untuk memilih mana yang patut Anda
percayai transmisi ini bisa dilihat sebagai
pergeseran dari ‘cogito ergo sum’ menjadi ‘opto
ergo sum’.

Positive vibration tersebut pada beberapa


konteks justru menjadi apa yang disebut sebagai
‘kebenaran’. Bahkan buddha sendiri menjadikan
pencerahan sebagai wahyu mereka, munculnya
gerakan sufi di islam atau kharismatik di
kristen kontemporer. Saya pikir mereka jengah
dengan kungkungan ‘jalan menuju kebenaran’ yang
bersifat sangat metodologis nan positivis yang
sayangnya, menurut Linda Tuwihai Smith di
bukunya ‘dekolonialisasi metodologi’ menjadi
bentuk baru penjajahan yang membuat suatu
golongan tidak dapat menemukan kebenaran lewat
caranya sendiri.

Maka biar saya beri sedikit bocoran, Mochar


Lubis di bukunya “Manusia Indonesia” mengatakan
bahwa bangsa kita adalah bangsa yang memang
percaya pada takhayul, mitos, dan pseudo-pseudo
science. Kalau kemudian di titik ini Anda secara
otomatis mendegradasi kesan ‘percaya pada mitos’
lebih redah secara intelektual, maka selamat,
Anda sudah termasuk korban penjajahan
metodologis. Mitos merupakan upaya paling awal
manusia untuk merasionalisasi fenomena alam yang
ada di sekitarnya. Mereka yang mempunyai mitos
berarti adalah mereka yang berhasil menanamkan
kesadaran epistomologis dan ontologis ke’aku’an
dari fenomena lingkungan.

Maka percayalah, ketika Anda mencoba percaya


pada pertanda, Anda tidaklah kurang cerdasnya.

Bagikan ini:

! Press-kan Ini " Twitter # Facebook


$ WhatsApp % Lagi
Sesuaikan tombol

Suka
Jadilah yang pertama menyukai ini.

Dikirimkan di beginning, Self Opinion


Dengan kaitkata #optoergosum #selfopinion

Tinggalkan komentar
Sunting

Bukan dalam dimensiku


(bullshit woman)
Diposkan pada 14 Juni 2021

-yusuf maulana yuliansyah-

Aku mau kamu menghilang..

Kemana? Terserah kamu lah, yang jelas aku mau


kamu menghilang. Lewat angin kek, hanyut di
sungai kek, menghilang lah sampai aku tak
mendengarmu, tak melihatmu, mengendusmu atupun
merasakan hangat tubuhmu. Menghilang lah, dalam
ketiadaan yang aku bayangkan.

Ya, menghilang. Tak terjamah, melebur dengan


ketakterbatasan dan berpisah sepenuhnya dengan
jejakmu. Menafikan keberadaanmu dan buatlah aku
tak menikmati makna diakronismu. Tak perlu
memperhitungkan yang akan kau tinggalkan,
biarlah ia menggambarkanmu. Sebab manusia adalah
apa yang mereka tinggalkan bukan? Nah, untuk apa
memperhitungkan lagi yang kau tinggalkan? Agar
kau bisa mengenangnya dalam kebanggan? Atau agar
kau dapat mengungkitnya dalam penyesalan? Lalu
kamu hitung agar bisa kamu manipulasi yang kau
tinggalkan itu, untuk apa? Kesan? Impresi?
Ribet! Menghilang saja sudah sana!

Menyatulah dalam ketunggalan, berkubanglah dalam


ketiadaan dan tipulah keberadaan, terserah, aku
tidak perduli. Semua buatku hanya alasan untukmu
mengulur waktu sebelum menghilang. Bukan
keinginan katamu? Haha, persetan dengan
keinginanmu. Semenjak kapan kau punya
keistimewaan untuk mengemukakan keinginanmu?
Tuhankah kamu? Nanti jika kamu menghilang baru
kamu akan tahu apa itu keinginan. Yang kamu
rasakan sekarang hanya tuntutan, ya, hanya
tuntutan dari mereka yang tidak kenal kamu. Maka
menghilang lah sudah agar kamu tahu indahnya
memiliki keinginan itu. Percayalah bahwa kalau
kamu tak ingin menghilang, itu hanya tuntutan,
sekali lagi, hanya tuntutan. Kini aku mencoba
menuntunmu pada keinginan dan kamu malah memilih
tuntutan untuk tinggal.

Dekat, jauh? Itu hanya perkara pandangan semata.


Sekedar dimensi spasial yang tidak berarti
buatku. Cukup sudah dengan tawaranmu, bukankah
sudah kukatakan cukuplah aku tak merasakanmu
lagi?

dibuat dalam tekanan, tuntutan, dan keinginan


untuk bertahan dalam kehilangan.

Bagikan ini:

! Press-kan Ini " Twitter # Facebook


$ WhatsApp % Lagi
Sesuaikan tombol

Disukai
Anda dan seorang blogger lainnya menyukai ini.

Dikirimkan di #diary
Dengan kaitkata #diary

1 Komentar
Sunting

Intermezzo bagian dua


Diposkan pada 11 Juni 2021

-yusuf maulana yuliansyah-

Ketika Anda dan saya berfikir bahwa orang lain


adalah entitas yang lebih baik dari diri Anda
ataupun sebaliknya Anda terjebak dalam jebakan
ontologis. Mengapa demikian, alam mengajarkan
keseimbangan dan Tuhan menciptakan setiap
individu memiliki porsinya masing-masing dalam
perjalanan hidupannya, Anda tidak berhak
mengatakan dia lebih baik dari Anda ataupun
sebaliknya Anda lebih baik dari mereka, semuanya
balance, (age of competition) ultimate reality
IMHO. Itulah jebakan ontologis yang saya maksud
mari melampaui batasannya dengan melampauinya
bagaimana caranya memupuk kemandirian pribadi
masing-masing dan tentunya Anda membaca tulisan
saya yang berbobot ini dari hari ke hari LMAO.

Well diperjalanan kehidupan yang saya pelajari


dari masa puber sampai sekarang adalah demikian
arus besarnya tidak dapat dipungkiri bagaimana
saya bisa menulis dengan stilistika yang keren
dan berbobot (ko jadi sombong ya maaf ya, saya
sedang muak untuk jadi penulis sebelum-
sebelumnya), kondisi saya sedang tidak mood
untuk berkompromi dengan alter ego saya. Baik
saya lanjutkan apa yang mau saya tuliskan dan
jadi bagian diskusi persoalan memperbandingkan.

Begini para pembaca tulisan saya, hal tersebut


saya peroleh lagi dari teman saya sehabudin,
serta jadi bahan diskusi sore ini bersama ibnu,
hidup seseorang tidak bisa diukur oleh
perbandingan karena jalur, kondisi, momentum dan
sebabnya berbeda. Fenomena yang berkembang dalam
hal-hal membandingkan sebetulnya telah dan sudah
dipraktekan oleh sebagian orangtua Anda masing-
masing, misalnya generasi boomer
memperbandingkan anaknya, apakah hal tersebut
salah atau benar ini bukan tentang hal benar dan
salah melainkan bagaimana kita memihaknya.

Sebagai orangtua menginginkan anaknya yang


terbaik ada yang peduli atau tidak peduli dengan
proses dan keputusan nya, dalam persoalan ini
bagaimana kita memihaknya ultimatum ya.

Seperti tulisan sebelumnya saya tidak bermaksud


untuk membandingkan generasi boomer dan
millennial karena setiap generasi punya
romantika, momentumnya itulah hidup tidak
terlepas dari kondisi, momentum, dan romantika
jadi biasakan lah.

Persoalannya bukan tentang benar dan salah


tetapi bagaimana Anda memihaknya. (Tumben saya
tidak meninggalkan jejak pertanyaan tentang
tulisan ini seperti tiba pada poin of view nya).
Udah ah saya mau lanjut dengerin musik lagi.

Bagikan ini:

! Press-kan Ini " Twitter # Facebook


$ WhatsApp % Lagi
Sesuaikan tombol

Suka
Jadilah yang pertama menyukai ini.

Dikirimkan di beginning, Self Opinion


Dengan kaitkata intermezzo

Tinggalkan komentar
Sunting

HMTG GEOI
Diposkan pada 8 Juni 2021

-yusuf maulana yuliansyah-

Dari ratusan topik dan bab “menjadi dewasa”,


hari ini saya mau mengambil cheesy motivation
bahwa semakin kesini, hidup agaknya adalah
tentang menyeimbangkan yang terjadi akibat
pilihan dan yang terjadi begitu saja atau
bermain di antara berusaha dan pasrah menerima.
Kata orang bijak praktisi stoik, untuk mencapai
situasi zen maka kita cukup berfokus belaka pada
hal-hal yang ada dalam kuasa kontrol kita.
Selebihnya hanya derau pengganggu yang tak perlu
diwaro.

Dalam pada itu, maka menarik tampaknya melihat


relasi diantaranya. Apakah segala pilihan dan
tindakan kita pada akhirnya mendorong hal-hal
yang tampaknya tidak masuk di akal? Apakah dunia
masih berjalan dalam suatu rantai kausalitas
atau is chain reaction real thing? Sementara
itu, beberapa agama mengajarkan konsep karma
sementara yang lain menggunakan hisab atau
perhitungan. Saya sendiri
masih keukeuh berpendapat bahwa segala-gala yang
terjadi adalah konsekuensi yang kemudian keluar
masuk dimensi chaos-order. Sementara saya
sebagai pengamat hanya terpekur duduk di simpang
bifurkasi untuk dengan nanar menatap bagaimana
reaksi dari tindakan saya terpecah-belah
dan utak atik gathuk mereka-reka realitas yang
tengah terjadi, di sini saat ini.

Kalau kemarin saya bercerita mengenai lonely


insecurity (lone wolf), maka kali ini saya mau
membuka tulisan mengenai choosing insecurity,
hehe. Semasa kecil saya acapkali bingung dalam
menentukan pilihan. Entah bagaimana sembari saya
menulis ini saya mengingat-ngingat momen-momen
masa kecil saya ketika memutuskan membeli mainan
dulu sekali. Saya selalu gamang menentukan
pilihan di antara dua mainan yang ada di tangan
saya. Apakah saya harus memilih figur patamon
yang dapat berubah menjadi angemon atau
garurumon yang bisa berubah menjadi
weregarurumon (saya memilih garurumon yang
ternyata setelah saya buka tidak sesuai dengan
ekspektasi saya, belgendes!). Yang terjadi
kemudian, ketika di mobil atau di rumah saya
membuka mainan tersebut, saya tidak puas sama
sekali dengan pilihan saya dan bisa berhari-hari
memikirkan mainan lain yang tidak saya pilih.

Pengalaman demikian membentuk saya untuk


kemudian pasrah wae lah dalam memilih sesuatu.
Semakin dewasa, seni dan ilmu memilih bukan
hanya sekadar menentukan mainan yang saya suka.
Dalam beberapa hal keputusan yang saya ambil
dapat berdampak sangat besar bukan hanya bagi
saya, namun juga bagi orang-orang di sekitar
saya. Namun demikian, pelajaran dalam memilih
mainan tersebut membuat saya menjadi sembarang
saja dalam menentukan pilihan bahwa apapun nanti
yang saya pilih, saya tidak akan 100% puas
terhadapnya.

Untuk beberapa kesempatan, terutama ketika saya


didapuk untuk mengetuai tim formatur HMTG GEOI,
saya dihadapkan pada bentangan kemungkinan dan
keputusan yang nyaris tidak berbatas.
Dikelilingan banyak orang dengan banyak
kepentingan, kesadaran paling utama yang saya
gunakan sebagai sandaran adalah it’s impossible
to please everybody jadi saya ambil orang paling
penting bagi hidup saya setiap mengambil
keputusan yakni diri saya sendiri. Pilihan yang
saya ambil harus dapat memuaskan diri sendiri
sebelum akhirnya memuaskan orang-orang yang
memang sejalan dengan kepuasan saya. Saya sadar
ini egois betul dan saya dikonfrontir oleh
begitu banyak orang mengenai hal ini namun
bagaimana lagi. Dan seperti tradisi dalam blog
ini, selalu ada hal yang malas saya jelaskan dan
untuk tulisan ini, ini gilirannya. Saya tengah
mengantuk pula.

Anyhow, pahit manis dan jalan pedang HMTG GEOI


adalah buah konsekuensi dari pilihan saya. Salah
sedikit dari yang organisasi ini ajarkan adalah
seni memilih dan menjalani pilihan tersebut
sebaik-baiknya. Dan ketika kewajiban sudah
paripurna, organisasi tersebut kemudian meluruh
menjadi keluarga. Saya tidak perlu menjelaskan
atau beromantika mengenai keluarga yang seperti
apa ya tapi saya tahu bahwa organisasi ini
adalah sekeping keluarga yang luar biasanya
adalah keluarga yang saya pilih sendiri. Tak
peduli bagaimana menyebalkan atau merisaukan
kelakuannya, toh saya akan kembali ke
haribaannya untuk merebah sejenak lalu bangkit
kembali dan mengais-ngais peran di sisa-sisa
arus kehidupan. Fakta bahwa hingga detik ini I’m
still into it simply shows bagaimana keluarga
pilihan ini sama istimewanya dengan keluarga
bawaan. Lebih mesra bahkan terkadang karena saya
sadar saya dan organisasi ini saling menghidupi,
saling mengenang, dan saling beriringan. Ia bisa
berubah lentur mengikuti zaman dan anggota
keluarga lainnya atau bahkan menghilang atau
saling melupakan namun entah bagaimana, ia
terkunci dalam rantai kausalitas yang akhirnya
menarik saya kembali. Lagi dan lagi.

Oh, saya romantis juga ya.

Foto PPA HMTG “GEOI” 2014 yang sekarang menjadi


keluarga.

This is my family. I found it, all on my own.


It’s little, and broken, but still good. Yeah,
still good.

Bagikan ini:

! Press-kan Ini " Twitter # Facebook


$ WhatsApp % Lagi
Sesuaikan tombol

Suka
Satu bloger menyukai.

Dikirimkan di beginning, Self Opinion


Dengan kaitkata #diary Pilihan

1 Komentar
Sunting

Resemblance
Diposkan pada 4 Juni 2021

-yusuf maulana yuliansyah-

1972, ketika gedung St Igoe Pruitt karya arsitek


Minoru Yamasaki diratakan dengan tanah, sebuah
era baru (dianggap) telah dimulai.

Ini adalah medio 60an ketika semboyan Less is


More! milik Robert Venturi menggema sedemikian
rupa sebagai antidot semboyan modernisme yang
mengedepankan rasionalitas, efisiensi, dan
pendekatan-pendekatan positivis. Dunia
bergejolak dengan seni-seni dan bentuk lebih
eksploratif dan ekspresif. Aliran abstrak
meledak, surealisme mengatasi realisme, gaya
hidup hedon dan counter-counter culture
merajalela, psychadelic menancapkan kukunya
seiring dengan eksploitasi LSD dan ganja.
Singkatnya, postmodernisme ditegakkan.

Namun, gerakan-gerakan alternatif tersebut tak


seindah kelihatannya, dibaliknya, di jagat
ekonomi politik, Bretton Wood system ambruk dan
segera, neoliberalisme mulai membayang-bayangi.
Arus perlawanan di medio 60-an segera mengalir
menuju delta neolib-kapitalis yang tegak berdiri
di tahun 80an lewat Reagan maupun Thatcher dan
paket-paket kebijakannya. Hasilnya: komodifikasi
besar-besaran oleh kapitalisme. Gegap gempita
simbol dan romantika perlawanan kemudian
dilacurkan oleh modal.

Bagi generasi hippies, hidup tak pernah


sesederhana itu lagi.

(*)

Hidup sebagai praksis, kembali ke adagium Pram


akan berbeda dengan hidup sebagai theorie. Kita
tahu kesederhanaan hidup-tafsir-dan media tafsir
menjadi impossible triangle yang menjadi fondasi
bangunan superstruktur diatasnya: teks.
Beruntunglah Pram seorang sastrawan yang
bergelut dengan bahasa dan segala strukturnya:
linguistik, hermeneutika, prosa, dan sastra.
Dari situ, mungkin ia sadar akan tafsir yang
sederhana bagi kehidupan. Pram tidak neko-neko
dan tidak kenal kompromi. Baginya, makna yang
diejawantahkan dalam tafsir sebaiknya
disampaikan lewat teks, itu saja. Novel, catatan
sejarah, laporan tertulis dan segala struktur-
struktur bahasa tertulis.

Dalam tataran praksis yang berkutat di


pertanyaan pertanyaan pragmatis nan fungsional
seperti: untuk apa tujuan hidup ini? Tak perlu
simbol-simbol untuk menjelaskan untuk apa hidup
ini. Vita ad vitum. Hidup untuk hidup. Setiap
eksistensi di dunia real memiliki mekanisme
untuk mempertahankan eksistensi mereka, mbuh
piye carane. Konteks hidup untuk hidup merupakan
konteks inutopis dimana semua mengandaikan
dialektika yang tak berujung lewat mekanisme
bellum omnia contra omnes, semua melawan semua.
Totalitas tersebut tak berujung. Keabadian
dipercayai dan dunia seakan tanpa batas.

Sementara itu, di tataran theorie yang berkutat


di pertanyaan seperti: mengapa saya diberi
kehidupan? hidup menjadi lebih romantis
kelihatannya. Ada keindahan dibalik setiap
misteri yang tak kasat mata. Kita hidup? tapi
mengapa kehidupan kita sedemikian adanya?
pertanyaan-pertanyaan theorie yang bersifat
induktif dan menggeneralisir permasalahan akan
membawa kita ke angan-angan lepas dan konsep-
konsep transendental yang mustahil untuk
dijabarkan. Romantika tersebut paling mudah
terasa apabila di malam sepi Anda menengadah ke
langit dan memperhatikan bintang. Rasakan betapa
kita begitu kecil dan tak berdaya, namun
setengah mati Anda ingin tahu apa yang
sebenarnya sedang terjadi?

Dari theorie, simbol-simbol kehidupan itu


kemudian dilahirkan kembali lewat tafsir.

Tafsir hebat karena berisi ruang simulacra yang


berisi makna yang tidak terbatas. Setiap orang
berhak atas klaim terhadap kebenaran di
simulacra tersebut, ruang status quo. Mereka
yang kemudian berani untuk melakukan tafsir
sendiri terhadap dunianya akan danggap ‘hebat’.
Mudah, Anda cukup bermodal keberanian semata.
Jangan khawatir, setiap dari Anda diberi
previlise untuk membakukan kebenaran terhadap
tafsir Anda. Ini bukan zaman main bakar yang
dilakukan oleh gereja di era mediaval.

(*)

Kelemahan berikutnya adalah apabila tafsir


disampaikan lewat teks, ia akan menjadi makna
yang kering dan kaku. Manusia terletak diantara
hewan dan komputer. Kita bukan hewan, bukan pula
komputer. Manusia punya daya apresiasi yang
menjadikannya sebagai makhluk yang punya
kemampuan lebih dalam menginterpretasi sesuatu.
Daya apresiasi menjadi fasilitas lebih bagi
manusia dalam berbuat dan bertindak. Akuilah,
mustahil jika teman Anda tidak memperhitungkan
fisik ketika memilih calon pacar. Jika iya, maka
waspadalah, ia bisa jadi seperti kucing yang
tidak perduli bagaimana pasangannya, ketemu
kucing betina sedikit, lagsung sikat.
Justifikasi kecantikan semacam intu adalah
insting dan tak dapat dielakkan. Justru
bersyukurlah kita diberi daya untuk ‘menyukai’
dan ‘tidak menyukai’, sebab disitulah jati diri
kita sebagai manusia berada.

Keringnya makna mengakibatkan bentuk teks


menjadi rigid dan akhirnya menuju ke jalan
fundamentalisme. Suatu saat dimana teks menjadi
begitu rigid hingga tertutup bagi interpretasi
adalah saat dimana terjadi apa yang disebut
Gunawan Muhamad sebagai involusi tekstual.
Involusi yang mereifikasi teks karena dipercaya
mengandung kebenaran sebegitu benarnya sehingga
tidak mungkin teks tersebut ditafsir ulang atau
bahkan diserang dan dikritik.

Involusi juga terjadi ketika hidup sebagai


praksis dibawa ke ranah theorie lewat teks-teks
yang dikultuskan. Akibatnya, memang hidup
menjadi sangat sederhana karena segala aspeknya
telah dibakukan dalam suatu teks yang dipercaya
begitu hebat kebenarannya. Kita tidak perlu
berpikir, berfantasi, atau merasakan romantika
misteri penciptaan karena segalanya telah
ditafsirkan dalam teks yang sedemikian hebatnya.

Padahal, sebagai suatu sistem, hidup berisi


komponen yang tidak terbatas dan berisi pula
kemungkinan-kemungkinan yang begitu menggoda
untuk dicoba. Adalah kebebasan manusia, pada
titik ini untuk mengeksplorasi hidupnya
sedemikian rupa sehingga ia merasakan romantika
kehidupan yang akan menuntunnya pada suatu
tafsir baru yang akan membuka sisi lain
kehidupan itu sendiri.

Ya, kehidupan memang sederhana.

Bagikan ini:

! Press-kan Ini " Twitter # Facebook


$ WhatsApp % Lagi
Sesuaikan tombol

Suka
Jadilah yang pertama menyukai ini.

Dikirimkan di beginning, Self Opinion


Dengan kaitkata #selfopinion beginning

Tinggalkan komentar
Sunting

Wise
Diposkan pada 1 Juni 2021

-yusuf maulana yuliansyah-

Disela pekerjaan, setelah 3 hari di basecamp


saya mau mengisi tulisan di blog ini agar Anda
dan saya selalu tidak kehilangan dan terus
merindukan sesuatu (haha ngarep) oh iya disini
saya cuman berdua dengan senior saya Bang Jole
terimakasih untuk bekal ilmu dan metode untuk
memahami mineral-mineral yang saya sukai sejak
dulu senyawa Kimia, Kalo dah expert Metalurgi
kalo dah dewa ya nuklir deh.

oke ul nanti-nanti ya wkwkw kita belajar


golongan native elemen gold

done cukup curhat nya, saya mau menulis ini aja


ko..

Heidegger menganut pepatah kuno bahwa


“berfilsafat adalah belajar bagaimana mati”

“Wujud adalah waktu dan waktu terbatas. Bagi


manusia, waktu berakhir dengan kematian kita.
Oleh karena itu, jika kita ingin memahami apa
artinya menjadi manusia sejati, maka penting
bagi kita untuk terus-menerus memproyeksikan
kehidupan kita ke dalam cakrawala kematian kita.
Inilah yang Heidegger terkenal sebut sebagai
“makhluk menuju kematian”.

sekali lagi : Jangan melawan kalau belum


menulis, jangan menulis kalau belum membaca..

tabik

Selama kamu menikmati apa yang kamu jalani, kamu


akan lupa untuk mengeluh. Seberapapun
melelahkannya itu

It’s raining out there, I hope you here, hold me


tight and share some bed time stories. Life
might cruel sometimes, but with you I have some
reason to fight back.

Every decision leads you to another situation,


another chance. So take it, or leave it, with
wholeheartedly. No matter what it’s your life,
your decision, your risk, and your happiness. It
is yours!

Berhenti beralasan, dan buat perubahan!

why so worry about tomorrow? It will be gone the


day after -woody woodpecker-

Pertanyaan ira yang saya suka

sebagai janji saya untuk terus mengisi blog ini


dan pembaca setia saya selamat berefleksi

Bagikan ini:

! Press-kan Ini " Twitter # Facebook


$ WhatsApp % Lagi
Sesuaikan tombol

Suka
Satu bloger menyukai.

Dikirimkan di #diary, #poetry, Self Opinion


Dengan kaitkata #poetry #wise

Tinggalkan komentar
Sunting

Radaksi 28 Mei 2021


Diposkan pada 28 Mei 2021

–yusuf maulana yuliansyah-

Beberapa hari belakang, sambil agak semangat


karena sudah menuliskan sesuatu yang penting
buat bekal para pembaca dikemudian hari yang
saya arsipkan dulu dalam windows new post untuk
generasi setelah saya mati. Tulisan akan mewah
dan bernilai tinggi billa seseorang telah tidak
disini melainkan disana hal yang dijanjikan sang
prima causa, parengi ampun gusti. Kematian
adalah hal yang pasti dan kehidupan adalah
esensi tanpa konklusi.

Well setelah generasi saya sudah agak tumpul,


dan generasi sekarang makin tumpul plus ngeyel
dan sloganisme belum sampai disitu kemasannya
sang magnum opus masyarakat “tiktok”, belum lagi
drama cinta-cintaan, gambar-gambar meme yang
dijadikan selipan isi hati self motivation alih-
alih wise quotes story keren alih-alih pikirnya
ah sudah nyinyir nya saya mewajarkan hal-hal
tersebut karena tugas saya ataupun Anda
bagaimana memilah media sosial.

Media sosial menurut saya masih bijak karena ada


fitur pembatas. Agar penggunanya bisa selektif
namun sialnya saya masih menemukan hal-hal
tersebut kenapa bisa seperti itu karena ia teman
saya solusinya wait and see saja.

Jadi begini teman-teman hari-hati sebelumnya


saya menyempatkan untuk blog walking,
mengunjungi blog yang sudah vakum selama 3 tahun
kemana sang penulis padahal saya mengapresiasi
tulisannya dan bangga atas dedikasinya.

Blog tersebut sempat hingar bingar, ramai oleh


postingan mulai dari pemikiran berat hingga
curhat remeh temeh soal kegalauan usia atau
pasangan yang dicinta.

Beberapa lain menganggapnya sebagai ekspresi


ideologi atau bahkan alter ego, sungguh luar
biasa tampaknya.

Namun sekarang sepi, kalau ada posting, paling-


paling sama yang menikmatinya saya jadi sedih
(bercanda)

Namun saya bisa memahami karena saya baru saja


mengalami.

Dewasa adalah masa dimana bertahan hidup menjadi


yang utama. Cari kerja, berkeluarga, lalu punya
anak, mana sempat membaca tulisan di blog, saya
mahfum teman-teman generasi saya bukan lagi
pemuda haus akan pengetahuan melainkan
menyelamatkan diri untuk masa depan tidak apa-
apa itu pilihan dan menyerahpun adalah pilihan.

Begitu lah saya pikir kedewasaan menjadi barang


yang menarik. Sedikit berbagi, saya pun telah
mendarat dalam kondisi seperti itu. Menulis di
blog mengenai apa yang saya alami sehari-hari
atau pemikiran atau semangat yang rasakan sudah
kehilangan banyak relevansinya dan akan
tersungkur tercukur oleh pertanyaan kecil: ‘buat
apa sih?’. Idealisme dan kenaifan masa muda yang
dibungkus semboyan ala ‘menulis adalah bekerja
untuk keabadian’ rasa-rasanya juga sudah sedikit
banyak tanggal di tengah perjalanan.

Punya waktu luang untuk berpikir dan menulis


saja rasa-rasanya menjadi suatu kemewahan
tersendiri. Begitu bukan?

Saya, sambil mewakili beberapa teman yang masih


semangat dibangku perkuliahan semangat
berorganisasi dan terjun ke masyarakat.

Di generasi saya tumbuh dalam ruang yang sangat


ekspresif. Media sosial dan internet menjadi
ruang utama yang saya maksud tersebut dimana
segala perasaan, kekhawatiran, keresahan, dan
kagalauan tumpah ruah dan saling dicekokan ke
satu sama lain. Well-beingnessmenjadi esensial
dan apa yang Anda atau saya rasakan, apakah
nyaman atau bahagia atau tidak menjadi tolok
ukur utamanya. Tak peduli bagaimana generasi ini
melumat tabu atau mematahkan tradisi, selama
orang-orang merasa nyaman untuk melakukannya
maka tidak ada yang perlu dipermasalahkan.

Sangat fundamental, sangat libertarian.

Bagikan ini:

! Press-kan Ini " Twitter # Facebook


$ WhatsApp % Lagi
Sesuaikan tombol

Suka
Jadilah yang pertama menyukai ini.

Dikirimkan di beginning
Dengan kaitkata #dewasa

Tinggalkan komentar
Sunting

Menerawang Lepas bagian dua


Diposkan pada 27 Mei 2021

-yusuf maulana yuliansyah-

Kita melihatnya dari hari ke hari di berbagai


media, angka-angka terus menunjukan peningkatan
serta menggambarkan kematian. Dimanapun kita
membaca dan menyaksikan kekecewaan dan amarah
begitu kental terasa adanya menyaingi kesedihan
yang turut semakin mendalam.

Omg, negatif betul.

Yah kira-kira begitu gambaran muramnya namun


saya rasa sudah terlalu banyak kemuraman yang
beredar di sekitar kita dan tidak perlu lagi
saya menambah-nambahi beban para pembaca yang
barangkali mampir di tulisan saya ini. Segala
hal tersebut baiknya kita terima sebagai bentuk
kepasrahan dan kerendahatian kita bahwa kita
sebagai makhluk selalu memiliki keterbatasan
dari apa yang selalu kita bangga-banggakan.
Begitu mungkin seperti narasi yang Anda baca
dimana-mana saat ini.

Saya tentu saja ikut terkungkung dengan segala


tekanan dan kebosanan yang menguji kewarasan.
Setiap hari sebelum tidur atau kapanpun ketika
saya merasakan aura negatif saya perlu berpikir
dan mereset kembali alur persepsi saya dalam
memahami segala yang terjadi belakangan ini.
Meski demikian hampir setiap detiknya saya
terhubung dengan dunia lewat berbagai gadget dan
dunia maya. Saya kebanjiran informasi dan opini,
sesuatu yang saya anggap sebagai hal yang
menyenangkan. Bermandikan hal-hal demikian dan
membuka diri serta pikiran melatih saya untuk
dapat terus memisahkan apa yang sekiranya bisa
saya ambil sebagai sarana penopang atau mana
yang malah menenggelamkan dalam jurang
keputusasaan. Kata orang-orang bijak bestari
“your mind is like a parachute, it works only if
it is opened”.

Membuka diri terhadap informasi agaknya dapat


membuat saya terseret ke dalam arusnya. Saya
berusaha keras betul untuk tetap dapat bertahan
dan berpijak pada pikiran-pikiran yang saya
anggap sehat: buku-buku, dokumenter, atau berita
dari surat kabar terpercaya. Sebagai umpan
balik, saya berusaha keras untuk dapat
menuliskan setiap apa yang saya baca atau saya
refleksikan ke dalam tulisan. Hampir lemah
menyerah pada kasur dan bantal-bantal kumal.
Setiap membuka halaman untuk menuliskan sesuatu
saya hanya dapat dua atau tiga paragraf untuk
kemudian menutupnya dengan kemalasan begitulah
warna tulisan saya sering sekali menyiratkan
pertanyaan bukan kesimpulan ataupun jawaban
selamat berfikir para pembaca setia saya. Anda
keren sih.

Salah satu penyebabnya agaknya tren cara saya


menulis di blog beberapa tahun belakangan ini.
Blog ini, merupakan media sosial yang paling
saya sukai baru kemudian instagram. Alasannya
karena menyenangkan saja menulis sesuatu secara
panjang dan relatif tidak terbaca oleh
masyarakat. Instagram saya, meskipun hitungannya
sepi namun bagi saya masih cukup banyak orang
yang melihat dan berinteraksi dengannya. Saya
tidak suka membagi banyak-banyak pemikiran
kepada orang-orang.

Salah satu kegiatan hari-hari saya selain


berselancar dan menyerap informasi sepanjang
saya terbangun adalah berusaha untuk produktif.
Upaya tersebut saya pikir memuncak pada malam
ini untuk kemudian memutuskan bahwa saya suka
tidak suka mau tidak mau harus menantang diri
saya untuk produktif, setidaknya menulis. Karena
itu, saya mencoba untuk mengganti gaya menulis
di blog ini dari yang tadinya berbasis pada
kualitas untuk setiap postnya, saya akan lebih
fokus kepada kuantitasnya. Saya akan mencoba
untuk menuliskan setiap apa yang saya baca untuk
setidaknya 2 hari sekali juga dengan janji untuk
meningkatkan kualitas bacaan dan tontonan. Bagi
Anda yang sudah terbiasa mengikuti saya mohon
menyesuaikan diri dengan setelan baru ini jika
Anda tidak terbiasa juga siapa peduli yah. Ini
ruang intim saya dan saya berkuasa sepenuhnya
disini.

Tabik.

Bagikan ini:

! Press-kan Ini " Twitter # Facebook


$ WhatsApp % Lagi
Sesuaikan tombol

Suka
Jadilah yang pertama menyukai ini.

Dikirimkan di #diary, beginning


Dengan kaitkata menerawang lepas

Tinggalkan komentar
Sunting

Menerawang Lepas
Diposkan pada 26 Mei 2021

-yusuf maulana yuliansyah-

Kenapa ga ada notifikasi ke saya seminggu atau


sebulan ini., “lu jomblo njir” jadi waktu lo
habis sama menulis dan membaca ye “iya dong”
(ENGGA GITU JUGA SIH) lah nama saya ga pakai
kapital di awal “ohh saya senang aja lebih
estetik” apaan sih, gjls…

Ini judulnya “Hubungan Ilmu Pengetahuan dengan


pola pikir yang berkembang di masyarakat dan
kajian-kajian Hukum Pidana untuk mengetahui
tingkat moral masyarakat di Indonesia dalam
meminimalisir suatu tindakan yang destruktif’.
Bagaimana menghubungkan agar jadi suatu
pembahasan bila judul skripsi nya demikian. Oke
saya akan memulai dari mana saja haha, udah
pusying judul skripsi diatas kita tunda dulu
sambal lah typo njir males benerin maksudnya
sambal maklum hari ini eh njir otomatis sambal
terus (maksudnya sambill fyuhh) nulis dari word
2016 abis kerjain beberapa skripsian entah
teknik, social, dan hokum (males gue benerin
hukum cuk) tapi yang menarik sih kalo ada
filsafat yang dihubungkan dengan ke teknik
nukliran biar saik aja ya jadi entar ada yang
nanya masyarakat “de kuliah di teknik nuklir ya
nanti kalo udah beres jadi tukang buat bom-bom
ya” dalam hati saya pasti senang madep juga kan
diklaim tukang bom (terminology gue bom
singkatan dari benci ontuk mencinta ajig ko ga
relate ya, maklum jomblo shht oke, terbukti
jurusan teknik nuklir memang oke, jurusan impian
saya dulu sih wkwkw maklum terkendala ekonomi
cuy tapi sekarang saya ditanya “de kuliah di
geologi ya “iya” nanti jadi apa, harusnya jadi
tukang batu yak ke tambang” tapi jujur ya saya
masih nganggur jadi premis awal sama premis
kedua enakan mana tukang bom atau nganggur haha
becanda tenang saja itu hanya klaim dari
masyarakat sosio humaniora kulut (maksudnya
kultur) dan sepultura (ajir band nu metal itu
wkwkw) mencari sesuatu yang bisa dijadikan tanda
– tanda menuju ke pembahasan judul skripsi saya
di atas nantinya untuk di dedikasikan terhadap
diri saya yang sudah menjadi sarjana teknik biar
seimbang saja tidak ketinggalan bahasan etis,
bosen keteknikan terus praktek dan peneltian
terus, lah jadi intermezzo curhat, saya ingin
mengangkat dari hal – hal yang saya diskusikan
oke alter ego silahkan.
Ilmu Pengetahuan terus berkembang namun pola
pikir masih terbelakang pernahkah anda
menyelesaiakan skripsi tanpa mencontek hasil
dari buah pikir sendiri, apakah anda mampu
menyelesaikan judul yang sedang jadi pembahasan,
saya pikir perlu mempunyai pengetahuan yang
paham akan skripsi, begitu juga dengan persoalan
yang saya bangun yaitu persoalan teknologi,
Ilmu, Pengetahuan yang saya akan hubungkan
dengan pola pikir di masyarakat tidak cukup
sampai disitu bagaimana dengan kajian-kajian
hukum pidana agar meminimalisir tindakan yang
destruktif itulah harapan Blog ini dibuat, dan
tentunya saya harus paham dengan arah pemikiran
saya sehingga menjadi sebuah hasil, hipotesis
ataupun hanya sekedar saripati persoalan.

Saya akan mulai dari latar belakang teknologi


untuk apa teknologi di buat pada awalnya untuk
memudahkan ekplorasi sandang pangan manusia
tentunya mendownsizing waktu (tidak mesti pakai
referensi seperti skripsi, ataupun citasi ini
menerawang lepas) maaf saya ingin menulis
terbebas dulu dari rujukan memaksimalkan
pengetahuan saya yang sudah ada dalam pikiran,
toh nanti kalo saya dah mentok saya coba baca –
baca buku dan akan saya cantumkan bila memang
betul saya mengutip dari sana sejauh ini saya
menulis lepas alakadarnya apa yang sudah ada
dalam mind, saya tuliskan, oke.

Well teknologi sampai dizaman sekarang apakah


masih sama, tentunya sudah mengalami evolusi dan
pembaharuan faktanya seperti itu. Bisa menjadi
destruktif ataupun konstruktif dalam hal ini
saya memposisikan teknologi masih netral tidak
ada nilai yang saya tambahkan biar fair saja
keadilan menurut saya ya, sambil menunggu fakta-
fakta yang saya akan cantumkan bagaiamana posisi
teknologi dizaman sekarang dan tentunya relasi
dengan pola pikir masyarakat, seperti halnya
suatu entitas akan mengalami pembaharuan,
perubahan tidak ada yang tetap, lihat saja
teknologi dalam hal ini misal sekarang kita
pegang handphone buka app store cek aplikasi
minta diperbaharui itu fakta yang saya sudah
tunjukan terhadap anda pola pikirpun seperti
halnya diminta upgrade software maupun hardware.

Tentu saja pola pikir yang dimaksud adalah


perspektif, memiliki pembaharuan seperti
teknologi entah dari softwarenya yang disebut
kemampuan otak untuk menyerap pengetahuan,
ataupun hardwarenya kemampuan yang nampak dari
hasil buah pikirannya yang biasa kita sebut
Hipotesis kalo masih dalam tahapan idea, atau
keputusan bila ada dalam tahapan material,
pinjam istilah plato ya, oke itu rujukan nya.

Masih belum nampak ada jawaban apa yang mau saya


jadikan pembahasan mohon bersabar, atau hanya
ini menghasilkan pertanyaan-pertanyaan yang
tanpa ada akhir, harapan nya seperti itu namun
saat ini saya sedang ngetik sambil ngedumel.
Harus ada kesimpulan? Bersabar? mikir keras nih.

Bagikan ini:

! Press-kan Ini " Twitter # Facebook


$ WhatsApp % Lagi
Sesuaikan tombol

Suka
Jadilah yang pertama menyukai ini.

Dikirimkan di beginning, Self Opinion, Tugas


Akhir
Dengan kaitkata menerawang lepas

Tinggalkan komentar
Sunting

Mesin Kopi
Diposkan pada 3 Oktober 2021

-yusuf maulana yuliansyah-

Beraktifitas, bersosialisasi, menghasilkan uang


mereka menginginkan hal demikian dari anaknya.

Saya adalah anak yang tidak beraktifitas banyak,


tidak bersosialisasi dan tidak menghasikan uang.

Beberapa hari kebelakang saya membuat mereka


kerepotan dengan kondisi saya yang sakit, dan
karena alasan tertentu tidak memegang ponsel dua
hari kebalakang.

Tentu hal tersebut membuat mereka khawatir.


Seketika pas saya pegang hp dan membalas pesan
ibu, dia melontarkan kata “manusia itu harus
beraktifitas, bersosialisasi”, serta dia
mempertanyakan “menulis terus emangnya sudah
menghasilkan uang”.

Saya mahfum betul dan tidak marah, bagaimanapun


kalo marah itu Ibu, sebagai anak tidak boleh.
Dan di sisi kesehatanpun tidak berdarah tinggi,
melainkan darah rendah.

Saya tidak marah, saya sudah lupa dengan emosi


marah.

Ketika sesudah marah, Ibu, merasa baikan dan


menelpon seperti biasa kembali disitu ada mbaku
yang ikut telpon juga. Ketika menelpon saya ada
niatan untuk membeli mesin kopi yang sudah saya
keranjangi di Tokopedia. Alasan saya membeli itu
simple ingin membuat minumun kopi dirumah
sehingga tidak beli di luar. Tapi saya tidak
cukup uang untuk membelinya dan saya malu kalo
meminta hal tersebut.

Jadi saya hanya bilang saya ada niatan untuk


membeli mesin kopi dekat-dekat ini, jawaban
mbaku nanti taruh di rumah sini aja ya, terus
jawaban ibuku semacam tidak mendukung karena dia
tidak suka kopi.

Lantas saya masih memikirkannya, bagaimana saya


mengatakan ingin memulai membuat kopi, serta
menghasilkan uang dari sana kepada mereka.

Ya, karena sekarang saya sudah memikirkan Star


Up.

Bagikan ini:

! Press-kan Ini " Twitter # Facebook


$ WhatsApp % Lagi
Sesuaikan tombol

Suka
Jadilah yang pertama menyukai ini.

Dikirimkan di #diary
Dengan kaitkata #mesinkopi Starup

Tinggalkan komentar
Sunting

Tulisan yang lebih lama

Arsip
Oktober 2021 (4)
September 2021 (10)
Agustus 2021 (18)
Juli 2021 (20)
Juni 2021 (25)
Mei 2021 (21)
April 2021 (16)
Maret 2021 (3)
Februari 2021 (10)
November 2019 (1)

Pilih Bahasa
Diberdayakan oleh Terjemahan

Cari

Cari

Blog di WordPress.com.

Anda mungkin juga menyukai