diriku sungguh gila. Sejak SMP kelas 8 aku memiliki ambisi yang sangat berapi-api. Seorang
anak desa, pedalaman, dari Kalimantan lagi, wah edan!. Motivasiku sendiri sebenarnya cukup
sederhana, aku menginginkan pendidikan yang berkualitas karena aku sadar diri dengan
daerahku yang terbelakang, aku sendiri menyesal karena aku merasa seharusnya aku
merantau ke kota besar sejak SMP bukan SMA. Tapi masa lalu adalah masa lalu, pada
akhirnya aku hanya bisa mengubah apa yang bisa kuubah dan akhirnya aku merantau dengan
bekal “berani”. Aku ingin merubah masa depanku lebih baik, walau orang tuaku sebenarnya
menolak aku merantau tapi aku tidak mendengarkan dan tetap bersikeras, ambisiku terlalu
berapi-api untuk dihentikan orang tua. SMA Kolese De Britto, namanya asing sekali
ditelingaku, bagaikan nama yang terlalu kebarat-baratan apalagi diberi nama “Kolese”
membuatku semakin terkagum dengan sekolah ini. Sekolah ini merupakan sekolah yang
Bersekolah di Jogja, memilih sekolah yang di iming-iming salah satu swasta terbaik,
pendidikan berbasis Katolik dan pendidikan karakter spiritual salah satu santo yaitu Ignatius
Inigo De Loyola. Aku berpikir aku akan mendapatkan sekolah yang baik dengan fasilitas
yang memadai, dan nantinya pada kehidupan SMA ini aku akan memaksimalkan potensiku
sehingga aku mampu hidup dengan bangga sebagai orang berprestasi. Namun pada awalnya
aku. Memang benar bahwa pada dasarnya kita sebagai manusia kita harus bersiap-siap dan
merencanakan rencana “b” jika rencana “a” tidak berjalan dengan baik. Namun disini yang
menjadi permasalahan dari sesuatu yang diluar kendali ku adalah, “KENAPA BISA ADA
PANDEMI TIBA TIBA!!??........”. Siapa yang bisa mengira bahwa pandemi akan muncul
dalam waktu yang singkat, dan akan menghantam semua aktivitas sehingga memerlukan
sebuah perubahan sehingga semua dapat berjalan dengan baik lagi walau tidak seperti semula
kala. Apapun yang diriku pikirkan, kejadian ini tidak termasuk dalam kemungkinan hal yang
dilanjutkan dengan cara daring. Hari pertama masuk sekolah, MPLS, dan hingga kenaikan
kelas 11 aku masih menjalani proses belajar mengajar dengan daring. Ini bukan peristiwa
yang mengenakkan bagiku, menurutku pandemi ini menghilangkan semua ekspetasi dan
rencana yang ingin kujalankan. Realita yang kusadari adalah fakta bahwa diriku masih berada
di Kalimantan, belum merantau sama sekali sehingga aku masih berada di zona nyaman tapi
disisi lain aku berhasil menjadi seorang siswa SMA Kolese De Britto. Walaupun harus
menjalankan dinamika secara daring namun aku akan memaksimalkan kesempatan yang telah
akupun tetap tidak mendapatkan pembelajaran yang baik. Guru dan teman-teman
seangkatanku juga seperti itu dan aku rasa semua orang juga akan seperti itu, kelas 10 itu
dipenuhi dengan kebingungan. Adaptasi dengan masa pandemi dan sekolah dilingkungan
baru itu sangat sulit, apalagi pada waktu kelas 10 dimana semuanya terasa sangat sulit untuk
dilakukan, tugas sekolah dengan jumlah yang cukup banyak membuatku merasa seperti robot
walau jika melihat kembali maka tugas itu sangatlah mudah dan dapat diselesaikan dalam 1
hari. Pengendalian diriku juga sangat buruk, rasa ingin tidur, bermain game, membuka sosial
media membuat dinamika pembelajaran yang buruk mulai jatuh dari buruk menjadi lebih
buruk lagi.Seandainya saja aku belajar lebih baik lagi apakah aku akan hidup dengan lebih
bahagia?? Atau justru dihantui dengan ancaman kurang tidur lebih jauh lagi??, semua itu
adalah misteri.
Api ambisiku masih berapi-api sehingga pada kelas 10 aku masih mencoba aktif
dalam organisasi sekolah, aku memilih Presidium sebagai sarana perkembangan diriku dan
juga aku dengan sukarela mengikuti acara “Tigre Arciera” dimana disitu aku menjadi salah
satu panitia, namun diriku belum cukup pantas sehingga tujuanku menjadi Presidium tidak
terwujud karena tersingkirkan pada saat seleksi. Aku tidak menyerah sehingga aku
memutuskan untuk mengikuti lomba bahasa inggris, lomba Storytelling yang sebenarnya
cukup sulit dilakukan apalagi dilakukan sendirian tanpa pembimbingan, saat latihan dan
pelaksanaan lomba terasa seperti kegagalan total dimana aku tak mendapatkan hasil yuang
memuaskan tapi aku setidaknya mendapatkan pengalaman, pengalaman yang akan menjadi
Hingga sekarang aku berpikir apakah aku itu hanya seorang pengangguran namun
kebetulan aku adalah seorang pelajar, aku berpikir seperti itu karena aku merasa kelas 10 aku
benar-benar tidak mendapatkan apa-apa, realitanya kelas 10 adalah masa dimana aku
mendapatkan pengalaman yang berharga tentang adaptasi dan cara menghadapi perubahan
yang menimpaku, walau sesuatu tersebut berubah dengan drastis hingga dapat dikatakan
ambisiku atau keinginanku untuk merantau akhirnya terwujud setelah sekian lama menunggu
karena pandemi. Pandemi memang masih mengancam namun dalam hati saya terdalam saya
merasa TIDAK PEDULI. Kelas 11 semester 1 aku masih takut-takut dengan ancaman
sekolah mengingat diriku pada kelas 10 bukanlah seorang pelajar, melainkan seorang
pengangguran, seorang pemalas yang mengerjakan tugas dengan bantuan curang tanpa
mencoba berpikir sama sekali. Pada tahapan ini aku masih takut, karena kurang percaya diri
dengan kemampuanku sendiri sehingga pada masa ini adalah masa transisi dimana seorang
pengangguran menjadi seorang pengacara. Diriku sama saja dengan diriku pada saat kelas 10,
tapi kali ini lebih banyak acara, dan kurasa ini adalah hal yang baik, lebih baik satu daripada
Dinamika pembelajaran secara bertahap sudah bisa dinikmati secara luring, dari
awalnya keseluruhan dilakukan dengan daring, menjadi daring sekaligus luring, dan akhirnya
menjadi luring keseluruhannya. Ini merupakan proses yang melelahkan dengan banyaknya
adaptasi yang harus dirasakan terlebih lagi aku terlambat untuk beradaptasi dengan
lingkungan sekolah karena hambatan pandemi. Tapi lebih baik ada daripada tidak ada sama
sekali (kurasa) .
Disini juga aku mulai menemukan bakatku sebenarnya, atau lebih tepatnya sesuatu
yang kurasa secara pribadi suka dan ahli dalam melakukannya, yaitu Public Speaking. Sejak
awal aku sendiri tidak menyadari apa pentingnya hal tersebut, dari yang kuperhatikan sejak
kelas 10, orang dengan kemampuan presentasi yang baik akan mendapatkan nilai yang tinggi
dan oleh karena itu aku memberanikan diri untuk mencoba Public Speaking. Kebetulan sekali
waktu itu salah satu organisasi Campus Ministry memerlukan seseorang dari kelas 11 untuk
berbicara pada saat misa persiapan ujian, aku sendiri awalnya tidak mengetahui tentang hal
tersebut namun temanku memberitahukan hal ini kepadaku dan aku pun menerimanya. Aku
sendiri berpikir aku bukanlah orang yang ahli atau cukup cerdas untuk berbicara didepan
orang banyak , apalagi itu dalam pertama kalinya dalam hidupku aku berbicara dengan orang
sekian banyaknya dan ditambah diriku yang sejatinya seorang Introvert. Walau banyak
tekanan dari pikiran atau imajinasi liar dari diriku sendiri yang mengangguku, aku tetap
berkeinginan kuat untuk melanjutkan apa yang kumulai dan aku pun berlatih didepan cermin
untuk berbicara hingga pada akhirnya aku hafal dan mulai mengerti apa yang harus
kubicarakan. Hari yang ditunggu-tunggu pun datang dan aku pun mulai berbicara, entah apa
yang terjadi semua terasa sangat tenang, selama beberapa menit aku berbicara didepan
banyak orang dan juga kamera. Aku mampu berbicara, diriku yang tidak ahli berbicara,
diriku yang Introvert mampu berbicara dengan lancar tanpa melakukan kesalahan hingga saat
selesai aku merasa tenang dan aku dipuji, diriku dipuji teman-temanku, dan juga dipuji
guru-guruku.
Itu adalah kejadian yang mengubah pandanganku secara drastik, aku mulai percaya
diri untuk berbicara bahkan saat melakukan Public Speaking saat melakukan tugas sekolah
aku merasa santai dan semua pikiran yang ada didalam kepalaku mau keluar dengan cara
yang mudah dipahami. Mulut kugerakkan, tangan kugerakkan, nada ku naik dan turunkan,
dan kuulangi semua itu berkali-kali hingga aku mampu menyelesaikan tugasku dengan baik.
Pada masa ini juga aku mendaftarkan diriku kembali menjadi seorang calon Presidium
namun aku akui aku tidak menjalankan sepenuh kemampuanku sehingga pada kedua kalinya
aku kembali gagal menjadi seorang Presidium, pada proses yang sama yaitu seleksi.
Walau aku memiliki kegagalan, namun semangat ambisiku masih membara dan
berjanji kepada diriku sendiri untuk tidak membawa penyesalan saat lulus. Kemudian
datanglah acara Tigrius Patronus, acara sekolah pertama dimana aku benar-benar terlibat,
walau bukan sebagai panitia maupun seorang penghibur dan pengurus acara lainnya disini
aku terlibat sebagai seorang penjual makanan dan minuman. Aku menemukan teman yang
memiliki ide yang sama, yaitu untuk membuka stand makanan dan minuman sehingga aku
dan mereka menyatukan kepala agar mendapatkan profit dari hasil penjualan kami. Aku
menemukan konsep yang cukup simpel, yaitu tempat yang menjual makanan dan minuman
dengan harga yang murah, konsep ini muncul karena warmindo sering menjual dagangannya
dengan harga yang murah sehingga aku mengikuti ide ini. Jujur diriku capek, berjualan
bukanlah hal yang sangat sederhana dan mudah karena ada banyak pertimbangan yang harus
dipikirkan dan banyak yang harus dilakukan, diriku dan teman-temanku mulai terpenuhi
emosi dan rasa lelah sehingga dinamika berjualan ini dapat dikatakan sebagai penyiksaan.
Selama sekitar 2 bulan aku mempersiapkan semua yang diperlukan untuk berjualan dan pada
hari diriku berjualan, aku ditempatkan didepan sebagai seorang kasir sekaligus pelayan yang
melayani pelanggan yang datang. Aku merasa kemampuan berbicaraku benar-benar dituntut
disini, selagi pelanggan menunggu pesanan mereka disiapkan mereka akan menunggu dan
disitulah aku mulai berbicara dengan mereka, disitu aku berkenalan dan bahkan bercanda
dengan mereka yang datang dan hal ini kulakukan dari sore hingga malam hari saat dagangan
Stand ku habis, proses berjualan tidaklah mudah sehingga ada berbagai konflik kecil yang
terjadi dan pada saat selesai aku memilih untuk menyendiri sebentar dan menyantap makan
malam yang sudah kusiapkan sendirian. Setelah membereskan barang-barang yang dipakai,
dan kembali untuk menghitung kembali penghasilan yang kudapat. Penghasilan yang kudapat
memang tidak besar namun kurasa cukup menutupi semua dan pada akhirnya sebagian besar
pendapatan yang kudapat hanyalah pengalaman. Memang tidak banyak tapi itu adalah
Api ambisiku masih membara, kelas 11 semester 2 adalah masa-masa krusial dimana
ini merupakan periode terakhir aku dapat bersantai dan akhirnya aku memutuskan untuk ikut
lomba lagi yang kembali difokuskan kepada mata pelajaran bahasa Inggris, aku mengikuti
pembelajaran tambahan dari guru bahasa inggrisku, dan belajar secara mandiri dikos, ambisi
ini menggerakanku namun disisi lain membuat tubuhku terlalu lelah untuk beraktivitas. Dan
datanglah hari pelaksanaan lombaku, dimana lagi aku tidak mendapatkan hasil yang
memuaskan, pada titik ini aku berpikir apakah diriku ini mampu bersaing dimasa depan nanti.
Bukankah lebih baik aku menjadi seorang yang pasif jika pada akhirnya menjadi aktif hanya
“Semua ini masih terlalu cepat, sayang sekali ini akan berakhir…..”
Aku sudah mencapai tahun ketiga pada masa SMA, aku sudah menjadi seorang senior
dan menempati diri dikelas 12. Melihat kembali perjalananku, aku merasa itu masih terlalu
singkat dan aku tidak semua ini berakhir dengan begitu saja. Ambisiku masih tetap ada walau
hanya berupa api kecil, dikelas 12 ini aku menjadi seseorang yang berbeda dengan diriku
yang sebelumnya. Aku dari menjadi seorang pelajar pemalas, turun lagi menjadi seorang
pengangguran pemalas namun kali ini halangannya bukan muncul dari sesuatu yang diluar
kendaliku, namun masalahnya adalah diriku sendiri dimana aku sudah tidak bisa
mengendalikan diriku lagi untuk bermalas-malasan dan cenderung apatis dengan apa yang
terjadi denganku.
Aku sendiri tak menyangka aku akan menjadi orang yang pasif, dan bahkan di kelas
12 aku mulai mendapatkan kebiasaan buruk mulai dari malas belajar, malas mengerjakan
tugas, dan akhirnya sering terlambat mengumpulkan tugas. Walau ambisiku masih ada,
namun ambisiku hanya mampu membawaku kepada komitmen ku dalam mengerjakan tugas
sekolah hanya jika Mood memihakku pada proses pengerjaan sehingga walau aku menjadi
seorang pemalas namun aku rasa tugasku tidak berbeda jauh karena diriku masih
menganggap bahwa tugas yang kukerjakan masih memiliki kualitas yang dapat diterima
karena setiap pengerjaan tugas yang kukerjakan biasanya dilakukan dengan hati-hati. Aku
sendiri tidak tau kenapa aku melakukan hal seperti ini. Mungkin aku hanya merasa bersalah,
sehingga tugasku tetap kukerjakan dengan baik walau sudah jatuh dalam kemalasan(Tapi
masuk kedalam perguruan tinggi sehingga tuntutan dari kelas 12 sebenarnya lebih besar
daripada kelas 10 atau 11, namun entah kenapa kemalasanku lebih besar daripada diriku pada
kelas 10 dan 11, atau aku hanya terlalu lelah karena energiku habis terkuras untuk
memuaskan api ambisi yang masih membara didalam hatiku pada saat itu. Pada masa ini juga
aku dikejutkan dengan fakta bahwa diriku, masuk kedalam peringkat 40 besar didalam
angkatan yang dihitung dari nilai akademis siswa sejak kelas 10 hingga kelas 12, dan aku
mendapatkan peringkat (sensor mas), sebuah peringkat yang sebenarnya tidak secara pribadi
aku sukai karena terasa terlalu rendah namun disisi lain aku harus menerima fakta ini dan
berusaha sekuat mungkin dengan apa saja yang kupunya didalam bekalku untuk masuk
SMA ini masih terlalu singkat, dinamika yang kurasakan masih sangat kurang. Aku
kurang siap dan kurang maksimal menjalani dinamika singkatku selama masa SMA ini,
selama hampir 3 tahun ini aku merasakan emosi yang kuat, perasaan senang, sedih, bangga,
kecewa, dan banyak perasaan lain yang kurasakan pada masa SMA ini atau lebih tepatnya
pada SMA Kolese De Britto karena berkat sekolah inilah aku mampu berkembang menjadi
orang yang lebih baik dan cerdas daripada diriku yang sebelumnya, memang tidak bisa
dipungkiri bahwa banyak ekspetasi atau harapan yang pecah namun disisi lain tanpa aku
sadari bahwa aku sudah berkembang jauh, bahkan melebihi diriku pada masa SMP dulu
dimana dulu aku adalah orang yang sangat pasif dan cenderung kurang cerdas atau “goblok”
menjadi orang yang cukup cerdas hingga mendapatkan peringkat eligible, walau peringkat
(sensor lagi) tidak setinggi dengan apa yang kuharapkan namun itulah hasil kerja kerasku
selama ini, walau tak sempurna namun itu sudah cukup bagus karena masih lebih banyak
orang lagi yang harapannya putus karena peringkatnya lebih rendah dari diriku.
Dinamika 3 tahun ini dipenuhi dengan banyak sekali kegagalan namun disitu aku juga
mendapatkan pengalaman berharga, dan faktanya adalah hidupku baru saja dimulai karena
SMA ini bukanlah akhir dan menjadi penghancur masa depanku namun merupakan batu
pijakan untuk masa depanku nanti, aku memang sedih dengan masa SMA yang singkat ini
namun aku sadar bahwa ambisiku untuk masa depan yang cerah hanya baru 1 lompatan kecil
dan masih banyak lagi lompatan yang harus ku lompati. Garis Finish sudah terlihat jelas
didepan mata, dan bekal masa depan sudah kusiapkan yaitu pengalamanku, namun pada
awalnya aku tidak menyadari bahwa ternyata sekolah ini ternyata sebuah Roller Coaster,
sebuah wahana dimana ada banyak masa aku akan mengalami naik turunnya dalam hidup,
terkadang sangat turun, terkadang sangat naik, dan terkadang ada diantara keduanya, namun
aku menyadari bahwa agar dapat melesat naik dengan cepat dan jauh, hidup memerlukan
momentum sebuah daya agar dapat mendorong manusia agar tetap maju dan alasan itulah
mengapa aku ditempatkan pada posisi yang turun ke naik, karena saat diriku naik disuatu titik
di suatu saat pula aku akan melesat tinggi melampaui ambisiku dan harapanku selama SMA.
Terima kasih SMA Kolese De Britto, kelak aku akan merindukanmu. “Ngaturaken sembah