Anda di halaman 1dari 9

AKU GENTO!

(GENERASI DE BRITTO)

“Bimbang Yang Sudah Lama Tertahan”

Bimbang, sebuah kata yang mengarah kepada keraguanku untuk menentukan pilihan. Di saat

itu, aku berada di kelas 9 dimana aku memiliki kewajiban untuk memilih Sekolah Menengah Atas

untuk pendidikanku. Aku Valent, seorang pemuda biasa yang belum memiliki pengalaman karena

sejak kecil aku berada di dalam lingkungan yang sama. Ditengah kebingungan tersebut, aku

teringat dengan cerita yang aku anggap unik dari orang tuaku dimana ada kakak sepupuku yang

sekolah di SMA Katolik Yogyakarta. Dalam cerita tersebut diceritakan bahwa sekolah tersebut

hanya berisikan laki laki dan murid muridnya dibebaskan oleh sekolahnya untuk berekspresi dan

yang paling membuatku tertarik adalah kata “boleh gondrong”. Diceritakan juga bahwa di SMA

tersebut juga diajarkan Pendidikan karakter yang bagus sehingga orang tuaku pernah

menyuruhku untuk masuk ke SMA tersebut, SMA tersebut bernama SMA Kolese De Britto. Sejak

mendengar cerita tersebut, aku menjadi tertarik dan mulai mencari tahu tentang SMA tersebut.

Aku beberapa kali bertanya kepada alumni SMPku yang masuk ke SMA Kolese De Britto tersebut

dan bertanya tentang bagaimana sekolah disana dan cara masuk SMA tersebut. Keinginanku

untuk masuk SMA Kolese De Britto sudah ada sejak aku berada di kelas 7. Sejak kelas 7 hingga

9 awal aku sudah mencari informasi informasi dan belajar menaikan nilaiku agar bisa diterima di

SMA tersebut. Hingga pada saat 2 minggu sebelum penerimaan siswa baru, aku mulai ragu

dengan pilihanku. Banyak orang orang yang menagatakan bahwa masuk ke SMA Kolese De

britto sangatlah susah karena pesaingnya ada ribuan dan isinya adalah anak anak pintar semua.

Aku ragu disana karena nilaiku pas pasan dan aku tidak begitu pintar, bisa dilihat pada saat uji

coba try out aku hanya berada di peringkat 28 dari 29 siswa karena aku malas belajar dan hanya
menjawab asal. Guru guru yang mengerti bahwa aku ingin masuk ke SMA Kolese De Britto

tersebut kebanyakan menertawaiku dan mengatakan bahwa aku tidak akan bisa masuk ke SMA

tersebut. Hal tersebut membuatku hilang semangat dan jatuh dalam kebimbangan. Aku mulai

pesimis untuk bisa diterima di SMA tersebut, hanya orang tuaku dan teman teman terdekatku

yang menyemangatiku. Hingga sampailah hari pendaftaran penerimaan siswa baru, aku

memutuskan untuk tetap mendaftar di SMA tersebut dengan pemikiran untuk mendapatkan

keinginanku yang sudah lama aku inginkan dan ingin memutar balikan omongan guru guru yang

menertawaiku.

“Euforia Kala Itu”

SMA Kolese De Britto menerima muridnya dengan cara memberikan Tes. Aku yang

berasal dari Klaten hanya bermodalkan niat dan percaya diri nekat untuk mendaftar di SMA

ternama tersebut. Aku hanya bersama 7 orang temanku yang berasal dari SMP yang sama

mendaftar bersama ke SMA tersebut. Setengah jam sebelum masuk ke ruangan tes, kami

berkumpul dan melihat lihat area SMA tersebut. Teman temanku pada sibuk belajar supaya bisa

mengerjakan tes, sedangkan aku hanya bermain hp dan foto di patung yang menjadi ikon SMA

Kolese De Britto. Aku mengerjakan soal tersebut sebisaku walau banyak yang salah tetapi aku

percaya dengan diriku. Setelah selesai tes akademik, aku melakukan tes wawancara dengan

santai dan berlangsung dengan lancar.

Satu bulan setelah melakukan tes pendaftaran, tiba saatnya pengumuman penerimaan

siswa baru. Waktu itu aku buru buru untuk pulang dan segera membuka website untuk melihat

apakah nomorku ada dalam daftar tersebut atau tidak. Saat aku lihat ada nomorku disana, aku

sangat senang hingga berlari ke ruangan orang tuaku untuk memberi tahu bahwa aku diterima di

SMA Kolese De Britto. Orang tuaku juga ikut senang karena aku bisa diterima di SMA ternama
di Yogyakarta. Keesekoan harinya, aku sampai di sekolah dan banyak sekali yang bertanya

apakah aku diterima dan mereka semua memberikan selamat kepadaku. Tidak semua teman

temanku yang mendaftar diterima di SMA Kolese De Britto tersebut sehingga hal tersebut

membuatku bangga karena aku bisa diterima dari ribuan siswa yang mendaftar di SMA tersebut.

“Keluar Dari Zona Nyaman”

Seperti yang sudah kukatakan, aku merupakan pemuda yang dari kecil hingga sekolah

menengah pertama berada di lingkungan yang sama sehingga hal tersebut membuatku kurang

paham tentang beradaptasi di lingkungan baru. Kala itu, kelas 10 dilaksanakan dengan cara

online sehingga membuatku tidak bisa berkomunikasi dengan baik dengan teman teman baruku.

Jujur aku mengalami ketakutan karena aku masuk di jurusan IPS dimana teman temanku diterima

di MIPA sehingga aku di IPS sendirian tanpa ada kenalan satupun. Pada zaman itu, aku masih

sering bermain dengan teman SMPku sehingga aku tidak fokus untuk berkomunikasi dengan

teman SMAku. Kegiatanku pada saat itu hanyalah kelas online, tidur , bermain game, menonton

film. Temanku di kelas 10 sangatlah sedikit karena aku masih terikat dengan zona nyamanku

dimana itu berisikan teman teman SMPku. Hal tersebutlah yang menjadi penyesalanku karena

tidak ingin keluar dari zona nyaman dan malah memilih untuk berteman dengan teman SMP saja

sedangkan teman di SMA hanya untuk menjadi formalitas saja menurut saya.

Tidak terasa, kelas 10 sudah berakhir dan aku dinyatakan naik ke kelas 11. Pada saat itu

aku memiliki pemikiran untuk berubah. Berubah yang kumaksud adalah untuk keluar dari zona

nyaman dan mulai bergaul dengan teman teman SMA. Aku mulai berdinamika dengan teman

teman di kelas 11 walaupun masih online, aku sering bermain game bersama dan mengobrol

hingga larut malam. Karena pemikiran dimana jika aku seperti ini terus, aku tidak bisa berekspresi

seperti diriku biasanya dimana bisa bercanda dan bergaul dengan banyak teman dan aku berniat
untuk menemukan teman yang sefrekuensi denganku di SMA ini. Karena itulah di kelas 11 aku

sering bermain keluar dan nongkrong dengan teman temanku hingga saat ini.

“Nirwana Nan Indah Yang Sebentar Lagi Hilang”

Dinamikaku bersama teman teman SMA bisa kukatakan sebagai Nirwana karena aku

akhirnya menemukan “rumahku” karena di SMA ini teman teman yang kudapatkan selalu

mendukung dan bisa membuatku untuk bebas berekspresi tanpa ada rasa tidak enak atau malu

karena semua teman teman di SMA ini adalah cowo semua sehingga tidak ada hambatan untuk

tidak menunjukan jati diri dan ekspresiku. Banyak pengalaman pengalaman berdinamika

bersama teman teman SMA ini yang membuatku memiliki pemikiran baru dimana teman SMA ini

lebih solid dibandingkan dengan teman SMP dan hal tersebut merupakan fakta menurut saya.

Karena jika aku sedang kesusahan teman SMA pasti ada dan sebaliknya. Dinamikaku bersama

teman teman ini memang tidaklah lama tetapi dinamika yang aku alami sangatlah terasa dan

menjelaskan apa arti “Brotherhood” itu.

Pada kelas 10, kami memang belum mengenal satu sama lain dan ditambah aku tidak

memiliki banyak teman sama sekali. Waktu itu ada seorang anak yang mengajak untuk pergi

holid ke pantai. Aku merasa tertarik dengan agenda acara tersebut dan aku akhirnya

memutuskan untuk mengikuti acara tersebut. Aku berangkat dari Klaten pukul 06.30 dan berada

di titik kumpul jam 08.00. Setelah semua berkumpul kami langsung menuju ke pantai yang sudah

ditentukan. DI perjalanan aku memiliki pengalaman yang memalukan karena aku menabrak dan

hampir jatuh ke jurang karena terlalu fokus pada kamera sehingga aku terjatuh dan motorku

hampir masuk ke jurang. Banyak teman teman dan angkatan 22 yang menolongku, disana aku

sangat malu. Sesampainya di Pantai kami bermain air dan bersenang senang bersama sehingga
hal tersebut membuat angkatan 23 ini menyatu. Itulah pengalaman kelas 10ku yang membekas

hingga saat ini.

Kelas 11 merupakan tahun pertama aku merasakan pelajaran offline selama aku

bersekolah di JB. Aku masuk ke kelas 11 dan langsung berbincang dan bercanda dengan teman

temanku di kursi belakang. Aku di kelas 11 IPS 1 selalu duduk di paling belakang karena ingin

tidur dan karena kebanyakan teman temanku berada di kursi belakang juga. Setiap pelajar aku

selalu mengobrol dengan teman kananku bernama Bopeng, Devan, Clemen dan Burhan. Setiap

hari selalu kursiku berada di posisi yang sama karena sudah dipesan dan sekelas sudah tahu

jika kursi itu selalu aku pakai sehingga aku selalu santai jika masuk ke kelas. Hingga pada suatu

hari aku berada di pelajaran Indonesia, aku dan Bopeng mengobrol dengan suara yang kencang

tanpa disadari seisi kelas tenang dan ada merah merah dimataku dan Bopeng. Ternyata kami

berdua diberi peringatan melalui mata kami yang dilaser menggunakan laser pointer disana aku

dan Bopeng hanya tertawa dan meledek gurunya dan akhirnya kami dimarahi. Pengalamanku di

kelas 11 lebih ke dinamika kelas karena setiap harinya kami selalu berbincang di belakang dan

jika pulang kami selalu nongkrong di kos teman kami bermain FIFA hingga mau diusir pemilik kos

kosan.

Kelas 12 adalah masa dimana aku memiliki dinamika yang paling memorable menurutku.

Karena pada kelas 12 ada event DBL dan itu membuat aku dan teman teman berkontribusi untuk

menyiapkan keperluan supporter Debritto. Disana aku berkontribusi sebagai panitia tiket

sehingga aku bersama temanku Salyo mengatur untuk menjual tiket kepada murid JB, alumni JB

dan jika sisa dijual ke publik. Sebelum event mulai, kami membuat koreo bertuliskan

“MENTALITA” dengan background macan karena macan merupakan sebutan JB yaitu macan

demangan. Proses pembuatan koreo bukan dari angkatan 23 saja melainkan ada angkatan 24

dan 25 yang juga membantu. Kami selalu mengerjakan Koreo hingga larut malam selama

beberapa minggu karena kami niat untuk mensupport tim basket Debritto. Banyak keringat yang
dibuang untuk membuat koreo tersebut, banyak tenaga untuk menggerakan 3 angkatan supaya

bisa menanyikan chants untuk supporteran di tribun, banyak permasalahan yang kami hadapi

mulai dari debat membuat koreo dan mengajukan permohonan ke sekolah untuk mengadakan

supporteran tersebut. Ada suatu moment yang membuatku kecewa dengan kepemimpinan di JB

ini karena tradisi JB saat supporteran adalah long march jalan dari sekolah hingga Gor UNY, kami

juga menginginkan tradisi tersebut dan sudah mendiskusikan dengan Romo dan Kepala Sekolah.

Tetapi jawaban yang saya dapatkan dari Kepala Sekolah sangatlah tidak masuk akal dan

sangatlah konyol menurut saya. Pak Catur mengatakan jika jalan ke GOR UNY akan membuat

kemacetan, tetapi dari saya sendiri yang sudah mendiskusikan dengan panitia DBL dimana kami

akan dibantu polisi DIY untuk membuat laju lalu lintas tidak macet. Berbagai argumen sudah saya

katakan untuk membuat tradisi tersebut tetap berjalan, tetapi respon kepala sekolah sangatlah

bebal dan membuat saya kecewa. Dan pada akhirnya kami mengalah dan menjadikan GOR UNY

sebagai titik kumpul. Tibalah pada hari pertandingan pertama melawan MAN 1. Saya dengan

semangat mendukung tim basket dengan ekspektasi menang karena melawan negeri bosokan

sehingga saya sangat semangat menyaksikan JB menang, tetpai pada hasilnya JB harus

mendapatkan kekalahan yang memukul hati saya beserta teman teman yang sudah semangat

mendukung sehingga ada air mata yang terteteskan dan ada hati yang patah semangat karena

kekalahan yang didapatkan.

Itulah cerita cerita dinamikaku bersama temanku yang akan kukenang hingga esok hari

karena menurutku pengalaman tersebut adalah pengalaman yang mengukir rasa di hati karena

rasa kebersamaan yang baru aku rasakan dan pertama kalinya aku menyukai sekolahku. Banyak

perasaan campur aduk karena jika menceritakan seperti ini membuat rasa sedih karena jika

diingat pengalaman tersebut seperti beberapa bulan lalu tetapi nyatanya waktu terus berlalu

hingga membuat pengalaman pengalaman tersebut cepat rasanya.


“Waktu Yang Terus Berjalan”

Sedikit keluh kesahku beberapa waktu ini, dimana teman teman sudah fokus untuk

memasuki Universitas yang diinginkan. Ada beberapa yang sudah diterima SNM dan ada yang

gagal. Aku tidak memikirkan itu karena aku sudah diterima di Univ yang aku inginkan sejak

Agustus 2022. Tetapi aku selalu mendukung teman temanku yang ingin masuk ke Univ yang dia

inginkan. Selalu aku berpikir seperti “kok cepetmen yo rasane cok?” kepada teman teman

dekatku. Dijawabnya dengan “yo pie neh su, siap ra siap kudu siap e”. Mendengar kata tersebut

memang benar bahwa kita mau tidak mau harus merelakan karena tidak semuanya bisa berjalan

sesuai dengan apa yang kita mau. Jika sedang nongkrong dan tiba tiba ada yang membahas

seperti ini pasti aku akan berkata “hahaha, kelingan rak biyen awak dewe tau nenggel mobil ngasi

bemper e ambyar”. Pengalaman bodoh itu selalu aku ingat dengan temanku bernama Radit. Kami

berdua ceritanya sedang perjalanan balik sehabis beli cilok, aku menyetir motorku melalui pos

polisi UIN, karena kukira tidak akan ada polisi jam segini. Nyatanya ada polisi dan aku panik

karena motorku tidak ada spionnya, karena panik aku tidak sadar dan mengeggas motorku

dengan kencang dan akhirnya kami berdua terbang terpental dari motor karena menabrak mobil.

Respon pertama yang aku lakukan adalah pura pura pingsan karena malas harus menukar duit

yang banyak karena merusak mobil dan temanku luka parah karena terseret motorku. Itu adalah

pengalaman yang sangat bodoh tetapi lawak jika diceritakan. Banyak pengalaman pengalaman

yang aku dan temanku ceritakan jika ada topik pembahasan tentang waktu kami yang sebentar

lagi pisah.

“Disatukan oleh Pendidikan, Dipisahkan oleh Masa Depan”.

Quotes yang menurutku sangat mengena dan sangat pas dengan keadaanku saat ini.

Tidak disangka waktu berlalu dengan cepatnya dan kamipun harus berpisah satu per satu karena

harus mengejar masa depan dan impian kami masing masing. Memang benar kami selamanya
tidak bisa bersama karena harus dipisahkan melalui pendidikan, tetapi sedih rasanya karena baru

dirasa kemarin kita kenal dan sekarang kita akan pisah. Tinggal hitungan hari kami akan

menyelesaikan Ujian Sekolah dan akan tiba waktunya kami melakukan perpisahan. Aku yang

akan lanjut studi di Surabaya, teman temanku yang lanjut di Malang dan ada juga temanku yang

menetap di Jogja. Banyak kenangan kenangan yang akan tersimpan olehku karena perasaan

yang kudapatkan selama 3 tahun bersekolah di SMA ini bukanlah waktu yang singkat sehingga

pasti akan tetap terkenang bagiku. Dan mau tidak mau kita harus siap dengan keadaan yang

dimana kami akan berpisah setelah lama berdinamika bersama.

“Ad Maiorem Dei Gloriam!”

Dari SMA Kolese Debritto aku belajar banyak, bukan hanya pelajaran tetapi rasa

persaudaraan yang memang nyata. Awal masuk aku hanya berpikir dimana brotherhood tidak

akan terasa karena banyak orang orang yang tidak saling mengenal. Tetapi karena adanya acara

pergi holid bersama, acara event tertentu seperti DBl dan acara di sekolahan seperti HUT

Kemerdekaan dan HUT JB STECE, rasa persaudaraan tersebut menjadi terasa. Tidak akan ada

teman yang sesolid SMA menurut saya. Kami datang sebagai orang awam dan pulang sebagai

saudara. Saya merasa senang karena saya bisa diterima di SMA ini karena akhirnya saya

mendapatkan pengalaman baru yang mungkin tidak akan didapatkan jika saya tidak SMA di JB.

Banyak teman teman baru dan banyak culture baru yang sangat berbeda dengan SMP saya.

Budaya burjo, budaya pasturan dan lain lain tidak bisa ditemukan di sekolah lainnya. Itulah

mengapa saya senang di SMA Kolese De Britto. Yang saya sesalkan adalah mengapa waktu

kelas 10 saya tidak bergaul dan berdinamika bersama teman teman karena saya akhirnya sadar

jika saya mebuang 1 tahun sehingga dinamika saya bersama teman hanya bisa dibilang 2 tahun.

Selain itu hal yang saya sedikit kecewa adalah waktu yang sangat cepat berjalan. Hal tersebut
membuat kami harus hilang satu per satu demi meraih masa depan kami masing masing.

Memang tidak salah untuk meraih masa depan tetapi hanya ada rasa kecewa dan sedih karena

harus ditinggal dan harus meninggalkan teman teman. Memang tidak selamanya bisa bertemu

tetapi kami pasti akan kembali bertemu di tempat pertama kali kami bertemu, SMA Kolese

De Britto. Ad Maiorem Dei Gloriam!

“Kabeh koncoku gayeng kabeh!”

Anda mungkin juga menyukai