Anda di halaman 1dari 3

FLAVIO GIANCARLO DE SAVIOLA 202001020129 KELOMPOK PK 21

Unggul. Sebuah kata yang bisa dengan mudah disalahartikan, bisa dengan mudah dikuasai
dengan ego diri kita sendiri. Ketika mendengar kata itu, yang pertama terlintas di pikiran saya adalah
“menang”. Ternyata oh ternyata, kata tersebut tidak sesempit pikiran saya. Unggul memuat arti yang
jauh lebih kompleks dari hanya sekadar menang. Setidaknya itulah yang saya dapatkan saat pertama
kali mendengan podcast yang dibawakan oleh dua host yang sangat interaktif dan tidak monoton.
Jujur saya setuju dengan arti unggul yang disampaikan dalam podcast tersebut.

Lalu, muncul di layar saya sebuah notif tugas dari kelompok pengenalan kampus. Lelah?
Lelah. Pada kondisi pandemi ini, kadang saya merasa, tugas menjadi suatu pelampiasan.
Pelampiasan yang sudah tidak lagi relevan. Digunakan untuk alasan mengecek sejauh mana
mahasiswa atau pelajar mampu mengikuti materi yang dibawa. Padahal, siapa yang mengerjakan
tugas tersebut pun, tidak diketahui secara pasti. “Aku Pernah Unggul” itulah judul dari tugas
tersebut. Saya diminta untuk menceritakan sebuah pengalaman yang mengandung nilai Unggul dari
KUPP Atma Jaya. Terlintaslah di benak saya, “Pernah gak ya, gua unggul?”. Mungkin Kakak
pendamping yang akan membaca refleksi ini, sudah tahu bahwa, dalam tugas tersebut, saya
mendeskripsikan hidup saya sebagai grafik saham. Mudahnya, sekali turun sangat drastis, sekali naik
sangat tinggi. Tetapi, tentulah saya pernah unggul.

Akhirnya, setelah menghabiskan beberapa detik hingga menit berpikir, saya memutuskan
untuk menceritakan pengalaman saya secara kronologis, tepatnya, dari saya SD. Di sini, saya sangat
jujur bahwa, saya sangat jauh dari kata unggul. Tepatnya, saya hanya menjalankan hidup saya
dengan pedoman, “Yah, jalanin aja”. Saya langsung diserang oleh rangkaian memori yang menampar
saya di pipi kanan. Saya ingat dengan jelas bahwa, dulu saat saya masih duduk di bangku SD, saya
sangat tidak ‘menyala’. Teman-teman saya ada yang pintar secara akademik, ada yang jago olahraga,
sedangkan saya, hanya seorang siswa yang suka makan dan menikmati hidup. Tetapi, disitulah juga
saya teringat jelas bahwa, saya memiliki hobi yang cukup unik, hobi yang jarang sekali dimiliki oleh
anak seumuran saya. B-boying, atau lebih dikenal sebagai break dancing. Tetapi, apakah saya sudah
unggul hanya dengan memiliki keahlian di bidang yang tidak ditekuni orang lain? Itulah yang muncul
di benak saya ketika menuliskan pengalaman saya. Saya sadar bahwa, di situ, saya belum unggul.
Saya hanya sekedar memiliki kemampuan yang unik. Saya belum memiliki tanggung jawab, saya
belum transformatif, saya tidak berusaha mengeksplor diri saya lebih dalam. Singkatnya, hidup saya
masih seputar apa yang saya inginkan dan bagaimana saya menjalankannya.

Akhirnya, saya berusaha untuk menguras otak saya lebih dalam sambil secara terus-menerus
bertanya, “Kapan ya, gua pernah unggul?”. Seketika, kepala saya seperti tersambar kilat memori.
Saya teringat momen di mana saya benar-benar mulai berproses menjadi pribadi yang unggul. Ketika
saya menduduki kelas 6 SD. Walaupun pada saat itu saya sudah hidup selama sekitar 12 tahun, saya
merasa saya agak aneh. Mengapa? Karena saya jarang mempunyai target atau mimpi. Saya ingat
dengan jelas bahwa saya benar-benar hanya menjalankan hidup karena saya hidup. Tetapi, pada
kelas 6 SD itulah saya tiba-tiba memiliki suatu tujuan. Saya ingin masuk ke sekolah dengan kurikulum
internasional. “Loh, kok tiba-tiba?”. Ketika menuliskan pengalaman tersebut, saya ingat jelas kalua,
saya ingin masuk ke sekolah internasional karena bagi saya, berbicara Bahasa Inggris dalam
kehidupan sehari-hari itu keren. Saya tahu dan sadar, alasan saya mungkin sangat childish.
Setidaknya, Kakak pendamping yang akan membaca ini, tahu bahwa saya 100% jujur berefleksi.
Dengan demikian, saya mulai menuliskan pengalaman saya ketika saya berusaha untuk bisa masuk
ke sekolah internasional. Saya teringat jelas bahwa pada saat itu saya sangat diremehkan oleh
FLAVIO GIANCARLO DE SAVIOLA 202001020129 KELOMPOK PK 21

teman-teman saya. Yah, sejujurnya, saya sangat mewajarinya karena saya bisa dibilang berada di
ranking menengah ke bawah pada saat itu, dan Bahasa Inggris, bukanlah suatu kemampuan yang
dapat dengan mudah dipelajari. Tetapi, saya ingat sekali bahwa orang tua saya sangat supportif
dengan keputusan saya. Jujur, perasaan saya di sini sangat bercampur, di satu sisi saya senang
karena setidaknya mendapatkan respon positif dari orang tua, tetapi di satu sisi, saya sangat
bingung. Bagaimana cara saya bisa belajar, mengingat, saya tidak mungkin bisa membebani orang
tua saya dengan bimbel atau les yang biayanya sangat naujubilah. Bingung sekali, bingung. Saya
sempat hampir menyerah dan ingin mengubur keinginan saya. Tetapi, saya ingat sekali, ketika
hampir menyerah, di situ saya malah berusaha kabur dari masalah dan main video game. Saya
bermain Final Fantasy XII di konsol jadul Playstation 2. Ketika sedang bermain, tiba-tiba terlintas di
pikiran saya, “Ini game kan bahasanya Inggris, kenapa gua gak belajar dari sini aja ya?”. Di situlah
perjalanan saya belajar Bahasa Inggris dari media yang terbatas di mulai. Saya sangat ingat saya
menyiapkan satu buku yang isinya merupakan dialog, kalimat, dan kata yang ada di game tersebut.
Tetapi, bagaimana bisa saya mengartikan arti dari Bahasa Inggris tersebut, mengingat, saya belum
mempunyai gadget atau semacamnya. Solusi saya ini, menurut saya, sangat memaksa. Tetapi, saya
berpikir bahwa, “Yah, kalau gak gini, gimana lagi?”. Jadi, saya memutuskan untuk meneror kakak
laki-laki saya setiap hari untuk mengartikan setiap kalimat dan dialog yang saya catat tersebut.
Bahkan, saya juga menambah catatan tersebut dari acara TV anak yang ditayangkan setiap jam 3
sore. Walaupun terlihat sangat memaksa, di situ saya tersadar. “Oh, ternyata gua pernah unggul
juga ya.” Mengapa saya bilang itu termasuk unggul? Karena sesuai dengan nilai unggul dalam KUPP,
di sini saya sudah menjadi pribadi yang transformatif, saya ingin berlajar terlepas dari keterbatasan
yang saya miliki. Saya juga mulai menyadari tanggung jawab saya sebagai seorang pelajar, dan
tanggung jawab saya untuk mengembangkan diri sendiri. Saya mulai menjadi kritis dan eksploratif,
serta menjadi cerdas secara emosional dan spiritual. Ini terbukti dari bagaimana saya bisa kritis
dalam mengeksplorasi solusi dari keterbatasan yang saya miliki ketika ingin menguasai Bahasa
Inggris.

Sejujurnya, ketika saya selesai menuliskan pengalaman saya mengenai bagaimana saya ingin
masuk ke sekolah internasional, saya juga teringat bahwa, sejak saat itu, menjadi unggul seketika
menjadi habitus saya. Saya melanjutkan kebiasaan tersebut sampai ke bangku SMP bahkan SMA,
bahkan bisa dibilang, sampai saya menulis refleksi ini. Ketika saya duduk di bangku SMP dan SMA,
saya senantiasa selalu berusaha untuk mengembangkan ilmu saya dari keterbatasan yang saya
miliki. Belajar lewat teman, Youtube, bahkan guru atau teman dari sekolah lain juga pernah. Saya
juga tidak pernah sekalipun tidak mengikuti kegiatan organisasi. Di sini lah, muncul di benak saya,
“Oh, jadi gini ya, rasanya jadi unggul.” Kalau boleh jujur, saya merasa, unggul dalam nilai KUPP juga
menyuarakan pentingnya menjadi pribadi yang konsisten dan berkomitmen, dalam artian,
berkomitmen menjadi unggul. Dan menurut saya, ini sudah saya ekspresikan dalam pengalaman
yang saya ceritakan tadi.

Dari pengalaman saya, saya bisa mengatakan bahwa, dorongan untuk menjadi unggul sering
muncul di hadapan saya, setidaknya, sejak saya mulai bertekad ingin masuk ke sekolah internasional.
Sejak saat itu, saya sering kali termotivasi untuk terus mengembangkan diri, teringat akan tanggung
jawab saya, dan merasa bahwa, belajar adalah suatu proses yang menyuarakan konsistensi dan
komitmen. Jujur, sejak saat saya menjadi pribadi yang unggul, atau setidaknya, terdorong untuk
menjadi unggul, saya merasa bahwa, saya selangkah lebih bermakna. Saya merasa bahwa diri saya
berarti. Bahwa diri saya memiliki value. Value ini bagi saya, memberikan suatu makna bahwa,
FLAVIO GIANCARLO DE SAVIOLA 202001020129 KELOMPOK PK 21

seseorang tidak dinilai semata-mata dari apa yang dia miliki, tetapi lebih dinilai dari apa yang sedang
ia usahakan untuk miliki. Value ini selalu senantiasa saya pegang dalam kehidupan saya. Manfaat
dari value ini sangat saya rasakan ketika saya diserang oleh rasa minder, dan sebagainya. Ketika saya
mulai minder, saya selalu diingatkan bahwa, bukan berarti orang lain hebat, value saya lebih rendah.

Anda mungkin juga menyukai