Sewaktu pulang ke Indonesia setelah menyelesaikan S2 di University of Manchester tahun 2012, saya sempat memberikan sebuah workshop bersama seorang dosen saya S1 dulu. Kami sama-sama masih fresh, saya baru pulang dari Inggris dan beliau baru menyelesaikan studinya di Amerika. Dalam kesempatan itu, ada satu hal yang beliau ceritakan dan masih saya ingat sampai sekarang. Beliau bilang,” Saya itu pernah ditanya, mam ke Amerika pakai beasiswa ya? Dibiayai semua ya? Wah, enak sekali mam. Bisa jalan-jalan gratis ke negara orang. Saya mau sekali kalau seperti itu, mam”. Dosen saya itu langsung menanggapi,” Kamu pikir beasiswa itu untuk jalan-jalan? Senang-senang? (Beasiswa) Itu duit orang, tau nggak? Dan jumlahnya tidak sedikit. Mereka memberikan kepercayaan kepada orang yang dibiayainya. Masa, uang dan kepercayaan orang digunakan untuk kesenangan pribadi sih”. Cerita dari dosen saya ini ingin mengingatkan pada teman-teman yang sedang berjuang meraih beasiswa untuk studi ke luar negeri bahwa meraih beasiswa itu bukan untuk gaya-gayaan; jalan-jalan, pamer foto, dan lain sebagainya. Ada tanggung jawab yang besar dibaliknya. Jumlah uang beasiswa itu tidak sedikit. Kalau digunakan untuk menyekolahkan anak-anak di Indonesia, bisa ratusan atau mungkin ribuan yang bisa sekolah dengan uang itu. Tapi, mereka putuskan untuk diberikan kepada kita. Tentu, mereka berharap kita bisa memberikan manfaat yang lebih besar pada lebih banyak lagi orang lain yang tidak bisa dicapai oleh uang beasiswa yang kita dapatkan. Milikilah mental seorang scholar sebelum menjadi seorang scholar. Sembari berusaha meraih beasiswa, bangun mental dan karakter seorang penerima beasiswa. Yang bagaimana maksudnya? Mulai berpikir tentang bagaimana bisa memberi manfaat untuk orang lain. Sadari bahwa harus memberikan timbal balik atas beasiswa yang sudah didapat; bukan kepada pihak beasiswanya, tetapi pada orang lain. Boleh punya keinginan untuk mengunjungi sebuah tempat, tetapi menyadari bahwa itu hanya sekedar bonus saja atas keberadaan diri di negara lain. Karakter seorang penerima beasiswa itu lebih mengutamakan ilmu dan kebermanfaatan untuk orang lain. Tidak mudah putus asa karena studi di luar negeri tantangannya bukan hanya tentang bahasa, tetapi juga budaya dan sistem pendidikan yang berbeda. Punya visi, selalu melakukan refleksi diri. Menjaga kejujuran dan komitmen. Tekun dan pekerja keras dalam berkarya, bukan kebanyakkan bicara tanpa fakta. Yang terpenting adalah tidak membiarkan keterbatasan yang ada membatasi ruang geraknya. Selalu ada jalan kalau terus mencari. Mental dan karakter seorang scholar ini dibangunnya bukan saat sudah mendapatkan beasiswa nanti, melainkan dari sekarang. Kalau kalian lihat penerima beasiswa, tiap-tiap dari mereka mempunyai karakter tersendiri, berbeda, tapi terlihat kalau karakternya bukan karakter yang ecek-ecek. Kalau kalian gali cerita bagaimana mereka bisa mendapatkan beasiswa, pasti ada satu kesamaan, yaitu perjuangan yang menuntut ketekunan dan kerja keras. Jadi, dapat beasiswa itu bukan untuk gaya-gayaan. Buang jauh-jauh pikiran ini. Hindari menentukan negara tempat studi hanya karena ada tempat wisata yang ingin dikunjungi, namun mengabaikan tujuan dari studinya. Derajat seseorang ditinggikan Tuhan ketika niatnya untuk menuntut ilmu. Setelah dapat beasiswa, kita tidak otomatis menjadi manusia yang luar biasa, kecuali berusaha keras untuk berkarya. Kalau ilmu dan kebermanfaatan yang dikedepankan, Tuhan mungkin akan menjalankan kita lebih dari yang kita inginkan. —- Budi Waluyo Inspirasi My Own Way… Masih jelas teringat sewaktu kelas 1 SD dulu nyaris tidak naik kelas gara-gara jumlah merah yang banyak. Untung di Catur Wulan ketiga merahnya turun jadi dua; jumlah minimal mau naik kelas. Naik SMP dan SMA, saya bukan siswa yang terbaik dikelas walaupun masuk rangking 10 besar. Masuk S1, wah, banyak teman-teman sekelas yang IPKnya lebih tinggi. IPK saya mah buat cum laude aja nggak cukup, hee.. Yang saya ingin sampaikan adalah terkadang kita membandingkan diri kita dengan teman sekelas, sekampus, atau setempat kerja. Jelas sekali terlihat bahwa kita bukan yang terbaik; banyak yang otak atau kemampuannya jauh diatas kita. Kalaulah ada sebuah kesempatan datang, kita langsung berpikir bahwa mereka-mereka yang terbaik inilah yang akan menang, terpilih atau mendapatkan kesempatan itu duluan. Tapi, kita jangan lupa juga bahwa yang memenangkan sebuah pertempuran terkadang bukanlah yang terkuat. Dipertandingan sepak bola, tim yang dipenuhi pemain kelas dunia dengan bayaran gaji yang besar bisa saja kalah dengan tim yang biasa saja. Kita tidak pernah menyangka kalau seorang perempuan yang dilarang bersekolah di Pakistan akan memenangkan sebuah Noble Prize internasional, mengalahkan pemimpin-pemimpin termuka di berbagai negara. Cerita ini bisa terus dan terus berlanjut kalau mau. Seorang teman dekat saya pernah bilang,”Sebuah kemajuan yang dilakukan oleh orang lain bukan berarti sebuah kegagalan bagimu”. Kita sering membandingkan apa yang kita miliki atau telah lakukan dengan yang dimiliki dan dilakukan oleh orang lain. Disaat kita lebih rendah atau lebih sedikit, biasanya langsung ciut, minder, dan lain-lain sampai kadang ada perasaan iri. Setiap orang punya jalan hidupnya sendiri. Jauh sebelum kita lahir ke dunia, semua catatan hidup kita sudah diselesaikan Tuhan, dari lahir sampai meninggal nanti. Kita hanya perlu berusaha sebaik mungkin, tekun, disiplin, dan kerja keras untuk hal yang kita ingin capai. Tidak perlu pikirkan kalau teman atau saingan kita yang lain lebih baik atau tidak dari kita kalau itu membuat kita merasa lemah. Rencanakan semuanya dengan baik. Buat persiapan sematang mungkin. Perhitungkan kemampuan diri dan semua kemungkinan yang bisa dilakukan agar bisa terus memperbaiki kualitas diri. Pelajari hal-hal yang bisa menambah nilai pribadi. Banyak membaca dan belajar dari pengalaman orang lain. Akui kelemahan yang dimiliki, namun terus mencari solusi untuk menutupinya dengan jalan yang lain. Sibuk mengkhawatirkan tentang kalah atau menang, gagal atau berhasil, kadang membuat kita lama berhenti. Lebih baik fokuskan semua yang dimiliki untuk berjuang meraih apa yang diimpikan. Tanamkan dalam diri,” Mungkin banyak yang lebih baik dari saya, tapi saya akan tunjukkan apa yang membuat saya lebih baik dari mereka. I will keep moving forward. No matter what it takes, I will keep on trying. I have my own way..! I have my own way..!!” Itu yang selalu saya tanamkan ke diri sendiri ketika melamar beasiswa S2 dan S3 lalu. Makanya, saya bisa bertahan sampai akhir dan bisa meraihnya. Tugas kita bukan untuk meyakinkan manusia, melainkan “meyakinkan” Tuhan, dalam bahasa kita sebagai manusia, kalau kita pantas untuk mendapatkan sesuatu yang diimpikan itu.