Anda di halaman 1dari 3

FLAVIO GIANCARLO DE SAVIOLA 202001020129 KELOMPOK PK 21

Sebelum saya memulai refleksi ini, saya ingin jujur terlebih dahulu. Kadang, masih sering
saya merasa bahwa, saya belum menjadi pribadi yang benar-benar menghidupi nilai peduli.
Setidaknya, tidak secara lengkap. Mungkin saya menghidupi beberapa nilai, seperti menyuarakan
pentingnya dan indahnya pluralisme dan meninggikan sikap toleransi. Tetapi, saya merasa diri saya
belum begitu peduli terhadap orang lain, terutama mereka yang menjadi bagian dari kaum marjinal.
Saya juga merasa bahwa saya belum begitu peduli terhadap lingkungan. Saya masih sering
mengadopsi pendirian bahwa, “Hidup ini tersentral pada diri saya”. Singkatnya, saya mengaku dan
jujur bahwa saya masih sering menjadi pribadi yang egois. Mengapa? Karena sering kali saya merasa
bahwa, berbuat baik atau peduli terhadap orang lain, cenderung tidak memiliki implikasi yang
bermanfaat bagi diri saya secara langsung. Saya sering merasa bahwa, “Kalau bisa membantu untuk
diri sendiri, kenapa harus membantu orang lain?” Selain itu, saya juga sering membaca dari
beberapa sumber mengenai paham egoisme. Banyak ahli yang mengatakan bahwa, semua tindakan
yang kita lakukan, terlepas dari itu untuk orang lain atau bukan, pasti tetap didorong karena alasan
cinta diri. Singkatnya, meskipun kita membantu orang lain, sebenarnya, kita hanya ingin memenuhi
ego kita sendiri. Tetapi, apakah itu 100% benar? Pada saat saya menulis kalimat ini, saya mulai
berusaha memikirkan, “Apakah pernah saya melakukan suatu tindakan yang menunjukkan
kepedulian saya terhadap orang lain?” Saya berpikir, “Apakah saya memang benar orang yang tidak
memiliki kepedulian?”.

Yap. Akhirnya saya teringat oleh salah satu pengalaman yang setidaknya memberikan sedikit
harapan bagi saya, bahwa saya juga adalah pribadi yang peduli. Pada saat itu, saya ingat bahwa saya
berada di dalam pesawat kelas ekonomi. Saya habis berlibur dengan keluarga saya dari Singapur dan
ingin kembali ke Tanah Air tercinta. Perjalanan saya di pesawat, sejujurnya sangat biasa-biasa saja.
Sedikit guncangan, AC yang sangat dingin, dan orang yang suka duduk dengan mendorong
bangkunya ke belakang, hingga mengenai kepala saya. Perjalanan itu memakan waktu sekitar kurang
lebih 1 jam. Sangat singkat. Saya duduk bersama dengan teman saya yang ketika itu ikut pergi
berlibur dan seorang wanita paruh baya yang tidak saya kenal. Saya ingat, dari sejak awal pesawat
ingin lepas landas, wanita tersebut terlihat memiliki gangguan kesehatan, seperti pusing dan ingin
muntah. Jujur, saya merupakan orang yang sangat tidak suka untuk ikut campur, karena menurut
saya, ikut campur hanya akan membuang-buang waktu saya. Selain itu, saya juga tumbuh
berkembang dalam keluarga yang membudayakan sikap untuk jangan dengan mudah berusaha
untuk ikut campur. Jadi, saya tetap fokus untuk menikmati 1 jam perjalanan singkat saya di pesawat
yang megah ini. Saya ingat dengan jelas saya tertidur selama 30-45 menit. Ketika saya membuka
mata, saya cukup kaget. Bisa dibilang, shock. Wanita tersebut terlihat sangat pucat, bagaikan susu
yang baru diperas dari induk sapi. Dia terlihat seperti ingin pingsan. Pada detik itu juga, saya ingat
bahwa, saya sudah melepaskan semua anggapan atau asumsi yang saya miliki, dan langsung
bertindak dengan menanyakan keadaan wanita tersebut. Teman saya pun juga ikut terbangun dan
kaget, dan segera membantu saya untuk mempertahankan kesadaran wanita tersebut. Saya tidak
berpikir panjang, tidak peduli apa komentar dan respon dari orang tua dan keluarga saya, dan segera
mencari tahu, apakah ada yang mengenal wanita tersebut. Ternyata, ada. Kebetulan, beliau pergi
bersama dengan ibunya. Saya langsung memanggil ibunya dan juga langsung berusaha memanggil
awak pesawat yang ada di sekitar bangku saya. Karna kami naik pesawat internasional, awak
tersebut tidak paham Bahasa Indonesia, begitupun juga ibu dari wanita tersebut tidak memahami
Bahasa Inggris. Sehingga, saya mendapatkan peran sebagai komunikator antara dua pihak
berkepentingan ini. Kondisi cukup berantakan. Banyak penumpang yang heboh sekaligus kepo. Saya
FLAVIO GIANCARLO DE SAVIOLA 202001020129 KELOMPOK PK 21

tetap berusaha untuk memastikan, keluhan yang disampaikan oleh wanita tersebut tersampaikan
dengan jelas dan diterima oleh telinga awak pesawat. Awak pesawat pun segera memberikan
pertolongan pertama. Untungnya, pada saat itu, pesawat sudah sangat dekat dengan bandara
landing. Sehingga, awak pesawat memutuskan untuk pertolongan lebih lanjut diberikan di bandara.
Di sini, saya ingat, wanita tersebut berusaha untuk meminta kursi roda, karena beliau mengaku,
tidak kuat berdiri dan berjalan. Tetapi, beliau kesusahan bicara karena kondisi yang sangat heboh,
sehingga suaranya tidak terdengar. Secara tanggap, saya langsung memberitahukan hal tersebut
kepada awak pesawat. Awak pesawat tersebut mengatakan bahwa, kursi roda hanya dapat
dikeluarkan ketika seluruh penumpang telah keluar dari pesawat. Dalam kata lain, saya harus
menunggu dan menjaga wanita tersebut, sampai semua penumpang telah keluar dari pesawat.
Seperti yang kalian ketahui, menunggu penumpang pesawat keluar dari pesawat tersebut memakan
waktu yang cukup lama. Namun, saya tidak lagi memperhitungkan hal tersebut. Rasanya, seperti
seluruh tubuh dan otak saya dikendalikan oleh orang lain. Fokus saya hanya terhadap, bagaimana
saya bisa menolong wanita tersebut. Oleh karena itu, saya menunggu semua penumpang keluar
sambil memastikan bahwa wanita tersebut tetap sadar. Saya juga memegangi sebuah kantong
muntah, apabila wanita tersebut ingin muntah. Ketika menulis pengalaman ini, kadang saya bingung,
“Kok bisa gua ngelakuin hal seperti ini?” Singkat cerita, kondisi berlanjut hingga akhirnya saya
mengantar wanita tersebut menggunakan kursi roda sampai ke ambulans yang akan membawa
wanita tersebut untuk diperika lebih lanjut. Setelah itu, saya langsung beranjak pergi mencari
keluarga saya, mengingat saya sudah sangat telat dan sudah sangat banyak menghabiskan waktu. Di
dalam kepala saya, saya sudah menyiapkan berbagai macam scenario yang mungkin terjadi, dari
orang tua saya akan memarahi saya karena telah ikut campur, sampai apabila saya berbohong
mengatakan bahwa saya dipaksa untuk membantu. Ketika saya sampai ke tempat keluarga saya
menunggu, saya sangat kaget. Dalam kepala saya, saya sudah membayangkan bagaimana saya akan
diceramahi dan sejenisnya. Tetapi, to my surprise, orang tua saya tidak memberikan komentar yang
buruk sama sekali dan malah mengapresiasi perbuatan saya. Saya kaget. Kaget tidak tertolong.

Ketika saya berusaha mengingat dan menuliskan pengalaman saya, terkadang saya juga
masih bingung. Mengapa saya sampai bisa melakukan hal semacam itu? Pribadi saya yang sangat
mempercayai paham egoisme ini tidak dipercaya bahwa saya bisa melakukan hal semacam itu.
Ketika saya melakukan refleksi, saya sadar akan alasannya. Alasannya sunguh sederhana. Karena
saya adalah manusia. Manusia yang memiliki hakikat sebagai mahluk sosial. Sedalam apapun saya
menutup diri saya dari kepedulian, sudah menjadi suatu hal yang lahiriah bagi saya untuk tetap
membantu sesama saya, terutama yang membutuhkan. Dorongan ini lah yang mendominasi
perbuatan saya pada saat itu. Setelah saya melakukan hal tersebut, jujur, timbul perasaan puas dan
bangga yang dapat secara jelas saya rasakan. Saya puas, karena saya melakukan tindakan yang
sesuai dengan perasaan saya pada saat itu, sehingga tidak ada sama sekali penyesalan dalam hati
saya. Saya bangga, karena, saya tahu bahwa, tidak semua orang mau dan mampu membagikan
sedikit waktunya untuk menunjukkan kebaikan dan membantu orang lain. Ketika ditanya, latar
belakang dari munculnya perasaan tersebut, saya rasa, jawabannya adalah karena saya adalah
manusia. Manusia yang masih bisa merasakan kebanggaan dan kepuasan ketika telah melakukan
suatu hal yang sesuai dengan keinginannya dan hal yang tidak semua orang bisa lakukan.
Tentunya, peristiwa ini memiliki makna yang sangat berdampak bagi diri saya. Makna yang saya
dapat adalah, bukan berarti kamu tidak peduli, kamu tidak mau membantu orang. Terkadang,
tidak harus menjadi pribadi yang altruistis terlebih dahulu, untuk menunjukkan kepedulian. Perlu
FLAVIO GIANCARLO DE SAVIOLA 202001020129 KELOMPOK PK 21

ditekankan juga, berbuat kebaikan atau menunjukkan kepedulian tidak selalu harus didorong oleh
suatu alasan atau niat yang jelas. Terkadang, dorongan tersebut muncul dengan sendirinya, tanpa
disadari oleh pikiran kita.

Anda mungkin juga menyukai