Anda di halaman 1dari 2

Antonio Julio Putra

Pengalaman: Sama, namun Berbeda


Perkembangan dunia saat ini terus maju. Setiap orang dituntut untuk serba tahu dan
serba mengerti. Orang pun juga harus memiliki kecepatan dalam menangkap segala sesuatu –
entah itu menangkap sebuah pemikiran maupun menangkap barang atau benda yang cepat
sekaligus. Segala yang cepat memang dapat membentuk segalanya dengan cepat, namun
dengan yang cepat itu, kemungkinan akan ada hal yang cepat tertinggal atau kedaluwarsa. Dari
yang cepat ini pun seseorang dapat menjadi bosan bahkan seakan berjalan pada jalan yang
sama. Tidak menemukan pengalaman baru, sesuatu yang baru, bahkan dengan yang cepat,
segalanya cepat dilupakan dan diluapkan secara cepat dan dangkal. Karena “yang cepat” itu
berpengaruh pada sebuah penilaian orang saat ini. Manusia cenderung menilai segalanya
dengan cepat. Cenderung melihat segalanya dari satu prespektif saja, padahal ada banyak sisi
yang dapat dilihat.
Saya teringat dengan sebuah kiasan yang mengatakan, ketika kamu melakukan hal yang
sama, maka kamu seperti membaca buku dua kali dengan judul yang sama, kamu sudah tahu
akhirnya akan seperti apa. Kecenderungan dari prespektif inilah yang dapat dikatakan bahwa
manusia menjadi cepat menilai. Memang benar jika membaca buku dua kali atau bahkan
beribu-ribu, akan mengetahui bahkan hafal alur ceritanya, nama tokohnya, dan akhir ceritanya.
Kiasan tersebut seakan kurang bermakna. Memangnya apakah kita akan dalam situasi dan
kondisi yang sama saat membaca buku yang sama? Apakah kita akan berada pada sebuah
proses yang sama dengan membaca buku yang sama? Atau, apakah kita akan berproses dengan
cara yang sama dengan membaca buku yang sama? Kecenderungan inilah yang membuat
manusia cepat menilai. Manusia kurang mendalami hidup dan kegiatan yang dilakukan
olehnya. Manusia seakan kurang ingin memperkaya pengalamannya akan sebuah hal yang
sama, namun dapat berbeda.
Sama, namun berbeda
Saat membaca buku Fragments: The Collected Wisdom of Heraclitus, terdapat sebuah
hal yang menarik, yakni isi fragmennya yang mengatakan, “you can not step in the same river
twice.” Awalnya sulit untuk dipahami, karena arus sungai akan sama. Namun, terus mencoba
memahami dan belajar membuat saya meng-update skill – kata yang dipakai Prof. Bambang
untuk mengembangkan kemampuan. Alhasil, terkuaklah sebuah makna yang reflektif dalam
fragmennya itu. Hal itu ingin menjelaskan bahwa segalanya berubah. Segalanya berubah
meskipun berada pada sebuah hal yang sama. Dengan kata lain, akan ada sebuah pengalaman
yang berbeda meski menjalani kegiatan yang sama. Seperti yang dituliskan pada fragmennya
bahwa, masuk ke dalam sungai dua kali merupakan suatu hal yang diulang, namun akan ada
yang berbeda, yakni arus sungai tersebut akan terus mengalir dan berganti setiap kali kaki
masuk ke dalam sungai yang sama. Proses yang dijalani dalam setiap kegiatan akan berbeda.
Kondisi air ketika menyelupkan kaki akan berbeda. Arus air ketika menyentuhkan kaki ke
dasar sungai akan berbeda pula.
Dari hal yang sama ini dapat memiliki esensi yang berbeda. Sama halnya dalam
membaca buku yang sama secara dua kali. Mungkin kita akan tahu secara segalanya namun,
dalam proses membacanya, kita akan menemukan pengalaman yang baru. Contohnya, ketika
saya membaca novel romansa dengan hati yang berbunga-bunga, akan menganggap novel
tersebut related dengan apa yang saya rasakan saat itu. Namun, ketika saya sedang dalam
keadan putus asa karena habis putus hubungan, novel tersebut akan terasa memuakkan. Sama,
namun berbeda. Itulah yang dinamakan sebagai sebuah pemakanaan hidup. Meski berulang
kali terjadi, sebuah kegiatan sama akan menghasilkan pengalaman yang berbeda. Seperti
sedang tertidur, kita terlelap di jam yang sama, namun mimpi yang dihasilkan mungkin akan
berbeda.
Saya sudah kurang lebih lima tahun hidup berasrama dengan patokkan jadwal yang
sudah ada, segalanya diatur, memiliki batas, dan hidup dalam “keteraturan”. Saya bosan
dengan itu semua karena apa yang dilakukan sama dan monoton. Misalnya setiap jumat malam,
di Fermentum itu harus dalam kondisi silentium (hening). Bagi saya ini hal yang monoton dan
terulang terus setiap minggunya. Namun, dari pengalaman hening ini ternyata setiap jumatnya
saya mendapatkan hal baru. Entah itu saya dapat berdoa, menghasilkan ide baru untuk meng-
edit foto, menulis diary, dan bahkan sekadar membaca buku. Dari hal itu benar bahwa yang
sama itu berbeda.
Update to be wise
Pengalaman membawa seseorang menjadi update. Layaknya sebuah aplikasi, diri
manusia terus di-update melalui segala hal yang dilaluinya. Manusia sebagai developer dan
manusia sebagai aplikasinya juga. Seperti arti filsafat bagi Socrates, Stoicism, Epicurianism,
dan Neoplatonism yang berpendapat bahwa filsafat adalah sebuah self-examination, oleh
karena itu daya nalar ikut serta dalam memaknai sebuah pengalaman. Pengalaman membuat
manusia semakin bergairah untuk terus belajar dan mencari (to learn). Manusia sebagai
makhluk yang memiliki kecerdasan eksistensial perlu terus memaknai hidup sebagai hal yang
unik dan memacu kreatifitas yang liar serta membangun komitmen atas sebuah pengalaman.
Kegiatan akan terus terulang dan terulang, namun dengan mengulang bukan berarti menjadi
bodoh atau tidak memahami segala sesuatu. Namun, dengan mengulang, seseorang mampu
lebih memahami dan mendapat hal yang berbeda dalam setiap kegiatan yang diulang.
Menjadi cepat di dunia yang serba cepat belum tentu menghasilkan sebuah hal yang
tepat. Di dunia yang cepat, manusia ditantang untuk melambat agar yang cepat dapat menyerap
dan mampu berdampak kuat. Serba cepat selalu ingin menghasilkan yang cepat. Yang dilihat
hanya sebuah hasil. Akan menjadi cemooh jika seseorang yang cepat malah tidak berhasil.
Sama seperti meng-update aplikasi, kita perlu menunggu. Menunggu proses dan memaknai
proses tersebut. Meng-update berarti menuju sesuatu yang lebih baik. Pengalaman meng-
update manusia menjadi lebih baik, lebih bijak dalam menghadapi sesuatu dan tentunya
mampu memaknai segala pengalaman dengan mendalam. Manusia perlu semakin
memperdalam kompleksitas kehidupan, yakni memaknai hidup, kepedulian, dan komitmen.
Bukan hanya memikirkan sebuah hasil yang cepat melainkan mengembangkan cara yang
mendalam untuk menyentuh bagian terdalam dalam sebuah pengalaman. Karena kebijaksanaan
berasal dari sebuah bagian terdalam dalam sebuah pengalaman yang dimaknai oleh pikiran
manusia. Wisdom is the oneness of mind that guides and permeates all things (fr. 19).

Anda mungkin juga menyukai