Anda di halaman 1dari 3

Nama : Avira Nariswari

NIM : 18320184
Distorsi kognitif adalah kesalahan logika dalam berpikir, serta kecenderungan berpikir yang
berlebihan serta tidak rasional. Apabila dibiarkan, kesalahan ini akan menjadi kebiasaan,
mempengaruhi kondisi emosi kita, serta termanifestasi dalam perilaku. Teori ini
dikemukakan oleh Aaron T. Beck dalam teorinya tentang Cognitive Therapy mengungkapkan
bahwa penyebab gangguan emosional dan perasaan dalam diri seseorang adalah karena
adanya distorsi (peyimpangan) dalam berpikir. Bagi Beck, distorsi kognitif adalah kesalahan-
kesalahan atau kesesatan-kesesatan dalam berpikir yang mempengaruhi emosi, perasaan
dan perilaku seseorang. Dalam menjelaskan mengenai diatorsi kognitif ini, beck juga
berpendapat bahwa gangguan emosional seseorang disebabkan oleh pemikirannya yang mengalami
distorsi (ketidakakuratan dalam pemrosesan informasi).

Beberapa contoh kesesatan dalam berpikir itu adalah sebagai berikut (Aaron T. Beck dan Marjorie E.
Weishaar, 1989, 295-296):

 Inferensi arbiter (arbitrary inference); yakni menarik kesimpulan yang merupakan inferensi
dari bukti-bukti yang tidak relevan. Misalnya: mendatangi seseorang, tetapi selalu tidak ada
di rumah, kemudian diambil kesimpulan bahwa orang itu tidak mau ditemui.

Contoh kasus mengenai pemikiran terdistorsi satu ini juga pernah saya alami ketika saya berada
pada tahapan SMP dimana pada saat itu saya merasa bahwa banyak sekali teman-teman saya yang
tidak ada sama sekali yang mau berteman dengan saya hanya karena saat saya mengajak mereka
mengobrol atau sekadar menyapa mereka, mereka tidak merespon dengan baik atau malah terkesan
mengabaikan saya, sehingga saya menarik kesimpulan berdasarkan sudut pandang saya bahwa
mereka memang tidak mau berteman dengan saya, padahal ternyata setelah saya memberanikan
diri untuk menanyakan kebenaran apakah mereka benar benar tidak mau berteman dengan saya,
jawaban mereka sama sekali tidak sesuai dengan apa yang saya pikirkan selama ini, karena ternyata
saat mereka tidak merespon saya saat saya mengajak mereka bicara atau menyapa mereka itu
karena mereka tengah memikirkan hal lain sehingga mereka tidak fokus pada situasi saat itu dan
bukannya tidak mau berteman dengan saya.

 Abstraksi selektif (selective abstraction); merupakan pemisahan sebagian kecil dari situasi
keseluruhan dengan mengabaikan sisa bagian yang jauh lebih besar atau penting. Misalnya:
seseorang merasa minder dan tidak percaya diri, hanya karena ada salah satu bagian dari
tubuhnya yang kurang sempurna, padahal ia cantik dan berparas menarik.

Contoh kasus mengenai pemikiran terdistorsi satu ini juga pernah saya alami ketika saya berada di
SMA dimana saat itu saya sangat minder terhadap badan saya yang tidak proporsi dikarenakan
terlalu kurus untuk ukuran badan setinggi saya, hal itu membuat saya tidak percaya diri dan seakan
menarik diri dari pergaulan yang ada di SMA saya dikarenakan saya merasa kurang pantas
disandingkan dengan postur teman teman saya, namun pemikiran itu bisa saya ubah setelah ibu
saya menjelaskan bahwa yang menyebabkan postur tubuh saya cenderung kurus dibandingkan
dengan teman teman saya adalah faktor genetik , karena dikeluarga besar ibu sayapun juga
mengalami hal yang serupa. Terlalu kalut dengan postur tubuh saya yang tidak proporsional juga
membuat saya lupa bahwa ada hal yang patut saya banggakan dari tubuh saya yaitu tunggi badan
saya, dimana tinggi badan yang saya miliki bisa dikategorikan pada tingkatan diatas standart (tinggi)
dibanding teman teman saya yang lainnya, hal ini membuat saya akhirnya lambat laun mampu
menumbuhkan rasa percaya diri saya dengan menanamkan pemikiran positif bahwa dibalik postur
badan saya yang kurus, saya masih memiliki tinggi badan yang patut saya syukuri dan banggakan.

 Overgeneralisasi (overgeneralization); yaitu menyimpulkan satu kejadian negatif yang


khusus, sebagai kejadian negatif secara keseluruhan. Misalnya: seorang cewek yang baru
saja ditinggal pergi kekasihnya, mengatakan bahwa semua cowok memang menyebalkan
atau dengan kata lain semua laki-laki adalah ‘buaya darat’.

Contoh kasus mengenai pemikiran terdistorsi satu ini juga pernah saya alami ketika saya berada di
perkuliahan ini dimana lagi lagi pada saat saya dan kelompok saya akan mempresentasikan hasil
diskusi kami. Karena jujur saya punya pengalaman yang kurang baik saat melakukan presentasi,
disini saya jadi sedikit seperti melakukan overgeneralisasi, dimana pikiran saya seperti tersuggesti
bahwa ketika saya akan melakukan sebuah presentasi maka akan saja terjadi hal yang kurang baik
bahkan buruk yang akan menimpa kelompok saya, hingga pada akhirnya tibalah saat saya dan
kelompok saya mulai berdiskusi untuk persiapan pembuatan presentasi dan juga makalah yang akan
kami kumpulkan, sebelumnya saya sudah mengunderestimate kelompok saya dengan anggapan
bahwa banyak anak yang terkesan ingin mendominasi masuk dalam kelompok saya ini, jadi
kemungkinan akan susah menyatukan pemikiran pemikiran kami, namun ternyata hal itu salah
karena selama proses diskusi dan pembuatan presentasi serta makalah, kelompok kami tidak
menemukan masalah masalah yang berarti dan bahkan kelompok kami termasuk kelompok yang
cepat menyelesaikan tugas yang ada dan hingga presentasipun kami dapat mempresentasikannya
dengan baik dan bahkan menjadi yang terbaik dikelas kami saat itu. Yang akhirnya menyadarkan
saya bahwa tidak semua peristiwa yang sama akan kembali terulang sama seperti yang pernah
dialami sebelumnya.

 Catastrophising (magnification and minimization); yaitu berpikir hal yang paling buruk dalam
suatu situasi; atau berpikir terlalu berlebihan dalam suatu situasi.

Contoh kasus mengenai pemikiran terdistorsi satu ini juga pernah saya alami ketika saya ketika saya
sedang menghadapi ujian yang ada entah mulai dari ulangan harian, kuis, ulangan tengah semester,
hingga ulangan akhir semester dan tes tes yang lain, pada saat itu saya memiliki kebiasaan buruk
berupa selalu berpikiran yang negatif dan selalu memikirkan kemungkinan terburuk yang akan saya
dapatkan seperti mendapatkan hasil yang jauh dari harapan saya, tidak bisa mengerjakan dengan
baik hingga yang paling parah mengikuti remidial. Entah bagaimana awal mula pemikiran negatif itu
muncul tetapi yang jelas hal tersebut sudah seakan akan menjadi “kebiasaan” yang ada pada diri
saya, walaupun ada satu momen yang menyadarkan saya bahwa tidak semua pemikiran dan
kemungkinan terburuk yang telah saya pikirkan menjadi kenyataan karena ternyata masih ada hal
hal baik yang mungkin juga terjadi pada saat situasi tersebut, contohnya ketika saya berpikiran akan
mendapatkan hasil yang tidak memuaskan pada salah satu ujian yang sebenarnya saya rasa mampu
untuk saya selesaikan dengan baik, maka kemungkinan yang ada tidak akan sepenuhnya buruk,
tetapi kemungkinannya tetap menjadi 50:50 dan bukan tidak mungkin malah akan terjadi sebaliknya
yaitu tidak ada kemungkinan terburuk yang akan saya dapatkan, dari kasus tersebut saya belajar
bahwa tidak selamanya berpikiran mengenai kemungkinan terburuk itu dapat menimbulkan hasil
yang buruk juga, namun dibalik pemikiran tersebut masih ada banyak kemungkinan baik juga yang
bisa ikut muncul bahkan menggantikan kemunculan kemungkinaan terburuk yang telah terpikirkan
sebelumnya, sehingga saya mengambil kesimpulan bahwa boleh boleh saja memikirkaan
kemungkinan terburuk yang akan didapatkan dalam suatu situasi asalkan hal tersebut dijadikan
sebagai cambuk bagi diri kita untuk bisa mengusahakan segala yang terbaik dan berusaha sebaik
mungkin demi meminimalisir kemungkinan terburuk yang dapat terjadi, niscaya segala kemungkinan
buruk yang ada bisa saja diminimalisir dan bahkan dihilangkan dari situasi tersebut.

 Personalisasi (personalization); yaitu memandang diri sendiri sebagai penyebab dari suatu
peristiwa eksternal yang negatif, yang dalam kenyataan
sebenarnya bukanlah diri sendiri yang harus bertanggung-jawab terhadap hal tersebut.

Contoh kasus mengenai pemikiran terdistorsi satu ini juga pernah saya alami ketika saya akan
melakukan presentasi saat SMA dimana pada saat itu menurut saya, saya berada pada kelompok
yang kurang bagus karena berisikan anak anak yang memang sulit untuk diajak kerja sama dan
kurang bertanggungjawab, akhirnya saat masa pembuatan presentasi dan juga makalah, sayalah
yang berusaha membagi tugas dan sebagainya kepada teman kelompok saya dengan harapan
mereka masih mau diajak kerja sama dan menyelesaikan tugas ini bersama sama. Hingga pada
akhirnya tiba saat kami akan mengumpulkan makalah dan melakukan presentasi saya menemukan
bahwa ada beberapa bagian yang menurut saya kurang sesuai dengan pedoman tugas yang ada, saat
itu saya merasa benar benar bersalah karena membuat kelompok saya kurang maksimal dalam
menyelesaikan tugas ini, dimana saya merasa benar benar menjadi orang yang paling
bertanggungjawab hingga pada akhirnya tapi saya sadar bahwa ini merupakan tugas berkelompok
dan yang seharusnya bertanggungjawab atas tugas ini tidak hanya diri saya sendiri melainkan juga
anggota kelompok saya yang lain. Hingga pada akhirnya saya dan anggota kelompok saya yang lain
tetap melakukan presentasi dan mengumpulkan makalah kami sebagaimana yang telah kami buat
sebelumnya dan ternyata mendapat feedback yang tidak seburuk pemikiran saya sebelumnya
karena ternyata hal yang kurang dalam kelompok saya merupakan hal yang masih bisa diberi
toleransi sehingga tidak terlalu berpengaruh besar pada nilai kelompok kami.

 Berpikir dikotomik (dichotomous thinking); yaitu berpikir yang serba ekstrem tanpa
penilaian atau pendapat relativistik di tengah-tengah (hitam vs putih; semuanya vs tidak
sama sekali).

Contoh kasus mengenai pemikiran terdistorsi satu ini juga pernah saya alami ketika saya menyikuti
sebuah perlombaan saat berada di SMA dimana pada saat itu memang tim lomba saya sedang
seakan akan diremehkan karena lomba yang akan kami ikuti merupakan lomba yang cukup berat
dan sekolah saya belum pernah sama sekali memenangkan perlombaan tersebut, tapi dengan
diremehkan seperti itu saya dan tim saya menyatukan pikiran bahwasaannya kita sudah terlanjur
berani untuk mendaftarkan diri dan mengikuti perlombaan ini maka, kita harus mengusahakan yang
terbaik, kami juga berusaha menanamkan pemikiran positif dan beberapa sugesti seperti “maju
berlomba dan menang atau tidak ikut sama sekali” pemikiran itu ternyata memang mampu
meningkatkan semangat kami selama masa latihan, sangat terasa sekali bahwa aura saat kami
latihan itu termasuk aura yang positif dan membuat suasana saat latihan persiapan lomba menjadi
lebih menyenangkan daripada yang kami perkirakan sebelumnya, tentunya kami tidak terlalu
berobsesi untuk menang pada saat itu tetapi kami berpikiran untuk mengusahakan segala yang
terbaik, hungga akhirnya alhamdulillah kami dapat menjadi pemenang dalam perlombaan itu dan
membuat kami yakin bahwa memang benar hasil tidak akan mengkhianati usaha yang telah
dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai