Anda di halaman 1dari 5

TUGAS INDIVIDU : REFLECTIVE JOURNAL

TEORI ADLER

Diajukan sebagai salah satu tugas mata kuliah Teori Kepribadian

Penyusun :
Avira Nariswari (18320184)

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA


FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA
YOGYAKARTA
2019
Adler dalam teorinya menjelaskan bahwasannya kesadaran dan
ketidaksadaran adalah faktor yang mana sama pentingnya dan berpengaruh pada
diri individu, dimana kedua hal tersebut yang nantinya akan digunakan untuk
mencapai tujuan-tujuan mereka lebih jauh. Ada yang namanya Inferiotity feeling,
yang walaupun bukan dianggap sebagai kelemahan atau sebuah abnormalitas bagi
suatu pribadi, namun tetap saja inferiority feeling ini harus diminimalisasikan
dengan cara melakukan sebuah kompensasi terhadap diri sendiri, karena jika
sebuah inferiority feeling tidak dapat dikompensasikan, maka akan terbentuklah
yang namanya inferiority complex yang merupakan suatu kondisi dimana suatu
individu tidak mampu melakukan kompensasi pada inferiority feeling yang
dimilikinya. Inferiority complex sendiri berasal dari 3 hal yang terjadi dimasa
kanak-kanak, yaitu : Organic Inferiority, Spoiling Child, dan Neglected Child.
Teori pertama Adler yaitu tentang Inferiority feeling yang dijelaskan
sebagi kondisi umum yang dimiliki oleh semua manusia dan bukan merupakan
tanda kelemahan atau abnormalitas, contoh dari inferiority feeling dalam diri saya
adalah ketakutan saya untuk menyampaikan pendapat pribadi saya di dalam forum
bersama. Dimana saya menyadari bahwa seharusnya dengan adanya sebuah forum
bersama, yang dalam hal ini bisa kita contohkan sebagai sebuah kelompok,
keberanian menyampaikan pendapat sangatlah penting keberadaannya. Mengapa
demikian? Karena menurut saya dengan kita mampu untuk menyampaikan
pemikiran kita dan ikut berkontribusia dalam kelompok tersebut maka akan
tercipta sebuah kelompok yang baik dan dapat bekerja dengan efektif serta efisien,
disini masalahnya adalah yang menjadi ketakutan saya adalah bagaimana cara
agar saya dapat bernai mengemukakan pendapat dimuka umum, karena biasanya
jika ada kesempatan untuk menyampaikan pendapat, saya cenderung menjadi
pribadi yang diam dan memilih untuk mengikuti pendapat teman kelompok saya
yang lainnya. Alasan mengapa saya memang setakut itu untuk menyampaikan
pendapat saya dimuka umum adalah karena adanya ketakutan ditertawakan.
Sehingga, setelah saya mengetahui titik kelemahan saya tersebut, saya melakukan
sebuah kompensasi diri yaitu dengan cara mulai berlatih mengungkapkan
pendapat dimulai dari forum yang tidak terlalu besar seperti menyampaikan

2
pemikiran saya terhadap teman-teman terdekat saya, belajar tentang cara
menyampaikan pendapat yang baik dan benar sehingga meminimalisirkan
kemungkinan terjadinya situasi yang tidak kondusif setelah saya menyampaikan
pendapat dan mencoba untuk meyakinkan diri saya sendiri bahwasannya
menyampaikan pendapat dimuka umum akan menjadi hal penting bagi kehidupan
saya kelak, karena saya tidak mungkin terus menerus mengikuti keinginan orang
lain dikehidupan yang akan datang.
Setelah inferiority feeling, adler juga menjelaskan tentang Inferiority
Complex yang mana seperti yang telah dijelaskan diawal sebelumnya bahwa
inferiority complex ini akan terjadi karena adanya ketidakmampuan diri untuk
melakukan kompensasi terhadap inferiority feeling. Inferiority complex juga ada
berbagai macam asalnya, yaitu Organic Inferiority, Spoiling Child, dan Neglected
Child. Dalam kasus saya, saya merasa bahwasannya inferiority complex dalam
diri saya muncul karena berasal dari faktor Spoiling Child, karena menurut
penjelasan adler, spoiling child adalah kondisi dimana sang anak terlalu
dimanjakan dan membuat sang anak merasa selalu menjadi pusat perhatian dan
kebutuhannya cenderung selalu tercukupi. Hal ini benar adanya, ditambah lagi
dengan fakta bahwa saya memang anak tunggal dalam keluarga saya sehingga
sangat benar sekali saya dimanjakan dan selalu dapat apa yang sedang saya
butuhkan. Mungkin memang dahulu saya tidak terlalu memperdulikan mengenai
hal ini, namun lambat laun, pada kehidupan saya sekarang ini, menjadi spoiling
child tidak “semenyenakkan” apa yang saya bayangkan dan saya pikirkan, karena
pada kehidupan saya sekarang ini yang sering dituntut untuk keluar dari zona
nyaman saya malah akhirnya memberatkan saya, karena ada perasaan tidak begitu
nyaman untuk meninggalkan kedua orangtua saya, walaupun tetap pada akhirnya
saya kembali memaksa diri saya untuk dapat keluar dari zona nyaman saya dan
terus berproses dijalan saya sekarang ini.
Dalam teorinya, adler juga menjelaskan bahwasannya jika seseorang
dikategorikan sebagai orang yang terlalu melakukan kompensasi pada inferiority
mereka, akan muncul pula yang namanya Superiority Complex yang mana
merupakan suatu kondisi individu yang beropini secara berlebihan terhadap

3
kemampuan yang mereka miliki sebenarnya, hal ini tentu saja bukan tanpa alasan,
namun hal ini dilakukan guna menutupi suatu hal yang dianggap sebagai sebuah
kekurangan oleh individu tersebut, superiority complex tersebut dapat berupa
bualan yang dibuat oleh individu itu sendiri atau sebuah kompensasi berlebihan
guna meyakinkan orang ain bahwa individu tersebut tidak “selemah” itu. Hal ini
pernah saya lakukan ketika saya selesai mengikuti sebuah lomba, dimana saat itu
tentu saja waktu belajar saya berkurang karena saya mengikuti latihan untuk
persiapan lomba, disitu jelas nilai akademik saya meluncur turun karena hal
tersebut, kemudian ada satu alasan yang saya gunakan untuk menutupi itu semua.
Alasan yang saya gunakan pada saat itu ketika banyak orang bertanya kepada saya
alasan kenapa nilai akademik saya menurun adalah saya membenarkan bahwa ya,
nilai akademik saya memang menurun, tapi itu bukan sepenuhnya salah saya
karena pada saat yang bersamaaan saya mengikuti lomba dan kebetulan lomba
yang saya ikuti berhasil juara, alasan “mengikuti lomba” terus-terusan saya
gunakan guna “menyelamatkan diri saya, padahal hingga akhirnya juga saya
menyadari bahwa lomba bukan penghalang utama saya untuk belajar, sehingga
saya akhirnya menyadari beberapa hal, salah satunya adalah lomba bukan
“kambing hitam” dalam kasus menurunnya nilai akademis saya, karena pada
kenyataannya teman saya yang juga berpastisipasi dalam beberapa lomba mampu
mempertahankan nilai akademik mereka.
Yang terakhir, selain membahas tentang 3 hal tersebut, adler juga
membahas mengenai 4 life style dasar yang dapat digunakan untuk mengatasi
masalah kehidupan yang ada, seperti : Rulling, Getting, Avoiding, Socially
Usefull dimana dari keempat lifestyle tersebut, saya merasa life style yang cocok
terhadap diri saya adalah Socially Usefull Type karena selain saya merasa bahwa
tipe ini paling netral diantara tipe yang lain, juga saya merasa bahwasannya saya
memang termasuk dalam tipe yang ini dikarenakan saya adalah orang yang
dengan bekerjasama dengan orang lain atau individu lain menjadi lebih merasa
dapat menyelesaikan suatu masalah dengan baik, tetapi tidak berarti saya juga
bergantung sekali pada individu tersebut, sama seperti penjelasan tentang socially

4
usefull tersebut dimana dijelaskan bahwa tipe ini adalah tipe yang mampu
bekerjasama dengan orang lain dan menyesuaikan dengan kebutuhannya.
Selain membahas tentang 3 hal sebelumnya dan juga cara menanggulangi
permasalahan kehidupan, yang terakhir adler juga membahas tentang karakteristik
individu berdasarkan urutan lahirnya, dan dalam kasus ini tentunya saya masuk
kedalam The Only Child dan benar adanya jika karakteristik seorang anak
tunggal adalah matang atau dewasa lebih awal karena tentu saja menjadi anak
unggal bukan persoalan mudah seperti yang dipikirkan oleh kebanyakan orang
disekitar saya. Benar jika sebagai anak tunggal semua yang saya mau hampir pasti
selalu saya dapatkan, tetapi dengan menjadi anak tunggal ada beban lain yang
pastinya perlu saya pikul sendiri tanpa bisa meminta bantuan dari sosok kakak
maupun adik, hal ini begitu terasa terutama ketika saya sampai pada pemikiran
akan bagaimana saya mengurus kedua orangtua saya ketika mereka berusia senja
nanti? Segala pemikiran tentu saja masuk kedalam otak saya yang “memaksa”
saya untuk segera mencari solusi terbaik untuk masalah tersebut. Dan benar juga
saya sebagai seorang anak tunggal memang sering merasa shock terhadap kondisi
diluar rumah, namun bukan karena saya tidak menjadi pusat perhatian seperti
yang dijelaskan, tetapi lebih kepada karena kondisi lingkungan luar tidak selalu
seperti apa yang sasa inginkan, yang notabenenya saya sebagai anak tunggal tentu
memiliki pola pikir yang bisa dibilang sebegitu tertatanya sehingga ketika saya
melihat suatu hal yang tidak sesuai menurut saya maka dapat membuat saya
merasa kurang nyaman, walaupun sampai saat ini akhirnya saya menyadari bahwa
hal tersebut bukan sebuah perkara bagi saya karena dengan adanya hal tersebut
saya jadi bisa belajar bersosialisasi dengan baik dan menjadi pribadi yang lebih
baik lagi kedepannya.

Anda mungkin juga menyukai