Anda di halaman 1dari 1

Kau tahu, cerita itu berkembang dari pengamatan yang teliti. Tetapi tidak hanya itu saja.

Cerita juga berkembang dari pengalaman pribadi, pengalama orang lain, dan imajinasi yang
membangunnya. Lalu bagaimana kalau imajinasi penulis yang tertuang di layar putih meski
dibuktikan oleh penulisnya sendiri kemudian diterbitkan. Kalau tak begitu, dia tak pede dengan
tulisannya sendiri. Si penulis ini kemudian bereksperimen dengan orang-orang disekitarnya.
Tetangganya, teman-temannya, binatang peliharaannya hingga keluarga dan istri yang dia cintai.

Niko tertawa melihat istrinya menangis. Semakin banyak air mata yang keluar dari bola
matanya, semakin senang hatinya. Melukai adalah hobinya.

Canriko merasa bagai seorang ilmuan yang besok akan dinobatkan sebagai profesor karena
peneliannya berhasil. Teori yang ditawarkannya kelak akan diabadikan di museum internasional.
Namanya setingkat dengan Edmun Freud atau manusia Renaisans lainnya.

Ada yang lebih berharga dari sebuah pencapaian akademik, bukan? Ada. Yaitu cinta dan
keluarga. Bukankah kalau dibaca biography orang-orang yang katanya bijak, pintar dan cerdas,
bergelar filsuf, adalah mereka yang kesepian di akhir hidupnya. Dijauhi karena pendapat yang terlalu
marxis, pendapat terlalu nasionalis, pendapat yang tak bisa membenarkan pendapat orang lain.
Ibarat partai. Partai kalau tak punya kepentingan yang sama, ibarat minyak dan air dalam satu wadah.

Begitulah Canriko. Tiga bukunya menjadi buku terlaris di pasaran Indonesia. Dibahas kritikus,
dijadikan tesis oleh mahasiswa sastra dan diberi empat jempol oleh pembaca. Kata pembaca, buku
ini adalah gambaran asli kehidupan. Tak ada novel, cerita fiksi yang lebih bisa menggambarkan hidup
selain dari novel ini.

---

Anda mungkin juga menyukai