Anda di halaman 1dari 2

Dari apa yang kupelajari dalam hidup ini, semua karya sastra itu bagus dan baik

bentuknya. Akan tetapi, di antara karya-karya bagus itu, terdapat karya-karya yang
hebat pula. Menurutku, karya yang hebat itu adalah suatu karya yang dapat
mempengaruhi pembacanya, dalam makna apa saja. Artinya, sebuah karya sastra yang
hebat harus membuat suatu perubahan dalam hidup si pembaca.
Untuk itu, aku yang seorang pembaca, mempunyai bukubuku yang kuanggap karya
sastra hebat. Buku-buku yang telah merubah pola pikir dan sikapku terhadap berbagai
fenomenafenomena kehidupan. Aku akan sangat senang jika buku-buku itu dapat juga
kalian baca nantinya.
Buku pertama yang membuatku terkesan adalah The Book of Lost Things, karya John
Connolly. Pada halaman belakang sampulnya ia menulis, “Dongeng ini diperuntukkan
bagi orang dewasa, terutama yang masih ingat saat-saat Ketika masa kanak-kanak
mulai berlalu dan jalan menuju kedewasaan telah terbentang.”
Buku itu bukanlah buku John pertama yang kubaca. Namun, aku merasa inilah puncak
karyanya sebagai penulis. Buku itu bercerita soal seorang bocah lelaki yang tersesat di
sebuah negeri di mana tokoh-tokoh dongeng yang selama ini kita kenal bukanlah
seperti yang kita kenal. David, si bocah tersebut, tidak bisa terima dengan kenyataan
itu. Ia memutuskan untuk mengambil alih negeri tersebut dengan menjadi raja, dan
mewariskan kitab misterius soal sesuatu yang telah hilang. Sayang, buku ini pun ikut
hilang dari perpustakaan pribadiku sejak 2016 silam.
Sejak menghabiskan kisah itu, pandanganku berubah soal memahami dunia fiksi. Fiksi
tak harus dimulai dengan kesedihan dan berakhir dengan kebahagiaan. Absurditas pun
dapat menjadi opsi untuk memulai dan mengakhiri sebuah karya sastra. Aku sendiri tak
percaya rumus-rumus dalam proses penciptaan karangan cerita. Jika ada begitu, apa
menariknya kisah-kisah itu.
Kemudian, novel tersohor dari Promoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, menjadi buku
kedua yang aku nobatkan sebagai karya sastra hebat. Buku ini kukenal dari sebuah
kutipan yang sangat fenomenal, “Seorang terpelajar haruslah bersikap adil sudah sejak
dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.”
Karena penasaran, dan tak mampu membeli karena harganya cukup mahal, aku
meminjam buku ini dari seorang kerabat. Secara teknik kepenulisan, tulisan Pram agak
berbeda dari karya-karya mutakhir, mungkin dipengaruhi oleh ejaan lama pada masa ia
menulis. Tapi, tak membuat pembaca masa kini sulit untuk mengerti lorong-lorong
drama dalam kota B-nya itu.
Pram nampaknya begitu memomokkan kolonialisme dalam tulisannya di novel ini.
Pandangan-pandangannya menusuk tajam dalam bentuk karakter seorang Minke. Aku
suka bagaimana Minke harus bersikap dalam melawan kolonialisme pemerintahan
Hindia-Belanda.
Minke yang seorang pribumi, lagi penulis, juga tidak suka hal-hal yang berbau feodal.
Terutama kepada adat-istiadat Jawa yang suka menyembah-nyembah tuan besar.
Walaupun ia seorang anak bupati, ia tidak suka dengan kelakuan ayahnya. Ia tidak
ingin memerintah atau diperintah, ia ingin menjadi manusia yang bebas.
Buku ini menjadi refleksi bagiku soal bagaimana aku harus bersikap pada
lingkunganku, menekanku untuk tidak seharusnya mengkultuskan suatu entitas apa
pun, dan menyadarkanku bahwa manusia itu setara derajatnya.
Selanjutnya, aku cukup terpana dengan buku The Catcher in The Rye. Buku itu adalah
buku pertama dan terakhir yang ditulis oleh J. D. Salinger. Desas-desusnya, buku
tersebut dinobatkan sebagai seratus buku terbaik sepanjang masa. Bukan soal
banyaknya jumlah kopian buku yang terjual di berbagai belahan dunia. Tapi, kisah yang
dihadirkan oleh Salinger begitu kelam.
Holden Caulfield, sang tokoh utama, sangat membenci sekolah. Ia tidak lulus dalam
semua mata pelajaran, kecuali Bahasa Inggris. Ia hanya suka membaca dan menulis.
Guru kesukaannya—guru sejarah, tak bisa membantunya naik kelas.
Untuk itu, ia memutuskan untuk kabur dari sekolah—kehidupan yang membosankan.
Menurutnya, pembangkangan adalah pembebasan.
Holden akan memaki apa saja yang menurutnya munafik atau hal itu sungguh barang
‘sialan’. Ia memaki sistem sekolah yang mengacu pada nilai ketimbang minat siswa,
kakaknya si penulis yang ‘melacur’ di Hollywood, teman-teman tololnya di asrama, ia
benci mereka semua.
Riwayat paling dikenang pada buku ini hadir pada nama David Chapman. Bagaimana
tidak, ia mengeluarkan buku ini dari sakunya setelah menembak empat butir peluru ke
tubuh John Lennon. Ia menganggap Holden adalah dirinya. Alasan ia membunuh John
Lennon ialah John orang yang munafik. Ia menganggap karya-karyanya banyak
bersimpati ke orangorang bawah, namun John menjalani kehidupan mewah.
Bukan berarti aku akan melakukan hal gila setelah baca buku ini. Tapi, aku jadi memiliki
cara pandang yang lebih variatif dalam melihat dan menilai dunia ini, tidak sekadar
hanya urusan yang hitam-putih. Aku menjadi lebih berhati-hati dalam mempercayai
segala-galanya.

Anda mungkin juga menyukai