Anda di halaman 1dari 82

PROPOSAL PENELITIAN

A. Judul Penelitian

“Warna Lokal dalam Novel Di Bawah Langit yang Sama Karya Helga Rif dan

Rencana Implementasi Terhadap Pembelajaran Sastra Di SMA”

B. Latar Belakang

Warna lokal adalah kelokalitasan yang menggambarkan ciri khas dari

suatu daerah yang terdapat dalam karya sastra.Dari segi kata, warna berarti

corak atau ragam, sementara lokal berarti berlaku di suatu daerah atau

tempat.Jadi, dapat diartikan sebagai suatu corak yang khas yang dimiliki suatu

daerah, tidak dimiliki oleh sesuatu di luar warna lokal.Warna lokal akanselalu

berisi tentang hal yang sifatnya kedaerahan, tentang kultur dan keseharian

masyarakat daerah. Setiap pribadi harus menyadari bahwa Indonesia

merupakan bangsa yang beragam suku dan tradisi.Penelitian tentang warna

lokal merupakan hal yang penting, karena dapat menjadi sarana pengetahuan

tentang kebhinekaan Indonesia terutama di era globalisasi saat ini.

Warna lokal telah menjadi bagian dari perkembangan sastra Indonesia

sejak 1980-an hingga saat ini. Banyak karya sastra yang mengandung unsur

warna lokal yang beragam menunjukkan kekayaan budaya yang dimiliki

bangsa Indonesia. Beberapa sastrawan yang ikut menyumbangkan warna lokal

dalam karyanya seperti Korrie Layun Rampan, Ahmad Tohari, Linus Suryadi,

Umar Kayam, hingga Putu Wijaya, dan masih banyak yang lainnya. Daerah-

1
2

daerah yang sering muncul adalah Dayak, Jawa, Minangkabau, dan

Bali.Daerah ini sering muncul dalam sastra sebagai latar penciptaannya.

Menurut Abrams (dalam Kusmarwanti, 2008:2) warna lokal ini

sebagai lukisan cermat mengenai latar, dialek, adat istiadat, cara berpakaian,

cara berpikir, cara merasa, dan sebagainya yang khas dari suatu daerah

tertentu yang terdapat dalam cerita. Selain itu, menurut Sastrowardoyo, unsur

warna lokal dilengkapi dengan pakaian, adat istiadat, cara berpikir, lingkungan

hidup, sejarah, cerita rakyat dan kepercayaan.

Indonesia dikenal dengan negara yang memiliki keanekaragaman

budaya.Kebudayaan selalu menarik dari segala sisi.Bali, merupakan salah satu

bagian dari Indonesia yang kelompok masyarakatnya kental dengan

kebudayaan.Bali memiliki kebudayaan yang sangat menarik untuk dikaji,

terlepas dari pembahasan mengenai pariwisatanya yang terkenal hingga

mancanegara.Budaya-budaya Bali tersebut terdiri dari berbagai aspek, yaitu

berbagai jenis upacara, kepercayaan, cara berpikir, seni, tempat peribadatan,

kuliner, dan sistem sosial.

Bali yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu menjadikan

masyarakatnya memberlakukan sistem sosial atau golongan (kasta).Ini

menjadi salah satu bukti bahwa masyarakat di sana masih memegang teguh

tradisi yang merupakan warisan budaya hingga saat ini. Beberapa upacara pun

masih sering dilakukan tanpa harus terpengaruh oleh pelancong yang datang

ke daerah tersebut yang memberi celah bagi masyarakat untuk meninggalkan


3

kebudayaan yang dimiliki.Upacara-upacara yang dimaksud adalah upacara

kelahiran, upacara potong gigi, upacara perkawinan, dan upacara kematian.

Dengan banyaknya fenomena budaya yang ada dalam masyarakat Bali

dan masih terjaga hingga saat ini, membuat peneliti semakin ingin mengetahui

kebudayaan tersebut.Pengkajian terhadap kebudayaan tidak harus seorang

peneliti turun lapangan.Hal ini dapat dilakukan melalui pengkajian terhadap

karya sastra salah satunya adalah novel.Novel yang dikaji tentu harus novel

yang mengandung unsur kebudayaan, terutama tentang kebudayaan Bali.

Novel merupakan sebuah fiksi yang bercerita tentang berbagai masalah

kehidupan manusia dan bagaimana komunikasinya dengan manusia lain

ataupun lingkungannya, termasuk juga komunikasinya dengan Sang Pencipta.

Novel merupakan karya imajinatif meskipun banyak bersumber dari situasi

sosial masyarakat, yang merefleksikan gejala sosial dan kehidupan manusia

secara padat dan lengkap.

Novel merupakan karya fiksi yang dilandasi kesadaran dan tanggung

jawab kreatif sebagai karya seni yang berunsur estetik dengan menawarkan

model-model kehidupan sebagaimana yang diidealkan oleh pengarang (Al-

Ma’ruf dalam Asrawati, 2013:1).Berdasarkan pendapat tersebut, novel

memiliki unsur keindahan didalamnya dan menjadikannya sebagai bagian dari

karya seni.Melalui novel pula, pembaca mengetahui masalah kehidupan

masyarakat tertentu, dan menjadi wawasan tersendiri bagi pembaca.Masalah-

masalah kehidupan ini dapat berupa kebiasaan hidup dan sikap hidup dari
4

golongan masyarakat suatu daerah, sehingga dengan adanya novel dapat

menjadi alat untuk pengetahuan akan kebudayaan.

Warna lokal muncul dalam karya sastra dalam hal ini adalah novel,

dapat terjadi karena lingkungan hidup pengarang atau pun melalui risetnya

terhadap masyarakat pelaku cerita.Realitas budaya atau kenyataan hidup

masyarakat suatu daerah seperti adat istiadat, kepercayaan, sikap hingga

struktur sosial dan kekerabatan merupakan bagian-bagian dari kelokalitasan.

Persoalan-persoalan daerah dalam novel sangat menarik untuk diamati

untuk kemudian dipelajari.Penelitian terhadap warna lokal dalam novel yang

memuat persoalan daerah tidak jauh berbeda dengan penelitian lapangan

sebab seperti yang telah dijelaskan oleh penulis bahwa novel merupakan hasil

penelitian, eksplorasi, dan pengalaman pribadi pengarang, bukan semata-

mata karya yang fiktif.Meskipun novel adalah cerita rekaan, novel dapat

dijadikan sebagai objek penelitian karena cerita yang dihadirkan adalah

pengalaman dan pengetahuan pengarang.

Penelitian ini ditekankan pada “Warna Lokal dalam Novel Di Bawah

Langit yang Sama”.Pemilihan fokus penelitian ini didasarkan beberapa

hal.Pertama, warna lokal adalah yang paling mendominasi cerita ini.Kedua,

penelitian tentang warna lokal dalam sastra belum banyak dilakukan oleh

mahasiswa.Ketiga, penulis tertarik untuk meneliti tentang warna lokal yang

terdapat dalam sastra karena sastra dapat menggambarkan kedaerahan atau

lokalitas dari suatu daerah sebagai latar tempat dan permasalahan dan

kehidupan sosial yang dialami oleh para tokoh dari sebuah karya sastra
5

khususnya novel. Warna lokal dapat menjadi petunjuk dan memperkenalkan

budaya daerah lain, yang menggambarkan identitas masyarakat daerah

bersangkutan.

Meskipun penelitian ini terfokus pada warna lokal, penulis tetap tidak

melupakan unsur pembangun lainnya pada novel, seperti unsur intrinsik dan

unsur ekstrinsik.Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun karya sastra

dari dalam, sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur yang membangun karya

sastra dari luar seperti nilai-nilai dan sebagainya.

Warna lokal yang dominan muncul dalam novel ini dipengaruhi oleh

latar, sehingga menyebabkan unsur intrinsik yang paling dominan atau fokus

utama adalah latar, yang lebih khusus adalah latar sosial-budaya. Latar sosial-

budaya ini adalah kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, agama, pandangan

hidup, cara bersikap, cara berpakaian, bahasa daerah, status sosial, hingga

penamaan .

Selain latar, unsur intrinsik yang membangun karya sastra pun ikut

terpengaruhi, seperti tema, tokoh dan penokohan, alur dan lain-lain.Warna

lokal yang dimunculkan dalam karya sastra bertujuan membuat cerita

menjadi lebih menarik dan keasliannya lebih terlihat.Novel merupakan karya

yang fiksionalitas, namun merupakan bentuk realitas sosial budaya suatu

daerah.

Novel yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah novel Di Bawah

Langit yang Sama yang ditulis oleh Helga Rif. Novel ini memiliki tebal
6

sebanyak 266 halaman.Novel ini merupakan novel cetakan pertama yang

diterbitkan oleh Gagasmedia pada tahun 2015.

Penulis memilih novel ini sebagai objek kajian didasarkan oleh

beberapa hal.Pertama, sebuah karya fiksi yang baik adalah apabila dapat

memberikan pengetahuan, wawasan, atau pengalaman baru kepada para

pembaca.Di dalam novel ini pembaca akan menemukan hal tersebut, terkait

dengan kebudayaan Bali. Kedua, novel ini memiliki cerita menarik dan

unik.Cerita tentang kebiasaan hidup masyarakat Bali yang masih memegang

teguh adat tradisi.Kebiasaan hidup tersebut akan terlihat pada saat prosesi

Ngaben dan tentang pernikahan yang tidak boleh dilakukan secara bebas oleh

masyarakat Bali dengan pertimbangan kedudukan atau kasta yang dimiliki.

Ketiga, novel ini adalah novel pertama Helga Rif yang termasuk novel

serius, bukan novel populer seperti kelima novel lainnya.Novel ini

mempunyai makna karena menghadirkan keindonesiaan dalam peristiwa

yang terjadi dalam jalinan cerita.Potensi Indonesia tergali dengan kompleks

dan akhirnya menjadi karya yang memiliki nilai estetika serta mudah

dipahami oleh pembaca.Alasan keempat adalah karena novel merupakan

bagian dari pembelajaran sastra di sekolah, dan belum ada penelitian terhadap

novel ini dalam tinjauan warna lokal dengan pendekatan sosiologi sastra.

Helga Rif merupakan seorang pengarang yang lahir di Situbondo,

Surabaya, Jawa Timur pada tanggal 28 Maret.Helga Rif menikah dengan

seorang pria yang berasal dari Bali sehingga membuatnya memahami seluk

beluk Bali meskipun dirinya bukan berasal dari Bali.Sejak tahun 1997 hingga
7

saat ini, Helga Rif sudah menghasilkan 6 novel yang hampir seluruhnya

mengangkat tema percintaan dengan alur cerita yang tidak terlalu rumit.

Karya-karyanya yang sudah terbit adalah Gara-gara Irana Jadi Arini (1997),

Menemukanmu (2011), Kepingan Cinta Lalu (2012), Melepaskanmu (2012),

First Love (2014), dan Di Bawah Langit yang Sama (2015).

Novel Di Bawah Langit yang Sama karya adalah novel pertamanya

yang mengangkat tema kelokalitasan dan memadukannya dengan fiksi

populer.Meskipun novel tidak seluruh bagian ceritanya tentang lokalitas,

tetap saja masih terasa kental dengan budaya Bali.Helga Rif mengatakan

bahwa cukup berat bagi dirinya saat menulis novel ini, sehingga ia harus

mencari informasi tentang budaya Bali dan meminta pendapat ahli mengenai

tulisannya ini. Tujuannya adalah agar tulisan yang telah dihasilkannya benar-

benar dapat menjadi gambaran masyarakat setempat.

Berdasarkan pengetahuan dan pengamatan yang dilakukan oleh

peneliti,dilingkungan FKIP Universitas Tanjungpura, belum pernah

dilakukan penelitian terhadap novel Di Bawah Langit yang Sama karya Helga

Rif. Namun, di luar lembaga tersebut sudah pernah dilakukan penelitian

terhadap novel Di Bawah Langit yang Sama karya Helga Rif oleh Anna Dwi

Lestari, 2018mahasiswa Universitas Negeri Surabayadengan judul

“Representasi Kebudayaan Bali dalam Novel Di Bawah Langit yang Sama

Karya Helga Rif (Kajian Interpretatif Simbolik Clifford Geertz”. Penulis

mengetahui hal ini dengan cara mencari informasi melalui internet, dan tidak
8

sepenuhnya hasil penelitian ini dipublikasikan. Penelitian yang telah

dilakukan tersebut menghasilkan simpulan sebagai berikut.

1. Rencana-rencana masyarakat Bali yang terepresentasi dalam novel Di

Bawah Langit yang Samakarya Helga Rif. Rencana tersebut adalah

perjodohan dan menjadi desainer.

2. Resep-resep masyarakat Bali yang terepresentasi dalam novel Di Bawah

Langit yang Sama karya Helga Rif.

Resep yang dimaksud oleh peneliti adalah cara-cara dalam menjalani

roda kehidupan. Apabila sedang menghadapi masalah maka mereka akan

mencari jalan keluar berdasarkan kepercayaan dan keyakinannya. Resep

tersebut adalah berpakaian, menamai keturunan, bersembahyang,

merawat jenazah, melayat,

3. Aturan-aturan yang Masyarakat Bali yang terepresentasi dalam novel Di

Bawah Langit yang Samakarya Helga Rif. Aturan yang terdapat dalam

novel ini adalah menentukan hari baik, upacara matur piuning, upacara

Ngaben, perkawinan, dan mengurus merajan.

4. Instruksi-instruksi masyarakat Bali yang terepresentasi dalam novel Di

Bawah Langit yang Sama karya Helga Rif. Terdapat dua intruksi yang

terdapat dalam novel yaitu berdasarkan moral dan intektual dan

berdasarkan paksaan.

Pada penelitian tersebut, peneliti menggunakan pendekatan

antropologis dan dikaji dengan metode analisis simbolik Clifford

Geertz.Perbedaan penelitian tersebut dengan yang akan dilakukan penulis


9

adalah pada kajiannya. Dalam hal ini, penulis akan mengkaji tentang warna

lokal Bali dalam novel Di Bawah Langit yang Sama karya Helga Rif

menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Penulis memilih meneliti tentang

warna lokal masyarakat Bali karena disesuaikan dengan isi cerita dalam

novel.Penulis juga ingin mengetahui tentang sejauh mana kebudayaan

masyarakat Bali yang tercermin dalam novel tersebut dan kemudian

mendeskripsikannya.Pendekatan sosiologi sastra melihat fenomena sosial,

selain dapat digunakan untuk mendeskripsikan kebudayaan juga dapat

digunakan untuk melihat interaksi sosial yang terjadi.

Dalam kaitan dengan pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah,

khususnya pembelajaran sastra terdapat jenis kurikulum yang digunakan di

sekolah yaitu KTSP kelas XII semester 1, pengajaran sastra terdapat dalam

standar kompetensinya, yaitu Memahami berbagai bentuk hikayat, novel,

roman Indonesia atau terjemahan.Pengajaran sastra juga meliputi tiga ranah

dalam kurikulum 2013 yaitu afektif, kognitif, dan psikomotor.Pada ranah

afektif, dapat ditemukan nilai-nilai yang dalam novel.Sementara itu, ranah

kognitif yang dapat dilakukan siswa adalah dapat menyimpulkan hasil

pembacaannya terhadap novel, sehingga dapat meningkatkan minat dan

kreatifitas siswa yang terkait dengan aspek psikomotor.

Implementasi terhadap pembelajaran sastra terkait dengan penelitian

ini pada kurikulum 2013 bagi guru mata pelajaran Bahasa Indonesia dapat

digunakan di Sekolah Menengah Atas kelas XII, khususnya pada

Kompetensi Dasar dan Indikator berikut ini.


10

Tabel B.1
Kompetensi Dasar dan Indikator

Kompetensi Dasar Indikator

3.8 Menafsir pandangan 3.8.1Menentukan pandangan pengarang

pengarang terhadap terhadap kehidupan nyata dalam novel

kehidupan dalam yang dibaca

novel yang dibaca 3.8.2Menghubungkan tafisiran

tentangpandangan pengarang terhadap

kehidupan dalam novel yang dibaca

4.8 Menyajikan hasil 4.8.1 Menentukan pandangan pengarang

interpretasi terhadap terhadap kehidupan nyata dalam novel

pandangan yang dibaca

pengarang 4.8.2Mempresentasikan dan menanggapi

pandangan pengarang

C. Masalah Penelitian

Warna lokal yang muncul dalam novel penting untuk dikaji, terutama

bagi yang ingin mempelajari tentang kelokalitasan suatu daerah. Melalui

kajian tersebut akan ditemukan ciri khas meskipun melalui novel. Dari

pengkajian tentang warna lokal akan terlihat kekayaan budaya yang dapat

memberikan pengetahuan bagi para pembaca. Peneliti melihat kelokalitasan

dominan muncul dalam novel Di Bawah Langit yang Sama karya Helga Rif,
11

sehingga membuat peneliti ingin mengkaji tentang warna lokal dalam novel

tersebut.

Berdasarkan uraian yang terdapat pada latar belakang, masalah umum

dalam penelitian ini adalah tentang “Bagaimanakah Warna Lokal dalam Novel

Di Bawah Langit yang Sama karya Helga Rifdan Rencana Implementasi

Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA” Masalah yang masih umum ini

dibatasi menjadi sub-submasalah sebagai berikut.

1. Bagaimana kebiasaan hidup masyarakat yang tercermin dalam novel Di

Bawah Langit yang Sama karya Helga Rif?

2. Bagaimana sikap hidup masyarakat yang tercermin dalam novel Di

Bawah Langit yang Sama karya Helga Rif?

3. Bagaimana rencana implementasi penelitian ini dalam pembelajaran

sastra di sekolah?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah penelitian, tujuan umum dari penelitian ini adalah

mendeskripsikan warna lokal yang tercermin dalam novel Di Bawah Langit

yang Sama. Secara khusus tujuan penelitian ini sebagai berikut.

1. Pendeskripsian kebiasaan hidup masyarakat yang tercermin dalam novel

Di Bawah Langit yang Sama karya Helga Rif.

2. Pendeskripsian sikap hidup masyarakat yang tercermin dalam novel Di

Bawah Langit yang Sama karya Helga Rif.

3. Pendeskripsian rencana implementasi penelitian dalam pembelajaran

sastra di sekolah.
12

E. Manfaat Penelitian

Penelitian yang akan dilakukan terhadap novel ini memiliki beberapa

manfaat, yang terdiri atas manfaat teoretis dan manfaat praktis.

Pemaparannya adalah sebagai berikut.

1. Manfaat Teoretis

a. Hasil penelitian ini akan dapat meningkatkan pengetahuan dan

wawasan tentang warna lokal atau kekhasan budaya masyarakat Bali,

mulai dari kebiasaan hidup dan sikap-sikap hidup.

b. Hasil penelitian ini akan menambah khazanah pengembangan ilmu

sastra dalam analisis terhadap novel.Pengembangan ilmu sastra

dalam analisis novel dilakukan dengan menerapkan teori sastra dan

mendeskripsikan kebudayaan Bali.

c. Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai acuan bagi

penelitian-penelitian lanjutan yang berhubungan dengan penelitian

sastra, khususnya penelitian tentang warna lokal yang terkandung

dalam sastra.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan rujukan bagi pengajar

mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dalam memilih bahan

ajarsebagai pembelajaran yang berkaitan dengan materi warna

lokal dalam suatu karya sastra.


13

b. Hasil penelitian ini dapat meningkatkan wawasan siswa mengenai

warna daerah yang terdapat dalam novel.

c. Hasil penelitian ini dapat dijadikan perbandingan bagi peneliti lain

yang ingin melakukan penelitian sebagai bahan pelengkap dalam

memahami warna lokal.

d. Hasil penelitian ini dapat menambah jumlah karya ilmiah di

perpustakaan yang dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan

dapat menambah wawasan pembaca, baik di jenjang SMP maupun

SMA.

F. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dalam penelitian merupakan objek yang akan diteliti.

Adanya ruang lingkup penelitian ini dibuat agar penelitian menjadi lebih

terarah. Ruang lingkup penelitian yang akan dibahas dalam penelitian ini

adalah menganalisis Warna Lokal dalam novel Di Bawah Langit yang Sama

karya Helga Rif. Warna lokal tersebut pun akan dibatasi pada kebiasaan

hidupdan sikap hidup pada masyarakat Bali. Peneliti membatasi pada kedua

hal ini karena keterbatasan kemampuan peneliti dalam mengkaji novel Di

Bawah Langit yang Sama karya Helga Rif serta fenomena yang muncul dalam

novel dapat dideskripsikan pada dua batasan tersebut.

G. Penjelasan Istilah Penelitian

Dalam penelitian ini penulis memberikan penjelasan mengenai istilah

yang terdapat dalam judul penelitian.Penjelasan istilah dibuat dengan maksud

agar tidak terjadi kesalahpahaman atau salah penafsiran terhadap istilah-istilah


14

yang digunakan dalam penelitian ini.Istilah-istilah yang dimaksud sebagai

berikut.

1. Warna lokal adalah lukisan cermat mengenai latar, istilah, kata-kata

setempat, dialek, adat istiadat, kepercayaan, kebiasaan, arsitektur rumah,

cara berpakaian, cara berpikir, cara merasa, sistem kekerabatan, struktur

sosial, agama, hubungan sosial yang khas dari suatu daerah.

2. Novel adalah cerita fiksi yang melukiskan suatu peristiwa yang luar biasa

dari kehidupan tokoh cerita, dan peristiwa tersebut menimbulkan krisis

atau pergolakan batin yang mengubah nasibnya(Zulfahnur dkk.,1996:67).

3. Novel Di Bawah Langit yang Sama merupakan sebuah novel yang

mengangkat cerita kehidupan modern keluarga Bali yang masih

memegang teguh adat istiadat keluarga tokoh, seperti upacara kematian

dan perkawinan berdasarkan kasta.

4. Helga Rif adalah penulis novel Di Bawah Langit yang Sama, novel yang

akan dikaji oleh peneliti.

Berdasarkan batasan warna lokal dan penjelasan istilah tersebut, dapat

disimpulkan pada bahwa penelitian warna lokal dalam novel Di Bawah Langit

yang Sama karya Helga Rifadalah lukisan cermat mengenai istilah, kata-kata

setempat, dialek, adat istiadat, kepercayaan, kebiasaan, arsitektur rumah, cara

berpakaian, sistem kekerabatan, struktur sosial, agama, yang khas dari suatu

daerahyang terdapat dalam novel Di Bawah Langit yang Sama karya Helga

Rif. Peneliti memilih batasan tersebut karena didasarkan pada fenomena


15

warna lokal yang muncul dalam novel Di Bawah Langit yang Sama karya

Helga Rif.

H. Kajian Pustaka

1. Novel

Keberadaan novel dalam dunia sastra Indonesia cukup lama

dibandingkan bentuk lainnya dalam sastra seperti cerita pendek, esai,

drama, dan kritik.Pengertian novel menurut Jassin (dalam Zulfahnur

dkk.1996:67) adalah menceritakan suatu kejadian yang luar biasa dari

tokoh cerita dimana kejadian-kejadian itu menimbulkan pergolakan batin

yang mengubah perjalanan nasib tokohnya.Selanjutnya Zulfahnur dkk.

(1996:67) menambahkan bahwa novel adalah cerita fiksi yang melukiskan

suatu peristiwa yang luar biasa dari kehidupan tokoh cerita, dan peristiwa

tersebut menimbulkan krisis atau pergolakan batin yang mengubah

nasibnya.

Menurut Rokhmansyah, (2014:32) novel menceritakan hal luar

biasa yang terjadi dalam kehidupan manusia, sehingga jalan hidup tokoh

cerita yang ditampilkan dapat berubah.Ditambahkan oleh Wolf (dalam

Tarigan, 2015:167) bahwa novel adalah tentang eksplorasi atau suatu

kronik penghidupan yang melukiskan bentuk tertentu, pengaruh, katan,

hasil, kehancuran, dan tercapainya gerak-gerik manusia.Jadi, dapat

disimpulkan bahwa novel adalah sebuah cerita rekaan yang menceritakan

peristiwa luar biasa yang terjadi pada manusia melalui tokoh yang ada
16

dalam cerita, sehingga tercapainya gerak-gerik yang membuat jalan

hidupnya berubah.

2. Latar/Setting dalam Novel

Peranan latar bagi pengarang adalah untuk menggambarkan cerita,

selain itu dapat digunakan sebagai lambang bagi peristiwa yang telah,

sedang atau akan terjadi. Menurut Rokhmansyah (2014:32) latar

merupakan suatu keadaan baik itu berupa tempat, waktu, ataupun keadaan

alam yang melatarbelakangi suatu peristiwa. Stanton (dalam

Rokhmansyah, 2014:38) mengelompokkan latar, tokoh, dan plot ke dalam

fakta (cerita) sebab ketiga hal ini yang akan dihadapi dan dapat

diimajinasikan oleh pembaca faktual jika membaca cerita fiksi.Hudson

(dalam Siswanto, 2013:136) mengemukakan bahwa latar sosial

menggambarkan keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan

sikapnya, adat kebiasaan, cara hidup, bahasa dan lain-lain yang melatari

peristiwa. Latar fisik mengacu pada wujud fisikal, yaitu bangunan, daerah,

dan sebagainya.

Berikut ini adalah aspek-aspek latar, yang meliputi latar tempat,

waktu, dan sosial menurut Rokhmansyah (2014:38-39).

a. Latar Tempat

Latar tempat menggambarkan lokasi terjadinya peristiwa dalam

cerita (Rokhamansyah, 2014:38).Penggunaan latar tempat dengan nama-


17

nama tertentu harus mencerminkan dan tidak bertentangan dengan sifat

dan kondisi geografis tempat yang bersangkutan.

b. Latar Waktu

Terdapat dua jenis latar waktu dalam pembedaannya, yaitu waktu

cerita dan waktu penceritaan.Nurgiyantoro (dalam Rokhmansyah,

2014:38) membedakan keduanya sebagai berikut.Waktu cerita adalah

waktu yang ada dalam cerita atau lamanya cerita itu terjadi.Waktu

penceritaan adalah waktu untuk menceritakan cerita.Selain itu, waktu

terjadinya konflik yang terdapat dalam cerita, misalnya dini hari, siang

hari, malam atau sore hari.Beberapa juga disebutkan tanggal kejadiannya.

c. Latar Sosial-Budaya

Nurgiyantoro (dalam Rokhmansyah, 2014:39) mengatakan latar

social-budaya mengarah pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku

kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya

fiksi. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa latar sosial dapat berupakebiasaan

hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan

bersikap, dan lain sebagainya yang tergolong latar spiritual.Selain itu juga

berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya

rendah, menengah,atau atas.

Bahasa daerah atau dialek (kata atau ungkapan) tertentuhingga

penamaan tokoh dapat mencerminkan latar sosial budaya. Penamaan tokoh


18

akan langsung memperlihatkan status sosial para tokohnya. Latar sosial-

budaya memang dapat segera meyakinkan menggambarkan suasana

kedaerahan atau warna lokal, melalui kehidupan sosial-budaya setempat.

3. Warna lokal

Warna lokal atau warna daerah sudah muncul dalam sastra

Indonesia pada periode Balai Pustaka khususnya pada novel yang

mengambil latar Minangkabau.Sampai saat ini, sastra Indonesia yang

berwarna lokal sudah mulai berkembang, tidak hanya soal Minangkabau

melainkan juga menampilkan sisi Indonesia lainnya, seperti Jawa, Dayak,

dan Bali dan lain sebagainya.

Sebuah warna lokal yang muncul dalam karya sastra tidak sekedar

muncul dalam hal yang sifatnya tampak oleh mata, tetapi juga dapat

muncul dalam sikap dan cara berpikir dari pelaku cerita tersebut. Dengan

demikian, untuk penilaian terhadap sebuah karya sastra yang mengandung

warna lokal tidaklah cukup dinilai dari penggunaan latar suatu daerah

tersebut. Sebuah warna lokal yang muncul juga akan menyebabkan latar

menjadi unsur paling dominan atau bahkan menjadi fokus utama dalam

karya.

Menurut Abrams( https://antilan.blogspot.com) warna lokal adalah

lukisan cermat mengenai latar, dialek, adat istiadat, cara berpakaian, cara

berpikir, cara merasa, dan sebagainya yang khas dari suatu daerah tertentu

untuk menjadi bagian dalam suatu cerita. Selain itu, ditambahkan oleh
19

Mahmud bahwa sistem kekerabatan, struktur sosial, hubungan sosial,

agama, kepercayaan juga termasuk dalam warna lokal.Sementara itu,

menurut Sastrowardoyo (https://mesiusasindo.wordpress.com) warna lokal

tidak terbatas pada adat istiadat, banyak hal lain yang termasuk di

dalamnya. Hal lain yang dimaksud adalah penggunaan istilah, ungkapan

bahasa daerah, dan kata-kata setempat yang menunjukkan adat istiadat,

kepercayaan, arsitektur rumah, kebiasaan, ekspresi, dan

sebagainya.Berdasarkan pendapat para ahli, peneliti menyimpulkan bahwa

warna lokal adalah lukisan cermat mengenai latar, istilah, kata-kata

setempat, dialek, adat istiadat, kepercayaan, kebiasaan, arsitektur rumah,

cara berpakaian, cara berpikir, cara merasa, sistem kekerabatan, struktur

sosial, agama, hubungan sosial yang khas dari suatu daerah tertentu.

Salah satu media untuk melestarikan kebudayaan suatu daerah

adalah melalui penciptaan karya sastra yang akhirnya berbentuk

dokumentasi.Setiap sastra yang mengandung warna lokal akan

menggambarkan sikap, cita-cita, identitas masyarakat setempat. Sastra

yang menampilkan kelokalitasan biasanya menjadi lebih menarik dan

hidup.Warna lokal selalu menjadi suatu realitas sosial budaya suatu daerah

yang ditunjuk secara tak langsung oleh realitas yang dicerminkan dalam

sastra.

a) Kebiasaan Hidup

Kata kebiasaan ini dapat diartikan sebagai sesuatu yang

dilakukan sejak lama dan menjadi kebiasaan karena diteruskan oleh


20

suatu kelompok.Kebiasaan-kebiasaan tersebut menjadi bagian dari

kehidupan kelompok masyarakat karena dilakukan terus

menerus.Kebiasaan biasanya akan diteruskan kepada generasi dengan

cara lisan.

Rafiek (2014:16) mengatakan bahwa kebiasaan adalah cara

yang sesungguhnya anggota kelompok berinteraksi atau bertingkah

laku. Contohnya adalah cara berkomunikasi dan cara makan makanan

khas. Judistira (dalam Nuraeni, 2013:65) kebiasaan tidak hanya

terungkap dalam kesenian, tetapi juga segala bentuk cara berperilaku,

bertindak, serta pola pikir. Kebiasaan hidup menyangkut kelakuan

yang sudah menjadi kebiasaan, diterima dan ditaati sebagai aturan

yang mengikat walaupun bukan oleh pemerintah, dilakukan berulang-

ulang mengenai peritiwa dan patut ditaati atau dipatuhi (Saebani,

2012:33).

Pembentukan kebiasaan bermula dari aktivitas karena

kebutuhan manusia. Dalam pemenuhan kebutuhan tersebut, diperlukan

cara yang dapat diterima oleh kelompoknya dan diteruskan dari

generasi ke generasi dan akhirnya menjadi cara hidup atau kebiasaan

hidup. Kebiasaan hidup meliputi aktivitas sosial manusia yang

berlangsung dari waktu ke waktu berdasarkan tata kelakuan

masyarakat secara turun temurun, misalnya kebiasaan hidup yang

muncul dalam masyarakat Bali adalah cara berpakaian, cara berbicara,

tata cara melakukan upacara agama atau adat, struktur sosial, dan lain-
21

lain yang sifatnya diteruskan dari generasi ke generasi.Aktivitas ini

bersifat konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan dapat diamati

dan didokumentasikan.

Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan sebelumnya,

maka menurut peneliti kebiasaan hidup memiliki ciri-ciri sebagai

berikut, 1) dilakukan sejak lama; 2) turun temurun, dari generasi ke

generasi; 3) diwariskan secara lisan dan tertulis; 4) dilakukan oleh

individu dan kelompok masyarakat; 5) dilakukan secara terus menerus

atau berkelanjutan.Kriteria kebiasaan hidup yang dimaksud oleh

peneliti adalah kelakuan, tindakan atau hal yang biasa dilakukan oleh

manusia atau yang disebut dengan aktivitas, opiniatau pandangan

tentang keadaan sekitar termasuk diri sendiri, maupun hal lainnya yang

dapat menunjukkan status sosialnya dalam kelompok

masyarakat.Kebiasaan hidup berkaitan erat dengan aktivitas dalam

adat dan tradisi.Oleh sebab itu, peneliti lebih banyak menggambarkan

tentang adat istiadat dan tradisi.

b) Adat Istiadat

Menurut Setiadi, adat istiadat adalah pikiran-pikiran, gagasan,

konsep serta keyakinan dengan sistem kebudayaan merupakan bagian

dari kebudayaan (dalam Herdiyanti, 2013:17). Koentjaraningrat

(2002:189) adat istiadat secara khusus terdiri dari nilai-nilai budaya,

pandangan hidup, dan cita-cita, norma-norma dan hukum, pengetahuan


22

dan keyakinan.Sistem nilai budaya merupakan tingkat paling tinggi

dan abstrak dari adat istiadat.

Konsep mengenai nilai budaya merupakan apa yang hidup

dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu masyarakat

mengenai apa yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting

dalam hidup. Semua hal tersebut akan menjadi suatu pedoman yang

memberi arah pada hidup masyarakat tersebut.

c) Keyakinan

Keyakinan berbeda dengan kepercayaan.Keyakinan berada

pada tingkatan lebih tinggi dibandingkan kepercayaan.Manusia selalu

memiliki keyakinan atas suatu hal, karena manusia selalu mempunyai

harapan dan cita-cita.Harapan dan cita-cita ini akan membuat manusia

berusaha untuk mewujudnyatakan harapan tersebut. Jika manusia tidak

memiliki keyakinan, maka hidup manusia akan penuh kebimbangan.

Dalam mewujudkan keyakinan dan pengharapan tersebut, manusia

harus tetap mengikuti aturan atau norma tertentu, baik yang

berhubungan dengan manusia, alam, atau yang bersifat gaib

(Sulaeman, 2012:126).

Pentingnya keyakinan dalam hidup karena akan membantu

manusia menopang hidupnya. Dengan keyakinan yang penuh, hidup

manusia tidak akan muncul keraguan. Namun, keyakinan ini juga

harus keyakinan yang benar.

d) Pandangan Hidup
23

Pandangan hidup merupakan suatu dasar atau landasan untuk

membimbing kehidupan rohani dan jasmani.Pandangan hidup

dikatakan juga sebagai filsafat hidup. Arti filsafat itu sendiri adalah

cinta akan kebenaran tentulah bentuk kebenaran yang akan dicapai

adalah kebenaran yang dapat diterima oleh sikap saja (Prasetya,

2011:184).

Pandangan hidup ini akan menimbulkan perbuatan, kata-kata dan

tingkah laku, cita-cita sikap, dorongan atau tujuan yang akan dicapai.

Dalam masyarakat Indonesia, pancasila dijadikan sebagai pandangan

hidup.Pada sila pertama, yaitu berketuhanan membuat masyarakat

Indonesia harus memancarkan perbuatan atau tingkah laku dan

ucapan-ucapannya dalam berhubungan dengan sesama, baik itu

keluarga ataupun masyarakat.Seluruh tindakan yang manusia lakukan

harus berlandaskan pancasila dan mengutamakan nilai ketuhanan.

Manusia menyadari bahwa dirinya lemah dan membuat

manusia mencari kekuatan yang bersumber dari luar dirinya.Dengan

adanya kekuatan tersebut, manusia dapat terlindungi dari ancaman atau

bahaya yang dapat terjadi dalam dirinya.Manusia juga menyadari

bahwa akanada kehidupan abadi selain di dunia ini, tempat manusia

mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya selama di dunia.

Maka, manusia akan mencari sesuatu yang dapat menuntun manusia

untuk melakukan kebaikan.


24

Dalam Widagho dkk.(2008:142) yang ditemukan manusia yang

disebut kekuatan di luar dirinya adalah agama dan Tuhan.Kedua hal ini

tidak dapat dipisahkan, dan dapat memberi petunjuk kepada manusia

tentang baik dan buruk.Kesadaran manusia bahwa hanya Tuhan yang

dapat menghilangkan ancaman.

Pandangan hidup itu secara konkret dapat dilihat dalam

kehidupan sehari-hari, seperti hidup rukun dan damai antar umat

beragama, tidak membeda-bedakan orang karena alasan agama,

melakukan kegiatan sosial dengan sukarela, sopan santun dalam setiap

kesempatan, toleransi sosial, mendahulukan kepentingan umum

daripada kepentingan pribadi, musyawarah, tidak memaksa kehendak

diri, senantiasa berusaha dalam kewajiban dan menikmati hak,

menghargai diri sendiri dan orang lain, membantu orang lain, dan

tanggung jawab. Tidak hanya yang telah dikatakan sebelumnya tetapi

masih banyak contoh lain yang dapat dilihat.

e) Cara Berpikir

Pada dasarnya, manusia diciptakan dengan akal budi sehingga

dapat berpikir dan bertindak. Cara berpikir adalah cara seseorang

dalam menilai dan memberikan simpulan terhadap sesuatu. Dalam

memberikan penilaian dan simpulan tersebut, didasarkan sudut

pandang tertentu yang dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman

yang dimiliki seseorang.Cara berpikir tiap-tiap orang akan berbeda,


25

sehingga biasanya akan mempengaruhi perilaku dan pandangan, sikap,

dan masa depan yang berbeda pula.

f) Sikap Hidup

Sikap adalah reaksi yang memunculkan tingkah laku atau

gerakan-gerakan yang terlihat dalam interaksi seseorang dengan objek

yang dapat berupa orang, gagasan, tempat, atau situasi.Sikap hidup

adalah keadaan hati dalam menghadapi hidup ini (Prasetya,

2011:179).Sikap ini dapat terlihat melalui tindakan-tindakan yang

dilakukan, bisabersifat negatif atau positif, optimis atau pesimis

bergantung pada setiap pribadi dan lingkungannya.

Sikap ini dapat dibentuk dari pandangan hidup manusia dan

dapat pula dibentuk sesuai dengan kemauan yang membentuknya

melalui pendidikan.Pemarah, pendiam, malu, mandiri, pemberani,

tegas, disiplin tinggi, sikap ksatria, ramah termasuk dalam sikap

hidup.Ketika manusia berhadapan dengan manusia lain, mereka

memiliki sikap etis dan nonetis.

Menurut Prasetya (2011:180) sikap etis ini meliputi:

1. sikap lincah,
2. sikap tenang,
3. sikap halus,
4. sikap berani,
5. sikap arif,
6. sikap rendah hati,
7. dan sikap bangga, dan
8. sikap menghadapi keluarga.

Sikap nonetis ini di antaranya adalah:

1. sikap kaku,
26

2. sikap gugup,
3. sikap kasar,
4. sikap takut,
5. sikap angkuh, dan
6. sikap rendah diri.

Tentunya sikap-sikap non etis atau negatif ini harus dihindari

oleh setiap individu, karena sangat merugikan.Selain sikap sebagai

individu, sikap positif yang harus dimiliki sebagai bangsa Indonesia

adalah sikap suka bekerja keras, gotong royong, menjaga hak dan

kewajiban, sikap suka menolong, dan sikap menghargai pendapat

orang lain.

Widagho, dkk. (2008:131) mengatakan bahwa sikap merupakan

produk dari proses sosialisasi dan hasil penyesuaian diri seseorang

terhadap objek dengan dipengaruhi oleh lingkungan serta kesediaan

untuk bereaksi terhadap objek. Selain bersumber dari pandangan

hidup, sikap juga berpangkal pada kepribadian yang mendasari tingkah

laku seseorang.Sikap hidup yang seharusnya dimiliki manusia adalah

ditunjukan dengan perbuatan yang selaras dengan suara hati, suara

masyarakat, dan tentunya disesuaikan dengan hokum Tuhan karena

manusia memiliki pandangan hidup. Beberapa contohnya adalah sopan

santun, berbahasa baik, ramah tamah, berpakaian sopan(Widagho

dkk.,2008:130).

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka sikap hidup yang muncul

dalam diri tidak dapat dipastikan karena disesuaikan dengan tiga hal,

yaitu kognisi, emosi, dan perilaku.Sikap akan muncul sebagai reaksi


27

saat seseorang menyukai atau tidak menyukai sesuatu. Semua itu

berawal dari kognisi atau pikiran yang ditentukan juga oleh emosi dan

berakhir dalam sikap yang ditunjukkan.Hal ini juga bergantung pada

apa yang dihadapi oleh individu. Meskipun demikian, segala reaksi

yang ditunjukkan oleh seseorang terhadap objek (orang, gagasan,

tempat, situasi, masalah) maka itu dapat dikatakan sebagai sikap hidup.

Dalam penelitian ini beberapa sikap hidup yang akan dikaji

adalah sikap hidup terhadap Tuhan dan sikap yang muncul dalam diri

para tokoh. Sikap hidup tersebut adalah kepercayaan kepada Tuhan,

sikap tegas, keras, sikap dalam menghadapi keluarga, sikap dalam

menghadapi masalah, saling menolong, toleransi, ramah, sopan,

pasrah.

4. Adat Kebiasaan Masyarakat Bali

Adat merupakan pencerminan dari kepribadian suatu bangsa, dan

merupakan unsur terpenting yang memberikan identitas kepada bangsa

yang bersangkutan.Tingkatan peradaban maupun cara penghidupan

masyarakat yangmodern ternyata tidak mampu menghilangkan adat

kebiasaan yang hidup dalam masyarakat. Adat kebiasaan yang

berhubungan dengan tradisi merupakan adat kebiasaan yang turun temurun

yang masih dijalankan.Jika terjadi perubahan pun hanya menyesuaikan

dengan keadaan dan kehendak zaman.

Bali merupakan salah satu propinsi di Indonesia yang memiliki

penduduk terbanyak pemeluk agama Hindu, dengan kepemelukan agama


28

Hindu ini penduduk Bali memiliki kepercayaan layaknya pemeluk Hindu

pada umumnya yang memilki kepercayaan terhadap roh.

a. Adat Istiadat

1) Ngaben

Setia (2014:66) mengatakan bahwa Ngaben merupakan upacara

penyempurnaan jasad, mengembalikan unsur-unsur yang membentuk

tubuh manusia ke asalnya.Ia juga menambahkan bahwa berdasarkan

keyakinan Hindu, tubuh yang sudah ditinggal roh (meninggal)

diumpamakan sebagai sampah atau benda rongsokan yang harus

segera dihanguskan atau dibakar.Sementara itu, menurut Rusyan dkk.

(2001:215) ngaben adalah upacara pembakaran mayat dan abunya

dibuang ke laut atau sungai. Berdasarkan pendapat tersebut dapat

disimpulkan bahwa ngaben merupakan sebuah upacara kematian

masyarakat Hindu Bali dengan cara membakar jenazah dan membuang

sisa pembakaran jasad yang berupa abu di laut atau sungai untuk

mengembalikan jasad pada alam.Kepercayaan masyarakat Hindu

menganggap bahwa alam dan tubuh manusia terbentuk oleh zat yang

sama. Bahkan dikatakan juga unsur tersebut meminjam unsur alam.

Upacara Ngaben biasanya dilaksanakan oleh keluarga sanak

saudara dari orang yang meninggal, sebagai wujud rasa hormat

seorang anak terhadap orang tuanya. Upacara ini biasanya dilakukan

dengan semarak, tidak ada isak tangis, karena di Bali ada suatu

keyakinan bahwa kita tidak boleh menangisi orang yang telah


29

meninggal karena itu dapat menghambat perjalanan sang arwah

menuju tempatnya.

Hari pelaksanaan Ngaben ditentukan dengan mencari hari baik

yang biasanya ditentukan oleh Pedanda. Beberapa hari sebelum

upacara Ngaben dilaksanakan keluarga dibantu oleh masyarakat akan

membuat“Bade danLembu” yang sangat megah terbuat dari kayu,

kertas warna-warni dan bahan lainnya. “Bade dan Lembu”ini

merupakan tempat mayat yang akan dilaksanakan Ngaben.

Bagi masyarakat Hindu Bali, upacara Ngaben memiliki 3 tujuan

utama, yang dilandasi oleh pemikiran bahwa kehidupan sebagai

manusia, yang berasal dari Tuhan untuk kembali ke Tuhan. Tujuan

pertama adalah sebagai bentuk pelepasan roh atau Sang Atma dari

duniawi.Pada tahap selanjutnya, pelepasan ini menjadi sarana untuk

mempermudah roh untuk bersatu dengan Tuhan.Tujuan berikutnya,

adalah dengan mengembalikan segala unsur Panca Maha Bhuta.Panca

Maha Bhuta adalah 5 unsur utama yang membangun badan kasar

manusia yang disebut pertiwi, apah, teja, bayu, dan akasa.Tujuan

terakhir dari pelaksanaan upacara Ngaben oleh masyarakat Hindu Bali

adalah sebagai simbolisasi dari pihak keluarga.Ketika melakukan

upacara Ngaben, itu tandanya bahwa pihak keluarga yang telah

ditinggalkan, telah ikhlas dengan kepergian jenazah.

Selama jenazah masih ditaruh di balai adat, pihak keluarga

masih memperlakukan jenazahnya seperti selayaknya masih hidup,


30

seperti membawakan kopi, memberi makan disamping jenazah,

membawakan handuk dan pakaian, dan lainnya sebab sebelum

diadakan upacara yang disebut Papegatan maka yang bersangkutan

dianggap hanya tidur dan masih berada dilingkungan keluarganya.

Papegatan merupakan upacara untuk memutuskan hubungan


duniawi dan cinta dari kerabat mendiang/almarhum. Hal ini
dikarenakan dapat berpengaruh terhadap kelancaran perjalanan
sang roh menuju Tuhan. Keikhlasan keluarga akan terlihat dari
upacara ini untuk merelakan kepergian mendiang ke tempat
yang jauh lebih baik.Sarana yang digunakan untuk upacara ini
adalah banten (sesajian) yang disusun pada sebuah lesung batu
dan di atasnya diisi dua cabang pohon dadap yang dibentuk
seperti gawang dan dibentangkan benang putih pada kedua
cabang pohon tersebut.Benang ini akan diterobos oleh kerabat
dan pengusung jenazah sebelum keluar rumah hingga putus.
(https://id.m.wikipedia.org>wiki>ngaben)

Sebagai bagian dari puncak upacara ngaben, keluarga almarhum

melakukan acara palebon dengan rangkaian kegiatan sebagai berikut

(Rusyan (2001:216) .

a) Menaruh bade (merara jenazah) beserta peti jenazah untuk


dibakar berupa lembu, singa, atau gajah di sepanjang jalan pada
pagi hari
b) Mensucikan dengan upacara pamelaspasan
c) Menjelang tengah hari pawai mulai bergerak menuju tempat
pembakaran mayat, dalam pawai tersebut bade pangbesa
berjalan paling depan disusul bade-bade kecil serta puluhan
pertulangan lembu, singa dan jaja mana. Jalan berbelok-belok
dengan maksud agar jiwa almarhum tidak mendapat rintangan
roh jahat. Bunyi tetabuhan gamelan ikut pula meramaikan
iringan pawai.
d) Menaruh dan memasukkan jenazah dan tulang belulang
almarhum ke dalam petualangan dan kemudian membakarnya.
Setelah keluarga almarhum membuang abu almarhum ke laut
di bagian penyucian terakhir.
Menurut Aljupri, (2010:40-44) berdasarkan caranya, pembagian

Ngaben terbagi menjadi 2, yaitu Ngaben langsung dan Ngaben


31

massal.Ngaben jenis pertama, yaitu ngaben langsung dilakukan setelah

orang itu meninggal.Ngaben jenis ini biasanya dilakukan oleh mereka

yang mampu secara ekonomi.Persiapannya pun membutuhkan waktu

yang cukup lama, minimal 10 hari jika sudah ditentukan hari baik

berdasarkan kalender Bali.Sambil menunggu persiapan itu, maka

tubuh yang telah meninggal diawetkan terlebih dahulu, menggunakan

es atau dengan zat kimia.

Selanjutnya adalah Ngaben massal (Ngerit).Ngaben ini dilakukan

secara bersama-sama dengan banyak orang. Peraturan di setiap desa

berbeda, ada yang tiga tahun sekali dan ada yang lima tahun sekali.

Bahkan mungkin ada yang lainnya.

Setelah melaksanakan rangkaian upacara Ngaben, maka

selanjutnya adalah upacara Mamukur.Upacara mamukur adalah sebuah

upacara yang berupa penyucian Atma agar tidak terbelenggu badan

halus, dan meningkatkan status atma menjadi pitra, dapat disembah

oleh pratisantana atau anak cucu keturunannya.

2) Upacara Perkawinan

Perkawinan adalah upacara pengikatan janji nikah yang

dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud

meresmikan ikatan perkawinan secara norma agama, norma

hukum, dan norma sosial. Upacara perkawinan atau pernikahan

memiliki banyak ragam dan variasi menurut tradisi suku bangsa,

agama, budaya, maupun kelas sosial.Penggunaan adat atau aturan


32

tertentu kadang-kadang berkaitan dengan aturan atau hukum agama

tertentu pula.

Rusyan (2001:216-217) mengemukakan rangkaian upacara

perkawinan di provinsi Bali sebagai berikut.

a) Upacara Melamar

Upacara ini disebut juga mepadik. Dalam upacara ini pihak

orang tua dari calon mempelai pria melamar kepada orang tua

wanita, bila keduanya sudah siap akan membina rumah tangga.

b) Persiapan Perkawinan

Pada acara persiapan upacara perkawinan, pihak

keluarga pria menjemput dan membawa calon pengantin

wanita ke rumah pengantin pria hal ini karena penyelenggaraan

perkawinan dilaksanakan di rumah pihak keluarga

pria.Rangkaian acara upacara sebelum perkawinan ini, pertama

kekep, yaitu sebelum pernikahan kedua calon pengantin tidak

boleh keluar kamar.Kedua, mabyakala yaitu upacara

pembersihan diri bagi kedua calon pengantin dengan

sesajen.Upacara ini dilakukan setelah upacara penjemputan.

c) Upacara Perkawinan

Dalam upacara perkawinan dilaksanakan beberapa hal,

yaitu memutuskan benang yang direntangkan dengan tujuan

supaya kedua mempelai akan selalu bersama-sama menghadapi


33

segala rintangan hidup. Setelah itu memperagakan gerak orang

memacul beserta paculnya, ini dilakukan oleh pengantin pria.

Sementara itu, pengantin wanita memperagakan gerakan

sedang bertanam umbi-umbian.Hal ini dilakukan

melambangkan semangat gotong-royong, keduanya sebagai

suami istri dalam mengarungi bahtera rumah tangga ke

depannya.

d) Kawin Lari

Kawin lari disebut juga mepadik, yaitu melarikan gadis

calon mempelai untuk dinikahi, cara ini sering pula dilakukan

karena caranya yang sederhana dan biayanya tidak mahal.

Biasanya pihak pria memberitahukan kepada pihak keluarga

wanita tentang peristiwa kawin lari itu.Kemudian kedua belah

pihak merundingkan untuk acara pernikahan.

Dengan kawin lari ini pihak wanita tidak dapat menuntut

biaya perkawinan dan bawaannya.Upacara pernikahan pun

dilakukan secara sederhana dan hemat.

e) Kawin Paksa

Melegandung atau kawin paksa masih tetap berlaku dan

sebagai adat masyarakat Provinsi Bali.Walaupun upacara

kawin paksa ini sudah jarang dipergunakan dan kurang disukai

oleh berbagai pihak.

f) Pakaian Perkawinan
34

Pakaian yang digunakan oleh pengantin pria adalah

songket sapudi, destar yang dipakai di kepala, keris terselip di

pinggang, hiasan bunga emas dan bunga kamboja di kepala.

Sementara itu pengantin wanita menggunakan kain songket dua

helai, stagen songket atau peradi, sanggul tagel, hiasan bunga

emas dan bunga kamboja di kepala.

Saat ini banyak terjadi upacara pernikahan beda kasta khususnya

bagi masyarakat Bali bahkan beda agama. Masyarakat cenderung

menghindari pernikahan seperti ini.

Kasta juga sangat sering menuai pro dan kontra, terutama dalam

masalah pernikahan.Pada jaman dulu, masyarakat Bali tidak

diperbolehkan menikah dengan kasta yang berbeda.Seperti yang

dikemukakan oleh Sutarto dkk.(2009:94) perkawinan campuran

terutama perkawinan antara wanita kasta tinggi dengan kasta di

bawahnya sangat dilarang.Pelanggaran tersebut akan dapat dihukum

mati.

Kemudian terjadi beberapa perubahan terhadap kebijakan

hukuman tersebut.Pada saat penjajahan Belanda hukuman tersebut

diubah menjadi hukuman pembuangan seumur hidup di Parigi

(Sulawesi), yaitu hukuman buangan selama 10 tahun di luar Bali.Pada

tahun 1937 diubah menjadi 3 tahun dan terjadi perubahan lagi yaitu

selama satu tahun.


35

Seiring perkembangan jaman, aturan tersebut seharusnya sudah

tidak berlaku lagi, diakibatkan oleh pengaruh budaya modern melalui

berbagai saluran sebagaimana tampak dalam masyarakat Bali masa

kini.Namun, sebagian penduduk Bali masih ada yang

mempermasalahkan pernikahan beda kasta. Dalam agama Hindu tidak

dikenal adanya perkawinan beda agama. Hal ini terjadi karena sebelum

perkawinan harus dilakukan terlebih dahulu upacara

keagamaan.Apabila salah seorang calon mempelai tidak beragama

Hindu, maka dia diwajibkan sebagai penganut agama Hindu, karena

calon mempelai yang bukan Hindu tidak disucikan terlebih dahulu dan

kemudian dilaksanakan perkawinan.

Pernikahan dengan kasta yang berbeda dibolehkan dengan

syarat kasta yang perempuan harus mengikuti yang laki-laki. Jika kasta

perempuan dari kasta yang tinggi, menikah dengan kasta yang lebih

rendah, maka kasta perempuan akan turun mengikuti suaminya. Begitu

juga sebaliknya, karena di Bali laki-lakilah yang menjadi ahli waris

dari generasi sebelumnya.

Dalam pernikahan dengan kasta yang berbeda ini terbagi

menjadi dua bagian, yaitu kasta istri lebih rendah dari kasta suami dan

kasta istri lebih tinggi dari kasta suami.Pernikahan beda kasta tersebut

akan dipaparkan sebagai berikut.

a) Kasta istri lebih rendah dari kasta suami. Pernikahan beda kasta

inilah yang sudah seringterjadi di Bali. Pernikahan semacam ini


36

biasanya memberikan kebanggaan tersendiri bagi keluarga

perempuan, karena putri mereka berhasil mendapatkan pria dari

kasta yang lebih tinggi. Secara otomatis kasta sang istri juga akan

naik mengikuti kasta suami. Tetapi, sang istri akan mendapatkan

perlakuan yang tidak sejajar oleh keluarga suami.

Saat upacara pernikahan, biasanya bantenan untuk mempelai

wanita diletakan terpisah, atau dibawah. Bahkan dibeberapa daerah,

sang istri harus rela melayani para ipar dan keluarga suami yang

memiliki kasta lebih tinggi. Walaupun zaman sekarang hal tersebut

sudah jarang dilakukan, tapi masih ada beberapa orang yang masih

kental kastanya menegakan prinsip tersebut demi menjaga

kedudukan kastanya.

b) Kasta istri tinggi dari kasta suami. Pernikahan beda kasta seperti ini

sangat dihindari oleh penduduk Bali. Karena pihak perempuan

biasanya tidak akan mengijinkan putri mereka menikah dengan lelaki

yang memiliki kasta lebih rendah. Biasanya pernikahan ini terjadi

secara sembunyi-sembunyi atau biasa disebut sebagai ngemaling atau

kawin lari sebagai alternatifnya.

Perempuan yang menikahi laki-laki yang berkasta lebih rendah

akan mengalami turun kasta mengikuti kasta suaminya, yang disebut

sebagai Nyerod. Sebagian besar penduduk Bali lebih menyukai dan

lebih dapat menerima laki-laki yang bukan orang Bali sebagai


37

menantu, dari pada menikah dengan laki-laki berkasta lebih rendah,

dan mengalami penurunan kasta.

Korn (dalam Budiana, 2009:2) sistem kekerabatan yang dianut

lagi oleh masyarakat Hindu Bali adalah sistem kekerabatan

patrilineal.Keturunan ditarik dari garis keturunan laki-laki yang disebut

Purusa.Wanita akan masuk dalam rumpun keluarga laki-laki dan

meneruskan keturunan laki-laki.

Selain purusa, sistem kekerabatan Bali juga terdapat bentuk

perkawinan Nyeburin. Perkawinan ini dilakukan dengan cara menarik

seorang laki-laki ke dalam keluarga perempuan untuk dikawinkan

dengan salah seorang anak perempuannya yang dikukuhkan sebagai

penerus keturunan keluarga, yang menjadi sentana rajeg. Ini dilakukan

apabila keluarga tersebut tidak mempunyai anak laki-laki.

b. Sistem Kepercayaan

Agama Hindu adalah agama formal. Agama Hindu juga

merupakan inti kebudayaan Bali sehingga ia meresap ke dalam

keseluruhan unsur kebudayaan Bali. Atmadja, (2013:75-76)

mengemukakan bahwa agama Hindu sebagai berikut.

a) Memuja kekuatan adikodrati yang disebut Brahman, Tuhan, atau


dewa sebagai personifikasi-Nya maupun roh leluhur. Agama Hindu
percaya terhadap Tuhan yang Esa atau disebut monotheisme.
b) Tempat sucinya agama Hindu adalah Pura.
c) Pada tempat suci ini, manusia sebagai homo religious melakukan
sistem ritual dalam bentuk aneka perilaku misalnya sembahyang,
bersaji, berdoa, menari, menyanyi, dan lain-lain. Melalui doa petisi
mereka memohon sesuatu kepada kekuatan kodrati, misalnya
keselamatan dan kesejahteraan.
38

d) Menekankan pada pengendalian kama, hasrat, keinginan, atau


nafsu. Kama yang tidak terkendalikan oleh asas moralitas bias
menimbulkan penderitaan bagi manusia.
e) Tujuan hidup manusia adalah mewujudkan kesejahteraan di alam
sini ataupun alam sana. Untuk itu, spiritualitas agama sangat
penting bahkan modal utama bagi kehidupan manusia.

c. Sistem Sosial

Seperti yang kita ketahui, sebagian besar masyarakat Bali

memeluk agama Hindu.Atas dasar itulah sampai sekarang sistem kasta

masih dapat ditemukan di Bali.Kasta merupakan peninggalan nenek

moyang orang Hindu di Bali yang diwariskan dari generasi ke

generasi.Pada zaman dahulu, kasta itu dibuat berdasarkan profesi

masyarakat. Terdapat 4 kasta yang terdapat di Bali, yaitu Brahmana,

Ksatrya, Wesya dan Sudra/ Jaba (Suparta dkk. 2009:123) yang disebut

Catur Wangsa. Selain Sudra atau Jaba, tiga strata lainnya dipandang

sebagai sastra yang lebih tinggi dan disebut sebagai Tri Wangsa.

Sutarto (2009:93) mengatakan bahwa terdapat perkembangan

pemikiran bahwa kasta tidak turun temurun, tetapi kasta berkaitan erat

dengan pekerjaan atau profesi.Seseorang yang berprofesi sebagai

tentara misalnya, akan secara otomatis termasuk ksatrya, juga

seseorang yang menjadi pendeta maka secara langsung ia akan menjadi

Brahmana.

Berikut ini adalah pemaparan terkait kasta yang terdapat dalam

masyarakat Bali.
39

a) Kasta brahmana merupakan kasta yang memiliki kedudukan

tertinggi, dalam generasi kasta brahmana ini biasanya akan selalu

ada yang menjalankan kependetaan.Dari segi nama seseorang akan

diketahui bahwa dia berasal dari golongan kasta Brahmana,

biasanya seseorang yang berasal dari keturunan kasta ini akan

memiliki nama depan “Ida Bagus untuk anak laki-laki, Ida Ayu

untuk anak perempuan, ataupun hanya menggunakan kata Ida

untuk anak laki-laki maupun perempuan. Tempat tinggalnya

disebut dengan Griya.

b) Kasta Ksatriya merupakan kasta yang memiliki posisi yang sangat

penting dalam pemerintahan dan politik tradisional di Bali, karena

orang-orang yang berasal dari kasta ini merupakan keturunan dari

raja-raja di Bali pada zaman kerajaan.Mereka yang berasal dari

keturunan kasta Ksatrya ini akan menggunakan nama “Anak

Agung, Dewa Agung, Tjokorda, dan ada yang menggunakan nama

Dewa”. Tempat tinggalnya disebut dengan Puri.

c) Kasta Waisya merupakan masyarakat yang berasal dari keturunan

abdi-abdi kepercayaan raja, prajurit utama kerajaan, namun

terkadang ada juga yang merupakan keluarga Puri yang

ditempatkan diwilayah lain. Dari segi nama, kasta ini

menggunakan nama seperti I Gusti Agung, I Gusti Bagus, I Gusti

Ayu, ataupun I Gusti. Untuk penyebutan tempat tinggalnya disebut

dengan Jero.
40

d) Kasta Sudra (Jaba) merupakan kasta yang mayoritas di Bali,

namun memiliki kedudukan sosial yang paling rendah, dimana

masyarakat yang berasal dari kasta ini harus berbicara dengan Sor

Singgih Basa dengan orang yang berasal dari kasta yang lebih

tinggi atau yang disebut dengan Tri Wangsa, Brahmana, Ksatria

dan Waisya. Dari segi nama warga masyarakat dari kasta Sudra

akan menggunakan nama seperti Wayan, Made, Nyoman dan

Ketut. Penamaan rumah dari kasta ini disebut dengan Umah.

Selain didasarkan pada kasta, nama juga diberikan berdasarkan

pada urutan kelahiran. Anak pertama menggunakan nama Gede,

Wayan, Putu, Iluh (perempuan). Anak kedua Made, Kadek.Anak

ketiga Nyoman, Komang dan anak keempat Ketut.

d. Padewasaan

Masyarakat Bali selalu melakukan padewasaan jika hendak

melakukan sesuatu, seperti hendak melakukan perjalanan jauh hingga

upacara kematian.Padewasaan merupakan kegiatan yang dilakukan

untuk mencari hari baik dan hari buruk (Setia, 2014:20).Dewasa yang

dapat dikatakan sebagai hari pilihan ini dilakukan dengan memilih hari

yang tepat agar semua jalan atau perbuatan itu menjadi mudah atau

lancar, tidak ada rintangan.

Dewasa masih menjadi sebuah kebutuhan terutama bagi

mereka yang masih melestarikan kekentalan adat budaya.Tujuan


41

diadakannya dewasa ini adalah memberikan rambu-rambu

kemungkinan pengaruh baik-buruk hari terhadap usaha

manusia.Dengan adanya hal tersebut, maka masyarakat menjadi lebih

berhati-hati dan tidak boleh gegabah.Dalam melakukan padewasaan

dilakukan oleh pihak yang bersangkutan bersama pendeta Hindu yang

disebut Pedanda.

Pada hakekatnya saat yang baik (dewasa) merupakan refleksi

dari adanya pengaruh alam besar (Buana Agung) terhadap kehidupan

alam kecil dengan alam besar itu.Adanya pengaruh alam besar

terhadap kehidupan manusia serta akibat dari pengaruh saling

berhubungan itu betul-betul diperhatikan oleh setiap umat Hindu

dalam melakukan usaha terutama dalam melakukan upacara yajna,

dalam hal ini Ngaben.

e. Lembaga Sosial dan Bangunan Fisik


1). Pura
Pura dianggap sebagai pusat atau tempat kegiatan yang

diharapkan dapat menjaga harmoni alam semesta dengan

manusia.Pura merupakan tempat pemujaan dan pusat pertemuan umat

yang dibangun di gunung, danau, campuhan, sungai, pantai, laut, atau

tempat pilihan para Rsi mendapatkan pikiran atau ilham suci.Pura

dianggap sebagai penyucian diri yang sah.Pura merupakan pusat

kedudukan Sang Hyang Widhi Wasa.Letak pura di setiap desa selalu

diaitkan dengan konsep kaja-kelod, yaitu ke arah gunung dan ke arah

laut, kaja dianggap suci dan kelod dianggap leteh (kotor).Setiap


42

keluarga di Bali memiliki pura pemujaan keluarga yang mengarah

kepada leluhur mereka.

2). Griya
Griya adalah rumah pendeta Hindu.Lembaga griya memiliki

struktur yaitu, pendada, walaka, kliang sisya/bakta,

sisya/bakta.Pedanda merupakan siwa pemimpin griya.Pedanda juga

merupakan pusat orientasi walaka, kliang sisya/bakta, dan

sisya/bakta.Walaka adalah anggota agrya yang akan menjadi pendeta.

Kliang sisya merupakan tetua desa dan sisya adalah anggotanya.

3). Puri atau Jero


Puri dan Griya lebih merupakan unsur lembaga atau organisasi

sosial keagamaan yang dianggap sebagai benteng pertahanan spiritual

umat Hindu di Bali.Adapun Puri adalah tempat tinggal raja dengan

seluruh kerabat atau keluarga utama.Jero adalah tempat tinggal para

keluarga golongan Ksatrya yang menjadi pejabat istana.Namun, Puri

tidak sekadar tempat tinggal, tetapi pusat seluruh kekuasaan dan pusat

pengembang dan pelestari kebudayaan secara umum.Puri juga sebagai

pusat lahirnya berbagai bentuk pola budaya termasuk di dalamnya

aspek kesenian atau pertunjukkan dan ritual atau seremonial.

Jero merupakan tempat tinggal seluruh Ksatrya bawahan raja,

seperti patih dan petinggi lainnya. Saat ini, Puri hanya mampu

mempertahankan kemapanannya apabila ia mampu menjual


43

perannyaa sebagai pusat kebudayaan dalam wisata budaya, karena

fungsi Puri sudah tidak seperti dulu lagi.

4). Banjar

Banjar adalah unit pemukiman terkecil di Bali. Sebuah Banjar

memiliki anggota antara 20-100 kepala keluarga yang dipimpin oleh

seorang Kliang banjar, yang ditunjuk atau dipilih langsung

berdasarkan konsep senioritas atau keturunan. Tugasnya adalah

memimpin sangkepan banjar, Patujuh, Panyarikan, Sedahan,

Petegen, Saya, dan Sinoman.

5. Sikap Hidup Masyarakat Bali

Dalam kehidupan sehari-hari, kehidupan sosial masyarakat Bali

dapat dikatakan sebagai masyarakat yang sangat religius dan

mengimplementasikan ajaran agama yang diyakini. Kehidupan sosial

budaya dan kehidupan beragama sukar dipisahkan (Sutarto, dkk. 2009:78).

Masyarakat Bali dianjurkan mengikuti ajaran (Hindu) Dharma, kemudian

masyarakat Bali juga memiliki berbagai bentuk kegiatan ragam kesenian

persembahan yang merupakan perwujudan yang sarat dengan makna

falsafah didasarkan pada konsep dualisme yang juga merupakan aspek

mental.

Cerminan budaya Bali terlihat dan dapat dirasakan dalam berbagai

kehidupan, baik dalam menghubungkan dirinya dengan Sang Pencipta


44

dengan alam semesta maupun antara sesamanya. Hubungan tersebut

didasarkan pada konsepsi Tri Hita Karana, yang berarti tiga sebab yang

membawa kebahagiaan, yaitu Parhyangan, Pawongan, dan Palemahan.

Masyarakat Hindu Bali secara umum dikenal sebagai masyarakat

yang ramah, suka menolong sesama, sehingga kehidupannya diwarnai

dengan sifat salih asih (cinta), saling asah (mengingatkan), dan saling asuh

(membimbing).Ajaran dalam masyarakat Hindu mengandung makna yang

luhur, seperti menolong orang lain berarti juga menolong diri sendiri.

Selain itu, falsafah kesusilaan Hindu, yang mengajarkan adanya tenggang

rasa, tolong-menolong, berpikir yang baik, berkata yang baik, dan berbuat

yang baik.

6. Sosiologi Sastra

Kurniawan (2012:4) mengatakan sosiologi adalah disiplin ilmu

tentang kehidupan masyarakat yang objek kajiannya mencakup fakta

sosial, definisi sosial, dan perilaku sosial yang menunjukkan hubungan

interaksi sosial dalam suatu masyarakat.Sosiologi mempunyai dua akar

kata socius artinya teman dan logos artinya ilmu.Secara harfiah artinya

“ilmu tentang pertemanan” dan bisa dipandang sebagai studi tentang

dasar-dasar keanggotaan sosial (masyarakat).

Swingewood (dalam Faruk, 2016:1) mengatakan bahwa sosiologi

adalah studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam

masyarakat, studi mengenai lembaga dan proses sosial. Jadi, sosiologi


45

merupakan ilmu yang mempelajari tentang fakta hidup masyarakat,

interaksi sosial, lembaga dan proses sosial.

Sosiologi sastra merupakan interdisiplin ilmu, yaitu ilmu sosiologi

dan ilmu sastra. Sastra dan masyarakat selalu menampilkan hubungan

kemanusiaan, maka akan terlihat perubahan-perubahan yang terjadi pada

sasta dan masyarakat. Mempelajari sastra dengan mengaitkannya dengan

sosiologi mempunyai manfaat di bidang kebudayaan.

Seperti yang dikatakan oleh Ratna (2010:271) bahwa tugas

sosiologi sastra mempunyai tugas yang berkaitan dengan nilai-nilai

sebagai aset kebudayaan.Ratna (2006:339-340) mengatakan bahwa model

analisis sastra menggunakan ilmu sosiologi sastra meliputi tiga macam,

yaitu:

1. Menganalisis masalah-masalah sosial yang terkandung dalam


karya sastra, kemudian menghubungkannya dengan kenyataan
yang pernah terjadi.
2. Sama dengan di atas, tetapi dengan cara menemukan hubungan
antarstruktur, bukan aspek-aspek tertentu dengan model
hubungan yang bersifat dialektika.
3. Menganalisis karya dengan tujuan untuk memperoleh informasi
tertentu, dilakukan oleh disiplin ilmu tertentu. Model analisis
inilah yang pada umumnya menghasilkan penelitian karya sastra
sebagai gejala kedua.

Terdapat tiga hal yang dikemukakan oleh Endraswara (2011:87)

mengenai sosiologi sastra, yaitu studi ilmiah manusia dan masyarakat

secara obyektif; studi lembaga-lembaga sosial lewat sastra dan sebaliknya;

serta studi proses sosial yang melihat bagaimana masyarakat bekerja dan
46

melangsungkan hidupnya. Hal tersebut biasanya muncul dalam sastra,

sehingga tak jarang sastra dipandang sebagai cermin kehidupan.

Model analisis yang telah disampaikan oleh Ratnadan Endraswara

mempermasalahkan karya sastra yang kemudian dihubungkan dengan

hidup masyarakat pada saat terjadinya peristiwa dalam karya sastra dan

juga akan dikaitkan dengan masyarakat sesungguhnya. Pada penelitian ini,

penulis akan menggunakan model analisis tersebut karena

mempermasalahkan cermin kehidupan dalam sastra, maka penulis akan

menemukan apa yang tersirat dan sehingga dapat memaknai karya sastra

itu.

7. Pembelajaran Sastra

Sastra Indonesia dapat dipelajari dan dijadikan pengajaran bagi

pembelajaran dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia khususnya dalam

pembelajaran sastra. Hal ini dapat dilihat dari kegiatan siswa dalam

melakukan apresiasi terhadap sastra.Kegiatan tersebut membuat para siswa

menemukan berbagai nilai kehidupan yang terdapat dalam sastra, misalnya

tentang kejujuran, religius, toleransi, cinta kasih, dan lainnya.Dengan

adanya pembelajaran sastra ini diharapkan dapat membuat siswa

mengamalkan nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari dan memiliki

sikap saling menghargai terhadap semua perbedaan.

a. Kurikulum 2013
47

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003, kurikulum

adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan

bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman

penyelenggaraan untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.

Pengembangan kurikulum yang digunakan di bidang pendidikan di

Indonesia dari KTSP menjadi K13 disesuaikan dengan kondisi global

saat ini.Kemajuan teknologi, globalisasi dan persaingan berbagai

negara membuat manusia harus memiliki kompetensi agar dapat

mengikuti perkembangan tersebut.

Adapun pengembangan kurikulum yang ada saat ini meliputi

tiga ranah, yaitu afektif, kognitif dan psikomotor.Pada kurikulum 2006

(KTSP) para siswa lebih ditekankan dalam hal kognitif, sedangkan

pada Kurikulum 2013 siswa ditekankan pada keterampilan dan sikap

meskipun kognitif juga masih berperan penting.Aspek afektif menjadi

yang paling utama karena para siswa diharapkan memiliki karakter

yang baik di samping memiliki kecerdasan dalam aspek kognitif.

Mata pelajaran Bahasa Indonesia dimaksudkan untuk membina

dan mengembangkan kepercayaan diri peserta didik sebagai

komunikator, pemikir, dan menjadi warga negara Indonesia yang haus

akan informasi dan literasi. Tujuan tersebut disesuaikan dengan

keperluan peserta didik dalam menempuh pendidikan, hidup di

lingkungan sosial, dan berkecakapan dalam dunia kerja.


48

Pengembangan kompetensi lulusan Bahasa Indonesia

ditekankan pada kemampuan mendengarkan, membaca, memirsa,

berbicara, dan menulis.Pembelajaran sastra sangat diperlukan dalam

pembelajaran Bahasa Indonesia.Materi yang berada dalam lingkup

pembelajaran sastra di antaranya adalah pembahasan konteks sastra,

tanggapan terhadap karya sastra, menilai karya sastra, dan menciptakan

karya sastra.Dari pembahasan tersebut maka peserta didik dapat terus

membaca karya sastra dan membuat mereka menjadi pemikir kritis

karena harus memberi tanggapan dan menciptakan karya sastra yang

baik.

b. Tujuan Pembelajaran Sastra

Perbedaan K13 dan KTSP juga terlihat dalam proses

pembelajaran. Pembelajaran ditekankan pada penguatan proses, karena

dalam proses pembelajaran tersebut siswa akan dibimbing oleh guru

namun siswalah yang bertugas mencari tau, tanpa harus diberitahui

terlebih dahulu oleh guru yang mengajar. Siswa tentu akan lebih aktif

dengan melakukan pengamatan, mencari dan menemukan jawabannya

sendiri. Setelah ditemukan maka selanjutnya adalah

mengkomunikasikan hal yang mereka temukan. Melalui kegiatan

seperti ini, maka siswa akan memiliki keterampilan dalam berbahasa,

yang dibutuhkan sebagai kecakapan hidup.

Pembelajaran sastra bagi peserta didik merupakan pemenuhan

gizi batin, dari sastra siswa belajar tentang kehidupan.Pembelajaran


49

sastra dapat menjadi agen perubahan dan membentuk peradaban yang

bermoral dan berbudaya.Terkait dengan 4 aspek keterampilan

berbahasa maka pembelajaran sastra setidaknya melatih 3 aspek, yaitu

aspek membaca dan menulis, dan berbicara.Dalam aspek membaca,

siswa harus melakukan kegiatan membaca untuk mendapatkan

pemahaman mengenai bacaannya.Pengajaran sastra akan membuat

siswa lebih mampu mengapresiasi dan mengekspresikan karyanya

dalam bentuk karya mutakhir. Pada aspek berbicara pun para siswa

akan dilatih melalui untuk mempresentasikan hasil diskusi. Setelah

memperoleh pemahaman dan melakukan penilaian maka peserta didik

akan dilatih untuk menciptakan karya sastra melalui aspek menulis.

c. Cara Memilih Bahan Ajar

Berdasarkan kurikulum 2013, bahan pembelajaran harus memuat

tiga aspek, yaitu afektif, kognitif, dan psikomotor.Ketiga ranah ini

harus terpenuhi pada setiap materi pembelajaran.Relevansi ketiga ranah

ini dengan pembelajaran sastra adalah, sastra mengandung nilai yang

dapat menjadi acuan dalam bertingkah laku, ini merupakan aspek

psikomotor dan aspek afektif.Selanjutnya adalah aspek kognitif.Pada

pembelajaran sastra, siswa tentunya mendapatkan pengetahuan tentang

novel dan mendapatkan pengetahuan tentang warna lokal yang

terkandung dalam sastra khususnya novel.

Pemilihan bahan ajar dari sebuah novel harus diperhatikan

dengan sungguh-sungguh, tentu saja tak semua novel yang dapat


50

digunakan untuk pembelajaran sastra.Setidaknya, ada dua hal yang

diketahui peneliti untuk pemilihan bahan ajar.Pertama, novel yang

dipilih atau dijadikan bahan ajar tidak boleh berbau pornografi.Kedua,

tidak mengandung unsur SARA.Bahan ajar harus terhindar dari dua hal

tersebut, karena dapat merusak moral para peserta didik dan tidak

sesuai dengan tujuan pendidikan karakter yang hendak dicapai.

Jika berkaitan dengan latar belakang budaya, karya sastra yang

tepat untuk diajarkan adalah karya sastrayang sesuai dengan budaya

siswa. Bahan ajarjuga boleh berasal dari budaya yang berbeda dengan

tujuan agar siswa memahami budaya orang lain sebagai bahan

perbandingan dengan budayanya. Tujuan pengajaran sastra adalah

membina moralitas siswa lewat karya sastra, sehingga bahan ajar

tersebut harus memiliki nilai, moral, norma, dan mencerminkan

karakter yang baik bagi siswa (Abidin, 2015:223).

Dalam proses pelaksanaan, guru harus menggunakan metode

yang tepat agar tujuan yang diinginkan dapat tercapai. Siswa harus

aktif dalam mengikuti proses pembelajaran, mampu menyampaikan

gagasannya dalam melihat kelokalitasan dalam karya sastra melalui

keterampilan berbicara yang dimilikinya.

Bahan ajar yang telah disusun harus disampaikan dengan

menggunakan media yang tepat agar mempermudah proses

pembelajaran, dan dapat meningkatkan semangat belajar para siswa.

Media pembelajaran yang dibuat juga bertujuan membuat siswa tidak


51

bosan saat pelajaran berlangsung.Media yang dibuat harus benar-benar

tepat, disesuaikan dengan kondisi sekolah, kelas, dan siswa.

d. Keterbacaan

Keterbacaan dapat diartikan sebagai dapat dibaca atau

terbaca.Keterbacaan merupakan hal tentang terbaca-tidaknya suatu

bahan bacaan oleh pembacanya.Terbaca-tidaknya bahan bacaan

dipersoalkan melalui tingkat kesulitan dan kemudahan

wacananya.Bacaan yang dapat memenuhi kesesuaian keterbacaan

adalah bacaan yang dapat dipahami pembaca, sebaliknya, bacaan yang

tidak bisa dipahami oleh pembaca merupakan bacaan yang tidak

memenuhi kesesuaian keterbacaan.Bacaan yang terlalu mudah

dipahami pembaca juga tidak dapat dikategorikan sebagai kesesuaian

keterbacaan.

Untuk memperkirakan tingkat keterbacaan bahan bacaan,

digunakan formula keterbacaan, yang biasanya dalam bentuk peringkat

kelas.Keterbacaan terkait dengan pemahaman.Bacaan tidakboleh

terlalu sukar dan terlalu mudah.Jika terlalu sukar, pembaca akan

membaca dengan lambat dan berulang-ulang karena mencoba

memahami bacaan yang dibacanya. Pembaca pasti akan tidak sabar,

malas dan mungkin frustasi karena tidak mampu mencapai tujuan yang

diinginkan. Jika bacaan terlalu mudah akan membuat pembaca bosan

dan meremehkan karena merasa tidak ada tantangan dan merasa dirinya

sudah tahu.
52

e. Model Pembelajaran

Terdapat berbagai jenis model pembelajaran yang digunakan

dalam proses kegiatan belajar mengajar. Pendidikan karakter

merupakan tujuan yang hendak dicapai dalam proses pembelajaran

pada K13. Pembelajaran sastra pun dapat menerapkan model

pembelajaran dengan berdasar kepada pendidikan

karakter.Pembelajaran dengan dasar pendidikan karakter tidak sekadar

mengajarkan siswa tentang hal baik dan buruk, tetapi menekankan

siswa agar berperilaku baik supaya tertanam kebiasaan yang baik

dalam diri siswa.Pendidikan karakter pun dapat pula bersumber dari

pembelajaran sastra.

Sastra dapat menjadi sumber pengetahuan dan teladan karena

dalam sastra pun ditemukan nilai-nilai pendidikan, seperti religius,

tanggung jawab, disiplin, kerja keras, jujur, mandiri, menghargai, dan

lain-lain. Oleh sebab itu, pembelajaran sastra berdasarkan pendidikan

karakter juga sangat penting bagi siswa.Salah satu model pembelajaran

yang dapat digunakan adalah model pembelajaran discovery learning.

Model pembelajaran ini sesuai jika digunakan dalam K13 karena model

pembelajaran ini mengondisikan siswa agar menjadi lebih aktif dan

dapat menemukan permasalahan. Kegiatan dalam model pembelajaran

ini membuat siswa menguasai, menerapkan, serta menemukan hal-hal

bermanfaat bagi dirinya.

f. Pendekatan Pembelajaran
53

Dalam K13, seluruh mata pelajaran menggunakan pendekatan

yang sama, yaitu pendekatan saintifik. Selain diterapkan di semua mata

pelajaran, pendekatan ini juga digunakan untuk semua jenjang

pendidikan. Pendekatan ini terdiri atas 5 bagian yang meliputi kegiatan

mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasikan, dan

mengkomunikasikan. Dengan menggunakan pendekatan ini, maka

tujuan pembelajaran membuat siswa lebih aktif untuk mencari tahu dan

menemukan akan tercapai. Keterampilan siswa dalam berbahasa pun

semakin terasah karena akan lebih sering berbicara untuk

menyampaikan hasil kerja mereka.

g. Metode Pembelajaran

Metode pembelajaran adalah suatu cara mengajar yang

digunakan oleh guru untuk mengajar dan menyajikan bahan pelajaran

kepada siswa dalam kelas, baik secara individu maupun kelompok.

Tujuannya adalah agar pelajaran itu dapat dipahami oleh siswa dengan

baik. Semakin baik metode yang digunakan oleh guru, maka semakin

baik pula pemahaman siswa dan tujuan yang diinginkan pun akan

tercapai. Beberapa contoh metode pembelajaran adalah metode diskusi,

metode tanya jawab, metode wawancara, metode diskusi, metode

inkuiri dan lain-lain.

h. Media Pembelajaran

Dalam proses belajar mengajar, sering kita temukan pendidik

yang menggunakan alat-alat bantu dalam menyampaikan materi


54

pembelajaran. Alat-alat tersebut adalah media pembelajaran, yang

meliputi media audio, visual, maupun audio-visual. Penggunaan media

yang tepat dapat membuat tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan

mudah. Media pembelajaran bermanfaat bagi pendidik dan peserta

didik. Bagi pendidik, media dapat mempermudah dalam penyampaian

dan membuat tujuan pembelajaran tercapai secara efektif. Bagi peserta

didik, media dapat menjadi merangsang siswa menjadi lebih semangat

belajar, meningkatkan konsentrasi, dan memberi kemudahan siswa

dalam berpikir.Beberapa media yang sering ditemukan adalah LCD,

white board, laptop, dan bahan Powerpoint.

i. Evaluasi dan PenilaianPembelajaran Sastra

Setelah mengikuti rangkaian kegiatan pembelajaran, siswa akan

dievaluasi. Pengevaluasian ini bertujuan mengetahui kompetensi dasar

atau kecakapan telah dikuasai siswa terhadap materi yang telah

diajarkan sebelumnya. Evaluasi yang dilakukan kepada siswa dapat

membuat guru mengenal siswa dengan maksimal. Begitu juga dengan

siswa, ia akan semakin mengenal dirinya sendiri. Dalam evaluasi, guru

akan berusaha mencari tahu kesulitan yang dihadapi oleh siswa dan

mencari solusi atas kesulitan tersebut. Saat solusi sudah didapatkan,

maka kesulitan dapat teratasi dan dapat memaksimalkan motivasi

belajar dalam diri siswa.

Indikator yang dapat dilihat dalam evaluasi terhadap siswa

adalah dengan melihat perubahan tingkah laku. Perubahan tingkah


55

laku tersebut harus sesuai dengan tujuan dan isi pembelajaran, karena

evaluasi dibuat berdasarkan tujuan pembelajaran. Evaluasi

pembelajaran dilakukan di setiap akhir proses pembelajaran dan guru

diwajibkan untuk melakukan evaluasi kepada para siswa.

Kurikulum 2013 memberikan penilaian pada saat proses

pembelajaran berlangsung, baik secara individu maupun kelompok.

Jadi, penilaian tidak hanya dilihat dari hasil kerja, tetapi dari proses

kerja yang dilakukan. Penilaian dalam K13 juga lebih pada penilaian

autentik.Guru akanmenggunakan portofolio pembelajaran siswa untuk

melakukan penilaian. Melalui penilaian autentik ini akan terlihat

kemampuan siswa dalam berpikir karena pertanyaan yang harus

diajukan oleh guru adalah pertanyaan yang jawabannya bersifat

tunggal, juga bukan berupa hafalan, melainkan nalar. Penilaian pun

disesuaikan dengan jawaban dari setiap siswa berdasarkan kemampuan

menjawab.

Penilaian terhadap materi pembelajaran sastra dapat dilakukan

dengan dua jenis evaluasi, yaitu evaluasi kelompok dan individu.

Evaluasi kelompok dilakukan dengan diskusi kelompok. Pada saat

diskusi berjalan, guru harus berkeliling pada setiap kelompok untuk

melihat keaktifan siswa. Setelah diskusi kelompok selesai maka guru

meminta laporan hasil diskusi pada setiap kelompok. Setiap

perwakilan kelompok harus menyampaikan dengan baik hasil laporan


56

diskusi kelompoknya. Setelah penyampaian hasil diskusi selesai, maka

dipersilakan kelompok lain untuk memberikan tanggapan.

Untuk penilaian individu, guru memberikan satu novel untuk

dianalisis secara individual, dan ditambah dengan soal esai singkat.

Tes tertulis ini akan melihat sejauh mana setiap siswa dalam

pemahamannya terhadap materi yang telah dipelajarinya.

Pembelajaran sastra dari hasil penelitian ini dapat dipadukan

dengan penerapan pendidikan karakter yang menjadi salah satu tujuan

pencapaian dalam kurikulum 2013. Pendidikan karakter tidak

ditekankan pada aspek kognitif saja, melainkan pada aspek afektif

yang dilakukan dengan pemahaman dan penghayatan terhadap sastra.

Pembelajaran apresiasi sastra harus dapat memperkaya pengetahuan

siswa dan memberikan pembinaan watak, dan pengayaan akan

pengalaman. Diharapkan dengan adanya pengajaran sastra siswa dapat

memahami cara bersikap terhadap orang lain maupun dirinya sendiri.

I. Metodologi Penelitian

1. Metode Penelitian

Menurut Syam (dalam Hardiyanti, 2013:50) metode adalah prosedur

kerja yang dilakukan dalam keseluruhan proses penelitian sebagai upaya untuk

memecahkan suatu masalah yang telah dirumuskan sebelumnya. Metode

adalah suatu cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan

tertentu (Sugiyono, 2017:2).


57

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif.

Peneliti menggunakan metode ini karena semua data yang didapatkan dalam

penelitian ini adalah data yang berbentuk kalimat, dan akan terurai dalam

bentuk narasi. Hal ini disesuaikan dengan pengertian penelitian deskriptif

yang terurai dalam bentuk kata-kata atau gambar bukan dalam bentuk angka.

Penelitian ini akan mengkaji aspek fenomenologis, yang melihat gejala-gejala

yang menimbulkan peristiwa tertentu dari data yang berbentuk uraian.

2. Bentuk Penelitian

Bentuk penelitian yang akan digunakan penulis adalah bentuk

penelitian kualitatif. Penelitian ini lebih ditekankan pada kajian tentang

fenomena-fenomena yang terjadi dalam novel. Peneliti harus mengkaji

fenomena tersebut dengan segala kompleksitasnya. Fenomena yang dimaksud

dapat berupa peristiwa, sikap, kepercayaan, dan pikiran/pandangan.

Menurut Bogdan dan Biklen (Semi, 2012:30-32) terdapat lima ciri

utama penelitian kualitatif sekaligus pembeda dari penelitian kuantitatif yaitu:

a. latar alamiah (natural setting) sebagai sumber data dan peneliti


merupakan instrumen kunci
b. penelitian kualitatif bersifat deskriptif
c. lebih utama mengutamakan proses dan hasil
d. analisis data cenderung secara induktif
e. “makna” merupakan sesuatu yang esensial bagi pendekatan kualitatif

Hal tersebut juga sejalan dengan pendapat Alwasilah yang

mengatakan bahwa untuk mengkaji fenomena sosial akan menggunakan

penelitian kualitatif. Selain itu, dikatakan juga bahwa manusia merupakan


58

instrumen kunci. Di sinilah peran peneliti muncul, karena peneliti akan

melakukan penelitian yang menjadikan peneliti sebagai instrument utama.

3. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang akan digunakan adalah pendekatan

sosiologi karya sastra. Penulis menggunakan pendekatan sosiologi karya

sastra karena penelitian akan dilakukan dengan menelaah teks dalam karya

sastra sebagai dokumen sosial masyarakat serta menelaah apa yang tersirat di

dalamnya berdasarkan batasan-batasan permasalahan dalam penelitian ini.

Teks yang berupa kutipan akan diklasifikasikan dan dijelaskan makna

sosiologi.

4. Sumber Data dan Data Penelitian

a. Sumber Data

Sumber data berkaitan dengan subjek penelitian mengenai

pemerolehan data. Penelitian terhadap sastra khususnya sastra tulis adalah

teks roman, novel, cerita pendek, puisi, dan drama. Dalam penelitian ini

yang akan dikaji adalah novel sebagai sumber data yang telah menjadi

dokumen yaitu novel yang berjudul Di Bawah Langit yang Sama karya

Helga Rif. Dokumen adalah setiap bahan tertulis maupun film (Guba dan

Lincoln dalam Moleong, 2006:161). Novel ini berjumlah 266 halaman

yang diterbitkan oleh Gagasmedia Jakarta Selatan yang beralamat di Jalan

Haji Montong No. 57, Ciganjur dan didistribusikan kembali TransMedia,

Jakarta Selatan. Novel ini merupakan novel cetakan pertama pada tahun

2015.Novel ini memiliki sampul berwarna ungu pada bagian bawah dan
59

putih pada bagian atas sampul depan. Sampul tersebut memiliki gambar

dua ekor kupu-kupu yang saling berhadapan pada bagian yang berwarna

ungu dan berada di bawah nama pengarang.

b. Data

Syam (dalam Hardiyanti 2013:53) mengatakan bahwa data adalah

bahan faktual yang dapat dijadikan sebagai dasar berpikir oleh peneliti

dalam upayanya untuk memperoleh temuan dan simpulan penelitian yang

objektif. Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah semua

peristiwa dalam teks yang menunjukkan kebiasaan hidup dan sikap hidup

yang berbentuk kata, frasa, dan bahasa yang dikutip dari novel Di Bawah

Langit yang Sama karya Helga Rif. Semua peristiwa dalam teks novel ini

berupa kutipan-kutipan.

5. Teknik dan Alat Pengumpulan Data

a. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan adalah

menggunakan teknik studi dokumenter. Teknik ini digunakan untuk

mengkaji subjek yang berupa dokumen tertulis yaitu novel Di Bawah

Langit yang Sama. Teknik studi dokumenter ini digunakan karena peneliti

akan mendapatkan data dari dokumen tertulis ini dengan mempelajari hal

yang tersurat di dalam novel, kemudian ditemukanlah data yang sesuai

dengan rumusan masalah dalam penelitian.

b. Langkah Pengumpulan Data


60

Langkah-langkahyang dilakukan oleh penulis dalam

mengumpulkan data adalah sebagai berikut.

1) Membaca novel Di Bawah Langit yang Sama secara berulang-ulang.

2) Memilih kata dan kalimat yang disesuaikan dengan masalah

penelitian.

3) Mengklasifikasikan kata, kalimat, dan kutipan berdasarkan urutan

masalah penelitian.

4) Menguji keabsahan data.`

5) Data siap dianalisis.

c. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpul data dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri

sebagai instrumen utama. Peneliti dikatakan sebagai instrumen utama

karena peneliti yang bertindak langsung dalam mengumpulkan data yang

berbentuk dokumen. Penulis berperan dalam semua proses mulai dari

tahap perencanaan, yang melaksanakan, mengumpul, menganalisis,

memaknai data dan melaporkan hasil kajian atau hasil penelitian.

Meskipun sebagai instrumen utama, penulis juga menggunakan

alat-alat bantu lain, seperti alat pencatat. Alat-alat pencatat dibutuhkan

oleh peneliti berfungsi sebagai alat untuk mencatat hal-hal yang berkaitan

dengan penelitian setelah membaca novel Di Bawah Langit yang Sama.

6. Teknik Menguji Keabsahan Data


Teknik menguji keabsahan data dilakukan untuk memastikan

bahwa data tersebut adalah data yang akurat dan benar. Teknik pengujian
61

dilakukan dengan empat cara yaitu, ketekunan pengamatan, pemeriksaan

sejawat, dan kecukupan referensi.

a. Ketekunan Pengamatan

Ketekunan pengamatan bermaksud menemukan ciri-ciri dan

unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau

isu yang sedang dicari dan kemudian memusatkan diri pada hal-hal

tersebut secara rinci (Moleong, 2010:330). Teknik ini dilakukan

peneliti dengan cara membaca secara berulang-ulang dan mendalam

agar dapat memahami berbagai hal yang berkaitan dengan masalah

penelitian. Ketekunan pengamatan ini akan membantu penulis agar

tidak terjadi kekeliruan.

b. Pemeriksaan Sejawat Melalui Diskusi

Pemeriksaan sejawat melalui diskusi artinya dengan

mengumpulkan teman-teman sebaya, peneliti dapat mereview persepsi,

pandangan, dan analisis yang sedang dilakukan. Teknik ini dilakukan

dengan cara mengekspos hasil sementara atau hasil akhiryang

diperoleh dalam bentuk diskusi dengan rekan sejawat (Moleong,

2010:332-333). Dalam hal ini, penulis melakukan diskusi bersama

teman sejawat yang juga melakukan penelitian terhadap sastra.

Penulis melakukan diskusi dengan Cita Rusi, Asrawati, dan

Gaudensia Wanguniati untuk membantu penulis agar terhindar dari

kemelencengan.Selain teman seangkatan, penulis juga melakukan

diskusi dengan dosen sastra, yang memiliki pengetahuan lebih tentang


62

sastra terutama tentang novel. Pemeriksaan sejawat melalui diskusi ini

dilakukan oleh penulis dan dosen dengan cara memberikan kutipan

yang telah diklasifikasikan oleh penulis dalam bentuk teks. Penulis

dan dosen kemudian menetapkan waktu untuk berdiskusi. Diskusi

bersama dosen ini akan membantu mengarahkan pemikiran peneliti,

sehingga penelitian akan terarah.

c. Kecukupan Referensi

Teknik ini dilakukan peneliti dengan cara membaca, menelaah

sumber-sumber data, serta berbagai pustaka yang sesuai dengan

masalah penelitian agar diperoleh pemahaman yang maksimal.

Tujuan dari teknik ini adalah memberikan pemahamandan sebagai

arahan penulis dalam melakukan penelitian sehingga data yang

didapat adalah data yang tepat dan sesuai dengan rumusan masalah

penelitian.

d. Triangulasi

Triangulasi adalah salah satu teknik dalam penelitian kualitatif

yang digunakan untuk memeriksa keabsahan data, yaitu dengan

memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan

pengecekan atau sebagai perbandingan terhadap data itu (Moleong

2010:330).Dalam penelitian ini, peneliti akanlebih banyak

menggunakan triangulasi teori.Penelitian ini akan didapatkan

informasi yang selanjutnya akan dijadikan perbandingan teori yang

relevan atas simpulan peneliti. Triangulasi teori ini juga dapat


63

meningkatkan pemahaman peneliti karena ia menggali secara

mendalam teori yang ada untuk hasil analisis terhadap data yang

diperoleh sebelumnya.

7. Teknik Analisis Data


Teknik menganalisis data cerita rakyat yang digunakan sebagai

berikut.

a. Menganalisis data dari novel yang menunjukkan kebiasaan hidup

masyarakat Bali.

b. Menganalisis data dari novel yang menunjukkan sikap hidup

masyarakat Bali.

c. Mendiskusikan hasil analisis dengan teman sejawat dan

berkonsultasi dengan dosen pembimbing.

d. Menyimpulkan hasil penelitian sehingga diperoleh deskripsi

tentang warna lokal Bali yang tercermin dalam novel Di Bawah

Langit yang Sama.

e. Melaporkan hasil penelitian tentang warna lokal Bali yang

tercermin dalam novel Di Bawah Langit yang Sama.


DAFTAR PUSTAKA

Aljupri, Fachri. 2010. Ngaben Di Bali: Jilid 1. Jakarta:Ghina Walafafa.

Aljupri, Fachri. 2010. Ngaben Di Bali:Jilid 2. Jakarta:Ghina Walafafa.

Alwasilah, A. Chaedar. 2017. Pokoknya Kualitatif. Bandung:Pustaka Jaya.

Atmadja, Nengah Bawa. 2013. Ajeg Bali: Gerakan, Identitas Kultural, dan
Globalisasi. Yogyakarta:LKiS.

Budiana, I Nyoman.2009.Perkawinan Beda Wangsa dalam Masyarakat


Bali.Yogyakarta:Graha Ilmu.

Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta:FBS


Universitas Negeri Yogyakarta.

Emzir & Saifur Rohman. 2016. Teori dan Pengajaran Sastra.


Jakarta:RajaGrafindo Persada.

Faruk. 2015. Metode Penelitian Sastra:Sebuah Penjelajahan Awal.


Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

Faruk. 2016. Pengantar Sosiologi Sastra:dari Strukturalisme Genetik sampai


Post-modernisme. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

Hardiyanti, Siti. 2013. “Warna Daerah dalam Novel Centhini Karya Sunardian
Wirodono”. Skripsi. Pontianak:FKIP Untan.

Https://mesiusasindo.wordpress.com-Keragaman-Warna-Lokal-dalam-Karya-
Sastra-Nusantara.(Online) diakses pada 20 Februari 2019.

Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta:Rineka Cipta.

Kusnanto.-.Keanekaragaman Suku dan Budaya Indonesia.Semarang:Bengawan


Ilmu.
Moleong, Lexy J. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:Remaja
Rosdakarya.
Nuraeni, Heny Gustini dan Muhammad Alfan. 2013.Studi Budaya di Indonesia.
Bandung:Pustaka Setia.

Prasetya, Joko Tri dkk.. 2011.Ilmu Budaya Dasar. Jakarta:Rineka Cipta.

64
65

Purba, Antilan. 2009. Sastra Indonesia Berwarna Lokal.


(Online)Antilan.blogspot.com diakses pada 20 Februari 2019.

Rif, Helga. 2015. Di Bawah Langit yang Sama. Jakarta:Gagasmedia.

Rokhmansyah, Alfian. 2014. Studi dan Pengkajian Sastra: Perkenalan


AwalTerhadap Ilmu Sastra.Yogyakarta:Graha Ilmu.

Rusyan, Tabrani. 2001. Indonesiaku. Bandung:Angkasa.

Saebeni, Beni Ahmad. 2012. Pengantar Antropologi. Bandung:Pustaka Setia.

Satriyani.2017. Warna Lokal Toraja dalam Novel Puya ke Puya Karya Faisal
Oddang (Online.) digilib.unhas.ac.id.diakses pada 4 Februari 2019.
Semi, M. Atar. 2012. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.

Setia, Putu. 2014. Bali Menggugat. Jakarta:Kepustakaan Populer Gramedia.

Siswanto, Wahyudi. 2013. Pengantar Teori Sastra. Yogyakarta:Aditya Media.

Sulaeman, Munandar. 2012. Ilmu Budaya Dasar. Bandung:Refika Aditama.

Supartha, I Made dkk.. 2009. Sejarah Kebudayaan Indonesia:Religi dan Falsafah.


Jakarta:RajaGrafindo Persada.

Sutarto, Ayu dkk..2009. Sejarah Kebudayaan Indonesia:Sistem Sosial.


Jakarta:RajaGrafindo Persada.
Sugiyono. 2017. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Tarigan, Henry Guntur. 2015. Prinsip-prinsip Dasar Sastra.
Bandung:Angkasa.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 2014. Teori Kesusasteraan. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Wesnawa, I Gede Astra.2015.Kelestarian Budaya dan Adat Bali.
Yogyakarta:Graha Ilmu.
Widagho, Djoko dkk.. 2008. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta:Bumi Aksara.

Wikipedia. 2018. Ngaben.(Online.)(https://id.m.wikipedia.org>wiki>ngaben.


diakses 4 Februari 2019).
66

Zulfahnur, dkk..1996. Teori Sastra. Jakarta:Departemen Pendidikan dan


Kebudayaan.
67

LAMPIRAN 1

SINOPSIS NOVEL

Judul : Di Bawah Langit yang Sama

ISBN : 978-979-780-811-2

Penulis : Helga Rif

Tahun Terbit: 2015/Gagasmedia

Halaman : 266 halaman

Novel Di Bawah Langit yang Sama adalah sebuah novel yang

menceritakan tentang kebudayaan Bali.Novel ini mengambil latar tempat di Bali

yang bernama Ubud.Novel ini menceritakan tentang seorang gadis Hindu Bali

berkasta Ksatria bernama Anak Agung Ayu Indira yang merupakan anak sulung

bersaudara perempuan.Ia harus memikul tanggung jawab untuk meneruskan garis

keturunan orang tua dan pendahulunya karena orang tua Indira tidak memiliki

anak laki-laki.

Ia merupakan seorang yang bekerja di bidang desain busana di Singapura

setelah lulus dari Fakultas Ekonomi di Bali. Indira sudah berada di Singapura

selama lima tahun dan baru dua tahun bekerja di dunia fashion. Ia bekerja di

sebuah perusahaan besar dan menjalin hubungan dengan anak sang pemilik

perusahaan bernama Maximilian Liem sekaligus menjadi atasannya.

Saat sedang sibuk dengan pekerjaannya, ada sebuah musibah yang

menimpa keluarganya.Sang nenek meninggal dunia secara tiba-tiba membuat


68

Indira dan keluarga merasa sangat kehilangan.Di tengah kesibukan pekerjaannya,

Indira pulang ke Indonesia, meskipun hanya mendapat ijin selama 3-4 hari saja

dari perusahaan. Saat mengetahui hal tersebut, kedua orang tua Indira, terutama

sang Ayah kembali meminta Indira supaya mengikuti seluruh rangkaian upacara

Niangnya yang akan memakan waktu sangat lama. Dengan berat hati Indira

akhirnya mengikuti keinginan ayahnya.

Saat rangkaian upacara untuk Niang berjalan, Gung Is, adik Indira

mengatakan bahwa ia akan menikah dengan kekasihnya yang berasal dari kasta

Brahmana. Melihat hal ini, Indira pun didesak agar segera menikah oleh

keluarganya agar dapat mengurus tempat suci keluarga besar mereka. Menikah

pun tidak boleh dilakukan dengan bebas, ia harus menikah dengan seorang yang

memiliki kasta yang sama atau pihak laki-laki bersedia untuk Nyentana. Akibat

dari aturan tersebutlah akhirnya Indira dijodohkan dengan seorang laki-laki yang

berasal dari kasta yang sama bernama Gung Wah.

Indira tidak setuju akan perjodohan tersebut karena ia tidak menyukai pria

itu dan ia sudah memiliki kekasih di Singapura. Indira berusaha menolak

perjodohan tersebut, namun ia pun tak yakin apakah Max rela meninggalkan

kehidupannya. Sikap modern Indira harus berbenturan dengan tradisi

keluarganya.Ia sempat memberontak, namun ragu sebab orang tersebut adalah

keluarganya.

Setelah upacara Ngaben selesai dilaksanakan kedua keluarga pun

membincangkan masalah perjodohan tersebut. Awalnya Indira menolak, karena


69

iamencintai pria lain, Max. Tetapi setelah berbagai pertimbangan dan tanggung

jawab yang harus dipikulnya membuat Indira terpaksa menerima perjodohan.

Perjodohan ini akhirnya diketahui oleh Max dan ia sangat marah karena Indira tak

pernah mengatakan apapun kepadanya.

Dalam akhir cerita, Gung Wah yang awalnya memang mencintai Indira

dan menjadi laki-laki yang dijodohkan dengan Indira akhirnya dapat melepaskan

Indira karena ia tidak dapat memaksa Indira yang tidak mencintai dirinya.

Kesempatan itu pun digunakan Max atas bantuan Gung Wah untuk mendapatkan

Indira lagi. Maximilian akhirnya bersedia meninggalkan seluruh yang ia miliki di

perusahaan keluarganya dan menjadi warga baru Hindu Bali karena ia masuk

dalam keluarga Indira yang berkasta Ksatria.


70

LAMPIRAN II

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

(RPP)

Sekolah : SMA Negeri 1 Teriak

Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia

Kelas/Semester : XII / Ganjil

Materi Pokok : Pandangan pengarang terhadap kehidupan dalam novel

Alokasi Waktu : 2 Minggu x 4 Jam Pelajaran @45 Menit

A. Kompetensi Inti

1. KI-1 dan KI-2:Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya.

Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, santun, peduli

(gotong royong, kerjasama, toleran, damai), bertanggung jawab, responsif,

dan pro-aktif dalam berinteraksi secara efektif sesuai dengan perkembangan

anak di lingkungan, keluarga, sekolah, masyarakat dan lingkungan alam

sekitar, bangsa, negara, kawasan regional, dan kawasan internasional”.

2. KI 3: Memahami, menerapkan, dan menganalisis pengetahuan faktual,

konseptual, prosedural, dan metakognitif berdasarkan rasa ingin tahunya

tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan

wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait

penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural

pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk

memecahkan masalah.
71

3. KI4: Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah

abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah

secara mandiri, bertindak secara efektif dan kreatif, serta mampu

menggunakan metode sesuai kaidah keilmuan.

B. Kompetensi Dasar dan Indikator Pencapaian Kompetensi

3.8. Menafsir pandangan pengarang  Mengidentifikasi pandangan


terhadap kehidupan dalam novel pengarang dalam novel yang
yang dibaca. dibaca.
 Menghubungkan tafsiran tentang
pandangan pengarang dalam
novel dengan kehidupan.
4.8 Menyajikan hasil interpretasi  Menentukan pandangan
terhadap pandangan pengarang pengarang terhadap kehidupan
baik secara lisan maupun tulis nyata dalam novel yang dibaca.
 Mempresentasikan dan
menanggapi pandangan
pengarang.

C. Tujuan Pembelajaran

Setelah mengikuti proses pembelajaran, peserta didik diharapkan dapat:

1. Mengidentifikasi pandangan pengarang dalam novel yang dibaca.


2. Menghubungkan tafsiran tentang pandangan pengarang dalam novel dengan
kehidupan.
3. Menentukan pandangan pengarang terhadap kehidupan nyata dalam novel
yang dibaca.
4. Mempresentasikan dan menanggapi pandangan pengarang.

D. Materi Pembelajaran

Pandangan pengarang terhadap kehidupan dalam novel.

E. Metode Pembelajaran

Model Pembelajaran: Discovery Learning


Metode : Tanya jawab, wawancara, diskusi.
72

F. Media Pembelajaran

1. Media

Worksheet atau lembar kerja (siswa).

Lembar penilaian.

LCD Proyektor.

2. Alat/Bahan

Penggaris, spidol, papan tulis.

Laptop &infocus.

G. Sumber Belajar

1. Buku penunjang Kurikulum 2013 mata pelajaran Bahasa Indonesia Kelas

XII Kemendikbud, tahun 2016

2. Buku refensi yang relevan,

3. Lingkungan setempat

H. Langkah-Langkah Pembelajaran

1. Pertemuan pertama

Kegiatan Pendahuluan

Orientasi

a. Melakukan pembukaan dengan salam pembuka, memanjatkan syukur

kepada Tuhan YME dan berdoa untuk memulai pembelajaran.

b. Memeriksa kehadiran peserta didik sebagai sikap disiplin.

c. Menyiapkan fisik dan psikis peserta didik dalam mengawali kegiatan

pembelajaran.
73

Aperpepsi

a. Mengaitkan materi/tema/kegiatan pembelajaran yang akan dilakukan

dengan pengalaman peserta didik dengan materi/tema/kegiatan

sebelumnya

b. Mengingatkan kembali materi prasyarat dengan bertanya.

c. Mengajukan pertanyaan yang ada keterkaitannya dengan pelajaran yang

akan dilakukan.

Motivasi

a. Memberikan gambaran tentang manfaat mempelajari pelajaran yang akan

dipelajari dalam kehidupan sehari-hari.

b. Menafsir pandangan pengarang terhadap kehidupan dalam novel

c. Menyampaikan tujuan pembelajaran pada pertemuan yang berlangsung

d. Mengajukan pertanyaan

Pemberian Acuan

a. Menyampaikan materi pelajaran yang akandibahas pada pertemuan.

b. Menyampaikan kompetensi inti, kompetensi dasar, indikator, dan KKM

pada pertemuan yang berlangsung.

c. Pembagian kelompok belajar

d. Menjelaskan mekanisme pelaksanaan pengalaman belajar sesuai dengan

langkah-langkah pembelajaran.

2. Kegiatan Inti
a. Peserta didik diberi motivasi atau rangsangan untuk memusatkan

perhatian pada topik materi menafsir pandangan pengarang terhadap


74

kehidupan dalam novel dengan cara melihat (tanpa atau dengan alat),

menayangkan gambar/foto/video yang relevan.

b. Peserta didik mengamati lembar kerja materi menafsir pandangan

pengarang terhadap kehidupan dalam novel.

c. Pemberian contoh-contoh materi menafsir pandangan pengarang

terhadap kehidupan dalam novel untuk dapat dikembangkan peserta

didik, dari media interaktif, dsb.

d. Menulis resume dari hasil pengamatan dan bacaan terkait menafsir

pandangan pengarang terhadap kehidupan dalam novel.

e. Pemberian materi menafsir pandangan pengarang terhadap kehidupan

dalam novel oleh guru.

f. Penjelasan pengantar kegiatan secara garis besar/global tentang materi

pelajaran mengenai materi menafsir pandangan pengarang terhadap

kehidupan dalam noveluntuk melatih rasa syukur, kesungguhan dan

kedisiplinan, ketelitian, mencari informasi.

g. Guru memberikan kesempatan pada peserta didik untuk mengidentifikasi

sebanyak mungkin pertanyaanyang berkaitan dengan gambar yang

disajikan dan akan dijawab melalui kegiatan belajar.

h. Mengajukan pertanyaan tentang materi menafsir pandangan pengarang

terhadap kehidupan dalam novelyang tidak dipahami dari apa yang

diamati atau pertanyaan untuk mendapatkan informasi tambahan tentang

apa yang diamati untuk mengembangkan kreativitas, rasa ingin tahu,


75

kemampuan merumuskan pertanyaan untuk membentuk pikiran kritis

yang perlu untuk hidup cerdas dan belajar sepanjang hayat.

i. Peserta didik mengumpulkan informasi yang relevan untuk menjawab

pertanyaan yang melalui kegiatan mengamati objek, mencari sumber lain

selain buku teks, menyusun daftar pertanyaan yang harus ditanyakan

kepada guru.

j. Peserta didik dibentuk dalam beberapa kelompok bersama-sama

membahas contoh dalam buku paket mengenai materi menafsir

pandangan pengarang terhadap kehidupan dalam novel.

k. Peserta didik mengkomunikasikan secara lisan atau mempresentasikan

materi dengan rasa percaya diri menafsir pandangan pengarang terhadap

kehidupan dalam novelsesuai dengan pemahamannya. Kelompok lain

harus menanggapi.

l. Mengolah informasi dari materi menafsir pandangan pengarang terhadap

kehidupan dalam novel yang sudah dikumpulkan dari hasil kegiatan

sebelumnya mau pun hasil dari kegiatan mengamati dan kegiatan

mengumpulkan informasi yang sedang berlangsung dengan bantuan

pertanyaan-pertanyaan pada lembar kerja.

m. Peserta didik mendiskusikan hasil pengamatannya dan memeriksa hasil

pengamatannya dengan data-data atau teori pada buku untuk

mengembangkan sikap jujur, teliti, disiplin, taat aturan, kerja keras,

kemampuan menerapkan prosedur dan kemampuan berpikir induktif

serta deduktif dalam membuktikan tentang materi menafsir pandangan


76

pengarang terhadap kehidupan dalam novel antara lain dengan bersama-

sama membahas jawaban soal-soal yang telah dikerjakan oleh peserta

didik.

n. Peserta didik berdiskusi untuk mengemukakan pendapat atas presentasi

yang dilakukan tentang materi menafsir pandangan pengarang terhadap

kehidupan dalam novel dan ditanggapi oleh kelompok yang

mempresentasikan.

o. Peserta didik menyimpulkan tentang point-point penting yang muncul

dalam kegiatan pembelajaran yang baru dilakukan berupa laporan hasil

pengamatan secara tertulis tentang materi menafsir pandangan pengarang

terhadap kehidupan dalam novel.

p. Bertanya tentang hal yang belum dipahami, atau guru melemparkan

beberapa pertanyaan kepada siswa berkaitan dengan materi menafsir

pandangan pengarang terhadap kehidupan dalam novel yang akan selesai

dipelajari

q. Menyelesaikan uji kompetensi untuk materi menafsir pandangan

pengarang terhadap kehidupan dalam novel yang terdapat pada buku

pegangan peserta didik atau pada lembar lerja yang telah disediakan

secara individu untuk mengecek penguasaan siswa terhadap materi

pelajaran.

3. Kegiatan penutup

a. Membuat resume dengan bimbingan guru tentang point-point penting

yang muncul dalam kegiatan pembelajaran tentang materi Menafsir


77

pandangan pengarang terhadap kehidupan dalam novel yang baru

dilakukan.

b. Mengagendakan pekerjaan rumah untuk materi pelajaran menafsir

pandangan pengarang terhadap kehidupan dalam novel yang baru

diselesaikan.

c. Mengagendakan materi atau tugas projek/produk/portofolio/unjuk kerja

yang harus dipelajari pada pertemuan berikutnya di luar jam sekolah atau

dirumah.

I. Penilaian Hasil Pembelajaran

1. Teknik Penilaian

a. Sikap

1) Penilaian Observasi

Penilaian observasi berdasarkan pengamatan sikap dan perilaku

peserta didik sehari-hari, baik terkait dalam proses pembelajaran maupun

secara umum. Pengamatan langsung dilakukan oleh guru. Berikut contoh

instrumen penilaian sikap.

No Nama Siswa Aspek Perilaku yang Jumlah Skor Kode


Dinilai Skor Sikap Nilai

BS JJ TJ DS

1 Siska 75 75 50 75 275 68,75 C

2
78

Catatan:

Aspek perilaku dinilai dengan kriteria:

100 = Sangat Baik

75 = Baik

50 = Cukup

25 = Kurang

b. Skor maksimal= jumlah sikap yang dinilai x jumlah kriteria=100x4=

400.

c. Skor sikap = jumlah skor dibagi jumlah sikap yang dinilai = 275:4=

68,75

d. Kode nilai / predikat :

75,01 – 100,00= Sangat Baik (SB)

50,01 – 75,00= Baik (B)

25,01 – 50,00 = Cukup (C)

00,00 – 25,00= Kurang (K)

e. Format di atas dapat diubah sesuai dengan aspek perilaku yang ingin

dinilai.

2) Penilaian Diri

Seiring dengan bergesernya pusat pembelajaran dari guru kepada

peserta didik, maka peserta didik diberikan kesempatan untuk menilai

kemampuan dirinya sendiri. Namun agar penilaian tetap bersifat objektif,

maka guru hendaknya menjelaskan terlebih dahulu tujuan dari penilaian

diri ini, menentukan kompetensi yang akan dinilai, kemudian


79

menentukan kriteria penilaian yang akan digunakan, dan merumuskan

format penilaiannya Jadi, singkatnya format penilaiannya disiapkan oleh

guru terlebih dahulu. Berikut Contoh format penilaian :

Jumla Skor Kode


No Pernyataan Ya Tidak
h Skor Sikap Nilai

Selama diskusi, saya


1 ikut serta
mengusulkan
ide/gagasan.
Ketika kami
berdiskusi, setiap
2 anggota
mendapatkan
kesempatan untuk
berbicara.
Saya ikut serta
3 dalam membuat
kesimpulan hasil
diskusi kelompok.
4 ...

Catatan:

1. Skor penilaian Ya = 100 dan Tidak = 50

2. Skor maksimal = jumlah pernyataan x jumlah kriteria= 4x100=

400

3. Skor sikap=(jumlah skor : skor maksimal x100)=(250:400)x100=

62,50

4. Kode nilai / predikat :

75,01 – 100,00= Sangat Baik (SB)


80

50,01 – 75,00= Baik (B)

25,01 – 50,00 = Cukup (C)

00,00 – 25,00= Kurang (K)

5. Format di atas dapat juga digunakan untuk menilai kompetensi

pengetahuan dan keterampilan.

3.2 Pengetahuan

- Tertulis Uraian dan atau Pilihan Ganda.

- Tes Lisan/Observasi Terhadap Diskusi, tanyajawab dan Percakapan.

1) Penilaian Aspek Percakapan

Skala
No Aspek yang Jumlah Skor Kode
Dinilai 25 50 75 100 Skor Sikap Nilai

1 Intonasi

2 Pelafalan

3 Kelancaran

4 Ekspresi

5 Penampilan

6 Gestur

 Penugasan

Tugas Rumah

a. Peserta didik menjawab pertanyaan yang terdapat pada buku

peserta didik
81

b. Peserta didik meminta tanda tangan orangtua sebagai bukti bahwa

mereka telah mengerjakan tugas rumah dengan baik

c. Peserta didik mengumpulkan jawaban dari tugas rumah yang telah

dikerjakan untuk mendapatkan penilaian.

3.3 Keterampilan

 Penilaian Unjuk Kerja

Contoh instrumen penilaian unjuk kerja dapat dilihat pada

instrumen penilaian ujian keterampilan berbicara sebagai berikut:

 Instrumen Penilaian

Tidak
Sangat Kurang
Aspek yang Baik
No Baik Baik Baik
Dinilai (75)
(100) (50) (25)

Kesesuaian respon
1
dengan pertanyaan

Keserasian pemilihan
2
kata

Kesesuaian penggunaan
3
tata bahasa

4 Pelafalan

Cara mencari nilai (N) = Jumlah skor yang diperoleh siswa dibagi

jumlah skor maksimal dikali skor ideal (100).


82

 Instrumen Penilaian Diskusi

No Aspek yang dinilai SB B KB TB

100 75 50 25

1. Penguasaan materi diskusi

2. Kemampuan menjawab pertanyaan

3. Kemampuan mengolah kata

4. Kemampuan menyelesaikan masalah

Anda mungkin juga menyukai