HERMAN SURYADI
Herman Suryadi Dilahirkan di Bengkulu, 16 Juni 1960. Putra ke-6 dari Bapak
Ahmad Gafur dan Ibu Sawiyah. Menamatkan pendidikan di SD Negeri 10 Kodya
Bengkulu (1974), dilanjutkan pada jalur pendidikan SMP Negeri 1 Kodya Bengkulu
(1977), SPG Negeri Kodya Bengkulu (1981), dan menyelesaikan pendidikan S-1 PGSD
FKIP Universitas Terbuka (2004), kemudian melanjutkan studi di S-2 (Pascasarjana)
Pendidikan Bahasa Indonesia di FKIP Universitas Bengkulu dan selesai tahun 2009.
Gemar menulis Puisi, Cerpen, dan Esai di berbagai media lokal dan pusat. Sejak tanggal
8 Februari 2010 bekerja sebagai guru di SD Negeri 88 Kota Bengkulu.
Mulai menulis puisi, prosa, dan artikel sejak tahun 1976. Karyanya pernah
dimuat di berbagai media cetak lokal dan dan nasional. Di antaranya di Majalah
Kawanku, Hai, Teruna, Kucica, Klub Kapten Klim, Warta Pramuka, Majalah Pramuka,
Sarinah, Mingguan Merdeka, Tabloid Asah, Tabloid Jelita, Media Sekolah (Jakarta),
Sahabat Pena (Bandung), Minggu Pagi (Yogyakarta), Mingguan Semarak, Harian
Semarak, Harian Rakyat Bengkulu, Media Bengkulu, Benteng, Tobo Kito, Harian
Bengkulen Pos (Bengkulu).
Dikenal sebagai seorang tenaga pengajar, Herman Suryadi adalah sosok ispiratif
yang berani terjun kedalam dunia kepenulisan. Hal ini ia tekuni sejak tahun 1978 hingga
saat ini dan menjadi salah satu sastrawan Bengkulu yang terus aktif. Objek utama yang
bakal ia dalami waktu itu adalah menulis berbagai macam genre sastra, didominasi
menulis cerpen dan puisi. Menurutnya sendiri, dunia sastra itu dunia yang penuh
dengan seni, dunia yang penuh dengan kebebasan berekspresi mengungkapkan fikiran
dan kata-kata, oleh karena itu jadi pilihan untuk mengungkapkan imajinasi perasaan dan
sebagainya mengenai sastra. Disitulah ia berasumsi bahwa sastra merupakan ladang
kedua untuk ia bercocok tanam dan menumbuhkan bibit sastrawan muda di Kotanya.
Suka duka kala ingin menjadi seorang penulis pada masa itu sangat beriring-
iringan. Pada tahun 1976 sampai 1980 adalah perjalanan seseorang mencari jati diri
dimana stabilitas hati belum begitu mantab, sehingga masih saja enggan dan ogah-
ogahan untuk terus produktif. Menurutnya, pada waktu itu yang sangat menjadi kendala
adalah dalam penggunaan teknologi yang belum canggih, mesin TIK masih manual, alat
menjangkau transportasi susah, komunikasi juga belum selancar saat ini dan masih
menggunakan jasa pengiriman Kantor Pos untuk menempuh pihak media publikasi dan
percetakan. Mediapun terpusat hanya di Jakarta saja. Jadi setiap hendak berkirim karya
semuanya ke Jakarta. Selanjutnya untuk sukanya, karya beliau diterbitkan oleh majalah-
majalah, Koran, dan media masa lainnya yang dulu masih berupa karya kecil-kecilan
pun sederhana serta dengan honor pendapatan yang cukup membuat ia bersemangat.
Dan untuk dukanya sendiri, ada banyak sekali media-media itu tidak sesuai sehingga
menolak karya itu dan dikembalikan lagi kepada beliau, ada yang dikembalikan dengan
catatan, ada yang sama sekali tidak dikembalikan maupun diterbitkan, ini yang
membuat ia merasa banyak kekurangan tanpa ada motivasi, namun ia terus
berkomitmen untuk terus belajar lagi dan lagi demi mengawali kiprahnya.
Setelah menjadi seorang penulis sastra dan diakui segala pihak, beliau memulai
kehidupan menulisnya dengan nama pena Kakaktua Raja. Istilah itu ia pakai setelah tua
dengan latarbelakang yang lucu. Nama tersebut dilatarbelakangi ketika ia menjadi
narasumber pada sebuah seminar Kompetensi Guru Bahasa Indonesia di SMA yang
diadakan di Hotel Pasir Putih, Bengkulu. Waktu itu mereka yang menghadiri masih
muda-muda dan agak sedikit tidak mendengar sang penyaji. Ketika ia berbicara dengan
suasana siang hari dimana konsentrasi sudah mulai tidak terarah, akhirnya dengan nada
menyinggung iapun bicara “Teman-teman, Adik-adik sekalian, yang berbicara ini
Kakak tua mu, yang paling tua, jadi kalau tidak didengar nanti berdosa,” dan setelah
keluar dari acara, mereka spontan memanggil beliau dengan sebutan Kakaktua, akhirnya
sebutan itu sampai saat ini beliau pakai sebagai ‘merek dagang’ pada setiap karyanya.
Ada banyak sekali jalan terjal yang mengawali karir beliau. Dan salah satunya
ketika ingin mempublikasikan diri sebagai penulis yang diakui. Saat pertama kali
mempublikasikan diri sebagai seorang penulis beliau menggunakan cara dengan selalu
mengirim karya kekantor pos dan mengunjungi media-media penerbitan secara
langsung, dan setelah memasuki tahun 2000an, beliau mencoba datang ke penerbit
Mayor kemudian juga redaktur-redaktur majalah untuk melihat bagaimana proses
publikasi yang benar supaya kita meningkatkan nama sesuai yang diminta oleh pihak
penerbit. Nah, hal tersebut sukses beliau lakukan ketika mendatangi penerbit di
Jogjakarta dengan beberapa kali percobaan memasukkan 3 naskah secara bersamaan, 2
ditolak dan 1 diterima pihak mayor. Setelah diketahui bagaimana kriteria yang
diinginkan redaktur majalah, beliau langsung datang kedapur percetakkan. Lain cerita
ketika sudah memasuki era millennium, ketika mulai timbul erbagai macam media
sosial seperti facebook dan google+, beliau hanya cukup diberkenalan dimedia sosial
terus saling suka-sama suka kiriman status.
- Seberapa konsistenkah?
Ketika ditanya “Sikap yang menjadi keluhan seorang penulis adalah kesabaran.
Sejauh ini dari kesekian banyak rekan penulis apakah ada yang Kakak Tua temukan dari
nol hingga profesional dalam memulai karir? Mungkin bisa bapak ceritakan perjalanan
dalam membimbing beliau!” maka beliau spontan menjawab; Kalau tingkat kesabaran
menulis dari nol hingga professional itu ada namun tidak banyak, masih hitungan
puluhan, lah. Sementara obsesi saya kan ratusan, jadi yang sabar, tekun, dan komitmen,
itu baru hitungan puluhan, namun nanti mereka kita giring menjadi penulis professional
dan berkomitmen. Untuk penulis baru itu akan berproses terlebih dahulu kita bombing
untuk mencapai banyak karya dan tahan kritik, jadi tahan kritik ini, kan untuk kategori
pemula memang sangat tidak tahan kritik, berbeda dengan yang sudah lama tekun dan
terus berlatih menulis inshaallah akan tahan kritik. Inovasi yang saya lakukan untuk
memotifasi penulis baru, saya memberikan kepercayaan pada mereka bahwa
prinsipnya semua orang itu bisa menulis dengan syarat ditekuni.
Sangat dominan yang memacu dan berambisi mengerjakan hal seperti itu,
diantaranya yaitu kepuasan batin manakala beliau mendapatkan orang-orang
disekitarnya juga ikut berhasil menjangkau media cetak dan karyanya
terdokumentasikan. Dengan seperti itu ada kepuasan tersendiri yang mungkin orang lain
tidak rasakan, hal tersebut menjadi sebuah kebahagiaan bagi apresiator tertinggi karya
sastra. Selanjutnya adalah, walau diera digital seperti saat ini karya-karya yang dicetak
secara digital dan pembaca juga sudah lebih banyak menggunakan media digital, tapi
tampaknya hal tersebut belum bisa menggantikan maupun meninggalkan tradisi lama
dunia percetakan menjadi sebuah buku bacaan. Karna apa,? Banyak orang-orang baru
itu, manakala dia tidak melihat benda aslinya maka dia tidak ada sesuatu yang special
walaupun ada didunia maya dan juga sebagian orang yang tidak punya kapasitas dan
kemampuan untuk menjangkau dunia maya itu sendiri, belum semua orang. Namun
kalau dunia cetak, mulai dari orang awam sampai orang hebat semuanya masih bisa
menerimanya.
TUGAS
MENULIS FEATURE
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Dalam Mata Desain Naskah
Disusun Oleh :
Dosen Pembimbing :
Ermi Rosmita