Anda di halaman 1dari 5

Afif Kharisma Erlina

Fairus Rifa Ferial


Oktri Mardiyanti
Qodri Nela Antani
Wartati
Pengantar Sastra Jepang

Analisis Novel Kaze no Uta wo Kike

PENDAHULUAN
Sinopsis
Ada 3 anak muda Jepang di tahun 1970-an yang bergulat dengan
kehidupan yang bebas, permisif jika dipandang dalam perspektif norma moral,
etika, apalagi agama. Si Aku yang menjadi tokoh utama dan sudut pandang
cerita ini tak pernah disebutkan namanya di sepanjang cerita. Dalam dialog pun
tak ditemukan tokoh lain menyebut namanya, sekalipun itu nama panggilan atau
nama olok-olok. Di beberapa baris ditemukan juga penyebutan kata-kata yang
cukup merangsang imajinasi liar. Kata-kata ini dipilih sedemikian rupa oleh
pengarang untuk mendeskripsikan suatu adegan saat si Aku, mahasiswa usia 20an awal, yang terbangun dalam keadaan tanpa busana di sebuah apartemen
milik seorang gadis yang tak ia kenal yang malam sebelumnya ia temukan
pingsan di kamar kecil sebuah bar (hal. 27). Si Aku yang bercitrakan pejantan
tangguh di sini tidur seranjang dengan si gadis yang sama-sama tanpa busana.
Dan mereka tak berbuat apa-apa dalam keadaan mabuk itu. Mulanya si gadis tak
percaya, tapi ia kemudian yakin si pemuda tak menidurinya saat ia mabuk.
Sungguh insiden mabuk berlainan jenis nan langka. Ini cukup bertentangan
dengan rekam jejak si Aku yang konon sudah meniduri 3 orang gadis di usia 21
tahun. Tapi sekali lagi inilah absurditas yang pembaca harus terima. Pergeseran
nilai dan norma pergaulan muda-mudi bisa diamati dengan jelas di sini.
Semuanya begitu terbuka, tanpa batas. Apa yang dikisahkan Haruki mungkin
memang cerminan nyata dari masa 1970-an di negeri matahari terbit. Orangorang muda dengan leluasa keluar masuk bar, minum bir, wiski, dan minuman
keras semau mereka. Bagi mereka, yang penting adalah bagaimana menikmati
masa kini, menikmati sebaik mungkin hangatnya musim panas dan kebebasan di
kota kecil bernama Yamanote. Si Aku dan sahabatnya yang bernama Nezumi
(yang dalam bahasa Jepang berarti tikus) dengan nekat mengemudikan mobil
mewah Nezumi dan menabrakkan mobil itu dalam keadaan mabuk pada sebuah
taman kota yang mengharuskan mereka membayar denda yang terbilang mahal
untuk ukuran kantong mahasiswa. Tapi untungnya Nezumi anak seorang pebisnis
licik yang kaya raya berkat menjual salep antiserangga yang khasiatnya amat
diragukan tetapi terjual laris semasa Perang Dunia II (hal 96). Rokok juga menjadi
simbol permisifnya gaya hidup anak-anak muda kala itu. Rokok, begitu juga
1

miras, ialah dua hal yang berulang kali disebutkan di sepanjang isi novel. Si Aku
dan Nezumi merokok secara intens. Si gadis juga tak ketinggalan. Beberapa hal
yang kutemukan cukup menarik di novel ini adalah fanatisme tokoh Aku pada
seorang penulis Amerika bernama Derek Hartfield yang sama sekali tak tersohor.
Hartfield adalah penulis yang akhirnya mati bunuh diri dengan terjun dari Empire
State Building setelah kematian ibundanya. Sialnya si Aku amat terobsesi untuk
menjadi penulis segila Hartfield. Di akhir kisah, dituturkan si Aku mengunjungi
makam Hartfield yang tak lazim. Dedikasi seorang penggemar yang tak bisa
dicerna akal sehat orang yang tak menyukai dan menemukan alasan untuk
mengidolakan penulis yang sudah almarhum dengan cara tak wajar. Lain halnya
dengan Nezumi. Mulanya ia tak suka dengan novel, apalagi harus membacanya.
Karena si Aku suka membaca, Nezumi perlahan menyukai novel bahkan akhirnya
menulis novel. Namun, bedanya Nezumi si anak kaya raya yang tak mau kuliah
ini menghindari tema kematian dan seks (hal. 21). Cara yang cerdas untuk
membedakan dirinya dari si Aku yang lebih suka hal-hal yang berbau bunuh diri
dan ranjang.
Tujuan kami menganalisis novel yang berjudul kaze no uta wo kike ini adalah :

bagaimana karakteristik gaya penulisan Haruki Murakami.


bagaimana karakter tokoh utama dalam novel kaze no uta wo kike

PEMBAHASAN
Haruki Murakami (lahir di Kyoto, Jepang, 12 Januari 1949, umur 66 tahun)
merupakan penulis best-seller Jepang. Karyanya dalam tulisan fiksi dan non-fiksi
telah menerima banyak klaim kritikus serta sejumlah penghargaan, baik di
Jepang maupun di luar negeri, termasuk pada World Fantasy Award (2006) dan
Frank O'Connor International Short Story Award (2006), sedang seluruh karyanya
mendapatkan pernghargaan pada Franz Kafka Prize (2006) dan Jerusalem Prize
(2009). Murakami juga telah menerjemahkan sejumlah karyanya dalam bahasa
Inggris. Karya-karya pentingnya seperti A Wild Sheep Chase (1982), Norwegian
Wood (1987), The Wind-Up Bird Chronicle (1994-1995), Kafka on the Shore
(2002), dan 1Q84 (20092010).
Gaya penulisan
Haruki Murakami dipengaruhi dengan penulis barat, tidak seperti penulispenulis Jepang yang lainnya. Walaupun dia juga mencoba untuk menyajikan
warisan Jepang dalam setiap bukunya. Setiap tulisannya menggunakan narative
orang-pertama untuk menolong pembaca mengerti masalah yang dihadapi oleh
proantagonis. Dia mengatakan itu karena keluarga berperan penting dalam
literatur tradisional Jepang, setiap karakter utama yang mandiri menjadi manusia
yang menghargai kebebasan dan kesendirian melebihi keakraban. Murakami
juga dikenal memiliki humor yang unik, seperti yang terlihat pada koleksi cerita
pendeknya di tahun 2000, After the Quake. Pada cerita "Superfrog Saves Tokyo",
tokoh utama berhadapan dengan katak dengan tinggi 6 kaki yang berbicara
tentang kehancuran Tokyo karena secangkir teh. Meskipun kita dimabukkan
dengan ceritanya, Murakami merasa bahwa pembaca harus dihibur setelah
2

keseriusan subjek selesai. Sifat khas cerita Murakami lain yang paling diingat
ialah komentar yang datang dari karakter utama sebagaimana anehnya cerita
menunjukkan dirinya sendiri. Murakami menjelaskan bahwa setiap pengalaman
karakter sebagaimana pengalamannya ketika menulis, yang dapat dibandingkan
dengan film di mana dinding dan barang-barangnya palsu.
Banyak sekali judul dan tema novelnya diambil dari musik klasik, seperti
tiga buku yang membuat The Wind-Up Bird Chronicle: The Thieving Magpie
(berasal dari opera Rossini), Bird as Prophet (berasal dari judul piano Robert
Schumann yang biasa dikenal sebagai The Prophet Bird), dan The Bird-Catcher
(karakter dari opera Mozart The Magic Flute). Beberapa dari novelnya mengambil
judul dari lagu: Dance, Dance, Dance (berasal dari The Dells' 1967 lagu B-side,
walaupun sering diberi judul dengan Beach Boys' 1964tune), Norwegian Wood
(berasal dari lagu The Beatle) dan South of the Border, West of the Sun (berasal
dari lagu "South of the Border").
Beberapa analis melihat aspek perdukunan dalam penulisannya. Pada
artikel di tahun 2000, Susan Fisher menghubungkan agama rakyat Jepang atau
perdukunan Jepang dengan beberapa elemen dari The WInd-Up Bird Chronicle.
Pada simposium pada Oktober 2013 yang dilakukan di Universitas Hawaii,asisten
profesor Jepang Nobuko Ochner berpendapat "banyak sekali deskripsi perjalanan
di dunia paralel sebagaimana karakter yang memiliki koneksi ke
perdukunan"dalam tulisan-tulisan Murakami. Karya fiksi Murakami, sering dikritik
oleh Badang Literatur Jepang, sebagai karya yang surealistik dan nihilistik, yang
ditandai dengan cara pembawaan Kafkaesque dengan tema kesendirian dan
pengasingan.Haruki Murakami dipandang sebagai orang penting dalam literature
modern.
Karakter Tokoh Utama
Tokoh utama merupakan tokoh sentral yang perannya sangat berpengaruh
terhadap tokoh lainnya, namun secara tidak langsung mendapat pengaruh yang
sama terhadap penggambaran karakter dari peran tambahan. Aku kecil adalah
anak yang sangat pendiam, hingga dibawa oleh ibunya ke seorang psikiater di
mana dia mendapatkan pelajaran Peradaban adalah informasi. Jika sudah tak
ada lagi informasi yang ingin disampaikan atau dibagi, maka selesailah
peradaban. Selanjutnya Aku berkembang menjadi pemuda yang tak pendiam,
tapi tak banyak bicara juga. Digambarkan sebagai seorang yang memiliki
kepribadian yang cukup unik, Tokoh aku dilatar belakangi oleh kehidupan masa
kecilnya yang cukup berbeda dari anak kecil lainnya. Sewaktu kecil aku adalah
anak yang sangat pendiam. Karena khawatir, kedua orang tuaku membawaku ke
rumah kenalan mereka yang seorang psikiater.(Murakami, 2008:22) Hal ini
digambarkan pula melalui kutipan berikut, . Sungguh sulit dipercaya, tapi di
suatu musim semi ketika usiaku beranjak empat belas tahun, tiba-tiba saja aku
mulai mengoceh tak ubahnya seperti dam yang ambrol. Aku tak ingat apa yang
kukatakan waktu itu, tapi aku terus mengoceh tanpa henti selama tiga bulan
seperti berusaha menutupi kekosongan selama empat belas tahun. Di
pertengahan Juli, ketika selesai mengoceh, aku menderita demam setinggi 40C
sehingga harus absen dari sekolah selama tiga hari. Akhirnya setelah demamku
turun, aku menjadi pemuda biasa, tidak pendiam tidak juga banyak bicara.
3

(2008:26). Tokoh aku terinspirasi dari salah seorang penulis barat Derek
Heartfield, seorang penulis kelahiran Amerika yang tidak terlalu terkenal dan
mati bunuh diri. Karya-karya Derek Heartfield menyusuri liku hidupnya selama
beberapa tahun. Dalam kutipan Murakami Aku banyak belajar tentang kalimat
dari Derek Heartfield. Mungkin seharusnya aku bilang bahwa hampir semuanya
kupelajari dari dia. (2008:3) Percakapan-percakapan dalam karya ini tergolong
cukup singkat, terutama pada bagian tokoh aku. Percakapan-percakapan
singkat yang dilontarkan oleh tokoh utama ini juga sangat membantu kita dalam
memberikan penilaian tentang sifat dan karakter yang diusung oleh tokoh aku.
Dari dialog tokoh aku terlihat bahwa tutur-katanya hanyalah sebuah formalitas
dan tidak lebih. Hal tersebut lebih dapat disebut sebagai sebuah keengganan
yang dipaksakan karena ia tidak terlalu menanggapi percakapan-percakapan
tersebut dengan serius. Dari beberapa bagian percakapannya dengan Nezumi
ataupun percakapannya dengan teman gadisnya ia selalu menjawab sesuai
logika dan kadang terlalu logis. Misalnya gigi keropos. Suatu hari gigi kita yang
sudah keropos tiba-tiba terasa sakit. Seseorang mencoba menghibur kita, tapi
rasa sakit tidak berarti akan hilang. Kalau sudah begitu, kita mulai kesal
terhadap orang-orang yang tidak merasa kesal terhadap dirinya sendiri. Ngerti
nggak? (Murakami, 2008:110) Sebenarnya kata-kata yang dilontarkan oleh aku
ini cukup bijaksana walaupun terkesan aneh. Murakami (2008:110)
menyebutkan, Tapi coba kau pikirkan baik-baik. Kondisi semua orang sama saja.
Sama seperti ketika kita naik pesawat rusak. Tentu saja di situ ada orang yang
bernasib baik dan bernasib buruk. Ada yang tangguh, ada juga yang lemah; ada
yang kaya, ada pula yang miskin. Hanya saja, tidak ada yang memiliki kekuatan
yang jauh lebih besar daripada orang lain. Semua orang sama. Orang yang
memiliki sesuatu selalu khawatir, jangan-jangan apa yang dia miliki sekarang
akan hilang, sedangkan orang yang tidak memiliki apa-apa selalu cemas, janganjangan selamanya aku akan tetap menjadi orang yang tidak punya apa-apa.
Semua orang sama! Karena itu, manusia yang menyadari hal itu lebih cepat
harus lebih berusaha menjadi sedikit lebih tangguh. Sekadar pura-pura pun tidak
apa. Betul kan? Di mana pun tidak akan ada manusia yang tangguh. Yang ada
hanyalah manusia yang pura-pura tangguh. Aku merupakan tokoh yang berpikir
segala sesuatu itu dapat dipikirkan dengan baik danDikirim dari telepon Mi saya

ARGUMEN
Di sejumlah bagian terdapat kalimat inspiratif tentang filosofi kehidupan
yang bisa dikutip. Di antaranya ialah yang bisa kita temukan di halaman 110 ini.
() Semua orang sama. Orang yang memiliki sesuatu selalu khawatir, janganjangan apa yang dia miliki sekarang akan hilang, sedangkan orang yang tidak
memiliki apa-apa selalu cemas, jangan-jangan selamanya aku akan tetap
menjadi orang yang tidak punya apa-apa. Semua orang sama! Karena itu,
manusia yang menyadari hal itu lebih cepat harus berusaha menjadi lebih sedikit
lebih tangguh. Sekadar berpura-pura pun tidak apa. Betul kan? Di mana pun
tidak akan ada manusia yang tangguh. Yang ada hanyalah manusia yang purapura tangguh. (Haruki Murakami: Dengarlah Nyanyian Angin, hal 110) Satu
4

tema besar yang menurutku paling agung dalam kehidupan manusia yang
disebutkan di awal bab 23 halaman 85 ialah raison detre (alasan atau tujuan
eksistensi/ keberadaan).
Di bab yang pendek itu diceritakan bagaimana seorang manusia idealnya
memiliki raison detre sebelum mati. Raison detre seseorang bisa berbeda
sesuai subjek yang memberikan pandangan. Dalam kasus si Aku, salah satu
gadis yang ia tiduri mengatakan raison detre si Aku adalah penisnya, sementara
dalam pemikiran si Aku sendiri, ia punya raison detre yang berupa obsesi
mengubah segala sesuatu menjadi deretan angka. Dalam jangka waktu tertentu,
si Aku suka menghitung frekuensinya bercinta, mengisap rokok, dan menghadiri
perkuliahan hanya untuk obsesi yang tak berguna bagi orang lain. Dan saat
orang lain mengabaikan informasi angka-angka yang sudah ia kumpulkan
dengan susah payah dan menganggapnya tak berharga, si Aku kehilangan
alasannya berada di muka bumi ini. Alhasil, ia merasa kesepian dan tidak
berharga. Nah, kini saatnya kita bertanya pada diri sendiri sebelum larut dalam
rutinitas harian yang menjemukan dan mempertumpul kepekaan jiwa: Apakah
raison detre saya? Dan jika kita tak bisa menjawabnya sekarang, apakah itu
sebuah aib dalam menjalani kehidupan yang lebih utuh dan bermakna?
Entahlah. Namun yang pasti novel mungil ini mengajak kita yang membaca
berpikir lebih dalam mengenai kehidupan.

DAFTAR PUSTAKA
https://id.wikipedia.org/wiki/Haruki_Murakami

Anda mungkin juga menyukai