Anda di halaman 1dari 6

LEBIH DEKAT DENGAN KARYA SITOR SITUMORANG

Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Sejarah Sastra


Dosen pengampu : Dr. Budi Waluyo, M.Pd.

Nama : Alihasan Rahmatulloh


Kelas : B
NIM : K1223004

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2024
Prolog
Banyak dari kalian pasti masih asing dengan tokoh sastrawan ini, iya tokoh sastrawan
ini bernama Raja Usu Sitor Situmorang, sebelum kita lebih dekat dengan karya-karya Sitor
Situmorang, alangkah indahnya jika kita mengenal lebih dekat siapa sih Sitor Situmorang itu.
Karena tak kenal maka tak sayang, sudah kenal makin sayang.
Sitor Situmorang adalah seorang tokoh sastrawan yang dilahirkan dengan nama Raja
Usu Sitor Situmorang, Sitor lahir di Harianboho, Samosir, Sumatera Utara, pada 2 Oktober
1924. Ia menempuh pendidikan di Hollandsch-Indlandsche School (HIS) di Kecamatan
Balige Kabupaten Toba dan Kota Sibolga Provinsi Sumatera Utara, kemudian dilanjutkan di
Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli
Utara Provinsi Sumatera Utara, yang diakhiri Algemeene Middlebare School (AMS) di
Batavia (Jakarta). Namun, karena keingintahuannya yang sangat tinggi Sitor juga sempat
berkelana di Amsterdam dan Paris saat usianya menginjak 26-28 tahun, yang kemudian ia
melajutkan berkelana ke Universitas Calivornia pada saat usianya 32-33 tahun atau
bertepatan dengan tahun 1956-1957 untuk mendalami ilmu sinematografi.
Ketertarikan Sitor pada karya sastra tumbuh pada saat ia menemukan buku Max
Havelaar karya Multatuli ketia ia remaja, ia menerjemahkan sajak Saidjah dan Adinda dari
buku Max Havelaar ke dalam bahasa Batak, buku tersebut yang menginspirasinya untuk
menjadi seorang pengarang.
Keterlibatannya dalam ideologi perjuangan muncul pada akhir 1950 an awal 1960 an,
ia kerap disebut sebagai penyair Indonesia yang terkemuka sejak meninggalnya tokoh sastra
Angkatan 45 khususnya Chairil Anwar.
Riwayat lain menyebutkan bahwa Sitor pernah menetap di Singapura (1943),
Amsterdam (1950-1951), Paris (1951-1952), dan pernah mengajar bahasa Indonesia di
Universitas Leiden, Belanda (1982-1990) dan bermukim di Islamabad, Pakistan (1991) dan
Paris.
Sitor memulai karirnya saat ia masih berusia 19 tahun, ia menjadi seorang pemimpin
redaksi dari harian Suara Nasional terbitan Sibolga di Tarutung pada tahun 1945-1946, dan
menjadi koresponden Harian Waspada di Medan 1947 atas permintaan resmi Menteri
Penerangan, Muhammad Natsir, ia ditugaskan menempati pos di Yogyakarta.
Kebanyakan sastrawan angkatan 45 susah diidentifikasi, apakah sebenarnya ia
seorang sastrawan, wartawan atau politisi. Namun untuk mengetahui lebih pasti siapakah
Sitor Situmorang sebenarnya marilah kita kembali ke masa lalu sejenak untuk mengenang
kisah suksesnya seorang Sitor Situmorang.
Kisah sukses ini bermula ketika ia menjadi seorang wartawan pada saat
berlangsungnya Konferensi Federal di Bandung tahun 1947, saat itu usianya masih
menginjak 23 tahun. Saat itu namanya begitu fenomenal karena ia berhasil melakukan
wawancara dengan tokoh negara federal yakni Sultan Hamid. Sultan Hamid merupakan orang
yang diplot menjadi tokoh federal yang memecah belah keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) menjadi negara boneka dalam negara federal. Namun kesuksesannya
bukan hanya karena itu saja, melainkan karena topik Sitor dalam wawancara tersebut yang
sangat menarik mengenai Negara Republik Indonesia. Saat Sitor bertanya kepada Sultan
Hamid mengenai bagaimana tanggapan Sultan Hamid terkait Negara Indonesia dan dijawab
dengan “Oh, tentang negara republik itu ada, dan tidak bisa dianggap tidak ada. Dari
wawancara tersebut nama Sitor menjadi viral dan fenomenal yang kemudian banyak headline
dan punchline dari media asing mengutipnya.
Raja Usu Sitor Situmorang atau yang biasa kita kenal dengan Sitor Situmorang
meninggal dunia pada usia ke 91 tahun (2 Oktober 1924-21 Desember 2014) di Apeldoorn,
Gelderland Belanda.
Isi
Setelah mengenal lebih dekat dengan siapa sih sebenarnya Sitor Situmorang, mulai
dari kapan dia lahir, riwayat pendidikannya, riwayat pekerjaannya, kisah sukses besarnya dan
diakhiri dengan kapan meninggalnya, sekarang kita bisa lebih dekat dengan karya-karyanya.
Ada dua karya yang sangat menarik bagi penulis yang membuat penulis ingin
menyampaikan isi pikirannya dalam tulisan ini. Karya tersebut merupakankarya terpanjang
dan karya terpendek yang berhasil dibuat oleh Sitor Situmorang, yakni Cathedrale de
Chartes (1953) yang merupakan karya terpanjang dan Malam Lebaran (1955) yang
merupakan karya terpendek Sitor Situmorang. Penulis ingin mengkaji terkait perbedaan
interpretasi dua sajak karya Sitor Situmorang dan perbedaan interpretasi posisi pengarang
dalam karya tersebut.
Cathedrale de Chartres
Sitor Situmorang, 1953
Akan bicarakah Ia di malam sepi
Kala salju jatuh dan burung putih-putih
Sekali-sekali ingin menyerah hati
Dalam lindungan sembahyang bersih
Ah, Tuhan, tak bisa kita lagi bertemu
Dalam doa bersama kumpulan umat
Ini kubawa cinta di mata kekasih kelu
Tiada terpisah hidup dari kiamat
Menangis ia tersedu di hari Paskah
Ketika kami ziarah di Chartres di gereja
Doanya kuyu di warna kaca basah
Kristus telah disalib manusia habis kata
Ketika malam itu sebelum ayam berkokok
Dan penduduk Chartres meninggalkan ker- mis
Tersedu ia dalam daunan malam rontok
Mengembara ingatan di hujan gerimis
Pada ibu, isteri, anak serta Isa
Hati tersibak antara zinah dan setia
Kasihku satu, Tuhannya satu
Hidup dan kiamat bersatu padu
Demikianlah kisah cinta kami yang bermula di pekan kembang
Di pagi buta sekitar Notre Dame de Paris
Di musim bunga dan mata remang
Demikianlah kisah hari Paskah
Ketika seluruh alam diburu resah
Oleh goda, zinah, cinta dan kota
Karena dia, aku dan isteri yang setia
Maka malam itu di ranjang penginapan
Terbawa kesucian nyanyi gereja kepercayaan
Bersatu kutuk nafsu dan rahmat Tuhan
Lambaian cinta setia dan pelukan perempuan
Demikianlah Cerita Paskah
Ketika tanah basah Air mata resah
Dan bunga-bunga merekah Di bumi Perancis
Di bumi manis Ketika Kristus disalibkan

Sajak “Cathedrale de Chartres” jelas menampilkan krisis percintaan Sitor. Sajak yang
menurut pendekatan ini dapat dikaitkan dengan pernyataan Sitor dalam periode penciptaan
sajaknya, bisa dikatakan diilhami oleh pengalaman pribadi yang menampilkan keadaan ketika
Sitor mengalami dilema antara hubungan dengan kekasih gelap di hadapan mata di negeri
manis Perancis dengan perkawinan dan keluarganya. Sajaknya muncul sebagai penceritaan
ekspresi kegelisahan, krisis, atas suatu momen di kota Chartres selama dan sehabis kunjungan
ke Cathedrale de Chartres bersama kekasihnya.
Momen itu merupakan momen yang penuh kegelisahan. Kekasih di hadapannya
menggodanya untuk berzina sementara ia teringat pada kesetiaan istri, sementara kota sudah
mulai bergegas dengan resah kesibukan paginya.
Bait pertama sajak, bisa diinterpretasikan sebagai sebuah pertanyaan apakah Tuhan
benar-benar akan berbicara pada diri si aku dalam sajak dalam suasana yang kudus menurut
imajinasi tradisi Kristen Eropa: salju, burung putih. Bait kedua dan berlanjut di bait ketiga,
karakter aku dalam sajak harus menyadari bahwa harapan bertemu semuka dengan Tuhan itu
belum bakal bisa terjadi. Si aku sadar tidak sedang sendirian. Ia sedang di gereja yang ramai,
di dalam kerumunan, dan bersama si dia (kekasihnya). Di bait ke-4, 5, dan 6, dikisahkan
bahwa mereka berdua (si aku dan kekasihnya) pulang ke penginapan sehabis ziarah Paskah.
Saat dini hari menjelang pagi, saat jalanan begitu sepi, angin bertiup merontokkan dedaunan
disertai gerimis, sang kekasih teringat pada kenangan pada musim yang sama sekian waktu
yang lalu di kota Paris di antara mereka berdua.
Malam Lebaran
Sitor Situmorang, 1955
Bulan di atas kuburan
Dalam puisi terpendek karya Sitor Situmorang, dapat dilihat bahwa Sitor adalah
seorang penyair yang terombang-ambing di antara kehidupan dan tradisi poetika dua dunia.
Dengan demikian, simbolisme rembulan dapat didudukkan dalam tradisi simbolisme Prancis,
sedangkan Lebaran diletakkan dalam konteks keindonesiaan.
Namun, menurut penulis, puisi yang hanya terdiri dari satu baris dengan jumlah
keseluruhan 4 kata yaitu, malam lebaran, bulan, kuburan dan satu konjungsi di atas pada
setiap katanya memiliki makna masing-masing namun masih berkaitan satu sama lain. Makna
malam lebaran mempunyai makna sebelum hari raya tiba tepatnya pada akhir bulan
Ramadhan malam hari atau lebaran akan jatuh pada esok hari. Dalam kepercayaan agama
Islam, lebaran merupakan hari yang istimewa, karena pada hari itu semua manusia kembali
menjadi fitrah, suci dan bersih dari dosa-dosa, semua kebahagiaan pun bertumpah ruah.
Kemudian pada kata bulan masih berkaitan dengan kata sebelumnya yakni malam,
karena bulan merupakan simbol dari waktu malam, bulan sebagai penerang dan pencerah
waktu malam. Yang terakhir kuburan yang sering kali dikaitkan dengan tempat yang sepi dan
sunyi, kuburan merupakan tempat peristirahatan terakhir bagi manusia.
Namun, rasanya tidak mungkin jika di akhir bulan ramadhan atau awal bulan syawal
tepatnya pada malam lebaran terdapat bulan yang bersinar diatas kuburan, karena pada
tanggal tersebut bulan tidak bisa dilihat dengan mata kosong, apalagi diatas kuburan.
Untuk memahami apa sebenarnya arti dari pusi tersebut mari kita simpulkan pengakuan dari
pengarang yakni Sitor Situmorang. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1954 beberapa hari
setelah hari raya, ia pergi ke sebuah acara halal bihalal, namun karena ia datang terlambat
acara tersebut sudah selesai dan tampak sepi dan sunyi, saat ia bergegas untuk pulang
kerumah ia melewati sebuah kuburan dan diatasnya terdapat sinar bulan yang menerangi
kuburan tersebut.
Jadi bisa disimpulkan bahwa bulan muncul ketika malam lebaran tetapi bukan pada
tanggal 1 Syawwal tetapi beberapa hari sesudah Hari Raya Idul Fitri, karena acara tersebut
sudah selesai dan tampak sunyi dan sepi ia menggambarkannya dengan kuburan yang ia
lewati pada saat perjalanan pulang yang kebetulan disinari oleh cahaya bulan dari atas.
Epilog
Dari beberapa penjelasan diatas kita bisa mengetahui posisi pengarang dalam sebuah
karya dari berbagai sudut pandang. Dalam tulisan ini penulis ingin menyampaikan isi pikiran
dan pandangan penulis terkait makna dari dua karya Sitor Situmorang yang terkenal “
Cathedrale de Chartres 1953” dan “Malam Lebaran 1955” baik dari sisi posisi pengarang
maupun arti dari puisi tersebut yang diambil dari berbagai sudut pandang, kemudian diakhiri
dengan pengakuan dari pengarang yang bisa kita ambil kesimpulan bahwa arti sebenarnya
sebuah karya berasal dari pengarang, namun tidak salah juga kalau dari segi pembaca atau
penikmat karya sastra memiliki sudut pandang sendiri terkait makna sebuah karya sastra.
Daftar Pustaka
Nugraha, Dipa. (2020). POSISI PENGARANG DALAM INTERPRETASI
PEMBACAAN DUA SAJAK TERKENAL SITOR SITUMORANG. Widyaparwa. Vol 48
No 1.
Erafika. (2018). Artikel Kajian Puisi Pendekatan Pragmatik. Program Studi
Pendidikan bahasa Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai