Anda di halaman 1dari 4

Karena cintamu

Judul Novel : Desau Angin Maastricht


Penulis : DH Devita
Penerbit : Lingkar Pena Kreativa, Jakarta, Februari 2009
Tebal : i-vii + 242 Halaman
Harga: Rp 29.500,00
Resensator : Suci Varista Sury

Cinta kadang membuat seseorang menjadi sangat kuat, tapi terkadang cinta
merapuhkan seluruh sendi-sendi ketegaran yang telah terpatri selama ini. Oleh karena cinta,
seorang bisa melakukan apa saja yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Cinta yang
mengecewakan mampu membawanya ke negeri Kincir Angin untuk menjelajah kehidupan
barunya. Sepertinya, tema inilah yang digunakan DH Devita untuk menjelaskan berbagai
nilai kehidupan dalam novelnya yang berjudul Desau Angin Maastricht.
Novel fiksi karya DH Devita ini menceritakan kehidupan seorang wanita dari
keluarga sederhana yang baru saja menyelesaikan S1-nya di salah satu Universitas di
Indonesia. Ia berjuang keras untuk memperoleh beasiswa S2-nya di luar negeri, bukan
sekedar untuk melanjutkan jenjang kuliahnya. Akan tetapi, tekad itu semakin kuat ketika
cinta yang baru saja bersemi dan tumbuh di hati dipupuskan oleh rencana pernikahan
kekasihnya tersebut. Lari dari cinta untuk mengejar cita, mungkin itu semboyan yang
digunakan oeh sang tokoh untuk melawan kecamuk hati yang tak menentu itu. Akan tetapi,
berkat itulah ia mendapatkan banyak pelajaran kehidupan dari sisi dunia Maastricht yang
akhirnya mampu membuka pikirannya bahwa lari dari masalah bukanlah jalan terbaik.
DH Devita mengawali novelnya dengan penyajian menarik melalui perbandingan
nilai budaya tempat yang ia lihat pertamakali ketika menginjakkan kakinya di daerah Schipol
dalam perjalanan menuju Maastricht. Tentu saja aku tak mendapati deretan rumah
berdempetan atau sawah menghijau yang sebenarnya tak kalah indah. Tapi, ini sungguh lain.
Langit tampak cerah dan sepanjang jalan rasanya padang rumput hijau yang super luas tak
habis-habis menimbulkan decak kagum (hlm. 5)
Lalu, Devita kembali memberikan perbandingan deskripsi nilai budaya tempat secara
spesifik sehingga mengajak pembaca seolah-olah masuk dan mengalami kejadian tersebut.
Devita memberikan pemaparan yang asyik kepada pembaca mengenai bangunan dan keadaan
tempat kejadian tokoh yang menyerukan kekaguman luar biasa sehingga membuat pembaca
ingin memasuki lagi cerita lebih dalam. Tidak ada kesan kumuh ataupun jorok. Terlihat
sekali bahwa orang-orang disini suka melestarikan bangunan sekaligus merawatnya baik-baik
(hlm. 8)
Masih dalam bab yang sama, Devita menjelaskan sistem pendidikan yang dipakai
disana. Ia memberikan perbandingan, tapi tidak terlalu menonjolkan kelemahan sistem
pendidikan indonesia secara terdeskripsi. Akan tetapi, ia lebih menjelaskan ketegangan,
keribetan atau bahkan asyiknya belajar disana. Dosen hanya berfungsi sebagai fasilitator
diskusi (hlm. 12). Program yang dipakai di Unimaas disebut PBL atau Problem Based
Learning (hlm. 13). Hal ini menjadi salah satu daya tarik pembelajan dan motivasi bagi
pembaca.
Dalam bab yang sama bagian akhir, penulis menggambarkan perbedaan kultural
antara tokoh Arin dengan teman sekamarnya Maria-orang spanyol-. Ia menggambarkan
secara jelas tapi tidak cukup untuk membuat bosan pembaca tentang kekaguman tokoh
bahkan ketidaknyamanan tokoh terhadap teman sekamarnya itu serta sulitnya beradaptasi
dengan seorang yang budayanya sangat mencolok perbedaannya. Rupanya “mendengarkan
musik” baginya betul-betul bukan memasang earphone dan membiarkan orang lain tenang.
Huuuh... ini sudah yang ketiga kalinya dalam minggu ini (hlm. 16)
Di lain bab, tokoh mengalami sebuah masalah “kecil” bagi orang Indonesia tapi
masalah besar disana. Masalah keterlambatan, ya masalah tersebut membawa Arin menjadi
bahan omelan Mr. Albright. Alhasil, keluar sebuah pandangan dosennya tersebut terhadap
orang indonesia. “...tepat waktu. Ya... ya... kalian orang indonesia memang suka sekali
terlambat memenuhi janji. Saya sudah tahu itu. ... . Saya sudah hafal kebiasaan kalian,” (hlm.
30). Pada bagian inilah, pembaca “dibakar” semangatnya untuk mulai mengubah pandangan
tersebut.
Perbedaan nilai budaya semakin menarik ditonjolkan oleh Devita, kali ini
berhubungan dengan moral. Ketika suatu pagi, tokoh mengalami kejadian yang menurutnya
tidak biasa terjadi. Itu terjadi, ketika Arin keluar kamar pagi-pagi dan ia melihat seorang
lelaki keluar dari kamar salah seorang mahasiswi dengan tampang bangun tidur. Arin pun
bergidik (hlm. 49).
Dalam sesi ini, penulis membuka kembali ingatan tokoh tentang masa lalunya secara
deskripsi inovatif. Pembaca diajak merasakan kehidupan tokoh yang sederhana dan tentang
cintanya juga-mengorek sakit hatinya- yang menjadikannya berada di Maastricht (hlm. 51)
Penulis kembali membawa pembaca dalam ingatan masa lalu tokoh bersama sahabat
dan lelaki-Dodi namanya- yang membuat Arin kecewa berat. Disini, nilai persahabatan
ditonjolkan, tentang uniknya persahabatan hingga membawanya tenggelam dalam cinta.
Devita menceritakan bagaimana Dina-sahabat Arin- menggambarkan komentar tentang hati
dan perasaan Arin yang selama ini beku dan dingin terhadap lelaki (hlm. 60). Secara cukup
menggelitik, penulis menceritkan kisah antara Arin dan Dodi.
Kembali melayang dalam masa ini, penulis menceritakan meningkatknya nilai sosial
dan budaya yang dialami tokoh. Secara cukup unik, Devita menceritakan tentang
bergabungnya Arin menjadi salah satu jurnalis The Maastricht. Meskipun pada awalnya
tawaran itu tak dihiraukannnya (hlm. 79). Sejak disanalah, tokoh mulai mengenal orang-
orang dari berbagai bangsa.
Devita kembali menggambarkan keindahan kota Maastrict dari segi karnaval secara
unik dan menarik. Tokoh menonton sebuah pertujukan festival budaya di kota Maastricht
yang indah itu sehingga menggugah keinginan pembaca. Tapi keramaian ini benar-benar gila.
Tiba-tiba saja aku bertemu “Ratu Cleopatra” yang super seksi dan cantik (hlm.98)
Perjalanan tokoh Arin terus saja dibuat mengalir deras bagai aliran sungai olah
Devita. Secara nilai sosial, hubungan Arin dan Maria digambarkan semakin akrab dan
membaik (hlm. 135). Akan tetapi, hubungan itu kembali diguncangkan ketika-sekali lagi-
perbedaan nilai moral dan budaya masing-masing. Arin menemukan Maria di kamar bersama
seorang lelaki yang jelas saja membuat batin Arin berlonjak keras, ia kembali memicingkan
mata untuk Maria (hlm. 153). Kejadian lain pun membuat Arin semakin terpuruk dalam
kesedihan, ketika ia sedang mencoba melupakan Dodi, Dina sahabatnya terus mengungkit
kejadian tersebut. Batin arin dibuat terus bergejolak bahkan mempertanyakan
persahabatannya selama ini (hlm. 142)
Setelah mengalami gejolak yang cukup menegangkan, Devita menghadirkan suasana
Ramadhan yang sarat nilai keislamannya. Penulis kini menyiratkan nilai agama Islam yang
selalu dijunjung oleh Arin. Hal ini diceritakan pada awal Arin bertekad membuat Islam yang
selama ini dipandang sebelah mata menjadi sebuah topik yang menarik dan sangat dihargai.
Bersama teman-teman muslim dari berbagai negara, mereka melakukan kegiatan islami
besar-besaran. Melalui majalah The Maastricht dan kegigihan perjuangan tokoh serta rekan-
rekan akhirnya Islam dipandang baik disana. Di lain sisi, Devita menggambarkan gejolak
batin Arin setelah berkutat dengan kegiatan ramadhan, akhirnya Arin memutuskan untuk
memakai jilbab layaknya muslimah (hlm. 159). Hal ini sangat mengesankan.
Akan tetapi, penggambaran Devita tampaknya belum lengkap. Ia mengakhiri
novelnya dengan ending menggantung dan sedikit mengecewakan pembaca. Penulis hanya
menjelaskan sedikit tentang kembali hadirnya Dodi untuk memberikan undangan pernikahan
melalui e-mail dan Arin membalasnya. Hanya nilai kebatinanlah yang digambarkan pada sesi
terakhir ini setelah semua nilai digambarkan secara indah oleh Devita. Rasanya malu sekali
bila mengingat aku pernah hampir menyerah pada perasaan. Perkara cinta, lagi (hlm. 238).
Membaca novel ini seperti mengalami kejadian yang dialami tokoh secara nyata.
Novel ini sarat dengan nilai kebudayaan dan juga nilai-nilai lainnya. “Perjuangan Arin
mencari obat cinta hingga ke Maastricht patut diacungi jempol. Novel ini membasuh resah
hati saya, dan dari perjalanan tokohnya, saya belajar banyak hal,” pendapat Sitty Aisyah
seorang sekretaris perusahaan yang membuat saya ikut setuju setelah membaca novel ini.
Meskipun ending-nya kurang menarik tapi tetap saja novel ini mempunyai kelebihan secara
penyampaian nilai-nilai sehari-hari.

Anda mungkin juga menyukai