Disusun Oleh:
Khumaira Cantika
211332050
Sitor Situmorang, seorang penyair. Dia lahir tanggal 2 Oktober 1924 di Desa Harianboho,
sebuah lembah kecil di kaki Gunung Pusuk Buhit, sebelah barat Danau Toba, Sumatra Utara.
Ayah Sitor bernama Ompu Babiat dan ibunya berasal dari marga Simbolon. Sebelum
bertempat tinggal di Lembah Harianboho, ayahnya tinggal di Lintong. Ayahnya seorang
kepala adat marga, yaitu marga Situmorang. Ibu Sitor adalah istri kedua dari Ompu Babiat.
Sitor Situmorang masuk sekolah rakyat pada tahun 1931 di Balige. Ketika naik ke kelas 5, ia
pindah ke Sibolga bersama-sama dengan kakak tertuanya yang menjadi pegawai di Sibolga.
Setelah tamat sekolah rakyat tahun 1938, Sitor Situmorang masuk ke SMP di Tarutung, dan
tamat tahun 1941. Setelah tamat SMP, Sitor berangkat ke Batavia dan masuk ke sekolah
menengah atas. Hal itu didukung oleh saudara-saudaranya agar Sitor dapat memperoleh
pendidikan yang setinggi-tingginya. Sitor bekerja pada Jepang hingga berakhirnya
pemerintahan Jepang di Indonesia. Tahun 1945 Sitor Situmorang menikah dengan gadis
berpendidikan Belanda, anak seorang demang. Setelah Jepang jatuh, tahun 1946 Sitor bekerja
sebagai redaktur surat kabar Suara Nasional yang diterbitkan oleh Komite Nasional daerah
Tapanuli. Pada saat itulah ia mulai berkenalan dan bergaul dengan dunia tulis-menulis. Akan
tetapi, Sitor ingin menjadi wartawan kota besar. Dengan seizin istrinya, Sitor berangkat ke
Medan dan bekerja di surat kabar Waspada Medan sejak tahun 1947. Setelah membaca Siasat
Sitor mengetahui bahwa di Jakarta ada beberapa sastrawan yang terkenal, seperti Chairil
Anwar dan Asrul Sani, Sitor pun berkenalan dengan karya-karya mereka. Tahun 1950 Sitor
mendapat beasiswa dari Pemerintah Belanda untuk pergi ke Eropa. Akhirnya, ia berangkat ke
Eropa untuk menuntut ilmu selama tiga tahun. Setelah kembali ke Jakarta, ia mulai
merasakan bahwa ia mampu menulis. Ketika itu sebenarnya Sitor sudah mulai terkenal dan
terkemuka. Tulisan awal Sitor banyak dipengaruhi oleh Chairil Anwar. Sajak-sajaknya yang
dimuat dalam Surat Kertas Hidjau bertemakan percintaan dan pengembaraan. Sajak-sajaknya
yang ditulis tahun 1953—1954 dimuat dalam buku yang berjudul Dalam Sadjak (1955) dan
Wadjah Tak Bernama (1955). Pada perkembangan selanjutnya sajaknya dianggap sealiran
dengan puisi-puisi Lekra seperti sajaknya yang terkumpul dalam Zaman Baru (1962). Setelah
Zaman Baru muncul dua kumpulan puisinya, yakni Dinding Waktu (1976) dan Peta
Perjalanan (1977). Selain menulis sajak, ia juga menulis cerpen, drama, esai, dan
menerjemahkan. Kumpulan cerpen Pertempuran dan Salju di Paris (1956) mendapat Hadiah
Sastra Nasional BMKN, 1955/1956 dan kumpulan sajak Peta Perjalanan memperoleh Hadiah
Puisi Dewan Kesenian Jakarta, 1976/1977. Tahun 2006 sitor mendapat Hadiah Sastra Pusat
Bahasa dan Sea Write Award atas karyanya yang berjudul Biksu Tak Berjubah. Karyanya
yang lain, misalnya, Pangeran (kumpulan cerpen, 1963), Danau Toba (kumpulan cerpen,
1981), Jalan Mutiara (drama, 1954), Sastra Revolusioner (kumpulan esai, 1965), Triffid
Mengancam Dunia (terjemahan novel, karya John Wyndham, 1953), Sel (terjemahan drama,
karya Willdiam Saroyan, 1954), Hari Kemenangan, (terjemahan drama, karya M. Nijhoff,
1955)
Naskah drama “Hanya Satu Kali” karya Sitor Situmorang merupakan saduran dari naskah
“The Valiant” karya Holworthy Hall & Robert Middlemass. Menceritakan tentang seorang
terpidana mati yang akan segera dieksekusi, namun masih terdapat beberapa persoalan yang
belum usai dan sedikit mengganggu pikirannya. Dari naskah tersebut disadur karena terdapat
kesesuaian dengan peristiwa Agresi Militer Belanda II dan pemberontakan di Madiun.
Sehingga penulis tertarik untuk menyutradarai naskah ini untuk dibawa kembali pada tahun
1956 dimana pada tahun tersebut yang mendekati dengan 2 peristiwa tersebut.
GADIS : ya, pak. Dia 13 belas tahun lebih tua dari saya
KEPALA: saya atau kau sendiri yang akan menyampaikan hal itu?
SUDARSO: tunggu dulu, dia datang dari jauh untuk menemui saya? Kalau begitu
izinkan saya bicara dengan dia, tapi saya minta cuma kami berdua saja.
Freud berpendapat manusia sebagai sistem yang kompleks memakai enerji untuk
berbagai tujuan seperti bernafas, bergerak, mengamati dan mengingat.
Insting hidup disebut juga Eros adalah dorongan yang menjamin survival dan
repoduksi, seperti lapar, haus dan seks. Sudarso sendiri walaupun dia mengetahui bahwa
dia akan dihukum mati tapi dia juga masih memiliki insting hidup dimana dia masih
memiliki kemauaan meminta sesuatu maupun keinginan untuk bertemu seseorang
seperti yang ada pa dialog dibawah:
KEPALA : (mengangkat bahu) o..begitu. kau suka apa, Dji Sam Soe atau Djarum?
SUDARSO: tunggu dulu, dia datang dari jauh untuk menemui saya? Kalau begitu
izinkan saya bicara dengan dia, tapi saya minta cuma kami berdua saja.
Id
Membutuhkan kasih sayang dan perhatian
Ego
Memberikan penilaian jelek terhadap laki laki
“NYONYA : Lelaki ! (IA TERTAWA KASAR)
Lelaki bisa jujur dan setia dalam bercinta! Nah, inilah suatu berita yang baru!
(PAHIT)
Super Ego
Nyonya Martopo berkabung dan atas kebutuhan dasar yaitu membutuhkan kasih
sayang dia jatuh cinta kepada Bilal
“NYONYA : Pergilah, jangan cium ditangan saya
O,saya benci….saya benci…saya… (TANGANNYA YANG SATUNYA
MEMBELAI KEPALA BILAL)
Sadar
Tokoh Nyonya Martopo sadar bahwa suaminya, telah meninggal tapi dia tetap setia
pada suaminya.
“NYONYA : (TEGAS)
Saya minta, jangan bicara seperti itu lagi. Pak Darmo telah tahu, bahwa sejak
kematian mas Martopo, hidup ini tak ada harganya lagi bagi saya. Bapak kira aku ini
hidup? Itu hanya nampaknya saja, mengertikah Pak Darmo? Oh, saya harap arwahnya
yang telah pergi itu melihatbagaimana aku mencintainya. Saya tahu, ini bukan rahasia
pula bagimu, suamiku sering tidak adil terhadap saya, kejam, dan ia tidak setia, tetapi
saya akan setia, kepada bangkainya dan membuktikan kepadanya betapa saya bisa
mencinta. Di sana, di akhirat ia akan menyaksikan bahwa saya masih tetap sebagai
dulu” (Halaman 2)
b. Kecemasan
Dalam tokoh nyonya martopo kecemasan yang dominan ialah kecemasan realistik yang
terjadi pada tokoh yaitu :
1. Kecemasan untuk keluar rumah
“Nyonya : Dan saya tak akan pergi ke luar! Kenapa saya harus pergi keluar?
Riwayat saya sudah tamat. Suamiku terbaring di kuburnya, dan sayapun
telah mengubur diri saya sendiri di dalam empat dinding ini. Kami berdua telah
sama-sama mati.“Dan saya tak akan pergi ke luar! Kenapa saya harus pergi
keluar?”.
Dialog tersebut termasuk kedalam kecemasan Realistik yaitu suatu keadaan di
mana penderitanya merasa gelisah terhadap keadaan di luar yang mungkin
mengancam eksistensi hidupnya.
2. Kecemasan bertemu tamu
“Nyonya : Sudah saya katakan bahwa sejak kematian suami saya, saya tak mau
menerima seorang tamu pun?”
Pada penggalan kutiapan “Sudah bapak katakan bahwa sejak kematian suami
saya, saya tak mau menerima seorang tamu pun?”, Ny. Martopo merasa gelisah
dengan kedatangan tamu. Ia beranggapan tamu tersebut membawa ancaman yang
dapat membahayakan dirinya. Perasaan gelisah tersebut muncul karena
mekanisme pertahanan (defense mechanism) diri yang diterapkan
Ny. Martopo dengan mewaspadai segala bentuk ancaman yang datang.
3. Tahap perkembangan
Nyonya martopo masuk kedalam fase genetal (usia 12/13;0- dewasa)
Fase ini dimulai dengan perubahan brokimia dan fsisiologi dalam oleh remaja pada fase ini
genital inplus seks mulai dislurkan ke banyak diluar seperti : Berpasrtisipasi dalam kegiatan
kelompok, menyiapkan karir cinta lain jenis perkawinan dan keluarga.
Dalam fase ini berlanjut sampai tahap usia dimana puncak perkembangan seksual dicapai
ketika orang dewas mengalami kemasakan kepribadian, hal ini dapat di buktikan dengan
kutipan di bawah ini:
“NYONYA: Ya, pergilah
(MENANGIS) Kenapa pergi? Tunggu! – Tidak, pergi! Oh alangkah marahnya saya ini!
Jangan mendekat…, oh…, kemarilah…, jangan!... jangan dekat-dekat.”
“BILAL : (MENGHAMPIRI)Saya marah kepada diri saya sendiri. Jatuh cinta seperti anak
sekolah, berlutut dan menghiba-hiba. Saya merasa demam. (TEGAS) Saya cinta kepadamu.
Ini sehat. Apa yang saya butuhkan, ialah jatuh cinta. Besok pagi saya harus membayar bunga
ke bank, panen kopi sudah tiba, dan kemudian muncullah nyonya!
(MENCIUM TANGAN NYONYA MARTOPO)Tak akan saya maafkan diri saya ini.”
“NYONYA : Pergilah! Ngan cium di tangan saya!O, saya benci… saya benci… saya…”
BAB III
KESIMPULAN
Kekurangan nyonya Martopo terlalu setia dengan suaminya padahal ia tahu bahwa suaminya
tidak memperdulikannya, bahkan selalu memetingkan hewan peliharaannya. Tokoh nyonya
martopo memiliki insting hidup, dan kesemasan yang realistik.