Anda di halaman 1dari 10

UJIAN AKHIR SEMESTER

MATA KULIAH “PSIKOLOGI II”


“Analisa tokoh Sudarso dalam naskah Hanya Satu Kali menurut Teori Sigmund Freud”
Dosen Pengampu:
Lili Rosidah, S.Sn., M,Si
Dewi Amabel, S.Si., M.Sn

Disusun Oleh:
Khumaira Cantika
211332050

PROGRAM STUDI SENI PERTUNJUKAN


FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN
INSTITUT SENI BUDAYA INDONESIA BANDUNG
2023
BAB I
ANALISIS
1.1 Biografi Pengarang

Sitor Situmorang, seorang penyair. Dia lahir tanggal 2 Oktober 1924 di Desa Harianboho,
sebuah lembah kecil di kaki Gunung Pusuk Buhit, sebelah barat Danau Toba, Sumatra Utara.
Ayah Sitor bernama Ompu Babiat dan ibunya berasal dari marga Simbolon. Sebelum
bertempat tinggal di Lembah Harianboho, ayahnya tinggal di Lintong. Ayahnya seorang
kepala adat marga, yaitu marga Situmorang. Ibu Sitor adalah istri kedua dari Ompu Babiat.
Sitor Situmorang masuk sekolah rakyat pada tahun 1931 di Balige. Ketika naik ke kelas 5, ia
pindah ke Sibolga bersama-sama dengan kakak tertuanya yang menjadi pegawai di Sibolga.
Setelah tamat sekolah rakyat tahun 1938, Sitor Situmorang masuk ke SMP di Tarutung, dan
tamat tahun 1941. Setelah tamat SMP, Sitor berangkat ke Batavia dan masuk ke sekolah
menengah atas. Hal itu didukung oleh saudara-saudaranya agar Sitor dapat memperoleh
pendidikan yang setinggi-tingginya. Sitor bekerja pada Jepang hingga berakhirnya
pemerintahan Jepang di Indonesia. Tahun 1945 Sitor Situmorang menikah dengan gadis
berpendidikan Belanda, anak seorang demang. Setelah Jepang jatuh, tahun 1946 Sitor bekerja
sebagai redaktur surat kabar Suara Nasional yang diterbitkan oleh Komite Nasional daerah
Tapanuli. Pada saat itulah ia mulai berkenalan dan bergaul dengan dunia tulis-menulis. Akan
tetapi, Sitor ingin menjadi wartawan kota besar. Dengan seizin istrinya, Sitor berangkat ke
Medan dan bekerja di surat kabar Waspada Medan sejak tahun 1947. Setelah membaca Siasat
Sitor mengetahui bahwa di Jakarta ada beberapa sastrawan yang terkenal, seperti Chairil
Anwar dan Asrul Sani, Sitor pun berkenalan dengan karya-karya mereka. Tahun 1950 Sitor
mendapat beasiswa dari Pemerintah Belanda untuk pergi ke Eropa. Akhirnya, ia berangkat ke
Eropa untuk menuntut ilmu selama tiga tahun. Setelah kembali ke Jakarta, ia mulai
merasakan bahwa ia mampu menulis. Ketika itu sebenarnya Sitor sudah mulai terkenal dan
terkemuka. Tulisan awal Sitor banyak dipengaruhi oleh Chairil Anwar. Sajak-sajaknya yang
dimuat dalam Surat Kertas Hidjau bertemakan percintaan dan pengembaraan. Sajak-sajaknya
yang ditulis tahun 1953—1954 dimuat dalam buku yang berjudul Dalam Sadjak (1955) dan
Wadjah Tak Bernama (1955). Pada perkembangan selanjutnya sajaknya dianggap sealiran
dengan puisi-puisi Lekra seperti sajaknya yang terkumpul dalam Zaman Baru (1962). Setelah
Zaman Baru muncul dua kumpulan puisinya, yakni Dinding Waktu (1976) dan Peta
Perjalanan (1977). Selain menulis sajak, ia juga menulis cerpen, drama, esai, dan
menerjemahkan. Kumpulan cerpen Pertempuran dan Salju di Paris (1956) mendapat Hadiah
Sastra Nasional BMKN, 1955/1956 dan kumpulan sajak Peta Perjalanan memperoleh Hadiah
Puisi Dewan Kesenian Jakarta, 1976/1977. Tahun 2006 sitor mendapat Hadiah Sastra Pusat
Bahasa dan Sea Write Award atas karyanya yang berjudul Biksu Tak Berjubah. Karyanya
yang lain, misalnya, Pangeran (kumpulan cerpen, 1963), Danau Toba (kumpulan cerpen,
1981), Jalan Mutiara (drama, 1954), Sastra Revolusioner (kumpulan esai, 1965), Triffid
Mengancam Dunia (terjemahan novel, karya John Wyndham, 1953), Sel (terjemahan drama,
karya Willdiam Saroyan, 1954), Hari Kemenangan, (terjemahan drama, karya M. Nijhoff,
1955)

1.2 Biografi Penyadur

Raja Usu Sitor Situmorang (dikenal sebagai Sitor Situmorang; 2 Oktober 1923 – 21


Desember 2014) adalah seorang sastrawan dan wartawan Indonesia. Sitor
menulis sajak, cerita pendek, esai, naskah drama, naskah film, telaah sejarah lembaga
pemerintahan Batak Toba, dan menerjemahkan karya sastra mancanegara.

1.3 Biografi Naskah

Naskah drama “Hanya Satu Kali” karya Sitor Situmorang merupakan saduran dari naskah
“The Valiant” karya Holworthy Hall & Robert Middlemass. Menceritakan tentang seorang
terpidana mati yang akan segera dieksekusi, namun masih terdapat beberapa persoalan yang
belum usai dan sedikit mengganggu pikirannya. Dari naskah tersebut disadur karena terdapat
kesesuaian dengan peristiwa Agresi Militer Belanda II dan pemberontakan di Madiun.
Sehingga penulis tertarik untuk menyutradarai naskah ini untuk dibawa kembali pada tahun
1956 dimana pada tahun tersebut yang mendekati dengan 2 peristiwa tersebut.

1.4 Sinopsis Naskah


Sudarso adalah seorang narapidana yang akan dihukum mati, namun Sudarso bersikap
sangat tenang dan dingin. Kepala Penjara dan Ulama bingung dengan sikap tersebut karena
menganggap bahwa ia menyembunyikan identitas aslinya. Sampai suatu ketika datang
seorang Gadis yang ingin bertemu dengan Sudarso dan mengaku sebagai adik dari Sudarso
hendak mencari kakanya yang telah lama hilang. Lalu siapakah sosok Sudarso itu dan apakah
benar sosok gadis adalah adik kandungnya?
1.5 Analisi Peran / Tokoh (Fisik Dan Sosial)
Gambaran fisik tokoh: Jenis kelamin laki-laki keadaan tubuh kurus, kusam tak terawat
menggunakan pakaian kaos oren penjara celana pendek hitam berusia 33 tahun. Hal ini dapat
dilihat dari kutipan dialog berikur ini:
KEPALA : dia cuma hendak membela orang lain, namanya pasti bukan Sudarso, saya
tahu apa yang diceritakannya omong kosong sama sekali. Tapi mengapa?
Saya kira dia hendak menutupi perbuatannya terhadap keluarga maupun
kenalannya. Sekarang, apa yang kita dapat. Kita menghukum seorang
manusia yang kita tidak tahu siapa dia sebenarnya. Padahal dia sudah enam
bulan di sini.

KEPALA : abang nona jauh lebih tua dari nona bukan?

GADIS : ya, pak. Dia 13 belas tahun lebih tua dari saya

KEPALA : kenapa dia meninggalkan rumah?

GADIS : saya tidak tahu pak.

KEPALA : berapa lama nona tidak melihat dia?

GADIS : sekitar, sepuluh tahun pak

KEPALA : begitu lama, dan umur nona sekarang berapa?

GADIS : dua puluh tahun pak.

1.6 Kedudukan Tokoh


Tokoh Sudarso merupakan tokoh Protagonis, yakni seorang tokoh dimana dia adalah tokoh
yang mengulirkan cerita.
a. Karakter: Karakter Sudarso yaitu memiliki sikap yang tenang, terlihat cuek terhadap
adiknya tetapi dibaliknya perhatian.
b. Watak: Tidak mudah digertak oleh tokoh lain.
c. Sifat:memiliki sifat yang penurut kepada suami, tidak mudah
melupakan, baperan, dan berlarut-larut dalam suatu keadaan.
d. ciri - ciri : yang dimiliki oleh Nyonya Martopo berusia sekitar 35 Tahun, Riasan
menor, dan selalu memakai baju hitam.
e. temramen : Nyonya Martopo memiliki tempramen tinggi dan mudah tersinggung
f. Kebiasaan : Nyonya Martopo memiliki kebiasaan memakai baju hitam karena masih
berduka atas meninggalnya suaminya. kebiasaan nyonya martopo adalah berpura-pura
dengan menutupi segala sesuatu tanpa mau memperlihatkan yang sebenarnya seperti
contoh dia sangat membenci suaminya Tetapi dia memperlihatkan bahwa dia begitu
Mencintainya dan sekarang dia pun berpura-pura berkabung padahal Ia sangat senang
jika iya mendapat pasangan seperti Tuan Bilal misalnya namun Iya lebih memilih
berpura-pura tidak menyukainya dan justru memperlihatkan kebenciannya.
“Nyonya : Ya, pergilah (MENANGIS) Kenapa pergi? Tunggu! _ Tidak, pergi! Oh
alangkah marahnya saya ini! Jangan mendekat ..., oh...,kemarilah...,jangan!...jangan
dekat dekat”
BAB II
TEORI SIGMUND FREUD

2.1 Struktur Kepribadian


Freud membagi watak dan karakter seseorang ke dalam tiga struktur utama yaitu id, ego,
dan superego. Id merupakan struktur psikologis yang mengontrol hasrat-hasrat dasar dan
naluri yang tidak terkendali. Ego merupakan struktur yang berfungsi untuk mengatur dan
menyeimbangkan tuntutan-tuntutan hasrat id dan tuntutan-tuntutan realitas yang ada di
lingkungan sekitar. Sedangkan superego adalah struktur yang berperan dalam menentukan
aturan moral dan etika yang harus diikuti. id, ego, dan superego saling berinteraksi untuk
membentuk tindakan dan perilaku seseorang dalam situasi tertentu. Konflik antara ketiga
struktur ini dapat menyebabkan kecemasan atau ketidaknyamanan psikologis, yang kemudian
mendorong individu untuk menggunakan mekanisme pertahanan diri untuk melindungi diri
mereka dari konflik tersebut.

2.1.1 Sadar (Consiusness)


Sudarso sadar bahwa dirinya adalah seorang tahanan penjara yang akan
segera dieksekusi mati.
SUDARSO : saya hanya bermaksud, saya ini orang hukuman mati. Di sini sama
saja dengan di dalam sel.

2.1.2 Prasadar (Preconscious)


Sudarso tanpa sadar mengatakan bahwa ada orang yang ingin dia lindungi
lalu dia langsung mengelak kembali.

KEPALA: apa ada orang yang mau kau lindungi?

SUDARSO: ada, eh..tidak,tidak, tidak ada.

KEPALA: siapa? Keluarga?

SUDARSO: saya bilang tidak.

2.1.3 The Id (Is [Latin], atau Es [Jerman])


Sudaso selalu ingin melindungi keluarga padahal dia sangat merindukan
kehadiran keluargannya.

KEPALA: saya atau kau sendiri yang akan menyampaikan hal itu?

SUDARSO: bapak saja.


KEPALA: baik.

SUDARSO: tunggu dulu, dia datang dari jauh untuk menemui saya? Kalau begitu
izinkan saya bicara dengan dia, tapi saya minta cuma kami berdua saja.

2.2.4 The Ego (Das Ich [Jerman])

2.2.5 Super Ego

2.2 Dinamika Kepribadian

Freud berpendapat manusia sebagai sistem yang kompleks memakai enerji untuk
berbagai tujuan seperti bernafas, bergerak, mengamati dan mengingat.

2.2.1 Insting Hidup

Insting hidup disebut juga Eros adalah dorongan yang menjamin survival dan
repoduksi, seperti lapar, haus dan seks. Sudarso sendiri walaupun dia mengetahui bahwa
dia akan dihukum mati tapi dia juga masih memiliki insting hidup dimana dia masih
memiliki kemauaan meminta sesuatu maupun keinginan untuk bertemu seseorang
seperti yang ada pa dialog dibawah:

KEPALA: kecuali apa?

SUDARSO: dalam sel saya boleh merokok.

KEPALA : (mengangkat bahu) o..begitu. kau suka apa, Dji Sam Soe atau Djarum?

SUDARSO: kalau boleh Dji Sam Soe saja pak.

SUDARSO: tunggu dulu, dia datang dari jauh untuk menemui saya? Kalau begitu
izinkan saya bicara dengan dia, tapi saya minta cuma kami berdua saja.

2.2 Kecemasan (Anxiety)


Kecemasan akan timbul manakala orang yang tidak siap menghadpi ancaman. Tiga
Jenis kecemasan ; realistic anxienty, neurotic anxiety dan moral anxiety.
2.3 Mekanisme Pertahanan (Defense Mechanism)
2.4 Tahap Perkembangan
1.

 Id
Membutuhkan kasih sayang dan perhatian
 Ego
Memberikan penilaian jelek terhadap laki laki
“NYONYA : Lelaki ! (IA TERTAWA KASAR)
Lelaki bisa jujur dan setia dalam bercinta! Nah, inilah suatu berita yang baru!
(PAHIT)
 Super Ego
Nyonya Martopo berkabung dan atas kebutuhan dasar yaitu membutuhkan kasih
sayang dia jatuh cinta kepada Bilal
“NYONYA : Pergilah, jangan cium ditangan saya
O,saya benci….saya benci…saya… (TANGANNYA YANG SATUNYA
MEMBELAI KEPALA BILAL)

 Sadar
Tokoh Nyonya Martopo sadar bahwa suaminya, telah meninggal tapi dia tetap setia
pada suaminya.
“NYONYA : (TEGAS)
Saya minta, jangan bicara seperti itu lagi. Pak Darmo telah tahu, bahwa sejak
kematian mas Martopo, hidup ini tak ada harganya lagi bagi saya. Bapak kira aku ini
hidup? Itu hanya nampaknya saja, mengertikah Pak Darmo? Oh, saya harap arwahnya
yang telah pergi itu melihatbagaimana aku mencintainya. Saya tahu, ini bukan rahasia
pula bagimu, suamiku sering tidak adil terhadap saya, kejam, dan ia tidak setia, tetapi
saya akan setia, kepada bangkainya dan membuktikan kepadanya betapa saya bisa
mencinta. Di sana, di akhirat ia akan menyaksikan bahwa saya masih tetap sebagai
dulu” (Halaman 2)

1. Dinamika Kepribadian Tokoh


a. Insting
 Insting hidup
Tokoh nyonya martopo disini memiliki insting hidup yang lebih tinggi dari pada insting
mati di buktikan dengan tokoh nyonya martopo menanyakan kepada bilal mengenai
kejujuran dalam menjalin sebuah cinta, yang merupakan dorongan untuk menjamin
survival dalam reproduksinya. Hal ini di buktikan dalam kutipan dialog dibawah ini :
”NYONYA : Tapi ijinkanlah saya bertanya, siapakah yang jujur dan setia dalam bercinta?
Lelaki, barangkali?" (hal.10)

b. Kecemasan
Dalam tokoh nyonya martopo kecemasan yang dominan ialah kecemasan realistik yang
terjadi pada tokoh yaitu :
1. Kecemasan untuk keluar rumah
“Nyonya : Dan saya tak akan pergi ke luar! Kenapa saya harus pergi keluar?
Riwayat saya sudah tamat. Suamiku terbaring di kuburnya, dan sayapun
telah mengubur diri saya sendiri di dalam empat dinding ini. Kami berdua telah
sama-sama mati.“Dan saya tak akan pergi ke luar! Kenapa saya harus pergi
keluar?”.
Dialog tersebut termasuk kedalam kecemasan Realistik yaitu suatu keadaan di
mana penderitanya merasa gelisah terhadap keadaan di luar yang mungkin
mengancam eksistensi hidupnya.
2. Kecemasan bertemu tamu
“Nyonya : Sudah saya katakan bahwa sejak kematian suami saya, saya tak mau
menerima seorang tamu pun?”
Pada penggalan kutiapan “Sudah bapak katakan bahwa sejak kematian suami
saya, saya tak mau menerima seorang tamu pun?”, Ny. Martopo merasa gelisah
dengan kedatangan tamu. Ia beranggapan tamu tersebut membawa ancaman yang
dapat membahayakan dirinya. Perasaan gelisah tersebut muncul karena
mekanisme pertahanan (defense mechanism) diri yang diterapkan
Ny. Martopo dengan mewaspadai segala bentuk ancaman yang datang.

2. Mekanisme Pertahanan Tokoh


Dalam naskah ini tokoh nyonya martopo memiliki mekanisme pertahanan
Displacement : mengalihkan emosi ke orang lain atau objek lain. Hal ini di buktikan
dengan adanya kutipan dibawah ini:
NY.MARTOPO: “Saya minta, jangan bicara seperti itu lagi. Pak Darmo telah tahu,
bahwa sejak kematian mas Martopo, hidup ini tak ada harganya lagi bagi saya. Bapak
kira aku ini hidup? Itu hanya nampaknya saja, mengertikah Pak Darmo? Oh, saya
harap arwahnya yang telah pergi itu melihat bagaimana aku mencintainya. Saya tahu,
ini bukan rahasia pula bagimu, suamiku sering tidak adil terhadap saya, kejam, dan ia
tidak setia, tetapi saya akan setia, kepada bangkainya dan membuktikan kepadanya
betapa saya bisa mencinta. Di sana, di akhirat ia akan menyaksikan bahwa saya masih
tetap sebagai dulu.”
Disini nyonya martopo mencurahkan segala emosinya , dan apa yang ia rasakan saat itu.
Lalu mengalihkan segalanya dengan menuju kedalam kata “kepada bangkainya” yaitu
membuktikan emosi prihal kesetiaannya pada suaminya.

3. Tahap perkembangan
Nyonya martopo masuk kedalam fase genetal (usia 12/13;0- dewasa)
Fase ini dimulai dengan perubahan brokimia dan fsisiologi dalam oleh remaja pada fase ini
genital inplus seks mulai dislurkan ke banyak diluar seperti : Berpasrtisipasi dalam kegiatan
kelompok, menyiapkan karir cinta lain jenis perkawinan dan keluarga.
Dalam fase ini berlanjut sampai tahap usia dimana puncak perkembangan seksual dicapai
ketika orang dewas mengalami kemasakan kepribadian, hal ini dapat di buktikan dengan
kutipan di bawah ini:
“NYONYA: Ya, pergilah
(MENANGIS) Kenapa pergi? Tunggu! – Tidak, pergi! Oh alangkah marahnya saya ini!
Jangan mendekat…, oh…, kemarilah…, jangan!... jangan dekat-dekat.”
“BILAL : (MENGHAMPIRI)Saya marah kepada diri saya sendiri. Jatuh cinta seperti anak
sekolah, berlutut dan menghiba-hiba. Saya merasa demam. (TEGAS) Saya cinta kepadamu.
Ini sehat. Apa yang saya butuhkan, ialah jatuh cinta. Besok pagi saya harus membayar bunga
ke bank, panen kopi sudah tiba, dan kemudian muncullah nyonya!
(MENCIUM TANGAN NYONYA MARTOPO)Tak akan saya maafkan diri saya ini.”
“NYONYA : Pergilah! Ngan cium di tangan saya!O, saya benci… saya benci… saya…”
BAB III
KESIMPULAN

Kekurangan nyonya Martopo terlalu setia dengan suaminya padahal ia tahu bahwa suaminya
tidak memperdulikannya, bahkan selalu memetingkan hewan peliharaannya. Tokoh nyonya
martopo memiliki insting hidup, dan kesemasan yang realistik.

Anda mungkin juga menyukai