Anda di halaman 1dari 11

Tugas Ringkasan Film G30S/PKI Mata Kuliah

Pendidikan Pancasila

Disusun Oleh:
Andika Prayogo (221401050)

PROGRAM STUDI ILMU KOMPUTER


FAKULTAS ILMU KOMPUTER DAN TEKNOLOGI INFORMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2022
Ringkasan Film G30S/PKI

A. Pemberontakan
Film Pengkhianatan G30S/PKI adalah film paling kontroversial dalam
sejarah perfilman Indonesia. Disutradarai oleh Arifin C. Noel, film ini
didasarkan pada pemberontakan PKI tahun 1965 di Indonesia.
Pemberontakan ini dipandang sebagai propaganda pemerintah kepada
masyarakat umum mengenai pemberontakan yang dilakukan oleh PKI
pada tanggal 30 September 1965. Adapun aktor yang membintangi
film ini adalah Bram Adrianto, Syubah Asa, Ade Irwan, Amoroso
Katamsi, Umar Kayam, Didi Sadikin, Kies Slamet, Sofia WD, Wawan
Wanisar, dan lainnya.

Film ini menggambarkan periode menjelang kudeta dan hari-hari


setelahnya. Pada saat kekacauan ekonomi, enam jenderal diculik dan
dibunuh oleh PKI dan Angkatan Udara Indonesia, diduga untuk
melancarkan kudeta terhadap Presiden Soekarno. Jenderal Suharto
muncul sebagai sosok yang menumpas gerakan kudeta, kemudian ia
mengajak masyarakat Indonesia untuk memperingati orang yang
meninggal dan melawan segala bentuk komunisme. Film ini juga
menampilkan pergantian rezim pemerintahan Indonesia dari Presiden
Soekarno ke Soeharto menurut versi pemerintahan Orde Baru. Film
tersebut menggambarkan gerakan G30S sebagai gerakan keji yang
direncanakan secara rinci langkah demi langkah, menggambarkan
kegembiraan ketika para jenderal menggunakan kekuatan dan
penyiksaan yang berlebihan, juga penggambaran yang dianggap
mewakili bahwa musuh negara bukanlah manusia.

Gerakan 30 September (G 30 S PKI, G-30S/PKI) adalah peristiwa


yang terjadi dari tanggal 30 September 1965 hingga awal 1 Oktober
1965, ketika tujuh perwira tinggi militer Indonesia dan beberapa
lainnya tewas dalam upaya kudeta. Belakangan dituduh sebagai
anggota Partai Komunis Indonesia.
Tujuh Jenderal yang diculik dan dibunuh sebagai peristiwa yang
merusak keutuhan Pancasila: Jenderal TNI Ahmad Yani, Letnan
Jenderal TNI MT Haryono, Letnan Jenderal S. Parman, Letnan
Jenderal Suprapto, Mayjen TNI Sutoyo, Mayjen TNI DI Panjaitan,
dan Jenderal AH Nasution dibunuh oleh komplotan PKI yang
ajudannya, Letnan Pierre Tandin, yang berhasil melarikan diri dan
diculik. Pada tanggal 1 Oktober 1965, para pelaku pemberontakan
ditangkap dan tujuh korban penculikan dan pembunuhan ditemukan di
wilayah Lubang Buaya, Halim, Jakarta Timur.

B. Penculikan
Pada tanggal 30 September 1965, pemberontakan PKI pecah. Pada
dini hari 1 Oktober 1965, PKI menculik seorang perwira Angkatan
Darat dan mengumumkan keberadaan Dewan Revolusi. Penculikan
itu dilakukan oleh beberapa anggota Tentara Cakrabirawa (Pengawal
Presiden) yang dipimpin oleh Kolonel Untung. Tidak mengetahui sifat
kemanusiaan mereka, mereka menculik dan menyiksa seorang perwira
tentara, setelah itu mayat perwira itu dibawa ke sumur Lubang Buaya
di Jakarta. Para perwira militer yang diculik adalah:
1. Letnan Jenderal Achmad Yani
2. Mayor Jenderal Suprapto
3. Mayor Jenderal M.T. Haryono
4. Mayor Jenderal S. Parman
5. Brigadir Jenderal Panjaitan
6. Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomihardjo
7. Jenderal AH Nasution
Jenderal TNI A.H. Nasution juga disebut sebagai salah satu target,
tetapi dia selamat dari pembunuhan itu, Sebaliknya, putrinya Ade
Irma Suryani Nasution dan ajudan AH Nasution, Lettu Pierre Tandean
tewas dalam usaha pembunuhan tersebut.

Selain itu beberapa korban lainnya:


• AIP Karel Sutsuit Tubun
• Brigadir Jenderal Katamso Darmoksmo
• Kolonel Sugino

C. Proses Penculikan Para Jenderal


1. Penculikan Ahmad Yani
Pasukan dibagi menjadi tiga kelompok, yang pertama menjaga bagian
belakang rumah, yang kedua menjaga bagian depan rumah, dan yang
ketiga dipimpin oleh Letnan Satu Mukijan dan Sersan Dua Raswad .
Mereka berdua memberi hormat kepada para penjaga yang mengatakan
bahwa mereka membawa pesan penting dari Presiden Sukarno. Ketika
mereka melihat seragam Chakrabilawa, mereka tidak curiga. Ketika ada
ketukan di pintu, pelayan membukanya dan dengan cepat didorong pergi.
Setelah memasuki rumah, sekelompok yang dipimpin oleh Sersan
Raswad bertemu dengan seorang bocah lelaki berusia tujuh tahun.
Eddie adalah anak Jenderal Yani yang sedang mencari ibunya. Eddie
diminta untuk membangunkan Jenderal Yani, lalu dia keluar dengan
piyamanya. Raswad meminta Jenderal Yani untuk segera bertemu
dengan presiden. Jenderal Yani memintanya untuk menunggunya mandi,
tetapi Raswad mengatakan tidak perlu mandi atau ganti baju. Menyadari
apa yang terjadi, Jenderal Yani meninju salah satu prajurit dan segera
pergi ke kamarnya untuk mengambil senjatanya, menutup pintu kaca
jendela di belakangnya, dan memerintahkan Sersan Raswad untuk
melepaskan tembakan.

Sebanyak tujuh peluru menembus pintu dan menewaskan Jenderal Yani


seketika. Sebagian dari rombongan yang terdiri dari Raswad dan Gijadi,
juga Korporal Djamari, Prajurid Kepala Dokrin, dan Prajurid Satu
Sudijono, menyeret jenasahnya keluar dan melemparkan kedalam salah
satu bus yang sedang menunggu. Kemudian mereka semua kembali
melalui Jatinegara menuju Lubang Buaya, disana Mukidjan melaporkan
hasil tugasnya kepada Doel Arief.

2. Penculikan Jenderal Soeprapto:


Rumah Jenderal Soeprapto tidak dijaga, sehingga pasukan yang
dibutuhkan sedikit. Menggunakan armada truk bermuatan Toyota yang
dipimpin oleh Sersan Staf Sulaiman dan Sukiman. Ada 19 tentara
bersenjatakan sten gun, garand, dan chong rifle. Letnan Doel Alif
semalam membawa Sersan Sulaiman ke lokasi rumah ini, tapi dua kali
membidik salah alamat di Jalan Beski, persawahan. Pasukan kecil
ditempatkan di kiri dan kanan rumah, dan pasukan utama keluar ke
halaman. Kemudian dibagi menjadi tiga kelompok, dengan yang pertama
dan kedua menjaga pintu depan dan garasi. Kemudian yang ketiga masuk
ke rumah yang dipimpin oleh Sulaiman.
Kopral Dua Suparman menanggapi sapaan Jenderal Sueprapto, memberi
hormat, dan mengatakan bahwa Presiden ingin bertemu dengannya.
Menyaksikan kejadian itu melalui jendela, istri Jenderal Soeprapto itu
sangat terkejut dan kecewa sehingga dia yakin suaminya telah ditangkap.
Dia kemudian mencoba mendekati suaminya, tetapi dihentikan oleh
pasukan yang dipimpin oleh Sersan.

3. Penculikan Jenderal M.T. Haryono


Rombongan Serka Boengkoes yang terdiri dari 18 anggota resimen
Tjakrabirawa, setelah menerima misi, bergegas ke lokasi. Sekitar pukul
03.30, TNI AD sudah hadir di kediaman Mayjen M.T. Haryono di Jalan
Prambanan. Soal ketepatan waktu, Julius Pour mengatakan pasukan dari
Tjarabirawa tiba di rumah Mayjen M.T. Haryono pada 04:30 WIB.
Mayor Jenderal M.T. Harjono terbangun mendengar suara pasukan
Tjakrabirawa mendekat. Sebelumnya, dia telah menyadari bahwa hal-hal
buruk akan terjadi padanya. Pak T. Haryono kemudian memerintahkan
istri dan anak-anaknya untuk segera pergi ke halaman belakang. Setelah
sampai di kediaman Pak T. Haryono, Pangdam, Sersan Boengkoes,
Batalyon Sipil 1 Resimen Tjakrabirawa datang mengetuk pintu rumah.
“Kalau mau ketemu besok pagi di kantor jam delapan…” kata Haryono.
Saat itu, Sersan Boengkoes memutuskan untuk mendobrak pintu depan.
Meski pintunya ditendang, ruangan di dalam rumah masih gelap karena
lampu padam. Seketika sekelebat bayangan bergerak.

Sersan Boengkoes segera menembakkan senjatanya ke orang yang


bergerak. Tak disangka, tokoh tersebut adalah Mayor Jenderal M.T.
Haryono.

Peluru Boengkoes membunuhnya seketika. Hasil otopsi M.T. Haryono


juga mengatakan ada luka tusuk. Jenazah MT Haryono kemudian dibawa
pergi oleh pasukan yang dipimpin oleh Sersan Boengkoes. Regu tim ini
melemparkan tubuhnya ke dalam truk untuk dibawa ke Lubang Buaya.
4. Penculikan Jenderal Parman:
Saat itu sekitar jam 4 pagi., sekelompok 20 tentara muncul di depan
rumah Parman di Jalan Serang. Ketika Jenderal Parman dan istrinya
mendengar suara-suara di luar, Jenderal Parman dan istrinya, yang
begadang di luar taman, mengira ada pencuri di rumah tetangga.
Kemudian kelompok Chakrabilawa melihat ke samping dan bertanya.
Mereka mengatakan mereka diperintahkan untuk bertemu presiden.
Tidak curiga dan tidak menunjukkan tanda-tanda kecurigaan, Parman
masuk ke rumah, diikuti oleh beberapa Chakrabilawa, yang berhasil
berganti pakaian resmi sebelum berjalan dengan istrinya, berbisik kepada
istrinya, dan melakukan kontak dengan Jenderal Yani, dan segera
menghubungi mereka, mungkin Jenderal Perman mengira dia ditahan
atas perintah Presiden Sukarno.

Jenderal Parman tahu apa yang terjadi, tetapi tidak melawan dalam
perjalanannya ke Lubang Buaya. Lima belas menit kemudian Eve
Harjono datang menangis dan mengatakan suaminya telah ditembak dan
dia menyadari apa yang telah terjadi. Namum, istri dari Jenderal Parman
terganggu oleh anggota Tjakrabirawa yang sering kali menjemput
suaminya pada waktu diluar jam kerja, yang menjabat sebagai Kepala
Angkatan Darat Intelijen atas perintah Presiden tidak sadar apa yang
terjadi saat itu.

5. Penculikan Jendral Stoyo Siswomiharjo:


Pasukan penyerang dipimpin oleh Sersan Surono, yang menerima
perintah langsung dari Doer Aliyev sendiri. Kelompok tersebut mulai
memblokade Jalan Sumenep, tempat tinggal para korban. Hanship sedang
berpatroli saat itu, melucuti senjata demi senjata. Rombongan ini
kemudian dibagi menjadi tiga regu, regu pertama di depan rumah, regu
kedua di belakang rumah, dan regu ketiga untuk melakukan penculikan,
serupa dengan prosedur penculikan yang dilakukan jenderal lainnya.
Dengan alasan mengantarkan surat dari Führer, dia membujuk Jenderal
Stoyo untuk membuka pintu kamarnya. Kemudian dia melipat tangannya
di belakang kepala, memejamkan mata, mencondongkan tubuh ke truk
yang menunggu dan mencapai Lubang Buayya sesegera mungkin.

6. Penculikan Jenderal Pandjaitan:


Berbeda dengan jenderal lainnya, Pandjaitan tinggal di Kebayoran Baru
di kawasan Blok M Jalan Hasanuddin. Rumah ini seperti model khas
Kebayoran, dan berbeda dengan rumah model klasik Menteng, memiliki
dua lantai. Kamar keluarga Panjaitan semuanya berada di lantai 2 di
sebelah rumah, namun ada kamar kecil di kompleks perumahan tempat
ketiga bersaudara itu tinggal. Dua truk penuh tentara muncul di Jalan
Hasanuddin, satu diparkir di depan dan yang lain di belakang.

Pasukan penculik masuk ke kamar di bawah tangga dan membangunkan


pembantu rumah tangga yang sudah tua. Pembantu rumah tangga tersebut
sangat ketakutan mengatakan majikannya tidur di lantai atas. Keributan
di dalam rumah telah membangunkan seluruh keluarga, mengira
rumahnya sedang dikunjungi oleh pencuri lalu merampas pistol dari para
penculik. Mereka segera ditembak oleh pasukan penculik. Salah satunya
Albert Silalahi, kemudian tewas di rumah sakit dari luka tembakan.

Sementara itu dilantai dua istri Jenderal Pandjaitan dalam kepanikannya


bertanya apakah hal ini semacam latihan? Tapi mengatakan hal ini bukan
latihan sama sekali. Melihat seragam Tjakarabirawa dilantai satu, dirinya
mengira pasti ada pesan dari Istana, tetapi ancaman yang berlangsung
meyakinkan bahwa telah terjadi suatu hal yang sangat janggal. Prajurid
dibawah sangat ketakutan untuk tidak naik kelantai dua, lalu berteriak
dan memerintahkan Jenderal Pandjaitan untuk turun kebawah, tapi
ditolaknya.
Pertama Jenderal Pandjaitan mencoba menghubungi Polisi, tetangga,
kemudian Kolonel Samosir, tapi gagal. Karena telephone line sudah
dipotong. Lalu mencoba menggunakan Stengun untuk menghalau
penyerang, tetapi senjatanya macet melihat adegan putri D.I Panjaitan
membasuhkan darah sang ayah ke wajah turun hingga ke dada.

7. Penculikan Jenderal AH Nasution


Ketika Cakrabirawa hingga pada tempat tinggal Nasution pada Jalan
Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat, Johanna, istri dari AH Nasution
menunda pintu kamarnya yg ketika itu didatangi sang Cakrabirawa &
menyuruh Nasution untuk pulang menyelamatkan diri. Meski
Cakrabirawa menyerang menggunakan tembakan, Johanna menutup
pintu & menahannya, agar suamninya, AH Nasution punya waktu untuk
menyelamatkan diri. Hingga akhirnya Nasution berhasil lolos dengan
cara melompati tembok rumahnya.

Sosok lain yg berperan dalam menyelamatkan Nasution dalam


penculikan tersebut merupakan ajudannya yg bernama Pierre Tendean.
Dalam insiden itu, Pierre Tendean menghadapi Cakrabirawa & mengaku
menjadi AH Nasution. Akibatnya, Pierre gugur & dibawa ke Lubang
Buaya beserta jenderal lainnya.

AH Nasution menceritakan bagaimana beliau mampu lolos menurut


penculikan itu. Nasution menyelamatkan diri dengan cara memanjat
tembok samping rumahnya. Tetapi, sebelumnya beliau berusaha untuk
masuk ke dalam rumahnya lantaran putrinya Ade Irma Nasution
tertembak. Usaha itu dicegah sang istrinya & memohon supaya Nasution
menyelamatkan diri. Nasution berhasil lolos meski ketika itu tempat
tinggal sudah dikepung sang Cakrabirawa berkat tanaman yg lebat pada
dekat dinding rumahnya.
Saat memanjat tembok samping rumahnya, Nasution berusaha ditembaki
sang Cakrabirawa, tetapi beliau berhasil selamat. Ia juga mendengar galat
seseorang yg berteriak, "...seorang melarikan diri di samping."

Setelah itu beliau berpindah bersembunyi di belakang tong air yg berada


pada tempat tinggal duta besar Irak. Di persembunyiannya beliau tidak
habis pikir mengapa Cakrabirawa mencoba untuk membunuhnya.
Nasution mencoba untuk pulang ke tempat tinggal Wakil Menteri
Leimena lantaran berdekatan dengannya. Nasution percaya bahwa Wakil
Menteri Leimena tidak akan mengkhianatinya bila beliau meminta
bantuan untuk menghubungi Presiden Soekarno & menanyakan mengapa
Cakrabirawa berusaha untuk menculiknya. Ia berasumsi bahwa usaha
penculikannya ketika itu akibat dari fitnah yang didengar presiden
sehingga ia didatangi oleh Cakrabirawa.

Nasution mengaku berulang kali difitnah dalam laporan tidak benar yang
diterima Presiden. Namun usaha untuk ke rumah Wakil Menteri Leimena
diurungkan karena Nasution berpikir bahwa daerah sekitar masih
dikuasai oleh Cakrabirawa. Ia memutuskan untuk tetap bersembunyi
hingga menunggu pasukanannya datang untuk membantu. Hingga pada
pagi hari, tanggal 1 Oktober 1965, Nasution berhasil selamat dan belum
menerima laporan terkait peristiwa yang terjadi padanya. Nasution
mengaku bersyukur kepada Tuhan dan kepada istrinya yang telah
membantunya lolos dari penculikan.
D. Kekuatan dan Kelemahan film
1. Kekuatan film
Film ini memiliki kekuatan yang menggelitik di setiap adegan. Film ini
merupakan penghormatan kepada para pahlawan warga negara Indonesia
untuk berterima kasih kepada para pahlawan yang telah gugur untuk
bangsa Indonesia dan untuk mengenang tragedi G30S/PKI.

2. Kelemahan film
Sayangnya, film ini masih memiliki banyak ketidaksempurnaan, seperti
foto dan suaranya yang tidak jelas. Filmnya juga masih hitam putih,
mungkin karena tahun pembuatannya, sehingga sulit bagi penonton untuk
bisa melihatnya dengan jelas.

Selain itu, film ini dibuat menjadi tontonan wajib bagi siswa sekolah
menengah di Indonesia, padahal terlalu banyak adegan kekerasan dan
adegan sadis yang berlebihan mengacu pada kekejaman Partai Komunis.
Saya juga cukup terganggu dengan cara editing filmnya yang terasa
kurang rapih atau berantakan. Selain itu, film ini juga sering
menampilkan gambar yang terasa terlalu substantif dan akhirnya
membuat durasi film bertambah panjang.

Anda mungkin juga menyukai