Anda di halaman 1dari 2

JENDERAL AHMAD YANI

Jenderal Ahmad Yani memangku jabatan sebagai Panglima Angkatan Darat pada 23 Juni 1962
hingga 1 Oktober 1965. Namun pada saat itu situasi politik di Tanah Air sedang tak bersahabat. Sebab, ranah
politik sedang didominasi Partai Komunis Indonesia (PKI). Walau begitu, sebagai seorang yang berjuang
mengusir penjajah Belanda dan merebut kemerdekaan, Jenderal Ahmad Yani tetap berdiri kokoh di belakang
pemerintah. Apalagi beliau baru memadamkan pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia
(PRRI).
Nah memang ketika itu Presiden Soekarno bertindak cepat, agar terjadi keseimbangan politik dan PKI
tak menguasai penuh maka dibuatlah garis balance of power antara PKI dan Angkatan Bersenjata. Dalam
sejarah hidup Jenderal Ahmad Yani yang dikutip VIVA Militer dari Museum TNI, Selasa 11 Agustus 2020,
Ahmad Yani sebenarnya tak nyaman dengan kondisi negara saat itu. Apalagi beliau orang yang menjunjung
tinggi nilai disiplin militer. Hanya saja di satu sisi dia juga harus patuh kepada Presiden sebagai Panglima
Tertinggi Angkatan Bersenjata.
Suatu ketika Angkatan Darat mendapat tuduhan-tuduhan yang tidak didasarkan dengan kebenaran.
Dokumen Gillchrist disebarluaskan ke masyarakat, dokumen itu menyebutkan keterlibatan AD dalam rencana
serangan salah satu negara asing ke Indonesia. Mendengar adanya ancaman dari negara asing, PKI melalui
Presiden menuntut untuk segera dibentuk Angkatan Kelima yaitu yang di mana kaum buruh dan tani yang
merupakan massa PKI harus dipersenjatai. Mendengar gagasan itu, Yani dengan tegas menolaknya. Begitu
pula ketika Yani menolak gagasan Nasakomisasi ABRI yang juga diusulkan dari PKI. Karena itulah
pertentangan antara Yani dengan PKI kian meruncing. Segala cara dihalalkan PKI untuk bagaimana mereka
dapat merebut dan menguasai negara. Termasuk mengadu domba tiga matra TNI.
Puncak dari usaha itu adalah pemberontakan yang dilancarkan pada tanggal 30 September 1965.
Pemberontakan inilah yang kemudian lebih dikenal dengan peristiwa G.30.S/PKI.  Memang sasaran pertama
dari pemberontakan itu dengan melumpuhkan AD. Sehingga pejabat-pejabat AD harus diculik dan dibunuh,
termasuk Jenderal Ahmad Yani.

Detik-detik pembunuhan sadis

Pada tanggal 1 Oktober 1965, tepat di rumah Ahmad Yani yang terletak di ujung Jalan Lembang, Jakarta
sekelompok penculik berhasil menyergap pasukan pengawal. Setelah itu Sersan Tumiran dalam pakaian
seragam Cakrabirawa (pasukan Pengawal Istana) masuk ke dalam rumah dan memerintahkan Embok Milah
(asisten rumah tangga) untuk membangunkan Jenderal Yani. Karena tidak berani, ia meminta Eddy (putra
bungsu Yani) untuk membangunkan ayahnya.
Beberapa anggota penculik lainnya yang masuk melalui pintu samping menimbulkan kegaduhan
sehingga membangunkan semua anak-anak Yani. Mendengar itu, Jenderal Yani segera bangun dan keluar ke
ruang tamu belakang untuk menemui utusan tersebut. Saat itu Yani sama sekali tidak curiga, karena yang
datang adalah anggota Cakrabirawa. Sersan Raswad yang memakai tanda pangkat Kapten meminta Jenderal
Yani yang diperintahkan Presiden untuk menghadap ke Istana.
Pada saat itu sempat terjadi adu mulut antara Yani dengan Tumiran. Karena waktu itu Yani ingin
bersiap diri, namun ditentang oleh Tumiran yang menyebabkan Yani naik pitam. Yani sempat melontarkan
kata-kata pada Tumiran tentang apa yang ia ketahui. Kemudian Yani melangkah masuk ke ruangan tengah
dengan menutup pintu kaca. Kemudian Praka Dokrin terkena tempelengan  dari Yani. Tanpa ragu, Sersan
Giyadi yang berdiri di samping Dokrin melepaskan begitu banyak tembakan ke arah Yani yang sedang
membelakangi pintu kaca.
Setelah itu peluru-peluru menembus pintu kaca dan mengenai tubuh Jenderal Yani dan iapun rubuh
tak berdaya dengan tubuh yang bersimbah darah. Dalam keadaan berlumuran darah, tubuhnya diseret ke
perkarangan rumah dan dilemparkan begitu saja ke dalam truk. Jenazahnya dimasukkan ke dalam sebuah
sumur tua di Lubang Buaya bersama dengan para korban lainnya yang juga para petinggi di jajaran
Pemerintahan. Pada tanggal 3 Oktober 1965, sumur itu ditemukan. Pada Hari Ulang Tahun ABRI ke 20,
jenazah-jenazah korban pengkhianatan PKI dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kali Bata dengan
upacara militer yang khidmat sekaligus mengharukan. Berkat pengabdiannya kepada negara, tokoh Angkatan
Darat yang memiliki 13 tanda jasa dan sekaligus ayah dari 8 orang anak dianugerahkan kepadanya gelar
Pahlawan Revolusi pada tanggal 5 Oktober 1965.

Anda mungkin juga menyukai