Anda di halaman 1dari 53

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

SEKOLAH STAF DAN PIMPINAN TINGGI

STRATEGI OPTIMALISASI PERAN POLRI DAN BIN


GUNA MENCEGAH PENYEBARAN PAHAM RADIKAL
DALAM RANGKA TERPELIHARANYA KAMDAGRI

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.
Seiring dengan berkembangnya dinamika lingkungan strategis
baik pada lingkup global, regional dan nasional, upaya pemeliharaan
kamdagri saat ini dihadapkan pada munculnya berbagai permasalahan
yang kompleks dan multidimensional. Kondisi ini dipengaruhi oleh
kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang telah merobohkan
dinding pemisah antara ruang dan waktu, termasuk sekat antar
ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat. Interaksi antar
aspek tersebut kemudian menimbulkan suatu benturan antar
peradaban, yang salah satunya termanifestasikan dalam bentuk
berkembangnya paham radikalisme di Indonesia. Keberadaan paham
radikalisme dan kelompok-kelompok yang menganut ideologi tersebut
sudah nyata banyaknya di Indonesia, dan keberadaannya telah
mempengaruhi instabilitas kamdagri karena telah mendorong terjadinya
aksi-aksi intoleran yang meresahkan masyarakat, bahkan menjadi
penyebab terjadinya aksi-aksi terorisme. Bagi Indonesia, ancaman
terorisme bukan lagi potensial, tetapi aktual. Berbagai serangan bom di
berbagai wilayah Indonesia merupakan bukti kuat eksistensi terorisme.
Dari kondisi tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa pelaku teroris
mempunyai kemampuan survival meskipun ratusan anggota telah
ditangkap, ditahan, atau tewas tertembak.

1
2

Terkait dengan fenomena aksi teror tersebut, Kapolri Jenderal


Polisi, Prof. DR. Muhammad Tito Karnavian, MA., P.hD dalam Middle
East Special Operations Commanders Conference (MESOC)
menyebutkan bahwa terdapat 2.000 orang militan alumni Afghanistan
dan Filipina di Indonesia. Data lain yang dirilis oleh Polri dan BNPT
disebutkan bahwa WNI yang bergabung dengan ISIS di Suriah sekitar
500 orang. Kemudian Kapolri juga menyebutkan selama 2002-2018
sebanyak 1.441 orang pelaku teror ditangkap, 1.035 orang dihukum,
dan 4 orang divonis mati. Selain itu juga terdapat fakta bahwa 20
persen napi teroris kembali menjadi teroris setelah menjalani hukuman.
Hal ini menunjukkan bahwa hukuman yang dikenakan terhadap pelaku
teror tidak membuat mereka jera1. Keberadaan jaringan terorisme di
Indonesia tidak terlepas dari pengaruh jaringan terorisme global
khususnya kelompok Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) yang
dipimpin Abu Bakr al-Baghdadi. Dalam hal ini, setidaknya terdapat 18
kelompok radikal di Indonesia yang mendukung kelompok milisi Negara
Islam Irak dan Suriah (ISIS). Dari jumlah tersebut, sebanyak 15
kelompok sudah di Baiat oleh pimpinan ISIS Abu Bakar Al-Baqhdadi
dan tersebar di berbagai penjuru wilayah Indonesia. Meningkatnya
penyebaran paham radikal juga dipengaruhi oleh tingkat kewaspadaan
masyarakat yang sangat rendah, akibatnya masyarakat mudah
terdoktrinasi dan terprovokasi paham radikal. Selain itu, penyebaran
paham radikal ini juga oleh faktor kurangnya proteksi terhadap akses
informasi melalui dunia maya yang tanpa batas, dimana saat ini
terdapat banyak situs-situs / website internet yang memiliki konten
berbahaya bagi masyarakat, lebih dari 11.000 konten yang memuat
radikalisme dan terorisme dari tahun 2009 sampai dengan tahun 20192
telah dilakukan pemblokiran Kemenkominfo. Dari web tersebut,

1https://news.detik.com/berita/4009917/kapolri-ada-2000-teroris-eks-afganistan-dan-filipina-di-

RI, diakses tanggal 29 Agustus 2019


2 Dikutip dari : https://nasional.kompas.com/read/2019/03/20/14320221/selama-10-tahun-

kominfo-blokir-lebih-dari-11000-konten-radikalisme-terorisme, tanggal 29 Agustus 2019


3

masyarakat dapat secara bebas mendapatkan informasi dan


mempelajari hal-hal yang bersifat radikal.
Sehubungan dengan tingginya kerawanan penyebaran
radikalisme, Kapolri kemudian telah menetapkan visi Polri yang
Profesional, Modern dan Terpercaya (PROMOTER) dengan 11
program prioritas yang salah satunya yaitu program ke 3 : “Penanganan
Kelompok Radikal Pro Kekerasan dan Intoleransi Yang Lebih Optimal” .
Keberadaan program ini hendaknya menjadi dasar dan panduan bagi
para pimpinan di kewilayahan untuk dijadikan landasan penguatan
langkah-langkah penanganan kelompok radikal, terutama melalui
pendekatan preventif dengan mengedepankan sinergitas antara fungsi
intelijen dengan pengemban fungsi intelijen pada instansi atau
kementerian/lembaga terkait. Dengan demikian, semakin tingginya
potensi penyebaran paham radikal menuntut dilakukannya upaya-
upaya pencegahan yang mengedepankan kerjasama antar pengemban
fungsi intelijen yang tergabung dalam wadah kelembagaan Komunitas
Intelijen Pusat (Kominpus) maupun Komunitas Intelijen Daerah
(Kominda) yang berada di bawah koordinasi Badan Intelijen Negara
(BIN). Polri dalam kerangka kerjasama dengan BIN ini diharapkan
dapat berperan secara optimal dalam upaya merencanakan, mencari,
mengumpulkan, mengkoordinasikan, dan mengkomunikasikan
informasi mengenai potensi, gejala, atau peristiwa yang menjadi
ancaman stabilitas nasional di daerah berkaitan dengan kerawanan
penyebaran paham radikal. Berdasarkan UU No. 17 Tahun 2011
tentang Intelijen Negara, telah menempatkan Intelijen ke posisi yang
sangat strategis yaitu sebagai lini terdepan dalam sistem keamanan
Nasional. Salah satu tugas pokok dan fungsi intelijen negara sesuai UU
Intelijen Negara adalah menjaga kepentingan dan keamanan nasional
dari berbagai bentuk ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan
(ATHG). Peran intelijen negara diharapkan dapat seoptimal mungkin
memberikan masukan bagi user berupa early warning, forecasting, dan
4

problem solving untuk mengambil kebijakan nasional. UU Intelijen


Negara juga menempatkan BIN selaku Koordinator Penyelenggara
Intelijen Negara baik di pusat maupun daerah. Hal ini jelas tertuang
didalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) Perpres No. 67 Tahun 2013 tentang
Koordinasi Intelijen Negara, yang menyatakan bahwa BIN
berkedudukan sebagai koordinator penyelenggara Intelijen Negara
yang dipimpin oleh Kepala BIN, adapun penyelenggara Koordinasi
Intelijen Negara di daerah dikoordinasikan oleh Kepala Binda. Berbagai
kondisi diatas menunjukkan bahwa diperlukan langkah-langkah yang
lebih komprehensif untuk meredam penyebaran paham radikal yang
lebih mengedepankan tindakan preemtif dan preventif yaitu dengan
mengedepankan sinergitas antar pengemban fungsi intelijen negara
khususnya antara Polri dengan Badan Intelijen Negara (BIN) untuk
melakukan deteksi dini, peringatan dini, dan pencegahan dini.
Pentingnya pelaksanaan sinergitas antar intelijen negara beriringan
dengan adanya pergeseran arus utama kegiatan intelijen dari teori
kompetisi intelijen kepada integrasi dan kolaborasi intelijen. Namun
dalam pelaksanaannya hingga saat ini, kerjasama antara Polri dengan
BIN, khususnya yang diselenggarakan pada tingkat kewilayahan masih
dihadapkan pada berbagai hambatan dan kendala, yang berdampak
pada belum terwujudnya sinergitas dalam upaya mencegah
penyebaran paham radikal.

B. Permasalahan
Berdasarkan penjelasan latar belakang diatas, maka
permasalahan pokok untuk dibahas dalam naskah ini adalah:
Bagaimana strategi optimalisasi peran Polri dan Badan Intelijen
Negara (BIN) yang dapat mencegah penyebaran paham radikal
sehingga kamdagri terpelihara?
5

C. Persoalan.
Sehubungan dengan peran BIN sebagai koordinator
penyelenggara Intelijen negara, maka persoalan yang diambil adalah
tentang kerjasama. Menurut Thomson dan Perry dalam Keban (2007),
kerjasama memiliki derajat yang berbeda, mulai dari komunikasi,
koordinasi sampai pada derajat yang lebih tinggi yaitu kolaborasi,
sehingga dari teori tersebut kemudian dapat diambil persoalan yaitu:
1. Bagaimana komunikasi Polri dengan Badan Intelijen Negara
(BIN) dalam mencegah radikalisme?
2. Bagaimana koordinasi Polri dengan Badan Intelijen Negara (BIN)
dalam mencegah radikalisme?
3. Bagaimana kolaborasi Polri dengan Badan Intelijen Negara (BIN)
dalam mencegah radikalisme?

D. Ruang Lingkup.
Ruang lingkup dalam penulisan ini adalah mengkaji obyek Kuliah
Kerja Perorangan yaitu Badan Intelijen Negara (BIN) dikaitkan dengan
Mata Pelajaran yang telah didapatkan selama mengikuti perkuliahan di
Sespimti Polri untuk selanjutnya dijadikan landasan pada strategi
optimalisasi peran Polri dan Badan Intelijen Negara (BIN) guna
mencegah penyebaran paham radikal dalam rangka terpeliharanya
kamdagri, khususnya pada tataran kebijakan strategis tingkat
Baintelkam Polri.

E. Maksud dan tujuan


1. Maksud : sebagai pendalaman materi terhadap mata pelajaran
yang telah diterima dalam pendidikan Sespimti Dikreg ke-28 T.A.
2019.
2. Tujuan : Tujuan penulisan NKKP ini diharapkan dapat menjadi
masukan bagi jajaran Polri tentang perlunya strategi optimalisasi
peran Polri dan BIN.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Fakta-Fakta

1. Profil BIN

a. Sejarah berdirinya BIN

Perjalanan lembaga Intelijen negara telah


menapaki jalan panjang, seiring lahir dan berkembangnya
Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI. Pasca
proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, masih pada
bulan Agustus 1945, pemerintah Republik Indonesia
mendirikan badan Intelijen untuk pertama kalinya, yang
dinamakan Badan Istimewa. Kolonel Zulkifli Lubis ditunjuk
memimpin lembaga ini bersama sekitar 40 mantan tentara
Pembela Tanah Air (Peta) yang menjadi penyelidik militer
khusus. Personel-personel Intelijen pada lembaga ini
merupakan lulusan Sekolah Intelijen Militer Nakano, yang
didirikan pendudukan Jepang pada tahun 1943. Zulkifli
Lubis merupakan lulusan sekaligus komandan Intelijen
pertama.

Pada awal Mei 1946, dilakukan pelatihan khusus di


daerah Ambarawa. Sekitar 30 pemuda lulusannya
menjadi anggota Badan Rahasia Negara Indonesia
(BRANI). Lembaga ini menjadi "payung" gerakan Intelijen
dengan beberapa unit ad hoc, bahkan operasi luar negeri.

Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin membentuk


"Badan Pertahanan B" yang dikepalai seorang mantan
komisioner polisi pada bulan Juli 1946. Kemudian
dilakukan penyatuan seluruh seluruh badan Intelijen di

6
7

bawah Menhan pada 30 April 1947. BRANI menjadi


Bagian V dari Badan Pertahanan B.

Di awal tahun 1952, Kepala Staf Angkatan Perang,


T.B. Simatupang menurunkan lembaga Intelijen
menjadi Badan Informasi Staf Angkatan Perang (BISAP).
Pada tahun yang sama, Wakil Presiden Mohammad Hatta
dan Menhan Sri Sultan Hamengku Buwono IX menerima
tawaran Central Intelligence Agency Amerika Serikat
(CIA) untuk melatih calon-calon intel profesional Indonesia
di Pulau Saipan, Filipina.

Sepanjang tahun 1952-1958, seluruh angkatan dan


Kepolisian memiliki badan Intelijen sendiri-sendiri tanpa
koordinasi nasional yang solid. Maka 5 Desember 1958
Presiden Soekarno membentuk Badan Koordinasi Intelijen
(BKI) dan dipimpin oleh Kolonel Laut Pirngadi sebagai
Kepala.

Selanjutnya, 10 November 1959, BKI


menjadi Badan Pusat Intelijen (BPI) yang bermarkas di
Jalan Madiun, yang dikepalai oleh DR Soebandrio. Di era
tahun 1960-an hingga akhir masa Orde Lama, pengaruh
Soebandrio pada BPI sangat kuat diikuti perang ideologi
Komunis dan non-Komunis di tubuh militer, termasuk
Intelijen.

Setelah gonjang-ganjing tahun 1965, Soeharto


mengepalai Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban (KOPKAMTIB). Selanjutnya di seluruh daerah
(Komando Daerah Militer/Kodam) dibentuk Satuan Tugas
Intelijen (STI).
8

Pada tanggal 22 Agustus 1966, Soeharto


mendirikan Komando Intelijen Negara (KIN) yang dipimpin
oleh Brigjen Yoga Sugomo sebagai Kepala. Kepala
Komando Intelijen Negara (KIN) bertanggung jawab
langsung kepada Soeharto.

Sebagai lembaga Intelijen strategis, maka BPI


dilebur ke dalam KIN yang juga memiliki Operasi Khusus
(Opsu) di bawah Letkol Ali Moertopo dengan asisten
Leonardus Benyamin (Benny) Moerdani dan Aloysius
Sugiyanto.

Kurang dari setahun, 22 Mei 1967 Soeharto


mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) untuk
mendesain KIN menjadi Badan Koordinasi Intelijen
Negara (BAKIN). Mayjen Soedirgo menjadi Kepala BAKIN
pertama.

Pada masa Mayjen Sutopo Juwono, BAKIN


memiliki Deputi II di bawah Kolonel Nicklany Soedardjo,
perwira Polisi Militer (POM) lulusan Fort Gordon, AS.
Sebenarnya di awal 1965 Nicklany sudah membentuk unit
intel PM, yaitu Detasemen Pelaksana Intelijen (Den Pintel)
POM. Secara resmi, DenPintel POM menjadi Satuan
Khusus Intelijen (Satsus Intel), lalu tahun 1976 menjadi
Satuan Pelaksana (Satlak) BAKIN dan di era 1980-an
kelak menjadi Unit Pelaksana (UP) 01.

Mulai tahun 1970 terjadi reorganisasi BAKIN


dengan tambahan Deputi III pos Opsus di bawah Brigjen
Ali Moertopo. Sebagai inner circle Soeharto, Opsus
dipandang paling prestisius di BAKIN, mulai dari urusan
domestik Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Irian
9

Barat dan kelahiran mesin politik Golongan Karya (Golkar)


sampai masalah Indocina.

Tahun 1983, sebagai Wakil Kepala BAKIN, L.B.


Moerdani memperluas kegiatan Intelijen menjadi Badan
Intelijen Strategis (BAIS). Selanjutnya BAKIN tinggal
menjadi sebuah direktorat kontra-subversi dari Orde Baru.

Setelah mencopot L.B. Moerdani sebagai Menteri


Pertahanan dan Keamanan (Menhankam), tahun 1993
Soeharto mengurangi mandat BAIS dan mengganti
namanya menjadi Badan Intelijen ABRI (BIA).

Tahun 2000 Presiden Abdurrahman Wahid (Gus


Dur) mengubah BAKIN menjadi Badan Intelijen Negara
(BIN) sampai sekarang.

b. Perkembangan organisasi BIN

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17


Tahun 2011 tentang Intelijen Negara Pasal 10
menyebutkan bahwa Badan Intelijen Negara (BIN)
merupakan alat Negara yang menyelenggarakan fungsi
Intelijen Dalam dan Luar Negeri. Dalam penjelasan atas
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun
2011 tentang Intelijen Negara, khususnya pada bagian
"Umum", dijelaskan bahwa: Personel Intelijen Negara
harus mempunyai sikap dan tindakan yang professional,
obyektif, dan netral. Sikap dan tindakan tersebut
mencerminkan Personel Intelijen Negara
yang independen dan imparsial karena segala tindakan
didasarkan pada fakta dan tidak terpengaruh pada
kepentingan pribadi atau golongan serta tidak bergantung
pada pihak lain, tetapi semata-mata hanya untuk
kepentingan bangsa dan Negara.
10

Badan Intelijen Negara berada di bawah dan


bertanggung jawab kepada Presiden. Badan Intelijen
Negara berkedudukan sebagai koordinator penyelenggara
Intelijen Negara. Penyelenggara Intelijen Negara lainnya,
yaitu Intelijen TNI, Intelijen Kepolisian, Intelijen Kejaksaan
dan Intelijen Kementerian/lembaga pemerintah non-
Kementerian wajib berkoordinasi dengan Badan Intelijen
Negara.

UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara


telah menempatkan Intelijen ke posisi yang sangat
strategis, yaitu sebagai lini pertama keamanan Nasional.
Salah satu tugas pokok dan fungsi utama intelijen negara
sesuai UU Intelijen Negara adalah menjaga kepentingan
dan keamanan nasional dari berbagai bentuk ATHG.
Mengingat eksistensi negara pada 2014-2019 terus
berhadapan dengan modus baru terkait masalah politik
(kerawanan pelaksanaan Pilkada), separatisme, subversi
asing, terorisme, cyber war, kejahatan transnasional,
konflik sosial, dan ATHG lainnya, maka titik krusial peran
intelijen negara idealnya dapat seoptimal mungkin
membantu user memberi assesment berupa early
warning, forecasting, dan problem solving.

Dalam UU Intelijen Negara juga menempatkan BIN


selaku Koordinator Penyelenggara Intelijen Negara,
sehingga pelaksanaan tugas dan tanggungjawab masing-
masing penyelenggara Intelijen Negara melalui Koordinasi
Intelijen Negara. BIN merupakan pihak yang
bertanggungjawab atas pelaksanaan koordinasi dan atas
tindakan intelijen yang ada di Indonesia, baik di pusat
maupun daerah. Hal ini jelas tertuang didalam Pasal 2
11

ayat (1) dan (2) Perpres No. 67 Tahun 2013 tentang


Koordinasi Intelijen Negara, menyatakan bahwa BIN
berkedudukan sebagai koordinator penyelenggara
Intelijen Negara yang dipimpin oleh Kepala BIN, adapun
penyelenggara Koordinasi Intelijen Negara di daerah
dikoordinasikan oleh Kepala Binda.

Untuk menjalankan fungsi deteksi dini dan


peringatan dini terhadap setiap bentuk ATHG yang dapat
mengganggu keutuhan NKRI, maka perlu didukung
dengan koordinasi yang baik antar aparat unsur intelijen
secara profesional melalui wadah Komunitas Intelijen,
baik di Pusat (Kominpus) maupun Daerah (Kominda).
Keberadaan Kominda pada awalnya merupakan
penjabaran dari Instruksi Presiden No. 5 tahun 2002
tentang Pengkoordinasian Perencanaan Umum Dan
Pelaksanaan Operasional Kegiatan Intelejen Seluruh
Instansi Untuk Penyelenggaraan Tugas Masing-Masing,
yang memberi kewenangan kepada Kepala Badan
Intelijen Negara, untuk mengambil langkah-langkah dalam
mewujudkan, membina, dan menjaga keutuhan, serta
keterpaduan rencana dan gerak operasional intelijen, baik
dalam kerangka institusi maupun diantara aparatnya.

Selanjutnya berdasarkan UU No. 32 tentang 2004


tentang Pemerintah Daerah, Menteri Dalam Negeri
menetapkan Permendagri No. 11 Tahun 2006 tentang
Komunitas Intelijen Daerah yang direvisi dengan
Permendagri No. 16 tahun 2011 tentang Komunitas
Intelijen Daerah. Berdasarkan ketentuan tersebut,
pengertian Komunitas Intelijen Daerah yang selanjutnya
disebut Kominda adalah forum komunikasi dan koordinasi
12

unsur intelijen dan unsur pimpinan daerah di provinsi dan


kabupaten / kota, sedangkan keanggotaannya disamping
Gubernur dan Bupati / Walikota selaku Ketua, juga
dilibatkan seluruh pengemban fungsi Intelijen yang berada
di daerah baik di Provinsi maupun di Kabupaten Kota.

c. Visi BIN

Terwujudnya Badan Intelijen Negara yang semakin


profesional, objektif dan berintegritas guna mendukung
sistem keamanan nasional dalam rangka mewujudkan
indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian.

d. Misi BIN

1) Meningkatkan kualitas Informasi Intelijen dengan


penyampaian yang cepat, tepat dan akurat;

2) Mengoptimalkan kegiatan operasi Intelijen di dalam


dan luar negeri dengan dukungan yang luas dan
teknologi intelijen terkini;

3) Memperkuat koordinasi dan sinergitas seluruh


Penyelenggara Fungsi Intelijen Negara;

4) Meningkatkan efektifitas kerja sama Intelijen


dengan berbagai pihak di dalam dan luar negeri;

5) Mengembangkan dan modernisasi teknologi dan


sistem informasi Intelijen yang handal dan
terintegritas;

6) Meningkatkan kualitas dan kuantitas personel


Intelijen yang kompeten dan profesional;

7) Memperkuat pengkajian dan analisa Intelijen


strategis;
13

8) Mengoptimalkan sinergi pengawasan Intelijen


dengan Tim Pengawas Intelijen.

e. Struktur organisasi BIN

Susunan organisasi BIN telah diubah terakhir


dengan Peraturan Presiden Nomor 34 Tahun 2010,
menggantikan Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2005.
Berdasarkan perpres tersebut, susunan organisasi BIN
terdiri dari:

1) Kepala : Kepala BIN mempunyai tugas memimpin


BIN dalam melaksanakan tugas dan fungsi BIN.
Kepala BIN diberikan hak keuangan, administrasi
dan fasilitas lainnya setingkat dengan Menteri.

2) Wakil Kepala : Wakil Kepala mempunyai tugas


membantu kepala BIN.

3) Sekretariat Utama : Sekretariat Utama mempunyai


tugas melaksanakan koordinasi pelaksanaan
tugas, pembinaan dan pemberian dukungan
administrasi kepada seluruh unit organisasi di
lingkungan BIN.

4) Deputi Bidang Luar Negeri : Deputi Bidang Luar


Negeri (Deputi I) mempunyai tugas melaksanakan
perumusan kebijakan dan pelaksanaan kegiatan
dan/atau operasi intelijen bidang luar negeri.

5) Deputi Bidang Dalam Negeri : Deputi Bidang


Dalam Negeri (Deputi II) mempunyai tugas
melaksanakan perumusan kebijakan dan
pelaksanaan kegiatan dan/atau operasi intelijen
bidang dalam negeri.
14

6) Deputi Bidang Kontra Intelijen : Deputi Bidang


Kontra Intelijen (Deputi III) mempunyai tugas
melaksanakan perumusan kebijakan dan
pelaksanaan kegiatan dan/atau operasi kontra
intelijen.

7) Deputi Bidang Ekonomi : Deputi Bidang Ekonomi


(Deputi IV) mempunyai tugas melaksanakan
perumusan kebijakan dan pelaksanaan kegiatan
dan/atau operasi intelijen bidang ekonomi.

8) Deputi Bidang Teknologi : Deputi Bidang Teknologi


(Deputi V) mempunyai tugas melaksanakan
perumusan kebijakan dan pelaksanaan kegiatan
dan/atau operasi intelijen bidang teknologi.

9) Deputi Bidang Komunikasi dan Informasi : Deputi


Bidang Komunikasi dan Informasi (Deputi VI)
mempunyai tugas melaksanakan perumusan
kebijakan dan pelaksanaan kegiatan dan/atau
operasi intelijen bidang Komunikasi dan Informasi.

10) Deputi Bidang Pengolahan dan Produksi Intelijen :


Deputi Bidang Analisis dan Produksi Intelijen
(Deputi VII) mempunyai tugas melaksanakan
perumusan dan pelaksanaan kebijakan bidang
pengolahan dan produksi intelijen.

11) Inspektorat Utama : Inspektorat Utama mempunyai


tugas melaksanakan pengawasan intern di
lingkungan BIN. Meliputi keanggotaan struktural
wilayah dan daerah.

12) Staf ahli : Staf Ahli mempunyai tugas memberikan


telaahan kepada Kepala BIN mengenai masalah
15

tertentu sesuai bidang keahliannya. Staf ahli terdiri


dari:

a) Staf Ahli Bidang Ideologi

b) Staf Ahli Bidang Politik

c) Staf Ahli Bidang Hukum

d) Staf Ahli Bidang Sosial Budaya

e) Staf Ahli Bidang Pertahanan dan Keamanan

Gambar 2.1.
Struktur organisasi BIN
16

f. Kedudukan BIN sebagai alat negara

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17


Tahun 2011 tentang Intelijen Negara Pasal 10
menyebutkan bahwa Badan Intelijen Negara merupakan
alat Negara yang menyelenggarakan fungsi Intelijen
Dalam dan Luar Negeri.

Dalam penjelasan atas Undang-Undang Republik


Indonesia Nomor 17 Tahun 2012 tentang Intelijen Negara,
khususnya pada bagian "Umum", dijelaskan bahwa :
Personel Intelijen Negara harus mempunyai sikap dan
tindakan yang professional, obyektif, dan netral.

Sikap dan tindakan tersebut mencerminkan


Personel Intelijen Negara yang independen dan
imparsial karena segala tindakan didasarkan pada fakta
dan tidak terpengaruh pada kepentingan pribadi atau
golongan serta tidak bergantung pada pihak lain, tetapi
semata-mata hanya untuk kepentingan bangsa dan
Negara.

1) Hubungan BIN dengan Presiden

Badan Intelijen Negara berada di bawah dan


bertanggung jawab kepada Presiden.

2) Koordinasi Intelijen Negara

Badan Intelijen Negara berkedudukan


sebagai koordinator penyelenggara Intelijen
Negara. Penyelenggara Intelijen Negara lainnya,
yaitu Intelijen TNI, Intelijen Kepolisian, Intelijen
Kejaksaan dan Intelijen Kementerian/lembaga
pemerintah non-Kementerian wajib berkoordinasi
dengan Badan Intelijen Negara.
17

g. Kerjasama BIN dengan Lembaga Lain

Kerjasama BIN dengan lembaga lain,


diimplementasikan pada fungsi penyelidikan,
pengamanan dan penggalangan. Pada konteks kerjasama
ini, BIN diberi kewenangan oleh undang-undang untuk:

1) Meminta bahan keterangan kepada kementerian,


lembaga pemerintah nonkementerian, dan/atau
lembaga lain sesuai dengan kepentingan dan
prioritasnya.

2) Melakukan kerja sama dengan Intelijen negara lain.

3) Membentuk Satuan Tugas dengan komunitas


Intelijen, kementerian, lembaga pemerintah
nonkementerian, dan/atau lembaga lain sesuai
dengan kepentingan dan prioritasnya.

2. Perkembangan radikalisme di Indonesia

Keberadaan kelompok-kelompok radikal dan aksi-aksi


teror yang terjadi di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh
terorisme global, mulai dari pengaruh Al-Qaeda hingga
kemunculan ISIS. Keberadaan ISIS telah menjadi inspirator
bangkitnya berbagai aksi teror yang terjadi akhir-akhir ini.
Menyikapi hal tersebut, para pengemban intelijen negara harus
menyadari potensi peningkatan tumbuhnya bibit-bibit radikalisme
ini. Sebab ISIS sangat masif, kreatif, serta menarik minat pemuda
melakukan propaganda dibandingkan Jemaah Islamiyah (JI)
ataupun al-Qaeda pada satu dekade yang lalu.

Dari pengaruh tersebut, hingga kini setidaknya terdapat 18


kelompok radikal di Indonesia yang berafiliasi dengan dengan
kelompok milisi Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Sebanyak
15 kelompok sudah di Baiat oleh Presiden ISIS Abu Bakar Al-
18

Baqhdadi dan tiga diantaranya baru sebatas mendukung. Adapun


nama-namanya sebagai berikut :
Tabel 2.1.
Data kelompok radikal yang berbaiat kepada ISIS
No. Nama Kelompok Ket
1. Mujahidin Indonesia Barat (MIB) Sudah berbaiat
2.. Mujahidin Indonesia Timur (MIT) -SDA-
3. Jamaah Ansharuut Tauhid (JAT) -SDA-
4. Ring Banten -SDA-
5. Jamaah Tawhid wal Jihad -SDA-
6. Forum Aktivis Syariah Islam (Faksi) -SDA-
7. Pendukung dan pembela daulah -SDA-
8. Gerakan Reformasi Islam -SDA-
9. Asybal Tawhid Indonesia -SDA-
10. Kongres Umat Islam Bekasi -SDA-
11. Umat Islam Nusantara -SDA-
12. Ikhwan Muwahid Indunisy Fie -SDA-
13. Jazirah al-Muluk (Ambon) -SDA-
14. Ansharul Kilafah Jawa Timur -SDA-
15. Halawi Makmun Group -SDA-
16. Gerakan Tawhid Lamongan Mendukung
17. Khilafatul Muslimin Mendukung
18. Laskar Jundullah Mendukung
Sumber: BNPT tahun 2018
19

Gambar 2.2.
Evolusi kelompok radikal di Indonesia

Sumber : BNPT tahun 2018

Keberadaan kelompok-kelompok radikal tersebut


kemudian tersebar di berbagai penjuru wilayah Indonesia
sebagaimana dapat dilihat dari peta konsentrasi jaringan di
Indonesia berikut :
20

Gambar 2.3.
Peta konsentrasi jaringan radikal

Sumber : BNPT, 2018

Adapun gambaran peristiwa terorisme sebagai dampak


dari keberadaan kelompok radikal di Indonesia dapat dilihat dari
data berikut:
Gambar 2.4.
Jumlah aksi teror berdasarkan tahun hingga 2018
21

Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa insiden terbanyak


berada rentang waktu 2000 hingga 2001. Jumlah insidennya
sebanyak 101 pada 2000, sedangkan pada 2001 ada 105
kejadian. Pada 2002 hingga 2007, insiden teror terus menurun.
Terhitung 43 insiden teror terjadi pada 2002 dan hanya 2 insiden
yang tercatat pada 2007. Serangan teror kembali meningkat pada
2008 dan jumlahnya cukup dinamis hingga 2018.
Gambar 2.5.
Jumlah korban aksi teror hingga 2018

Bila dilihat berdasarkan jumlah korban, baik meninggal


maupun luka-luka, 2002 merupakan tahun dengan korban
terbanyak. Pada tahun tersebut, tercatat ada 781 korban dengan
246 korban meninggal dan 535 luka-luka. Sedangkan pada tahun
2018 merupakan tahun dengan jumlah korban aksi teror
terbanyak sepanjang kurun waktu 5 tahun terakhir yaitu 28
korban meninggal dan 66 korban luka.
22

Gambar 2.6.
Kelompok pelaku teror

Jika dilihat berdasarkan pelaku terornya, Gerakan Aceh


Merdeka (GAM) paling banyak melancarkan serangan. Jamaah
Islamiyah menempati posisi kedua dengan 57 insiden teror yang
mereka lakukan. Jika gerakan separatis memiliki ideologi tertentu
untuk melepaskan diri dari suatu ikatan negara, aksi yang
dilakukan JI adalah aksi teror yang mengatasnamakan agama.
Adapun bila ditinjau dari pendekatan pengaruh lingkungan
strategis terhadap perkembangan radikalisme, maka terdapat
beberapa faktor yang dapat menjadi alasan timbulnya radikalisme
di masyarakat antara lain:
a. Faktor pertama yang harus dipahami untuk mengefektifkan
penanggulangan radikalisme adalah pertama, faktor
interpretasi terhadap agama yang berbeda-beda, sehingga
kemudian membuat orang dengan mudahnya
menyalahkan interpretasi orang lain. Di samping itu, ada
sebagian orang yang memperdalam ilmu agama namun
tidak berdasarkan sumber yang otentik, ataupun ulama
23

yang benar-benar memiliki pemahaman agama yang luas


dan benar. Terkadang sumber bacaannya adalah buku-
buku terjemahan yang kurang dapat
dipertangungjawabkan, menerima ilmu dari orang yang
pemahaman agamanya sangat dangkal.

b. Faktor kedua yang menyebabkan radikalisme agama


adalah faktor ekonomi, karena sangat mungkin kondisi
finansial yang rendah pada seseorang dapat mengubah
cara pandang dan pola pikir orang tersebut, sehingga
dapat dengan mudah dipengaruhi untuk diberikan doktrin-
doktrin radikal dalam beragama.

c. Faktor yang ketiga adalah faktor politik, dalam konteks ini,


radikalisme muncul sebagai bentuk protes kelompok islam
militan terhadap sistem politik sekuler (demokrasi).
Pelaksanaan demokrasi memicu kelompok islam militan
berupaya untuk mengganti sistem politik yang ada dengan
syariat Islam. Kelompok ini mengklaim bahwa Indonesia
dengan mayoritas penduduk muslim di dunia harus
melaksanakan sistem politik Islam (Khilafah), karena
demokrasi dinilai tidak bisa memecahkan berbagai
persoalan seperti kemiskinan yang tetap merajalela, moral
masyarakat semakin tidak tertata dan sebagainya.

d. Faktor keempat adalah faktor sosial, dalam hal ini terdapat


kelompok-kelompok tertentu yang lebih memilih
menjadikan pandangan tokoh atau ulama yang keras dan
kritis terhadap pemerintah. Karena mereka beranggapan,
kelompok ulama yang memiliki pandangan moderat telah
terkooptasi dan bersekongkol dengan penguasa. Sehingga
ajaran Islam yang moderat tidak mereka ambil bahkan
24

dijauhkan dan mereka lebih memilih pemahaman yang


keras dari ulama yang yang kritis tersebut.

e. Faktor kelima adalah faktor psikologis, faktor ini sangat


terkait dengan pengalaman hidup individual seseorang
atas kegagalan hidup dalam karir/kerjanya, ataupun
pengalaman buruk lain yang mendorong sesorang
tersebut untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang
menyimpang dan anarkis jika hal ini terus berlangsung
tanpa adanya pembinaan dan bimbingan yang tepat.

3. Kerjasama Polri dengan BIN dalam mencegah radikalisme

Menyikapi ancaman keberadaan kelompok radikal yang


masih menjadi permasalahan krusial di negara Indonesia, Kapolri
Jenderal Polisi Drs. M. Tito Karnavian, MH., PH.d ini telah
menetapkan visi Polri yang Profesional, Modern dan Terpercaya
dengan menetapkan 11 program prioritas yang salah satunya
yaitu program ke 3 : “Penanganan Kelompok Radikal Pro
Kekerasan dan Intoleransi Yang Lebih Optimal”. Melalui program
ini, diharapkan dapat terselenggaranya langkah-langkah
penanganan kelompok radikal secara lebih komprehensif,
sistematis dan terpadu, termasuk dalam bentuk sinergitas antara
fungsi intelijen Polri dengan BIN sebagai lembaga negara yang
mendapat mandat melalui UU No. 17 tahun 2011 untuk
melakukan fungsi koordinasi Intelijen Negara serta diberi
kewenangan untuk mengambil langkah-langkah koordinasi
Intelijen melalui Inpres No. 5 tahun 2002, agar rencana dan
gerak operasi Intelijen dapat lebih efektif dan efisien.

Implementasi dari instrument tersebut diwujudkan melalui


forum Intelligence Community (IC) yang meliputi unsur BIN, BAIS
TNI, Ditjen Stranas Kemenhan, Badan Intelijen Kepolisian,
25

Jamintel Kejagung, Bea Cukai, Imigrasi, Ditjen Kesbangpol


Kemendagri, Asintel Kasum TNI dan Intelijen tiap-tiap angkatan.
Menindaklanjuti implementasi forum IC agar dapat lebih
bersinergi sampai dengan tingkat lapangan, Kepala BIN telah
membentuk Komunitas Intelijen Pusat (Kominpus). Sedangkan di
tingkat daerah telah terbentuk komunitas Intelijen Daerah
(Kominda). Kesemuanya itu dilakukan dengan harapan dapat
lebih memperkuat koordinasi diseluruh jajaran penyelenggara
Intelijen Negara dalam rangka pelaksanaan fungsi melalui
penyampaian early warning, early identification, dan early
detection terhadap semua bentuk ATHG.

Adapun kondisi faktual kerjasama antara Polri dengan BIN


dalam mencegah radikalisme saat ini, dapat dijelaskan melalui
analisis dengan pendekatan Teori Kerjasama sebagai berikut:

a. Komunikasi Polri dengan BIN dalam mencegah


radikalisme.

Bentuk kegiatan komunikasi antara Polri dengan


BIN dan instansi penyelenggara intelijen negara lainnya
diantaranya dilakukan melalui rapat Intelligence
Community (IC), serta sebagai sarana untuk
menyampaikan temuan dan informasi yang diperoleh
selama periode tertentu untuk kemudian diambil langkah-
langkah selanjutnya.

Adapun dalam pelaksanaannya saat ini hubungan


kerjasama antara Polri dengan BIN belum dilakukan
secara kelembagaan melalui pembuatan MoU. BIN dalam
hal ini telah melakukan pembuatan MoU dengan berbagai
Kementerian/Lembaga seperti dengan Kementerian
Kelautan dan Perikanan (KKP), Kemenlu, Kemendagri,
Kemenakertrans, BNN, dan beberapa Kementerian /
26

Lembaga lainnya3. Adapun dengan Polri kerjasama


dilakukan tanpa ada MoU sebagai penjabaran teknis
koordinasi BIN dan Polri. Selama ini hubungan kerjasama
didasari atas adanya UU Intelijen yang menempatkan BIN
sebagai fungsi koordinasi Intelijen Negara.

Dengan tidak adanya penjabaran yang lebih teknis


dan mengikat antara Polri dengan BIN maka dapat
berdampak pada informasi yang disampaikan dalam
forum pertemuan antar komunitas intelijen kurang memiliki
nilai strategis, sehingga belum dapat dijadikan dasar
dalam pengambilan keputusan/kebijakan. Hal ini
dikarenakan masing-masing pihak membatasi diri dalam
menyampaikan informasi secara utuh karena sifat
informasi yang dimiliki bersifat sangat rahasia, sehingga
tidak dapat serta merta di sampaikan dalam forum
komunikasi antar intelijen.

Selain itu, pelaksanaan komunikasi pada tataran


operasional antar individu masih belum terselenggara
dengan baik, karena masih adanya kecenderungan ego
sektoral sehingga dapat menghambat efektifitas upaya
yang dilakukan terkait dengan mencegah penyebaran
radikalisme.

b. Koordinasi Polri dengan BIN dalam mencegah


radikalisme.

Kegiatan koordinasi merupakan faktor yang sangat


penting dalam menghimpun informasi intelijen. Koordinasi
dalam kegiatan intelijen merupakan hal yang tidak
terelakan, khususnya dalam menghadapi ancaman
radikalisme saat ini. Secara kelembagaan, koordinasi Polri
3 http://www.bin.go.id/pencarian/key/mou/10, diakses tanggal 29 Agustus 2019
27

dengan BIN diselenggarakan dalam wadah Kominpus,


kominda, pembentukan Satgas, dan pembentukan Desk
pada Daerah Konflik. Sedangkan dari segi kegiatan,
koordinasi Polri dengan BIN dilakukan melalui kegiatan
operasi intelijen yang meliputi penyelidikan, pengamanan
dan penggalangan.

Adapun dalam penyelenggaraannya dalam upaya


mencegah aksi teror yang dilakukan kelompok radikal,
BIN sebagai koordinator intelijen dibantu Badan Intelijen
dan Keamanan (Baintelkam) Polri dalam beberapa
peristiwa telah melakukan koordinasi dan berhasil
mencegah berbagai serangan teror. Namun pada
beberapa kasus, deteksi yang dilakukan BIN dan Polri
tidak dapat memprediksi kapan waktu serangan akan
dilakukan, karena serangan teroris tidak mengenal ruang,
waktu dan sasaran sehingga sulit untuk mendeteksinya4,
sehingga terjadi aksi teror seperti bom bunuh diri di tiga
gereja yakni Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela di,
Gereja Kristen Indonesia (GKI) dan Gereja Pantekosta,
Surabaya pada 13 Mei 2018, ledakan bom di
Mapolrestabes Surabaya pada 14 Mei 2018, hingga
serangan kelompok teroris ke Mapolda Riau pada 16 Mei
20185.

4 https://www.suara.com/news/2016/01/24/113803/sulitnya-bin-deteksi-waktu-serangan-
teroris, diakses tanggal 29 Agustus 2019
5 https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190604110800-20-400871/rentetan-bom-dan-

aksi-terorisme-selama-ramadan-di-indonesia, diakses tanggal 29 Agustus 2019


28

c. Kolaborasi Polri dengan BIN dalam mencegah


radikalisme.

Bentuk kolaborasi antara Polri dengan BIN


diantaranya dilaksanakan melalui Pembentukan satuan-
satuan Tugas (Satgas) untuk menangani masalah
masalah tertentu dengan komunitas Intelijen,
kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian,
dan/atau lembaga lain sesuai dengan kepentingan dan
prioritasnya. Selain itu, kerjasama saat ini diarahkan juga
pada upaya pengembangan teknologi intelijen guna
mendukung peningkatan sinergitas.

Adapun dalam penyelenggaraannya saat ini dapat


disampaikan bahwa kerjasama yang dilakukan antara
Polri dengan BIN sifatnya masih insidentil, yaitu hanya
ketika terjadi suatu permasalahan yang menjadi atensi
atau fenomena di masyarakat, seperti halnya pada
kerjasama antara Polri, BIN dan TNI dalam kasus
serangan bom bunuh diri di tiga gereja Surabaya pada 13
Mei 2018, ledakan bom di Mapolrestabes Surabaya pada
14 Mei 2018, hingga serangan kelompok teroris ke
Mapolda Riau pada 16 Mei 2018. Pada tahun 2019 ini,
kerjasama secara insidentil juga dilakukan antara BIN,
Polri dan Kemenkumham dalam mengidentifikasi
kelompok Anarko Sindikalisme yang membuat keributan
di sela peringatan May Day di Bandung pada 1 Mei 2019
lalu6.

6https://www.tribunnews.com/nasional/2019/05/03/polri-kerjasama-dengan-kemenkumham-
bin-identifikasi-kelompok-anarko-sindikalisme, diakses tanggal 29 Agustus 2019
29

B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi

Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan


dengan pengembangan misi, tujuan, strategi dan kebijakan organisasi
Polri. Dengan demikian, perencanaan strategis (strategic planning)
harus menganalisa faktor-faktor strategis organisasi dalam kondisi yang
ada saat ini antara lain faktor internal yang meliputi kekuatan (strength)
dan kelemahan (weakness), serta faktor eksternal yang meliputi
peluang (opportunities), dan kendala (threat).

1. Pengaruh lingkungan strategis

a. Global

Fenomena radikalisme bukan hanya terjadi di


Indonesia melainkan juga terjadi dibagian atau negara
lain, bahkan di negara maju sekalipun. Ciri radikalisme
yang terjadi sekarang ini adalah sifatnya yang acak dan
global. Serangkaian aksi teror yang terjadi di Indonesia
menunjukkan bahwa ancaman radikalisme dan terorisme
di Indonesia sangat nyata. Kelompok-kelompok radikal
yang berafiliasi dengan kelompok teroris global seperti Al
Qaeda dan ISIS, dipandang sebagai kelompok yang
menjadi otak dari serangkaian aksi teror di Indonesia.
Atas dasar tersebut maka kemampuan lembaga-lembaga
negara yang mengemban fungsi intelijen dituntut untuk
mampu mengoptimalkan perannya untuk melakukan
pencegahan penyebaran paham radikal untuk mencegah
terjadinya aksi-aksi teror di Indonesia.
30

b. Regional

Globalisasi turut berkontribusi atas maraknya


radikalisme Islam di kawasan regional khususnya di Asia
Tenggara. Mengutip David Ignatius dalam kolomnya
di Washington Post, dengan judul “Southeast Asia Could
be a Haven for Displaced Islamic State Fighters”
menyatakan, ada tiga faktor yang bisa memperluas
jaringan-jaringan kecil teroris di Asia Tenggara. Pertama,
deklarasi sebuah kelompok yang berafiliasi ke ISIS di
pedalaman hutan di Filipina Selatan yang tidak terjangkau
oleh hukum pemerintah pusat di Manila. Kedua,
perekrutan relawan baru ISIS yang menyusup atau
disusupkan di tentara Malaysia. Ketiga, munculnya
kembali semangat ‘jihad’ dari para tahanan yang telah
dibebaskan dari penjara-penjara di Indonesia. Dengan
demikian aksi ektremisme, terorisme serta militansi Islam
menjadi ancaman nyata bagi keberagaman masyarakat
ASEAN.

c. Nasional

Saat ini bangsa Indonesia sedang menghadapi


tantangan serius dengan menguatnya potensi radikalisme
yang mengancam stabilitas keamanan dan keutuhan
NKRI. Hal ini ditandai dengan munculnya kelompok-
kelompok yang dinyatakan memiliki keterkaitan atau
berafiliasi dengan kelompok terorisme global seperti ISIS
(Islamic State of Irak and Suriah). Dalam hal ini telah
terdapat sedikitnya tiga kelompok besar organisasi
radikal, dan kurang lebih terdapat 21 kelompok organisasi
yang merupakan simpatisan dan memiliki keterkaitan atau
berafiliasi dengan kelompok terorisme global khususnya
31

Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Semakin tingginya


potensi penyebaran paham radikal menuntut dilakukannya
upaya-upaya pencegahan yang mengedepankan
kerjasama antar pengemban fungsi intelijen yang berada
di bawah koordinasi Badan Intelijen Negara (BIN). Polri
dalam kerangka kerjasama dengan BIN ini diharapkan
dapat berperan secara optimal dalam upaya
merencanakan, mencari, mengumpulkan,
mengkoordinasikan, dan mengkomunikasikan informasi
mengenai potensi, gejala, atau peristiwa yang menjadi
ancaman stabilitas nasional di daerah berkaitan dengan
kerawanan penyebaran paham radikal..

2. Faktor internal

a. Kekuatan

1) Kebijakan Polri untuk memperkuat peran Polsek


sebagai Basis Deteksi dapat dioptimalkan sebagai
langkah untuk mengoptimalkan upaya deteksi dini
terhadap penyebaran ideologi radikal.

2) Adanya kebijakan strategis Polri di bidang


pembangunan kerjasama dengan berbagai pihak
dalam mendukung pencegahan radikalisme.

3) Diselenggarakannya pengembangan alut dan alsus


intelijen dalam mendukung pencegahan
radikalisme.

4) Diselenggarakannya program dan kegiatan


pencegahan radikalisme di kewilayahan yang
disesuaikan dengan karakteristik sosial masyarakat
setempat.
32

5) Telah dilakukannya penguatan struktur intelijen


Polri dengan dibentuknya Ditkamsus Baintelkam
Polri yang memiliki subdit Spionase dan Sabotase,
subdit Teror dan Radikal, dan Subdirektorat
Propaganda.

b. Kelemahan

1) Belum optimalnya pemahaman personel terhadap


perkembangan anatomi dan modus penyebaran
paham radikal.

2) Belum meratanya kemampuan personel intelijen


dalam melakukan kontra propaganda radikalisme
melalui media sosial.

3) Belum optimalnya pemberdayaan jaringan intelijen


sebagai sumber informasi dalam mendukung
pencegahan radikalisme.

4) Belum optimalnya pembuatan produk intelijen yang


menyajikan informasi secara tajam dan akurat
terkait dengan keberadaan kelompok radikal.

5) Belum optimalnya penggalangan intelijen terhadap


tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda,
dan potensi masyarakat lainnya.

3. Faktor Eksternal

a. Peluang

1) Adanya komitmen pemerintah yang kuat untuk


mendukung pencegahan radikalisme melalui
penerbitan regulasi dan berbagai kebijakan.

2) Adanya peran BIN sebagai koordinator


penyelenggara intelijen negara baik di pusat
maupun daerah.
33

3) Telah tergelarnya struktur Komunitas Intelijen


Daerah (KOMINDA) untuk mendukung kerjasama
antar pengemban fungsi intelijen di kewilayahan.

4) Adanya program kontra radikalisasi dan


deradikalisasi yang diselenggarakan oleh instansi
terkait

5) Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi


memberikan peluang bagi Polri dalam melakukan
modernisasi berbagai sarana dan prasarana untuk
mendukung upaya penanggulangan paham radikal.

b. Kendala

1) Masih terbatasnya pembentukan satgas


penanggulangan radikalisme di tingkat daerah.

2) Semakin maraknya penyebaran radikalisme melalui


berbagai media online, seperti website dan media
sosial.

3) Adanya sebagian masyarakat yang mudah


terpengaruh oleh doktrin-doktrin ideologi radikal.

4) Belum optimalnya koordinasi dalam pembangunan


sistem big data dengan konsep teknologi internet,
web analytics, dan decision support system, guna
pengumpulan dan penggunaan data yang
terkoneksi untuk menghasilkan produk intelijen
yang tajam dan akurat

5) Adanya kelompok-kelompok berpaham radikal di


Indonesia yang berafiliasi dengan jaringan
kelompok radikalisme/terorisme global.
34

C. Analisis

Analisa EFAS, IFAS, dan SFAS merupakan instrument yang


sering digunakan untuk menganalisis suatu strategi yang tepat
digunakan oleh suatu organisasi. Kemampuan tersebut terletak pada
penentuan strategi organisasi untuk memaksimalkan peran faktor
kekuatan dan pemanfaatan peluang sehingga dapat dijadikan sebagai
alat untuk meminimalisasi kelemahan yang terdapat dalam tubuh
organisasi dan menekan dampak ancaman yang timbul dan harus
dihadapi. Dengan demikian untuk mengoptimalkan peran Polri dan BIN
guna mencegah penyebaran paham radikal dalam rangka
terpeliharanya kamdagri dapat dianalisis melalui analisa EFAS, IFAS,
dan SFAS berikut:

1. IFAS (Internal Factors Analysis Summary)


Tabel 2.2.
IFAS IFAS (Internal Factors Analysis Summary)
Faktor Strategik Internal
No. Bobot Rating Skor
Kekuatan
Kebijakan Polri untuk memperkuat
peran Polsek sebagai Basis Deteksi
dapat dioptimalkan sebagai langkah
1 0.105 8 0.84
untuk mengoptimalkan upaya
deteksi dini terhadap penyebaran
ideologi radikal.
Adanya kebijakan strategis Polri di
bidang pembangunan kerjasama
2 0.086 7 0.60
dengan berbagai pihak dalam
pencegahan radikalisme.
Diselenggarakannya pengembangan
alut dan alsus intelijen dalam
3 0.100 8 0.80
mendukung pencegahan
radikalisme.
Diselenggarakannya program dan
kegiatan pencegahan radikalisme di
4 kewilayahan yang disesuaikan 0.117 7 0.82
dengan karakteristik sosial
masyarakat setempat.
5 Dibentuknya Ditkamsus Baintelkam 0.092 7 0.64
35

Polri yang memiliki subdit Spionase


dan Sabotase, subdit Teror dan
Radikal, dan Subdirektorat
Propaganda.
Jumlah 0.50 3.70
Kelemahan
Belum optimalnya pemahaman
personel terhadap perkembangan
1 0.094 3 0.28
anatomi dan modus penyebaran
paham radikal.
Belum meratanya kemampuan
personel intelijen dalam melakukan
2 0.124 4 0.50
kontra propaganda radikalisme
melalui media sosial.
Belum optimalnya pemberdayaan
jaringan intelijen sebagai sumber
3 0.077 4 0.31
informasi dalam mendukung
pencegahan radikalisme.
Belum optimalnya pembuatan
produk intelijen yang menyajikan
4 informasi secara tajam dan akurat 0.083 3 0.25
terkait dengan keberadaan
kelompok radikal.
Belum optimalnya penggalangan
intelijen terhadap tokoh masyarakat,
5 0.121 3 0.36
tokoh agama, tokoh pemuda, dan
potensi masyarakat lainnya
Jumlah 0.50 1.70
Total 5.40

2. EFAS (External Factors Analysis Summary).

Tabel 2.3.
EFAS (External Factors Analysis Summary)
Faktor Strategik Eksternal
No. Bobot Rating Skor
Peluang
Adanya komitmen pemerintah yang
kuat untuk mendukung pencegahan
1 0.096 7 0.67
radikalisme melalui penerbitan
regulasi dan berbagai kebijakan.
Adanya peran BIN sebagai
koordinator penyelenggara intelijen
2 0.108 8 0.86
negara baik di pusat maupun
daerah.
36

Telah tergelarnya struktur


Komunitas Intelijen Daerah
3 (KOMINDA) untuk mendukung 0.105 7 0.74
kerjasama antar pengemban fungsi
intelijen di kewilayahan.
Adanya program kontra radikalisasi
4 dan deradikalisasi yang 0.101 7 0.71
diselenggarakan oleh instansi terkait
Kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi memberikan peluang bagi
Polri dalam melakukan modernisasi
5 0.090 7 0.63
berbagai sarana dan prasarana
untuk mendukung upaya
penanggulangan paham radikal
Jumlah 0.50 3.61
Kendala
Masih terbatasnya pembentukan
1 satgas penanggulangan radikalisme 0.158 3 0.47
di tingkat daerah.
Semakin maraknya penyebaran
radikalisme melalui berbagai media
2 0.107 4 0.43
online, seperti website dan media
sosial.
Adanya sebagian masyarakat yang
3 mudah terpengaruh oleh doktrin- 0.071 3 0.21
doktrin ideologi radikal.
Belum optimalnya koordinasi dalam
pembangunan sistem big data
dengan konsep teknologi internet,
web analytics, dan decision support
4 0.087 3 0.26
system, guna pengumpulan dan
penggunaan data yang terkoneksi
untuk menghasilkan produk intelijen
yang tajam dan akurat
Adanya kelompok-kelompok
berpaham radikal di Indonesia yang
5 0.078 4 0.31
berafiliasi dengan jaringan kelompok
radikalisme/terorisme global
Jumlah 0.50 1.68
Total 5.29
37

3. Posisi Organisasi Polri

Gambar 2.7
Posisi Organisasi Polri

Matriks diatas menunjukkan bahwa posisi organisasi Polri


berada pada sel 5a : Growth, “Konsentrasi melalui Integrasi
Horisontal”. Strategi ini menekankan pada penguatan pada
fungsi-fungsi kepolisian dalam melakukan tugas pokoknya. Oleh
karena itu, terkait strategi optimalisasi peran Polri dan BIN guna
mencegah penyebaran paham radikal dalam rangka
terpeliharanya kamdagri perlu didukung dengan mengoptimalkan
kesiapan organisasi Polri serta peningkatan hubungan
kerjasama dengan BIN melalui kegiatan komunikasi, koordinasi
dan kolaborasi.
38

4. SFAS (Strategic Factors Analysis Summary)

Tabel 2.4.
SFAS (Strategic Factors Analysis Summary)
Durasi
No Faktor Strategik Kunci Bobot Rating Skor Ka Ka Ka
dek dang jang
Kebijakan Polri untuk
memperkuat peran
Polsek sebagai Basis
Deteksi dapat
dioptimalkan sebagai
1 0.10 8 0.80
langkah untuk
mengoptimalkan upaya
deteksi dini terhadap
penyebaran ideologi
radikal.
Diselenggarakannya
pengembangan alut dan
2 alsus intelijen dalam 0.14 8 1.12
mendukung pencegahan
radikalisme
Diselenggarakannya
program dan kegiatan
pencegahan radikalisme
3 di kewilayahan yang 0.10 7 0.70
disesuaikan dengan
karakteristik sosial
masyarakat setempat
Belum meratanya
kemampuan personel
intelijen dalam
4 0.08 4 0.32
melakukan kontra
propaganda radikalisme
melalui media sosial
Belum optimalnya
penggalangan intelijen
terhadap tokoh
5 masyarakat, tokoh 0.06 3 0.18
agama, tokoh pemuda,
dan potensi masyarakat
lainnya
Adanya peran BIN
6 0.13 8 1.04
sebagai koordinator
39

penyelenggara intelijen
negara baik di pusat
maupun daerah.
Telah tergelarnya
struktur Komunitas
Intelijen Daerah
7 (KOMINDA) untuk 0.14 7 0.98
mendukung kerjasama
antar pengemban fungsi
intelijen di kewilayahan.
Adanya program kontra
radikalisasi dan
8 deradikalisasi yang 0.10 7 0.70
diselenggarakan oleh
instansi terkait
Masih terbatasnya
pembentukan satgas
9 penanggulangan 0.07 3 0.21
radikalisme di tingkat
daerah.
Semakin maraknya
penyebaran radikalisme
10 melalui berbagai media 0.08 4 0.32
online, seperti website
dan media sosial.
1.00

Didalam menentukan pentahapan strategi adalah dari


skor bobot yang tertinggi (1.12) dikurangi dengan skor bobot
terendah (0.18) kemudian hasil selisih tersebut di bagi 3 (0.94 : 3
= 0.31). Sehingga pentahapan strateginya ditentukan sebagai
berikut :
a. Jangka pendek : 0.18 + 0.31 = 0.49 (0.18 s/d 0.49).
b. Jangka panjang : 1.12 - 0.31 = 0.81 (dari skor 0.81 s/d
1.12).
c. Sisanya adalah jangka sedang : dari 0.50 sampai dengan
0.80.
40

D. Strategi Pemecahan Masalah

Berdasarkan hasil fakta-fakta di lapangan dan hasil analisa yang


telah dilakukan, maka rumusan langkah-langkah strategi optimalisasi
peran Polri dan Badan Intelijen Negara (BIN) guna mencegah
penyebaran paham radikal dalam terpeliharanya kamdagri dilakukan
melalui langkah-langkah translation process dengan urutan proses
manajemen strategi mulai dari penentuan visi, misi, tujuan, sasaran,
analisa strategi, strategi, kebijakan dan upaya sebagai action plan-nya
adalah sebagai berikut:

1. Visi :

“Terpeliharanya kamdagri dengan mencegah


penyebaran paham radikal melalui optimalisasi peran Polri
dan Badan Intelijen Negara (BIN)”.

2. Misi :

a. Mengoptimalkan komunikasi Polri dengan BIN dalam


mencegah radikalisme

b. Mengoptimalkan koordinasi Polri dengan BIN dalam


mencegah radikalisme

c. Mengoptimalkan kolaborasi Polri dengan BIN dalam


mencegah radikalisme.

3. Tujuan :

a. Optimalnya komunikasi Polri dengan BIN dalam


mencegah radikalisme

b. Optimalnya koordinasi Polri dengan BIN dalam mencegah


radikalisme

c. Optimalnya kolaborasi Polri dengan BIN dalam mencegah


radikalisme.
41

4. Sasaran :

a. Optimalnya komunikasi Polri dengan BIN dalam


mencegah radikalisme dalam masa periode 5 tahun
anggaran kerja.

b. Optimalnya koordinasi Polri dengan BIN dalam mencegah


radikalisme dalam masa periode 5 tahun anggaran kerja.

c. Optimalnya kolaborasi Polri dengan BIN dalam mencegah


radikalisme dalam masa periode 5 tahun anggaran kerja.

5. Kebijakan :

a. Mengoptimalkan komunikasi Polri dengan BIN dalam


mencegah radikalisme dengan prioritas kebijakan pada
level Baintelkam Polri.

b. Mengoptimalkan koordinasi Polri dengan BIN dalam


mencegah radikalisme dengan prioritas kebijakan pada
level Baintelkam Polri.

c. Mengoptimalkan kolaborasi Polri dengan BIN dalam


mencegah radikalisme dengan prioritas kebijakan pada
level Baintelkam Polri.

6. Strategi :

Berdasarkan hasil analisis IFAS, EFAS dan SFAS maka


didapatkan rumusan strategi sebagai berikut :

a. Strategi Jangka Pendek ( 0-1 tahun )

1) Mengoptimalkan kerjasama untuk meningkatkan


kemampuan kontra propaganda radikalisme
melalui media sosial.
42

2) Mengoptimalkan kerjasama penggalangan intelijen


terhadap tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh
pemuda, dan potensi masyarakat lainnya.

3) Mengoptimalkan kerjasama pembentukan satgas


penanggulangan radikalisme di tingkat daerah.

4) Mengoptimalkan pencegahan penyebaran


radikalisme melalui website dan media sosial.

b. Strategi Jangka Sedang ( 0-3 tahun )

1) Mengoptimalkan peran Polsek sebagai Basis


Deteksi

2) Mengoptimalkan pencegahan radikalisme yang


disesuaikan dengan karakteristik sosial masyarakat
setempat.

3) Mengoptimalkan kerjasama program kontra


radikalisasi dan deradikalisasi

c. Strategi Jangka Panjang ( 0-5 tahun )

1) Mengoptimalkan pengembangan alut dan alsus


intelijen.

2) Mengoptimalkan sinergitas dengan BIN sebagai


koordinator penyelenggara intelijen negara baik di
pusat maupun daerah.

3) Mengoptimalkan kerjasama dengan unsur


KOMINDA di kewilayahan.
43

5. Implementasi Strategi (Action Plan)

a. Strategi Jangka Pendek ( 0-1 tahun )

1) Mengoptimalkan kerjasama untuk


meningkatkan kemampuan kontra propaganda
radikalisme melalui media sosial.

a. Kerjasama pelatihan teknis intelijen untuk


meningkatkan kemampuan kemampuan
kontra propaganda radikalisme di media
sosial seperti kemampuan mengolah dan
menyajikan informasi digital, dan
kemampuan pembuatan konten infografis
dan videografis untuk menangkal konten
radikalisme.

b. Kerjasama untuk membangun sistem


pemantauan konten-konten yang beredar di
dunia maya secara terpadu agar dapat
memaksimalkan pencegahan dan
penanganan terhadap konten-konten
radikalisme yang beredar di dunia maya.

c. Koordinasi pengembangan sarana dan


fasilitas cyber intelligence guna mendukung
pencegahan penyebaran paham radikal
melalui media berbasis online.

d. Koordinasi penerapan kontra propaganda


melalui pembuatan dan penyebaran konten-
konten digital di media sosial untuk
menangkal penyebaran radikalisme.
44

e. Koordinasi melakukan profiling dan


penajaman target pelaku pemilik akun yang
menyebarkan konten radikalisme di media
sosial

2) Mengoptimalkan kerjasama penggalangan


intelijen terhadap tokoh masyarakat, tokoh
agama, tokoh pemuda, dan potensi masyarakat
lainnya.

a. Kerjasama penggalangan tokoh agama agar


dapat menjadi opinion leader dalam
memberikan pemahaman komprehensif
mengenai wawasan keagamaan yang
moderat, terbuka dan toleran

b. Kerjasama penggalangan pimpinan pondok


pesantren agar dapat mencegah masuknya
doktrin-doktrin radikal di lingkungan
pesantren dan mendorong untuk
dilakukannya pemberian materi pendidikan
keagamaan yang moderat dan toleran.

c. Kerjasama pelibatan mantan napi terorisme /


radikalisme sebagai narasumber dalam
kegiatan Focus Group Discussion (FGD),
diskusi bersama, seminar, dan sebagainya.

d. Kerjasama untuk mendorong para ulama


untuk memperbanyak kegiatan dakwah,
tausiyah, pengajian di lingkungan atau
kantong-kantong kelompok radikal.
45

3) Mengoptimalkan kerjasama pembentukan


satgas penanggulangan radikalisme di tingkat
daerah.

a) Memfasilitasi pembentukan satgas


pencegahan radikalisme yang
beranggotakan fungsi Intelkam Polri dan
unsur intelijen Kominda, serta pihak lain
seperti Dinas Kominfo dan Dinas Sosial,
Ormas / LSM, akademisi, serta potensi
masyarakat.

b) Melakukan pembuatan HTCK dan SOP


serta program-program kegiatan satgas
penanggulangan radikalisme yang dapat
diukur kinerjanya secara periodik

c) Melaksanakan rapat koordinasi rutin sebagai


wadah antar instansi untuk saling bertukar
pikiran, melakukan perencanaan kegiatan-
kegiatan terpadu, penyelenggaraan
koordinasi diharapkan ada hasil /
rekomendasi yang memberikan kontribusi
bagi perwujudan sinergitas kerjasama
dilapangan

4) Mengoptimalkan pencegahan penyebaran


radikalisme melalui website dan media sosial.

a) Kerjasama penerapan strategi kontra narasi


dengan membuat konten-konten informasi
berupa teks, audio, visual untuk meluruskan
pemahaman terhadap ajaran-ajaran agama
yang sering di salahgunakan
46

b) Kerjasama pemberdayaan komunitas IT


untuk melakukan counter terhadap konten
radikalisme.

c) Pembentukan dan pemberdayaan grup /


milis di media sosial sebagai pemantau
konten-konten radikal di internet.

b. Strategi Jangka Sedang ( 0-3 tahun )

1) Mengoptimalkan peran Polsek sebagai Basis


Deteksi

a) Memaksimalkan peran personil untuk


meningkatkan dan menambah jaringan-
jaringan di setiap desa / kelurahan dalam
upaya deteksi dan pulbaket tentang
kelompok radikal.

b) Melakukan pengendalian secara optimal


terhadap jaringan intelijen sehingga dalam
pengumpulan informasi dapat dilakukan
dengan cepat, tepat, akurat.

c) Mengoptimalkan deteksi dini dan deteksi


aksi melalui peningkatan pengawasan
terhadap warga pendatang baru guna
mencegah masuknya paham radikal dengan
menggalakan wajib lapor 1x24 jam kepada
ketua RT, agar ketua RT wajib mengenali
warganya
47

2) Mengoptimalkan pencegahan radikalisme yang


disesuaikan dengan karakteristik sosial
masyarakat setempat.

a) Meningkatkan intensitas kegiatan sambang /


kunjungan ke setiap komunitas untuk
memberikan sosialisasi dan penyuluhan
tentang bahaya paham radikalisme.

b) Memprakarsai kegiatan dialog lintas agama


pada kantong-kantong kelompok radikal
yang dilakukan secara periodik

c) Melakukan kunjungan ke sekolah,


universitas/perguruan tinggi untuk
membangun militansi nasionalisme para
pelajar dan mahasiswa, dengan menunjuk
pelajar dan masiswa tersebut sebagai duta
Pancasila.

3) Mengoptimalkan kerjasama program kontra


radikalisasi dan deradikalisasi.

a) Kontra radikalisasi

(1) Melaksanakan program kontra narasi


melalui pembuatan narasi sebagai
penyeimbang informasi / konten
radikal di media sosial, dengan
berdasarkan fakta atau ajaran yang
sesuai dengan ajaran agama Islam.

(2) Mengoptimalkan kontra propaganda


dengan melaksanakan Focus Group
Discussion (FGD), diskusi bersama,
seminar, dan sebagainya dengan
48

melibatkan para pakar serta mantan


napi terorisme / radikalisme sebagai
narasumber dalam kegiatan tersebut

b) Deradikalisasi

(a) Kerjasama untuk melaksanakan


kegiatan rehabilitasi kepada
masyarakat yang telah terpengaruh
paham radikal, yaitu melalui
pendekatan dengan dialog agar mind
set mereka bisa diluruskan serta
memiliki pemahaman yang
komprehensif serta dapat menerima
pihak yang berbeda dengan mereka.

(b) Kerjasama untuk melaksanakan


kegiatan reintegrasi kepada
masyarakat yang telah terpengaruh
paham radikal, agar mereka dapat
kembali dan berbaur ke tengah
masyarakat (resosialisasi).

(c) Kerjasama untuk melaksanakan


kegiatan pelatihan kepada mantan
napi terorisme agar memiliki
kemampuan dalam berdakwah, untuk
selanjutnya disebarkan ke sejumlah
wilayah.
49

c. Strategi Jangka Panjang ( 0-5 tahun )

1) Mengoptimalkan pengembangan alut dan alsus


intelijen.

a) Setiap personel intelkam diberikan


kelengkapan alat utama dan alat khusus
intelijen, yang mendukung terselenggaranya
koordinasi dan kegiatan operasional di
bidang pencegahan penyebaran ideologi
radikal

b) Membangun sistem database informasi


terintegrasi dari tingkat mabes hingga
Polsek yang memuat tentang data-data
terkait kelompok radikal sehingga dapat
memudahkan koordinasi dalam pertukaran
informasi.

2) Mengoptimalkan sinergitas dengan BIN sebagai


koordinator penyelenggara intelijen negara baik
di pusat maupun daerah

a) Koordinasi dalam pembangunan sistem big


data dengan konsep teknologi internet, web
analytics, dan decision support system, guna
pengumpulan dan penggunaan data yang
terkoneksi dan saling mendukung untuk
menghasilkan produk intelijen yang tajam
dan akurat.

b) Mengoptimalkan kerjasama dalam


melakukan pengelolaan isu dan kontra isu
terkait dengan munculnya konten-konten
radikalisme serta melakukan analisa aktor
50

yang sering melakukan kegiatan yang


menjurus kepada radikalisme di media
dalam bentuk ujaran, maupun konten
upload.

3) Mengoptimalkan kerjasama dengan unsur


KOMINDA di kewilayahan.

a) Mengarahkan kepada seluruh unsur


pimpinan fungsi Intelkam untuk
melaksanakan kegiatan komunikasi dengan
unsur Kominda dalam bentuk pertemuan
rutin formal yang terprogram, yaitu minimal 1
kali dalam sebulan ataupun melalui
pertemuan informal secara insidentil yang
dilakukan oleh personel pada setiap tataran
manajerial.

b) Memberikan arahan kepada seluruh


personel untuk melakukan koordinasi dalam
bidang pertukaran informasi dan bahan
keterangan.

c) Berkoordinasi dengan unsur Kominda untuk


mewujudkan keterpaduan dalam kegiatan
mencari, mengumpulkan,
mengkoordinasikan dan
mengkomunikasikan informasi / bahan
keterangan intelijen dari berbagai sumber
mengenai radikalisme.
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan
1. Komunikasi Polri dengan BIN dalam mencegah radikalisme saat
ini belum optimal, dengan indikasi yang dapat dilihat dari
pelaksanaan pertemuan antara Intelligence Community (IC) di
kewilayahan masih cenderung dilakukan secara insidentil,
informasi yang disampaikan dalam forum pertemuan antar
komunitas intelijen kurang memiliki nilai strategis, komunikasi
antar individu masih belum terselenggara dengan baik karena
masih adanya kecenderungan ego sektoral. Adapun upaya-
upaya yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan komunikasi
Polri dengan BIN antara lain: mengoptimalkan sinergitas dengan
BIN sebagai koordinator penyelenggara intelijen negara baik di
pusat maupun daerah, mengoptimalkan kerjasama dengan
unsur KOMINDA di kewilayahan, serta mengoptimalkan
pencegahan penyebaran radikalisme melalui website dan media
sosial.
2. Koordinasi Polri dengan BIN dalam mencegah radikalisme saat
ini belum optimal, dengan indikasi yang dapat dilihat dari masih
terbatasnya kerjasama di bidang pengembangan kapasitas
SDM, belum optimalnya koordinasi dalam pengembangan
sarana dan fasilitas cyber intelligence, belum optimalnya
koordinasi dalam penerapan strategi kontra propaganda, belum
optimalnya koordinasi dalam pemutakhiran peta kerawanan
radikalisme, serta kurang dilakukannya kerjasama untuk
melakukan pengawasan dan penyusupan terhadap tempat-
tempat yang rawan dijadikan penyebaran paham radikal. Adapun
upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan

51
52

koordinasi Polri dengan BIN antara lain: mengoptimalkan


kerjasama untuk meningkatkan kemampuan kontra propaganda
radikalisme melalui media sosial, mengoptimalkan kerjasama
penggalangan intelijen terhadap tokoh masyarakat, tokoh
agama, tokoh pemuda, dan potensi masyarakat lainnya,
mengoptimalkan pengembangan alut dan alsus intelijen, serta
mengoptimalkan peran Polsek sebagai Basis Deteksi
3. Kolaborasi Polri dengan BIN dalam mencegah radikalisme saat
ini belum optimal, dengan indikasi yang dapat dilihat dari
pembentukan dan operasionalisasi satuan tugas (Satgas)
radikalisme di kewilayahan belum dapat berjalan secara optimal,
belum optimalnya kerjasama untuk menyelenggarakan Single
Database National Radicalism Mapping, belum optimalnya
koordinasi dalam pembangunan sistem big data dengan konsep
teknologi internet, web analytics, dan decision support system,
guna pengumpulan dan penggunaan data yang terkoneksi dan
saling mendukung untuk menghasilkan produk intelijen yang
tajam dan akurat. Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan
untuk mengoptimalkan kolaborasi Polri dengan BIN antara lain:
mengoptimalkan kerjasama program kontra radikalisasi dan
deradikalisasi, mengoptimalkan kerjasama pembentukan satgas
penanggulangan radikalisme di tingkat daerah, serta
mengoptimalkan pencegahan radikalisme yang disesuaikan
dengan karakteristik sosial masyarakat setempat.
B. Rekomendasi
1. Rekomendasi kepada Kapolri Up. Kabaintelkam agar melakukan
kerjasama dengan BIN dalam menyelenggarakan Single
Database National Radicalism Mapping dalam bentuk database
informasi terintegrasi, yang menyajikan berbagai data dan
informasi tentang kantong/wilayah kelompok radikal, jaringan,
53

simpatisan/militan, pendanaan, dan informasi penting lainnya


yang dapat diakses oleh setiap personel pengemban fungsi
intelijen hingga ke tingkat daerah.
2. Rekomendasi kepada Kapolri Up. Kabaintelkam agar melakukan
kerjasama dengan BIN untuk mengoptimalkan pengembangan
sarana dan fasilitas cyber intelligence guna mengimbangi
terjadinya berbagai ancaman keamanan negara yang
menggunakan sarana berbasis teknologi informasi dan
komunikasi.
3. Rekomendasi kepada Kapolri Up. Kabaintelkam agar melakukan
kerjasama dengan BIN untuk menghidupkan operasionalisasi
Satgas Penanggulangan Radikalisme di seluruh kewilayahan
melalui analisa, evaluasi dan monitoring secara berkala dengan
menekankan pada pemanfaatan sarana prasarana berbasis
teknologi informasi dan komunikasi yang terintegrasi

Lembang, Agustus 2019


POKJAR VI

Anda mungkin juga menyukai