Anda di halaman 1dari 17

TERBATAS

KONSEPSI BINTER YANG TEPAT DALAM RANGKA MENCEGAH PENYEBARAN


FAHAM TERORISME DAN RADIKAL OLEH SATKOWIL

Situasi lingkungan strategis yang semakin dinamis merupakan salah satu


parameter dalam menentukan tingkat ancaman terhadap keutuhan dan kedaulatan NKRI
yang harus dihadapi oleh TNI termasuk TNI AD. Agar dapat melaksanakan tugas pokok
dalam menanggulangi berbagai ancaman yang timbul termasuk mengatasi aksi Terorisme
melalui implementasi Binter oleh satuan Kowil dibutuhkan penyusunan suatu Konsep
Pembinaan Teritorial yang dapat menyentuh langsung dalam kehidupan masyarakat
dalam mencegah aksi terorisme di Indonesia. Satuan Kowil TNI AD yang tergelar di
seluruh wilayah NKRI sekarang ini masih belum mampu untuk sepenuhnya mengatasi
segala ancaman Terorisme.

Berdasarkan UU RI No. 34 tahun 2004 mengenai tugas-tugas TNI Pemerintah RI


dalam upaya mencegah terjadinya tindakan dan kegiatan teroris, telah mengeluarkan UU
RI No. 15 tahun 2003 tanggal 4 April 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme sebagai pengganti Perpu No. 1 tahun 2002. Selain itu, Pemerintah RI telah
berupaya memberdayakan aparat intelijen maupun aparat instansi lainnya guna
mengantisipasi tindakan terorisme, namun upaya ini dirasakan belum maksimal
mengingat terorisme memiliki mobilitas yang tinggi, bersembunyi dan berbaur dengan
masyarakat di pemukiman.

Sehingga apabila kita berbicara tentang terorisme maka keadaan pemberdayaan


masyarakat menjadi pokok permasalahan dalam rangka mencegah aksi terorisme yang
perlu dilakukan untuk mampu mewujudkan pemahaman masyarakat tentang terorisme
serta partisipasinya dalam mencegah aksi terorisme tersebut. Untuk itu diperlukan suatu
kemitraan terpadu antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, POLRI dan TNI serta
masyarakat baik secara organisatoris maupun secara individual. Sasaran yang harus
dicapai terutama adalah untuk mewujudkan pemahaman masyarakat akan aksi teror,
kemampuan masyarakat dalam deteksi dini, partisipasi masyarakat dalam pencegahan,
dan ketahanan masyarakat dalam mengantisipasi keadaan krisis.

Teror bom dan aksi radikalisme di Indonesia telah menjadi sorotan masyarakat dan
telah menimbulkan kecemasan, rasa takut bagi masyarakat luas serta memberi kesan
negatif akan kondisi keamanan di Indonesia dalam pandangan dunia Internasional. Disisi

TERBATAS
2

lain aksi teror termasuk ledakan bom yang terjadi di Indonesia menunjukkan bahwa
terorisme telah ada di sekitar masyarakat dan peristiwa tersebut telah menyadarkan kita
untuk terus berupaya mengatasinya secara maksimal, terpadu, intensif dan komprehensif.

Dari latar belakang permasalahan yang ada di atas maka penulis dapat
menemukan rumusan permasalahannya sebagai berikut : Bagaimana Konsep Binter
dalam rangka mencegah faham terorisme dan radikalisme dihadapkan dengan
pemberdayaan masyarakat ?

Manfaat penulisan ini bagi TNI AD tentunya sebagai bahan pertimbangan dan
kajian dalam mencegah faham terorisme dan radikalisme di indonesia terutama bila
dihadapkan dengan tantangan tugas kedaulatan Negara dan mengatasi aksi teror yang
masih ada. Dalam penanganan masalah faham terorisme dan radikalisme perlu adanya
penerapan konsepsi binter yang ada saat ini, sehingga perlu ditelaah beberapa aspek
yang menjadi masalah. Dengan demikian dari semua aspek dapat memberikan masukan
atau keterangan yang berguna untuk memperoleh cara bertindak yang tepat dalam
rangka mencegah faham terorisme dan radikalisme.

Pasca era reformasi telah menciptakan perubahan lingkungan masyarakat, dimana


partisipasi masyarakat menjadi bagian integral dari kerangka dasar kebijakan nasional
dalam pembangunan disegala aspek kehidupan masyarakat. Pengalaman menunjukkan
bahwa sasaran teror senantiasa menimbulkan korban masyarakat, sedangkan umumnya
pelaku teror memanfaatkan lingkungan masyarakat, terutama lingkungan masyarakat
menengah kebawah dan masyarakat pinggir kota untuk merencanakan, menyiapkan
maupun untuk bersembunyi. Meskipun pemerintah telah berupaya untuk mencegah
kehadiran faham terorisme dan radikalisme dengan cara meningkatkan pengamanan di
Indonesia, namun hal tersebut belum mengikutsertakan masyarakat melalui suatu
pemberdayaan masyarakat. Partisipasi masyarakat masih rendah untuk bersama-sama
berperang melawan terorisme. Mengingat aksi teror ada dalam lingkungan masyarakat
serta masyarakat tersebut belum diberdayakan, hal ini membawa implikasi pada
pentingnya mendorong Satuan Kowil berpartisipasi aktif seoptimal mungkin bersama-
sama masyarakat untuk memerangi terorisme dalam batas-batas kerangka hukum yang
berlaku.

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat multi-etnik yang mendiami ratusan ribu


pulau yang tersebar di seluruh wilayah nusantara. Kondisi kebanggaan kesukuan yang
3

berlebihan seringkali mengarahkan masyarakat pada tindakan yang dapat mempengaruhi


rasa nasionalisme. Keadaan demikian menunjukkan bahwa sudut pandang masyarakat
terhadap aksi teror masih banyak perbedaan, sehingga masyarakat lebih banyak
mengambil sikap pasif bila menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan aksi teror.
Hal ini secara tidak langsung menunjukkan betapa lemahnya tingkat kemandirian
masyarakat dalam upaya mencegah faham terorisme dan radikalisme.

Sebagian besar masyarakat Indonesia secara ekonomi hidup dalam garis


kemiskinan. Sementara di kota-kota besar, kehidupan masyarakat ditandai dengan
tingginya kesenjangan sosial, disamping itu adanya urbanisasi dari berbagai daerah ke
kota besar dengan alasan kesempatan kerja masih menjadi pilihan masyarakat untuk
merubah nasib. Seiring meningkatnya populasi penduduk akibat urbanisasi tersebut,
maka permasalahan sosial dan keamanan di kota-kota besar juga semakin kompleks. Hal
ini ditandai dengan semakin meningkatnya aksi kejahatan yang membuat resah
masyarakat dan dapat dimanfaatkan oleh kelompok teroris dan radikal dalam melakukan
aksinya. Di sisi lain, hadirnya masyarakat dari luar wilayah dengan latar belakang suku,
agama, ras, bahasa, serta budaya yang berbeda telah menciptakan perubahan dalam
kehidupan masyarakat kota besar, seperti memudarnya sikap persatuan antar warga,
tolong menolong antar sesama, gotong royong, tepa selira (tenggang rasa), dan bentuk-
bentuk kepedulian sosial lainnya. Hal demikian juga terlihat hingga ke masyarakat
pinggiran kota. Dengan kondisi yang sering dianggap kumuh dan relatif tidak ketat dalam
pengamanan aparat, pinggiran kota seringkali dijadikan tempat aman untuk merancang
aktivitas terornya.

Upaya pemberdayaan masyarakat Indonesia dalam berbagai bentuknya telah


menjadi kebijaksanaan Pemerintah Pusat sejak lama, misalnya dalam bidang politik,
ekonomi, sosial budaya dan Hankam, akan tetapi berbagai bentuk pemberdayaan
tersebut seringkali tidak berjalan sesuai dengan harapan sehingga tidak mencapai
sasaran yang diharapkan. Ada beberapa faktor yang sering menjadi penyebab kegagalan
program pemberdayaan masyarakat antara lain :

1. Kondisi pelaksana pemberdayaan seperti keahlian dan keterampilan yang belum


memadai, moralitas yang rendah dan upaya mengambil keuntungan pribadi atau
kelompok dalam bentuknya seperti korupsi dan sikap tidak bertanggung jawab.
4

2. Kondisi masyarakat yang diberdayakan seperti ketidaksiapan masyarakat


menerima tanggung jawab, rendahnya tingkat pendidikan serta pemahaman yang keliru
tentang tujuan dan sasaran pemberdayaan.

3. Kondisi sistem pemberdayaan yang diterapkan. Dalam banyak kasus kegagalan


pemberdayaan masyarakat seperti dalam beberapa program pemberdayaan dibidang
ekonomi, faktor kelemahan kontrol dari pusat sering menjadi pemicu. Selain itu program
pemberdayaan juga tidak melibatkan kelompok-kelompok kepentingan (interest group)
yang semestinya, sehingga upaya pemberdayaan tidak tepat sasaran atau dalam
pelaksanaannya tidak sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh pemerintah.

Dalam upaya pemberantasan terorisme, Pemerintah Pusat telah berupaya


menetapkan beberapa agenda nasional yang sifatnya komprehensif yakni dalam bentuk
tindakan preventif, preemptif, resosialisasi dan rehabilitasi infrastruktur pendukung. Dalam
kerangka pemberdayaan masyarakat untuk secara langsung berperan aktif dalam
mengantisipasi ancaman terorisme, Pemerintah saat ini baru terbatas pada upaya-upaya
yang bersifat persuasif seperti dengan memberikan peringatan dini kepada masyarakat
untuk meningkatkan kewaspadaan terutama di tempat-tempat yang menjadi ancaman
teror.

Pemerintah Daerah telah bekerjasama dengan instansi terkait seperti BIN,


Kepolisian dan TNI telah melakukan langkah-langkah preventif dan antisipatif, antara lain
melakukan standar keamanan disetiap lokasi kegiatan publik seperti hotel, perkantoran,
pusat perbelanjaan dan sebagainya. Sebagai wilayah yang rawan ancaman terorisme,
Pemerintah Daerah telah menentukan tiga langkah utama penanggulangan bahaya
terorisme sebagai berikut :

1. Ditetapkannya standar minimal sistem keamanan lokal, terutama di


tempat-tempat publik, yang dapat mencegah aksi teror. Dalam kenyataannya, sistem
keamanan ini belum semuanya diberlakukan oleh pengelola tempat-tempat publik,
umumnya hanya diberlakukan di tempat-tempat yang cenderung menjadi tempat aktivitas
masyarakat golongan menengah ke atas.

2. Penggerakan partisipasi masyarakat, melalui penyuluhan dan


sosialisasi kepada masyarakat luas tentang terorisme dan pencegahannya. Upaya ini
belum optimal karena masih terbatas dalam bentuk persuasif, tidak disertai dengan upaya
5

yang sistematis melalui kemitraan antara Pemerintah dengan lembaga-lembaga


kemasyarakatan ataupun pihak lain di luar Pemerintah.

3. Deteksi dini yang dilakukan intelijen, kepolisian, imigrasi dan instansi


lain. Upaya ini telah dilakukan dengan baik. Namun karena kondisi wilayah yang
kompleks dengan berbagai masalah keamanan, keterbatasan dalam berbagai sarana dan
prasarana pendukung serta personil yang ada maka aksi teror masih sering terjadi.

Meskipun Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah telah berupaya melibatkan


masyarakat dalam upaya mengantisipasi ancaman terorisme akan tetapi pelaksanaannya
belum optimal karena sebagian besar masyarakat masih belum sepenuhnya memahami
sinyal-sinyal aksi terorisme. Di samping itu peranan organisasi-organisasi masyarakat
seperti LSM, LKMD, LMD dan organisasi-organisasi profesi belum dilibatkan secara
langsung oleh Pemerintah Daerah untuk bersama-sama mengantisipasi ancaman
terorisme. Eksistensi organisasi-organisasi kemasyarakatan yang berkomitmen pada
upaya mengantisipasi ancaman teror masih sangat minim jumlahnya, hal tersebut
menunjukkan masih rendahnya tingkat partisipasi masyarakat. Oleh karena itu diperlukan
Konsepsi Pembinaan teritorial dan langkah lebih optimal agar masyarakat betul-betul
memahami permasalahan terorisme dan dapat berpartisipasi secara aktif untuk bersama-
sama Pemerintah Daerah dalam perannya melawan ancaman terorisme tersebut.

Upaya pemberdayaan masyarakat untuk mengantisipasi ancaman terorisme


sejauh ini perlu diimplementasikan suatu program pemberdayaan masyarakat disetiap
daerah di tanah air. Program pemberdayaan masyarakat tersebut berbasis kemitraan
antara pemerintah beserta Aparatnya, organisasi-organisasi atau kelompok-kelompok
dalam masyarakat dan masyarakat itu sendiri. Pemerintah berperan dalam fungsinya
sebagai formulasi dan penetapan kebijakan (policy), implementasi, monitoring dan
evaluasi serta mediasi. Kelompok-kelompok masyarakat seperti LSM berperan dalam
kontribusinya pada formulasi yang ditetapkan oleh pemerintah, sedangkan masyarakat
berperan dalam partisipasinya pada formulasi yang ditetapkan pemerintah. Dapat
dikatakan bahwa kemitraan antara Pemerintah dan rakyat belum sepenuhnya dilakukan
khususnya dalam upaya penanggulangan ancaman terorisme.
6

Beberapa permasalahan yang dihadapi dalam proses pemberdayaan masyarakat


untuk mencegah aksi terorisme di Indonesia baik pada saat ini maupun pada waktu yang
akan datang diidentifikasikan sebagai berikut :

1. Pemahaman masyarakat. Pemahaman masyarakat umum terutama masyarakat


yang relatif jauh dari pusat informasi tentang terorisme masih rendah. Hal ini
menyebabkan masih adanya perbedaan pandangan masyarakat tentang terorisme
sehingga masyarakat dapat saja ragu untuk berpartisipasi jika melihat adanya sinyal-
sinyal terorisme dalam lingkungannya.

2. Program Pemerintah. Upaya mengikutsertakan masyarakat dalam mencegah aksi


terorisme yang dilakukan oleh Pemerintah dan lembaga-lembaga terkait masih belum
bersifat komprehensif dan terpadu serta belum terjalin dalam suatu kemitraan yang
sinergis. Upaya tersebut hanya bersifat persuasif semata.

Untuk menjawab semua permasalahan yang ada maka perlu adanya suatu konsep
untuk mencegah faham terorisme dan radikalisme dihadapkan dengan kondisi
masyarakat saat ini. Untuk itu penulis memiliki 8 (delapan) gagasan atau konsep yang
dapat menjadi bahan pertimbangan yakni:

1. Peningkatan peranan instansi terkait. Dalam setiap upaya pemberdayaan


masyarakat seperti dalam program pemberdayaan ekonomi dan sosial, terdapat catatan
bahwa instansi terkait terutama yang ada di daerah tingkat II (Kota/Kabupaten), belum
secara optimal menjalankan perannya. Hal tersebut umumnya terkait dengan persoalan
kelembagaan seperti birokrasi yang tidak praktis, kurangnya koordinasi diantara berbagai
instansi Pemda, kurangnya otonomi dinas serta kurangnya profesionalisme Aparatur. Oleh
karena itu dalam kerangka pemberdayaan masyarakat sehingga memiliki kemampuan
dalam mengantisipasi ancaman terorisme, perlu dilakukan langkah-langkah pada
tingkatan strategis dan kebijakan pemerintah sebagai berikut :

a. Pemerintah Pusat. Pemerintah Pusat dapat segera mengambil langkah-


langkah berikut :
1) Menyusun kerangka strategis yang lebih tegas dan bersifat
melengkapi strategi penanganan masalah terorisme di Indonesia yang
sudah ada dengan titik berat pada langkah-langkah atau tindakan preventif.
7

2) Kebijakan anggaran (budgets), bahwa pemerintah pusat sesuai


kemampuan yang ada agar mengalokasikan mata anggaran khusus untuk
mendukung kegiatan nasional sosialisasi program pemberdayaan
masyarakat dalam rangka mencegah aksi terorisme.
3) Kebijakan luar negeri, bahwa pemerintah pusat melimpahkan
kewenangan kepada Departemen Luar Negeri untuk meningkatkan
kerjasama internasional dalam memerangi teroris. Kerjasama dimaksud
terutama diarahkan untuk meningkatkan kompetensi aparatur keamanan
nasional agar lebih mampu mendeteksi kegiatan terorisme internasional.
4) Kebijakan operasional, bahwa dalam rangka menghadapi ancaman
kehadiran teroris asing di Indonesia, maka perlu ditingkatkan program untuk
mencegah kemungkinan berkembangnya benih-benih pasif terorisme.
Program dimaksud dilimpahkan kepada BIN (Badan Intelijen Nasional) dan
Departemen Kehakiman, dengan peranan-peranan bagi Dinas Imigrasi dan
Departemen Keuangan.

b. Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah dapat melakukan beberapa agenda


berikut :

1) Menjabarkan kebijakan strategis penanganan masalah terorisme di


Indonesia yang disusun oleh Pemerintah Pusat sehingga menjadi kebijakan
operasional sesuai dengan potensi masyarakat dan unsur pelaksana
pemberdayaan masyarakat yang ada di wilayah masing-masing. Penjabaran
kebijakan strategis tersebut mencakup tindakan-tindakan yang akan
dilaksanakan oleh Pemda, termasuk kegiatan pelatihan yang diperlukan dan
upaya evaluasinya agar kebijakan operasional penanganan terorisme dapat
berjalan sesuai dengan yang diharapkan oleh Pemerintah Pusat.

2) Pemerintah Daerah melalui arahan dari Pemerintah Pusat maupun


sesuai kemampuan ekonomi daerah, mengalokasikan dukungan pendanaan
dengan prioritas untuk pembiayaan dalam kegiatan memberikan
pemahaman/pengetahuan kepada masyarakat tentang terorisme.

3) Pemerintah Daerah memberikan dukungan yang diperlukan dalam


rangka peningkatan kerjasama internasional yang menjadi kebijakan
Pemerintah Pusat melalui Departemen Luar Negeri. Dukungan tersebut
8

dapat berupa usaha untuk menciptakan iklim yang kondusif, sehingga


masyarakat internasional tidak memiliki citra negatif terhadap situasi
keamanan nasional dan tidak ragu untuk melakukan kerjasama yang
diharapkan. Dukungan juga dapat berupa masukan-masukan kepada
Pemerintah Pusat tentang bentuk kerjasama internasional yang diperlukan,
sehingga kerjasama yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan dalam negeri
Indonesia.
4) Pemerintah Daerah terutama yang wilayahnya merupakan
perbatasan dengan negara lain memberi dukungan kepada Aparat
keamanan perbatasan seoptimal mungkin dalam rangka meningkatkan
kewaspadaan dan pengamanan pintu-pintu masuk antar negara terhadap
kemungkinan masuknya teroris asing ke wilayah Indonesia.

5) Menghimbau masyarakat luas melalui berbagai media massa milik


Pemerintah maupun swasta untuk meningkatkan kewaspadaan dan
kesiapsiagaan terhadap bahaya dan ancaman terorisme.

6) Memprakarsai terbentuknya suatu program pengembangan


kelembagaan kelompok dalam masyarakat yang konsisten terhadap upaya
penanggulangan terorisme terutama di daerah-daerah yang rawan ancaman
teroris. Lembaga-lembaga yang telah ada, misalnya di Jakarta terdapat
MPAT (Masyarakat Peduli Anti Terorisme) perlu dibina dan didukung baik
dalam bentuk pendanaan sesuai kemampuan Pemerintah, peralatan,
penyamaan persepsi tentang apa yang dihadapi, manajemen dan
sebagainya.

7) Membentuk badan Pusat Penanggulangan Krisis (Crisis Center) di


lingkungan Pemerintah Daerah. Bila sudah terbentuk maka perlu
ditingkatkan peranan dan kesiapsiagaan personil khusus yang tergabung
dalam Pusat Anti Terorisme dan Crisis Center tersebut yang dapat dihubungi
oleh masyarakat selama 24 jam. Pusat Anti Teror terdiri dari elemen-elemen
personil yang berasal dari Pemda (termasuk Dinas Pemadam Kebakaran),
Palang Merah Indonesia, Rumah Sakit, Kepolisian, Militer dan Intelijen serta
Personil milik Pemerintah Daerah.
9

8) Pemerintah Daerah mengerahkan masyarakat untuk aktif menjaga


keamanan di lingkungannya masing-masing seperti halnya dalam sistem
Hankamrata dan Siskamling.

9) Pemerintah Daerah bersama instansi vertikal dan horisontal secara


gencar mengadakan sosialisasi program-program pemberdayaan
masyarakat dalam mengantisipasi ancaman terorisme.

c. Kepolisian Republik Indonesia (POLRI). Kepolisian dapat mengambil


langkah-langkah aktif sebagai berikut :

1) Melalui Binmas yang ada ditingkat Kepolisian Sektor (Polsek),


mengaktifkan setiap personil Binmas guna melakukan pembinaan langsung
kepada masyarakat tentang bahaya dan ancaman terorisme dengan
prioritas pada upaya mendidik masyarakat untuk mengenali sinyal-sinyal
dari aksi terorisme.

2) Melengkapi unsur-unsur personil dan peralatan guna kepentingan


koordinasi terpadu secara vertikal maupun horisontal dengan lembaga-
lembaga yang ada dibawahnya mulai dari tingkat Polda sampai tingkat
Polsek sehingga secara cepat mampu mendeteksi sinyal-sinyal dari aksi
terorisme yang muncul dalam masyarakat maupun dalam rangka mengambil
tindakan yang diperlukan ketika ancaman teror berubah menjadi bahaya
nyata dalam masyarakat.

3) Mengirimkan personil terlatih untuk memberikan pendidikan dan


pelatihan yang diperlukan masyarakat secara individu maupun secara
kelompok dalam rangka pengamanan/penyelamatan dan proaktif
menstabilkan situasi krisis ketika bahaya terorisme mengancam
lingkungannya.

4) Mewujudkan kerjasama yang harmonis dengan elemen pengamanan


sipil di tempat-tempat publik seperti hotel, restoran, pasar swalayan maupun
pasar tradisional, sekolah, rumah sakit dan sarana publik vital lainnya.
10

5) Bersama-sama instansi Pemerintah Daerah untuk membentuk pusat-


pusat anti teror dan meningkatkan peran personil dan unsur kelembagaan
yang ada dibawahnya dalam rangka mengantisipasi ancaman terorisme.

d. Tentara Nasional Indonesia. Khususnya Aparat satuan Komando


kewilayahan dapat melakukan beberapa program kegiatan sebagai berikut :

1) Melalui Babinsa yang ada di tingkat Koramil, melakukan tindakan


proaktif terhadap pembinaan langsung masyarakat yang diarahkan untuk
memberi kesadaran pentingnya meningkatkan pertahanan dan keamanan
wilayah atau di lingkungan masyarakat dari bahaya terorisme.

2) Berupaya melengkapi unsur-unsur personil dan peralatan guna


kepentingan koordinasi terpadu secara vertikal maupun horisontal dengan
lembaga-lembaga yang ada di satuan-satuan Komando Wilayah (Kowil)
mulai dari tingkat Kodam hingga Koramil, sehingga secara cepat mampu
mengambil tindakan yang diperlukan ketika eskalasi aksi teror menjadi
semakin meningkat.

3) Mengirimkan personil pelatih untuk memberikan pendidikan dan


pelatihan yang diperlukan masyarakat secara individu maupun secara
kelompok dalam rangka meningkatkan ketahanan masyarakat dari setiap
ancaman yang muncul termasuk ancaman terorisme.

4) Meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan personil lapangan


agar setiap saat diperlukan dapat secara cepat mengatasi persoalan yang
mengancam keamanan nasional.

5) Bersama-sama instansi pemerintah daerah dan POLRI untuk


membentuk pusat-pusat anti teror dan meningkatkan peran personil dan
unsur kelembagaan yang ada dibawahnya dalam rangka mengantisipasi
ancaman terorisme maupun ancaman lain yang dapat mengganggu
stabilitas keamanan nasional.

2. Membentuk kemitraan terpadu. Kemitraan antara pemerintah, swasta dan lembaga


kemasyarakatan sejauh ini belum bersifat sinergis. Padahal upaya menciptakan
11

keberdayaan masyarakat merupakan tanggung jawab bersama antara Pemerintah,


swasta (termasuk organisasi kemasyarakatan baik sifatnya sebagai korporasi maupun
non-korporasi) serta masyarakat melalui mekanisme kemitraan yang selaras dan
seimbang. Tidak sinergisnya kemitraan tersebut ditunjukkan oleh adanya beberapa
catatan yang tidak baik mengenai jalinan kemitraan antara Pemerintah Daerah dengan
organisasi kemasyarakatan (Ormas) dalam hal pemberdayaan masyarakat. Pertama,
tersisihnya peranan masyarakat dan ormas-ormas yang ada di daerah, terutama ormas
yang dianggap tidak mewakili kepentingan pemerintah. Kedua, tipisnya kepedulian dari
Pemda mendayagunakan ormas untuk mendukung otonomi daerah. Ketiga, kecilnya
kepercayaan Pemda terhadap kemampuan ormas dan peranan masyarakat daerah untuk
mendukung kinerja Pemda. Keempat, organisasi-organisasi yang berada dibawah payung
Pemerintah tidak akan menemui kesulitan apapun ketika berurusan dengan birokrasi.
Kecenderungan ini berbeda dengan ormas-ormas non Pemerintah.

Oleh karena itu didalam pemberdayaan masyarakat untuk mencegah aksi


terorisme, perlu adanya kemitraan terpadu antara Pemerintah Daerah, POLRI, TNI serta
organisasi-organisasi massa baik yang berbentuk korporasi maupun non-korporasi.
Kemitraan tersebut terutama difokuskan pada sasaran untuk meningkatkan pemahaman
masyarakat akan ancaman terorisme dan merangsang masyarakat untuk aktif
berpartisipasi dalam mencegahnya. Adapun inisiatif Pemerintah Daerah untuk terjalinnya
kemitraan terpadu tersebut adalah sebagai berikut :

a. Pemerintah daerah memanfaatkan para pimpinan/ketua organisasi


kemasyarakatan untuk terbentuknya kemitraan dimaksud terutama organisasi
kemasyarakatan seperti berbagai kelompok LSM dan LKMD, organisasi profesi
seperti PGRI dan Gapensi, organisasi-organisasi yang bernaung dibawah panji
keagamaan dan partai politik, organisasi-organisasi yang berkomitmen pada
bidang pendidikan, olahraga dan kepemudaan, kesehatan dan lain-lain.

b. Pemerintah Daerah mensupport sarana informasi dan komunikasi minimal


yang diperlukan dalam kemitraan tersebut terutama saluran komunikasi telepon
dan perangkat peraga untuk kegiatan penyuluhan kepada masyarakat.

c. Pemerintah Daerah mengusahakan pendanaan program, baik yang


bersumber dari pendapatan daerah maupun dengan menggandeng institusi
korporasi di daerah.
12

d. Pemerintah daerah mengagendakan adanya pertemuan rutin minimal 3


(tiga) bulan sekali untuk mengevaluasi kegiatan yang dilaksanakan oleh setiap
pihak yang terlibat dalam program pemberdayaan masyarakat tersebut. Bila
terdapat informasi yang bersifat krisis yang perlu disampaikan, maka pertemuan
dapat berlangsung secara insidental.

e. POLRI mengintruksikan kepada POLDA dan segenap elemen kelembagaan


yang ada dibawahnya untuk mampu menjadi pembina masyarakat dan bersama-
sama Aparatur dan kelembagaan Pemda untuk menyatukan persepsi masyarakat
tentang konteks terorisme sebagai musuh yang patut diperangi oleh segenap
komponen bangsa.

f. POLRI menyusun kebijakan strategis dalam rangka pelaksanaan


pemberdayaan masyarakat terpadu dan selanjutnya ditindaklanjuti oleh Polda
dalam bentuk kebijakan operasional atau panduan yang mudah dipahami oleh
masyarakat dan organisasi massa dalam kaitannya dengan upaya-upaya yang
perlu dipersiapkan oleh masyarakat dalam rangka mengantisipasi ancaman
terorisme maupun dalam mengatasi situasi krisis yang terjadi di lingkungannya.

g. TNI menginstruksikan kepada satuan-satuan Kowil untuk menjalin kemitraan


terpadu dengan aparatur dan kelembagaan Pemda dan segenap elemen
masyarakat di daerah baik secara individu maupun kelompok.

h. TNI menyusun kebijakan dalam rangka pemberdayaan masyarakat dalam


mengantisipasi ancaman terorisme dengan titik berat pada tugas bantuan pada
Polri maupun Pemerintah dan selanjutnya ditindaklanjuti oleh satuan-satuan Kowil.

i. Organisasi massa diharapkan dapat berperan sebagai berikut :

1) Menjadi penyampai informasi atau komunikator kepada masyarakat


melalui personil-personil yang ada didalam wadah organisasi masing-
masing.
2) Menjadi saluran penyampaian informasi kepada Pemerintah (Aparat
keamanan) apabila terdapat informasi penting dari masyarakat mengenai
kegiatan terorisme.
13

3) Menjadi pendukung dalam pendanaan, peralatan, teknologi, tenaga


ahli dan keterampilan sejauh memungkinkan dan sesuai kemampuan.

j. Masyarakat diharapkan dapat berperan sebagai berikut:


1) Masyarakat menjadi aktif untuk menyampaikan informasi-informasi
sekecil apapun yang berkaitan dengan kegiatan terorisme atau ketika
melihat hal-hal yang mencurigakan yang dapat menimbulkan gangguan
keamanan.
2) Anggota masyarakat yang telah mengerti tentang bahaya terorisme
dan upaya pencegahannya dapat secara sinambung menginformasikan
kepada anggota masyarakat lain yang belum mengerti.

3. Peningkatan pemahaman masyarakat. Melalui kemitraan yang terbentuk seperti


dikemukakan pada poin 2 diatas, maka masing-masing pihak dengan dimotori oleh
Pemerintah Daerah (Gubernur dan Bupati/Walikota) berkomitmen untuk meningkatkan
pemahaman masyarakat terhadap ancaman terorisme dan upaya pencegahannya.
Adapun upaya yang dilakukan adalah melalui metode-metode yang telah dikemukakan
sebelumnya, namun dari beberapa metode yang ada dalam upaya meningkatkan
pemahaman masyarakat akan ancaman terorisme ini, ditekankan melalui tiga (3) metode
sebagai berikut :

a. Penyuluhan. Penyuluhan hendaknya dilakukan oleh Pemerintah Daerah


bersama-sama komponen organisasi masyarakat sampai ke tingkat-tingkat
desa/kelurahan dengan melibatkan unsur dari kemitraan yang terbentuk, termasuk
Aparat keamanan setempat. Dari pihak TNI terutama dilaksanakan oleh Babinsa
dan dari Kepolisian dilaksanakan oleh Binmas.

b. Kampanye melalui media massa. Dengan bekerjasama melibatkan pihak


pers perlu lebih aktif dilakukan kampanye tentang bahaya terorisme. Di dalam
kampanye, hendaknya melibatkan figur-figur publik, termasuk eks anggota teroris
kalau memungkinkan.

c. Media masa. Selain penyuluhan dan kampanye, penyampaian informasi


juga dapat dilakukan dengan penulisan artikel-artikel yang berkaitan dengan
pencegahan bahaya terorisme melalui berbagai media massa cetak, buku-buku,
14

buklet yang diberikan secara gratis atau melalui program acara dimedia elektronik
radio dan televisi.

4. Peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam kerangka pembangunan ekonomi


dan sosial harus disadari bahwa ada masalah struktural dalam perekonomian dan dalam
tatanan sosial yang memisahkan lapisan masyarakat maju yang berada di sektor modern,
serta masyarakat tertinggal yang berada disektor tradisional. Ketimpangan ekonomi
sebagaimana dimaklumi seringkali pula dijadikan alasan pelaku untuk pembenaran
tindakan terorisme. Oleh karena itu sangat penting dalam jangka panjang adalah upaya
memperkokoh ketahanan ekonomi masyarakat, baik di perkotaan maupun di pedesaan.

5. Peningkatan kerukunan hidup bermasyarakat. Untuk meningkatkan kerukunan atau


toleransi antar umat beragama, antar suku, ras dan adat istiadat terutama terkait dengan
upaya mengeliminir munculnya konflik komunal, maka tim pemberdaya (Pemerintah
Daerah, POLRI, TNI dan pihak lain yang terlibat) dapat menempuh upaya-upaya sebagai
berikut :

a. Peningkatan keimanan dan ketaqwaan. Upaya peningkatan keimanan dan


ketaqwaan sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing dapat
dilakukan antara lain melalui media dakwah, peningkatan sarana dan prasarana
ibadah serta pembinaan mental keagamaan melalui institusi pendidikan.

b. Peningkatan upaya dialogis antar pemuka agama dan tokoh masyarakat.


Hendaknya di masing-masing Daerah Tingkat I dan Tingkat II terdapat agenda rutin
yang dimotori oleh Pemerintah Daerah dan elemen masyarakat setempat untuk
terjadinya dialog antar pemuka agama dan antar pemuka masyarakat, terlepas dari
ada tidaknya konflik berlatar SARA yang terjadi.

c. Adat Istiadat. Masing-masing daerah dapat saling mengenal budaya dan


adat istiadat serta budaya yang berlaku. Hal tersebut salah satunya dapat
dilakukan melalui pagelaran budaya tradisional di tiap-tiap daerah baik bersifat rutin
maupun situasional.

6. Peningkatan kesadaran hukum dan bela negara. Sebagaimana telah menjadi cita-
cita luhur bangsa Indonesia, bahwa tugas menjaga perdamaian dan keamanan tanah air
adalah tanggung jawab semua bangsa Indonesia. Oleh karena itu masyarakat harus
15

memiliki kesadaran yang tinggi terhadap hukum dan kesadaran untuk membela tanah
airnya dari setiap ancaman yang dapat merusak persatuan dan kesatuan serta keamanan
bangsa. Untuk maksud tersebut di atas, maka upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh tim
pemberdaya (Pemerintah Daerah, POLRI, TNI dan pihak lain yang terlibat) adalah
sebagai berikut :

a. Melaksanakan koordinasi dan sosialisasi dengan memanfaatkan tokoh


masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda, tokoh adat dan tokoh-tokoh lain yang
dianggap berpengaruh dalam kehidupan sosial kemasyarakatan untuk
meningkatkan pemahaman masyarakat tentang hukum dan bela negara.
Sosialisasi dan pemahaman tersebut meliputi antara lain adalah :

1) Wawasan Kebangsaan. Wawasan kebangsaan merupakan cara


pandang mendasar dan komprehensif bagi bangsa Indonesia berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945 mengenai diri dan lingkungannya, mengutamakan
persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah, meningkatkan
kesejahteraan dan melindungi segenap bangsa serta berperan aktif dalam
pergaulan dunia. Melalui kesadaran dan pengembangan wawasan
kebangsaan akan tercipta budaya bela negara yang bermuara pada kualitas
manusia Indonesia yang patriotik religius dan religius patriotik.

2) Sosialiasi pentingnya meningkatkan ketahanan nasional


sebagaimana yang dinyatakan dalam Undang-Undang No. 3 tahun 2000
tentang Pertahanan Negara yang merupakan kemampuan dan kekuatan
menanggung beban, kuat menderita, ulet dalam usaha yang terus menerus.

3) Sosialisasi peraturan-peraturan atau hukum-hukum yang mengatur


berbagai aspek kehidupan masyarakat. Misalkan pentingnya sosialisasi
tentang Undang-Undang No. 15 tahun 2003, dimana dalam kenyataannya
banyak masyarakat yang tidak tahu tentang sejauh mana akibat hukum yang
akan diterimanya apabila melakukan tindakan teror atau bahkan tidak
mengerti tentang batasan-batasan teror menurut Undang-Undang.

b. Meningkatkan partisipasi dan kesadaran masyarakat dalam berbangsa dan


bernegara. Dengan menyadari akan kebhinekaan bangsa Indonesia, maka
diharapkan semakin tinggi rasa nasionalisme dari masyarakat untuk menghindari
16

perpecahan dan disintegrasi bangsa serta menumbuhkan kebanggaan sebagai


bangsa Indonesia dan selanjutnya menumbuhkan kesadaran untuk bela negara.

c. Meningkatkan upaya untuk melestarikan nilai-nilai budaya bangsa yang


tinggi sehingga akan selalu dapat menangkal terhadap pengaruh dari berbagai
budaya yang tidak sesuai dengan norma kebudayaan bangsa Indonesia.

d. Berupaya meningkatkan pencegahan terhadap isu-isu yang dapat


menyesatkan dan merugikan masyarakat melalui isu SARA sebagai isu politik yang
dapat membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.

7. Peningkatan ketahanan masyarakat. Hal sangat penting lainnya dalam


pemberdayaan masyarakat untuk mengantisipasi ancaman terorisme adalah dengan
terus menerus meningkatkan ketahanan di lingkungan masyarakat. Sebagai kekuatan
cadangan yang potensinya sangat besar, maka upaya yang dapat dilakukan oleh tim
pemberdaya (Pemerintah Daerah, POLRI, TNI dan pihak lain yang terlibat) adalah
sebagai berikut :

a. Mengaktifkan peranan kelembagaan pertahanan sipil yang ada di tiap-tiap


RT/RW untuk melaksanakan ronda malam dengan mengikutsertakan masyarakat
secara bergiliran. Selama ini kegiatan ronda malam biasanya hanya dilaksanakan
pada saat-saat tertentu saja, misalnya pada saat menjelang peringatan HUT RI,
Pemilu atau momen-momen penting dan bersejarah lain bagi bangsa Indonesia.
Dengan keadaan tersebut maka seringkali masyarakat lengah sehingga seringkali
pula terjadi gangguan keamanan dalam masyarakat.

b. Meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pentingnya kesiagaan di


tempat-tempat umum seperti bandar udara, pelabuhan laut, terminal, hotel, mal-
mal, rumah sakit dan tempat-tempat publik lainnya. Sistem standar minimal
keamanan lokal seperti yang telah diberlakukan hingga saat ini hendaknya tetap
ditingkatkan operasionalnya. Personil-personil keamanan sipil yang ada di tempat-
tempat umum hendaknya diberi pelatihan yang memadai untuk mengantisipasi dan
menanggulangi kemungkinan terjadinya kondisi krisis.

c. Memberi pemahaman kepada masyarakat untuk selalu siap apabila terjadi


kondisi darurat. Dalam penyampaian tentang hal tesebut, diupayakan dengan cara
17

yang bijaksana, jangan sampai menimbulkan ketakutan dalam masyarakat.


Masyarakat didorong untuk memiliki kemampuan menghadapi kondisi krisis,
menyediakan nomor-nomor penting dari lembaga-lembaga setempat seperti polisi,
rumah sakit, pemadam kebakaran dan crisis center lainnya. Selain itu masyarakat
diharapkan memiliki alat-alat pemadam kebakaran sederhana dan perlengkapan
P3K dan diberikan pemahaman bagaimana cara penggunaan alat-alat P3K
tersebut.

8. Peningkatan kesadaran berpolitik. Persoalan politik seringkali pula memicu


munculnya permasalahan keamanan, bahkan teror dalam masyarakat. Hal tersebut selain
karena adanya pihak-pihak tertentu yang dengan sengaja memobilisasi massa untuk
tujuan politiknya, juga karena lemahnya pemahaman politik pada sebagian besar
masyarakat. Oleh karena itu pendidikan politik bagi masyarakat, terutama masyarakat
yang jauh dari pusat-pusat informasi sangat perlu untuk dilakukan. Upaya yang dapat
ditempuh oleh tim pemberdaya (Pemerintah Daerah, POLRI, TNI dan pihak lain yang
terlibat) di antaranya adalah sebagai berikut :

a. Memanfaatkan tokoh-tokoh dari partai politik sekaligus lembaga politiknya


untuk mendidik masyarakat baik melalui media massa maupun dengan kegiatan
penyuluhan politik, bekerjasama dengan Aparat Pemerintah setempat.

b. Memberi keteladanan kepada masyarakat, di mana para pemangku jabatan


politik dan Aparatur Pemerintah harus dapat menjadi teladan bagi masyarakat.
Stigma masyarakat tentang politik saat ini umumnya terkait dengan permasalahan
KKN, politik adu domba, permainan curang dan sebagainya. Oleh karena itu hal-hal
tersebut terus menerus harus diberantas meskipun disadari memang tidak mudah.

Demikianlah yang dapat disampaikan penulis sebagai bahan dalam pembahasan


Konsepsi Binter dalam rangka mencegah faham terorisme dan radikalisme semoga kita
dapat mengambil langkah dan tindakan yang tepat dalam menangani segala bentuk
ancaman teror yang akan datang.

Cimahi, Agustus 2019


Penulis

Catur Kurniawan Putra


Nosis 19D1134

TERBATAS
TERBATAS

Anda mungkin juga menyukai