Anda di halaman 1dari 6

Politik Militer Indonesia 1945 – 1967 Menuju Dwi Fungsi ABRI

Judul : 
Politik Militer Indonesia 1945 – 1967 Menuju Dwi Fungsi ABRI

Judul asli :
Read to Power : Indonesian military

Penulis :
Ulf Sundhaussen

Penerjemah :
Hasan Basari

Penerbit :
LP3ES

Tebal :
xv + 504 halaman

Tahun terbit :
1988
Cetakan ke-2

Intervensi militer terhadap politik

Intervensi berasal dari Bahasa Inggris yaitu intervene yang berarti campur tangan. Intervensi militer
adalah penggantian kebijakan dan kaum pemerintah sipil dengan kebijakan dan kaum militer.
Menurut Huntington (hal.442) intervensi militer dalam politik bukan hal-hal militer melainkan politik.
Dengan kata lain sistem politiknya berasal dari peraturan-peraturan atau tata cara militer. 

Tidak ada satu pun golongan yang menyatakan bahwa mereka melakukan suatu tindakan demi
kepentingan mereka sendiri. Landasannya selalu kepentingan nasional. Militer punya kedudukan
istimewa dalam menggunakan landasan ini. Mereka berada di luar politik gabungan. Tugas mereka
adalah tugas negara, dan keberadaannya memang dimaksudkan khusus untuk membela negara.

Lembaga kemiliteran merupakan simbol kemerdekaan dan kedaulatan yang paling menonjol.
Lebih dari lembaga - lembaga masyarakat lainnya, lembaga kemiliteran diliputi oleh ide nasional.
Setiap latihan militer menekankan identitas nasional dan patriotisme. Jadi apabila mereka
mengintervensi dengan alasan kepentingan nasional, orang lebih mudah percaya.

Pada beberapa negara berkembang yang belum stabil, memang keterlibatan militer dalam
pemerintahan dan pembangunan sulit dihindari. Terutama pada negara-negara yang baru
saja merdeka dari penjajahan atau pendudukan negara lain. Misalnya Irak. Beberapa
ilmuan memandang bahwa keadaan yang terjadi di Irak merupakan tahapan awal untuk
modernisasi dan pembangunan politik di wilayah tersebut. Terdapat suatu kebiasaan yang
berkepanjangan yaitu dengan melakukan kudeta atau intervensi militer yang berulang-ulang dalam
negerinya. Misalnya Thailand. Selama 65 tahun sejak 1932 hingga kini (2008), militer di Thailand
tetap menjadi kekuatan yang berperan penting dalam kehidupan negaranya. Menurut koran SINDO
(30/12 2008), militer disana tidak kurang dari 24 kali melakukan kudeta. 

Dengan menggunakan pendekatan kekerasan fisik dan unsur-unsur militeristik 


lainnya, TNI leluasa merampas hak-hak masyarakat sipil, khususnya berhubungan dengan hak
mengemukakan pendapat, berkumpul dan berserikat.

Kesempatan untuk intervensi datang apabila pemerintah sipil terlalu bergantung pada militer, ataupun
ketika negeri dilanda krisis, dan kesempatan militer untuk intervensi dapat juga timbul karena
vakumnya kekuasaan. Berkurangnya dukungan masyarakat terhadap pemerintah, dan bertambahnya
harapan pada militer, menciptakan kesempatan bagi militer untuk konsolidasi (memperkuat)
pengaruhnya dalam kekuasaan negara. 

Dalam suasana yang kondusif untuk mengembankan demokrasi, kudeta merupakan tindakan yang
memalukan karena hal itu adalah cara-cara yang 
tidak sah dan inkonstitusional merebut kendali kekuasaan (Alfan Afian, 2000).

Artinya : “(Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat)nya dan bertakwa,
maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.” (Q.S Ali Imran : 76)

Islam memang tidak menekankan pembedaan dan pemisahan institusi sipil dan militer. Tapi, itu tidak
berarti Islam menganggap keduanya sama atau satu. Dalam Alquran dan hadis, dan juga dalam
karya-karya fukaha terdahulu, ditemukan bahwa hanya pemerintah sah yang berhak memimpin umat
(nasional-m@polarhome.com diakses tanggal 2 April 2008). Alquran secara tegas menyebutkan
bahwa baghi (pemberontakan melawan pemerintah sah) adalah haram. Demikian juga kudeta.

Artinya : “orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan
hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah beserta
orang-orang yang bertakwa.” (Q.S At-Taubah : 123)

Namun menurut Armein Daulay, sistem politik yang dikuasai militer itu tidak menyalahi aturan apabila
rakyatnya merasa cocok dan menerima cara itu. Seperti menerima Soeharto sebagai presiden
karena rakyat telah lelah mengalami stagnasi ekonomi pada massa Soekarno. Walaupun perebutan
caranya dengan menggunakan supersemar (kudeta tak berdarah).

Dalam kultur politik rendah, Intervensi militer berlangsung secara terang-terangan. Baik penggeseran
anggota kabinet sipil maupun penggusuran seluruh kabinet sering dilakukan. Itulah yang terjadi di
Pakistan. Militer secara sengaja tidak melindungi pemerintah sipil terhadap kekerasan. Mereka
mengancam tidak mau bekerjasama. Sesekali mereka juga menggunakan kekerasan untuk
mencapai tujuannya. 

Pada tahun 1999 Jendral Musharraf mengambil alih kekuasaan melalui kudeta yang melengserkan
Perdana Menteri Nawaz Sharif. Tahun 2001 Musharraf resmi diangkat sebagai presiden Pakistan.
Selama masa jabatannya, ia berulang kali memanfaatkan Dinas Rahasia (MI) untuk merekayasa
hasil pemilu sehingga ia dapat mempertahankan kedudukannya (www.ensiclopedia.com diakses
tanggal 2 April 2008). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kultur politik yang sangat rendah
tidak mempedulikan legitimasi. Intervensi militer berlangsung secara terbuka, intensif, dengan
metode dan tipe rezim yang sama seperti pada masyarakat kultur politik rendah.
Campur tangan militer terhadap politik di Indonesia
Pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaannya. Namun
demikian, tidak berarti dalam prakteknya Indonesia sudah bebas dari Belanda dan bisa memberi
perhatian sepenuhnya pada pembangunan bangsa. Faktor kemerdekaan menjadikan awal
keterlibatan militer Indonesia dalam peran politik.
Pada tanggal 10 November 1946 diadakan perundingan antara Belanda-Indonesia didaerah
Linggarjati (sebelah selatan Cirebon) yang membuahkan suatu perundingan yang bernama
Perundingan Linggarjati. Hasil perundingan tersebut adalah:
a)Belanda mengakui secara de facto (nyata) Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang
meliputi Sumatra, Jawa dan Madura.
b)Republik Indonesia dan Belanda akan bekerjasama dalam membentuk negara Indonesia Serikat
dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS).
c)Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda. (Muchtar S.P,
1999:52)

Namun, hasil dari Perundingan Linggarjati tidak dilaksanakan dengan baik, karena Belanda
berpendapat bahwa sebelum RIS terbentuk, hanyalah Belanda yang berdaulat penuh diseluruh
Indonesia dan pemerintah RI berpendapat bahwa sebelum anggota RIS terbentuk kedudukan de
facto RI tidak berubah. Oleh sebab itu, Belanda dua kali melancarkan agresi yaitu agresi militer
Belanda I (21 Juli 1947) dan agresi militer Belanda II (8 Desember 1947). 

Ketika agresi militer Belanda II berhasil melumpuhkan pemerintah sipil dengan menahan presiden,
wakil presiden dan beberapa perdana menteri, maka untuk mempertahankan eksistensi NKRI, TNI
membentuk pemerintahan darurat militer untuk mengganti operasionalisasi pemerintahan sipil yang
lumpuh.

Saat itu kebijaksanaan diplomasi sudah mati dan kabinet tidak mampu lagi untuk menyelesaikan
konflik dengan cara politik, maka negara harus mengandalkan tentara untuk menyelesaikannya
secara militer. Maka para perwira menyusun strategi militer yang tak hanya akan mencegah Belanda
mencapai kemenangan militer tapi yang pada akhirnya akan memaksa Belanda untuk mengalah.
Dan perjuangan mereka dibidang militerlah yang pada akhirnya memaksa Belanda untuk mengakui
kemerdekaan Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar pada 23 Agustus 1949 di Den Haag,
Belanda.
Militer Indonesia membentuk dirinya sendiri melalui perjuangan kemerdekaan melawan penjajahan
Belanda. Perjuangan mendapatkan kemerdekaan membuatnya melakukan kegiatan keseluruhan,
tidak hanya bertempur secara fisik akan tetapi terlibat dalam penyusunan strategi pendirian bangsa
Indonesia. Namun setelah kondisi kembali normal, TNI menyerahkan kembali fungsi
pemerintahansipilitu.
Semenjak tahun-tahun pertama Republik Indonesia berdiri, para perwira militer Indonesia
sebenarnya sudah mempunyai kecenderungan untuk berpolitik sebagai prajurit revolusioner.
Kecenderungan ini semakin kuat setelah pada tahun-tahun berikutnya mereka harus mengatasi
bukan hanya ancaman dari luar ( Belanda ) tetapi juga mengatasi peristiwa politik yang kritis, yaitu
pemberontakan komunis di Madiun pada tahun 1948.
Penggalan sejarah kemerdekaan menjadi legitimasi menjadikan militer tidak hanya menjadi
instrumen pertahanan bangsa dari gangguan kekuatan luar, akan tetapi menjadi bagian penting
dalam Indonesia political decision making. (www.kontras.com diakses tanggal 2 April 2008).
Di Indonesia campur tangan politik militer ke dalam wilayah politik sudah terjadi sekian lama dan
pada kenyataannya memang menyebabkan proses demokratisasi menjadi terhambat bahkan mati. 

Salah satu upaya yang ditempuh untuk membangun demokrasi adalah menjauhkan kekuatan militer
dari urusan-urusan politik, mengembalikannya ke barak, dan menjadikannya sebagai alat negara
yang profesional. Tetapi, pada kenyataannya, upaya ini bukanlah sesuatu yang mudah. Terutama di
negara-negara sedang berkembang, militer menampakkan hasrat yang sangat kuat untuk tetap
melakukan intervensi politik. Militer dengan pengetahuan dan keahlian profesionalnya menjadi
pelindung tunggal negara. Sebab itu, di negara-negara yang telah maju, militer berada di bawah
supremasi sipil. 

Sistem politik yang telah mapan, pendapatan per kapita yang tinggi, tingkat industrialisasi yang tinggi,
ditambah dengan kesadaran politik dan hukum rakyat yang tinggi telah mengurangi kemungkinan
terjadinya intervensi militer. Hal ini bukan berarti bahwa di negara-negara maju tidak ada
keikutsertaan militer dalam politik. Militer tetap ikut berpolitik dalam proses pembuatan kebijakan
politik, seperti pembuatan kebijakan politik luar negeri dan pertahanan. 

Militer juga ikut dalam mengatasi masalah-masalah sosial ekonomi yang dihadapi oleh negara-
negara maju, seperti aktivitas sosial untuk menanggulangi bencana alam atau bencana lainnya.
Namun demikian, kadar keikutsertaan militer dalam politik itu amatlah rendah. Keikutsertaannya
dalam bidang-bidang nonmiliter hanyalah menjalankan fungsi bantuan yang bersifat sementara dan
dalam kondisi darurat. Jadi, militer sangat diperlukan dalam sebuah negara. Negara kuat jika
mempunyai kekuatan militer yang hebat dan bisa diandalkan. Tetapi kekuatan militer ini berada
dalam frame work sebagai alat negara yang profesional yang tidak turut campur dalam masalah-
masalah politik dan menyerahkan sepenuhnya menjadi otoritas sipil. 

Menurut UU TNI pasal 2 ayat (4), Jati diri Tentara Nasional Indonesia adalah : Tentara Profesional,
yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis,
dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip
demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional
yang telah diratifikasi. 

Undang-undang tersebut menjelaskan bahwa militer tidak diperkenankan untuk berpolitik praktis.
Tetapi sesuai UU TNI Pasal 7 ayat (2), yang berisi bahwa tugas pokok TNI adalah operasi militer
selain perang, yaitu beberapa diantaranya adalah untuk mengatasi gerakan separatis bersenjata dan
mengatasi pemberontakan bersenjata. Dalam hal ini, militer tidak dapat disalahkan untuk campur
tangan dalam perpolitikan negara. Sebagaimana yang disampaikan oleh Claude Welch dan Arthur
Smith, bahwa pada dasarnya tidak ada angkatan bersenjata yang tidak berpolitik. Tiap angkatan
bersenjata mempunyai saham dalam sistem politik negaranya.

kekurangan dan kelebihan buku politik militer Indonesia :


A.Kelebihan buku
secara umum tampilan buku ini sangat menarik, cerita penulis tentang sejarah perpolitikan Indonesia
yang dilakukan oleh militer sejak zaman pra-kemerdekaan dari awal secara berurutan.
Buku ini berusaha mengembangkan pemikiran pembaca untuk dapat berpikir rasional dan kritis.
Buku ini menyertakan beberapa kutipan tulisan dan artikel dari beberapa tokoh pergerakan serta
surat kabar dan buku-buku yang masih relevan pada saat buku ini ditulis.
Dengan membaca buku ini, kita diajak menjelajah sejenak pada awal masa kemerdekaan Indonesia
ketika militer melakukan intervensi terhadap perpolitikan Indonesia.
Dalam buku ini (hal. 442), penulis memodifikasi teori Huntington dan Finer dengan menawarkan
penjelasan bahwa hubungan sipil-militer itu kurang demokratis.
Penulis mengembangkan pendekatan dengan menelusurinya didalam dan luar negeri, dengan
mereview persoalan-persoalan teoritis dilapangan dan menganalisa berbagai strategi melalui
perspektif kaum sipil.

B.Kekurangan buku
Buku ini dapat dikategorikan sebagai buku yang mempunyai materi berat dan berbobot. Tidak semua
orang langsung dapat mencerna isi dari buku ini.
Dalam buku ini terdapat istilah-istilah asing yang tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Sehingga dapat mengurangi tingkat pemahaman pembaca. Beberapa diantaranya yaitu Zulfalls-
regierungen (hal.58), fait accompli (hal.464), psywar (hal.153), primus inter pares (hal.296), dan sikap
reichswehr (hal.156). 

Buku “Politik Militer Indonesia 1945 – 1967 Menuju Dwi Fungsi ABRI” ini sudah tidak relevan lagi di
Indonesia sejak bergulirnya pemerintahan Soeharto (1998). Meskipun kini (2008) Militer sudah tidak
punya lagi kemauan maupun kemampuan untuk terlibat lagi dalam praktik politik praktis, apalagi
untuk kembali berkuasa dan mendominasi seperti terjadi di masa pemerintahan Orde Lama dan Orde
Baru. Suasana saat ini juga sudah tidak lagi memungkinkan militer kembali berkuasa mengingat
keadaannya sudah jauh lebih terbuka dan transparan jika dibandingkan dengan di masa lalu.

Datangnya era reformasi (1998) merupakan peluang untuk membenahi TNI secara lebih tepat dalam
tatanan kehidupan nasional bangsa Indonesia. Untuk itu TNI melakukan reformasi internal sebagai
bagian dari reformasi nasional, yaitu dengan melaksanakan tiga komitmen TNI. Pertama prinsip
supremasi sipil yaitu TNI hanya bagian sistem demokrasi yang harus dibangun. Kedua prinsip
pemberdayaan fungsi-fungsi yang ada yaitu TNI melepas dominasinya dalam penyelenggaraan
kehidupan berbangsa, dan terakhir prinsip supremasi hukum.

Prasyarat utama untuk mewujudkan demokrasi adalah menghapus seluruh pranata militer yang
dikenal sebagai dwifungsi ABRI dan struktur teritorial militer. Secara resmi, alasan untuk menghapus
kedua hal itu tertuang dalam TAP MPR Nomor VI tahun 2000 tentang Pemisahan Institusi TNI dan
Polri yang menyatakan bahwa : “peran sosial politik dalam Dwi-fungsi ABRI menyebabkan terjadinya
penyimpangan peran dan fungsi TNI dan POLRI yang berakibat tidak berkembangnya sendi-sendi
demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.”

Sekarang format hubungan sipil-militer berangkat dan dilandasi nilai moral dan sikap mental yang
mencerminkan saling menghargai, saling mempercayai dan kehendak yang kuat untuk bekerja sama.
Militer menghargai kewenangan sipil, tunduk kepada hukum dan sistem nasional, serta bersikap non
partisipan dalam arti tidak memihak salah satu parpol dan tidak melibatkan diri dalam politik praktis.
Sebaliknya sipil menghargai tentara nasional sebagai komponen yang sah dalam negara demokrasi;
menghargai dan mendukung peran dan misi TNI; memahami masalah pertahanan dan budaya
militer; tidak mencampuri operasional dan manajemen internal ketentaraan; dan merasa memiliki
tentara nasional.

Walaupun presiden Indonesia saat ini (Susilo Bambang Yudhoyono) seorang mantan militer. Namun
beliau tidak menerapkan militerisasi dalam sistem pemerintahan Indonesia. Hal itu disebabkan
karena katika ia berada dalam militer, ia menerapkan militerisme akan tetapi ketika ia menjabat
sebagai kepala negara, ia dapat bersifat netral (bersikap profesional). 

Jika reformasi nasional telah menjadikan tiga komitmen TNI tersebut berfungsi dengan baik, tentu
tidak perlu muncul kekhawatiran adanya intervensi, apalagi kudeta militer di negeri ini. Hal itu karena
komitmen reformasi internal dan netralitas TNI cukup jelas. Sementara, produk perundang-undangan
yang ada juga menutup peluang kembalinya TNI dalam politik praktis. Jadi dapat dikatakan bahwa
progres reformasi nasional dalam membangun sistem politik, hukum dan demokrasi yang kokoh
merupakan benteng utama untuk menepis kekhawatiran dan keraguan bangsa ini. 

Meskipun saat ini di Indonesia, militer tidak lagi melakukan intervensi terhadap politik. Tetapi ada
suatu budaya perpolitikan Indonesia yang baru yaitu adanya pergeseran peran ulama menjadi politisi.
Tidak hanya itu, kini beberapa artis ibukota pun berlomba-lomba untuk melakukan politik praktis.
Contohnya seperti, Dede Yusuf, Mat Solar, Rieke Dyah Pitaloka, Rano Karno dan Adjie Masaid.
Banyaknya artis yang masuk atau berpindah partai politik hanya merupakan pertunjukan politik yang
mengandalkan popularitas figur sehingga tidak akan berguna bagi masa depan partai. Gejala ini
merupakan siasat mencari dukungan terhadap parpol dengan mengandalkan popularitas figur yang
dikenal masyarakat karena artis selama ini memang memiliki nilai tinggi yang diharapkan mampu
mempengaruhi masyarakat khususnya menyalurkan aspirasi politik mereka. 

Diposting oleh fitriadi 16.56

Tidak ada komentar:


Posting Komentar
Posting Lebih BaruPosting LamaBeranda
Langganan: Posting Komentar (Atom)
rahma

ARSIP BLOG

 ▼  2008 (4)
o ►  Mei (2)
o April Resensi buku Politik Militer Indonesia 1945 – 1967... 

Anda mungkin juga menyukai