Anda di halaman 1dari 79

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN TINDAK


PIDANA TERORISME ANTARA INDONESIA DAN MALAYSIA
(ANALISIS TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003
TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME DAN
INTERNAL SECURITY ACT MALAYSIA TAHUN 1960)

Penulisan Hukum

(Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk

Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1

dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret


Surakarta

Oleh

Lis budi qurnianti

NIM. E0006157

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2010
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban


serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara
karena terorisme termasuk kejahatan bersifat internasional yang menimbulkan
bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan
masyarakat. Aksi teroris telah menjadi fenomena dunia secara luas yang
memiliki mata rantai internasional, baik secara organisatoris maupun dalam
tingkatan kelompok kecil di suatu negara apapun tujuannya. Mereka
melakukan kegiatannya dengan bertukar senjata, bertemu dalam suatu
perencanaan operasi, penggunaan wilayah, dan penyiapan perlengkapan
administrasi yang berupa dukungan logistik secara individu ataupun
kelompok. Aktivitas teroris tersebut dilakukan dengan berbagai variasi dalam
manifestasi mereka, seperti penculikan, pemaksaan, pembajakan,
penyanderaan, pemerasan, pembunuhan, dan peledakan bom di seluruh dunia.
Aksi kekerasan yang digunakan cenderung dijadikan sebagai objek atau trend,
baik untuk usaha pemerasan, ataupun tuntutan lain yang relevansinya dengan
perolehan finansial atau hanya sekadar ancaman.

Perkembangan paling penting dalam terorisme internasional adalah


bantuan, pembelaan, dan pembiayaan yang dilakukan oleh beberapa negara
dengan menyediakan fasilitas perlindungan untuk teroris termasuk pemalsuan
dokumen/paspor. Bantuan inilah yang memudahkan teroris untuk keluar
masuk ke suatu negara dalam melakukan kegiatan terornya dan menjadikan
aparat kesulitan dalam melacak teroris dan jaringannya. Pinkerton Risk
Assesment of the USA telah mengkalkulasi bahwa serangan teroris di seluruh
dunia cenderung meningkat (Adjie. S, 2005 : xiv). Hal tersebut dapat
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

diketahui dalam catatan setiap tahunnya, sejak pengeboman World Trade


Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi pengeboman
yang meruntuhkan gedung kembar itu dan memakan 3000 korban tanggal 11
September 2001. Selain itu aksi peledakan bom mobil, bom bunuh diri juga
meningkat tajam bahkan korban dari aksi peledakan bom juga meningkat
tajam. Terorisme memang menjadi pembahasan yang sangat hangat setelah
Amerika menjadi korban terorisme pada peristiwa black September 2001 yang
meruntuhkan gedung kembar yang merupakan simbol Amerika, di mana
jaringan Al-Qaeda di bawah pimpinan Osama Bin Laden yang diduga menjadi
pelaku atau bertanggungjawab atas “September Hitam”.

Dalam konteks Indonesia, persoalan terorisme menjadi titik perhatian


pada saat terjadi peledakan bom di Paddy’s Cafe dan Sari Club, Legian, Kuta,
Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 (Bom Bali I). Tragedi peledakan bom
tersebut telah menyebabkan Indonesia menjadi sorotan publik internasional
mengingat banyaknya korban yang berjatuhan merupakan orang asing yang
sedang berlibur di Pulau Bali. Adanya peledakan tersebut menjadi indikator
bahwa sebuah jaringan teroris telah masuk ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia dan telah menghancurkan citra Indonesia di mata dunia.
Teror ini pun dikategorikan teror terbesar di Indonesia dari serangkaian teror
yang terjadi di Indonesia dilihat dari banyaknya korban, kerusakan sarana dan
prasarana, serta dampak sosial, ekonomi, dan pariwisata yang dialami.

Serangkaian bom lain yang meledak di Indonesia sudah cukup


panjang. Bermula, dengan ledakan bom di depan kediaman Dubes Filipina (1
Agustus 2000), Bursa Efek Jakarta (13 September 2000), serangkaian
pengeboman pada malam Natal (Desember 2000), Bom Bali I (12 Oktober
2002), ledakan di restoran McDonald, Makasar (5 Desember 2002), ledakan
bom di depan Hotel J.W. Marriott (5 Agustus 2004), bom di salah satu kafe
karaoke yang terletak di Poso (10 Januari 2004), bom di depan Kedutaan
Australia di Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan (9 September
2004), bom di Pasar Tentena (28 Mei 2005), bom Bali II (2 Oktober 2005),
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dan yang terakhir adalah bom yang meledek di Hotel J.W Marriott dan Hotel
Ritz Carlton (17 Juli 2009). Bom yang meledak di depan Hotel J.W. Marriott
tanggal 5 Agustus 2003, pada jam sibuk siang hari telah menewaskan 12
orang dan mencederai 149 lainnya (termasuk dua warga negara Amerika
Serikat) (Adjie S, 2005 : 437).

Untuk itu penanganan pemberantasan terorisme perlu dilakukan secara


terkoordinasi lintas instansi, lintas nasional, dan secara simultan bersifat
represif, preventif, preemtif, maupun rehabilitasi
(http://buletinlitbang.dephan.go.id/, Surakarta, 12 Maret 2010). Pencegahan
dan pemberantasan terorisme dilakukan tidak hanya melibatkan satu pihak
saja, melainkan membutuhkan kerjasama seluruh pihak termasuk masyarakat.
Kebijakan dan langkah antisipatif yang bersifat proaktif atas dasar kehati-
hatian sangat diperlukan karena pemberantasan terorisme tidak semata-mata
merupakan masalah hukum dan penegakan hukum. Pemberantasan tindak
pidana terorisme juga merupakan masalah sosial, budaya, dan ekonomi yang
berkaitan erat dengan masalah ketahanan bangsa. Selain itu, kebijakan dan
langkah pemberantasan terorisme juga ditujukan untuk memelihara
keseimbangan dalam kewajiban melindungi kedaulatan negara, hak asasi
korban dan saksi, serta hak asasi tersangka/terdakwa.

Terorisme bukan hanya ancaman bagi kedamaian dan keamanan di


Indonesia, melainkan ancaman bagi kedamaian seluruh negara termasuk
Malaysia. Kenyataan adanya perang tidak simetris memerlukan kita secara
dramatis untuk mempertimbangkan lagi bagaimana kita harus menghadapi
ancaman terorisme internasional (The reality of such asymmetric warfare
required us to dramatically reconsider how we should confront the threat of
international terrorism (Michael B. Mukasey. 2008. “National Security and
The Rule of Law”. Harvard Journal of Law and Public Policy. Vol. 32, No.
3.). Meskipun demikian, tiap-tiap negara memiliki langkah penanganan dan
penanggulangan sendiri sesuai dengan karakteristik, kemampuan dan kondisi
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

masyarakatnya. Kebijakan dan langkah penanganan yang diambil oleh


masing-masing negara memiliki karakteristik dan metode yang berbeda.

Sebagai wujud penanganan dan penanggulangan tindak pidana


terorisme dengan memperhatikan hak asasi korban, saksi, dan
tersangka/terdakawa serta didasarkan pada komitmen nasional dan
internasional, pemerintah Indonesia membentuk peraturan perundang-
undangan nasional. Mengacu pada konvensi internasional dan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan terorisme, pemerintah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2002, yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Sementara itu, wujud pemerintah Malaysia dalam mencegah dan
menanggulangi tindakan terorisme dan segala tindakan yang berkaitan dengan
keamanan serta keselamatan Malaysia dilakukan dengan menerbitkan Akta
Keselamatan Dalam Negeri atau yang sering disebut dengan Internal Security
Act Malaysia atau disingkat dengan ISA Malaysia.

Atas dasar tersebut, maka akan dilakukan perbandingan pengaturan


pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia dengan Malaysia melalui
analisis terhadap Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Internal Security Act Malaysia
tahun 1960. Dalam hal perbandingan hukum/comparative jurisprudence,
hukum pidana positif Indonesia termasuk dalam keluarga Civil Law System
sedangkan kajian hukum pidana Inggris, Malaysia, dan Australia termasuk
dalam Common Law System. Memperbandingkan hukum nasional dengan
hukum asing dapat memperdalam pengetahuan tentang hukum nasional dan
dengan secara objektif dapat melihat kelebihan dan kekurangan hukum
nasional dibandingkan dengan hukum negara lain atau sebaliknya. Oleh
karena itu penulis bermaksud untuk menyusun penulisan hukum dengan judul
“STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN TINDAK
PIDANA TERORISME ANTARA INDONESIA DAN MALAYSIA
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

(ANALISIS TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003


TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME DAN
INTERNAL SECURITY ACT MALAYSIA TAHUN 1960)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, penulis


merumuskan permasalahan untuk dikaji lebih rinci. Adapun beberapa
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu:

1. Bagaimana komparasi pengaturan pemberantasan tindak pidana


terorisme antara Indonesia dan Malaysia menurut Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme dan Internal Security Act Malaysia Tahun 1960?
2. Bagaimana kelemahan dan kelebihan pengaturan pemberantasan
tindak pidana terorisme di Indonesia dan Malaysia menurut Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2003 dan Internal Security Act Malaysia
Tahun 1960?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian diperlukan karena terkait erat dengan perumusan


masalah dan judul dari penelitian itu sendiri. Oleh karena itu penulis
mempunyai tujuan atau hal-hal yang ingin dicapai melalui penelitian ini.
Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis sendiri baik berupa tujuan secara
obyektif maupun tujuan secara subyektif. Adapun tujuan dari penelitian ini
adalah :

1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan hukum formil dan
materiil yang berlaku terutama mengenai pengaturan
pemberantasan tindak pidana terorisme melalui Undang-Undang
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana


Terorisme dan Internal Security Act Malaysia 1960.
b. Untuk mengetahui kelemahan dan kelebihan pengaturan dalam
pemberantasan tindak pidana terorisme melalui Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme dan Internal Security Act Malaysia 1960.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk memperdalam dan menambah pengetahuan peneliti tentang
hukum nasional dalam bidang Hukum Pidana khususnya tentang
perbandingan atau komparasi pengaturan pemberantasan tindak
pidana terorisme antara Indonesia dan Malaysia melalui Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme dengan Internal Security Act Malaysia 1960.
b. Untuk melengkapi syarat-syarat guna memperoleh derajat Sarjana
dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta.

D. Manfaat Penelitian

Penulis berharap bahwa kegiatan penelitian dalam penulisan hukum ini


akan bermanfaat bagi penulis maupun orang lain. Adapun manfaat yang dapat
diperoleh dari penulisan hukum ini antara lain :

1. Manfaat Teoretis
a. Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada
pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada
umumnya dan Hukum Pidana pada khususnya.
b. Hasil penulisan ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan
literatur dalam dunia kepustakaan tentang komparasi atau
perbandingan pengaturan pemberantasan tindak pidana terorisme
antara Indonesia dan Malaysia melalui analisis terhadap Undang-
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Undang Nomor 15 Tahun 2003 dan Internal Security Act Malaysia


1960.
c. Hasil penulisan ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap penulisan
maupun penelitian sejenis untuk tahap berikutnya.

2. Manfaat Praktis
a. Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan masukan
bagi semua pihak yang berkepentingan dan memberikan
jawaban terhadap permasalahan yang diteliti serta memberikan
jawaban mengenai pengaturan pemberantasan tindak pidana
terorisme di Indonesia dan Malaysia.
b. Menjadi wahana bagi penulis untuk mengembangkan
penalaran, membentuk pola pikir ilmiah sekaligus untuk
mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang
diperoleh.

E. Metode Penelitian

Sebelum menguraikan tentang metode penelitian, terlebih dahulu akan


dikemukakan mengenai pengertian metode itu sendiri. Kata “metode”
(Inggris: method, Latin: methodus, Yunani: methodos-meta berarti sesudah, di
atas, sedangkan hodos berarti suatu jalan atau suatu cara. Dua syarat utama
yang harus dipenuhi sebelum mengadakan penelitian ilmiah dengan baik dan
dapat dipertanggungjawabkan yaitu peneliti harus lebih dulu memahami
konsep dasar ilmu pengetahuan (yang berisi sistem dan ilmunya) dan
metodologi penelitian disiplin ilmu tersebut (Johnny Ibrahim, 2006 : 26).

Metode dan sistem membentuk hakikat ilmu. Sistem berarti


keseluruhan peraturan pengetahuan yang teratur atau totalitas isi dari ilmu,
sementara itu metode secara harfiah menggambarkan jalan atau cara totalitas
ilmu tersebut dicapai dan dibangun (Johnny Ibrahim, 2006 : 27). Metodologi
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

penelitian merupakan cara-cara mengenai bagaimana suatu penelitian itu akan


dilakukan dengan cara-cara tertentu yang dibenarkan, baik mengenai tata cara
pengumpulan data, maupun analisis data serta laporan penelitian.

Adapun metodologi yang digunakan penulis dalam penulisan ini


adalah sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan penulisan


hukum ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum
kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara
meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
Bahan-bahan tersebut disusun secra sistematis, dikaji, kemudian
ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang
diteliti (Soerjono Soekanto, 2006: 10).

Penelitian seperti itu tidak mengenal penelitian lapangan (field


research) karena yang diteliti adalah bahan-bahan hukum sehingga
dapat dikatakan sebagai : library based, focusing on reading and
analysis of the primary and secondary materials (Johnny Ibrahim,
2006 : 46).

2. Sifat Penelitian

Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang


bersifat preskriptif dan terapan. Dalam pelitian hukum ini karakteristik
yang digunakan yaitu ilmu hukum yang bersifat preskriptif. Sebagai
ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum,
nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum,
dan norma-norma hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 22). Sifat
preskriptif ini merupakan hal substansial yang tidak mungkin dapat
dipelajari oleh disiplin lain yang objeknya juga hukum.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

3. Pendekatan Penelitian

Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan.


Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari
berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari
jawabnya. Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian
hukum adalah pendekatan undang-undang (statute approach),
pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical
approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan
pendekatan konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud
Marzuki, 2006 : 93).

Dari keempat pendekatan tersebut, pendekatan yang relevan


dengan penelitian hukum yang penulis angkat adalah pendekatan
perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan komparatif
(comparative approach). Pendekatan undang-undang (statute
approach) adalah pendekatan dengan menggunakan regulasi dan
legislasi, di mana dalam penelitian ini regulasi yang digunakan sebagai
acuan adalah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Internal Security Act
Malaysia. Sedangkan pendekatan komparatif yang penulis maksud
dalam penelitian hukum ini yaitu dengan membandingkan undang-
undang suatu negara dengan undang-undang dari satu atau lebih
negara lain mengenai hal yang sama.

Dalam penelitian ini komparasi undang-undang yang diadakan


adalah dengan membandingkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dengan Internal
Security Act Malaysia Tahun 1960. Sementara hal yang dibandingkan
yaitu mengenai substansi hukum materiil pemberantasan tindak pidana
terorisme. Kegunaan dan tujuan dari pendekatan komparatif ini adalah
untuk memperoleh persamaan dan perbedaaan di antara kedua undang-
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

undang tersebut dan untuk memperoleh gambaran mengenai


konsistensi antara filosofi dan undang-undang di antara Indonesia dan
Malaysia.

4. Jenis dan Sumber Data Penelitian

Penelitian yang akan dilakukan oleh penulis merupakan jenis


penelitian hukum normatif, sehingga tidak memerlukan data di
lapangan secara langsung, melainkan data-data tersebut dapat
diperoleh melalui studi kepustakaan. Data-data yang digunakan oleh
penulis didapat dari :

a) Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta.


b) Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
c) Tempat-tempat lain yang tersedia data yang diperlukan.
d) Media Massa.

Terkait dengan data yang diperoleh melalui studi kepustakaan


di berbagai perpustakaan tersebut di atas, maka sumber data yang
penulis gunakan adalah sumber data primer, sekunder, dan tersier.
Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-
sumber penelitian yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif yang artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum
primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau
risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan
hakim. Sedangkan bahan sekunder berupa semua publikasi tentang
hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi
tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-
jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter
Mahmud Marzuki, 2005: 141).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Sumber data sekunder dalam penelitian normatif ini adalah :

1. Bahan hukum primer itu sendiri berupa peraturan perundang-


undangan yaitu Undang-Undang Dasar 1945 sebelum dan setelah
perubahan, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Internal Security Act
Malaysia.
2. Bahan hukum sekunder terdiri dari buku-buku referensi, jurnal-
jurnal hukum yang terkait, dan media massa yang mengulas
tentang pemberantasan tindak pidana terorisme.
3. Bahan hukum tersier antara lain kamus hukum, ensiklopedia, dan
lain-lain.
5. Teknik Pengumpulan Data

Karena penelitian yang penulis angkat merupakan penelitian


normatif, maka dalam pengumpulan datanya dilakukan dengan studi
kepustakaan/studi dokumen. Teknik ini merupakan cara pengumpulan
data dengan membaca, mempelajari, mengkaji, dan menganalisis serta
membuat catatan dari buku literatur, peraturan perundang-undangan,
dokumen dan hal-hal lain yang berhubungan dengan masalah yang
diteliti.

6. Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan teknik analisis data dengan logika


deduktif. Menurut Johnny Ibrahim yang mengutip pendapat Bernard
Arief Shidarta, logika deduktif merupakan suatu teknik untuk menarik
kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat
individual. Penalaran deduktif adalah penalaran yang bertolak dari
aturan hukum yang berlaku umum pada kasus individual dan konkret
yang dihadapi (Johnny Ibrahim, 2006 : 249-250). Sedangkan Peter
Mahmud Marzuki yang mengutip pendapat Philipus M. Hadjon
menjelaskan metode deduksi sebagaimana silogisme yang diajarkan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

oleh Aristoteles, penggunaan metode deduksi berpangkal dari


pengajuan premis major (pernyataan bersifat umum). Kemudian
diajukan premis minor (bersifat khusus), dari kedua premis itu
kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusion. Akan tetapi di
dalam argumentasi hukum, silogisme hukum tidak sesederhana
silogisme tradisional (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 47). Jadi dapat
disimpulkan bahwa logika deduktif atau pengolahan bahan hukum
dengan cara deduktif yaitu menjelaskan suatu hal yang bersifat umum
kemudian menariknya menjadi kesimpulan yang lebih khusus.

Dalam penelitian ini, data yang diperoleh dengan cara


menginventarisasi sekaligus mengkaji penelitian dari studi
kepustakaan, aturan perundang-undangan beserta dokumen-dokumen
yang dapat membantu menafsirkan norma utnuk menjawab
permasalahan yang diteliti. Tahap terakhir yaitu dengan menarik
kesimpulan dari data yang diolah, sehingga pada akhirnya dapat
menjawab komparasi pengaturan pemberantasan tindak pidana
terorisme antara Indonesia dan Malaysia serta kelemahan dan
kelebihan pengaturan pemberantasan tindak pidana terorisme antara
Indonesia dan Malaysia.

F. Sistematika Penulisan Hukum

Dalam Penulisan hukum (Skripsi) ini terdiri atas empat bab yang
masing-masing terdiri atas beberapa subbab sesuai pembahasan dan materi
yang diteliti. Sistematika penulisan itu sendiri sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini disajikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika
penulisan.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini penulis akan memberikan landasan teori atau memberikan
penjelasan secara teoritik berdasarkan literatur-literatur yang penulis
gunakan, tentang hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang
sedang penulis teliti. Kerangka teori tersebut meliputi tinjauan tentang
perbandingan hukum, tinjauan tentang tindak pidana, tinjauan tentang
terorisme, tinjauan tentang Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
tentang Tindak Pidana Terorisme, dan tinjauan tentang Internal Security
Act Malaysia Tahun 1960.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini berisi hasil dari penelitian dan pembahasan yang berupa
analisis dua peraturan perundang-undangan yang akan menjelaskan
komparasi pemberantasan tindak pidana terorisme dua negara yaitu
Indonesia dan Malaysia. Selain itu juga dibahas mengenai kelebihan dan
kelemahan penanganan pemberantasan tindak pidana terorisme antara
Indonesia dan Malaysia.

BAB IV : PENUTUP

Dalam bab ini penulis akan memberikan kesimpulan dari hasil penelitian
dan pembahasan serta memberikan saran-saran terhadap beberapa
kekurangan yang menurut penulis perlu diperbaiki dan yang penulis
temukan selama penelitian.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

1. Tinjauan Tentang Perbandingan Hukum


a. Riwayat Perkembangan

Menurut Rene David, perbandingan hukum merupakan ilmu


yang setua ilmu hukum itu sendiri, namun perkembangannya sebagai
ilmu pengetahuan baru pada abad-abad terakhir ini (Barda Nawawi
Arief, 2008: 1). Sedangkan menurut Adolf F Schnitzer, perbandingan
hukum baru berkembang sebagai cabang khusus dari ilmu hukum pada
abad ke-19. Studi ini dianggap begitu penting, dimana perbandingan
hukum merupakan suatu ilmu pengetahuan yang dianggap berdiri
sendiri dan lebih merupakan suatu metode keilmuan/penelitian dalam
memahami objek ilmu hukum (Barda Nawawi Arief, 2008 : 1).

b. Istilah dan Pengertian Perbandingan Hukum

Pada awalnya perbandingan hukum sebagai disiplin hukum


sekaligus sebagai cabang ilmu hukum dipahami sebagai metode
pemahaman sistem hukum, selain sosiologi hukum dan sejarah hukum
yang ketiganya berkaitan erat satu sama lain (Romli Atmasasmita,
1996 : 5). Terdapat berbagai istilah asing mengenai perbandingan
hukum, antara lain: Comparative Law; Comparative Jurisprudence;
Foreign Law (istilah Inggris); Droit Compare (istilah Perancis);
Rechtsvergelijking (istilah Belanda) dan Rechtsvergleichung atau
Vergleichende Rechlehre (istilah Jerman).

Di dalam Black’s Law Dictionary dikemukakan, bahwa


Comparative Jurisprudence ialah suatu studi mengenai prinsip-prinsip
ilmu hukum dengan melakukan perbandingan berbagai macam sistem
hukum (the study of principles of legal science by the comparison of
various systems of law) (Barda Nawawi Arief, 2008: 3). Ada yang
membedakan antara Comparative Law dengan Foreign Law, yaitu:
Comparative Law mempelajari berbagai sistem hukum asing dengan
maksud untuk membandingkannya. Foreign Law mempelajari hukum
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

asing dengan maksud semata-mata mengetahui sistem hukum asing itu


sendiri dengan tidak secara nyata bermaksud untuk
membandingkannya dengan sistem hukum yang lain.

Menurut Romli Atmasasmita yang mengutip pendapat


beberapa ahli hukum yaitu: Rudolf B. Schlesinger, mengatakan bahwa
perbandingan hukum merupakan metode penyelidikan dengan tujuan
untuk memperoleh pengetahuan yang lebih dalam tentang bahan
hukum tertentu. Perbandingan hukum bukanlah perangkat peraturan
dan asas-asas hukum dan bukan suatu cabang hukum, melainkan
merupakan teknik untuk menghadapi unsur hukum asing dari suatu
masalah hukum (Romli Atmasasmita, 1996 : 7). Winterton,
mengemukakan bahwa perbandingan hukum adalah suatu metode
yaitu perbandingan sistem-sistem hukum dan perbandingan tersebut
menghasilkan data sistem hukum yang dibandingkan (Romli
Atmasasmita, 1996 : 7).

Gutteridge menyatakan bahwa perbandingan hukum adalah


suatu metode yaitu metode perbandingan yang dapat digunakan dalam
semua cabang hukum. Gutteridge membedakan antara comparative
law dan foreign law (hukum asing), pengertian istilah yang pertama
untuk membandingkan dua sistem hukum atau lebih, sedangkan
pengertian istilah yang kedua, adalah mempelajari hukum asing tanpa
secara nyata membandingkannya dengan sistem hukum yang lain
(Winterton, dalam The Am.J.of Comp. L., 1975 : 72 diterjemahkan
dalam buku Romli Atmasasmita, 1996 : 7).

Romli Atmasasmita sendiri memberikan definisi perbandingan


hukum (pidana) sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari secara
sistematis hukum (pidana) dari dua atau lebih sistem hukum dengan
mempergunakan metode perbandingan (Romli Atmasasmita, 1996 :
12).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Di antara teoritikus hukum, terdapat persamaan pandangan


bahwa perbandingan hukum memiliki fungsi dan kegunaan bagi
pembaharuan hukum di masa yang akan datang (Romli Atmasasmita,
1996 : 5). Sementara itu, penulis lebih menggunakan definisi
perbandingan hukum menurut Romli Atmasasmita.

2. Tinjauan Tentang Tindak Pidana


a. Istilah Tindak Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam


hukum pidana Belanda yaitu “stafbaar feit”. Secara literlijk kata straf
artinya pidana, baar artinya dapat atau boleh dan feit adalah perbuatan.
Dalam kaitannya dengan istilah strafbaar feit secara utuh, straf
diterjemahkan dengan kata hukum, padahal lazimnya hukum
terjemahan dari recht. Untuk kata baar ada dua istilah yakni boleh dan
dapat. Sedangkan untuk feit ada empat istilah yaitu tindak, peristiwa,
pelanggaran, dan perbuatan (Adami Chazawi, 2002 : 69).

b. Pengertian Tindak Pidana

Para ahli hukum mempunyai pandangan sendiri dalam


memberikan pengertian mengenai tindak pidana. Menurut Adami
Chazawi, mereka terbagi ke dalam 2 (dua) pandangan, yaitu
pandangan dualisme dan monisme. Pandangan dualisme adalah
pandangan yang memisahkan antara perbuatan dan orang yang
melakukan. Beberapa ahli hukum yang menganut pandangan dualisme
memberikan definisi tindak pidana sebagai berikut :

1. Moeljatno mendefinisikan tindak pidana sebagai perbuatan


pidana yaitu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum
larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana
tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2. Menurut Pompe strafbaar feit sebenarnya tidak lain dari suatu


tindakan yang menurut rumusan undang-undang dinyatakan
sebagai tindakan yang dapat dihukum.
3. Vos memberikan definisi strafbaar feit adalah suatu kelakuan
manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-
undangan.
4. R. Tresna memberi definisi peristiwa pidana sebagai sesuatu
perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang
bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-
undangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan
penghukuman (Adami Chazawi, 2002 : 72-73).

Sementara itu, pandangan monisme adalah pandangan yang


tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatan dengan
unsur-unsur mengenai diri orangnya. Beberapa ahli hukum yang
berpandangan monisme memberikan definisi tentang tindak pidana
sebagai berikut :

1. J.E. Jonkers merumuskan peristiwa pidana ialah perbuatan


yang melawan hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan
dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang
yang dapat dipertanggungjawabkan.
2. Wirjono Prodjodikoro, menyatakan bahwa tindak pidana
adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan
hukuman pidana.
3. H.J. van Schravendijk, merumuskan perbuatan yang boleh
dihukum adalah kelakuan orang yang begitu bertentangan
dengan keinsyafan hukum sehingga kelakuan itu diancam
dengan hukuman, asal dilakukan oleh seorang yang karena itu
dapat dipersalahkan.
4. Simons, merumuskan strafbaar feit adalah suatu tindakan
melanggar hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oleh
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya


yang dinyatakan sebagai dapat dihukum (Adami Chazawi,
2002 : 75).
c. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Setiap tindak pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-


Undang Hukum Pidana (KUHP) umumnya dapat dijabarkan dalam
unsur subjektif dan objektif. Unsur subjektif adalah unsur yang
melekat pada diri pelaku atau berhubungan dengan diri pelaku dan
termasuk segala sesuatu yang terkandung di hatinya, terdiri dari:

1. kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa);


2. maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging
seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP;
3. macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat
misalnya dalam kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan,
pemalsuan, dan lain-lain;
4. merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti
misalnya yang terdapat dalam kejahatan pembunuhan menurut
Pasal 340 KUHP;
5. perasaan takut atau vress seperti antara lain yang terdapat
dalam rumusan tindak pidana Pasal 308 KUHP (Lamintang,
1996 : 193-194).

Unsur objektif adalah unsur-unsur yang berhubungan dengan


keadaan-keadaan dalam mana tindakan dari pelaku harus dilakukan,
terdiri dari:

1. sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid;


2. kualitas dari pelaku;
3. kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai
penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat
(Lamintang, 1996 : 194).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Selain itu, untuk menguraikan unsur-unsur tindak pidana


menurut Adami Chazawi terdapat dua sudut pandang, yaitu :

1) Sudut teoretis (berdasarkan pendapat para ahli hukum, yang


tercermin pada rumusannya).
Menurut Moeljatno (paham dualisme), unsur tindak pidana
adalah:
a. perbuatan;
b. yang dilarang (oleh aturan hukum);
c. ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan).

Sedangkan Schravendijk (paham monisme) memberikan


batasan yang unsur-unsurnya sebagai berikut :

a. kelakuan (orang yang);


b. bertentangan dengan keinsyafan hukum;
c. diancam dengan hukuman;
d. dilakukan oleh orang (yang dapat);
e. dipersalahkan/kesalahan (Adami Chazawi, 2002 : 79-81).
2) Dari sudut undang-undang (kenyataan tindak pidana
dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal
peraturan perundang-undangan yang ada). Dari rumusan-
rumusan tindak pidana tertentu yang terdapat dalam KUHP,
maka unsur tindak pidana yaitu :
a. Unsur tingkah laku (aktif dan pasif).
b. Unsur sifat melawan hukum.
c. Unsur kesalahan (schuld), terdiri dari kesengajaan,
kelalaian atau culpa.
d. Unsur akibat konstitutif.
e. Unsur keadaan yang menyertai.Unsur syarat tambahan
untuk dapat dituntut pidana.
f. Syarat tambahan untuk memperberat pidana.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

g. Unsur syarat tambahan untuk dapat dipidana.


d. Cara Merumuskan Tindak Pidana

Menurut Adami Chazawi, dasar pembedaan cara dalam


merumuskan tindak pidana dalam KUHP ada 3 (tiga) cara, yaitu :

1. Dilihat dari cara pencantuman unsur-unsur dan kualifikasi


tindak pidana, baik itu dengan mencantumkan semua unsur
pokok, kualifikasi dan ancaman pidana, maupun semua unsur
pokok tanpa kualifikasi dan ancaman pidana serta hanya
sekedar mencantumkan kualifikasinya saja.
2. Dilihat dari titik beratnya larangan dalam tindak pidana dengan
cara formil (pada tindak pidana formil) dan dengan cara
materiil (pada tindak pidana materiil).
3. Dari sudut pembedaan tindak pidana antara bentuk pokok,
bentuk yang lebih berat dan yang lebih ringan (Adami
Chazawi, 2002 : 112).
e. Jenis-jenis Tindak Pidana

Jenis tindak pidana dapat dibeda-bedakan atas dasar-dasar


tertentu, yaitu :

1. Menurut sistem KUHP, dibedakan antara kejahatan


(misdrijven) dalam buku II dan pelanggaran (overtredingen)
dalam buku III.
2. Menurut cara merumuskannya, ada tindak pidana formil
(formeel delicten) dan tindak pidana materiil (materieel
delicten).
3. Berdasarkan bentuk kesalahannya, terdapat tindak pidana
sengaja (doleus delicten) dan tindak pidana tidak dengan
sengaja (culpose delicten).
4. Berdasar atas macam perbuatannya, dibedakan tindak pidana
aktif/positif atau tindak pidana komisi (delicta commissionis)
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dan tindak pidana pasif/negatif atau tindak pidana omisi


(delicta omissionis).
5. Berdasarkan jangka waktu terjadinya, dibedakan tindak pidana
yang terjadi seketika dan tindak pidana yang terjadi dalam
kurun waktu lama atau berlangsung lama/berlangsung terus.
6. Berdasarkan sumbernya dapat dibedakan antara tindak pidana
umum dan khusus.
7. Apabila dilihat dari subyek hukumnya dapat dibedakan antara
tindak pidana communia yang dilakukan oleh siapa saja dan
tindak pidana propria yang dilakukan oleh orang yang
memiliki kualitas pribadi tertentu.
8. Berdasar atas perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan
maka dibedakan antara tindak pidana biasa (gewone delicten)
dan tindak pidana aduan (klacht delicten).
9. Berdasarkan atas berat-ringannya pidana yang diancamkan,
dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok (eenvoudige
delicten), tindak pidana yang diperberat (gequalificeerde
delicten), dan tindak pidana yang diperingan (gepriviligieerde
delicten).
10. Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak
pidana tidak terbatas macamnya tergantung dari kepentingan
hukum yang dilindungi, seperti tindak pidana terhadap nyawa
dan tubuh, terhadap harta benda, tindak pidana pemalsuan,
tindak pidana terhadap nama baik, terhadap kesusilaan dan lain
sebagainya.
11. Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan,
dibedakan antara tindak pidana tunggal (enkelvoudige delicten)
dan tindak pidana berangkai (semengestelde delicten) (Adami
Chazawi, 2002 : 117-119).
3. Tinjauan Tentang Terorisme
a. Sejarah Terorisme
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Terorisme ditengarai telah ada sejak jaman Yunani Kuno,


Romawi Kuno, dan pada abad pertengahan. Dari catatan sejarah dapat
dirunut bahwa pada jaman Yunani Kuno, Xenophon (430-349 SM)
telah menulis mengenai manfaat dan efektifitas perang urat saraf untuk
menakut-nakuti musuh. Pada abad pertama Masehi, terorisme juga
dilakukan oleh sekte Zealots, yaitu kelompok keagamaan Yahudi.
Sekte ini menggunakan cara teror untuk melawan pemerintahan
pendudukan Romawi di wilayah yang kini dikenal sebagai Negara
Israel. Sementara itu, ahli strategi militer dari Cina Sien Tzu (500 SM),
mengungkapkan pemikirannya tentang terorisme melalui konsep
“bunuh satu, sepuluh ribu ketakutan” (Lukman Hakim, 2004 : 3).

Menurut Lukman Hakim, pada abad ke-12, kelompok


Assassins Islamiyah (Syiah) menggunakan metode teror yang berupa
kekerasan dan ancaman kekerasan untuk melawan pemimpin politik
dan ulama Suni di kawasan negara-negara Arab. Di pertengahan abad
ke-19 sebuah kelompok radikal Narodnaya Volya di bawah pimpinan
Mikhail Bukanin menggunakan teror untuk melawan kekuasaan Tsar
Alexander II di Rusia. Awal abad ke-20, kejahatan terorisme dilakukan
oleh penguasa di Rusia dan Jerman. Komunitas Yahudi di Palestina
pun juga mempraktikkan terorisme untuk mengusir penjajah Inggris.
Di Indonesia sendiri terorisme sudah dikenal di awal kemerdekaan RI
dengan adanya gerakan radikalisme Darul Islam dan Tentara Islam
Indonesia (DI/TII) di bawah pimpinan Kartosuwiryo (Lukman Hakim,
2004 : 4-8).

b. Pengertian Terorisme

Hingga saat ini, definisi terorisme masih menjadi perdebatan


meskipun sudah ada ahli yang merumuskan, dan dirumuskan dalam
perundang-undangan. Menurut Ridarson Galingging dalam Jurnal
Mimbar Hukum, ketiadaan definisi umum mengenai terorisme dalam
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

hukum internasional menyebabkan ketidaktentuan aturan (Vol. 21 No.


3- Oktober 2009). Akan tetapi, ketiadaan definisi hukum internasional
mengenai terorisme tidak serta-merta meniadakan definisi hukum
mengenai terorisme (Abdul Wahid, 2004 : 22). Pada dasarnya
terorisme merupakan suatu gejala kekerasan yang berkembang sejalan
dengan peradaban manusia. Menurut Lukman Hakim yang mengutip
pendapat Kerstetter, terorisme sebagai kejahatan terhadap
kemanusiaan ditengarai telah ada sejak jaman Yunani Kuno, Romawi
Kuno, dan pada abad pertengahan (Lukman Hakim, 2004: 3).
Terorisme merupakan suatu mazab/aliran kepercayaan melalui
pemaksaan kehendak guna menyuarakan pesan, asas dengan cara
melakukan tindakan ilegal yang menjurus ke arah kekerasan,
kebrutalan bahkan pembunuhan yang bertujuan untuk melumpuhkan
otoritas pemerintah (Adjie. S., 2005 : 11).

Menurut Lukman Hakim yang juga mengutip pendapat Ezzat A


Fattah, kata teror berasal dari bahasa Latin “ terrere” yang kurang
lebih diartikan sebagai kegiatan atau tindakan yang dapat membuat
pihak lain ketakutan (Lukman Hakim, 2004: 9). Menurut Natangsa
Surbakti dalam Jurnal Penelitian Hukum, tindakan teror merupakan
salah satu modus operandi dalam kegiatan subversif yang mana
lingkupnya meliputi kejahatan terhadap negara, strategi, taktik dan
teknik yang digunakan untuk melancarkan kegiatan itu beraneka ragam
serta berubah setiap perkembangannya (Vol.2 No.1- Juni 2001).

Seorang pakar terorisme Lequeur menyimpulkan terdapat


unsur-unsur yang sangat signifikan dari definisi terorisme yang
dirumuskan berbagai kalangan. Terorisme memiliki ciri utama
menggunakan ancaman kekerasan dan adanya tindak kekerasan serta
terorisme tersebut umumnya didorong oleh motivasi politik atau
mungkin juga karena fanatisme terhadap suatu agama.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Mengingat kompleksitas dalam mendefinisikan terorisme,


maka hanya diuraikan ciri utama dari terorisme, yang menurut Amalya
dalam bukunya Lukman Hakim, terdapat 10 (sepuluh) ciri utama, yaitu
:

1. Penggunaan kekerasan dan ancaman kekerasan dengan tujuan


tertentu secara sistematis, atau tindakan perorangan maupun
kampanye kekerasan yang dirancang untuk menciptakan
ketakutan.
2. Menggunakan ancaman kekerasan atau melakukan kekerasan
tanpa pandang bulu, baik terhadap musuh atau sekutu, untuk
mencapai tujuan-tujuan politik.
3. Sengaja ditujukan untuk menciptakan dampak psikolog atau
phisik terhadap kelompok masyarakat atau korban tertentu
dalam rangka mengubah sikap dan perilaku politik sesuai
dengan maksud dan tujuan pelaku teror.
4. Meliputi kaum revolusioner, ekstrimis politik penjahat yang
bertujuan polititk, dan para lunatik sejati.
5. Pelaku dapat beroperasi sendiri ataupun sebagai anggota
kelompok yang teroganisir, bahkan pemerintah tertentu.
6. Motifnya dapat bersifat pribadi, atau destruksi atas
pemerintahan, atau kekuasaan kelompok, sedangkan ambisinya
dapat terbatas (lokal) seperti penggulingan rezim tertentu dan
global seperti revolusi simultan di seluruh dunia.
7. Modusnya berupa penculikan untuk mendapat tebusan,
pembajakan, atau pembunuhan kejam yang mungkin tidak
dikehendaki oleh para pelakunya. Teroris dapat atau tidak
mengharapkan terbunuhnya korban, namun mereka seringkali
menemukan saat untuk membunuh guna memperkuat
kredibilitas ancaman, walaupun tidak diinginkan untuk
membunuh korban.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

8. Aksi-aksinya dirancang untuk menarik perhatian dunia atas


eksistensinya, sehingga korban dan targetnya dapat saja tidak
berkaitan sama sekali dengan perjuangan para pelaku.
9. Aksi-aksi teror dilakukan karena termotivasi secara politik,
atau karena keyakinan kebenaran yang melatarbelakanginya,
sehingga cara-cara kekerasan ditempuh untuk mencapai
tujuannya. Dengan demikian, aksi-aksi teror pada dasarnya
dikategorikan sebagai tindakan kriminal, illegal, meresahkan
masyarakat dan tidak manusiawi.
10. Kegiatan terorisme ditujukan pada suatu pemerintahan,
kelompok, klas, atau partai politik tertentu, dengan tujuan
untuk membuat kekacauan di bidang politik, ekonomi, atau
sosial (Lukman Hakim, 2004 : 11-13).

Pengertian terorisme untuk pertama kali dibahas dalam


European Convention on the Suppression of Terrorism (ECST) di
Eropa tahun 1977 terjadi perluasan paradigma arti dari Crimes against
State menjadi Crimes against Humanity. Crimes against Humanity
meliputi tindak pidana untuk menciptakan suatu keadaan yang
mengakibatkan individu, golongan, dan masyarakat umum ada dalam
suasana yang teror). Dalam kaitannya dengan HAM, crimes against
humanity masuk kategori gross violation of human rights yang
merupakan bagian serangan yang meluas atau sistemik yang secara
langsung ditujukan kepada penduduk sipil atau pada jiwa-jiwa tak
bersalah seperti yang terjadi di Bali (Abdul Wahid, 2004 : 23).

Di Amerika, rumusan terorisme terdapat pada United State


Code, Section 2656 f (d) yang berbunyi : merencanakan lebih dahulu,
kekerasan yang dimotivasi secara politis melawan target non-
kombatan, yang biasanya dimaksudkan untuk mempengaruhi audiensi
(premeditated, politically motivated violence perpetuated againts
noncombatant targets, usually intended to influence an audience). Dari
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

rumusan tersebut, Hukum Amerika melihat terorisme dengan memberi


penekanan pada motivasi politik, yang sasaran terorismenya hanya
memperhatikan target sipil. Definisi di atas digunakan sebagai
pedoman Kementerian Dalam Negeri dan tidak merupakan kerangka
acuan Departemen Pertahanan dan FBI (Lukman Hakim, 2004 : 13).

Sementara itu, The Central Intelegence Agency (CIA),


mendefinisikan terorisme internasional adalah terorisme yang
dilakukan dengan dukungan pemerintah atau organisasi asing dan/atau
diarahkan untuk melawan negara, lembaga, atau pemerintah asing
(Abdul Wahid, 2004 : 24). Di mana dari definisi tersebut terdapat
kecenderungan memberi peran yang berlebihan kepada pemerintah
untuk menafsirkan suatu tindakan sebagai terorisme. Menurut
Konvensi Eropa tentang Pemberantasan Terorisme, salah satu unsur
terorisme adalah adanya motif politik (Lukman Hakim, 2004: 14).
Konsekuensinya, apabila definisi seperti ini diadopsi dalam hukum,
maka penguasa akan sangat mudah menyalahgunakannya untuk
kepentingan kekuasaan.

Menurut Black Law’s Dictionary dalam bukunya Abdul


Wahid, tindakan terorisme adalah :

Kegiatan yang melibatkan unsur kekerasan atau yang


menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia yang
melanggar hukum pidana Amerika, atau negara bagian Amerika,
dan jelas dimaksudkan untuk; (i) mengintimidasi penduduk sipil;
(ii) mempengaruhi kebijakan pemerintah; (iii) mempengaruhi
penyelenggaraan negara dengan cara penculikan dan pembunuhan
(Abdul Wahid, 2004: 25).
Lain halnya dengan kesepakatan di negara-negara Arab yang
terdapat dalam Konvensi Arab tentang Pemberantasan Terorisme (The
Arab Convention of the Suppression of Terrorism) :

Terorisme adalah tindakan atau ancaman kekerasan, apapun motif


dan tujuannya, yang terjadi untuk menjalankan agenda tindak
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

kejahatan individu atau kolektif, yang menyebabkan teror di tengah


masyarakat, rasa takut dengan melukai mereka, atau mengancam
kehidupan, kebebasan, atau keselamatan, atau bertujuan untuk
menyebabkan kerusakan lingkungan atau harta publik maupun
pribadi atau menguasai dan merampasnya, atau bertujuan untuk
mengancam sumber daya nasional (Any act or threat of violence,
whatever ist motives or purposes, that accours in the advancement
of an individual or collective criminal agenda and seeking to show
panic among people, causing fear by harming them,or placing
their lives, liberty or security in danger, or seeking to cause
damage to the enviroment or to public or private installations or
property or to accupying or seizing them, or seeking to jeopardize
national resource) (Abdul Wahid, 2004 : 25-26).
Sementara itu Fauzan Al Anshari yang mengutip definisi
terorisme menurut Ustadz Abu Bakar Ba’asyir dalam bukunya
Lukman Hakim, mendefinisikan terorisme sebagai :

Tindakan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan


yang berlatar belakang politik atau kekuasaan dalam suatu
pemerintahan negara. Terorisme itu bisa dilakukan oleh pihak-
pihak yang melawan suatu pemerintahan yang sedang berkuasa
untuk menjatuhkannya, tetapi bisa juga dilakukan oleh suatu
pemerintahan terhadap rakyatnya atau kelompok oposisi untuk
mempertahankan kekuasaannya. Tindakan mengancam dan bahkan
sampai pada tindakan kekerasan, termasuk pembunuhan atau
perusakan harta benda tidak bisa disebut sebagai terorisme jika
pihak-pihak yang bersangkutan telah menyatakan dalam keadaan
perang terbuka (Lukman Hakim, 2004 : 16).

Dalam keterangan pemerintah yang diwakili oleh Menteri


Kehakiman dan Hak Asasi Manusia pada peristiwa Bom Bali tahun
2002, Yusril Ihza Mahendra mengatakan :

Terorisme adalah suatu kejahatan yang tidak dapat digolongkan


sebagai kejahatan biasa. Secara akademis terorisme dikategorikan
sebagai kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime dan
dikategorikan pula sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan atau
crime against humanity. Mengingat kategori demikian, maka
pemberantasannya tentulah tidak dapat menggunakan cara-cara
yang biasa sebagaimana menangani tindak pidana biasa seperti
pencurian, pembunuhan serta penganiayaan misalnya. Tindak
pidana terorisme selalu menggunakan ancaman atau tindak
kekerasan yang mengancam keselamatan jiwa tanpa memilih-milih
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

siapa yang akan menjadi korbannya (Lukman Hakim, 2004: 16-


17).

Sementara itu, dalam yurisdiksi hukum nasional, pengertian


mengenai terorisme terdapat dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dalam
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
sendiri diupayakan untuk memberikan batasan dan karakteristik
pengertian teror, teroris, dan terorisme. Namun, menurut Bayu
Dwiwiddy Jatmiko dalam Jurnal Ilmiah Hukum, tidak diberikannya
definisi yang memuaskan mengenai perbuatan teror sebagai delik
pidana, sehingga unsur perbuatan pidananya menjadi kabur dan terlalu
luas pengertiannya, serta membuka peluang terjadinya kesewenang-
wenangan dalam proses penegakan hukum (Vol. 13 No. 1- 2005).

Pasal 6, menyatakan bahwa :

“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau


ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut
terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang
bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau
hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan
kerusakan atau kehancuran pada obyek-obyek vital yang strategis
atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas
internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun”.
Pasal 7, menyatakan bahwa :

“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau


ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulakn suasana teror
atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan
korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan
atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk
menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek
vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik,
atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling
lama seumur hidup”.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Dari beberapa definsi di atas, penulis menyimpulkan definisi


menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 lebih luas
memberikan batasan mengenai terorisme karena memuat delik formil
dan delik materiil

c. Tipologi dan Karakteristik Terorisme

Secara kategoris, gerakan terorisme dari aspek spiritnya dapat


dibedakan dalam berbagai kategori, yaitu :

1. Semangat nasionalisme, ditemukan di Aljazair, Palestina, dan


sejumlah negara jajahan di masa suburnya kolonialisme.
Kekerasan politik yang dilakukan oleh pejuang kemerdekaan,
secara sepihak dianggap sebagai terorisme oleh rezim kolonial.
2. Semangat separatisme, di mana kelompok separatis secara
stereotipe menempatkan kekerasan politik sebagai model
perjuangan bersenjata. Gerakan separatisme yang mengadopsi
pola terorisme pernah yang terjadi, yaitu : IRA di Irlandia,
Gerakan Aceh Merdeka, Republik Maluku Selatan serta
Organisasi Papua Merdeka di Indonesia.
3. Semangat radikalisme agama, yaitu : Kelompok Jihad Islam di
Mesir, Jihad Islam di Yaman, National Islamic Front di Sudan,
Al Qaeda yang berbasis di Afghanistan, Jamaah Islamiyah
yang berbasis di Malaysia, atau kelompok radikal Yahudi
seperti Haredi, Gush Emunim, Kach Kahane di Israel.
4. Gerakan terorisme yang didorong oleh spirit bisnis.
Narcoterorism di Myanmar yang dikenal dengan United War
State Army dan Yakuza di Jepang adalah bentuk terorisme yang
didorong oleh spirit bisnis (Lukman Hakim, 2004 : 18-19).

Dalam artikel yang ditulis harian Kompas, 5 Oktober 2002


dengan judul The Sociology and Psychology of Terrorism : Who
become a Terrorist and Why? Divisi Riset Federal (kongres AS)
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

disebutkan ada lima ciri kelompok teroris, yaitu : separatis-nasionalis,


fundamentalis-religius, religius baru, revolusioner sosial, dan teroris
sayap kanan. Klasifikasi itu didasarkan atas asumsi kelompok teroris
dapat dikategorikan menurut latar belakang politik dan ideologi (Abdul
Wahid, 2004: 33).

The United State National Advisory Committee dalam The


Report of the Task Force on Disorders and Terrorism tahun 1996,
membagi terorisme dalam beberapa tipe , yaitu :

1. Political terrorism, adalah bentuk terorisme yang dirancang


untuk menimbulkan ketakutan di kalangan masyarakat dengan
tujuan politik.
2. Nonpolitical terrorism, adalah bentuk terorisme yang dilakukan
untuk tujuan-tujuan tertentu, seperti motif ekonomi, balas
dendam, penyelamatan (salvation), maupun semata-mata
karena kegilaan (madness).
3. Quasi terrorism yang menggambarkan kegiatan insidental guna
melakukan kejahatan kekerasan yang bentuk dan caranya
menggunakan metode teror .
4. Limited political terrorism, artinya kegiatan teror yang
dilakukan tidak merupakan bagian dari suatu gerakan untuk
menyerang negara. Contohnya pembunuhan politik
(assassination).
5. Official or state terrorism di mana organisasi negara sebagai
pelaku teror yang dilaksanakan oleh pemerintah. Dalam
pengertian lain, bukan berarti negara terlibat dalam terorisme
secara langsung, melainkan hanya menjadi sponsor dari
organisasi-organisasi tertentu pelaku teroris, seperti Libya dan
Israel (Lukman Hakim, 2004 : 19-22).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Menurut Adjie. S secara umum terdapat tiga kategori dalam


kelompok teroris yang beroperasi di seluruh dunia hingga saat ini,
yaitu :

1. Nonstate-supported grup adalah kelompok kecil yang memiliki


kepentingan khusus, seperti kelompok yang antiaborsi,
antikorupsi, dan lain sebagainya. Dalam aksinya mereka
memblow-up permasalahan tersebut dengan melakukan
pembakaran, penyanderaan, ataupun aksi lain yang
membahayakan individu atau kepentingan umum.
2. State-sponsored grups kelompok ini memeproleh pelatihan,
senjata, dan keperluan logistik dan dukungan administrasi dari
negara asing, seperti Libya, Syria, Cuba, atau negara blok
barat.
3. State-directed grups adalah suatu negara yang mengorganisasi
dukungan kepada kelompok teroris secara langsung (Adjie S,
2005 : 16).

Dalam mengkategorikan kejahatan terorisme sendiri harus


dilakukan secara hati-hati, apalagi bila yang dominan untuk memberi
label teroris adalah pihak yang berkuasa baik secara sosial, politik
maupun ekonomi secara internasional.

4. Tinjauan Tentang Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang


Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

Dengan terjadi peledakan bom di Bali, Manado dan berbagai


tempat di Indonesia telah mendorong pemerintah untuk menerbitkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) guna mengisi
kekosongan (Rechtsvacuum) terhadap penindakan terorisme (Abdul
Wahid, 2004 : 9). Pemerintah langsung menerbitkan dua Perpu, yakni
Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme dan Perpu Nomor 2 Tahun 2002 tentang tentang Pemberlakuan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana


Terorisme, pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali tanggal 12 Oktober
2002.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan


Tindak Pidana Terorisme merupakan penetapan dari Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Perpu ini didedikasikan kepada
masyarakat internasional untuk menunjukkan kesungguhan Indonesia
dalam memerangi terorisme. Penerbitan Perpu didasarkan pada hak
prerogatif presiden, sesuai dengan Pasal 22 ayat (1) Perubahan Undang-
Undang Dasar 1945 dan Ketetapan (Tap) MPR No. III/MPR/2000, yang
pada Pasal 3 ayat (4) menegaskan, dalam keadaan hal ikhwal kepentingan
yang memaksa presiden berhak menerbitkan Perpu (Indriyanto Seno Adji,
2002 dalam OC Kaligis & Associates, 2003 : 53).

Keberadaan Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan


Tindak Pidana Terorisme juga menimbulkan pro dan kontra. Prof. Dr.
Muladi SH (salah satu tim perumus RUU Anti-Terorisme) dalam
diskusinya tentang Perpu Terorisme di Komnas HAM Jakarta, Senin 28
Oktober 2002 mengatakan bahwa tindak pidana terorisme yang dilakukan
negara tidak bisa dijerat dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang (Perpu) Nomor 1 dan 2 Tahun 2002 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme (http://www.tempointeraktif.com//, Surakarta 7
Oktober 2009). Menurut Mohamad Mova Al Afghani dalam Jurnal
Penelitian Hukum, kehadiran Perpu Nomor 1 dan Nomor 2, secara teoritis
juga sangat bertentangan dengan asas non-retroaktivitas yang termuat
dalam Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan Keempat (Vol. 1 No. 9-
November 2002).

Filosofi yang terkandung dalam Undang-Undang Tentang


Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme bahwa terorisme merupakan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

musuh umat manusia, kejahatan terhadap peradaban, serta merupakan


Internasional dan Transnasional Organized Crimes (Soeharto, 2007 : 88).
Tujuan dari terbentuknya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ini adalah untuk memberikan
perlindungan kepada masyarakat, sedangkan paradigma pembentukan
undang-undang adalah paradigma tritunggal, yaitu melindungi wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia, Hak Asasi Manusia (HAM), dan
perlindungan terhadap Hak Asasi Tersangka (Soeharto, 2007 : 89).

Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang


Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme meliputi semua warga negara
Indonesia yang berada di luar wilayah negara Indonesia, termasuk fasilitas
Republik Indonesia di luar negeri, misalnya tempat kediaman pejabat
diplomatik dan konsulat, kekerasan atau ancaman kekerasan untuk
menekan pemerintah Indonesia dalam melakukan atau tidak melakukan
sesuatu, memaksa organisasi internasional di Indonesia untuk melakukan
atau tidak melakukan sesuatu. Undang-undang ini juga berlaku untuk
tindak pidana terorisme yang dilakukan di atas tempat yang berbendera
negara Republik Indonesia atau pesawat udara yang terdaftar dalam
Undang-undang negara Republik Indonesia pada saat kejahatan itu
dilakukan atau oleh setiap orang yang tidak memiliki kewarganegaraan
dan bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia (Asas Ekstra
Teritorial/Long Arm Juridiction).

5. Tinjauan Tentang Internal Security Act Malaysia Tahun 1960

Akta Keamanan/Keselamatan Dalam Negeri Malaysia atau


Internal Security Act Malaysia atau yang disingkat dengan ISA Malaysia
tahun 1960 lahir karena ada kepentingan dan kewajiban negara untuk
menegakkan public order dan interests atas nama keamanan negara. Tentu
hal ini dapat memberikan keleluasaan kepada penguasa untuk menafsirkan
apa yang dimaksud public order dan public interests atas nama keamanan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

negara. Ini sekaligus menegaskan bahwa ISA Malaysia dan langkah-


langkah sejenisnya sejak awal dihadapkan pada masalah klasik, yaitu
bagaimana membuat keseimbangan antara keamanan negara untuk
melindungi public order dan public interests serta kebebasan dan hak-hak
individual (http://www.propatria.or.id//, Surakarta 7 Oktober 2009).

ISA Malaysia kini telah berumur 49 tahun. Ketentuan-ketentuan


yang keras dalam ISA Malaysia, tidak terlepas dari latar belakang
sejarahnya. Menjelang kemerdekaan Malaysia, muncul pemberontakan
komunis yang lebih militan dan agresif dibandingkan gerakan-gerakan
anti-Inggris yang lain. Pemerintah kolonial Inggris kemudian
mengeluarkan Emergency Regulation (pendahulu ISA) yang dapat
menahan seseorang tanpa proses peradilan. Setelah merdeka pada tahun
1947, Malaysia mempertahankan warisan Inggris dengan mengeluarkan
ISA pada tahun 1960 untuk menghadapi pemberontakan komunis. Tidak
mengherankan jika pada dekade 60-an, mereka yang ditahan berdasarkan
ketentuan ISA adalah para aktifis komunis dan anggota Partai Buruh yang
merupakan bagian dari Front Sosialis. Akhir tahun 1960-an, juga mulai
muncul gerakan tidak puas terhadap kebijakan UMNO yang dipelopori
oleh Angkatan Belia Islam Malaysia dan beberapa kelompok Islam. Pada
tahun 1970-an ISA lebih banyak ditujukan kepada gerakan-gerakan
mahasiswa.

Internal Security Act Malaysia 1960 atau Akta Keselamatan Dalam


Negeri merupakan penahanan preventif (preventive detention) hukum
yang berlaku di Malaysia. Undang-undang itu disahkan oleh politisi
Malaysia setelah negara memperoleh kemerdekaan dari Britania Raya
tahun 1957. Penahanan preventif pada tahun 1948 kemudian menjadi salah
satu ciri Malaysia, terutama untuk memerangi pemberontakan bersenjata
dari Partai Komunis Malaysia selama Darurat Malaysia, dan dibuatlah
Peraturan-Peraturan Darurat 1948. Hal tersebut memungkinkan penahanan
orang untuk setiap periode yang tidak melebihi waktu selama satu tahun.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ordonansi tahun 1948 dibuat terutama untuk melawan tindakan kekerasan


di mana preventif penahanan dimaksudkan bersifat sementara. Namun
pada tahun 1960, peraturan-peraturan darurat dianggap tidak berlaku atau
berakhir serta mengakhiri pula kekuasaan yang terkandung dalam
peraturan tersebut. Akan tetapi, kekuatan preventif penahanan itu tidak
benar-benar berakhir dan pada kenyataannya justru menjadi cikal bakal
dalam hukum Malaysia (http://www.wikipedia.org//, Surakarta, 7 Oktober
2009).

Pada tahun 1960, pemerintah Malaysia menerbitkan Internal


Security Act Malaysia sesuai dengan Pasal 149 Konstitusi Malaysia.
Dalam ISA tersebut, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan kebijaksanaan
melakukan penahanan tanpa tuduhan apapun dan dapat mengadili setiap
orang di mana penahanan semacam itu diperlukan untuk mencegah orang
yang dituduh melakukan tindakan apapun yang dapat merugikan
keamanan nasional dan untuk memelihara kehidupan ekonomi di Malaysia
serta menjaga perdamaian dan keamanan negara. Keberadaan ISA ini juga
sangat kontroversial bahkan mendapat perlawanan juga dari warga negara
Malaysia. Sebagaimana diungkapkan oleh Michael Chertoff dalam
Harvard Journal of Law and Public Policy, kritik terhadap kebijakan
administrasi ini juga jarang menggambarkan perbedaan di antara apakah
arah suatu tindakan dihalalkan sebagai unsur hukum dan apakah arah
tindakan berhati-hati itu sebagai unsur kebijakan (critics of this
Administration’s policies rarely draw distinctions between whether a
course of action is permitted as a matter of law and whether that course of
action is prudent as a matter of policy) (Vol. 32 No. 1.).

Menurut Edy Prasetyono, untuk memahami penerapan ISA


diperlukan pemahaman mengenai dinamika tentang ekonomi di Malaysia.
Banyak penahanan karena ISA terjadi di saat perekonomian Malaysia
mengalami penurunan yang dapat menimbulkan keresahan dan protes
masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan ekonomi yang dikeluarkan oleh
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

pemerintah. Selain pemahaman terhadap dinamika ekonomi, pola


penerapan ISA juga perlu dihubungkan dengan struktur politik di
Malaysia. Sistem politik Malaysia yang damai dan ditandai oleh hubungan
tiga etnis utama yang dilembagakan dalam tiga partai utama yakni UMNO
(Melayu), MCA (Cina), dan MIC (India). Hubungan di antara ketiga partai
itu tidak mengarah pada integrasi etnis, akan tetapi mempertahankan
mobilisasi dukungan politik secara individual sesuai dengan garis etnis.
Dengan demikian, untuk setiap gerakan politik yang terlihat mencoba
untuk keluar dari tradisi politik Malaysia melintasi batas-batas etnis,
dianggap membahayakan keamanan nasional dan menjadi sasaran target
ISA. Penahanan oleh ISA juga berjalan seiring dengan perkembangan atau
wacana politik Islam (http://www.propatria.or.id//, Surakarta, 7 Oktober
2009).

B. Kerangka Pemikiran

Tindak pidana terorisme dapat dikategorikan sebagai kejahatan


terhadap kemanusiaan atau crime against humanity dan kejahatan luar biasa
atau extra ordinary crime yang merupakan musuh umat manusia dan
merupakan Interntional & Transnational Organized Crimes. Terorisme bukan
hanya ancaman bagi bangsa Indonesia semata, melainkan ancaman terhadap
kemananan dunia. Oleh karena itu masing-masing negara memiliki langkah
dan kebijakan sendiri dalam mencegah, menangani pemberantasan tindak
pidana terorisme. Sebagai wujud penanganan dan pencegahan tindak pidana
terorisme dilakukan dengan membuat aturan perundang-undangan khusus
yang mengacu pada konvensi internasional tentang pemberantasan tindak
pidana terorisme. Di Indonesia, pengaturan mengenai pemberantasan tindak
pidana terorisme dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Di Malaysia, prediksi atau
pengaturan atas tindakan terorisme diatur dalam Internal Security Act
Malaysia Tahun 1960.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Substansi yang tertuang dalam masing-masing peraturan


pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia dan Malaysia tentunya
tidak sama. Dari substansi yang diatur tersebut, maka kita akan mengetahui
bagaimana pengaturan pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia
dan Malaysia. Kemudian kita juga dapat mengetahui komparasi pengaturan
pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia dan Malaysia yaitu dalam
hal hukum materiilnya. Komparasi pengaturan ini akan menemukan pula
kelemahan dan kelebihan pengaturan pemberantasan tindak pidana terorisme
antara Indonesia dan Malaysia. Selain itu, dari komparasi juga dapat berguna
bagi pembaharuan hukum di masa yang akan datang.

Terorisme

Indonesia Malaysia

Undang- Internal
Undang Nomor Security Act
15 Tahun 2003 Tahun 1960
tentang
Pemberantasan
Tindak Pidana
Terorisme

Substansi

Pengaturan

Komparasi
C.

Gambar 1. Kerangka Pemikiran


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

I. Komparasi Pengaturan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme


Antara Indonesia dan Malaysia Menurut Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan
Internal Security Act Malaysia Tahun 1960

Meningkatnya kasus terorisme telah melahirkan suatu komitmen


internasional untuk melakukan perang global melawan terorisme. Komitmen
tersebut tertuang dalam resolusi PBB yang merupakan bukti bahwa
masyarakat internasional tidak mentolerir dan bertekad penuh untuk melawan
segala bentuk terorisme. Bentuk komitmen internasional untuk melawan
terorisme dibuktikan dengan Resolusi Majelis Umum PBB No. A/Res/56/1
tanggal 12 September 2001 tentang serangan terorisme dan Resolusi Dewan
Keamanan PBB No. 1438 tanggal 14 Oktober 2002 tentang peristiwa Bom
Bali.

Pemerintah Indonesia sendiri kemudian mengambil langkah-langkah


konkrit untuk memerangi terorisme secara konseptual, terpadu, sistematis dan
menggunakan pendekatan komprehensif. Langkah tersebut diambil setelah
terjadinya serangan teroris yang terjadi di Kuta Bali (Bom Bali I). Pemerintah
Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme yang disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Perpu Nomor 2 Tahun
2002 tentang Pemberlakuan Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pada Peristiwa Peledakan Bom di
Bali tanggal 12 Oktober 2002 yang disahkan menjadi Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu Nomor 2 Tahun 2002. Selain itu,
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Presiden menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2002, yang


memberikan mandat kepada Menkopolkam untuk merumuskan kebijakan
nasional dalam usaha melawan terorisme. Substansi Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme banyak
menampilkan hal yang baru, karena merupakan produk darurat.

Sementara itu di Malaysia, kebijakan pemerintah Malaysia dalam


usaha melawan terorisme diwujudkan dengan menerbitkan Akta Keamanan
Dalam Negeri tahun 1960 atau yang dikenal dengan Internal Security Act
(ISA) Malaysia tahun 1960. Internal Security Act Malaysia merupakan produk
hukum peninggalan kolonial Inggris yang awalnya dibentuk untuk menangkis
ancaman komunisme. Internal Security Act Malaysia juga merupakan produk
politik hukum yang ditujukan untuk menegaskan wewenang negara
berhadapan dengan kebebasan sipil dalam situasi khusus dan memaksa untuk
menjamin keamanan nasional (http://www.propatria.or.id//, Surakarta, 7
Oktober 2009). Ketentuan yang terdapat dalam Internal Security Act Malaysia
mengalami perubahan/amandemen pada tahun 1988. Amandemen tersebut
justru menunjukkan karakter otoriter ISA dan menutup ruang bagi peninjauan
kembali atas putusan yang telah dibuat oleh Menteri Dalam Negeri atau Yang
Dipertuan Agung dengan hak diskresi menurut ISA. ISA Malaysia
sebagaimana tercantum dalam Pasal 73 ayat (1) adalah peraturan yang
memungkinkan polisi (tanpa bukti atau surat perintah) menangkap individu
yang diyakini telah atau akan atau kemungkinan akan bertindak yang
mengancam keamanan, hal-hal yang menguasai hajat hidup orang banyak atau
kehidupan ekonomi Malaysia.

Atas dasar uraian tersebut, penulis akan membandingkan Undang-


Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia dengan di
Malaysia. Namun sebelum memaparkan mengenai komparasi/perbandingan
pengaturan pemberantasan tindak pidana terorisme antara Indonesia dan
Malaysia, maka akan diuraikan pengaturan pemberantasan tindak pidana
terorisme di masing-masing negara.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

1. Pengaturan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia


Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme

Salah satu tindakan terorisme yaitu peledakan bom atau bom


bunuh diri yang merupakan modus pelaku terorisme telah menjadi
fenomena umum di beberapa negara. Bom bunuh diri ini merupakan salah
satu bentuk teror yang pernah menimpa Indonesia pada bom Bali I yang
melatarbelakangi pembentukan peraturan perundang-undangan guna
memberantas terorisme. Menurut Bintatar Sinaga dalam Jurnal Pusat
Kajian Hukum dan Keadilan, tindakan teror dengan bunuh diri, dengan
taktik irasional dan unpredictablity merupakan taktik yang digunakan oleh
teroris fanatik yang menganggap dirinya tidak bernilai dan tidak merasa
rugi bila mengorbankan nyawanya (nothing to lose) (Vol. 2 No. 2- 2002) .

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan


Tindak Pidana Terorisme, secara spesifik memuat ketentuan tentang
lingkup yurisdiksi yang bersifat transnasional dan internasional serta
memuat ketentuan khusus terkait pendanaan tindak pidana terorisme
terhadap kegiatan terorisme internasional. Ketentuan khusus ini bukan
merupakan wujud perlakuan yang diskriminatif melainkan merupakan
komitmen pemerintah untuk mewujudkan ketentuan Pasal 3 Convention
Againts Terrorist Bombing (1997) dan Convention on the Suppression of
Financing Terrorism (1999).

Dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2002 yang telah disahkan menjadi


Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana terorisme, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tindak
pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur
tindak pidana sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini (Pasal 1 ayat
(1)). Undang-undang diberlakukan terhadap setiap orang yang melakukan
atau bermaksud melakukan tindak pidana terorisme di wilayah Negara
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Republik Indonesia. Ruang lingkup undang-undang dalam Pasal 3 berlaku


pula bagi setiap orang di negara lain yang mempunyai yurisdiksi dan
menyatakan maksudnya untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku
tersebut. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme menganut asas retroaktif atau berlaku surut
untuk tindakan hukum bagi kasus tertentu sebelum mulai berlakunya
undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46.

Akan tetapi tuntutan yurisdiksi negara lain tidak serta-merta


memiliki keterkaitan dengan Pemerintah Republik Indonesia untuk
menerima tuntutan sepanjang belum ada perjanjian ekstradisi atau bantuan
hukum timbal balik dalam masalah pidana, kecuali Pemerintah Republik
Indonesia setuju dengan berlakunya asas resiprositas. Proses ekstradisi itu
sendiri dimulai dari adanya permintaan negara (peminta) yang memiliki
yurisdiksi untuk mengadili dan atau menghukum seseorang (orang yang
diminta) baik dalam status hukumnya sebagai tersangka, tertuduh,
terdakwa, ataupun terhukum kepada negara (diminta) yang merupakan
negara tempatnya berada atau berlindung (I Wayan Parthiana, 2006 :137).

Pemerintah Republik Indonesia melalui Pasal 4 berusaha untuk


melindungi warga negara Republik Indonesia, Perwakilan Republik
Indonesia dan harta kekayaan Republik Indonesia yang berada di luar
negeri. Pasal 4 merupakan penerapan dari Asas Ekstra Teritorial/Long Arm
Juridiction karena berlaku di atas tempat yang berbendera negara
Republik Indonesia atau pesawat udara yang terdaftar ke dalam Undang-
Undang Negara Republik Indonesia (Soeharto, 2007 : 89). Kejahatan
sebagaimana dimaksud dilakukan oleh setiap orang yang tidak
berkewarganegaraan dan bertempat tinggal di Indonesia.
Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 membatasi atau
mengecualikan tindak pidana selain yang bermotif politik. Pengaturannya
dirumuskan dalam Pasal 5 yang menyatakan bahwa, tindak pidana
terorisme dikecualikan dari tindak pidana politik, tindak pidana yang
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

berkaitan dengan tindak pidana politik, tindak pidana dengan motif politik,
dan tindak pidana dengan tujuan politik, yang menghambat proses
ekstradisi. Dikecualikannya tindak pidana terorisme dari motif politik
karena teroris yang memiliki motivasi politik menganggap dirinya sendiri
(kelompoknya) sebagai sebuah instrumen pengadilan, dan sama sekali
tidak beroperasi untuk tujuan kriminal (Adjie. S., 2005 : 9).
Unsur-unsur tindak pidana terorisme yang dimaksud dalam Pasal 1
ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme, diantaranya terdapat dalam rumusan Pasal 6 dan
Pasal 7.

Pasal 6 :
“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau
ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut
terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang
bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau
hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan
kerusakan atau kehancuran objek-objek vital strategis atau
lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional,
dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20
(dua puluh) tahun.”
Pasal 7 :
“Setiap orang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau
ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror
atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan
korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan
atau hilangnya harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan
kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang
strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas
internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur
hidup.”
Rumusan Pasal 6 dan Pasal 7 memuat unsur subjektif dan unsur
objektif untuk terjadinya tindak pidana. Akan tetapi terdapat perbedaan
antara kedua unsur tersebut. Unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 6
merupakan delik materiil sehingga unsur yang harus dibuktikan adalah
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

akibat dari perbuatan berupa munculnya suasana teror atau rasa takut yang
meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal. Unsur-unsur
tindak pidana terorisme dalam Pasal 7 merupakan delik formil sehingga
yang harus dibuktikan adalah adanya maksud untuk menimbulkan suasana
teror atau rasa takut yang meluas atau menimbulkan korban yang bersifat
massal, walaupun ancaman kekerasan atau kekerasannya belum dilakukan.
Jadi yang membedakan adalah sesuatu yang harus dibuktikan yaitu berupa
akibat dan maksud (Soeharto, 2007 : 90).

Kekerasan menurut Pasal 6 dan Pasal 7 adalah setiap perbuatan


penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan sarana
secara melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, dan
kemerdekaan orang, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak
berdaya. Kemudian ancaman kekerasan yang dimaksud adalah setiap
perbuatan yang dengan sengaja dilakukan untuk memberikan pertanda
atau peringatan mengenai suatu keadaan yang cenderung dapat
menimbulkan rasa takut terhadap orang atau masyarakat secara luas.

Pasal 8 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 merupakan


penjabaran dari tindak pidana tentang kejahatan penerbangan dan
kejahatan terhadap sarana dan prasarana penerbangan. Ketentuan Pasal 8
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 merupakan delik formil lain dari
tindak pidana terorisme. Ketentuan mengenai kejahatan penerbangan dan
kejahatan terhadap sarana dan prasarana penerbangan sebelumnya juga
diatur dalam Bab XXIX.A (29 A) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Kemudian dalam Pasal 9 yang menyebutkan bahwa :

“Setiap orang yang secara melawan hukum memasukkan ke


Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh,
menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa,
mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya,
menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan,
atau mengeluarkan ke dan/atau dari Indonesia sesuatu senjata api,
amunisi, atau sesuatu bahan peledak dan bahan-bahan lainnya yang
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

berbahaya dengan maksud untuk melakukan tindak pidana


terorisme, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama
20 (dua puluh) tahun.”

Pasal di atas termasuk dalam delik formil, yaitu yang menyangkut


perbuatan yang dilarang dalam hal ini adalah perbuatan membuat,
menerima, menyerahkan, membawa, mempergunakan bahan-bahan yang
dilarang penguasaannya kecuali dengan izin pemerintah seperti senjata api
dan amunisi. Selanjutnya, yang dimaksud “bahan yang berbahaya lainnya”
adalah termasuk gas beracun dan bahan kimia yang berbahaya. Bahan
berbahaya yang dimaksud dapat pula menyebabkan kerusakan bagi
lingkungan maupun bagi makhluk hidup termasuk manusia.

Pasal 10 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 yang


menyebutkan bahwa :
“Dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana
dimaksud dalam pasal 6, setiap orang yang dengan sengaja
menggunakan senjata kimia, senjata biologis, radiologi,
mikroorganisme, radioaktif atau komponennya, sehingga
menimbulkan suasana teror, atau rasa takut terhadap orang secara
meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal, membahayakan
terhadap kesehatan, terjadi kekacauan terhadap kehidupan,
keamanan, dan hak-hak orang, atau terjadi kerusakan, kehancuran
terhadap obyek-obyek vital yang strategis, lingkungan hidup,
fasilitas publik, atau fasilitas internasional”.
Pasal di atas juga termasuk dalam delik baru yang tergolong dalam delik
formil yang titik tekannya meyangkut perbuatan yang dilarang. Rumusan
tindak pidana terorisme dalam pasal di atas sering disebut dengan
technological terrorism yaitu yang memanfaatkan bahan-bahan kimia dan
sebagainya. Ketentuan tersebut merupakan ketentuan yang diambil dari
Convention on the Physical Protection of Nuclear Material, Vienna Tahun
1979 yang diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 49 Tahun 1986
tentang Pengesahan Konvensi Proteksi Fisik dari Bahan Nuklir.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Ketentuan mengenai penyediaan atau pengumpulan dana yang


ditujukan akan digunakan atau patut diketahui akan digunakan baik
sebagian atau seluruhnya untuk melakukan tindak pidana terorisme diatur
dalam Pasal 11 dan Pasal 12. Selain itu, Pasal 11 dan Pasal 12 juga
memuat mengenai ketentuan pidana atau pertanggungjawaban pidana
terhadap setiap orang dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun. Penyediaan atau pengumpulan
dana merupakan aspek penting dari tindak pidana terorisme, sebab
keberhasilan atau terlaksananya tindak pidana terorisme sangat ditentukan
oleh pembiayaan yang diberikan kepada para pelaku sebagai eksekutor.
Pembiayaan itu sendiri bagi kejahatan terorganisasi (organized crime)
seperti terorisme merupakan suatu life-blood of the crime , tulang
punggung para kriminal yang sangat menentukan keberhasilannya (Harian
Seputar Indonesia, Selasa 30 Mei 2006).

Khusus mengenai pembiayaan tindak pidana terorisme, sejak tahun


1999 sudah ada konvensi internasional yang mengaturnya, yaitu
International Convention for The Supression of Terrorist Financing. Di
Indonesia konvensi tersebut telah diratifikasi dengan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2006 tentang Konvensi Internasional untuk Larangan
Pembiayaan Teroris, 1997. Financial Action Task Force on Money
Laundering (FATF) pada Oktober 2001 di Washington DC memutuskan
rekomendasi khusus agar seluruh negara menyatakan perbuatan
pembiayaan terorisme sebagai suatu tindak pidana. Dalam kaitannya
dengan rekomendasi FATF, di Indonesia khususnya dalam Undang-
Undang Tindak Pidana Pencucian Uang diatur bahwa harta kekayaan yang
sah, apabila digunakan untuk membiayai kegiatan terorisme dapat
diklasifikasikan sebagai transaksi yang mencurigakan yang harus
dilaporkan kepada PPATK (Pasal 2 ayat (2)) Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana diubah
dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2005.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Menurut Roeslan Saleh, yang dimaksud tindak pidana ialah sesuatu


yang menyangkut dilarangnya perbuatan/tindakan dan sedangkan
terorisme itu berkaitan dengan tindakan yang dilarang (Roeslan Saleh
dalam Abdul Wahid, 2004 : 87). Maka yang dimaksud dengan tindak
pidana terorisme dalam peraturan ini adalah setiap perbuatan yang
dilakukan oleh setiap orang atau korporasi yang mengandung unsur-unsur
yang terdapat dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 12.

Perbuatan dilarang lainnya yang diatur dalam Pasal 13 yaitu berupa


dukungan terhadap kegiatan terorisme yang dilakukan dengan cara
meminjamkan uang, barang atau kekayaan kepada pelaku terorisme.
Dalam Pasal 13, bahwasannya seseorang yang memberikan bantuan atau
yang membantu perbuatan (medeplichtige) adalah tindakan memberikan
bantuan baik sebelum maupun pada saat tindak pidana terorisme
dilakukan. Mengenai pembantuan yang termasuk dalam delik pembantuan
tersebut dalam Pasal 13 sesuai dengan Pasal 56 KUHP. Selain dilarang
untuk meminjamkan uang, barang atau kekayaan kepada pelaku terorisme,
dukungan juga dilarang dalam upaya menyembunyikan pelaku dan
menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme.

Pada Pasal 14 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang


Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme termasuk dalam delik
perencanaan, di mana perencanaan yang dimaksud yaitu merencanakan
aksi terorisme, menetapkan tujuan, dan pengawas dari sebuah organisasi
teroris. Delik perencanaan tersebut memuat unsur subjektif tindak pidana
terorisme. Setelah tindak pidana dilakukan, dan disebutkan juga mengenai
aktor intelektual yang dipidana tersendiri/secara khusus, yaitu orang yang
dimaksud dengan merencanakan. Aktor intelektual ini adalah mereka yang
merupakan penyebab dilakukannya suatu tindak pidana terorisme yang
secara tidak langsung. Termasuk mempersiapkan diri baik secara fisik,
finansial, maupun sumber daya manusia.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Setiap orang yang melakukan permufakatan jahat, percobaan atau


pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme dapat dipidana
dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidananya. Pembantuan
yang dapat dipidana menurut Pasal 15 adalah pembantuan baik sebelum,
selama maupun sesudah kejahatan dilakukan. Pembantuan sebelum tindak
pidana dilakukan dapat berupa mempersiapkan segala sesuatu yang akan
dilakukan yang mungkin berupa persiapan dana, bahan-bahan, dan tempat.
Pembantuan selama dan setelah kejahatan terorisme dilakukan, dalam
artian pelaku bisa bertindak sebagai pembantuan dalam menyediakan
tempat persembunyian, dan mengupayakan dalam rangka penghilangan
jejak dan lainnya. Pasal 13 dan Pasal 15 termasuk delik percobaan,
pembantuan (sebelum dan pada saat kejahatan dilakukan), percobaan dan
permufakatan jahat yang dipidana setara pelaku atau tindak pidana
sempurna pembantuan dan penyertaan. Sedangkan menurut Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) ketentuan pidana bagi percobaan dan
pembantuan adalah dikurangi sepertiga dari ketentuan pidana bila
perbuatan selesai dilakukan.

Subyek tindak pidana terorisme dalam ketentuan Undang-Undang


Nomor 15 Tahun 2003 terdiri dari setiap orang dan/atau korporasi baik
dalam penyertaan maupun penganjuran. Disebutkan dalam ketentuan Pasal
17 bahwa dalam hal tindak pidana terorisme dilakukan oleh atau atas nama
suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dilakukan korporasi
dan/atau pengurusnya. Tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh
korporasi yang dimaksud yaitu yang dilakukan oleh orang-orang baik
berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain secara bersama-sama
ataupun sendiri. Apabila tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu
korporasi, maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurusnya. Apabila
suatu korporasi tidak terlibat secara langsung dalam kegiatan terorisme,
korporasi dapat menjadi pihak penyedia dana yang mendukung
keberhasilan terlaksana atau tidaknya tindakan teror.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Atas tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh suatu korporasi


sesuai Pasal 18, maka panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat
panggilan disampaikan kepada pengurus di tempat tinggalnya atau
kantornya. Korporasi yang dimaksud adalah kumpulan orang dan/atau
kekayaan yang terorganisasi baik dalam bentuk badan hukum maupun
bukan badan hukum. Selain pidana pokok berupa pidana denda, korporasi
tersebut dapat dibekukan atau dicabut izinnya dan dinyatakan sebagai
korporasi yang terlarang. Korporasi juga dapat dibebani
pertanggungjawaban secara vicarious liability.

Bagi pelaku tindak pidana terorisme yang terdiri atas setiap orang
atau individu maka menurut undang-undang dapat dijatuhi pidana sesuai
kategori tindak pidana terorisme yang dilakukan. Pidana pokok yang
dijatuhkan berupa pidana penjara minimal 3 (tiga) tahun dan maksimal 20
(dua puluh) tahun, pidana mati, atau pidana seumur hidup. Terhadap setiap
orang yang dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan dana
dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahui akan digunakan
sebagian atau seluruhnya untuk tindak pidana terorisme dapat dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun. Namun ketentuan mengeni penjatuhan pidana mati dan
seumur hidup tidak berlaku bagi pelaku tindak pidana terorisme yang
berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun.

Selain mengatur mengenai tindak pidana terorisme, dalam Undang-


Undang Nomor 15 Tahun 2003 khususnya Bab IV Pasal 20, Pasal 21,
Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24 diatur mengenai tindak pidana lain yang
berkaitan dengan tindak pidana terorisme. Tindakan-tindakan tersebut
berupa kekerasan atau ancaman kekerasan atau melakukan intimidasi
terhadap penyelidik, penyidik, penuntut umum, penasehat hukum,
dan/atau hakim yang menangani tindak pidana terorisme sehingga
menggangu proses peradilan yang sedang berlangsung (Pasal 20).
Kemudian seseorang dapat dihukum apabila memberikan kesaksian palsu,
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

menyampaikan alat bukti palsu, dan mempengaruhi saksi secara melawan


hukum di sidang pengadilan, atau menyerang saksi dan petugas pengadilan
(Pasal 21).

2. Pengaturan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Malaysia Menurut


Internal Security Act Malaysia Tahun 1960

Internal Security Act Malaysia atau Akta Keselamatan Dalam


Negeri merupakan suatu akta yang diwujudkan oleh Parlemen Malaysia
yang berlaku di Malaysia Barat dan Malaysia Timur. Akta Keselamatan
Dalam Negeri tahun 1960 (Akta 82) yang lebih dikenal dengan ISA ini
bertujuan untuk mencegah tindakan ancaman oleh sekumpulan orang yang
substansial, baik dari dalam maupun luar Malaysia :

1. untuk menyebabkan kekerasan berencana terhadap orang atau


harta, atau untuk menyebabkan sejumlah besar warga negara takut
akan kekerasan itu; dan
2. untuk mendapatkan perubahan, dengan cara lain daripada cara
yang sah, terhadap Kerajaan Malaysia yang didirikan menurut
undang-undang.

Kegiatan terorisme menurut ketentuan yang terdapat dalam ISA


Malaysia termasuk dalam kejahatan yang berkaitan dengan keamanan
wilayah (offences relating to security areas). Ketentuan mengenai
pemberantasan tindak pidana terorisme tercantum dalam Bab III Internal
Security Act Malaysia Tahun 1960. Dalam Bab III terdiri dari dua bagian
dan sepuluh pasal yaitu Pasal 57 sampai Pasal 67. Ketentuan yang termuat
dalam ISA Malaysia tidak memberikan definisi mengenai terorisme
sebagai suatu perbuatan melainkan definisi teroris sebagai pelaku.
Menurut ketentuan dalam Internal Security Act Malaysia Tahun 1960,
yang dimaksud dengan teroris adalah setiap orang yang :
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

a. dengan menggunakan senjata api, bahan peledak atau amunisi


bertindak dengan cara yang merugikan keselamatan umum atau
perintah pemeliharaan ketertiban umum atau membangkitkan
kekerasan atau mengabaikan nasihat menurut hukum atau perintah
yang sah menurut hukum;
b. membawa atau memiliki dalam kepemilikan atau mengendalikan
senjata api, amunisi atau bahan peledak tanpa kewenangan yang
sah menurut hukum; atau
c. meminta, mengumpulkan atau, menerima persediaan apapun untuk
penggunaan orang yang bermaksud atau untuk bertindak, atau
baru-baru ini telah bertindak dengan cara merugikan keselamatan
umum atau pemeliharaan ketertiban umum.

Tidak diberikannya definisi mengenai terorisme dalam ISA bukan


berarti Pemerintah Malaysia tidak sungguh-sungguh dalam memberantas
tindak pidana terorisme. Definisi mengenai teroris yang terdapat dalam
Preliminary Internal Security Act Malaysia bagian Interpretation lebih
mengacu pada individu yang secara personal terlibat dalam aksi terorisme.
Definisi mengenai teroris dalam ISA lebih dipilih karena aksi terorisme
dapat dilakukan oleh individu, sekelompok orang atau negara sebagai
alternatif dari pernyataan perang secara terbuka. Kemudian, dari definisi
itu dapat diambil langkah-langkah lebih lanjut dalam usaha melindungi
keamanan dalam negeri, ketertiban umum dan memberantas terorisme.

Salah satu kegiatan yang merupakan kejahatan terhadap keamanan


wilayah dan dapat dikategorikan sebagai teroris yaitu setiap orang
membawa atau memiliki senjata api, amunisi, dan bahan peledak dalam
kekuasaannya di wilayah keamanan. Beban pembuktian ditanggungkan
kepada setiap orang dengan tanpa alasan pemaaf yang sah yang membawa
atau memiliki senjata api, amunisi, dan bahan peledak tersebut. Atas
tindakan tersebut, maka setiap orang yang dinyatakan bersalah melakukan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

kejahatan, dengan pasti dijatuhi hukuman mati. Ketentuan tersebut diatur


dalam Bab III Pasal 57 ayat (1) Internal Security Act Malaysia.

Namun ketentuan mengenai penguasaan dan pemilikan senjata api,


amunisi, dan bahan peledak tersebut dikecualikan bagi pihak-pihak
tertentu yang diatur dalam Pasal 57 ayat (2). Kemudian dalam Pasal 57
ayat (3) ISA, seseorang dianggap memiliki kekuasaan yang sah atas
senjata api, amunisi, dan bahan peledak jika ia dapat membuktikan
keahlian dalam menguasai senjata dan tidak setiap waktu membawa atau
menguasai senjata api, amunisi, dan bahan peledak.

Dalam hal bersama-sama dengan seseorang membawa atau


memiliki senjata api atau bahan peledak, maka setiap orang dapat diancam
dengan hukuman minimal 10 (sepuluh) tahun penjara dan maksimal
pidana mati atau seumur hidup. Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal
58, yaitu :

1) Setiap orang yang berada di dalam daerah keamanan bersama-


sama, atau ditemukan bersama dengan seseorang yang membawa
atau memiliki atau di bawah kekuasaannya senjata api, amunisi,
atau bahan peledak yang bertentangan dengan Pasal 57, di suatu
keadaan yang menimbulkan asumsi yang masuk akal yang ia
bermaksud, atau akan, untuk melakukan, atau baru saja melakukan,
dengan orang lain merugikan ketertiban umum atau ketertiban
masyarakat dinyatakan bersalah melakukan ancaman dan dapat,
dengan sangat meyakinkan, dijatuhi hukuman pidana mati atau
seumur hidup.
2) Setiap orang yang berada di dalam daerah keamanan bersama-
sama, atau ditemukan bersama dengan seseorang yang membawa,
atau memiliki atau di bawah kekuasaannya senjata api, amunisi
atau bahan peledak yang bertentangan dengan Pasal 57, di suatu
keadaan yang menimbulkan asumsi yang masuk akal yang ia
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ketahui bahwa orang tersebut membawa atau memiliki atau


menguasai senjata api, amunisi atau bahan peledak, dinyatakan
bersalah melakukan ancaman dan diancam, dengan sangat
meyakinkan, dapat dijatuhi hukuman pidana penjara paling lama
10 (sepuluh) tahun.
3) Di mana, penuntutan atas ancaman yang diatur di dalam pasal ini,
ditetapkan pada peradilan yang semestinya di mana terdakwa
bersama-sama dengan kelompok yang membawa atau memiliki
atau menguasai senjata api, amunisi dan bahan peledak itu, patut
diduga, hingga dapat dibuktikan sebaliknya, bahwa orang tersebut
membawa, memiliki atau menguasai senjata api, amunisi, atau
bahan peledak bertentangan dengan Pasal 57.

Selain memberikan ancaman pidana terhadap setiap orang yang


membawa, memiliki, atau menguasai senjata api, amunisi dan bahan
peledak, ISA juga memberikan ancaman pidana terkait penyediaan senjata.
Menurut ketentuan Pasal 2 (Interpretation) penyediaan yang dimaksud
meliputi amunisi, bahan peledak, senjata api, uang, makanan, minuman,
pakaian, obat-obatan, narkoba dan toko lainnya, peralatan, komoditas,
materi atau barang apapun juga. Ketentuan mengenai penyediaan diatur
dalam Pasal 59 Internal Security Act, yaitu :

(1) Barang siapa baik di dalam atau di luar daerah keamanan meminta,
menampung atau menerima pasokan (persediaan) dari orang lain
yang dalam keadaaan tertentu dapat menimbulkan asumsi masuk
akal bahwa ia bermaksud, atau akan, untuk melakukan, atau telah
melakukan, perbuatan yang merugikan ketertiban umum atau
ketertiban masyarakat, atau bahwa persediaan sangat dibutuhkan,
dikumpulkan, atau diterima berniat untuk digunakan oleh orang
lain yang memiliki niat atau akan, hingga untuk melaksanakannya,
atau telah melakukannya, atau untuk digunakan oleh teroris,
dinyatakan bersalah terhadap keamanan dan dapat, dengan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

meyakinkan, dijatuhi hukuman mati dengan keadaan di mana ia


dihukum karena barang pasokan yang ia timbun terdiri dari senjata
api, amunisi, dan bahan peledak, atau dapat dijatuhi hukuman
penjara seumur hidup pada kasus lain.
(2) Barang siapa yang baik di dalam atau di luar daerah keamanan
ditemukan memiliki pasokan (persediaan) untuk pihak yang ia
tidak dapat dengan sangat memuaskan peminta di dalam keadaan
tertentu yang menimbulkan asumsi yang masuk akal bahwa
pasokan dimaksudkan untuk kegunaan orang-orang yang
bertujuan, atau akan, untuk melakukan, atau telah melakukan,
perbuatan yang merugikan ketertiban umum atau ketertiban
masyarakat, atau pasokan ditujukan untuk digunakan para teroris,
dinyatakan bersalah melakukan kejahatan dan dapat, dengan sangat
menyakinkan, dijatuhi hukuman mati dengan keadaan di mana ia
dihukum karena barang pasokan yang ia timbun terdiri dari senjata
api, amunisi, dan bahan peledak, atau dapat dijatuhi hukuman
penjara seumur hidup pada kasus lain.
(3) Barang siapa yang baik di dalam atau di luar daerah keamanan
menyediakan, baik secara langsung maupun tidak langsung, barang
pasokan untuk orang lain yang dalam keadaan tertentu dapat
dicurigai bahwa orang tersebut bermaksud, atau akan, untuk
melakukan, atau telah melakukan perbuatan yang melanggar
ketertiban umum dan ketertiban masyarakat, atau barang pasokan
tersebut disediakan untuk tujuan digunakan oleh orang yang
bermaksud atau untuk melakukan, atau hingga melaksanakannya,
atau telah melakukan, atau barang tersebut dimaksudkan untuk
teroris, dinyatakan bersalah melakukan kejahatan dan, dengan
sangat meyakinkan, dihukum dengan hukuman mati dengan
keadaan di mana ia dihukum karena barang pasokan yang ia
timbun terdiri dari senjata api, amunisi, dan bahan peledak, atau
dapat dijatuhi hukuman penjara seumur hidup pada kasus lain:
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Menetapkan bahwa tidak seorangpun dinyatakan bersalah melakukan


kejahatan melawan aturan pasal ini jika ia membuktikan bahwa
sebelum ditahan oleh petugas polisi atau orang yang dengan
kekuasaannya ia memberikan dengan suka rela seluruh informasi
mengenai kejahatan pada petugas kepolisian.

(4) Pada tuntutan kejahatan melawan aturan pada pasal ini dapat tidak
perlu pada orang tertentu atau orang-orang dari siapa barang
pasokan diminta, dikumpulkan atau diterima atau untuk siapa
barang pasokan disediakan atau sengaja disediakan.
Dalam usaha mengungkap adanya tindakan atau kegiatan yang
dilakukan oleh teroris, sangat diperlukan adanya keterangan dari saksi.
Akan tetapi saksi dalam mengungkap kegiatan teroris tidak mudah dalam
menyampaikan keterangannya. Untuk itu, ISA memberikan ketentuan
mengenai hal-hal yang dapat diambil apabila saksi gagal atau lalai
melaporkan atau memberi keterangan mengenai kejahatan. Ketentuan
mengenai kegagalan atau kelalaian untuk melaporkan kejahatan atau
memberi keterangan dimuat dalam Pasal 60 (Failure to Report Offences or
to Give Information), yaitu :

Barang siapa yang baik di dalam atau di luar daerah keamanan, selama
ketentuan dalam Pasal 47 (ketentuan mengenai daerah keamanan)
dinyatakan berlaku , apabila :

(a) mengetahui atau memiliki yang dapat diyakini bahwa orang


tersebut berniat melakukan kejahatan melawan aturan ini tidak
melaporkan hal yang sama pada petugas kepolisian; atau
(b) memiliki di bawah kuasanya suatu informasi mengenai yang akan
datang atau perbuatan akan dilakukan atau di mana seseorang yang
ia tahu atau diyakini sebagai teroris tidak melaporkan hal yang
seharusnya pada kepolisian, dinyatakan bersalah melakukan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

kejahatan dan dapat dijatuhi, dengan menyakinkan, hukuman


penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun :
Menetapkan bahwa tidak seorangpun dinyatakan bersalah melakukan
kejahatan melawan aturan ini jika ia membuktikan jika sebelum ditangkap
oleh polisi atau pihak yang memiliki kekuasaan, secara suka rela
memberikan seluruh informasi kejahatan tersebut atau kegiatan atau
tempat pada polisi.
Ketentuan dalam ISA mengenai terorisme juga mengatur dalam hal
percobaan tindak kejahatan. Ketentuan tersebut diberlakukan tanpa adanya
prasangka sebagaimana diatur dalam Bab V Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) Negara Federasi Malaysia atau dengan Ketetapan
Ordonansi Sabah atau Serawak terhadap seseorang yang dapat bertempat
pada, atau berada di dalam atau berada di luar daerah keamanan.
Walaupun ketentuan Pasal 47 ISA (Proclamation of Security Areas) dalam
hal ini diterapkan pada usaha (percobaan) melakukan atau perbuatan yang
berhubungan dengan persiapan perbuatan melakukan kejahatan yang
melawan Pasal 61, maka ia tetap dianggap bersalah melakukan kejahatan
dan dengan menyakinkan, dapat dikenakan hukuman yang sama dengan
kejahatan. Jadi meskipun suatu perbuatan itu merupakan percobaan untuk
melakukan tindak pidana, maka ancaman hukuman yang dijatuhkan sama
dengan hukuman apabila perbuatan kejahatan selesai dilakukan.
Terkait dengan pembantuan yang melanggar, ketentuan Pasal 62
ISA (Assisting Offenders) menyebutkan bahwa tidak seorang pun
mengetahui atau mempunyai alasan untuk menyakini bahwa orang lain
telah melakukan kejahatan yang melanggar Pasal 62. Tindakan yang
merupakan pembantuan pelanggar dilakukan baik di dalam ataupun di luar
wilayah keamanaan, berupa memberikan orang lain perbantuan dengan
tujuan demikian untuk mencegah, menghalangi, atau turut campur dalam
proses penangkapan, persidangan atau penjatuhan hukuman terhadap
orang tersebut pada petugas yang berwenang.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Untuk kejahatan-kejahatan lainnya dan penghasutan dengan


menentang atau tidak tunduk pada ketentuan yang berlaku dinyatakan
sebagai kejahatan dan bersalah melakukan kejahatan. Upaya seseorang
menentang atau tidak tunduk pada peraturan atau syarat dalam ketentuan
yang lain juga dapat dinyatakan bersalah melakukan kejahatan. Selain itu,
termasuk pula tindakan menentang atau tidak tunduk terhadap ketentuan
baik di dalam maupun di luar daerah keamanan serta melakukan
persekongkolan pelanggaran dan melakukan kelalaian yang tidak
semestinya. Ketentuan tersebut merupakan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 63 (Other Offences under this Part and Abetment).
Sanksi dijatuhkan bagi siapa saja yang bersalah melakukan
kejahatan yang bertentangan dengan Pasal 63 dengan ketentuan tanpa
hukuman khusus. Subjek pada ketentuan khusus yang dimaksud dalam
bagian tersebut atau peraturan lain yang diatur dalam Pasal 71, secara
menyakinkan dapat dijatuhi hukuman dengan membayar denda paling
tinggi lima ribu dolar atau penjara paling lama tiga tahun. Menurut Pasal
63A (General Penalty under Part 63), kedua sanksi yang berupa denda
paling tinggi lima ribu dolar atau penjara paling lama tiga tahun dapat
dijalankan secara bersama-sama.
Terkait pihak yang mempunyai kekuasaan untuk membuat
peraturan, ISA Malaysia mengaturnya dalam Bab VI (Power to Make
Regulations) Pasal 71. Ketentuan yang diatur dalam Pasal 47
(Proclamation of Security Areas) mengharuskan Yang Dipertuan Agung
sesuai dengan undang-undang untuk membuat peraturan yang menyangkut
keamanan daerah yang pertimbangannya layak untuk keamanan umum.
Dalam kaitannya dengan tindak pidana terorisme, dapat ditetapkan
ketentuan mengenai pembayaran hadiah untuk pekerja yang dirugikan atau
untuk kepercayaan atas terbunuhnya pekerja oleh perbuatan terorisme di
daerah keamanan. Ketentuan pidana yang dijatuhkan atas pelanggaran
tidak melebihi dua ribu dolar atau penjara tidak lebih dari tiga tahun atau
keduanya.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Preventive detention atau tindakan pencegah sebagai upaya dalam


menjaga dan melindungi keamanan daerah dan ketertiban umum di
Malaysia diatur secara khusus dalam ISA. Jenis-jenis tindakan pencegah
yang merupakan upaya Pemerintah Malaysia diwujudkan dalam Pasal 72
dan Pasal 73 hanya dapat dilakukan oleh Kepolisian atau pihak lain yang
ditetapkan secara khusus oleh undang-undang. Jenis-jenis tindakan
pencegah tersebut adalah penangkapan dan penjaminan pelanggaran
sebagaimana diatur dalam Pasal 72 ayat (1) dan (2). Penangkapan dapat
dilakukan terhadap setiap orang yang melakukan pelanggaran
bertentangan dengan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Prosedur
Kejahatan (Criminal Procedure Code). Ancaman pidana atas pelanggaran
berupa hukuman penjara untuk melampaui waktu tiga tahun tidak akan
ditebus demi kepentingan Kitab Undang-Undang Prosedur Kejahatan
(Criminal Procedure Code).

3. Komparasi Pengaturan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme antara


Indonesia dan Malaysia Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Internal Security Act
Malaysia Tahun 1960.

Berdasarkan pembahasan mengenai substansi masing-masing


undang-undang dalam mengatur pemberantasan tindak pidana terorisme di
atas maka dapat diambil hal-hal yang menjadi perbedaan antara keduanya.

PERBEDAAN
Perbedaan Hukum Materiil

No. Perbedaan UU No. 15 Tahun Internal Security


2003 Act Malaysia
1 Perbuatan Pidana :
a. Unsur-unsur tindak a. Unsur-unsur tindak a. Unsur-unsur
pidana terorisme pidana terorisme teroris yang
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

menunjuk
pada pelaku
b. Asas retroaktif b. Berlaku b. Tidak berlaku
2 Pertanggungjawaban pidana Individu dan Individu
korporasi
3 Ketentuan pidana :
1. Delik selesai 1. pidana mati atau 1. hukuman mati
2. Percobaan penjara seumur 2. dipidana sama
3. Pembantuan hidup atau penjara dengan
4. permufakatan paling lama dua ketentuan
puluh tahun atau pidana apabila
paling singkat tiga delik selesai
tahun 3. hukuman
2. pidana sama minimal
dengan ketentuan sepuluh tahun
pidana apabila penjara dan
delik selesai maksimal
3. pidana penjara pidana mati
paling singkat tiga atau seumur
tahun dan paling hidup
lama lima belas 4. hukuman
tahun penjara
4. dipidana setara seumur hidup
pelaku atau tindak
pidana sempurna
pembantuan dan
penyertaan

Tabel 1. Perbedaan Hukum Materiil Pengaturan Pemberantasan Tindak


Pidana Terorisme antara Indonesia dan Malaysia
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Perbedaan hukum materiil pemberantasan tindak pidana terorisme


yang terdapat dalam dua peraturan perundang-undangan mengenai
pemberantasan tindak pidana terorisme antara Indonesia dan Malaysia
yaitu :
1. Perbuatan Pidana
Perbedaan dalam hal perbuatan pidana terkait dengan
rumusan unsur-unsur tindak pidana terorisme yang terdapat dalam
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 dan ISA Malaysia.
Terdapat persoalan yang mendasar bahwasannya tidak ada
kesepakatan secara hukum internasional mengenai definisi
terorisme, akan tetapi ini bukan berarti terorisme bukan merupakan
kejahatan. Tidak adanya kesepakatan internasional mengenai
terorisme ini mengakibatkan unsur-unsur terorisme yang terdapat
dalam peraturan perundang-undangan tiap negara berbeda-beda
disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan negara yang
menerapkan. Pada dasarnya unsur-unsur tindak pidana terorisme
sangat diperlukan dalam memberikan batasan suatu tindakan.
Dalam usaha melakukan pemberantasan tindak pidana
terorisme, pemerintah Indonesia melalui produk hukumnya yaitu
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 memberikan definisi atau
unsur-unsur mengenai tindak pidana terorisme. Sedangkan
pemerintah Malaysia melalui produk hukumnya tidak memberikan
definisi mengenai tindak pidana terorisme akan tetapi definisi
mengenai teroris yang lebih menunjuk pada pelaku terorisme.
Penggunaan definisi teroris dalam ISA Malaysia untuk
menggambarkan bahwa aksi terorisme dapat dilakukan oleh
individu, sekelompok orang atau negara sebagai alternatif dari
pernyataan perang secara terbuka. Istilah teroris yang digunakan
dalam rumusan ISA Malaysia lebih menekankan pada individu
yang secara personal terlibat dalam aksi terorisme. Tidak
diberikannya definisi mengenai tindak pidana terorisme atau unsur-
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

unsur terorisme dalam rumusan ISA Malaysia dikarenakan masih


terjadi perdebatan internasional mengenai definisi terorisme. Akan
tetapi, dari definisi mengenai teroris ini, maka unsur-unsur tindak
pidana terorisme sudah dapat dirumuskan. Terorisme menurut ISA
Malaysia sudah dapat dipastikan menggunakan peralatan seperti
senjata api, amunisi dan bahan peledak yang dapat merugikan
keselamatan umum atau perintah pemeliharaan ketertiban umum
atau mengabaikan nasihat menurut hukum atau perintah yang sah
menurut hukum. Setiap orang yang terbukti membawa, memiliki,
atau mengendalikan dan meminta, mengumpulkan, atau menerima
persediaan peralatan berupa senjata api, amunisi, dan bahan
peledak tanpa kewenangan yang sah menurut hukum juga telah
memenuhi unsur-unsur tindak pidana terorisme.
Meskipun belum ada kesepakatan internasional dalam
merumuskan definisi tindak pidana terorisme, Pemerintah
Indonesia tetap berusaha merumuskan definisi tindak pidana
terorisme dalam peraturan perundang-undangan. Unsur-unsur
tindak pidana terorisme dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana yaitu terdapat dalam
Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 yang memuat delik materiil dan
delik formil. Delik materiil dirumuskan dalam Pasal 6 sehingga
harus dibuktikan akibat yang ditimbulkan atas suatu perbuatan.
Delik formil terdapat dalam rumusan Pasal 7 sampai dengan Pasal
12, sehingga yang harus dibuktikan adalah adanya maksud atau
niat melakukan suatu perbuatan.
Unsur-unsur tindak pidana terorisme dalam Pasal 6 sampai
dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 memuat
delik materiil dan formil, sedangkan definisi teroris dalam ISA
Malaysia unsur-unsurnya hanya memuat delik formil saja yaitu
adanya maksud atau niat bertindak dengan cara merugikan
keselamatan umum. Jadi rumusan unsur-unsur tindak pidana
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

terorisme menurut Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 Undang-


Undang Nomor 15 Tahun 2003 lebih luas dibanding dengan
definisi teroris yang menunjuk pada terorisme dalam ISA
Malaysia.
Sementara itu, Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003
diberlakukan dengan menganut asas retroaktif yang berlaku pula
terhadap kejahatan tindak pidana terorisme sebelum terbentuknya
undang-undang. Jadi tindak pidana terorisme yang dilakukan
sebelum adanya undang-undang ini tetap dapat diproses
menggunakan ketentuan undang-undang ini. Sedangkan dalam ISA
Malaysia tidak menganut asas retroaktif terhadap kejahatan tindak
pidana terorisme yang terjadi sebelum terbentuknya ISA Malaysia.

2. Pertanggungjawaban Pidana
Subyek tindak pidana terorisme terkait dengan orang yang
melakukan tindak pidana terorisme. Subyek juga menentukan
terhadap penjatuhan pidana atau hukuman. Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 merupakan undang-undang yang secara
khusus mengatur mengenai tindak pidana terorisme, di mana dalam
rumusan undang-undang tentang tindak pidana khusus pelaku
terdiri dari orang perseorangan/individu dan korporasi baik dalam
bentuk badan hukum maupun non-badan hukum. Rumusan setiap
orang menurut ketentuan Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2003 adalah orang perseorangan, kelompok orang baik
sipil, militer, maupun polisi yang bertanggung jawab secara
individual, atau korporasi. Sedangkan korporasi menurut ketentuan
Pasal 1 butir 3, adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang
terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan
hukum.
Penggunaan subyek tindak pidana terorisme yang terdiri
dari orang perseorangan dan korporasi dalam rumusan undang-
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

undang pemberantasan tindak pidana terorisme karena pemerintah


sadar bahwa dalam masa globalisasi ini para pelaku juga
dilengkapi dengan peralatan dan kemampuan yang canggih.
Semakin canggihnya peralatan dan kemampuan yang digunakan
pelaku dalam melakukan aksi teror telah menunjukkan adanya
indikasi keterlibatan suatu korporasi baik sebagai penyedia dana
maupun sebagai penyedia peralatan. Ketentuan yang menyertakan
korporasi sebagai salah satu subyek pelaku tindak pidana terorisme
diatur dalam Pasal 17 dan Pasal 18. Korporasi dikualifikasikan
sebagai subjek tindak pidana terorisme sebagai implementasi
bahwa korporasi mampu melakukan tindak pidana dan mampu
untuk dipertanggungjawabkan dalam tindak pidana terorisme
(Abdul Wahid, 2004 : 72).
Sementara itu, ISA Malaysia diberlakukan hanya bagi
setiap orang sebagai satu individu. ISA Malaysia tidak
mencantumkan korporasi baik badan hukum maupun non-badan
hukum sebagai pelaku atau subyek tindak pidana terorisme.
Beberapa pasal mengenai terorisme yang diatur dalam ISA
Malaysia hanya ditujukan terhadap setiap orang. Rumusan setiap
orang menurut ISA Malaysia dianggap lebih luas dan telah
mencakup korporasi yang diwakili oleh pengurusnya sebagai
subyek tindak pidana. Akan tetapi, kelemahan yang kemudian
timbul dari tidak disertakannya korporasi sebagai pelaku kegiatan
terorisme dalam ISA Malaysia adalah penjatuhan pidana apabila
suatu korporasi terlibat dalam kegiatan terorisme. ISA Malaysia
tidak menjatuhkan pidana terhadap korporasi yang terlibat dalam
aksi teror meskipun ISA Malaysia dapat menjatuhkan pidana
terhadap setiap orang dalam korporasi tersebut.
Orang-orang yang terlibat dalam kerjasama untuk
mewujudkan tindak pidana terdiri dari perbuatan yang berbeda satu
dengan yang lain dan bisa juga tidak sama apa yang ada dalam
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

sikap batin mereka terhadap tindak pidana maupun peserta yang


lain (Adami Chazawi, 2005 : 73). Berdasarkan rumusan Pasal 55
KUHP dan Pasal 56 KUHP terdapat lima peranan pelaku tindak
pidana, yaitu : orang yang melakukan (dader/pleger), orang yang
menyuruh melakukan atau aktor intelektual (doenpleger/manus
domina), orang yang turut melakukan (mededader), orang yang
sengaja membujuk (uitlokker), dan orang yang membantu
melakukan (medeplichtige) (Leden Marpaung, 2005 : 78).
Dari bentuk penyertaan (deelneming) di atas, maka mereka
yang dapat membuat tindak pidana dalam tindak pidana terorisme
dan dapat dibebani pertanggungjawaban pidana, adalah :
1. orang yang secara tunggal perbuatannya mewujudkan
tindak pidana atau pembuat tunggal (dader);
2. orang yang menyuruh melakukan (doenpleger);
3. orang yang sengaja membujuk (utilokker);
4. orang yang turut melakukan (mededader); dan
5. orang yang membantu melakukan (medeplichtige).
Sedangkan di Malaysia mereka yang dapat membuat tindak
pidana dan pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana
terorisme dapat dijatuhkan kepada :
1. orang yang melakukan (pleger);
2. orang yang bersama-sama dengan pelaku; dan
3. orang yang membantu melakukan (medeplichtige) baik
sebelum, selama, maupun sesudah tindak pidana dilakukan.

3. Ketentuan Pidana
Ketentuan Pasal 19 dan Pasal 24 Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2003 menyebutkan bahwa ketentuan pidana bagi pelaku
dikecualikan atau tidak berlaku bagi pelaku tindak pidana
terorisme yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun.
Ketentuan pidana yang tidak diberlakukan terhadap pelaku yang
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun adalah ketentuan pidana


mati atau seumur hidup. Sementara dalam ISA Malaysia, tidak ada
pengecualian ketentuan pidana meskipun tindak pidana terorisme
dilakukan oleh pelaku yang berusia di bawah 18 (delapan belas)
tahun. Jadi ketentuan pidana mati atau seumur hidup tetap dapat
diberlakukan bagi pelaku tindak pidana terorisme yang berusia di
bawah 18 (delapan belas) tahun. Selain itu, ketentuan dalam ISA
Malaysia khususnya Pasal 65 ayat (3) menyebutkan bahwa tak
seorang pun wanita yang dicari dalam ketentuan tersebut selain
oleh seorang wanita.
Sebagai usaha dalam memberantas tindak pidana terorisme,
pemerintah Indonesia dan Malaysia menerapkan sanksi maksimum
dengan pidana mati atau penjara seumur hidup. Harapan dengan
diterapkannya sanksi maksimum ini adalah membuat jera atau
takut para pelaku sehingga mereka mengurungkan niatnya untuk
melakukan tindak pidana terorisme. Akan tetapi pidana minimum
yang dijatuhkan menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
dan ISA Malaysia berbeda. Pidana minimum menurut Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2003 adalah pidana kurungan selama 1
(satu) tahun, sedangkan pidana minimum menurut ISA Malaysia
adalah pidana penjara selama 3 (tiga) tahun.
Dalam hal delik selesai, ketentuan dalam Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 menerapkan ketentuan pidana mati atau
penjara seumur hidup atau penjara paling lama dua puluh tahun
atau paling singkat tiga tahun. Sedangkan dalam ISA Malaysia
diterapkan ketentuan pidana mati. Ketentuan dalam ISA Malaysia
tersebut lebih berat dibandingkan dengan ketentuan dalam
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 karena dalam ISA
Malaysia hukuman mati sebagai satu-satunya hukuman yang
dijatuhkan, dan tidak ada alternatif lain selain hukuman mati.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Ketentuan pidana yang dijatuhkan dalam hal percobaan


dalam tindak pidana terorisme di Indonesia adalah sama dengan
ketentuan pidana apabila perbuatan/kejahatan selesai dilakukan.
Ketentuan tersebut sama dengan ketentuan pidana yang dijatuhkan
menurut ISA Malaysia yaitu ketentuan pidana bagi percobaan
tindak pidana terorisme adalah sama dengan ketentuan pidana
apabila kejahatan selesai. Sementara itu, ketentuan pidana bagi
pembantuan atau permufakatan jahat menurut Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 dan ISA Malaysia adalah sama dengan
ketentuan pidana bagi pelaku tindak pidana terorisme (pleger) atau
tindak pidana sempurna penyertaan dan pembantuan.

II. Kelemahan dan Kelebihan Pengaturan Pemberantasan Tindak Pidana


Terorisme Antara Indonesia dan Malaysia Menurut Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
dan Internal Security Act Malaysia Tahun 1960

Pemberantasan tindak pidana terorisme antara Indonesia dan Malaysia


dilakukan dengan kebijakan dan langkah yang tidak jauh berbeda. Pemerintah
Indonesia dan Malaysia sama-sama menganggap bahwa terorisme bukan
hanya kejahatan yang mengancam dan merusak keamanan dan keutuhan suatu
bangsa dan negara, tetapi juga merusak tatanan dan kedamaian masyarakat
internasional. Terorisme merupakan bagian dari extra ordinary crimes yang
berbeda dengan kejahatan lainnya karena kebiadaban kejahatan itu dalam era
keberadaban telah mengorbankan manusia/orang-orang yang tak berdosa.
Komitmen masyarakat internasional dalam mencegah dan memberantas
terorisme sudah diwujudkan dalam berbagai konvensi internasional yang
menegaskan bahwa terorisme merupakan kejahatan yang mengancam
perdamaian dan keamanan umat manusia. Atas dasar itu, seluruh anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) termasuk Indonesia dan Malaysia wajib
mendukung dan melaksanakan Resolusi Dewan Keamanan PBB yang
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

mengutuk dan menyerukan seluruh anggota PBB untuk mengambil langkah


pencegahan dan pemberantasan terorisme melalui pembentukan peraturan
perundang-undangan.

Dalam rangka pembangunan masyarakat di dalam suatu negara yang


sedang berkembang, peraturan mempunyai peran yang sangat penting
terutama sebagai pembinaan hukum. Mochtar Kusumaatmaja menyatakan
bahwa hukum dapat dijadikan alat untuk mengubah dan membentuk
masyarakat baru yang adil dan makmur (Mochtar Kusumaatmaja, 2002 : 36).
Sehingga atas dasar tersebut, pemerintah Indonesia dan Malaysia sama-sama
mengambil langkah pemberantasan tindak pidana terorisme dengan
mengeluarkan kebijakan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Setiap
negara mempunyai langkah yang menurut Michael Chertoff dalam Harvard
Journal of Law and Public Policy, dilakukan melalui pendekatan peraturan
yang terdapat siasat melawan terorisme berupa : mencegah para teroris dari
masuknya di suatu negara, menangkap atau membunuh mereka di pangkalan
induknya kapanpun memungkinkan, menghentikan mereka di sepanjang
perjalanan mereka, dan membawa mereka untuk menegakkan suatu keadilan
di sini atau di tempat lain di dunia (Taken together, these approaches
constitute a layered strategy against terrorism: deterring terrorists from
entering the country; capturing or killing them in their home base whenever
possible; stopping them in the course of their travel; and bringing them to
justice once found here or elsewhere in the world) (Vol. 32 No.1- ).

Menghadapi kenyataan setelah terjadi serangkaian peledakan bom di


Bali dan puncaknya pada tanggal 12 Oktober 2002, untuk mengantisipasi
segala kemungkinan terjadinya kembali berbagai serangan terhadap jiwa,
harta benda, dan instalasi-instalasi vital yang ada di Indonesia, pemerintah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pembentukan
peraturan perundang-undangan sebagai langkah untuk memberantas tindak
pidana terorisme tersebut kemudian dipertegas dengan menetapkan Perpu
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme


menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme. Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tersebut tidak terlepas
dari kelebihan dan kelemahannya sebagai suatu kebijakan dalam memberantas
tindak pidana terorisme. Kelemahan dan kelebihan itu sendiri dapat
menunjukkan sejauh mana efektifitas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme baik dalam usaha
memberantas maupun mencegah tindak pidana terorisme. Berdasarkan
pembahasan pengaturan pemberantasan tindak pidana terorisme, kelebihan
pengaturan pemberantasan tindak pidana terorisme menurut Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003, sebagai berikut :

1) Ruang lingkup berlakunya undang-undang atau yurisdiksi undang-


undang dapat berlaku bagi setiap orang yang melakukan atau
bermaksud melakukan tindak pidana terorisme di wilayah negara
Republik Indonesia dan/atau negara lain yang mempunyai yurisdiksi
dan menyatakan maksudnya untuk melakukan penuntutan terhadap
pelaku tersebut. Ketentuan tentang yurisdiksi juga didasarkan pada
asas teritorial, asas ekstrateritorial, dan asas nasional aktif yang
diperkuat dengan ketentuan tentang kerjasama internasional sehingga
diharapkan dapat secara efektif memiliki daya jangkau terhadap tindak
pidana terorisme.
2) Adanya penegasan bahwa tindak pidana terorisme dikecualikan dari
tindak pidana politik atau tindak pidana yang bertujuan politik yang
dapat menghambat proses ekstradisi.
3) Unsur-unsur tindak pidana terorisme dalam definisi tindak pidana
terorisme Pasal 6 sampai Pasal 17 tidak hanya memuat mengenai delik
materiil dan formil, akan tetapi diperluas dengan memuat delik
penyertaan, percobaan, perencanaan dan delik pembantuan yang
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

diharapkan dapat secara efektif memberantas segala kegiatan


terorisme.
4) Pertanggungjawaban pidana dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2003 dapat dijatuhkan kepada setiap orang sebagai individu dan
kepada korporasi. Pertanggungjawaban pidana kepada korporasi dapat
dijatuhkan dengan mencabut izin dari korporasi tersebut.
5) Diterapkannya pidana mati atau pidana seumur hidup sebagai pidana
maksimum terhadap pelaku tindak pidana terorisme dan adanya
pengecualian terhadap pelaku yang berumur di bawah 18 (delapan
belas) tahun. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme juga tetap mempertahankan
ancaman sanksi pidana dengan minimum khusus.
6) Ketentuan pidana bagi percobaan dan pembantuan adalah sama dengan
ketentuan pidana apabila perbuatan atau kejahatan selesai dilakukan.
7) Undang-undang ini merupakan ketentuan payung (umbrella act)
terhadap peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan
dengan pemberantasan tindak pidana terorisme.
8) Undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana terorisme
memuat ketentuan tentang pendanaan untuk kegiatan teroris sebagai
tindak pidana terorisme sehingga sekaligus juga memperkuat Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang.

Meskipun terdapat kelebihan tidak menutup kemungkinan adanya


kelemahan dari undang-undang. Kelemahan yang terdapat dalam Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2003, yaitu :

1) Rumusan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang


Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sangat interpretatif dan
elastis serta tidak jelas batasan-batasannya, karena belum melakukan
tindak pidana terorisme sudah mendapat ancaman hukuman yang
berat.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2) Rumusan tindak pidana terorisme dalam Pasal 7 memberikan sanksi


yang terlalu berat bagi tindakan delik formil yang belum menimbulkan
dampak apapun, kepada orang lain yang terlalu berlebihan. Pasal 7
juga memungkinkan aparat untuk melakukan tindakan represif.

Sementara itu, ISA Malaysia yang diterapkan di Malaysia sebagai


kebijakan untuk memberantas tindak pidana terorisme juga tidak terlepas dari
kelebihan dan kelemahan. Kelebihan dari ISA Malaysia menurut pembahasan
mengenai pengaturan pemberantasan tindak pidana terorisme, yaitu :

1) ISA Malaysia memberikan kewenangan kepada Pemerintah Malaysia


untuk mencegah segala tindakan ancaman yang menyebabkan
kekerasan berencana terhadap orang atau harta benda dengan
melakukan penangkapan dan penahanan pencegahan (preventive
detention) tehadap setiap orang yang dicurigai tanpa dibuktikan
melalui proses peradilan.
2) Ketentuan pidana untuk percobaan tindak pidana sama dengan
ketentuan pidana apabila kejahatan selesai dilakukan.
3) Ketentuan pidana bagi orang yang membantu terlaksananya tindak
pidana terorisme, setara dengan ketentuan pidana bagi pelaku.
4) Digunakannya pidana mati atau seumur hidup sebagai pidana
maksimum yang diancamkan terhadap pelaku tindak pidana terorisme.
5) Digunakannya asumsi yang masuk akal sebagai dasar untuk
mencurigai setiap orang yang melakukan tindak pidana terorisme
dalam bentuk laporan intelijen.
6) Tindak pidana terorisme yang diatur dalam ketentuan ISA Malaysia
tidak dikecualikan dari tindak pidana yang bertujuan atau bermotif
politik, sehingga dengan tujuan apapun tindak pidana terorisme itu
maka dapat dijatuhi ketentuan pidana sebagaimana yang telah diatur.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Sedangkan kelemahan pemberantasan tindak pidana terorisme yang


terdapat dalam Internal Security Act Malaysia, yaitu :
1) ISA Malaysia tidak memberikan definisi terorisme sebagai suatu aksi,
melainkan memberikan definisi teroris yang dapat mempersempit
unsur-unsur atau ruang lingkup tindak pidana terorisme.
2) Tidak adanya pengaturan yang jelas mengenai ruang lingkup atau
yurisdiksi berlakunya ISA Malaysia sehingga tidak jelas terhadap siapa
sajakah atau apa sajakah ISA Malaysia dapat diterapkan dan
diberlakukan.
3) Tidak ada pembedaan terhadap subyek pelaku tindak pidana yang
terdiri atas setiap orang sebagai individu dan korporasi, sehingga
apabila korporasi terlibat tindak pidana terorisme, maka terhadap
korporasi tersebut tidak dapat dijatuhi pidana baik pidana denda
maupun pidana administrasi.
4) Tidak adanya kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi yang diberikan
kepada tersangka/terdakwa maupun korban.
5) Amandemen terhadap ISA pada tahun 1988 justru menunjukkan
karakter otoriter ISA karena menutup ruang bagi peninjauan kembali
atas putusan yang dibuat oleh Menteri Dalam Negeri atau Yang
Dipertuan Agung yang mempunyai hak diskresi menurut ISA.
Ketentuan dalam Pasal 16 ISA juga memberi hak kepada pejabat untuk
menutup informasi yang selanjutnya menyulitkan upaya untuk
melakukan peninjauan.
6) Ketentuan ISA Malaysia tidak diterapkan berdasarkan asas retroaktif
sehingga tidak dapat melakukan penuntutan terhadap tindak pidana
terorisme sebelum ISA Malaysia ada.

Meskipun terdapat kelemahan dalam penerapan ISA Malaysia,


penanganan pemberantasan tindak pidana terorisme di Malaysia dengan
penggunaan preventive detention (penahanan dini tanpa dibuktikan dalam
persidangan) terbukti lebih efektif dibanding dengan penerapan Undang-
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia. ISA Malaysia


dengan menerapkan preventive detention merupakan salah satu kelebihan
karena dapat mencegah segala kegiatan terorisme di Malaysia. Sejak
diberlakukanya ISA Malaysia, telah banyak orang yang ditangkap dan ditahan
tanpa melalui proses peradilan terlebih dulu dengan dilanggar hak asasinya.
Namun sejak pemberlakuan ISA, Malaysia hampir tak pernah terdengar
mengalami segala bentuk aksi teror.

ISA yang diterapkan di Malaysia lebih digunakan untuk kepentingan


preventive detention, yaitu memberikan hak kepada aparat negara untuk
melakukan penangkapan dan penahanan selama 60 (enam puluh) hari tanpa
adanya proses pengadilan terlebih dahulu. Dalam kurun waktu penahanan
tersebut, mereka yang dikenakan masa tahanan tidak memperoleh akses atas
bantuan hukum dan tidak dapat berhubungan dengan keluarganya. Ketentuan
tersebut dapat mengakibatkan seseorang terampas hak-hak asasinya seperti
yang tercantum dalam Universal Declaration of Human Rights, yaitu hak akan
pengadilan yang adil, hak dianggap tak bersalah sampai dibuktikan oleh
hukum (presumption of innocence) dan hak perlindungan dari penyiksaan dan
perlakuan yang merendahkan martabat (torture or other cruel, inhuman or
degrading treatment).

Internal Security Act atau yang disingkat dengan ISA Malaysia secara
historis merupakan produk kolonial Inggris yang menerapkan keadaan darurat
pada tahun 1948 sebagai respons terhadap kemungkinan ancaman Partai
Komunis dan pasukan gerilyanya. Namun peraturan mengenai keadaan
darurat itu kemudian dicabut pada tahun 1960 di mana kelompok komunis
telah dikalahkan.

Pada tahun yang sama Pemerintah Malaysia menerapkan ISA sebagai


penggantinya yang tidak sama dengan peraturan mengenai keadaan darurat
pada tahun 1948. Peraturan mengenai keadaan darurat lebih bersifat sementara
untuk menghadapi situasi yang luar biasa, sedangkan ISA bersifat permanen
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

karena masih berlaku hingga saat ini. Sejak itu ISA dinilai telah digunakan
secara politis dan selektif terhadap masyarakat sipil yang dianggap sebagai
ancaman dan kurang lebih 4000 (empat ribu) orang telah ditahan sejak
pemberlakuan ISA (http://www.unisosdem.org/, Surakarta, 7 Oktober 2009).

Pemerintah Malaysia lebih memilih menggunakan pendekatan yang


bersifat keras dan represif dalam menangani tindak pidana terorisme.
Pendekatan yang keras tersebut terwujud dengan adanya preventive detention
dalam ketentuan ISA Malaysia. Preventive detention dapat dikatakan
merupakan metode pendekatan yang keras karena tidak adanya unsur
penghormatan terhadap hak asasi manusia. Ketentuan dalam ISA Malaysia
dipaksakan kepada setiap orang dari kelompok atau negara manapun tanpa
memandang faktor budaya, sosial maupun usia yang melatarbelakangi orang
tersebut. Penangkapan dan penahanan tanpa dibuktikan terlebih dahulu di
muka persidangan merupakan tindakan yang tidak menjunjung tinggi hak
asasi manusia. Selain itu penerapan asas praduga bersalah (presumption of
guilty) tidak memberikan kesempatan seseorang untuk membela diri. Akan
tetapi kelebihan dari metode pendekatan yang keras dan represif ini dapat
memberikan efek penjeraan terhadap setiap orang yang berusaha merusak
stabilitas keamanan Malaysia.

Sementara di Indonesia, meskipun telah ada payung hukum (umbrella


act) dan menggunakan pendekatan yang lunak dan dari segi budaya dalam
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme, sampai sekarang
Indonesia masih menjadi target kegiatan terorisme. Terakhir aksi terorisme
yang mengakibatkan timbulnya korban jiwa dan merusak keamanan serta
ketertiban Indonesia adalah aksi terorisme yang dilakukan dengan meledakkan
bom bunuh diri di Hotel J.W. Marriott dan Hotel Ritz Carlton pada 17 Juli
2009.

BAB IV

PENUTUP
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

A. Simpulan
Dalam penelitian ini ada dua masalah pokok yang dikaji oleh penulis
yaitu: (1) tentang komparasi penanganan pemberantasan tindak pidana
terorisme antara Indonesia dan Malaysia menurut Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Internal
Security Act Malaysia Tahun 1960, dan (2) tentang kelemahan dan kelebihan
penanganan pemberantasan tindak pidana terorisme antara Indonesia dan
Malaysia menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Internal Security Act Malaysia
Tahun 1960.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap dua masalah
pokok di atas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Komparasi pengaturan pemberantasan tindak pidana terorisme di
Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 dan ISA
Malaysia dalam hukum materiil terdapat perbedaan mengenai
perbuatan pidana yaitu mengenai unsur-unsur terorisme dan teroris,
serta berlakunya asas retroaktif. Dalam rumusan Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 menggunakan definisi tindak pidana terorisme
sebagai perbuatan pidana yang memuat delik materiil dan delik formil
dan ISA Malaysia menggunakan definisi teroris yang memuat delik
formil saja dimana dari definisi tersebut lebih menunjuk pada pelaku.
Selain itu, komparasi dalam hal pertanggungjawaban pidana di mana
ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 subyek
tindak pidana terorisme terdiri dari setiap orang/individu dan korporasi
baik berbadan hukum maupun non-badan hukum. Mereka yang dapat
membuat tindak pidana terorisme dan dapat dibebani
pertanggungjawaban pidana menurut Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2003, adalah : dader, doenplager, uitlokker, mededader, dan
medeplichtige. Sedangkan mereka yang dapat melakukan tindak
pidana terorisme menurut ISA Malaysia, adalah : pleger, orang yang
bersama-sama dengan pelaku, dan medeplichtige. Ketentuan pidana
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

yang dijatuhkan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003


dikecualikan dari pelaku yang berusia di bawah 18 (delapan belas)
tahun dan ketentuan pidana bagi percobaan dan pembantuan sama
dengan ketentuan pidana apabila delik selesai dan setara dengan
pelaku. Sedangkan dalam ISA Malaysia, ketentuan pidana
dikecualikan dari seorang wanita dan ketentuan pidana bagi percobaan
dan pembantuan adalah sama dengan ketentuan bila delik selesai dan
setara dengan pelaku.
2. Terdapat kelebihan dan kelemahan dari pemberlakuan Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2003 dan ISA Malaysia dalam usaha
pemberantasan tindak pidana terorisme. Kelebihan dan kelemahan ini
dapat menjadi tolok ukur sejauhmana efektifitas penerapan peraturan
perundang-undangan sebagai langkah untuk memberantas tindak
pidana terorisme.

B. Saran
1. Terorisme merupakan kejahatan luar biasa yang mengancam keselamatan
manusia sehingga dalam rangka mencegah dan menanggulangi tindak
pidana terorisme perlu segera adanya kerjasama menyeluruh antar aparat
baik TNI maupun Kepolisian serta melibatkan seluruh lapisan masyarakat
mulai tingkat RT hingga RW.
2. Mengoptimalkan peran serta intelijen dalam mendeteksi sedini mungkin
akan kemungkinan adanya kegiatan mencurigakan yang berkaitan dengan
kegiatan terorisme.
3. Perlunya perbaikan ataupun penyempurnaan perangkat hukum dan
peraturan perundang-undangan dalam rangka mencegah dan memberantas
tindak pidana terorisme tanpa menghilangkan penghormatan atas hak asasi
manusia demi melindungi kepentingan masyarakat dan hak asasi manusia.
4. Meskipun ISA Malaysia dengan preventive detention-nya terbukti lebih
efektif dalam mencegah tindak pidana terorisme, namun Pemerintah
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Indonesia sebaiknya tidak perlu membuat peraturan perundang-undangan


semacam ISA Malaysia karena tidak dapat diterapkan pada kondisi
masyarakat di Indonesia.
5. Pemerintah perlu meningkatkan kerjasama internasional baik dalam hal
intelijen, Kepolisian maupun kerjasama teknis lainnya dalam usaha
mencegah dan memberantas tindak pidana terorisme.
6. Pemerintah perlu melakukan perbandingan terhadap pengaturan dan
penanganan pemberantasan tindak pidana terorisme dengan negara-negara
lain di dunia.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahid. 2004. Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM, dan


Hukum.Bandung : Refika Aditama.

Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1. Jakarta : Raja


Grafindo Persada.

. 2005. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3. Jakarta : Raja

Grafindo Persada.

Adjie S. 2005. Terorisme. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.

Barda Nawawi Arief. 2002. Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta : Raja


Grafindo Persada.

Bayu Dwiwiddy Jatmiko. 2005. “Dinamika Perkembangan Pengaturan Kejahatan


Keamanan Negara di Indonesia”. Legality
Jurnal Ilmiah Hukum. Vol. 13 No. 1. Malang : Legality.

Bintatar Sinaga. 2002. “Kejahatan Terorisme, Sebab, Modus Operandi, Konvensi


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Internasional, dan Upaya Penanggulangan”. Pusat Kajian Hukum


dan Keadilan.Vol. 2 No.2.
Edy Prasetyono. Internal Security Act (ISA): Berkaca dari Pengalaman Malaysia.
http://www.propatria.or.id/ [7 Oktober 2009 pukul 17.00].

Harian Seputar Indonesia. Selasa, 30 Mei 2006. Aspek Pembiayaan Dari Tindak
Pidana.
Internal Security Act Malaysia Tahun 1960.

I Wayan Parthiana. 2006. Hukum Pidana Internasional. Bandung : Yrama Widya.

Johnny Ibrahim. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif Edisi
Revisi. Malang : Bayumedia.

Leden Marpaung. 2005. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Jakarta : Sinar


Grafika.
Lukman Hakim. 2004. Terorisme di Indonesia. Surakarta : Forum Studi Islam
Surakarta (FSIS).
Mochtar Kusumaatmadja. 2002. Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan.
Bandung : Alumni.

Mohamad Mova Al Afghani. 2002. “Kampanye Melawan Terorisme Telah


Merusak Tatanan Hukum”. Vol.1 No. 9 November 2002.

Michael B. Mukasey. 2008. “National Security and The Rule of Law”. Harvard
Journal of Law and Public Policy. Vol. 32, No. 3.

Michael Chertoff. 2008. “Tools Against Terror: All of The Above”. Harvard
Journal of Law and Public Policy. Vol. 32, No.1.
Natangsa Surbakti. 2001. “Kebijakan Kriminal Terhadap Perbuatan Teror dan
Terorisme”. Jurnal Penelitian Hukum .Vol. 2 No. 1-Juni 2001.
OC Kaligis & Associates. 2003. Terorisme. Tragedi Umat Manusia. Jakarta : OC
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Kaligis & Associates.


P.A.F. Lamintang. 1996. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : Citra
Aditya Bakti.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2002
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Peter Mahmud Marzuki. 2006. Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana.

Ridarson Galingging. 2009. “Problems and Progress in Defining Terrorism in

International Law”. Jurnal Mimbar Hukum. Vol. 21, No. 3


Oktober 2009.
Romli Atmasasmita. 1996. Perbandingan Hukum Pidana. Bandung : Mandar

Maju.

Simorangkir, dkk. 2006. Kamus Hukum. Jakarta : Sinar Grafika.

Soeharto. 2007. Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa dan Korban Tindak


Pidana Terorisme dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia.
Bandung : Refika Aditama.

Soerjono Soekanto. 2006. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI-Press.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana


Terorisme
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Pengesahan International
Convention For The Suppression of Terrorist Bombings 1997.
http://www.indonesia.go.id/id/ -[4 Oktober 2009 pukul 19.10].
http://www.tempointeraktif.com/ [4 Oktober 2009 pukul 17.15].
http://tempointeraktif.com// [Surakarta, 7 Oktober 2009].
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

http://pemantauperadilan.com [Surakarta, 7 Oktober 2009].

http://www.unisosderm.org/ [Surakarta, 7 Oktober 2009].

http://en.wikipedia.org/wiki/Internal_Security_Act_(Malaysia) [7 Oktober 2009


pukul 19.05].
http://id.wikipedia.org/wiki/Terorisme[7 Oktober 2009 pukul 19.00].

http://www.detik.com [Surakarta, 11 Februari 2010].

http://buletinlitbang.dephan.go.id [Surakarta, 12 Maret 2010].

Anda mungkin juga menyukai