id
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Oleh
NIM. E0006157
FAKULTAS HUKUM
SURAKARTA
2010
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
BAB I
PENDAHULUAN
dan yang terakhir adalah bom yang meledek di Hotel J.W Marriott dan Hotel
Ritz Carlton (17 Juli 2009). Bom yang meledak di depan Hotel J.W. Marriott
tanggal 5 Agustus 2003, pada jam sibuk siang hari telah menewaskan 12
orang dan mencederai 149 lainnya (termasuk dua warga negara Amerika
Serikat) (Adjie S, 2005 : 437).
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan hukum formil dan
materiil yang berlaku terutama mengenai pengaturan
pemberantasan tindak pidana terorisme melalui Undang-Undang
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
a. Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada
pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada
umumnya dan Hukum Pidana pada khususnya.
b. Hasil penulisan ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan
literatur dalam dunia kepustakaan tentang komparasi atau
perbandingan pengaturan pemberantasan tindak pidana terorisme
antara Indonesia dan Malaysia melalui analisis terhadap Undang-
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan masukan
bagi semua pihak yang berkepentingan dan memberikan
jawaban terhadap permasalahan yang diteliti serta memberikan
jawaban mengenai pengaturan pemberantasan tindak pidana
terorisme di Indonesia dan Malaysia.
b. Menjadi wahana bagi penulis untuk mengembangkan
penalaran, membentuk pola pikir ilmiah sekaligus untuk
mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang
diperoleh.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
2. Sifat Penelitian
3. Pendekatan Penelitian
Dalam Penulisan hukum (Skripsi) ini terdiri atas empat bab yang
masing-masing terdiri atas beberapa subbab sesuai pembahasan dan materi
yang diteliti. Sistematika penulisan itu sendiri sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini disajikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika
penulisan.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Pada bab ini penulis akan memberikan landasan teori atau memberikan
penjelasan secara teoritik berdasarkan literatur-literatur yang penulis
gunakan, tentang hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang
sedang penulis teliti. Kerangka teori tersebut meliputi tinjauan tentang
perbandingan hukum, tinjauan tentang tindak pidana, tinjauan tentang
terorisme, tinjauan tentang Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
tentang Tindak Pidana Terorisme, dan tinjauan tentang Internal Security
Act Malaysia Tahun 1960.
Dalam bab ini berisi hasil dari penelitian dan pembahasan yang berupa
analisis dua peraturan perundang-undangan yang akan menjelaskan
komparasi pemberantasan tindak pidana terorisme dua negara yaitu
Indonesia dan Malaysia. Selain itu juga dibahas mengenai kelebihan dan
kelemahan penanganan pemberantasan tindak pidana terorisme antara
Indonesia dan Malaysia.
BAB IV : PENUTUP
Dalam bab ini penulis akan memberikan kesimpulan dari hasil penelitian
dan pembahasan serta memberikan saran-saran terhadap beberapa
kekurangan yang menurut penulis perlu diperbaiki dan yang penulis
temukan selama penelitian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
b. Pengertian Terorisme
B. Kerangka Pemikiran
Terorisme
Indonesia Malaysia
Undang- Internal
Undang Nomor Security Act
15 Tahun 2003 Tahun 1960
tentang
Pemberantasan
Tindak Pidana
Terorisme
Substansi
Pengaturan
Komparasi
C.
BAB III
berkaitan dengan tindak pidana politik, tindak pidana dengan motif politik,
dan tindak pidana dengan tujuan politik, yang menghambat proses
ekstradisi. Dikecualikannya tindak pidana terorisme dari motif politik
karena teroris yang memiliki motivasi politik menganggap dirinya sendiri
(kelompoknya) sebagai sebuah instrumen pengadilan, dan sama sekali
tidak beroperasi untuk tujuan kriminal (Adjie. S., 2005 : 9).
Unsur-unsur tindak pidana terorisme yang dimaksud dalam Pasal 1
ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme, diantaranya terdapat dalam rumusan Pasal 6 dan
Pasal 7.
Pasal 6 :
“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau
ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut
terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang
bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau
hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan
kerusakan atau kehancuran objek-objek vital strategis atau
lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional,
dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20
(dua puluh) tahun.”
Pasal 7 :
“Setiap orang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau
ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror
atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan
korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan
atau hilangnya harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan
kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang
strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas
internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur
hidup.”
Rumusan Pasal 6 dan Pasal 7 memuat unsur subjektif dan unsur
objektif untuk terjadinya tindak pidana. Akan tetapi terdapat perbedaan
antara kedua unsur tersebut. Unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 6
merupakan delik materiil sehingga unsur yang harus dibuktikan adalah
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
akibat dari perbuatan berupa munculnya suasana teror atau rasa takut yang
meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal. Unsur-unsur
tindak pidana terorisme dalam Pasal 7 merupakan delik formil sehingga
yang harus dibuktikan adalah adanya maksud untuk menimbulkan suasana
teror atau rasa takut yang meluas atau menimbulkan korban yang bersifat
massal, walaupun ancaman kekerasan atau kekerasannya belum dilakukan.
Jadi yang membedakan adalah sesuatu yang harus dibuktikan yaitu berupa
akibat dan maksud (Soeharto, 2007 : 90).
Bagi pelaku tindak pidana terorisme yang terdiri atas setiap orang
atau individu maka menurut undang-undang dapat dijatuhi pidana sesuai
kategori tindak pidana terorisme yang dilakukan. Pidana pokok yang
dijatuhkan berupa pidana penjara minimal 3 (tiga) tahun dan maksimal 20
(dua puluh) tahun, pidana mati, atau pidana seumur hidup. Terhadap setiap
orang yang dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan dana
dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahui akan digunakan
sebagian atau seluruhnya untuk tindak pidana terorisme dapat dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun. Namun ketentuan mengeni penjatuhan pidana mati dan
seumur hidup tidak berlaku bagi pelaku tindak pidana terorisme yang
berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun.
(1) Barang siapa baik di dalam atau di luar daerah keamanan meminta,
menampung atau menerima pasokan (persediaan) dari orang lain
yang dalam keadaaan tertentu dapat menimbulkan asumsi masuk
akal bahwa ia bermaksud, atau akan, untuk melakukan, atau telah
melakukan, perbuatan yang merugikan ketertiban umum atau
ketertiban masyarakat, atau bahwa persediaan sangat dibutuhkan,
dikumpulkan, atau diterima berniat untuk digunakan oleh orang
lain yang memiliki niat atau akan, hingga untuk melaksanakannya,
atau telah melakukannya, atau untuk digunakan oleh teroris,
dinyatakan bersalah terhadap keamanan dan dapat, dengan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
(4) Pada tuntutan kejahatan melawan aturan pada pasal ini dapat tidak
perlu pada orang tertentu atau orang-orang dari siapa barang
pasokan diminta, dikumpulkan atau diterima atau untuk siapa
barang pasokan disediakan atau sengaja disediakan.
Dalam usaha mengungkap adanya tindakan atau kegiatan yang
dilakukan oleh teroris, sangat diperlukan adanya keterangan dari saksi.
Akan tetapi saksi dalam mengungkap kegiatan teroris tidak mudah dalam
menyampaikan keterangannya. Untuk itu, ISA memberikan ketentuan
mengenai hal-hal yang dapat diambil apabila saksi gagal atau lalai
melaporkan atau memberi keterangan mengenai kejahatan. Ketentuan
mengenai kegagalan atau kelalaian untuk melaporkan kejahatan atau
memberi keterangan dimuat dalam Pasal 60 (Failure to Report Offences or
to Give Information), yaitu :
Barang siapa yang baik di dalam atau di luar daerah keamanan, selama
ketentuan dalam Pasal 47 (ketentuan mengenai daerah keamanan)
dinyatakan berlaku , apabila :
PERBEDAAN
Perbedaan Hukum Materiil
menunjuk
pada pelaku
b. Asas retroaktif b. Berlaku b. Tidak berlaku
2 Pertanggungjawaban pidana Individu dan Individu
korporasi
3 Ketentuan pidana :
1. Delik selesai 1. pidana mati atau 1. hukuman mati
2. Percobaan penjara seumur 2. dipidana sama
3. Pembantuan hidup atau penjara dengan
4. permufakatan paling lama dua ketentuan
puluh tahun atau pidana apabila
paling singkat tiga delik selesai
tahun 3. hukuman
2. pidana sama minimal
dengan ketentuan sepuluh tahun
pidana apabila penjara dan
delik selesai maksimal
3. pidana penjara pidana mati
paling singkat tiga atau seumur
tahun dan paling hidup
lama lima belas 4. hukuman
tahun penjara
4. dipidana setara seumur hidup
pelaku atau tindak
pidana sempurna
pembantuan dan
penyertaan
2. Pertanggungjawaban Pidana
Subyek tindak pidana terorisme terkait dengan orang yang
melakukan tindak pidana terorisme. Subyek juga menentukan
terhadap penjatuhan pidana atau hukuman. Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 merupakan undang-undang yang secara
khusus mengatur mengenai tindak pidana terorisme, di mana dalam
rumusan undang-undang tentang tindak pidana khusus pelaku
terdiri dari orang perseorangan/individu dan korporasi baik dalam
bentuk badan hukum maupun non-badan hukum. Rumusan setiap
orang menurut ketentuan Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2003 adalah orang perseorangan, kelompok orang baik
sipil, militer, maupun polisi yang bertanggung jawab secara
individual, atau korporasi. Sedangkan korporasi menurut ketentuan
Pasal 1 butir 3, adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang
terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan
hukum.
Penggunaan subyek tindak pidana terorisme yang terdiri
dari orang perseorangan dan korporasi dalam rumusan undang-
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
3. Ketentuan Pidana
Ketentuan Pasal 19 dan Pasal 24 Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2003 menyebutkan bahwa ketentuan pidana bagi pelaku
dikecualikan atau tidak berlaku bagi pelaku tindak pidana
terorisme yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun.
Ketentuan pidana yang tidak diberlakukan terhadap pelaku yang
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Internal Security Act atau yang disingkat dengan ISA Malaysia secara
historis merupakan produk kolonial Inggris yang menerapkan keadaan darurat
pada tahun 1948 sebagai respons terhadap kemungkinan ancaman Partai
Komunis dan pasukan gerilyanya. Namun peraturan mengenai keadaan
darurat itu kemudian dicabut pada tahun 1960 di mana kelompok komunis
telah dikalahkan.
karena masih berlaku hingga saat ini. Sejak itu ISA dinilai telah digunakan
secara politis dan selektif terhadap masyarakat sipil yang dianggap sebagai
ancaman dan kurang lebih 4000 (empat ribu) orang telah ditahan sejak
pemberlakuan ISA (http://www.unisosdem.org/, Surakarta, 7 Oktober 2009).
BAB IV
PENUTUP
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
A. Simpulan
Dalam penelitian ini ada dua masalah pokok yang dikaji oleh penulis
yaitu: (1) tentang komparasi penanganan pemberantasan tindak pidana
terorisme antara Indonesia dan Malaysia menurut Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Internal
Security Act Malaysia Tahun 1960, dan (2) tentang kelemahan dan kelebihan
penanganan pemberantasan tindak pidana terorisme antara Indonesia dan
Malaysia menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Internal Security Act Malaysia
Tahun 1960.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap dua masalah
pokok di atas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Komparasi pengaturan pemberantasan tindak pidana terorisme di
Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 dan ISA
Malaysia dalam hukum materiil terdapat perbedaan mengenai
perbuatan pidana yaitu mengenai unsur-unsur terorisme dan teroris,
serta berlakunya asas retroaktif. Dalam rumusan Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 menggunakan definisi tindak pidana terorisme
sebagai perbuatan pidana yang memuat delik materiil dan delik formil
dan ISA Malaysia menggunakan definisi teroris yang memuat delik
formil saja dimana dari definisi tersebut lebih menunjuk pada pelaku.
Selain itu, komparasi dalam hal pertanggungjawaban pidana di mana
ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 subyek
tindak pidana terorisme terdiri dari setiap orang/individu dan korporasi
baik berbadan hukum maupun non-badan hukum. Mereka yang dapat
membuat tindak pidana terorisme dan dapat dibebani
pertanggungjawaban pidana menurut Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2003, adalah : dader, doenplager, uitlokker, mededader, dan
medeplichtige. Sedangkan mereka yang dapat melakukan tindak
pidana terorisme menurut ISA Malaysia, adalah : pleger, orang yang
bersama-sama dengan pelaku, dan medeplichtige. Ketentuan pidana
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
B. Saran
1. Terorisme merupakan kejahatan luar biasa yang mengancam keselamatan
manusia sehingga dalam rangka mencegah dan menanggulangi tindak
pidana terorisme perlu segera adanya kerjasama menyeluruh antar aparat
baik TNI maupun Kepolisian serta melibatkan seluruh lapisan masyarakat
mulai tingkat RT hingga RW.
2. Mengoptimalkan peran serta intelijen dalam mendeteksi sedini mungkin
akan kemungkinan adanya kegiatan mencurigakan yang berkaitan dengan
kegiatan terorisme.
3. Perlunya perbaikan ataupun penyempurnaan perangkat hukum dan
peraturan perundang-undangan dalam rangka mencegah dan memberantas
tindak pidana terorisme tanpa menghilangkan penghormatan atas hak asasi
manusia demi melindungi kepentingan masyarakat dan hak asasi manusia.
4. Meskipun ISA Malaysia dengan preventive detention-nya terbukti lebih
efektif dalam mencegah tindak pidana terorisme, namun Pemerintah
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
DAFTAR PUSTAKA
Grafindo Persada.
Harian Seputar Indonesia. Selasa, 30 Mei 2006. Aspek Pembiayaan Dari Tindak
Pidana.
Internal Security Act Malaysia Tahun 1960.
Johnny Ibrahim. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif Edisi
Revisi. Malang : Bayumedia.
Michael B. Mukasey. 2008. “National Security and The Rule of Law”. Harvard
Journal of Law and Public Policy. Vol. 32, No. 3.
Michael Chertoff. 2008. “Tools Against Terror: All of The Above”. Harvard
Journal of Law and Public Policy. Vol. 32, No.1.
Natangsa Surbakti. 2001. “Kebijakan Kriminal Terhadap Perbuatan Teror dan
Terorisme”. Jurnal Penelitian Hukum .Vol. 2 No. 1-Juni 2001.
OC Kaligis & Associates. 2003. Terorisme. Tragedi Umat Manusia. Jakarta : OC
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Maju.