Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

MENGENAL TOKOH OKSIDENTALISME MUHAMMAD IQBAL

Dosen pengampu: Maliki M. Ag

Kelompok : VI

Nurul Hikmah 190602086

Adawiyatun Nupus 190602085

Muhammad Fahrul Rozi 180602008

JURUSAN SOSIOLOGI AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM

2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Orientalisme berasal dari kata-kata Perancis “Orient`” yang berarti “ timur`. Kata “orientalisme”
berarti ilmu-ilmu yang berhubungan dengan dunia timur. Orang-orang yang mempelajari atau
mendalami ilmu-ilmu tersebut disebut “ orientalis “ atau ahli ketimuran. Secara epistemologi
orientalisme, dikenali sebagai istilah merepresentasikan cara berpikir dan epistemoligi (asal-usul dan
sumber pengetahuan) Barat tentang dunia Timur. Dalam hal ini orientalisme bergerak dalam bidang
sains-sosial-humaniora seperti kajian sejarah, seni, sastra, geografi, dan budaya mengenai dunia
Timur. Dengan demikian, titik pembahasan orientalisme ada pada epistemologi dan budaya, tidak
mengkaji di bidang geografi. Sedangkan Oksidentalisme berasal dari bahasa Inggris, occident, yang
berarti negeri barat. Sehingga oksidentalisme dapat dimaknai sebagai studi tentang Barat dengan
segala aspeknya. Oksidentalisme ini dilawankan dengan orientalisme, namun demikian
oksidentalisme tidak memiliki tujuan hegemoni dan dominasi sebagaimana orientalisme.
Oksidentalisme berasal dari kata “Occident” yang berarti Barat dan “Isme” yang berarti faham
(Fattah, 2003: 38). Artinya, oksidentalisme ialah hal-hal yang berhubungan dengan Barat, baik itu
budaya, ilmu, dan aspek sosial lainnya. Dalam kamu al-Mawardi, terdapat beberapa istilah yang
berkaitan dengan studi ini seperti Occidental yang berarti Barat, Occidentalist adalah orang yang
mengkaji peradaban Barat. Studi pembahasan dalam oksidentalisme tidak berada dalam ruang
lingkup geografi, walaupun ada beberapa faktor yang membahas hal itu. Secara sederhana
Oksidentalisme adalah suatu disiplin ilmu yang dilakukan oleh orang-orang Timur untuk mengkaji
peradaban Barat di tinjau dari aspek kaca mata Timur.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Biografi Muhammad Iqbal ?
2. Bagaimana pengaruh Muhammad Iqbal untuk pembaharuan hukum islam ?
3. Apa saja karya-karya Muhammad Iqbal ?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui biografi Muhammad Iqbal
2. Untuk mengetahu pengaruh Muhammad Iqbal untuk pembaharuan hukum islam
3. Untuk mengetahui karya-karya Muhammad Iqbal
BAB II

PEMBAHASAN

1. Biografi Muhammad Iqbal


Muhammad Iqbal merupakan seorang penyair, filsuf serta pembaru Islam. Dia dilahirkan di
Sialkot, Punjab, yang sekarang menjadi bagian dari wilayah Pakistan. Ia dilahirkan pada tanggal 9
Nopember 1877 M.1 Kakek Iqbal bernama Syaikh Rafiq merupakan seorang penjaja selendang yang
berasal dari Loehar, Khasmir. Penduduk Khasmir yang awalnya beragama Hindu kemudian telah
menganut Islam selama kurang lebih 500 tahun. Jika diikuti, jejak leluhur Iqbal berasal dari
lingkungan Brahmana, Subkasta Sapru.2 Ayah Muhammad Iqbal bernama Nur Muhammad yang
merupakan seorang muslim yang saleh dan pengamal tasawuf (sufi) yang telah mendorong Iqbal
untuk menghafal Al-Quran secara teratur.3 Kondisi semacam inilah yang memotivasi Iqbal untuk
memiliki jiwa keagamaan dan kecenderungan spiritualitas secara teguh serta mempengaruhi perilaku
Iqbal secara menyeluruh. Ibunda Iqbal, Imam Bibi juga dikenal sebagai seorang yang sangat religius.
Dia membekali kelima anaknya yang terdiri dari tiga putri dan dua putra dengan pendidikan dasar
dan disiplin keilmuan yang kuat. Di bawah bimbingan kedua orang tua inilah Iqbal tumbuh dan
dibesarkan. Kelak di kemudian hari, Iqbal sering berkata bahwa pandangan dunianya tidaklah
dibangun melalui spekulasi filosofis, tetapi diwarisi oleh kedua orang tuanya tersebut.4 Iqbal sangat
mencintai ibunya. Ketika ibunya meninggal pada 9 November 1914 di Sialkot, Iqbal
mengekspresikan kesedihannya lewat sebuah puisi elegi. Masa kanak-kanak Iqbal dihabiskan di kota
perbatasan Punjab ini melalui kesenangan berolahraga dan bercengkrama dengan kawan-kawan.
Ketika itu ia dikenal menyukai ayam hutan serta senang memelihara burung merpati.5 Pada tahun
1892, Iqbal dinikahkan orang tuanya dengan Karim Bibi, putri seorang dokter Gujarat yang kaya,
Bahadur „Atta Muhammad Khan. Dari Bibi, Iqbal dikaruniai tiga orang anak, Mi‟raj Begum, yang
wafat di usia muda, Aftab Iqbal, yang mengikuti jejak Iqbal belajar filsafat, dan salah satu lagi
meninggal saat dilahirkan.6 Muhammad Iqbal memperoleh pendidikan pertama di Murray Collage,
Sialkot. Di sini ia bertemu dengan seorang ulama besar BernamaSayyid Mir Hasan yang mana Mir
Hasan merupakan guru serta sahabat karib dari orangtuanya. Guru yang bijaksana itu segera
mengetahui kecerdasan Iqbal dan menyarankan agar ia terus menuntut ilmu.7 Pendidikan yang
diterima Iqbal sangat menyentuh hatinya hingga ia berkomitmen terhadap Islam secara utuh.
Pendidikan di Sialkot ini berakhir pada tahun 1895. Setelah menyelesaikan pendidikan di Sialkot,
Iqbal pergi ke Lahore, salah satu kota di India yang menjadi pusat kebudayaan, pengetahuan dan
seni.
Di kota ini ia tergabung dengan perhimpunan sastrawan yang sering diundang musya’arah, yakni
pertemuan-pertemuan di mana para penyair membacakan sajak-sajaknya. Ini merupakan tradisi yang
masih berkembang di Pakistan dan India hingga saat ini. Di Kota Lahore ini, sambil melanjutkan
pendidikan sarjananya, ia mengajar filsafat di Goverment Collage.8 Dia mendapatkan gelar Bachelor
of Arts (B.A.) atau sarjana muda dalam bidang filsafat, Sastra Inggris serta Sastra Arab pada tahun
1897. Ia lulus dengan predikat Cum Laude. Setelah Iqbal memperoleh gelar sarjana muda. Ia
melanjutkan studinya dengan mengambil program Magister of Arts (M.A.) dalam bidang filsafat.
Pada saat itulah, ia bertemu dengan Sir Thomas Arnold –seorang orientalis Inggris yang terkenal–
yang mengajarkan Filsafat Islam di Collage tersebut. Antara keduanya terjalin hubungan intim
melebihi hubungan guru dengan murid, sebagaimana tertuang dalam kumpulan sajaknya Bang-i
Dara. 9 Dalam bimbingan Sir Arnold tersebut, Iqbal menjadi seorang penyair yang hebat, bahkan
puisinya banyak diminati oleh masyarakat Lahore. Sir Arnold juga yang memotivasi Iqbal untuk
melanjutkan studinya lebih tinggi lagi di Eropa. Meskipun Iqbal menyukai filsafat, tetapi Iqbal
mencoba untuk memperbaiki keadaan sosialnya dengan menjadi pengacara. Namun, ujian awal ilmu
hukum yang diikutinya pada tahun 1898 mengalami kegagalan. Setahun kemudian (1899), Iqbal
kembali menunjukkan kejeniusannya dengan menjadi satu-satunya calon yang lulus ujian
komprehensif akhir sehingga mendapat penghargaan berupa medali emas. Beberapa bulan setelah
meraih gelar masternya di bidang filsafat itu, Iqbal kemudian mendapat tawaran menjadi asisten
dosen.10 Karir pertamanya, ia ditunjuk sebagai asisten pengajar bahasa Arab di Macleod-Punjab
Reader of Arabic, University Oriental Collage (1899- 1990). Di samping itu, ia diminta mengajar
pula mata kuliah sejarah dan ekonomi.11 Pada tahun 1901, Iqbal mencoba untuk mengikuti seleksi
untuk menempati posisi yang bergengsi sebagai Komisi Asisten Tambahan (Extra Assistant
Commisioner). Meski telah melewati berbagai tahap ujian, Iqbal gagal diterima dengan alasan tidak
lulus ujian kesehatan. Kegagalan tersebut justru menjadi rahmat tersendiri bagi Iqbal, sebab saat itu
ketenarannya semakin memuncak, hal inilah yang memotivasi Iqbal untuk belajar ke Eropa.12 Pada
tahun 1905, Iqbal berangkat ke Eropa untuk melanjutkan studinya dalam bidang filsafat barat di
Trinity Collae, Universitas Cambridge. Di samping itu, ia juga mengikuti kuliah hukum di Lincoln‟s
Inn, London.13 Selama studi di Universitas Cambridge, ia mengambil kuliah Bachelor di bawah
bimbingan Dr. John Mc. Taggart dan James Ward, Iqbal menyelesaikan studinya dalam bidang
filsafat moral pada tahun 1907.
Di samping itu, Iqbal mengambil pula kesempatan di universitas tersebut untuk menimba ilmu
dari dua orientalis terkemuka saat itu, E.G.Brown dan Reynold A Nicholson.14 Setelah belajar di
London, Iqbal berniat untuk melanjutkan studinya ke Jerman. Pertama-tama ia belajar bahasa dan
filsafat Jerman di Universitas Heidelberg dari Fraulein Wagnast dan Faraulein Senecal dan berhasil
menguasainya hanya dalam waktu tiga bulan.15 Di universitas inilah ia memperoleh gelar
Philosophy of Doctoral (Ph.D.) setelah mempertahankan disertasi doktoralnya yang berjudul The
Development of Metaphysics in Persia (Perkemmbangan metafisika di Persia).16 Yang perlu dicatat
bahwa ketika Iqbal berada di Jerman, saat itu Jerman berada dalam cengkraman filsafat Nietzsche
(1844-1990 M), yakni filsafat kehendak pada kekuasaan. Gagasannya tentang manusia super

Muhammad Iqbal dianggap sbg aib satu tokoh paling penting dalam sastra Urdu, dengan karya
sastra yang ditulis adun dalam bahasa Urdu maupun Persia. Iqbal dikagumi sbg penyair klasik
menonjol oleh sarjana-sarjana sastra dari Pakistan, India, maupun secara internasional. Meskipun
Iqbal dikenal sbg penyair yang menonjol, ia juga dianggap sbg "pemikir filosofis Muslim di masa
modern". Buku puisi pertamanya, Asrar-e-Khudi, juga buku puisi lainnya termasuk Rumuz-i-
Bekhudi, Payam-i-Mashriq dan Zabur-i-Ajam;; dicetak dalam bahasa Persia pada 1915. Di selang
karya-karyanya, Bang-i-Dara, Bal-i-Jibril, Zarb-i Kalim dan anggota dari Armughan-e-Hijaz
merupakan karya Urdu-nya yang paling dikenal. Bersama puisi Urdu dan Persia-nya, berbagai kuliah
dan surat dalam bahasa Urdu dan Bahasa Inggris-nya telah memberikan pengaruh yang sangat luhur
pada perselisihan hukum budaya istiadat, sosial, religius dan politik selama bertahun-tahun. Pada
1922, ia diberi gelar bangsawan oleh Raja George V, dan memberinya titel "Sir".

Ketika mempelajari hukum dan filsafat di Inggris, Iqbal dijadikan anggota "All India Muslim
League" cabang London. Kesudahan dalam aib satu ceramahnya yang paling terkenal, Iqbal
mendorong pembentukan negara Muslim di Barat Daya India. Ceramah ini diutarakan pada ceramah
kepresidenannya di Liga pada sesi Desember 1930. Saat itu ia mempunyai hubungan yang sangat
tidak jauh dengan Quid-i-Azam Mohammad Ali Jinnah.
Iqbal dikenal sbg Shair-e-Mushriq (Urdu: ‫ )شاعر مشرق‬yang berarti "Penyair dari Timur". Ia juga
disebut sbg Muffakir-e-Pakistan ("The Inceptor of Pakistan") dan Hakeem-ul-Ummat ("The Sage of
the Ummah"). Di Iran dan Afganistan ia terkenal sbg Iqbāl-e Lāhorī (‫" اقبال الهوری‬Iqbal dari Lahore"),
dan sangat dihargai atas karya-karya berbicara Persia-nya. Pemerintah Pakistan menghargainya sbg
"penyair nasional", sampai hari ulang tahunnya (‫ – یوم والدت محمد اقبال‬Yōm-e Welādat-e Muḥammad
Iqbāl) merupakan hari libur di Pakistan.
2. Pemikiran Muhammad Iqbal dan Pengaruhnya Terhadap Pembaruan Hukum
Islam

Pembaruan hukum Islam sebagaimana dilakukan Muhammad Iqbal tidak terlepas dari
pandangannya terhadap sumber-sumber hukum Islam. Hal ini dapat diuraikan secara singkat sebagai
berikut:

a. Pemikirannya Tentang Alquran

Iqbal percaya kalau Alquran itu memang benar diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad
dengan perantara Malaikat Jibril dengan sebenar-benar percaya. Menurut Iqbal, Alquran adalah sebagai
sumber hukum yang utama dengan pernyataannya, “The Quran is a book which emphazhise ‘deed’ rather
than ‘idea” (Alquran adalah kitab yang lebih mengutamakan amal daripada cita-cita). Namun dia
berpendapat bahwa Alquran bukanlah undang-undang. Dia berpendapat bahwa penafsiran Alquran dapat
ber kembang sesuai dengan perubahan zaman. Alquran dapat ditafsirkan melalui berbagai disiplin ilmu,
dan pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Tujuan utama Alquran adalah mem bangkitkan kesadaran manusia
yang lebih tinggi dalam hubungannya dengan Tuhan dan alam semesta. Alquran tidak memuatnya secara
detail maka manusialah yang dituntut mengembangkannya. Dalam istilah fikih hal ini disebut ijtihad.
Ijtihad dalam pandangan Iqbal disebut dengan prinsip gerak dalam struktur Islam. Oleh karenanya,
walaupun Alquran tidak melarang mempertimbangkan karya besar ulama terdahulu, namun masyarakat
juga harus berani mencari rumusan baru secara kreatif dan inovatif untuk menyelesaikan persoalan-
persoalan yang mereka hadapi “akibat pemahaman yang kaku terhadap pendapat ulama terdahulu”. Maka
ketika masyarakat bergerak maju, hukum tetap berjalan di tempat.18 Meskipun Iqbal sangat menghargai
perubahan dan penalaran ilmiah dalam memahami Alquran, namun dia melihat ada dimensi-dimensi di
dalam Alquran yang sudah merupakan ketentuan yang baku dan tidak dapat dirubah, sebab ketentuan itu
berlaku konstan.

Menurut Iqbal, para mullah dan sufi telah membawa umat Islam jauh dari maksud Alquran.19
Pendekatan mereka tentang hidup menjadi negatif dan fatalis. Iqbal mengeluh ketidakmampuan umat
Islam dalam memahami Alquran disebabkan ketidak mampuan terhadap memahami bahasa Arab dan
telah salah impor ide-ide Hindu dan Yunani ke dalam Islam dan Alquran. Dia begitu terobsesi
menyadarkan umat Islam untuk lebih progresif dan dinamis dari keadaan statis dan stagnan dalam
menjalankan kehidupan duniawi. Bagi Iqbal, politik pemerintahan dan agama tidak ada pemisahan sama
sekali. Inilah yang dikembangkannya dalam merumuskan ide berdirinya Negara Pakistan yang
memisahkan diri dari India yang mayoritas Hindu. Pemahaman yang universal serta utuh terhadap
Alquran menggerakkan umat untuk lebih kreatif dan dinamis dalam menyelesaikan berbagai problematika
sebagai konsekuensi dari perubahan kondisi riil suatu masyarakat melalui pendekatan rasional terhadap
Alquran yang menghargai gerak dan perubahan. Kendati demikian, Iqbal tidak mengabaikan dimensi lain
di dalam Alquran yang bersifat konstan bahkan harus dipertahankan. Sebagaimana kritik Iqbal terhadap
tuntutan Zia Gokal, penyair dan sosiolog Turki yakni menuntut persamaan hak antara laki-laki dan
perempuan dalam masalah talak, perceraian dan warisan.

Pandangan Iqbal tentang kehidupan yang equilibrium antara moral dan agama; etik dan politik, ritual
dan duniawi, sebenarnya bukanlah hal baru dalam pemikiran Islam. Namun, dalam perjalanan sejarah,
pemikiran demikian terkubur bersama arus kehidupan politik umat Islam yang semakin memburuk,
terutama sejak keruntuhan dan kehancuran Baghdad. Sehingga umat Islam tidak mampu lagi menangkap
visi dinamis dalam doktrin Islam (Alquran). Akhirnya, walaupun tidak dinyatakan secara tegas ke dalam
konsep oleh para sufi, lahirlah pandangan pemisahan antara kehidupan dunia dan agama yang menyeret
umat untuk meninggalkan kehidupan duniawi. Akibatnya hukumpun menjadi statis dan Alquran tidak
mampu dijadikan sebagai referensi utama dalam menjawab setiap problematika. Oleh sebab itu, Iqbal
ingin menggerakkan umat Islam untuk kreatif dan dinamis dalam menghadapi hidup dan mencipta kan
perubahan-perubahan di bawah tuntunan ajaran Alquran. Nilai-nilai dasar ajaran Alquran harus dapat
dikembangkan dan digali secara serius untuk dijadikan pedoman dalam menciptakan perubahan itu.
Kuncinya adalah dengan mengadakan pendekatan rasional Alquran dan mendalami semangat yang
terkandung di dalamnya, bukan menjadikan sebagai buku undang-undang yang berisi kumpulan
peraturan-peraturan yang mati dan kaku. Walaupun demikian, Iqbal melihat ada dimensi-dimensi dalam
Alquran yang merupakan ketentuan yang baku dan tidak dapat dirubah, sebab ketentuan itu berlaku
konstan. Salah satu pendapat Iqbal mengenai Alquran yang perlu digarisbawahi adalah ia sangat
menekankan pada aspek hakikat yang bisa diamati. Tujuan Alquran dalam pengamatan reflektif atas alam
ini adalah untuk membangkitkan kesadaran pada manusia tentang alam yang dipandang sebagai sebuah
simbol.20 Iqbal menyatakan hal ini berdasarkan kutipan beberapa ayat, di antaranya: “Dan di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna
kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
mengetahui” (Q.s. al- Rûm [30]: 22).

b. Pendapatnya Tentang Hadis

Kajian Iqbal terhadap Hadis didasarkan pada situasi dan kondisi masyarakat yang berkembang
pada waktu itu. Pandangan ini, di tengah tarik ulur kedudukan Hadis sebagai sumber hukum antara umat
Islam di suatu pihak, dan kaum orientalis di lain pihak yang sampai hari ini masih terus berlangsung.
Tentu saja maksud dan pemahamannya berangkat dari kajian tersebut berbeda pula. Umat Islam
didasarkan pada rasa tanggung jawab yang begitu besar terhadap ajaran Islam. Sedangkan orientalis
mengkajinya hanya untuk kepentingan ilmiah, bahkan terkadang hanya untuk mencari kelemah an ajaran
Islam.

Kalangan orientalis yang pertama melakukan studi tentang Hadis adalah Ignaz Goldziher.
Menurutnya, sejak masa awal Islam (masa sahabat) dan masa-masa berikutnya Hadis mengalami proses
evolusi, mulai dari sahabat dan seterusnya sehingga berkembang menjadi mazhab-mazhab fikih. Iqbal
berkesimpulan bahwa tidak semua koleksi dari para ahli Hadis dapat dibenarkan. Iqbal sepakat dengan
apa yang telah dikemukan oleh Syah Waliyullah mengenai Hadis, yaitu cara Nabi dalam menyampaikan
dakwah Islam dengan memperhatikan kebiasaan, cara-cara dan keganjilan yang dihadapinya ketika itu.
Selain itu, Nabi juga memperhatikan sekali adat istiadat penduduk setempat. Dalam penyampaiannya,
Nabi lebih menekankan pada prinsip-prinsip dasar kehidupan sosial bagi seluruh umat pada saat itu, tanpa
terikat oleh ruang dan waktu. Iqbal menanamkan prinsip-prinsip dasar syariat “dar’u al-mafâsid wa jalbu
almashâlih”. Iqbal juga memperhatikan adat istiadat serta tradisi daerah setempat. Kaitan nya dengan
keyakinan bahwa Islam sebagai rahmatan lil’âlamin tanpa terikat oleh ruang dan waktu, maka apa yang
Nabi sampai kan pada umat generasi pertama tidak dapat dipandang konstan atau tekstual untuk generasi
selanjutnya yang dipastikan mengalami perubahan dan dinamika serta melahirkan problematika yang
lebih kompleks. Sehingga hukum yang diberlakukan untuk umat generasi sesudahnya mengacu pada
prinsip kemaslahatan. Iqbal sepakat dengan konsep Abû Hanîfah tentang al-istihsân. Konsep al-istihsân
adalah sesuatu yang sangat wajar sebagai konsekuensi dari me mahami universalitas hukum Islam. Iqbal
menganggap wajar saja kalau Abû Hanîfah lebih banyak mempergunakan konsep alistihsân daripada
Hadis yang masih diragukan keasliannya. Sikap ini diambil Abû Hanîfah karena ia lebih cenderung
memandang tujuan-tujuan universal Hadis daripada tekstual Hadis.

Iqbal juga melakukan pembedaan antara Hadis hukum dan nonhukum, juga Hadis yang
mengandung kebiasaan pra-Islam. Beliau melakukan pemilahan posisi Nabi Muhammad sebagai Rasul
dan manusia biasa. Dalam artian tidak semua Hadis merupakan Hadis hukum yang wajib ditaati, ada
Hadis yang hanya merupakan kebiasaan yang menurut Iqbal tidak wajib diikuti. Iqbal memahami Hadis
secara kontekstual, sesuai dengan kondisi sosial yang berkembang bukan sebagai koleksi peraturan
tingkah laku Muslim yang kaku, mengabaikan atau tidak realistis terhadap dinamika masyarakat. Apa
yang diajarkan oleh Nabi terhadap generasi awal (sahabat) adalah contoh dan nilai-nilai universal yang
terkandung dalam Hadis itulah hakikat Hadis Nabi yang sebenarnya.

Iqbal memandang perlu umat Islam melakukan studi mendalam terhadap literatur Hadis dengan
berpedoman langsung kepada Nabi sendiri selaku orang yang mempunyai otoritas untuk menafsirkan
wahyu. Hal ini sangat besar faidahnya dalam memahami nilai hidup dari prinsip-prinsip hukum Islam.
Iqbal menyerukan akan pentingnya memaknai spirit dan ruh yang ada dalam Hadis, dibandingkan hanya
memahami Hadis secara tekstual saja.

c. Pandangannya Tentang Ijtihad

Munculnya persoalan-persoalan baru dalam kehidupan sosial akan menimbulkan problem-


problem baru dalam bidang hukum. Dalam menggali pesan teks keagamaan yang universal, tentu
dibutuhkan upaya maksimal yang sering disebut dengan ijtihad. Ijtihad itu sendiri mengalami pasang
surut bahkan ijtihad me ngalami stagnansi selama lima ratus tahun. Hal ini menjadi sejarah gelap umat
Muslim yang disebabkan kekhawatiran terjadinya di sintegrasi umat pasca jatuhnya Baghdad ke tangan
Mongol. Iqbal merasa bahwa ijtihad merupakan kebutuhan urgen dalam mengembangkan hukum Islam
yang mengacu kepada kepentingan umat dan kemajuan umum. Maka perlu segera mengalihkan
kekuasaan ijtihad individual kepada ijtihad kolektif atau ijma’. Menurutnya peralihan ijtihad individual
yang mewakil mazhab tertentu kepada lembaga legislatif Islam adalah satu-satunya bentuk yang paling
tepat bagi ijma’. Hanya cara inilah yang dapat menggerakkan spirit dalam sistem hukum Islam yang
hilang. Komposisi anggota lembaga legislatif hukum Islam ini beragam bahkan bukan saja melibatkan
ulama tapi harus melibatkan orang awam tentang hukum Islam tetapi memiliki pandangan yang tajam
mengenai problem sosial yang berkembang di masyarakat.

Iqbal menyerukan pentingnya ijtihad. Baginya, ijtihad tidak terbatas kepada persoalan-persoalan
yang berhubungan dengan nas saja. Ijtihad memiliki fungsi yang sangat luas, sebagai upaya dalam
menjawab persoalan yang terjadi di tengah-tengah umat. Iqbal meyakini bahwa Islam sebagai kekuatan
yang hidup untuk membebaskan pikiran manusia dari batas-batas kedaerahan dan percaya bahwa agama
adalah suatu kekuatan yang paling penting dalam kehidupan individu dan Negara.29 Konsep ijtihad
Muhammad Iqbal merupakan sintesa dari dinamisme ajaran-ajaran Islam dengan konsep otonomi
individu dari filsafat khudi-nya. Hakikat ijtihad adalah proses gerak dalam struktur pemikiran Islam,
khususnya hukum Islam. Penekanan ini penting, sebab bagi Iqbal hukum Islam merupakan sentral dari
keseluruhan ajaran Islam. Gerak yang dimaksud di atas adalah kreatifitas untuk mencari jawaban-jawaban
baru melalui interpretasi yang didasarkan kepada kemampuan dan pengetahuan yang memadai untuk
menganalisis berbagai persoalan dan perubahan yang ada dalam masyarakat Islam. Iqbal tidak sepakat
bila ijtihad kemudian dibatasi dan dibebani berbagai persyaratan yang demikian ketat. Dari perspektif
ushûl fiqh, ijtihad Iqbal termasuk ke dalam kelompok ijtihâd fardi. Sebagai prinsip gerak, ijtihad
seharusnya dikembangkan dan dieksplorasi lebih lanjut. Ijma’ sebagai salah satu sumber hukum Islam
yang penting, oleh Iqbal dikembangkan dengan melembagakan ijma’. Lembaga yang ideal memangku
tugas ini adalah lembaga atau majlis legislatif Islam yang didalamnya terdapat orang-orang yang
memenuhi persyaratan sebagai ulama yang mengetahui dan mendalami hukum Islam dan mempunyai
wawasan luas tentang berbagai kondisi objektif masa kini. Lembaga ini menyerap berbagai persoalan
yang berkembang di masyarakat untuk kemudian dibahas dan diputuskan bersama-sama.

Pemikiran serta gagasan-gagasan Iqbal sangat berpengaruh dalam upaya pem bentukan Negara
Islam Pakistan yang diploklamirkan oleh Muhammad Ali Jinnah. Sepeninggal Iqbal, berkembang kajian-
kajian terhadap pemikiran dan gagasan-gagasan beliau baik yang intens maupun yang insidentil. Di antara
cendekiawan yang serius me ngembangkan gagasan-gagasannya adalah Fazlu Rahman, meskipun tidak
secara utuh. Sebab di samping melakukan pembelaan terhadap Iqbal dari serangan orientalis, ia juga
memberikan kritikan dalam beberapa hal. Pemikiran Iqbal mengenai alam semesta, manusia, dan Alquran
cukup mendapat tempat dan dikembangkan oleh Fazlu Rahman. Ia lebih mempertajam pandangan Iqbal
mengenai Alquran. Menurutnya, Alquran sebagai kitab yang berisi moral dan etik, bukan dokumen yang
memuat hukum yang kaku.34 Ia juga menjelaskan tujuan dan prinsip yang menjadi esensi berbagai
hukum.35 Dalam menafsirkan Alquran secara integral dan komprehensif, ia menetapkan tiga hal yang
tidak boleh diabaikan yakni memperhatikan latar belakang sejarah turunnya Alquran sehingga bisa
dipahami makna teksnya, membedakan antara ketetapan hukum dan sasaran atau tujuan moral yang
dikandung Alquran dengan memperhatikan latar belakang sosio-historisnya.

3. Karya – karya Muhammad Iqbal

Prosa babahaso Urdu


 Ilm ul Iqtisad (1903)
Prosa babahaso Inggrih
 The Development of Metaphysics in Persia (1908)
 The Reconstruction of Religious Thought in Islam (1930)
Puisi babahaso Persia
 Asrar-i-Khudi (1915)
 Rumuz-i-Bekhudi (1917)
 Payam-i-Mashriq (1923)
 Zabur-i-Ajam (1927)
 Javid Nama (1932)
 Pas Cheh Bayed Kard ai Aqwam-e-Sharq (1936)
 Armughan-e-Hijaz (1938) (in Persian and Urdu)
Puisi babahaso Urdu
 Bang-i-Dara (1924)
 Bal-i-Jibril (1935)
 Zarb-i Kalim (1936)

Penutup

Kesimpulan

Sumbangan pemikiran Muhammad Iqbal dalam pembaruan hukum Islam di India tidak terlepas
dari pemahamannya terhadap Alquran dan Hadis sebagai sumber hukum Islam. Dia memahami Alquran
sebagai sumber etika yang senantiasa relevan dengan perubahan dan dinamika masyarakat melalui
mekanisme ijtihad. Dan Hadis dalam pemahaman Iqbal bukanlah koleksi peraturan tingkah laku yang
kaku dan tekstual. Konsep ijtihad Muhammad Iqbal merupakan sintesa dari dinamisme ajaran-ajaran
Islam dengan konsep otonomi individu dari filsafat khudi-nya. Hakikat ijtihad adalah proses gerak dalam
struktur pemikiran Islam, khususnya hukum Islam. Penekanan ini penting, sebab bagi Iqbal hukum Islam
merupakan sentral dari keseluruhan ajaran Islam. Gerak yang dimaksud di atas adalah kreatifitas untuk
mencari jawaban-jawaban baru melalui interpretasi yang didasarkan kepada kemampuan dan pengetahuan
yang memadai untuk menganalisis berbagai persoalan dan perubahan yang ada dalam masyarakat Islam.
Iqbal tidak sepakat bila ijtihad kemudian dibatasi dan dibebani berbagai persyaratan yang demikian ketat.
Dari perspektif ushûl fiqh, ijtihad Iqbal termasuk ke dalam kelompok ijtihâd fardi. Sebagai prinsip gerak,
ijtihad seharusnya dikembangkan dan dieksplorasi lebih lanjut. Ijma’ sebagai salah satu sumber hukum
Islam, menurut Iqbal, dikembangkan dengan melembagakan ijma’. Lembaga yang ideal memangku tugas
ini adalah lembaga atau majlis legislatif Islam yang di dalamnya terdapat orang-orang yang memenuhi
persyaratan sebagai ulama yang mengetahui dan mendalami hukum Islam dan mempunyai wawasan luas
tentang berbagai kondisi objektif masa kini. Lembaga ini menyerap berbagai persoalan yang berkembang
di masyarakat untuk kemudian dibahas dan diputuskan bersama-sama.
DAFTAR PUSTAKA

https://lppi.umy.ac.id/oksidentalisme-dan-poskolonialisme/

http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/adalah/article/view/240

https://tirto.id/syair-dan-pemikiran-muhammad-iqbal-politikus-pencetus-pakistan-gc99

https://www.republika.co.id/berita/q6f2jj440/muhammad-iqbal-pembaru-islam-dari-pakistan

Anda mungkin juga menyukai