Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

MENGANALISIS AS SUNNAH SEBAGAI PENGUAT


PENGEMBANGAN BUDAYA ISLAM DI INDONESIA
Dosen Pengampu : Muhammad Ali Syahbana M.A

Oleh Kelompok IV:


 Meliya Astuti (190602091)
 Muhammad Harkan Yunus (190602104)
 Nadia Urroyan (190602092)

SOSIOLOGI AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM
2021/2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Budaya atau kearifan lokal, agama dan Sunnah selalu berkaitan dengan
kehidupan manusia di setiap daerah terutama pada penganut agama Islam. Hal itu
merupakan kekayaan dari masyarakat itu sendiri, baik berasal dari nenek moyang atau
budaya baru yang ternyata dilanjutkan oleh anak cucu mereka. Maka tak salah jika
pada zaman dahulu, beberapa wali memperkenalkan agama Islam atau berdakwah
melalui budaya yang hidup di antara mereka. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh
Sunan Kalijaga, beliau memperkenalkan agama Islam melalui kearifan lokal, berupa
pertunjukan wayang. Namun jika dilihat dari berbagai macam budaya yang hidup di
setiap daerah, tentu memiliki adat yang beragam yang kemudian akan menimbulkan
banyak perbedaan antara satu dengan yang lain. Maka muncullah berbagai pertanyaan
tentang “adat atau budaya yang seperti apa sehingga bisa dijadikan ajaran atau adat
yang bisa disandingkan dengan agama dan Sunnah”.

Maka oleh karena itulah penulis perlu mengkaji yang kemudian melalui karya
ini ingin sedikit memaparakan antara keterkaitan agama, sunnah dengan kebudayaan.
Dari pemaparan itulah nanti kami menghrapkan adanya pemahaman yang jelas
sehingga tidak sampai menjadikannya perdebatan atau kesalahfahaman yang bisa
mengakibatkan perpecahan dalam merusak kesatuan ataupun keragaman yang telah
ada.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah arti budaya dan sunnah...?
2. Bagaimana budaya melalui pandangan agama atau as sunnah..?
3. Adakah keterkaitan antara budaya dengan sunnah di Indonesia..?
C. Tujuan Masalah
Mengetahui : 1. Arti Budaya dan Sunnah.
2. Pandangan agama atau Sunnah tentang Budaya.
3. Keterkaitan antara budaya dan Sunnah di Indonesia.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Budaya dan As Sunnah

Uraian selanjutnya tentang ‘urf. ‘Urf (‘adat atau budaya) adalah sesuatu yang telah


dikenal di masyarakat dan dilakukan secara terus-menerus, baik berbentuk perkataan atau
perbuatan. .‘Urf merupakan dasar penetapan hukum di luar nas yang digunakan oleh
madzhab Malikiyyah dan Hanafiyyah1.

Sunnah menurut ahli hadis dan ahli Usul fiqih. Sunnah yang secara bahasa, berarti
“jalan hidup yang baik atau buruk (al-sirat hasanat kaanat aw qabihat)”, dan  kebiasaan
(al-‘adat), mempunyai terminologi yang berbeda antara ahli hadis dengan ahli usul fikih,
akibat adanya asumsi dasar tentang perbedaan peran dan fungsi Nabi saw., apakah
sebagai imam al-hadi wa al-ra’id al-nasih (pemimpin, pemberi petunjuk, pemberi nasihat,
teladan, dan panutan) menurut ahli hadis, atau sebagai musharri’ (pembuat syari’at) menurut
ahli usul fikih. Menurut ulama hadis sunnah adalah “segala yang berasal dari Nabi saw., baik
perkataan, perbuatan, persetujuan, sifat fisik atau budi pekerti, maupun jalan hidup, baik yang
terjadi sebelum diutus menjadi nabi, sepeti tahannuth  di gua hira’ maupun setelahnya”.
Sedang menurut ulama Usul Fiqh, sunnah adalah “segala sesuatu yang berasal dari Nabi saw.
selain al-Qur’an, baik perkataan, perbuatan, maupun persetujuan yang pantas
menjadi dalil hukm syar’”. Pada definisi itu, Nabi saw. dipandang sebagai pembuat hukum
(musharri’). Karenanya, hadis identik dengan sunnah qawliyyah, maksudnya hadis hanya
sebatas pada sunnah yang bersifat perkataan. Menurut ahli Usul Fiqh, dalam keadaan sebagai
manusia biasa, ajaran Nabi Muhammad saw. tidak mengikat dan tidak termasuk syari’at.
Sedang dalam keadaan sebagai rasul, ajarannya mengikat, sekaligus menjadi syari’at.

B. Pandangan Agama Atau Sunnah Tentang Budaya

Kehujjahan ‘urf sebagai dalil shar’i didukung oleh QS. al-A’raf ayat 199 : “khudh


al-‘afw wa’mur bi al-‘urf wa a’rid ‘an al-jahilin (jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang
mengerjakan yang ma’ruf, serta  berpalinglah dari pada orang-orang bodoh). Juga perkataan
Nabi saw. riwayat Imam Ahmad ibn Hanbal dari Ibn Mas’ud ra. “…fa ma ra’a al-muslimun
hasanan fa huwa ‘inda Allah hasanun, wa ma ra’aw sayyi’an fa huwa ‘inda Allah sayyi’un :
sesuatu yang baik menurut orang-orang Islam, maka adalah baik menurut Allah; dan sesuatu

1
Khallaf, ‘Ilm Usul …., 89.
yang jelek menurut orang-orang Islam, maka adalah jelek menurut Allah”. Hadis ini, baik
dari segi redaksi maupun isi, menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan baik yang berlaku di
masyarakat muslim dan sejalan dengan tuntunan umum syari’at Islam merupakan sesuatu
yang baik di sisi Allah. Karena itu ulama Maliki dan Hanafi mengatakan, “sesuatu yang tetap
karena ‘urf yang sahih menjadi sesuatu yang tetap karena dalil shar’i (al-thabit bi al-‘urf ka
al-thabit bi al-nas)”, atau “al-thabit bi al-‘urf thabit bi dalil shar’i”.

Sebagaimana perkataan penulis kitab Sharh al-Ashbah wa al-Naza’ir. Beberapa


kaidah yang berhubungan dengan ‘urf, di antaranya adalah “adat itu menjadi hukum (al-‘adat
muhakkamah)”, “apa yang telah ditetapkan oleh syara’ secara umum, maka ia dikembalikan
pada ‘urf”, “sesuatu yang dinilai baik menurut ‘urf sama dengan sesuatu yang ditetapkan
berdasarkan syarat (al-ma’ruf ‘urfan ka al-mashrut shartan)”, dan “sesuatu yang tetap
karena ‘urf sebagaimana sesuatu yang tetap karena nas (al-thabit bi al-‘urf ka al-thabit bi al-
nas)”.

‘Urf (‘adat atau budaya) ada dua macam, yaitu adat yang benar (sahih) dan adat yang
rusak (fasid). Adat yang benar adalah kebiasaan yang berlaku secara umum, tidak
bertentangan dengan dalil syar’i, tidak menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan
kewajiban. Contohnya adalah pemberian mas kawin. Adat yang rusak adalah adat yang
berlaku di suatu tempat, namun bertentangan dengan dalil syar’i, menghalalkan yang haram
dan membatalkan kewajiban. Contohnya, pesta dengan menghidangkan minuman haram, dan
membunuh anak perempuan yang baru lahir dan kumpul kebo (hidup bersama lain jenis tanpa
nikah). Imam Malik banyak menetapkan hukum berdasarkan perbuatan penduduk Madinah
(‘amal ahl al-Madinah). Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya menetapkan hukum yang
berbeda karena perbedaan adat. Imam Syafi’i ketika tinggal di Mesir dikenal mempunyai
pendapat yang baru (qawl jadid) karena perbedaan adat dari pendapatnya yang lama ketika
tinggal di baghdad (qawl qadim). Hal itu membuktikan bahwa ketiga madzhab fiqih itu
berhujjah dengan mengikut sertakan‘urf.

C. Keterkaitan Antara Budaya, Sunnah dan Agama di Indonesia

Kehidupan Muhammad dalam keheningan jiwanya ketika bertahanus di jabal nur atau
gua hira,senantiasa dituntun oleh warisan tradisi nenek moyangnya, Nabi Ismail yang secara
turun temurun menganut agama bapaknya, Ibrahim, yakni agama ketauhidan (millah) yang
hanif. Seluruh warisan tradisi yang berasal dari Ibrahim, seperti berkhitan, berhaji ke
baitullah (Mekkah), dan berpuasa masih tetap dijalankan Muhammad yang mentradisi dalam
keluaraga dan masyarakat. Masa Nabi Muhammad sudah dikenal istilah "agama" atau dalam
bahasa Arab "ad-diin", dan seluruh masyarakat Arab berbaur dalam nuansa perbedaan
keyakinan dan agama, tanpa dibatasi oleh sekat-sekat tradisi di antara mereka. Agama tetap
dianggap sebagai warisan dari tradisi nenek moyang mereka yang tetap dipegang-teguh tanpa
adanya paksaan atau tekanan dari kelompok-kelompok agama lainnya. Oleh karena itu,
seorang ahli bahasa dan antropolog Arab, Ibn al-Mandzur (1232 M) menyebut bahwa istilah
"ad-diin" yang berarti "agama" mengacu pada "suatu adat atau tradisi yang diikuti" (ad-ddinu
huwa al-'aadatu wa as-sya'n).

Agama dan As sunnah tentu saja berimplikasi pada adanya ketaatan setiap
pemeluknya untuk tetap menjaga dan melestarikan tradisinya yang baik, dan meninggalkan
tradisi lainnya yang dianggap buruk. Tradisi-tradisi sebelum Islam, seperti praktik khitan,
haji, berpuasa, pernikahan, soal pembagian warisan dan lainnya merupakan peninggalan
tradisi Ibrahim yang tetap dijunjung tinggi dalam adat masyarakat Arab, termasuk bagian
tradisi keagamaan yang dijalankan oleh Muhammad pra-Islam. Agama dengan demikian
adalah "warisan" dari tradisi-tradisi masyarakat atau kepercayaan sebelumnya yang saling
melengkapi, dan tentu saja agama berkecenderungan untuk memperbaiki setiap
"penyimpangan" sebuah tradisi.

Menurut Amer Al-Roubai, Islam bukanlah hasil dari produk budaya Akan tetapi Islam
justru membangun sebuah budaya, sebuah peradaban. Peradaban yang berdasarkan Al Qur’an
dan Sunnah Nabi tersebut dinamakan peradaban Islam. Dengan pemahaman di atas, kita
dapat memulai untuk meletakan Islam dalam kehidupan keseharian kita. Kita pun dapat
membangun kebudayaan Islam dengan landasan konsep yang berasal dari Islam pula. Islam
adalah sebuah agama hukum (religion of law). Hukum agama diturunkan oleh Allah SWT,
melalui wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw., untuk dilaksanakan oleh
kaum Muslimin tanpa kecuali, dan tanpa dikurangi sedikitpun. Dengan demikian, watak dasar
Islam adalah pandangan yang serba normatif dan orientasinya yang serba legal formalistik.
Islam haruslah diterima secara utuh, dalam arti seluruh hukum-hukumnya dilaksanakan
dalam kehidupan bermasyarakat pada semua tingkatan. Dari segi persentase, jumlah nas yang
bersifat ta’abbudî (menjelaskan masalah ibadah) jauh lebih sedikit daripada yang bersifat
ta’aqqulî (menjelaskan tentang muamalah), karena bentuk yang kedua inilah yang menjadi
dasar bagi hukum Islam untuk mengatur masyarakat.Ini dimaksudkan agar manusia dapat
melakukan interprestasi atau ijtihad untuk menjawab permasalahan yang mereka hadapi dan
supaya manusia dapat memilih dan memikirkan alternatifalternatif yang lebih cocok dengan
perkembangan zaman, sehingga manusia tidak mengalami kesulitan dalam
mengamalkannya2.

Baik agama (kehidupan beragama) maupun kehidupan budaya manusia, keduanya


berasal dari sumber yang sama, yaitu merupakan potensi fitrah (pembawaan) manusia,
bertumbuh dan berkembang secara terpadu bersama-sama dalam proses kehidupan manusia
secara nyata di muka bumi dan secara bersama pula menyusun suatu sistem budaya dan
peradaban suatu masyarakat/bangsa. Namun keduanya memiliki sifat dasar “ketergantungan
dan kepasrahan”, sedangkan kehidupan budaya mempunyai sifat dasar “kemandirian dan
keaktifan”. Oleh karena itu, dalam setiap tahap/fase pertumbuhan dan perkembangannya
menunjukkan adanya gejala, variasi, dan irama yang berbeda antara lingkungan
masyarakat/bangsa yang satu dengan lainnya. Agama dan kebudayaan dapat saling
memepengaruhi sebab keduanya adalah nilai dan simbol. Agama adalah simbol ketaatan
kepada Tuhan. Demikian pula kebudayaan, agar manusia dapat hidup dilingkungannya. Jadi
kebudayaan agama adalah simbol yang mewakili nilai agama.

Namun secara umum perkembangan budaya kita kenal dilakukan dengan dua cara
yaitu invantion dan acomodation. Invantion adalah menggali budaya dari luar sedangkan
acomodation adalah menerima budaya luar, terkait penerimaan budaya terdapat tiga cara pula
yaitu: 1. Absorption (penyerapan), yaitu penyerapan budaya dan pemikiran dari luar seperti
pemikiran Yunani dan Romawi. 2. Modification (modifikasi) yaitu penyesuaian budaya luar
sehingga diterima oleh Islam, contoh pembuatan masjid dengan kubah, menara dan undakan
3. Elimination (penyaringan) yaitu penyaringan budaya antara diterima atau dikeluarkan
apabila bertentangan dengan Islam.

Misalnya istilah "Islam Nusantara" yang digaungkan NU seakan melahirkan "konflik


horiziontal", padahal sesungguhnya NU sedang memperkenalkan bahwa agama itu tak bisa
lepas dari unsur tradisi dan budaya sebagaimana diungkapkan sejararawan Arab, Ibnul
Mandzur. Islam Nusantara tidak berarti "membedakan" antara Islam Arab atau bukan Arab,
tetapi lebih diarahkan untuk lebih memahami, bahwa Islam yang hadir di Nusantara tak
pernah "mempertentangkan" antara agama dan tradisi atau budaya masyarakat setempat,
karena agama dan budaya pada awalnya satu entitas, bukan terpisah. Bahkan, jika dalam
konteks kesejarahan yang lebih luas, tradisi dan budaya lebih dahulu ada dalam masyarakat,

2
15Abdul Azis Dahlan [et al.], Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid V (Cet. I; Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996), h. 1723.
jauh sebelum agama itu datang. Secara fenomenologis, jahiliyah mendahului Islam, walaupun
secara substansial, islam mendahuluinya.
BAB II

PENUTUP

A. Kesimpulan
‘Urf (‘adat atau budaya) adalah sesuatu yang telah dikenal di masyarakat dan
dilakukan secara terus-menerus, baik berbentuk perkataan atau perbuatan. Sedangkan
sunnah adalah “segala yang berasal dari Nabi saw., baik perkataan, perbuatan,
persetujuan, sifat fisik atau budi pekerti, maupun jalan hidup, baik yang terjadi
sebelum diutus menjadi nabi, yang bisa di jadikan rujukan dalam agama islam.

Budaya biasanya sering di jadikan rujukan dalam pengambilan ijtihad oleh


para mujtahid dalam menentukan sebuah hukum syara’ sehingga menjadikan budaya
sebagai kesatuan yang tidak bisa di pisahkan dengan as sunnah. Islam dengan budaya
menjadi sebuah perekat dalam memajukan agama terkhusus di Indonesia dengan
keberagamannya.
DAFTAR PUSTAKA

Dahlan, Abdul Aziz, [et al.], 1996, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid V, Cet. I; Jakarta: PT Ichtiar Baru
Van Hoeve.

Muhaimin, [et al]., 2005, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Cet. I; Jakarta: Kencana.

Al-Khatib, Al-Sunnat Qabl al-Tadwin (Kairo: Maktabat Wahbah, 1963),

syariah.iainkediri.ac.id/membedakan-tradisi-dan-ajaran-sunnah-nabi-dalam-hadis-mengulas-
perpaduan-ajaran-islam-dan-kearifan-lokal/.

Anda mungkin juga menyukai