Anda di halaman 1dari 15

… PW LTN PWNU Jawa Timur …

TAUHID SOSIAL:
KONSTELASI PEMIKIRAN TAUHID MUKHTAR
AMBAI KERINCI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP
TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM
- Muhamad Yusuf -

ABSTRAK:
-

Pendahuluan
Mukhtar Ambai—lahir 25 September 1902, merupakan tokoh ulama
kharismatik yang dikenal sebagai seorang ulama dan cendekia-
wan lokal yang sangat peduli terhadap kondisi keberagamaan
umat Islam Kerinci.1 Kepeduliannya sangat terasa dalam karya-
karyanya yang telah diterbitkan. Ditemukan ada empat kitab/buku
yang ditulis oleh Mukhtar Ambai. Pada setiap lembaran awal

1 Budi Vrihaspati, dkk., Tinjauan Sejarah Kebudayaan Islam Alam Kerinci, (Sungai

Penuh: Bina Potensia Aditya Mahatva Yodha, 2014), h. 43

- 658 -
… Prosiding Lokakarya Internasional dan Pelatihan Metodologi Penelitian Islam Nusantara …

buku tersebut selalu menuliskan mengapa buku itu penting ditulis


yaitu untuk memenuhi permintaan masyarakat sebagai pedoman
mereka dalam beragama.2 Dari keempat buku itu ada dua buku
yang berbicara tentang tauhid ahlussunnah wal jamaah, dan
selebihnya tentang ibadah mahdhah dan ibadah sunnah. Hal ini
senada dengan apa yang diungkapkan oleh Muhamad Rosadi
dalam Tim Penulis Balai Litbang Agama Jakarta, bahwa suatu karya
seorang ulama, secara umum, adalah dalam rangka memudahkan
pengajaran agama Islam kepada masyarakat umum.3
Salah satu yang membuat kegelisahan di batin Mukhtar
Ambai adalah menyaksikan cara beragama masyarakat Kerinci
saat itu yang masih bercampur antara ketauhidan hakiki dengan
praktik warisan agama sebelumnya. Di samping mereka shalat,
mereka juga tetap melakukan kegiatan-kegiatan yang berbau
syirik. Misalnya masih menyuguhkan sesajen untuk para leluhur,
mendatangi orang pintar (dukun) mohon pertolongan mengatasi
berbagai kesulitan hidup yang dihadapi (dalam bahasa Ambai
dikenal dengan NIKAN);4 melakukan asyek yaitu sebuah upacara
pemujaan kepada roh nenek moyang atau leluhur guna meminta
berkah, keselamatan, dan rezeki; hidup materialis dan kurang
peduli pada nasib sesama, dan seterusnya.5 Bagi Mukhtar Ambai
kondisi masyarakat Kerinci seperti ini sangat jauh dari praktik
keagamaan Islam yang benar, karena itu harus cepat diatasi dan

2 Ada empat buah buku karangan Mukhtar Ambai yang ditemukan, dua buku

berbicara tentang tauhid dan dua bukunya lagi tentang ibadah (satu berisi ibadah mahdhah
dan satunya lagi tentang ibadah sunnah). Lebih lanjut baca Mukhtar Ambai, Risalah
Marghubah fi Qawaidah Ukhrawiyah, (Padang Panjang: Saadiyah Putra, 1971), h. 2; Mukhtar
Ambai, Risalah Falahiyah, (Padang Panjang: Saadiyah Putra, 1971), h. 2; Mukhtar Ambai,
Risalah Bahiyyah fi Itiqad Ahli al-Sunnah, (Padang Panjang: Saadiyah Putra, 1974), h. 2; dan
Mukhtar Ambai, Risalah Mardhiyah, (Padang Panjang: Saadiyah Putra, 1974), h. 3
3 Muhamad Rosadi dalam Tim Penulis Balai Litbang Agama Jakarta, Pemikiran

Moderat dalam Karya Ulama Nusantara, (Jakarta: Balai Litabang Agama, 2015), h. 136
4 Yasak, “Sejarah Pemikiran Pendidikan Karakter Syekh H. Mukhtar bin Abdul Karim

Ambai” Makalah Kuliah pada Pascasarjana IAIN Kerinci (tidak diterbitkan), 2005, h. 2
5 Yunasril Ali, dkk., Adat Basendi Syara sebagai Fondasi Membangun Masyarakat Madani

di Kerinci, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2005), h. 8

- 659 -
… PW LTN PWNU Jawa Timur …

satu-satunya cara mengatasinya hanya melalui pendidikan.


Sekembalinya belajar dari Makkah lalu ia mendirikan pesantren
Jamiyatul Ihsaniyah Mukhtariyah Ambai, dengan harapan melalui
lembaga ini cara pandang dan cara beragama masyarakat akat
dapat dirubah secara perlahan.
Berangkat dari fenomena yang ada, maka tulisan ini akan
mengarah pada pemikiran tauhid sosial Mukhtar Ambai dan
implikasinya terhadap tujuan pendidikan Islam. Tulisan ini
berguna sebagai sumbangan informasi bagi yang berminat
melakukan penelitian di bidang tauhid sosial, dan juga menambah
khazanah pengetahuan dan referensi di dunia kepustakaan.
Kajian ini didekati dengan pendekatan fenomenologis yaitu
sebuah pendekatan yang menuntun pada pemahaman perilaku
manusia dari kerangka berpikir pelaku yang bersangkutan,6 yang
bersumber dari karya Mukhtar Ambai sendiri dan sumber-sumber
lain yang terkait.

Perdebatan Akademis
Selama ini ajaran tauhid dirasakan oleh banyak kalangan hanya
membahas masalah-masalah melangit. Misalnya Allah memiliki
sifat, Allah memiliki tangan atau tidak, bagaimana bentuk wajah
wajah Allah dan lain-lain. Semua masalah itu hanya membahas
hal-hal yang abstrak, sedangkan masih banyak sekali permasalahan
yang lebih konkret yang dihadapi umat muslim dewasa ini dan
perlu segera diatasi. Pada tataran empiris, kesan yang timbul
seolah tauhid hanya untuk diyakini dan diucapkan, tidak lebih
dari itu. Padahal praktik tauhid yang diajarkan oleh Rasulullah
tidaklah seperti itu. Tauhid tidak berhenti hanya sebatas doktrin,
tapi harus ditunjukkan melalui sikap dalam kehidupan. Rasulullah

6 Robert Bogdan dan Steven J. Taylor, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif: Suatu

Pendekatan Fenomenologis terhadap Ilmu-ilmu Sosial, Terj. Arief Furchan, (Surabaya: Usaha
Nasional, 1992), h. 18

- 660 -
… Prosiding Lokakarya Internasional dan Pelatihan Metodologi Penelitian Islam Nusantara …

menekankan bahwa Islam bukan ritual belaka, melainkan dapat


membawa perubahan moral. Sebab Islam, di samping menjunjung
tinggi ajaran tauhid tapi juga menjunjung tinggi nilai-nilai sosial.
Pemikiran seperti ini melahirkan jargon “tauhid sosial” dengan
maksud dimensi sosial dari pengakuan bahwa tiada tuhan selain
Allah dan nabi Muhammad adalah Rasul-Nya akan teraktualisasikan
dalam kehidupan nyata. Sebagai muslim, kalimat tauhid tersebut
tidak cukup hanya dinyatakan dalam bentuk ucapan (lisan) dan
diyakini dalam hati, tetapi juga harus dilanjutkan dalam bentuk
perbuatan. Sehingga semua ibadah murni (mahdhah) seperti
shalat, puasa, haji pun diyakini memiliki dimensi sosial. Mukhtar
Ambai mengambil peranan yang penting dalam hal ini. Ia seorang
ulama yang sangat konsen mengajarkan tauhid dan beribadah
yang benar kepada masyarakat Ambai di satu sisi, dan di sisi lain
ia juga antusias mengaktualkan nilai-nilai sosial di tengah-tengah
mereka. Ia menanamkan rasa peduli sosial kepada masyarakatnya
melalui pengajian/pendidikan. Ia mengajarkan bahwa diantara
makhluk tuhan harus saling menghormati dan membantu antara
satu sama lain.7 Manusia tidak dibenarkan hidup egois, hanya
memikirkan kepentingan diri sendiri saja tetapi harus bisa
bermasyarakat, karena itu ia sangat menggalakkan gotong royong
dalam berbagai hal, ia juga membuat kartu kematian yang
gunanya untuk membantu meringankan beban keluarga yang
ditimpa musibah kematian, dan lain-lain.8

Pembahasan
Berbicara mengenai tauhid sosial, Amien Rais, salah seorang peng-
gagas pemikiran tauhid sosial di Indonesia, mengungkapkan bahwa
konsep tauhid sosial memiliki kaitan erat dengan pengertian

7 Mukhtar Ambai, Risalah Bahiyah fi Itiqad Ahli al-Sunnah, (Padanga Panjang: Sadiyah

Putra, 1974), h. 20
8 Yasak, Guru Pesantren, Wawancara, Januari 2019

- 661 -
… PW LTN PWNU Jawa Timur …

tauhid itu sendiri, yang secara etimologis berasal dari kata wahhada-
yuwahhidu-tauhidan, berarti meng-esa-kan atau menyatukan. Ru-
musannya berupa kalimat La Ilaha illa Allah, tiada tuhan kecuali
Allah.9 Allah bersifat transenden. Karenanya tauhid menegaskan
tidak ada substansi apapun di alam ini yang dapat menjadi
“simbol Tuhan” atau yang menyerupai-Nya.10
Nilai tauhid tentang predikat Tuhan Yang Maha Esa, hanya
layak disematkan kepada Allah Swt. Konsep keagungan Tuhan ini
meski diyakini oleh setiap individu yang mengantarkannya
memahami bahwa ia hanyalah sebagai hamba Allah. Hubungan
seperti ini diikat oleh bingkai teologis, di mana seorang muslim
yang telah bertauhid setidaknya ia memiliki sisi dirinya sebagai
abdullah (hamba Allah) yang memiliki keterikatan vertikal dengan
khaliknya.11 Tidak berhenti sampai di situ, ia juga harus memiliki
kepekaan sosial dan mampu membaca lingkungan sekitarnya
sehingga mampu berperan sebagai khalifatullah fil ardh (wakil
Allah di muka bumi) untuk memakmurkan bumi sebagai ikatan
horizontal dengan sesama.12 Dengan itu, sebenarnya tauhid bisa
dimengerti dalam dua dimensi, yaitu dimensi normatifitas aqidah
dan dimensi praksis sosial. Diksi yang digunakan al-Quran
mengenai iman yang harus diikuti dengan amal shalih merupakan
otensitas ajaran tauhid. Perintah melaksanakan zakat, shadaqah,
infaq, puasa, haji, qurban dan lain-lain kesemuanya itu sangat
terkait dengan persoalan sosial.13 Sehingga kegiatan ibadah bukan

9 M. Amien Rais, Tauhid Sosial: Formula Menggempur Kesenjangan, (Bandung: Mizan,

1998), h. 36
10 Mamun Murod al-Brebes, Menyingkap Pemikiran Politik Gus Dur dan Amien Rais

tentang Negara, (Jakarta: Grafindo RajaPersada, 1999), h. 202


11 Kutbudin Aibak, Teologi Pembacaan dari Tradisi Pembacaan Paganis Menuju Rabbani,

(Yogyakarta: Teras, 2009), h. 97


12 Kutbudin Aibak, Teologi..., h . 94.

13 Mamun Murod al-Brebes, Menyingkap..., h. 204

- 662 -
… Prosiding Lokakarya Internasional dan Pelatihan Metodologi Penelitian Islam Nusantara …

hanya kegiatan rutin keagamaan tapi juga sebagai proses


pembentukan kepribadian.14
Menyikapi ini, pemikiran tauhid sosial—secara sederhana—
berusaha mengkomunikasikan antara dua bidang ilmu yang
berbeda yakni ilmu akidah dan ilmu sosial. Perpaduan yang saling
berkelindan antara satu dengan lainnya. Tauhid yang melangit
dicoba diturunkan pada tataran aplikatif menjawab berbagai persoal-
an yang dihadapi manusia di bumi, namun tetap dibungkus dan
bermuara kepada nilai asasi ketuhanan. Bila dikaitkan dengan
bidang pendidikan, tauhid sosial bukanlah kajian yang murni
tentang pendidikan.15 Namun pemahaman konsep tauhid sosial
yang diurai melalui kacamata pendidikan diperlukan untuk
memudahkan dalam pengimplementasiannya ke dalam mata
pelajaran sehingga tujuan pendidikan Islam yang sebenarnya
dapat dicapai. Pemahaman ini dapat melahirkan beberapa prinsip
dasar yang kemudian bisa dijadikan pedoman dalam menggagas
kegiatan pendidikan bernuansa tauhid sosial.
Asumsi bahwa tauhid adalah pembelajaran yang pertama
kali diajarkan oleh Rasulullah Saw kepada para sahabatnya,
terutama di periode Makkah, agaknya tidak berlebihan jika
disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam awal dilakukan utuk
pembentukan konsepsi tauhid pada setiap individu muslim.
Tujuan pendidikan masa awal inilah kemudian dikukuhkan
menjadi tujuan dasar (utama) dalam pendidikan Islam di masa
setelahnya hingga sekarang, yakni menjadikan peserta didik

14 Yeti Rokhaniyah, “Hubungan Keaktifan Shalat dengan Pengendalian Diri pada

Peserta Didik Kelas VII SMP Neg 2 Mandiraja Kabupaten Banjarnegara Tahun Pelajaran
2012/2013”, http://skripsidanptk.blogspot.com/2014/01/hubungan-keaktifan-shalat-dengan.
html, diunduh hari Selasa, tanggal 17 September 2019.
15 Nurul Hidayah dan Suwadi, “Implementasi Konsep Tauhid Sosial M. Amien Rais

di SMA Internasional Budi Mulia Dua Yogyakarta”, Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol. XII,
No. 1 Juni 2015, h. 36-38

- 663 -
… PW LTN PWNU Jawa Timur …

menjadi orang yang beriman, bertakwa, berilmu pengetahuan,


dan berakhlak mulia.
Mukhtar Ambai secara ekplisit tidak menjelaskan apa yang
menjadi tujuan dari pendidikan itu, namun melalui karyanya dan
informasi yang diperoleh dari berbagai sumber dapat diilustrasikan
kira-kira tujuan pendidikannya pada dua sasaran yaitu: Pertama,
tujuan individual. Pada bagian ini, pendidikan diarahkan untuk
membentuk peserta didik menjadi pribadi Muslim yang baik,
yakni pribadi yang beriman kepada Allah Swt., rajin melaksana-
kan ibadah, dan mampu mengimplementasikan keimanannya
tersebut ke dalam kehidupan bermasyarakat sehingga ia menjadi
pribadi yang santun dan berguna bagi orang banyak.
Mukhtar Ambai menegaskan bahwa inti dari ajaran Islam
adalah tauhid dan inti dari tauhid itu sendiri adalah kalimat la
ilaha illa Allah16 yakni bersaksi tiada Tuhan selain Allah.
Menurutnya ungkapan ini mengandung unsur keikhlasan semata-
mata mengakui Allah sebagai Tuhannya, sehingga tidak ada celah
sedikitpun untuk bisa berpaling kepada selain-Nya. Bahkan kata
Islam yang mengandung arti berserah diri sekalipun, merupakan
hakikat dari pernyataan “tiada Tuhan selain Allah” tersebut.
Karena itu, bila ada yang berserah diri kepada Allah tapi juga
kepada selain-Nya dianggap syirik, apalagi yang tidak berserah
diri kepada Allah maka dianggap sombong.
Tujuan pendidikan pada aspek tauhid ini menjadi sentral
bagi tujuan-tujuan pendidikan berikutnya. Tujuan pendidikan
yang lain harus tetap mengacu kepada tujuan sentral ini. Misalnya
tujuan pendidikan menciptakan peserta didik yang taat beribadah
harus terlebih dahulu memiliki kepercayaan atau keyakinan yang
baik kepada Allah, malaikat, rasul, kitab dan seterusnya. Orang
yang akan beribadah harus memiliki iman atau kayakinan terlebih

16 Mukhtar Ambai, Risalah Bahiyah..., h. 14

- 664 -
… Prosiding Lokakarya Internasional dan Pelatihan Metodologi Penelitian Islam Nusantara …

dahulu. Imanlah yang akan melahirkan peribadatan yang harus


dilaksanakan dan/atau ditinggalkan oleh seseorang. Antara iman
dan peribadatan tidak dapat dipisahkan, dan iman/tauhid menjadi
neraca dasar dari setiap ibadah yang akan dilakukan. Hal ini
sejalan dengan firman-Nya: “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (QS. Al-
Dzariyat: 56). Ayat ini mencakup dua hal yaitu, kepercayaan
mengenai Tuhan adalah Sang Pencipta dan kewajiban penyerahan
diri kepada-Nya. Kepercayaan dan penyerahan diri memiliki
makna bahwa dalam tauhid sekaligus akan melibatkan unsur
ibadah, yakni keimanan yang bukan hanya kepercayaan semata,
tetapi juga diikuti dengan perbuatan setiap hamba (ibadah). Dengan
kata lain, Tauhid sebagai landasan bagi ibadah dan ibadah meru-
pakan manifestasi dari ajaran tauhid, sehingga dengan demikian,
tidak ada satu amal pun yang tidak berlandaskan kepada ajaran
tauhid.
Kedua, tujuan sosial. Pada tujuan ini diarahkan agar peserta
didik memiliki dua sisi kehidupan, yaitu sisi kehidupan individual
yang berhubungan dengan keimanan serta ketundukan kepada
Allah, dan sisi kehidupan sosial yang berhubungan dengan orang
lain atau masyarakat tempat di mana ia tinggal. Peserta didik
diharapkan dapat menjadi figur yang beriman dan tunduk—lewat
ritual peribadatan kepada Allah—juga sekaligus memiliki akhlak
yang baik serta kasih sayang kepada orang lain. Seperti telah
diuraikan sebelumnya, bahwa tauhid menjadi sentral dari
segalanya, maka tauhid—disamping berkait langsung dengan
ibadah—juga tauhid erat kaitannya dengan moral atau prilaku.
Seorang muslim yang memiliki keyakinan yang mantap kepada
Allah dan melaksanakan ibadah yang benar akan melahirkan
pribadi bermoral dan prilaku yang baik. Hal ini sejalan dengan

- 665 -
… PW LTN PWNU Jawa Timur …

ungkapan Ibn Taimiyah yang dikutip Abuddin Nata17 bahwa


pribadi muslim yang baik adalah orang yang sempurna
kepribadiannya, yakni yang lurus jalan pikiran serta jiwanya,
bersih keyakinannya, kuat jiwanya, serta sanggup melaksanakan
segala perintah agama dengan jelas dan sempurna.
Bukan hanya terhadap manusia, bagi Mukhtar Ambai,
akhlak terhadap binatang pun harus tetap dijaga. Salah satu
kebiasaannya adalah setiap kali bertemu dengan pemburu babi, ia
selalu mengingatkan “peliharalah anjingmu dengan baik dan
berikan hak-haknya dengan benar”.18 Betapa sangat pentingnya
menjaga hubungan yang baik antar sesama makhluk Tuhan di
atas dunia ini. Sebab setiap makhluk Tuhan yang diciptakan
bukan sia-sia tapi untuk mengabdi kepada-Nya sebagai khaliq
sang pencipta.
Contoh lain yang terus-menerus dipraktikkan Mukhtar
Ambai adalah setiap kali ia akan pergi shalat Jumat, selalu
memakai baju jubah yang memiliki kantong besar yang diisi uang
receh untuk dibagikan kepada anak-anak setelah selesai shalat.19
Upaya ini dianggap efektif untuk menanamkan pendidikan sosial-
moral kepada anak-anak. Mereka akan beramai-ramai datang ke
mesjid ikut melakukan shalat Jumat, dan lama-kelamaan hati
mereka menjadi terpaut dan terbiasa mendatangi mesjid; Mukhtar
Ambai juga selalu menggalakkan gotong royong dan pembacaan
syair (ngasok: bahasa Kerinci) ketika ada warga masyarakat yang
hendak membangun/menempati rumah baru.20 Hal ia lakukan
untuk menumbuhkan rasa solidaritas dan rasa kebersamaan
warga masyarakat. Melalui sikap kebersamaan dan solidaritaslah
semua persoalan akan mudah diselesaikan, setiap ancaman yang

17 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam; Seri Kajian Filsafat Pendidikan

Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), h. 143


18 Yasak, “Sejarah..., h. 7

19 Yasak, “Sejarah..., h. 8

20 Yasak, “Sejarah..., h. 8

- 666 -
… Prosiding Lokakarya Internasional dan Pelatihan Metodologi Penelitian Islam Nusantara …

datang dari luar pun akan mudah diantisipasi, di saat yang sama
pendidikanpun akan mudah dilaksanakan.
Pembinaan akhlak sosial dirasa sangat urgen sampai-sampai
Mukhtar Ambai21 menegaskan bahwa orang yang memiliki akhlak
itu lebih baik daripada orang yang memiliki ilmu tapi tidak
memiliki akhlak. Orang-orang seperti ini hanya menjadi sumber
masalah atau kerusakan dalam masyarakat, bahkan acap kali ilmu
mereka dipergunakan untuk hal-hal yang merusak tatanan
masyarakat yang telah mapan. Hal ini disandarkan oleh Mukhtar
Ambai pada pepatah Arab “al-adab fauqa al-ilm” bahwa
adab/akhlak berada di atas ilmu. Ilmu tidak akan bermakna bila
tidak dilandasi dengan akhlak yang baik (akhlakul karimah).
Apalagi bagi seorang guru, sebelum ia mengajar, terlebih
dahulu sudah harus memiliki akhlak untuk dicontoh dan
diteladani murid-muridnya, di antaranya sifat pemaaf dan ikhlas.
Guru juga harus memiliki rasa tanggung jawab terhadap
keberhasilan para muridnya baik ketika mereka masih di bangku
sekolah maupun nanti setelah mereka menamatkan studi.22 Bukan
hanya memiliki akhlak, seorang guru juga harus mengamalkan
ilmu yang dipelajarinya, sebab ilmu bukan hanya untuk konsumsi
sendiri tapi juga bagi kemaslahatan orang banyak. Begitupun bagi
murid, harus dapat menjaga adab terhadap guru, terhadap
sesama maupun terhadap pelajaran. Di antara adab yang harus
dijaga oleh murid ketika belajar adalah membaca “Bism Allah al-
Raman al-Rahim” setiap memulai suatu pelajaran dan menutupnya
dengan berdoa kepada Allah Swt. agar ilmu yang dipelajari
menjadi berkah. Di samping itu, ia juga selalu menekankan
bahwa “belajar harus melalui guru”, sebab dikhawatirkan akan
menimbulkan kekeliruan dalam memahami isinya.23 Kesemua ini

21 Yasak, “Sejarah..., h. 5
22 Yasak, “Sejarah..., h. 7
23 Yasak, “Sejarah..., h. 6

- 667 -
… PW LTN PWNU Jawa Timur …

dapat dimaklumi dalam rangka untuk meningkatkan setiap aspek


dalam diri murid menuju kesempurnaan sebagai manusia yang
beradab.24
Di banyak kesempatan, ia selalu mengingatkan masyarakat
untuk memperkuat keimanan, peribadatan dan amal saleh25
misalnya ketika bertemu dengan seseorang, ia selalu mengingatkan
“jangan lupa shalat” dan ketika berkunjung ke penjara ia bertanya
kepada sipir (penjaga penjara) “apakah kamu sudah shalat”?; Ia
selalu mengingatkan untuk tidak hubbud dunia (mencintai dunia
secara berlebihan) sebab dunia bukanlah tujuan utama dalam
hidup ini. Karena itu ia selalu membagi/memberikan giliran
menggarap sawah bagi orang yang berhak bila telah tiba waktu
gilirannya (merupakan salah satu tradisi di desa Ambai bahkan
Kerinci secara kekeluruhan, memanfaatkan pusaka tinggi yaitu
pusaka yang didapat secara turun temurun dari nenek moyang
dahulu dalam satu keluarga besar).26 Namun Mukhtar Ambai
mengingatkan bahwa umat Islam dalam hidup ini tidak boleh
bersikap statis tetapi harus dinamis dan optimis agar dapat meraih
derajat yang lebih tinggi dan sempurna; berikutnya ia juga
menerapkan praktek mengqadha (menggantikan) shalat bagi
orang yang telah meninggal dunia dengan cara mengupah.
Melalui kegiatan ini Mukhtar Ambai mengajak masyarakat Ambai
untuk dapat membantu para keluarganya yang telah lebih dahulu
meninggal dunia menyelesaikan hutang piutangnya kepada Allah
Swt. Mudah-mudahan dengan demikian siksaan terhadap para
keluarga yang telah meninggal dunia dapat diringankan atau
dihapuskan oleh Allah Swt.

24 Wan Mohn Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al

Attas, (Bandung: Mizan Media Utama, 2003), h. 174


25 Muhammad Syarif, Murid Mukhtar Ambai, wawancara, Januari 2019

26 Yasak, “Sejarah..., h. 6

- 668 -
… Prosiding Lokakarya Internasional dan Pelatihan Metodologi Penelitian Islam Nusantara …

Melalui praktik keagamaan berdimensi sosial seperti digam-


barkan di atas, Mukhtar Ambai ingin mengajak masyarakat untuk
meninggalkan praktik sesat yang sebelumnya karena hanya mem-
bawa kemudaratan saja dalam kehidupan di dunia maupun
akhirat, lalu beralih kepada ajaran tauhid meng-esa-kan Allah. Dia
lah sumber kehidupan dan Dia juga yang akan memberikan
keselamatan manusia dan mengatasi semua kesulitan hidup
manusia di dunia dan akhirat. Dengan demikian Mukhtar Ambai
termasuk salah seorang intelektual dan pekerja sosial yang
menggerakkan masyarakat secara dinamis.27
Berdasarkan pembahasan di atas, dapatlah dikatakan bahwa
tujuan pendidikan Islam yang dicita-citakan Mukhtar Ambai
hakikinya diarahkan untuk membentuk pribadi yang holistik,
yaitu memiliki kualitas seimbang antara iman, ilmu dan amal.
Atau dalam bahasa lain, pribadi yang cakap secara lahiriah
maupun batiniah, berkualitas secara emosional maupun rasional,
atau memiliki EQ dan IQ yang tinggi.28 Paradigma holistik ini
bagaikan inti dari sebuah barang, akar dari sebuah pohon, atau
fondasi dari sebuah bangunan. 29 Ia akan mengantarkan pada
pola pembelajaran integratif yang menggunakan empat
sumber khazanah intelektual sekaligus, yaitu sumber wahyu (al-
Qur an dan Hadis), ayat-ayat kauniyah (alam semesta), ayat-ayat
ijtimaiyyah (interaksi sosial), dan ayat-ayat wujdaniyah (nurani
pribadi).30

27 Anis Maftukhin, Krisis Intelektual Islam, Selingkuh Kaum Cendekiawan dengan

Kekuasaan Politik, (Jakarta: Erlangga, 2009), h. v


28 Ichsan Wibowo Saputro, “Konsep Tauhid Menurut Abdul Karim Amrullah dan Implikasinya

terhadap Tujuan Pendidikan Islam”, Jurnal at-Tadib Vol II, No. 2, Desember 2016, h. 278
29 Muhammad Ismail Yusanto, dkk. Menggagas Pendidkan Islami, (Bogor: Al Azhar

Press, 2002), h. 46
30 Suyatno, Sekolah Islam Terpadu; Filsafat, Ideologi, dan Tren Baru Pendidikan Islam di

Indonesia, Jurnal Pendidikan Islam, Volume II, Nomor 2, Desember 2013/1435, h. 360

- 669 -
… PW LTN PWNU Jawa Timur …

Penutup
Mukhtar Ambai adalah sosok ulama lokal yang pernah belajar di
Makkah memiliki kharisma yang sangat tinggi. Ia sangat tegas
dalam bidang aqidah atau tauhid tapi juga sangat sederhana dan
santun dalam kesehariannya, maka tidak heran kalau beliau
sangat dikenal dengan sebutan ulama Kerinci yang kharismatik
dan santun.
Mengenai pemikiran tauhid sosial Mukhtar Ambai dapat
dideteksi dari kitab dan sumber-sumber lainnya. Akhirnya dapat
disimpulkan bahwa tujuan pembelajaran dalam Islam harus
diarahkan kepada penananam dan penguatan ajaran tauhid bagi
peserta didik. Pembelajaran tauhid ini melahirkan kesadaran bahwa
manusia adalah hamba Allah yang dituntut melakukan ketun-
dukan kepada sang khalik. Di sisi lain, manusia juga diberi kesem-
patan menjadi khalifah Allah untuk mengatur dan memakmurkan
bumi. Pada posisi ini manusia di samping sebagai hamba Allah
yang harus selalu taat beribadah kepada Allah, sekaligus juga
dipercaya sebagai wakil-Nya di bumi untuk menjaga kelestarian
dan keharmonisan alam. Pada posisi ini manusia dituntut untuk
dapat menjaga keharmisan hubungan manusia dengan sesamanya
dan juga dengan alam lingkungannya. Ajaran tauhid yang meng-
esa-kan Allah Swt harus mampu mewujud konkret dalam realita
sosial pergaulan hidup manusia. Keyakinan kepada Allah dan
sifat-sifatnya harus mampu diejawantahkan dalam hubungan
sesama dan dengan alam sekitar. Inilah hal dasar yang mesti
diajarkan dalam pendidikan Islam yang akan melahirkan pribadi-
pribadi yang taat menjalankan agama serta memiliki akhlak yang
mulia.

***

- 670 -
… Prosiding Lokakarya Internasional dan Pelatihan Metodologi Penelitian Islam Nusantara …

DAFTAR RUJUKAN
Aibak, Kutbudin. (2009). Teologi Pembacaan dari Tradisi Pembacaan
Paganis Menuju Rabban. Yogyakarta: Teras
Al-Brebes, Mamun Murod. (1999). Menyingkap Pemikiran Politik
Gus Dur dan Amien Rais tentang Negara. Jakarta: Grafindo
RajaPersada
Ali, Yunasril. dkk. (2005). Adat Basendi Syara sebagai Fondasi
Membangun Masyarakat Madani di Kerinci. Jakarta: Gaung
Persada Press
Ambai, Mukhtar (1971). Risalah Marghubah fi Qawaidah Ukhrawiyah.
Padang Panjang: Saadiyah Putra
-------------- (1971). Risalah Falahiyah. Padang Panjang: Saadiyah
Putra
-------------- (1974). Risalah Bahiyyah fi Itiqad Ahli al-Sunnah. Padang
Panjang: Saadiyah Putra
-------------- (1974). Risalah Mardhiyah. Padang Panjang: Saadiyah
Putra
Bogdan, Robert dan Steven J. Taylor. (1992). Pengantar Metode
Penelitian Kualitatif: Suatu Pendekatan Fenomenologis terhadap
Ilmu-ilmu Sosial, Terj. Arief Furchan. Surabaya: Usaha
Nasional
Daud, Wan Mohn Nor Wan. (2003). Filsafat dan Praktik Pendidikan
Islam Syed M. Naquib al Attas. Bandung: Mizan Media
Utama
Hidayah, Nurul dan Suwadi, “Implementasi Konsep Tauhid Sosial
M. Amien Rais di SMA Internasional Budi Mulia Dua
Yogyakarta”, Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol. XII, No. 1
Juni 2015, h. 36-38
Maftukhin, Anis. (2009). Krisis Intelektual Islam, Selingkuh Kaum
Cendekiawan dengan Kekuasaan Politi. Jakarta: Erlangga
Nata, Abuddin. (2001). Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam; Seri
Kajian Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada
- 671 -
… PW LTN PWNU Jawa Timur …

Rais, M. Amien. (1998). Tauhid Sosial: Formula Menggempur


Kesenjangan. Bandung: Mizan
Rokhaniyah, Yeti. “Hubungan Keaktifan Shalat dengan
Pengendalian Diri pada Peserta Didik Kelas VII SMP Neg 2
Mandiraja Kabupaten Banjarnegara Tahun Pelajaran
2012/2013”, http://skripsidanptk.blogspot.com/ 2014/01/
hubungan-keaktifan-shalat-denganhtml, diunduh hari
Selasa, tanggal 17 September 2019
Rosadi, Muhamad dalam Tim Penulis Balai Litbang Agama
Jakarta, Pemikiran Moderat dalam Karya Ulama Nusantara
(Jakarta: Balai Litabang Agama, 2015), h. 136
Saputro, Ichsan Wibowo “Konsep Tauhid Menurut Abdul Karim
Amrullah dan Implikasinya terhadap Tujuan Pendidikan
Islam”, Jurnal at-Tadib Vol II, No. 2, Desember 2016
Suyatno, “Sekolah Islam Terpadu; Filsafat, Ideologi, dan Tren
Baru Pendidikan Islam di Indonesia”, Jurnal Pendidikan
Islam, Volume II, Nomor 2, Desember 2013/1435
Vrihaspati, Budi. dkk. (2014). Tinjauan Sejarah Kebudayaan Islam
Alam Kerinci. Sungai Penuh: Bina Potensia Aditya Mahatva
Yodha, 2014
Yusanto, Muhammad Ismail. dkk. (2002). Menggagas Pendidkan
Islam. Bogor: Al Azhar Press

- 672 -

Anda mungkin juga menyukai