Anda di halaman 1dari 132

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tasawuf selama ini dikenal sebagai dimensi esoterik dalam Islam.

Identifikasi tersebut sering menyebabkan tasawuf dianggap dekat dengan hal-hal

yang bersifat kebatinan dan askese.1 Selama ini kaum sufi dipandang sebagai

kelompok umat yang lebih menekankan kesalehan individual (personal) daripada

kasalehan sosial. Ada pula yang memandang kaum sufi sebagai kelompok umat

yang sibuk dengan pengalaman spiritualnya sendiri atau kelompok yang

menjadikan pengalaman spritiual sebagai tujuan utama dan satu-satunya.2

Tasawuf juga dituduh menjauhi atau mengabaikan kehidupan duniawi,

mengajarkan anti-sosial, hidup miskin, tidak mempunyai apa-apa, dan sederhana,

tetapi memiliki hati yang baik dan mulia. Sifat-sifat ideal yang terpuji yang sering

disebut dalam kitab-kitab tasawuf, sebagaimana yang dijalani oleh Rabi’ah al-

Adawiyyah yang berasal dari keluarga miskin dan pernah menjadi budak. Setelah

dimerdekakan oleh tuannya, ia menjadi seorang zahid dan banyak beribadah.

Dengan hidup dalam kemiskinan dan menolak bantuan materi yang diberikan

orang kepadanya Ia bahkan tidak mau berdoa meminta kekayaan materi kepada

Tuhan. Ia benar-benar hidup dan hanya ingin dekat dengan Tuhan dengan cara
1
Carl W Ernst., “Tingkatan Cinta Dalam Sufisme Persia Awal, dari Rabiah Hingga
Ruzbihan”, dalam Ribut Wahyudi, Seri Pengantar Tasawuf: Cinta, Guru, dan Kewalian Dalam
Sufisme Awal, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003), hal. 32. Lihat juga di, Syekh Javad Nurbakhsy,
Belajar Bertasawuf: Mengerti Makna dan Mengamalkan Zikir, Tafakur, Muraqabah, Muhasabah,
dan Wirid, (Jakarta: Zaman, 2016), hal.11-12.
2
Wafirotun Nurika, “Nilai-Nilai Sosial Pada Pengamal Tarekat Naqsyabandiyah Desa
Tawang Rejo Wonodadi Belitar”, Spiritualita, Vol 1, No 1 Juni 2017, hal.19. lihat juga dalam
buku, Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hal.233.

1
2

puasa, zikir, khalwat, ‘uzlah, dan lebih mementingkan kesalehan individual dari

pada kesalehan sosial. 3

Kesan seperti itu terjadi karena hanya melihat bahwa subtansi ajaran

tasawuf mengabaikan kehidupan duniawi dan dikuatkan oleh ajarannya tentang

zuhud yaitu keadaan meninggalkan kesenangan duniawi, material, berkhalwat dan

‘uzlah. Seseorang tidak mungkin menjadi sufi tanpa menjadi zahid (orang yang

menjalani hidup zuhud).4 Akhirnya tasawuf di kesankan oleh beberapa orang (di

luar pengikut tarekat) hanya dapat membentuk kesalehan pribadi, tanpa mampu

menjangkau aspek sosial-kemasyarakatan.

Hal ini tentu tidak sepenuhnya salah tetapi juga tidak sepenuhnya benar,

karena memang tasawuf memiliki dimensi sosial. Seorang sufi bukanlah seorang

yang tidak mempunyai kedermawanan atau kepedulian sosial, tetapi justeru sangat

mempunyai sifat berkepedulian sosial. Sebagimana kepeduliannya terhadap

kehidupan sosial ini, yang dibutuhkan seorang sufi dengan lebih memilih

membantu fakir miskin dibanding berhaji ke Baitullah. Orang yang lebih memilih

membantu tetangga fakir yang merupakan simbol “kesalehan sosial” dipandang

lebih utama daripada yang berhaji ke Baitullah yang merupakan simbol

“kesalehan personal”. Meski begitu, tidak ada sufi yang anti berhaji. Kaum sufi

tidak ada yang tidak mewajibkan berhaji. Bahkan, haji dijadikan sebagai salah

satu sarana bagi para sufi untuk menyaksikan Tuhan (musyahadah).

3
Wasalmi, ”Mahabbah Dalam Tasawuf Rabi’ah al-Adawiah”, Sulesna, Vol 9, No. 2, 2014,
hal. 84. Lihat juga di Buya Hamka, Tasawuf Modern: Bahagia itu Dekat Dengan Kita Ada di
Dalam Diri Kita, (Jakarta: Republik Penerbit, 2016), hal.10-11.
4
Kuatsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial: Kearifan Kritis kaum Sufi, (Jakarta: Serambi
Ilmu Semesta. 2003), hal. 5.
3

Sebagaimana menurut para sufi, Nabi Saw setelah mendapatkan

pengalaman spiritual di Gua Hira, yakni diturunkannya wahyu kepada Nabi, tidak

ada lagi cerita kembali ke Gua Hira. 5 Begitu pula ketika Nabi telah bertemu dan

berdialog dengan Tuhan di shidrat al-muntaha tidak enak-enakan “bersama

Tuhan,” tetapi turun lagi ke bumi untuk merubah dunia.6

Di dalam Islam juga sebenarnya tidak ada pembedaan antara kesalehan

sosial (mu’amalah) dan kesalehan ritual (ibadah). Keduanya berada dalam sebuah

keselarasan dan saling melengkapi agar seorang Muslim dapat mengamalkan

keislamannya secara utuh. Keselarasan di antara keduanya juga sudah secara

eksplisit ditunjukkan dalam lima rukun Islam yang terdiri dari amalan kalimah

syahadah, shalat, puasa, membayar zakat, dan menunaikan haji. Al-Qur’an yang

merupakan sumber wahyu utama Islam menunjukkan di beberapa ayatnya tentang

keselarasan antara ibadah dan mu’amalah tersebut seperti Surah al-Baqarah [2]:

43 berikut ini, “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah

(sujud/shalat) beserta orang-orang yang ruku’ (sujud/shalat)”.

Pada saat ibadah dan mu’amalah disandingkan sebagai sebuah keselarasan,

hal itu berarti Islam mengakui bahwa penghayatan keberagamaan seorang Muslim

tidak pernah bisa dipisahkan dengan keberadaannya sebagai makhluk sosial. Iman

sebagai seorang Muslim membutuhkan keberadaan di tengah sesama agar dapat

diamalkan. Dengan demikian, beriman sekaligus terlibat secara sosial merupakan

sebuah keniscayaan.

5
Asrifin, Tokoh-Tokoh Shufi, Mengungkap: Sejarah Kehidupan dan Ajaran Serta
Karomahnya, (Surabaya: Karya Utama, t.t), hal. 9.
6
Agus Mustafa, Terpesona di Sidratul Muntaha: Serial ke-3 Diskusi Tasawuf Modern,
Jakarta: Padma. 2004, hal. 15.
4

Ketika ada sebuah tarekat yang mengajarkan para muridnya untuk menyepi

atau beraskese, bukan berarti tarekat ini kemudian mengajarkan sikap anti-sosial.

Hal itu adalah bagian dari metode pemurnian hati, metode untuk dapat mengalami

transformasi karakter. Seperti yang akan dikaji pada bagian selanjutnya, di mana

ada sebuah tarekat yang justru mendorong para muridnya untuk terlibat dalam

kehidupan bersama dengan masyarakat. Latihan atau disiplin spiritual para

pengikut tarekat justru tidak dilakukan dengan menyepi, melainkan lewat tindakan

bela rasa, kepedulian kepada yang mebutuhkan dan bergerak dalam aspek sosial-

kemasyarakatan atau filantropi. Tarekat tersebut adalah Tarekat Naqsyabandiyah

Al-Haqqani.

Tarekat Naqsyabandiyah Al-Haqqani dikenalkan di Indonesia oleh Syekh

Muhammad Hisham Kabbani, yaitu khalifah Syekh Nazim Adil Haqqani di

Amerika Serikat. Pada tahun 1997 beliau mengunjungi Indonesia dan kunjungan

tersebut sangat menggembirakan karena mampu membangun Zawiyah

Naqsyabandi Al-Haqqani di wilayah Kampung Melayu, Jakarta Selatan. 7 Orang

pertama yang diangkat sebagai wakil Syekh Nazim Al-Haqqani untuk Indonesia

adalah KH. Mustafa Masud, yang pembaiatannya dilakukan oleh Syekh

Muhammad Hisham Kabbani pada 5 April 1997. Pada kunjungan-kunjungan

berikutnya banyak orang yang memperoleh baiat dari Hisyam Kabbani di

antaranya terdapat empat orang yang ditunjuk sebagai representasi (wakil) dari

Syekh Hisham Kabbani untuk daerah-daerah di Indonesia. Keempat ulama

tersebut adalah KH. Taufiqurahman al-Subky dari Wonopringgo Pekalongan, Al-


7
D.S Farer, Muslims In Global Societnes Series: Shadows of the Prophet, Matrial Arts and
Sufi Mysticism, (Russia: Springer, 2006), hal. 16.
5

Habib Lutfi bin Yahya dari Kota Pekalongan, KH. Ahmad Syahid dari Nagrek,

Bandung, dan Ustadz H. Wahfiuddin, MBA dari Jakarta.8

Sebagaimana pemilihan jenis penelitian yang bertujuan untuk memahami

masalah secara mendalam mengenai fungsi tasawuf yang dapat membentuk tidak

hanya kesalehan pribadi secara transendental, tetapi juga kesalehan dalam aspek

sosial-kemasyarakatan, maka cara pandang terhadap fungsi tasawuf yang

transenden sekaligus sosial, tidak hanya melihat subtansi ajaran semata (misalnya

uzlah diamalkan dengan cara menyendiri), tetapi melihat konteks pada saat ajaran

tersebut dilaksanakan. Latar belakang sejarah seperti itu perlu dipahami sebab

aktualisasi pemahaman mengenai tasawuf haruslah sesuai dengan tuntunan

zamannya guna menuju perbaikan.

Syekh Hisyam Kabbani9 mengakatakan bahwa tidak sedikit orang yang

memahami zuhud adalah meninggalkan dunia lalu menyendiri (uzlah) di tempat

sepi. Zuhud yang utama justru adalah berinteraksi dengan sesama manusia

sembari terus berzikir kepada Allah. Jadi zuhud tidak dimaknai dengan menjauhi

seluruh kehidupan dunia dan uzlah tidak dimaknai dengan menyepi dan menjauhi

ativitas sosial, justru sebaliknya. Itulah yang diajarkan di dalam tarekat

Naqsyabandiyah Al-Haqqani. Tarekat ini menjalankan fungsi sosial, bukan fungsi

isolatif, karena itu aktif di tengah-tengah pembangunan masyarakat, bangsa dan

negara sebagai tuntutan tanggung jawab sosial pada masyarakat. Secara sosial,

tarekat bukan hanya uzlah dari keramaian, sebaliknya harus aktif mengarungi
8
Ahmad Syafi’I Mufid, Tangklukan, Abangan, dan Tarekat: Kebangkitan Agama di Jawa,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), hal. 250.
9
Syekh Hisyam adalah menantu dari Mawlana Syekh Nazim Al-Haqqani dan sebagai
deputi dari mursyid Tarekat Naqsyabandi Haqqani khususnya di Amerika serikat, Inggris dan Asia
Tenggara, lihat dalam buku Shayk Muhammad Hisham Kabbani, The “Salafi” Movement
Unveiled, (America: As-Sunnah Foundation, 1997), hal. 140.
6

kehidupan ini secara total, baik dalam aspek sosial, politik, ekonomi dan

filantropi.10

Bagi tarekat Naqsyabandiyah Al-Haqqani, kesalehan sosial adalah upaya

untuk membangun kehidupan bersama yang lebih baik dengan berdasarkan: cinta,

berbela rasa terhadap orang yang membutuhkan, zuhud sebagai bentuk

kedermawaan, dan prinsip khalwat yang berbeda dengan tarekat-tarekat lainnya,

di tarekat lain khalwat dilakukan dengan menyepi dari keramaian. Tetapi dalam

tarekat ini konsep khalwat-nya adalah terlibat dalam sosial dan sebuah keadaan

menyepi di tengah keramaian. Ternyata oleh para mursyid tarekat

Naqsyabandiyah Al-Haqqani ditempatkan sebagai salah satu tahap spiritual

(maqam) .

Melalui perbedaan tersebut, kajian ini akan membahas sejauh mana tarekat

Naqsyabandiyah Al-Haqqani sebagai tarekat yang mempunyai aktivitas sosial dan

filantropi. Hal tersebut dilihat dari konsistensi pengikut dalam mengamalkan

ajaran-ajaran tasawufnya dan aktivitas keagamaannya, sehingga dalam kajian ini

dapat melihat bagaimana sebenarnya kehidupan spiritual, material dan sosial

pengikut tarekat Naqsyabandiyah Al-Haqqani. Hal tersebut juga bertujuan untuk

menepis anggapan orang lain terhadap pengikut tarekat yang cenderung memilih

anti sosial dan lebih mementingkan kesalehan invidual dari pada kesalehan sosial.

B. Rumusan Masalah

10
Aziz Masyhuri, Ensiklopedi 22 Aliran Tarekat Dalam Tasawuf, (Surabaya: Imtiyaz,
2011), hal. 161.
7

Berdasarkan pada latar belakang yang telah disebutkan, agar pembahasan

dapat lebih mendalam dan terarah, maka dirumuskan sub masalah sebagai berikut:

1. Apa yang melatarbelakangi Tarekat Naqsyabandiyah Al-Haqqani

bergerak di kegiatan sosial dan filantropi?

2. Bagaimana aktivitas sosial dan filantropi Tarekat Naqsyabandiyah Al-

Haqqani?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Sesuai dengan pokok-pokok masalah yang dirumuskan di atas, tujuan

penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui latar belakang historis munculnya sikap sosial dan

filantropi dalam Tarekat Naqsyabandiyah Al-Haqqani.

2. Untuk mengetahui pelaksanaan kegiatan atau aktivitas sosial Tarekat

Naqsyabandiyah Al-Haqqani.

Selain pencapaian tujuan tersebut, kegunaan yang ingin dicapai dalam

penelitian adalah:

1. Secara teoritik, penelitian ini memberikan kontribusi pemikiran untuk

memperkaya khasanah keilmuan Tasawuf

2. Secara praktis, penelitian ini berguna bagi para praktisi Ilmu Tasawuf

atau khususnya ilmu agama Islam, hal ini dapat menjadi informasi baru

tentang filantropi dan tarekat.


8

3. Secara umum, penelitian ini mendorong kajian lebih lanjut untuk

mengkaji filantropi dalam Tarekat khususnya Tarekat Naqsyabandiyah

Al-Haqqani.

D. Kajian Pustaka

Kajian tentang filantropi dan tarekat belum pernah ada sampai saat ini.

Kalaupun ada, itu adalah kajian yang khusus hanya membahas tentang filantropi

tersendiri, dan juga membahas tarekat tersendiri. Kajian mengenai filantropi di

dunia muslim yang paling baik akhir-akhir ini adalah kajian Chusnan Jusuf yang

berjudul “Filantropi Modern Untuk Pembangunan Sosial”. Kajian ini membahas

tentang makna filantropi modern yang dikenal dengan sikap kedermawanan

karitas (belas kasihan) bertujuan untuk melakukan perubahan dan keadilan sosial

secara struktural berkaitan dengan kemiskinan, hak asasi manusia, pendidikan,

kesehatan, gender, lingkungan hidup dan masalah sosial budaya.11

Selanjutnya karya Hilman Latief yang berjudul Melayani Umat: Filantropi

Islam dan Ideologi Kesejahteraan Kaum Modernis. Kajian ini memotret dinamika

gerakan filantropi Muhammadiyah: doktrin, wacana, kebijakan, praktik, proses

mobilisasi, dan sebagaian aktivisme filantropi yaitu kegiatan komunitas yang

tujuannya meningkatkan kualitas hidup masyarakat, di antaranya melalui kegiatan

“memberi” dan ekspresi-ekspresi kesalehan sosial lainnya dapat memberikan

kontribusi pada peningkatan taraf hidup masyrakat miskin.12

11
Chusnan Jusuf, ”Filantropi Modern Untuk Pembangunan Sosial”, Jurnal Penelitian dan
Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 01, 2007.
12
Hilman Latief, Melayani Umat: Filantropi Islam dan Ideologi Kesejahteraan Kaum
Modernis, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010).
9

Berikutnya Amelia Fauzia yang berjudul Filantropi Islam: Sejarah dan

Kontestasi Masyarakat Sipil dan Negara di Indonesia. Kajian ini membahas

tentang persoalan filantropi secara komprehensif dalam kacamata akademik yang

sangat menarik. Karya komprehensif pertama tentang sejarah filantropi Islam

Indonesia sejak masa awal Islamisasi Nusantara pada abad ke-13, melintasi masa

kerajaan-kesultanan Islam, penjajahan Belanda, dan masa pascakemerdekaan,

termasuk masa kontemporer.13 Buku ini menyajikan penelusuran historis

komprehesif mengenai perkembangan filantropi Islam di Indonesia dan

bagaimana filantropi Islam mempengaruhi hubungan antara agama dan negara.

Kajian yang membahas mengenai aktivitas sosial tarekat telah banyak

dilakukan, antara lain adalah kajian Lindung Hidayat Siregar yang berjudul

“Sejarah Tarekat dan Dinamika Sosail”. Kajian ini membahas tentang ajaran

tarekat seperti zuhud, warak, fakir, sabar, tawakal, ridla dan zikir bukan saja

hanya mengandung aspek sprituaal tetapi juga mengandung nilai dimensi sosial

yang tinggi, seperti hidup hemat dan sederhana, tidak tamak dan arogan,

mencintai keadilan dan kejujuran, mencintai antara sesama, memiliki ketulusan

dan kebeningan hati, selalu mawas diri, bergerak di masyarakat dan memiliki etos

kerja yang tinggi.14

Berikutnya adalah tesis yang ditulis oleh Asep Saiful Dzulfikar yang

berjudul “Tarekat Dalam Perubahan Sosial: Studi Terhadap Tarekat ‘Alawiyah

13
Amelia Fauzia, Filantropi Islam :Sejarah dan Kontestasi Masyarakat Sipil dan Negara
di Indonesia, (Yogyakarta: Gading Publishing, 2016).
14
Lindung Hidayat Siregar, “Sejarah Tarekat dan Dinamika Sosail”, MIQOT, Vol. XXXIII
No. 2 Juli-Desember 2009.
10

Yogyakarta”. Kajian ini membahas tentang tarekat yang menampilkan keragaman

sosial yang sangat berbeda-berbeda serta dapat berkembang secara evolutif

mengikuti lingkup sosialnya. Tarekat ‘Alawiyah, juga sebagai sebuah lembaga

keagamaan di dalam masyarakat ia memiliki perkembangan dan perubahannya

sendiri yang cukup menarik. Tarekat ‘Alawiyah Yogyakarta mampu bertahan


15
dalam masa kontemporer dengan bergerak di masyarakat.

Selanjutnya karya Ja’far yang berjudul “Tarekat dan Gerakan Sosial

Keagamaan Shaykh Hasan Maksum”. Kajian ini mengulas tentang tarekat dan

gerakan sosial keagamaan Shaykh Hasan Maksum, seorang sufi yang tidak

populer dalam literatur tasawuf Nusantara tetapi memiliki pengaruh besar

terhadap dinamika sosial keagamaan di Sumatera Timur. Sebagai seorang mufti-

sufi, Shaykh Hasan merupakan figur penting dalam khazanah ilmu-ilmu

agama (teologi, fikih dan tasawuf). Pengaruhnya lebih besar dari para sufi yang

ada di Sumatera Timur, sebagai dampak dari kekuasaan keagamaan yang

diberikan kepadanya yang meliputi seluruh kekuasaan kesultanan di kawasan

Sumatera Timur. Syekh Hasan merupakan seorang sufi dari tarekat

Naqshabandiyah yang menjabat sebagai mufti Kerajaan Deli. Posisi sebagai

sufi tidak membuat Syekh Hasan pasif terhadap kehidupan sosial, bahkan

politik dan dalam bidang sosial, ia mendedikasikan diri kepada organisasi al-

Wasliyah dan al-Ittihadiyah sebagai dua organisasi kaum tua yang sangat

patuh terhadap fikih Shafi‘iyah.16

15
Asep Saiful Dzulfikar, “Tarekat Dalam Perubahan Sosial:Studi Terhadap Tarekat
‘Alawiyah Yogyakarta”, Tesis Diajukan Kepada Universitas Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015.
16
Ja’far, “Tarekat dan Gerakan Sosial Keagamaan Shaykh Hasan Maksum”, Teosofi:
Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam, Vol 5, No 2, Desember 2015.
11

Dari berbagai penelitian di atas, jelaslah bahwa belum ada penelitian yang

membahas secara khusus filantropi dan tarekat. Kajian ini berusaha membahas

tentang filantropi dalam tarekat Naqsyabandiyah Al-Haqqani, serta menegaskan

bahwa fokus penelitian skripsi ini memang baru dan belum pernah diteliti atau

dibahas oleh orang lain.

E. Kerangka Teori

Pembahasan yang dilakukan dalam penelitian ini tentunya akan

membutuhkan kerangka teori untuk membedah objek kajian. Adapun teori yang

digunakan sebagai rangka pemikiran adalah teori fungsionalisme Bronislaw

Malinowski, guna mengungkapkan peran tarekat.

1. Penekanan Teori Malinowski

Teori Fungsionalisme Malinowski secara garis besar merintis bentuk

kerangka teori untuk menganalisis fungsi dari kebudayaan manusia (a functional

theory of Culuture), yakni sistem-sistem kebudayaan terkait dari sistem

keagamaan, organisasi sosial, dan norma yang berlaku pada masyarakat.

Malinowski menekankan secara tegas dalam kerangka teorinya dalam penelitian

lapangan (field research) dengan:

a. Observasi langsung.

b. Menguasai bahasa setempat agar dapat berbaur dengan baik.

c. Mencatat seluruh aktivitas secara konkret.

d. Memahami latar fungsi dari aspek yang diteliti seperti adat dan pranata,

sosial.
12

e. Mempunyai keterampilan analitik.

2. Fungsi Aspek Kebudayaan

a. Saling keterkaitan secara otomatis, pengaruh terhadap aspek lain.

b. Konsep-konsep masyarakat bersangkatan.

c. Unsur-unsur dalam kehidupan sosial yang terintegrasi secara fungsional.

d. Esensi dari suatu kegiatan.17

3. Tingkat Abstraksi

a. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada

tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh atau efeknya terhadap adat,

tingkah laku manusia dan pranata sosial dalam masyarakat.

b. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada

tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh atau efeknya terhadap

kebutuhan suatu adat atau pranata lain untuk mencapai maksudnya,

seperti yang dikonsepkan oleh warga masyarakat yang bersangkutan.

c. Fungsi sosial dari suatu adat atau pranata sosial pada tingkat abstraksi

ketiga mengenai pengaruh atau efeknya terhadap kebutuhan mutlak

untuk berlangsungnya secara terintegerasi dari suatu sistem sosial yang

tertentu.

4. Cara Kerja

a. Melihat budaya dari suatu masyarakat sebagai sebuah keseluruhan yang

terintegrasi.

17
Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 1993), hal. 111.
13

b. Mengkaji fungsi dari unsur-unsur suatu budaya terhadap budaya

masyarakat tersebut secara keseluruhan.

c. Mengkaji lingkungan sosial sebagai pembentuk perilaku manusia.18

F. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan langkah penulis untuk mengumpulkan

informasi dan data. Metode penelitian berguna untuk memberikan gambaran

penelitian yang meliputi prosedur penelitian, sumber data, analisis dan lain

sebagainya. Metode yang digunakan dalam penyusunan skripsi adalah sebagai

berikut:19

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini berusaha untuk mendekripsikan peran tarekat

Naqsyabandiyah Al-Haqqani terhadap kesalehan sosial masyarakat dan filantropi.

Penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research), yaitu penelitian yang

dilakukan di lapangan guna mendapatkan data yang diperlukan. 20 Berangkat dari

objek penelitian serta latar belakang masalah yang diangkat dari penelitian ini

maka jenis penelitian adalah jenis penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah

penelitian yang berdasarkan oleh suatu kajian objek tertentu guna mengungkapkan

masalah secara gambling terhadap fenomena keadaan yang diteliti tanpa

mempengaruhi objek kajian penelitian.

18
Amri Marzali, “Struktural-Fungsionalisme”, Antropologi Indonesia, Vol. 30, No. 2,
2006, hal. 134
19
Nyoman Kutha Ratna, Metodologi Penelitian: Kajian Budaya dan Ilmu Sosial
Hurmaniora Pada Umumnya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 84.
20
Saifudin Anwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hal. 21.
14

Jenis penelitian kualitatif sangat tepat karena objek penelitiannya

menyangkut manusia dan kehidupan (sosial). Jika penelitian kuantitatif mengukur

objek dengan suatu perhitungan, dengan angka, dengan prosentase serta statistik

(berhubungan dengan exact), penelitian kualitatif lebih menekankan pada segi

kualitas secara alamiyah karena manyangkut sebuah penegertian, konsep, nilai,

serta ciri-ciri yang melekat pada objek penelitian. Pemilihan jenis penelitian ini

didasarkan pada tujuan untuk memahami masalah secara mendalam mengenai

fungsi tasawuf yang dapat membentuk tidak hanya kesalehan pribadi secara

transendental, tetapi juga kesalehan dalam aspek sosial-kemasyarakatan. Cara

pandang terhadap fungsi tasawuf yang transenden sekaligus sosial tidak hanya

melihat subtansi ajaran semata (misalnya zuhd diamalkan dengan cara

menyendiri), tanpa melihat konteks pada saat ajaran tersebut dilaksanakan.21

2. Sumber Data

Kajian ini bersifat observasi dan kepustakaan untuk memenuhi data yang di

perlukan. Sumber data yang harus dikumpulkan berupa primer dan data sekunder:

Pertama, sumber primer merupakan sumber data utama dan kebutuhan mendasar

dari penelitian ini. Sumber data diperoleh dari hasil wawancara dengan informan

saat terjun langsung ke lapangan tempat penelitian. Sumber primer pada penelitan

ini yaitu: Syekh Doni, Syekh Mustafa (sebagai mursyid Tarekat Naqsyabandiyah

Al-Haqqani), beberapa pengikut Tarekat Naqsyabandiyah Al-Haqqani dan

kepustakan seperti karya Sheikh Nazim Al-Qubrusi yang berjudul: Mercy

21
Amin Syukur, Tasawuf Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hal. 11.
15

Oceans’ Rising Sun, Mercy Oceans Emeralds Of Eden, 99 Drops from Endless

Mercy Ocens, Love.

Kedua, sumber sekunder adalah data penunjang sumber untuk melengkapi

sumber data primer. Sumber data sekunder diproleh dari hal-hal yang berkaitan

dengan penelitian antara lain buku, jurnal, artikel, koran, internet dan berbagai

dokumentasi pribadi maupun resmi.

3. Teknik Pengumpulan Data

Penyusunan skripsi ini menggunakan beberapa teknik pengumpulan data

untuk memperoleh data yang valid dan akurat. Penelitian ini menggunakan

observasi, wawancara dan dokumentasi sebagai teknik pengumpulan data.

a. Observasi

Observasi adalah proses pengamatan terhadap suatu objek kajian. Dalam

melakukan observasi seorang peneliti harus bersikap objektif tanpa mengada-ada

ataupun mengurangi dan menambah suatu pengamatan lapangan. Keterampilan

mengobservasi sangat tergantung pada kemampuan merumuskan pertanyaan yang

dibimbing oleh masalah dan tujuan penelitian. Laporan lapangan adalah dalam

bentuk deskripsi yang didasarkan atas jawaban pertanyaan yang lahir dari pikiran
22
penelitian dalam menghadapi dunia kenyataan. Jenis observasi yang digunakan

adalah observasi partisipatif, yaitu penelitian yang terlibat dengan kegiatan-

kegiatan yang sedang diamati dan digunakan sebagai sumber data penelitian.

22
Kaelan, Metode Penelitian Agama Kualitatif Indisipliner, (Yogyakarta: Paradigma,
2010), hal. 95.
16

Teknik ini digunakan penulis untuk mengadakan pengamatan secara langsung

terhadap lokasi, kondisi dan situasi pelaksanaan kegiatan tarekat Naqsyabandiyah

Al-Haqqani.

b. Wawancara

Wawancara adalah metode pengumpulan data dengan cara tanya jawab dan

bertatap muka langsung dengan responden dan yang dilakukan secara sistematis

dan berlandaskan pada tujuan penelitian. Penelitan ini menggunakan teknik

wawancara terstruktur, yaitu penulis terlebih dahulu mempersiapkan pedoman

pertanyaan secara tertulis sebelum wawancara dilakukan.23 Terdapat beberapa

pihak yang terlibat langsung dalam Tarekat Naqsabandiyah Al-Haqqani di

antranya: Syekh Doni, Syekh Mustafa, dan para pengikut Tarekat

Naqsyabandiyah Al-Haqqani.

c. Dokumentasi

Dokumentasi adalah penggalian data dengan mengumpulkan naskah atau

dokumen. Dokumentasi bertujuan untuk mendapatkan data dalam menunjang

analisis data primer. Teknik pengumpulan data dengan dokumentasi secara jelas

memerlukan dokumen atau naskah-naskah. Dokumen merupakan catatan

peristiwa yang telah lalu bisa berupa tulisan, gambar atau karya menumental

seseorang. Di dalam dokumen biasanya terdapat pengetahuan yang relevan dan

penting bagi tercapainya tujuan penelitian.24 Penelitian ini menfokuskan dokumen

23
Ibid., hal. 104-105.
24
Ibid., hal. 113.
17

yang sifatnya tertulis, baik berupa karya atau catatan-catatan yang berhubungan

dengan tarekat Naqsyabandiyah Al-Haqqani.

4. Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis induktif

yakni dimulai dari pengetahuan yang bersifat khusus untuk menilai kejadian

umum. Analisis data ini digunakan untuk menganalisis data yang diperoleh dari

hasil observasi, wawancara dan dokumentasi. Analisis data yang digunakan

adalah analisis induktif. Analisis induktif yakni analisis data dari observasi di

lapangan yang bertujuan untuk memperoleh gambaran yang mendalam dengan

mengambil hal-hal yang khusus kemudian diambil kesimpulan secara umum.

Analisis data ini digunakan untuk menganalisis data yang diperoleh dari hasil

observasi partisipatif, wawancara, dan dokumentasi. Data dikumpulkan,

diklasifikasikan, direduksi, diinterprestasikan untuk nantinya disimpulkan.

Sedangkan untuk menganalisis data yang diperoleh mengunakan analisis

deskriptif yakni dengan berusaha mendekripsikan dan menjelaskan suatu hal

dengan apa adanya (yang terjadi ditempat penelitian). Metode deskriptif ini

digunakan untuk mendeskripsikan latar belakang tarekat Naqsyabandiyah Al-

Haqqani bergerak dalam bidang filantropi.

G. Sistematika Penulisan
18

Penulisan skripsi harus berkaitan satu sama lain, maka penulis memberikan

gambaran pembahasan yang sistematis dan terfokus. Penulis akan mengajikan

sistematika pembahasan sebagai gambaran umum peneliti skripsi. Penulisan

skripsi ini terbagi menjadi lima bab pembahasan. Adapun sistematisasi lima bab

tersebut adalah sebagai;

Bab I adalah berisi tentang pendahuluan dalam skripsi yang

mendeskripsikan secara utuh tentang penelitian dalam skripsi ini. Maka di dalam

bab pertama terdiri: latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metode penelitian, dan yang terakhir

sistematika penulisan.

Bab II berisi tentang: tarekat dan filantropi, unsur-unsur di dalamnya

meliputi aspek-aspek filantropi dan kemudian praktek filantropi dalam tarekat.

Bab III berisi tentang: munculnya dan berkembangnya Tarekat

Naqsyabandiyah Al-Haqqani, Silsilah Keemesan, Struktrur organisasi

Naqsyabandi Al-Haqqani dan ajaran-jaran Tarekat Naqsyabandiyah Al-Haqqani.

Bab IV membahas analisis yang melatar belakangi Tarekat Naqsyabandiyah

Al-Haqqani bergerak dalam bidang Sosial. Bentuk-bentuk aktivitas sosial

(filantropi) dalam Tarekat Naqsabandiyah Al-Haqqani

Bab V atau bab terakhir dalam penelitian ini adalah berisi kesimpulan-

kesimpulan yang didapatkan penelitian. Kemudian juga berisi saran-saran untuk

peneliti selanjutnya, sertakan lampiran-lampiran yang penting sebagai syarat

keabsahan dan kelengkapan skripsi.


BAB II

TAREKAT DAN FILANTROPI

A. Pengertian Tarekat

Tarekat berasal dari bahasa Arab ṭarīq, jamaknya ṭurūq merupakan isim

musytarāk, yang secara etimologi berarti jalan, tempat lalu atau metode. Dalam

wacana tasawuf, istilah tarekat ini sampai abad ke-11 M/5 H dipakai dengan

pengertian jalan lurus yang dipakai oleh setiap calon sufi untuk mencapai

tujuannya, yaitu berada sedekat mungkin dengan Allah, dengan kata lain berada di

hadirat-Nya tanpa dibatasi oleh dinding hijab.25 Ikhtiar untuk menempuh jalan itu

disebut sulūk dan orang yang ber-sulūk disebut sālik. Dapat dikatakan bahwa kata

tarekat itu berarti kebiasaan atau tradisi, sejarah kehidupan sirāṭ dan suatu

organisasi jamā’ah.26 Tarekat menurut Aboebakar Atjeh artinya adalah jalan,

petunjuk dalam melakukan suatu ibadah sesuai dengan ajaran yang ditentukan,

dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW, dikerjakan oleh sahabat dan tabiin,

25
Masa awal permulaan Islam, terdapat dua macam tarekat, yaitu: pertama, Tarekat
Nabawiyah, yaitu amalan yang berlaku di masa Rasulullah SAW, yang dilaksanakan secara murni,
dapat disebut dengan “Tarekat Muhammadiyah‟ atau “Syariat‟. Kedua, Tarekat Salafiah, yaitu
cara beramal dan beribadah pada masa sahabat dan tabiin, dengan maksud memelihara dan
membina Syariat Rasulullah SAW, dapat disebut “Tarekat Salafus Saleh”. Sesudah abad ke-2 H,
muncul Tarekat Sufiyah, yang diamalkan orang-orang sufi pada abad itu, Pada abad ke-12 M,
muncul gerakan tarekat dalam bentuk organisasi. Lihat A. Fuad Said, Hakekat Tarikat
Naqsyabandiah (Jakarta: Al-Husna Zikra, 1996), hal. 9-10.
Tarekat dapat diartikan sebagai salah satu tahap dalam proses penyucian jiwa. Terdapat
empat tahap yang dilakukan para sufi dalam penyucian jiwa, yaitu pertama, syariat, mengetahui
dan mengamalkan ketentuan-ketentuan syariat, sepanjang yang menyangkut dengan lahiriah.
Kedua, tarekat, mengerjakan amalan hati, dengan akidah yang teguh, sepanjang yang menyangkut
dengan batiniah. Ketiga, hakekat, cahaya musyahadah yang bersinar cemerlang dalam hati dan
dengan cahaya itu dapat mengetahui hakekat Allah dan rahasia alam semesta. Keempat, makrifat,
tingkat tertinggi, di mana orang telah mencapai kesucian hidup dalam alam rohani, memiliki
pandangan tembus (kasyaf) dan mengetahui hakekat dan rahasia kebesaran Allah. Syariat
merupakan sarana untuk mencapai tarekat, dan seterusnya hingga makrifat. Lihat ibid. dan
Murtadha Muthahhari dan S.M.H Thabathabai, Menapak Jalan Spiritual, terj. M.S. Nasrullah
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), hal. 27
26
Sholihin dan M. Rosyid Anwar, Akhlak Tasawuf: Manusia, Etika, dan Makna Hidup,
(Bandung: Penerbit Nuansa, 2005), hal. 234.

19
20

turun temurun sampai guru-guru, sambung menyambung (sanad). Guru yang

memberikan petunjuk dan pimpinan ini dinamakan mursyid yang mengajar dan

memimpin muridnya sesudah mendapat ijazah dari gurunya pula sebagaimana

tersebut dalam silsilahnya.27 Tarekat termasuk dalam langkah-langkah harus

dilalui untuk menuju makrifat, yaitu syariat yang merupakan peraturan, tarekat

yang merupakan pelaksanaan, hakekat yang merupakan keadaan dan makrifat

adalah tujuan akhir.28 Tarekat menurut istilah ulama tasawuf berarti pertama, jalan

kepada Allah dengan mengamalkan ilmu tauhid, fikih, dan tasawuf. Kedua, cara

mengerjakan sesuatu amalan untuk mencapai sesuatu tujuan.29

Abad ke-1 dan ke-2 Hijriyah bentuk tasawuf masih berupa gerakan

gerakan zuhud. Faktor utama yang menyebabkan kemunculan zuhud adalah

ajaran-ajaran Islam itu sendiri, serta revolusi umat Islam terhadap tatanan sosial

dan politik pada masa dinasti Umayyah dan Abbasyiah.30 Terdapat perbedaan

pendapat mengenai kemunculan zuhud dalam Islam. Pendapat Orientalis

menyatakan bahwa zuhud ini juga dipengaruhi oleh Kristen dan agama lain. Ignaz

Goldzier (orientalis) beranggapan bahwa zuhud ini dilatarbelakangi (lebih dekat)

oleh nilai-nilai Islam itu sendiri, namun juga dipengaruhi oleh kerahiban Kristen. 31

Penulis meyakini bahwa latar belakang kemunculan zuhud adalah dari Islam itu

27
Wasisto Raharjo Jati, “Sufisme Urban Perkotaan: Konstruksi Keimanan Baru Kelas
Menengah Muslim”, Jurnal Kajian & Pengembangan Manajemen Dakwah, Vol. 05, No 02,
Desember 2015, hal. 183.
28
Muhammad Sholikhin, Tasawuf Aktual: Menuju Ihsan Kamil, (Semarang: Pustaka
NUUN, 2004), hal. 19.
29
Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf: Untuk Mata Kuliah Ilmu Tasawuf Di Seluruh
Jurusan PTAIN dan PTAIS, (Bandung: Pustaka Setia, 2002), hal. 13-14.
30
Julia Day Howell, “Seeking Sufism In The Global City Indonesia’s Cosmopolitan
Muslims And Depth Spirituality” Paper di ajukan untuk City University Of Hong Kong, 2002, hal.
5-6.
31
Abu Wafa‟Al-Ghanimi Al-Taftazani, Tasawuf Islam; Telaah Historis dan
Perkembangannya, terj. Subkhan Anshori, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008), hal. 69-70.
21

sendiri karena sejak masa Rasulullah SAW telah banyak diajarkan untuk hidup

seadanya.

Pada kurun abad ke-3 dan ke-4 Hijriyah karakteristik (corak) umum

tasawuf Islam tentang kejiwaan dan akhlak. Mereka telah membicarakan tentang

akhlak, sikap perbuatan dan fase-fasenya (tingkatan-tingkatan) pengetahuan

intuitif, hubungan dengan Allah dan hakekat mutlak (bersatu ruh pada Nur Allah).

Tasawuf yang memiliki lima ciri ini merupakan tasawuf yang sempurna. Masa ini

secara umum telah menjadi bukti kematangan tasawuf Islam. Sufi-sufi pada waktu

ini merupakan representasi dan masa keemasan tasawuf. Mereka merupakan

acuan-acuan bagi orang-orang sesudahnya.32

Pada abad ke-5 Hijriyah karakteristik tasawuf bercorak Sunni 33 (teologis

Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah) yang para penganutnya berpegang teguh kepada

Al-Qur’an dan Sunnah. Pada abad sebelumnya corak tasawuf ini masih redup dan

sedikit. Corak Sunni bangkit setelah banyak muncul penganut tasawuf falsafi34

yang extreme. Tasawuf pada waktu ini merupakan sebuah pembaharuan atas

banyaknya penganut tasawuf falsafi yang extremis untuk kembali kepada Al-

Qur’an dan Sunnah. Tokoh tasawuf Sunni pada waktu ini di antaranya Qusyain

dan Harawi.35

32
Ibid., hal. 165-166.
33
Teologi yang dipimpin oleh Abu Hassan al-Asy‟ari.
34
Tasawuf Falsafi merupakan tasawuf yang tidak jauh berbeda dengan tasawuf Sunni.
Tasawuf ini memadukan antara intuisi para sufi dengan cara pandang rasional mereka,
menggunakan termaterma filsafat dari berbagai macam sumber untuk mengungkapkan tasawufnya
tersebut. Tasawuf ini dianut oleh Abu Yazid Bustami, al-Hallaj dan lain sebagainya. Abu
Wafa‟Al-Ghanimi AlTaftazani, Tasawuf Islam; Telaah Historis dan Perkembangannya, Subkhan
Anshori “terj”, hal. 233.
35
Sokhi Huda, “Karater Historis fSufisme Masa Klasik, Modern, dan Kontemporer”,
Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam, Vol. 7, No. 1, Juni 2017, hal. 65. Dan lihat juda
dalam buku, Mahjuddin, Akhlak Tasawuf I: Mukjizat Nabi Karomah Wali dan Ma’rifah Sufi,
(Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hal. 103-104.
22

Pusat penting yang berpengaruh dalam perkembangan tarekat di Indonesia

adalah Gujarat (India). Dalam berbagai pendapat dikatakan bahwa Hamzah

Fansuri, Syamsuddin Sumatrani, Nurudin Raniri belajar disana dan mendapat

ijasah menjadi khalifah. Kemudia banyak tokoh-tokoh sufi Indonesia di antaranya

Abdur Rauf Singkel, Yusuf Makasari, al-Palimbani, Ahmad Khatib Sambas, dan

lain sebagainya. Para ulama ini mendapatkan ilmunya dari para guru besar

Qusyaisyi atau Ibrahim Qurani dan bahkan mungkin dari keduanya.36

Menurut Aboebakar Atjeh, tarekat merupakan jalan atau petunjuk dalam

melakukan suatu ibadah sesuai dengan ajaran yang ditentukan, sanadnya

menyambung dari guru-guru samapai kepada Nabi Saw. Tarekat juga merupakan
37
salah satu langkah yang harus dilalui seorang sufi untuk menuju makrifat.

Sementara itu dalam perkembangannya tarekat memiliki dua makna. Pertama,

tarekat sebagai cara pendidikan akhlak atau moral dan jiwa bagi mereka yang

berminat menempuh hidup sufi. Kedua, tarekat berarti suatu gerakan yang

lengkap untuk memberikan latihan-latihan rohani dan jasmani dalam segolongan

orang Islam menurut ajaran dan keyakinan tertentu.38 Sehingga dalam

perjalanannya, tarekat bukan hanya sebagai lembaga spiritual di mana di

dalamnya anggota sebuah tarekat melakukan latihan-latihan secara kolektif, tetapi

36
Mohammad Nizam, Mengenal Tarekat Naqsyabandiyah Mujaddadiyah Khalidiyah,
(Sidoarjo: Risalah Ahlus-Shofa wal Wafa‟,t.t.) hal. 16 lihat juga dalam buku, Fatah Syukur,
Sejarah Peradaban Islam, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2009), hal. 271-272
37
Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat: Uraian Tentang Mistik (Solo: Ramadhani,
1993), hal. 67.
38
Kasmuri Selamat dan Ihsan Sanusi, Akhlak Tasawuf Upaya Meraih Kehalusan Budi
Kedekatan Ilahi (Jakarta: Kalam Mulia, 2012), hal. 193-194.
23

juga menjadi jaringan sosial, bahkan organisasi sosial yang memiliki fungsi

sosiologi.39

Begitu pula dengan Syekh Muhammad Amin al-Kurdi yang dikutip oleh

Mustofa. Dalam pandangannya, tarekat adalah beramal dengan syariat dengan

mengambil atau memilih yang azimah (berat) dari pada yang ruhṣoh (ringan),

menjauhkan diri dari mengambil pendapat yang mudah pada amal ibadah yang

tidak sebaiknya dipermudah, menjauhkan diri dari semua larangan syariat lahir

dan batin, melaksanakan semua perintah Allah Swt semampunya, meninggalkan

semua larangan-Nya baik yang haram, makruh atau mubah dan sia-sia,

melaksanakan semua ibadah fardhu dan sunnah, yang semuanya ini di bawah

arahan, naungan, dan bimbingan seorang guru atau mursyid.40

B. Pengertian Filantropi

Kata “filantropi” (Inggris: philanthropy) merupakan istilah yang tidak

dikenal pada masa awal Islam, meskipun belakangan ini sejumlah istilah Arab

digunakan sebagai padanannya. Filantropi kadang-kadang sebut al-‘ata’ al-

ijtima’i (pemberian sosial), dan adakalanya dinamakan al-takaful al-insani

(solidaritas kemanusiaan) atau ‘ata’ khayri (pemberian untuk kebaikan). Namun

istilah seperti al-birr (perbuatan baik) atau sadaqah (sedekah) juga digunakan.

Dua yang terakhir ini tentu sudah dikenal dalam Islam awal, tetapi istilah

filantropi Islam tampaknya merupakan pengadopsian pada zaman modern. 41

39
Muhsin Jamil, Tarekat dan Dinamika Sosial Politik: Tafsir Sosial Sufi Nusantara,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal. 48.
40
Mustofa, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustak Stia, 2010), hal. 280-282.
41
Hilman Latief, “Filantropi dan Pendidikan Islam di Indonesia”, Journal Pendidikan
Islam, Vol. XXVIII No. 1 2013/1434, hal. 124.
24

Filantropi berasal dari kata Yunani philantluropia (“philo” [cinta] dan

“anthrophos” [manusia]), filantropi secara umum berarti cinta terhadap manusia

atau sesama manusia. Mengingat luasnya makna cinta yang terkandung dalam

istilah tersebut, filantropi sangat dekat maknanya dengan “charity” (Latin: caritas)

yang juga berarti “cinta tak bersyarat” (unconditioned love). Meskipun demikian,

antara keduanya dapat dibedakan, di mana yang kedua cenderung mengacu pada

pemberian jangka pendek, sementara yang pertama biasanya diterapkan pada

upaya untuk menyelidiki sebab utama suatu persoalan.42

Konsekuensi dari makna yang telah disebutkan, definisi yang diberikan

tentang filantropi sangat beragam dari satu penulis ke penulis lainya. Satu definisi

menyebutkan bahwa filantropi berarti “tindakan sukarela personal yang didorong

kecenderungan untuk menengakkan kemaslahatan umum” (a voluntary enterprise

of private persons, moved by an inclination to promote public good) atau

“perbuatan sukarela untuk kemaslahatan umum”.43 Definisi lain menyatakan

bahwa filantropi adalah sumbangan dalam bentuk uang, barang, jasa, waktu atau

tenaga untuk mendukung tujuan yang bermanfaat secara sosial, memiliki sasaran

jelas dan tanpa balasan material atau imeterial bagi pemberinya. Terlepas dari

perbedaan tersebut, ada tujuan umum yang mendasari setiap definisi filantropi,

yakni cinta, yang diwujudkan dalam bentuk solidaritas sesama manusia, di mana

orang yang lebih beruntung membantu mereka yang kurang beruntung.44


42
Qi Mangku Bahjatulloh, “Pengembangan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Melalui
Kegiatan Filantropi (Studi Kasus Lembaga Tazakka DIII Perbankan Syariah IAIN Salatiga)”,
INFERENSI, Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, Vol. 10, No.2, Desember 2016, hal. 476.
43
Besse Wediawati, “Revitalisasi Filantropi Islam di Kota Jambi: Studi Pada Lembaga
Zakat dan Masyarakat Muslim Pemberi Derma di Kota Jambi”, Jurnal Penelitian Universitas
Jambi Seri Humaniora, Vol. 14, No.1, 2012, hal. 47.
44
Choirul Mahfud, “Filantropi Islam di Komunitas Muslim Tionghoa Surabaya: Ikhtiar
Manajemen Zakat untuk Kesejahteraan dan Harmoni Sosial”, INFERENSI, Jurnal Penelitian
25

Menurut Dawam Rahardjo, praktik filantropi sesungguhnya telah ada

sebelum Islam mengingat wacana keadilan sosial juga telah berkembang.45

Sementara itu, Warren Waever, direktur Rockefeller Foundation (Amerika

Serikat), menegaskan bahwa filantropi sebenarnya bukanlah tradisi yang baru

dikenal pada masa modern, sebab kepedulian seseorang terhadap sesama manusia

juga ditemukan pada masa kuno. Plato misalnya, konon telah memberikan tanah

produktif miliknya sebagai wakaf bagi akademi yang didirikannya. Dalam

Kristen, tradisi filantropi juga sangat ditekankan kepada para pengikut awal

agama ini. Di kalangan penganut Zoroastrianisme, filantropi pun menjadi salah

satu komitmen penting mereka dalam kehidupan. Praktik ini juga terbukti tidak

hanya ditemukan dalam tradisi-tradisi keagamaan di Timur Tengah (Semitic),

tetapi juga di wilayah lain, seperti Hindu dan Budha di India, agama asli Amerika

dan Afrika, agama-agama di Cina dan Jepang, dan lain sebagainya.46

Adapun tujuan filantropi pada masa sebelum Islam pada Masa Rowawi

pra-Kristen, filantropi bertujuan untuk mempertegas status sosial sang penderma,

di samping sebagai bentuk komitmennya terhadap tugas kemanusiaan. Sementara

itu, dalam Kristen, tujuan filantropi memiliki dimensi yang sangat religious, yaitu

agar sang perderma “mendapatkan keselamatan di masa datang, ampunan dari

dosa-dosa dan kehidupan kekal di akhirat”.47 Semangat serupa di balik filantropi

Sosial Keagamaan, Vol. 12, No.1, Juni 2018, hal. 150.


45
M. Dawam Rahardjo, Berderma untu Semua: Wacana dan Praktik Filantropi, Jakarta:
Teraju, 2003, hal. xxxiv
46
US History Encyelopedia http://www.answers.com/topic/philanthropy (diakses
20/05/2019)
47
Robet D. McChesney, “Charity and Philantropy in Islam”, dalam
http://www.learningtogive.org/faithgroups/phil_in_america/philanthropy_islam.asp (diakses pada
20/05/2019)
26

juga ditemukan di kalangan para penganut Zoroastrianisme yang menyakini

bahwa jiwa sang penderma akan selamat di akhirat kelak.

Dalam praktik, ada dua kecenderungan bentuk lembaga filantropi dalam

Kristen: wakaf yang dilakukan oleh kerajaan dengan tujuan-tujuan ke agamaan

dan wakaf yang diberikan oleh para individu yang kaya. Jika dalam institusi yang

pertama gereja berperan sebagai pengelolanya sehingga menjadi satu-satunya

lembaga yang sangat kaya di Timur, dalam institusi yang kedua umumnya

dikelola oleh orang sipil demi tujuan-tujuan umum yang bersifat secular, seperti

menyantuni orang miskin dan lain sebagainya. Lebih jauh karena mendapat

dukungan politik dari penguasa, bentuk lembaga yang pertama bertahan jauh lebih

langgeng ketimbang yang kedua.

Para penganut Zoroasterinisme, filantropi digunakan terutama untuk

ibadah, seperti membangun rumah ibadah, altar api pelaksanaan ritual keagamaan

dan bekal bagi para pendeta. Doktrin yang mendasari penggunaan tersebut adalah

“charity begins at home” (kedernawanan dimulai dari rumah). Yang di maksud

dengan rumah di sini tak lain adalah keluarga. Lebih dari itu, dalam doktrin

etikanya bahkan disebutkan prosedur bagi pendirian lembaga-lembaga filantropi,

di samping tenaga administrasi yang mengawasinya. 48

Dewasa ini, filantropi memiliki sejumlah tujuan yang tidak semata-mata

bersifat keagamaan, tetapi juga bersifat sosial dan politis. Misalnya, ada lembaga

filantropi yang memiliki sasarana hanya pada layanan sosial (social services),

dengan keyakinan bahwa memberikan layanan, beban kemiskinan masyarakat


48
Zaenal Abidin, “Manifestasi dan Latensi Lembaga Filantropi Islam dalam Praktik
Pemberdayaan Masyarakat: Suatu studi di Rumah Zakat Kota Malang”, SALAM: Journal Studi
Masyarakat Islam, Volume 15 Nomor 2 Desember 2012, hal. 200-201.
27

dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan. Sementara itu, ada juga lembaga

filantropi yang bergerak dalam perubahan sosial (social change), dengan

menjadikan keadilan sosial (social justice) sebagai tujuan utamanya. Dengan kata

lain, kedua model filantropi ini menghendaki kehidupan sosial yang lebih baik

dengan melicinkan jalan bagi perwujudannya melalui sejumlah pemberdayaan

ekonomi, politik, hukum, dan sebagainya.49

Islam tampil ke dunia tidak dalam ruang sejarah hampa, tetapi berhadapan

dengan tradisi-tradisi sebelumnya, tak terkecuali tradisi filantropi dari agama-

agama sebelumnya atau dari wilayah lainnya. Ini menimbulkan spekulasi yang

beragam di kalangan sarjana peneliti filantropi Islam.

Islam sebagai agama yang kāmil dan syāmil serta rahmatan li ‘al-ālamīn 50

menampilkan dirinya sebagai agama yang berwajah filantropis.51 Wujud filantropi

ini digali dari doktrin keagamaan yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits yang

dimodifikasi dengan perantara mekanisme ijtihad sehingga institusi zakat, infaq,

sedekah dan wakaf muncul, tujuannya adalah agar harta tersebut tidak hanya

berputar pada orang-orang yang memiliki kekayaan saja, namun juga semua

lapisan merasakan putaran uang tersebut. Perluasan dan percepatan perputaran

uang merupakan representasi dari kegiatan ekonomi dan sosial lainnya, oleh

49
Amelia Fauzia, “Faith and The State: A History Of Islamic Philanthopy In Indonesia”,
Tesisi diajukan untuk The Asia Institute The University Of Melbourne, 2008, hal. 1-2.
50
Siswoyo Aris Munandar, “Islam Rahmatan li ‘alamin Dalam Perspektif Nahdlatul
Ulama”, El-Tarbawi: Jurnal Pendidikan Islam, Vol. XI, No. 1, 2018, hal. 88.
51
Aan Nasrullah, “Pengelolaan Dana Filantropi Untuk Pemberdayaan Pendidikan Anak
Dhuafa
(Studi Kasus pada BMH Cabang Malang Jawa Timur), Hunafa: Jurnal Studia Islamika,
Vol. 12, No. 1, Juni 2015, hal. 7.
28

karena itu dalam Islam dikenal dua cara dalam pendistribusian harta yakni yang

hukumnya wajib dan sunah.52

Semangat filantropi juga diwujudkan oleh masyarakat Islam awal dalam

berbagai bentuk, seperti shadaqah (sedekah), zakat, wakaf, khums, infak, hadiah,

dan sebagainya.53 Dalam perkembangan sejarah Islam, lembaga filantropi ini

semakin menunjukkan signifikansinya, di antaranya karena perannya dalam

pembentukan jaringan ulama, yang memiliki misi dakwah dan penyebaran ilmu.

Lebih jauh, munculnya berbagai lembaga pendidikan Islam, baik yang disebut

madrasah, ribat maupun zāwiya tidak dapat dipisahkan dari peran filantropi

Islam.54 Di bidang pendidikan, bukan hanya orang-orang kaya, para pengusaha,

dari ‘Abbasiyyah hingga Turki Utsmani, pun menunjukkan semangat filantropi

yang sangat besar melalui pendirian sejumlah lembaga. Tidak heran, jika lembaga

lembaga pendidikan seperti Madrasah Nizammiyyah di Bagdad, Al-Azhar di

Kairo dan lain sebagainya, berdiri berakat filantropi dari para penguasa ini.55

Di Indonesia, terdapat berbagai kegiatan kedermawanan yang dapat

dikategorisasikan berasal dari atau dipengaruhi oleh ajaran Islam. Tiga praktik

besar kedermawanan atau filantropi yang lazim dilakukan masyarakat Muslim dan

menjadi penekanan aspek aspek filantropi yaitu:

52
Aan Nasrullah, “Pegelolaan Dana Filantropi Untuk Pemberdayaan Pendidikan Anak
Dhuafa (Studi Kasus pada BMH Cabang Malang Jawa Timur)”, Hunafa: Jurnal Studia Islamika,
Vol. 12, No. 1, Juni 2015, hal. 4.
53
Tuti Alawiyah, “Religious non-governmental organizations and philanthropy in
Indonesia”, IJIMS, Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies, Volume 3, Number 2,
December 2013, hal. 209.
54
Rizka Amalia Shofa dan Imam Machali, “Filantropi Islam Untuk Pendidikan: Strategi
Pendanaan Dompet Dhuafa Dalam Progam Sekolah Guru Indonesia (SGI)”, MADANIA Vol. 21,
No. 1, Juni 2017, hal. 13.
55
Sauqi Futaqi, “Pembiayaan Pendidikan Berbasis Filantropi Islam: Strategi Rumah Pintar
BAZNAS Piyungan Yogyakarta”, Manageria: Jurnal Manajemen Pendidikan Islam Vol. 3, No. 2,
November 2018/1440, hal. 232.
29

1. Sedekah

Kata sadaqah (Arab) merupakan bentuk masdar dari kata kerja sadaqa,

yang berarti apa saja yang diberikan dengan tulus untuk mendekatkan diri kepada

Allah, bukan demi kehormatan. Karena itu, suatu pemberian disebut sedekah

karena ia lahir dari ketulusan dan kejujuran hati sang pemberi. Kata ini memiliki

kemiripan dengan kata Yahudi sedaka yang juga bermakna kejujuran (honesty).

Atas dasar itu, orientalis semacam Arthur Jeffery menduga bahwa kata sadaqah

dalam Islam tidak lain hanyalah transliterasi dari kata Yahudi tersebut. Terlepas

dari asumsi ini, tampaknya praktik sedekah tidaklah monopoli milik Muslim,

tetapi juga telah menjadi tradisi dalam agama-agama lain sebelum Islam, terutama

Yahudi dan Kristen. 56

Istilah sadaqah (Arab; Indonesia: sedekah) banyak ditemukan dalam

sumber-sumber Islam, terutama al-Qur’an dan Hadis, dengan beragam makna. Ia

bisa berarti zakat, yang merupakan kewajiban bagi setiap Muslim, tetapi juga

dapat bermakna derma yang bersifat sukarela, yang kadang-kadang disejajarkan

dengan infak. Dengan demikian, sedekah dapat dipandang sebagai istilah umum

yang menaungi sejumlah praktik filantropi dalam Islam. Dengan kata lain,

pembedaan antara sedekah dalam pengertian zakat dan sedekah dalam arti

sedekah tampaknya dilakukan secara tegas setelah wafatnya Nabi. Untuk memilah

makna yang demikian luas itu, para ulama mengklasifikasi sedekah secara garis

besar ke dalam dua pengertian: sedekah sebagai sinonim zakat yang bersifat

56
Arthur Jeffery, The Foreign Vocabulary of the Quran (Leiden: Brill, 2007), hal. 153 dan
194.
30

wajib, dan sedekah yang bersifat sukarela dengan istilah sadaqat al-tatawwu’ atau

sadaqat al-nafl (sedekah sukarela atau sunah).

Ibn al-‘Arabi mendefiniskan sedekah sebagai ibadah yang timbul dari

kehendak bebas berdasarkan kemampuan seseorang. Yang harus digarisbawahi di

sini adalah kehendak bebas dan kemampuan, yang tanpa keduanya berarti

seseorang telah mewajibkan sesuatu pada dirinya. Dengan demikian, sedekah

dilakukan tanpa paksaan dan bukan di luar batas kemampuan seseorang. Karena

itu, sedekah pada dasarnya adalah mendermakan harta di luar kewajiban zakat.57

Sedekah juga memiliki makna yang sangat dekat dengan infak, yang

memiliki arti yang sangat luas. Secara umum infak berarti mengeluarkan harta

untuk kebutuhan (sarf al-mal ila al-hajah). Ia meliputi nafkah wajib kepada

keluarga, kerabat dan sedekah yang bersifat sunnah (sadaqat al-tatawwu’).

Dengan demikian seperti memberi nafkah kepada keluarga, juga bisa sukarela

seperti sedekah pada umumnya.

Sedekah menduduki posisi penting dalam ajaran Islam, setidak-setidaknya

jika dilihat dari ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis yang memperbincangkannya, di

samping dari praktik kaum Muslim awal. Dalam al-Qur’an misalnya, disebutkan

bahwa sedekah merupakan sebuah kebaikan yang pahalanya bernilai berlipat-lipat

ganda, dari dua kali hingga 700 kali lipat, dan kadang-kadang tersebut sebagai

pinjaman yang baik (qard hasan) yang pembayarannya akan dilipatgandakan

oleh Allah Swt.

57
Widayawati, Filantropi Islam Kebijakan Negara Pasca-Orde Baru: Studi tentang
Undang-Undang Zakat dan Undang-Undang Wakaf, (Bandung: Arsad Press, 2011), hal. 34.
31

Sementara itu, jumlah hadis menekankan pentingnya sedekah secara lebih

terperinci, baik dari segi situasi pemberi dan penerima tempat, tempat dan waktu

pemberian dan lain sebagainya. Misalnya, ketika ditanya kapan sebaiknya

bersedekah, Nabi menjawab: “Sedekah yang kamu berikan di saat sehat, dia saat

kamu enggan melakukannya dan di saat kamu takut akan miskin dan

mengharapkan kekayaan.” Juga ditegaskan bahwa nilai sedekah orang yang

memiliki kekayaan sedikit (juhd al-muqill) jauh lebih mulia ketimbang orang

yang kaya, meskipun yang diberikan oleh yang kedua lebih besar ketimbang yang

pertama. Dari segi waktu, sedekah yang paling baik dilakukan adalah pada Bulan

Ramadhan. Di atas segalanya, nabi mengemukakan bahwa setiap kebaikan adalah

sedekah, yang meliputi berbagai aspek kehidupan, seperti memberi nafkah kepada

keluarga, menyingkirkan sesuatu yang membahayakan di jalan, dan bahkan

senyum kepada sesama.58

Sebagaimana Nabi sendiri menjadi model dalam memberikan sedekah. Ia

dikenal sangat dermawan dalam memberikan sedekah, tetapi tidak mau

menerimanya kecuali dalam bentuk hadiah. Diriwayatkan oleh Anas ibn Malik

bahwa Abu Talhah, salah seorang Ansar terkaya di madinah, hendak

menyedekahkan sumur, yang darinya Nabi biasa mengambil air untuk minum.

Namun, nabi menyarankan Talhah agar mempertahankan sumur tersebut sebagai

milik keluarganya. Sikap dermawan ini diikuti oleh para isterinya, seperti Zaynab

bint Jahs, yang dikenal sebagai orang yang suka memberi sedekah. Sementara itu,

Zaynab bint Khuzaymat al-Hilaliyyah disebut sebagai umm al-masakin, yakni ibu

Syaiful Alim, Sembuh dengan Sedekah: Sedekah Basmi Ragam Penyakit, (Yogyakarta:
58

DIVA Press, 2013), hal.191.


32

bagi orang-orang miskin. Aisyah sendiri diriwayatkan selalu menembalikan

hadiah yang diberikan oleh mereka yang pernah dibantunya, yang mengisyaratkan

keikhlasannya dalam bersedekah.59

Demikian itu karena sedekah memiliki fungsi yang sangat penting bagi

pemberi dan penerima. Di Antara fungsi tersebut adalah untuk menangkal dosa di

dunia ini dan hukuman di akhirat. Di sinilah letak arti penting Hadis Nabi yang

menganjurkan agar setiap Muslim memberikan sedekah setiap hari sejak matahari

terbit. Dengan memberikan sedekah setiap hari, Muslim berharap dapat terhindar

dari dosa sepanjang hidupnya.

Pada saat yang sama, sedekah dalam pandangan sufi juga dapat

menghapus dosa, sehingga setiap Muslim dianjurkan segera bersedekah setelah ia

melakukan dosa untuk menyertai taubatnya. Bahkan sedekah diyakini dapat

menjadi sarana untuk menyembuhkan penyakit, Nabi menegaskan “Obatilah

penyakitmu dengan sedekah.” Di samping itu, sedekah diyakini dapat berfungsi

untuk mendatangkan rizki. Hal ini dapat dimengerti mengingat banyak ayat al-

Qur’an yang menegaskan bahwa Tuhan akan melipatgandakan harta yang telah

disedekahkan dan pahala yang diperoleh darinya. Fungsi sedekah yang tidak kalah

penting adalah untuk memperbaiki penyakit hati,60 moral, seperti bakhil dan kikir,

sombong, cinta dunia dan lain sebagainya.

Agar fungsi-fungsi tersebut dapat diraih, sedekah dianjurkan untuk

dilakukan berdasarkan kriteria tertentu. Al-Ghazali, misalnya mengemukakan

bahwa sedekah tidak boleh dibarengi dengan menyakiti penerima, sebab hal itu
59
Syamsi Hasan, Hadis-Hadis Populer, (Surabaya: Amelia Camputindo, 2015) , hal. 435-
436.
60
Al-Imam Nawawi, Al-Adzkar, (Haromain, t.tp), hal. 171.
33

akan menghilangkan pahala perbuatan tersebut. Lebih jauh ia menegaskan bahwa

orang yang bersedekah. Ini untuk menghindari rasa sombong dan keangkuhan

diri, yang juga dapat menghapus pahalnya. Dalam memberikan sedekah, pemberi

hendaknya memilih yang terbaik di antara yang dimiliki dan dicintainya.61

Berbeda dengan zakat, yang penerimanya telah ditetapkan dalam al-

Qur’an dan Hadis, sasaran pemberian sedekah sangat luas, termasuk di dalamnya

keluarga dan tetangga yang memerlukan. Selain itu, masjid atau lembaga lain,

seperti lembaga pendidikan, juga boleh diberi sedekah yang dapat diwakili oleh

pengurus atau bahkan pemberi sedekah itu sendiri. Ternyata, sedekah tidak

terbatas bagi Muslim, ia dapat diberikan kepada non-Muslim, seperti orang

Yahudi dan Nasrani (ahl al-kitab), dan bahkan kepada mereka yang

dikategorisasikan sebagai musush Islam (harbi).

Uraian yang telah disebutkan menunjukan bahwa sedekah merupakan

bentuk kedermawanan Islam yang sangat luas. Ia memiliki dimensi sosial dan

keagamaan, yang tidak hanya terbatas bagi umat Islam, tetapi juga bagi umat

manusia secara umum. Karena itu, ia menjadi salah satu aspek filantropi Islam

yang pontensial bagi kesejahteraan secara umum.

2. Zakat

Berbeda dengan sedekah yang bersifat sukarela, zakat dikenal sebagai rukun

Islam (arkan al-Islam), setelah syahadat dan shalat. Bahkan perintah zakat sendiri

sering dikaikan dengan perintah shalat dalam satu nafas. Akan tetapi, seperti

sedekah, zakat dipandang oleh sebagian sarjana sebagai transliterasi dari istilah

61
Widayawati, Filantropi Islam Kebijakan Negara Pasca-Orde Baru: Studi tentang
Undang-Undang Zakat dan Undang-Undang Wakaf, hal. 25.
34

asing yang berasal dari agama-agama sebelum Islam, terutama Yahudi dan

Kristen. Joseph Schacht, misalnya, berpendapat bahwa kata zakat dipinjam dari

kata Ibrani zakut, sementara Richard Bell menduga bahwa zakat berasal dari

bahasa Suryani yang digunakan oleh orang-orang Kristen, dan karenanya

bersumber dari agama ini.62

Pandangan berbeda dikemukakan sarjana Muslim, yang melihat zakat

sebagai istilah asli Islam dan tidak terkait dengan sumber-sumber Yahudi dan

Nasrani. Yusuf al-Qaradawi, misalnya, membantah klaim Schacht di atas dengan

mengatakan bahwa Nabi baru berhubungan dengan orang Yahudi dan Nasrani di

Madinah, dan karenanya tidak mengenal bahasa Yahudi atau Suryani sebelumnya.

Padahal ayat-ayat Makkiyyah telah berkali-kali menyinggung persoalan zakat.

Lebih jauh, tegasnya, adanya persamaan istilah dan makna dalam dua bahasa tidak

harus berarti bahwa yang satu diambil dari yang lain, kecuali memang ada bukti

historis dan ilmiah yang mendukung. Karena itu, pandangan Schacht mengenai

asal muasal istilah zakat tidak berdasar dan tidak memenuhi kriteria ilmiah.63

Zakat sendiri memiliki makna yang dinamis, dari sekadar “pertumbuhan dan

peningkatan” hingga “penyucian”. Zakat berasal dari dua kata yaitu: zaka’ dan

zakah. Jika yang pertama digunakan, ia menunjuk pada pertumbuhan dan

peningkatan, namun jika yang kedua yang digunakan, ia berarti penyucian. Dari

kedua pengertian inilah kemudian makna zakat dikembangkan menjadi

pertumbuhan dan penyucian.64 Zakat juga dapat dipahami sebagai pembersiahan

62
Ibid.,
63
Ibid.,
64
El-Madani, Fiqh Zakat Lengkap, (Yogyakarta: Diva Press, 2013), hal.13.
35

kekayaan dan jiwa seseorang. Zakat diyakini dapat membawa “pertumbuhan”

dalam kekayaan seseorang.

Menurut hukum Islam, zakat adalah kewajiban agama bagi seorang Muslim

yang mampu, dengan memberikan persentase tetap dari kekayaan mereka kepada

orang-orang miskin dalam periode tertentu.65 Ada dua macam zakat, yaitu zakat

harta (zakat mal) dan zakat fitrah. Istilah zakat, biasanya yang dimaksud adalah

zakat mal ini, dalam konteks umum dapat dipahami sebagai pajak yang di

wajibkan bagi orang kaya sesuai dengan hukum Islam. Zakat memiliki kententuan

khusus mengenai siapa yang harus membayar (muzakki), jenis kekayaan seperti

apa yang wajib dikenakan zakat, berapa yang harus dibayar dan kapan, serta siapa

yang boleh menerimanya (mustahki).66 Kewajiban Muslim membayar zakat, sudah

dinyatakan dengan jelas dalam hukum Islam serta ijmak para ahli hukum Islam,

dan didukung oleh penguasa Muslim, bahkan kadang-kadang dengan paksaan.

Namun, pemaksaan zakat oleh negara tidak selalu didukung oleh para ahli hukum

dan ulama, karena zakat dilihat sebagai kewajiban pribadi kepada Allah, bukan

kewajiban kepada seorang penguasa, apalagi penguasa yang tidak memiliki

legitimasi.67

Tentang kapan zakat mulai diwajibkan, terjadi perbedaan pendapat di

kalangan ulama. Sebagian beranggapan bahwa zakat fitrah mulai diwajibkan pada

tahun ke-2 Hijrah di Madinah, sementara zakat mal (harta) diwajibkan pada tahun

65
Hilman Latief, “Islamic philanthropy and the private sector in Indonesia”, IJIMS,
Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies, Volume 3, Number 2, December 2013, hal.
175-177.
66
Siti Mardiah, “Manajemen Strategi Baznas Dalam Pengelolaan Dana Filantropi Islam”, I-
Finance, Vol. 4. No.1. Juni 2018, hal. 67-68.
67
Irsyad Andriyanto, “Strategi Pengelolaan Zakat Dalam Pengentasan Kemisikinan”,
Walisongo, Vol. 19, No. 1, Mei 2011, hal. 28.
36

ke-9 Hijrah,68 bersamaan dengan turunnya QS al-Tawbah (9): 103 dan sebagainya,

sedangkan lainnya berpandangan bahwa zakat diwajibkan sejak sebelum hijrah,

mengingat ayat-ayat Makkiyyah, seperti QS al-Rum: 38-39 dan 1-3, Luqman: 4

dan sebagainya, telah memerintahkannya. Terhadap perbedaan ini, al-Qaradawi

menilai bahwa zakat yang diwajibkan di Mekah bersifat mutlak (zakah mutlaqah),

dalam arti belum ditentukan jumlah harta yang harus dizakati (nisab) dan takaran

zakatnya (miqdar), serta mereka yang berhak menerimanya. Dengan kata lain,

zakat di sini banyak bersandar pada keimanan seseorang dan, karenanya, lebih

bersifat moral ketimbang hukum. Ini berbeda dengan zakat yang diwajibkan di

Madinah, yang ketentuannya telah ditetapkan secara terperinci dan berbentuk

hukum. Dengan demikian, zakat yang diwajibkan di Madinah pada dasarnya

memperkuat kewajiban zakat di Mekkah dan memperjelas hukumnya. Kenyataan

ini didukung oleh sejumlah hadis yang memberikan rincian aturan tentang zakat.69

Berbeda dengan al-Qaradawi, Richard Bell melihat bahwa perintah zakat

dalam ayat-ayat Makkiyah sama sekali tidak dalam pengertian wajib, tetapi

bersifat sukarela. Ia menegaskan bahwa zakat dalam ayat-ayat ini “only in the

sense of alms and voluntary giving to the poor, as much for purification of the

giver’s soul as for relief of the needy.” Ini berarti kata zakat dalam ayat-ayat

Makkiyah tampaknya hanyalah sedekah yang dilakukan secara sukarela.

Konsekuensinya, zakat dapat dipastikan diwajibkan setelah Nabi hijrah ke

Madinah. Meskipun demikian, sebenarnya pandangan Bell ini tidak berlawanan

68
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2004), hal. 39.
69
Qurratul Uyun, “Zakat, Infaq, Shadaqah, dan Wakaf Sebagai Konfirgurasi Filantropi
Islam”, Islamuna, Volume 2 Nomor 2 Desember 2015, hal. 219-220.
37

dengan pendapat al-Qaradawi, mengingat yang terakhir ini juga menganggap

zakat dalam ayat-ayat Makkiyyah masih bersifat moral. Sebab, pada tatanan

moral, seseorang yang tidak melaksanakannya tidak memiliki akibat hukum yang

menimpanya.70

Berbeda dengan sedekah, yang pendistribusiannya sangat luas, penerima

zakat telah ditetapkan oleh Al-Qur’an, yaitu delapan golongan (al-asnaf al-

thamaniyah). Akan tetapi, ruang untuk mendefinisikan siapa mereka ini tetap

terbuka dan bahkan bias ditafsirkan ke berbagai golongan. M. Rashid Rida,

misalnya, menafsirkan budak dalam arti masyarakat yang diperbudak oleh

kolonialisme. Sementara itu, fi sabilillah dalam ayat itu diartikan bukan sebagai

jihad dengan senjata, namun jihad melalui argument dan persuasi. Dengan kata

lain, golongan yang berhak menerima zakat sesungguhnya dapat berubah sesuai

dengan keadaan dan kondisi yang dihadapi oleh masyarakat Muslim.

Upaya untuk menafsirkan ayat tersebut secara dinamis juga dilakukan oleh

tokoh neomodernis Islam, Fazlur Rahman. Menurutnya, Prinsip di balik

pembagian kepada delapan golongan itu adalah keadilan dan kesejahteraan social

dalam pengertian yang luas. Akan tetapi, kaum Muslim memahami fungsi zakat

secara picik, sehingga ia kehilangan makna yang sesungguhnya. Ia menegaskan

bahwa zakat dapat digunaka untuk seluruh aktivitas yang juga menjadi kewajiban

negara, seperti pendidikan dan kesehatan, gaji para pegawai administrative,

dakwah atau diplomasi, pertahanan, komunikasi dan sebagainya.71

70
Yusuf Qaradhawi, Spektrum Zakat: Dalam Membangun Ekonomi Kerayatan, (Jakarta
Timur: Zikrul, 2005), hal. 36-37.
71
Amelia Fauzia, Filantropi Islam :Sejarah dan Kontestasi Masyarakat Sipil dan Negara
di Indonesia, hal. 7.
38

Dari uraian yang telah disebutkan dapat disimpulkan bahwa zakat

merupakan salah satu bentuk filantropi Islam, yang tujuan utamanya adalah

keadilan dan kesejahteraan sosial, yang dijiwai oleh semangat mendekatkan diri

kepada Tuhan. Di sini muncul pertanyaan, “mengapa zakat yang bersifat wajib

disebut filantropi, yang pada dasarnya merupakan kedermawanan yang bersifat

sukarela?” Dalam pandangan Dawam Rahardjo, zakat sebenarnya adalah

penyucian diri yang bersifat individual. Memang, ia merupakan kewajiban, tetapi

sifatnya individual, yang bila seseorang tidak melaksanakannya, ia tidak mendapat

pahala dari Tuhan atau tidak mendapat mendapat balasan kasih sayang-Nya.

Tentu, ini memunculkan persoalan mengingat wajib dalam hukum Islam bukan

sekadar berimplikasi pahala bagi yang melaksanakannya, tetapi juga mendapatkan

hukuman bagi yang meninggalkannya. Ini jika didasarkan pada definisi wajib,

yiatu “perbuatan yang jika dikerjakan memeroleh pahala dan jika ditinggalkan

memeroleh hukuman” (yuthabu fi’luh wa-yu’aqbu tarikuh).72

Terdapat definisi ini, dan definisi lain yang mengandung kata hukuman,

seperti halnya al-Ghazali menentangnya dengan argument sebagai berikut.

Pertama, wajib kadang-kadang dimaafkan dari hukuman jika ditinggalkan,

meskipun hal itu tidak menghilangkan posisi wajib yang demikian itu karena

wajib harus dilaksanakan secara sempurna (najiz), sementara hukumannya masih

menunggu (muntazar). Maksudnya, kewajiban harus dilaksanakan secara

sempurna, yang jika tidak dilaksanakan, hukumannya pun direalisasikan saat itu

juga. Kedua, kalau wajib diancam dengan hukuman, maka realisasinya harus
72
Widayawati, “Filantropi Islam Kebijakan Negara Pasca-Orde Baru: Studi tentang
Undang-Undang Zakat dan Undang-Undang Wakaf”, Tesis di ajukan untuk UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2011, hal. 65.
39

dilaksanakan karena janji Tuhan pasti benar. Namun, hukuman itu kadang-kadang

dimaafkan dan tidak direalisasikan.73 Al-Ghazali sendiri mendefinisikan wajib,

mengutip Qadi Abu Bakr, sebagai “sesuatu yang membuat orang yang

meninggalkannya dicela dan dicaci secara syar’i dengan cara tertentu” (huw al-

ladhi yudhammu tarikuhu wa yulamu shar’an bi-wajhin ma).

Lebih jauh, zakat tergolong ke dalam ibadah mahdah yaitu ibadah yang

bertujuan untuk “membangun manusia dengan Tuhannya” (tanzim ‘alaqat al-

insan bi-rabbihi). Adapun tujuan disyariatkannya ibadah itu sendiri adalah

penyucian jiwa (tathir al-nafs wa-tazkiyatuha) dan menjauhkannya dari tindakan

tercela. Di sini terlihat bahwa wajib dalam hukum Islam bersifat etis, yang

pelaksanaannya bergantung pada moralitas seseorang. Denga begitu, membayar

zakat pada dasarnya adalah wajib etis dan karennya dapat disebut filantropi, yang

juga didasarkan pada moralitas.74

Meskipun penerimannya telah ditetapkan, fungsi zakat sesungguhnya sangat

luas, termasuk sarana-sarana yang dapat mengantarkan pada tujuan tersebut.

Lebih jauh, dalam pengelolaanya, keterlibatan tarekat selalu ada dengan tingkatan

yang berbeda dari waktu ke waktu.

3. Wakaf

Wakaf adalah salah satu instrumen dalam Islam yang sangat potensial untuk

dijadikan strategi pengentasan kemiskinan dan kesenjangan nasional. Jika wakaf

dikelola dengan baik, maka wakaf akan berperan besar dalam meningkatkan
73
Saifudin Zuhri, Zakat Di Era Reformasi (Tata Kelola Baru), (Bandung: Mizan, 2015),
hal. 34.
74
Yusuf Qaradhawi, Spektrum Zakat: Dalam Membangun Ekonomi Kerayatan, hal. 36.
40

kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial sebuah Negara.75 Bentuk filantropi

penting lain dalam Islam adalah wakaf (waqf), masdar dari kata kerja waqafa-

yaqifu, yang berarti “melindungi atau menahan.” Sinonim wakaf meliputi tahbis,

tasbil atau tahrim, meskipun ketiga istilah yang berakhir ini kalah popular

dibandingkan dengan pertama. Seperti zakat, wakaf juga masuk ke dalam kategori

sedekah. Akan tetapi, untuk membedakan dari bentuk-bentuk sedekah lainnya, ia

biasanya disebut sadaqah jariyah (sadaqah yang terus mengalir pahalnya). 76

Selanjutnya praktik wakaf ini kemudian terbagi ke dalam empat institusi.

Pertama, al-habs fi sabilillah, yaitu sumbangan kuda senjata dan budak demi

jihad, atau rumah bagi peristirahatan tentara. Kedua, habs mawquf atau sadaqah

mawquffah, yakni sejenis wakaf bagi sejumlah oaring tertentu yang setelah

mereka meninggal harta wakaf tersebut kembali kepada pemiliknya semula atau

ahli warisnya. Ketiga, sadaqah muharramah, ialah wakaf yang diperuntuhkkan

bagi orang miskin, atau sekelompok kerabat dan keturunan tertentu, yang setelah

mereka meninggal dunia harta wakaf itu akan jatuh ke tangan kelompok orang

miskin. Terakhir, wakaf permanen untuk masjid atau kepentingan umum

lainnya.77

Seiring berjalannya waktu, wakaf kini dikelompokkan ke dalam dua jenis

utama: khayri dan ahli yang dimaksud wakaf khayri adalah wakaf yang memang

dimaksudkan sepenuhnya untuk tujuan-tujuan agama, seperti masjid, madrasah,


75
Nurul Huda, Dkk, “Akuntabilitas Sebagai Sebuah Solusi Pengelolaan Wakaf”, Jurnal
Akuntansi Multiparadigma, Volume 5, Nomor 3, Desember 2014, hal. 485.
76
Ruslan Abdul Ghofur, “Pemberdayaan Masyarakat Melalui Optimalisasi Pengelolaan
Wakaf Tunai (Studi kasus pada LAZ Baitul Maal Hidayatullah dan Yatim Mandiri Cabang
Lampung), INFERENSI, Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, Vol. 7, No. 2, Desember 2013, hal.
367.
77
Muhammad Jawad Muqhniyah, Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta: PT Lentera Basritama,
1999), hal. 636-637.
41

rumah sakit, jembatan, pengairan dan lian sebagainya. Adapun wakaf ahli, yang

juga disebut waqf dhurri, adalah wakaf yang ditujukan bagi keluarga, seperti

anak, cucu, kerabat atau orang lain. Meskipun demikian, wakaf ahli ini tetap harus

bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah, di antaranya melalui orang

miskin. Sebab, pada dasarny, wakaf ditujukan bagi semua Muslim, terutama

mereka yang dibutuhkan. Karena itu ia dapat berperan untuk memenuhi

kebutuhan sosial dan ekonomi masyarakat. 78

Akan tetapi, wakaf ahli ini kadang-kadang digunakan untuk tujuan yang

salah, sehingga menimbulkan persoalan. Misalnya, wakaf adakalanya digunakan

untuk menghindari pembagian kekayaan ahli waris yang berhak menerimannya,

setelah waqif meninggal dunia. Juga bisa terjadi bahwa wakaf digunakan untuk

menghindari tuntunan pembayaran hutang seseorang sebelum ia mewakafkan

harta bendanya. Di samping itu, wakaf tidak jarang dimanfaatkan untuk mengelak

dari penyitaan yang dilakukan oleh negara. Oleh karena itu, wakaf ahli di

beberapa negara Muslim sangat diperketat, bahkan malah dihapuskan, seperti

yang terjadi di Mesir, melalui Undang-undang tahun 1952.

Sebagimana fungsi wakaf telah digunakan untuk berbagai tujuan: sebagai

lembaga filantropi, agen layanan sosial dan bahkan sebagai lembaga politik yang

tergantung dengan kekuatan penguasa. Sebagai lembaga filantropi yang

memberikan layanan sosial, wakaf telah memainkan peran penting berbagai

bidang di sejumlah wilayah Dunia Islam, seperti agama dan pendidikan, ekonomi,

budaya dan lain sebagainya. 79


78
Ibid.,
79
Amelia Fauzia, “Menghidupi Filantropi Islam” dalam buku, Dari Pesantren Untuk Dunia
Kisah-Kisah Inspiratif Kaum Santri, (t.t), hal. 407.
42

C. Praktik Filantropi dalam Tarekat: Kegiatan Filantropi Tarekat Qadiriyah

Wa Naqsyabandiyah di Pesantren Berjan

Pesantren Berjan, secara resmi disebut Pondok Pesantren An-Nawawi,

adalah salah satu dari beberapa pesantren abad kesembilan belas yang bertahan

hingga saat ini. Pesantren ini menyebut dirinya sebagai pesantren “semi-modern”,

yaitu, sebuah pesantren yang masih mengikuti pembelajaran tradisional kitab

kuning, tasawuf, dan tarekat, namun juga memiliki sekolah formal dan

menerapkan organisasi yang modern. Pesantren Berjan terletak di Dusun Berjan,

Desa Gintungan, kecamatan Gebang, kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Pondok

ini merupakan kelanjutan dari pesantren tarekat yang didirikan Kiai Zarkasyi

(1830-1917), mungkin sekitar tahun 1870.

Pesantren ini telah menjadi salah satu pusat pembelajaran tarekat

Qadiriyah Wa Naqsabandiyah di Jawa Tengah. Kiai Zarkasyi belajar Tarekat

Qadiriyah Wa Naqsabandiyah dari Syekh Abdul Karim Banten,80 ketika ia belajar

di Mekkah. Setelah menerima ijazah sebagai guru tarekat (mursyid) dari Syekh,81

Kiai Zarkasyi kembali ke daerah asalnya, belajar di banyak pesantren, termasuk

juga dari Kiai Sholeh Darat, dan kemudian mengembangkan ajaran tarekat di

Berjan. Setelah Kiai Zarkasyi meninggal, Pondok Barjan dipimpin puterannya,

80
Abdul Karim Banten adalah khalifah tarekat Qadiriyah Wa Naqsabandiyah,
menggantikan Syekh Ahmad Khatib Sambas. Setelah Abdul Karim meninggal tidak ada
kepempinan utama tarekat Qadiriyah Wa Naqsabandiyah. Lihat Martin van Bruinessen, Kitab
Kuning Pesantren dan Tarekat Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1995, hal. 217
81
Menurut sejarah lokal, ia tinggal beberapa tahun di Suquler (Suq al-Layl), sebuah distrik
di Mekkah yang terletak di sebelah timur dari Masjidil Haram, yang dikenal untuk
mengakomodasi sufi miskin. Di antara rekan-rekannya yang menerima ijazah tarekat adalah Kiai
Ibrahim dari Mranjen (Semarang) dan Kiai Abdullah Faqih dari Bumen, Kalibeber (Wonosobo).
Dilihat dalam buku, Amelia Fauzia, “Menghidupi Filantropi Islam” dalam buku, Dari Pesantren
Untuk Dunia Kisah-Kisah Inspiratif Kaum Santri, hal. 410
43

Kiai Shiddiq, yang juga seorang mursyid tarekat. Ketika Kiai Shiddiq meninggal

dunia pada tahun 1948, Kiai Nawawi melanjutkan kepemimpian ayahnya di

pesantren dan tarekat hingga wafatnya pada tahun 1982. Kepemimpinan Kiai

Nawawi kemudian dilanjutkan oleh anaknya, Kiai Achmad Chalwani (1954),

yang saat ini memimpin pesantren dan tarekat.

Masing-masing pemimpin menorehkan ciri khasnya sendiri sesuai dengan

zamannya dan membuat perubahan besar dalam pengembangan sistem

pendidikan, tasawuf dan organisasi pesantren ini. Kiai Zarkasyi membuka daerah

Berjan, dan mulai mengembangkan ajaran tarekat Qadiriyah Wa Naqsabandiyah

di Purworejo yang menarik pengikut atau murid yang dikenal sebagai santri

tarekat.82 Kiai Shiddiq adalah orang yang pertama menampung santri mukim,

yaitu siswa yang tinggal di pesantren, dan memberi nama Pesantren Berjan

“Miftahul Huda”.83 Awal mula adanya santri mukim di Berjan sepertinya

didorong oleh pertumbuhan pengikut tarekat, yang berjumlah ratusan. Pemimpin

berikutnya, Kiai Nawawi, membuka pendidikan madrasah formal, pendidikan

untuk santri perempuan, dan aktif dalam kepemimpinan nasional Nahdlatul Ulama

(NU) dan tarekat. Ia mengubah nama pesantren manjadi Roudlotut Thullab

(taman siswa). Karena ketenaran Kiai Nawawi, pengikut tarekat berkembangan

menjadi ribuan. Beliau merupakan salah satu antara para pemimpin organisasi

tarekat NU.84

82
Santri tarekat disebut santri tua karena sebagian besar dari mereka berusia lima puluh
atau lebih. Mereka adalah pengikut tarekat sampai sekarang dan selalu dating ke pesantren secara
terartur untuk bertemu dengan guru tarekat mereka.
83
Sejarah Pondok mencatat bahwa nama itu diberikan oleh Kiai Zarkasyi
84
Aly Mashar, “Genealogi dan Penyebaran Thariqah Qadiriyah Wa Naqshabandiyah di
Jawa”, Al-A’RAF, Vol. XIII, No, 2, Juli-Desember 2016, hal. 249-250.
44

Kiai Chalwani membuat landasan hukum, membangun sebuah organisasi

modern, serta mendirikan pendidikan tinggi Islam. Pada tahun 1996, ia mengubah

nama pesantren menjadi An-Nawawi, untuk menghormati ayahnya. Di bawah

kepemimpinannya, mungkin ada sepuluh ribu anggota tarekat pada tahun 2006. 85

Sepanjang perubahan ini, pembelajaran tradisional kitab klasik (kitab kuning) dan

tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah tetap menjadi bagian penting, demikian juga

halnya tradisi filantropi, di pesantren ini.

Inti dari tradisi filantropi di pondok Berjan adalah semangat swadaya,

kemandirian, yang merupakan kombinasi dari sedekah (dalam bentuk barang atau

uang tunai) dan kerja sukarela. Sedekah menjadi hal penting karena orang-orang

Purworejo dan anggota tarekat adalah petani miskin yang tidak diwajibkan

membayar zakat dan tidak mampu memberikan wakaf. Ada sejumlah sumbangan

tanah, tidak terlalu besar tetapi dianggap sebagai sedekah oleh pimpinan pondok. 86

Sebagian besar orang di sekitar pesantren memberi fitrah langsung kepada orang

miskin, dan pesantren jarang menerima zakat. Semangat kemadirian ini selalu

disebut dalam cerita dan sejarah Pesantren,87 terutama mengenai pendirian masjid,

seperti diuraikan di bawah ini.

85
Perkiraan ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Rosidin mayoritas anggota tarekat
adalah perempuan tua, karena tidak ada catatan tentang jumlah pasti para pengikut tarekat, Rosidin
dan pimpinan pondok ini tampaknya mendasarkan perkiraan pengikutnya pada badal (pemimpin
kelompok tarekat) dan juga dengan menghitung jumlah kotak snack dan piring makan siang yang
disediakan untuk mereka yang menghadiri haul dari tahun ke tahun. Pada tahun 2000, perkiraan
pengikut tarekat mencapai delapan ribu orang. AR. Dahlan, “Tarekat Qodiriyah wan
Naqsabandiyah di Jawa Tengah dan Jawa Timur Studi Kasus di Kecamatan Gerbang Kabupaten
Purworejo.” Semarang: Departemen Agama Balai Penelitian Aliran Kerohanian/Keagamaan,
2000, hal. 35.
86
Tanah untuk masjid
87
Kisah tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah dan pondok selalu disebutkan dalam acara
Pondok serta tarekat. Acara utama adalah haul (peringatan tahunan kematian pendiri Pondok yang
pemimpinan tarekat)
45

Masjid yang pertama kali didirikan oleh Kiai Zarkasyi merupakan sebuah

langgar kecil di lingkungan. Masjid ini dibangun secara gotong royong oleh santri

tarekat yang merupakan petani. Meskipun ada cerita bahwa Kiai Zarkasyi

membawa dua bata merah dari Kiai Sholeh Darat untuk mendirikan pesantren di
88
Berjan, tampaknya masjid itu tidak dibangun dari batu bata tetapi dari bambu

yang banyak tersedia di daerah Berjan. Kiai Shiddiq memperbarui masjid dengan

bantuan santri tarekat dab santri mukim. Jumlah santri tarekat mungkin ratusan

dan jumlah santri mukim sekitar puluhan. Kiai ini, mereka menggunakan bambu

dan kayu dari pohon kelapa sebagai bahan bangunan yang disediakan oleh Kiai

Shiddiq dan santri tarekatnya. Mereka juga membuat batu bata merah untuk

pembangunan. Kiai Nawawi membeli beberapa batang kayu dari orang-orang di

Berjan dan membayar dua tukang batu dengan uang sendiri, yang ia peroleh dari

hasil usahanya sebagai pedagang kecil.89 Pada masa Kiai Chalwani, renovasi

masjid didukung dengan dana yang dihimpun oleh anggota tarekat. Pekerjaan

pembangunan dilakukan oleh tukang batu yang diupah oleh Kiai Chalwani.90

Tradisi filantropi di pondok Berjan tergantung pada dua faktor: sistem

swadaya dan peran kiai. Sistem swadaya tetap kuat tetapi secara bertahap berubah

bentuknya dari kerja sukarela menjadi sumbangan tunai. Pendanaan juga

mengalami perubahan. Di masa penjajahan, pendanaan diperoleh hanya dari dana

masyarakat, sedangkan setelah masa kemerdekaan, pendanaan menggabungkan


88
Kiai Soleh menyarankan supaya ia pindah dari tempat sebelumnya di Baledono karena
ada seorang guru tarekat yang lebih senior di sana, bernama Kiai Imam Puro. Kiai Achmad
Chalwani, ceramah umum pada haul di Pondok Berjan, 18 September 2005 dan 9 September.
Ibid.,
89
Beliau berdangang beras, kain batik, dan pakaian, di mana Badal (pemimpin kelompok
tarekat) membantunya berjualan. Beliau juga mendirikan perusahan pencetakan.
90
Amelia Fauzia, filantropi Islam :Sejarah dan Kontestasi Masyarakat Sipil dan Negara di
Indonesia, hal.137.
46

dana masyarakat dan dan pemerintah. Mungkin dari periode Kiai Nawawi dan

setelahnya, Pondok Berjan menerima hibah pemerintah. 91 Kurangnya sumber daya

manusia dan keinginan kuat untuk memelihara tarekat serta pembelajaran

tradisional, mungkin telah mengakibatkan minimnya pesantren menerima

pendanaan dari luar, termasuk dari sumber-sumber Timur Tengah. 92 Pendapatan

swadaya pesantren berasal dari tarekat, yang mencangkup sekitar 60 sampai 70

persen dari pendapatan. Pengikut tarekat memberikan sumbangan sedekah pada

pengajian rutin, sedekah selama acara haul (peringatan tahunan wafatnya pendiri),

uang buku (yang dibayarkan saat pendaftaran), dan sedekah untuk mendapatkan

jimat. Pendapatan lain diperoleh dari keuntungan pencetakan dan penjualan

kalender pesantren dan pengorganisasian ibadah haji. Dalam laporan tahun 2005,

keuntungan pengorganisasian ibadah haji mencapai Rp21 juta dan dari kalender

Rp10 juta. Sedekah dari anggota tarekat yang dikumpulkan selama haul sekitar

Rp7 Juta.93

Sumbangan dari santri relatif kecil dan digunakan untuk biaya akomodasi

dan sekolah. Sumbangan santri dalam bentuk uang sekolah mungkin dimulai

setelah tahun 1965, ketika sekolah modern didirikan. Santri mulai membayar

biaya makan mereka sejak tahun 1996 ketika pondok memiliki sebuah yayasan

bernama Raudlotut Tullab (nama lama pesantren) yang memiliki system keuangan

91
Hibah terbesar adalah Rp200 juta (US$23.529) untuk gedung sekolah pada tahun 2004
yang dikemukakan oleh Rosidin. Ibid.,
92
Pondok mengaku telah menolak tawaran pendanaan dari Arab Saudi, karena
mensyaratkan perubahan tertentu dalam kurikulum pesantren. Menurut salah satu staf Pondok,
penolakan ini untuk menghidari pengaruh dari ideology puritan Wahabi.
93
Amelia Fauzia, Filantropi Islam :Sejarah dan Kontestasi Masyarakat Sipil dan Negara
di Indonesia, hal. 126.
47

terpusat. Berdasarkan laporan 2005, yayasan menerima antara 18 hingga 20

persen dari total pendapatan untuk pondok.94

Dilihat dari pemangku kepentingannya, ada empat sumber keuangan

Pondok Berjan, seperti yang biasa ditemukan di pondok pesantren lainnya, yaitu:

Pertama, sumbangan dari pemimpin/kiai, Kedua, sumbangan orang tua santri,

Ketiga, sumbangan dari masyarakat atau lembaga-lembaga, yang bersifat “halal

dan tidak mengikat”.95 Keempat, hasil keuntungan usaha.96

Peran kiai sangat penting dalam kegiatan amal untuk kelanjutan pesantren.

Kenangan tentang Kiai Nawawi, misalnya, menyebutkan bahwa beliau lebih

mengutamakan membangun masjid daripada membangun rumahnya sendiri:

beliau tinggal di sebuah rumah yang belum selesai selama beberapa tahun, dan

menggunakan uangnya sendiri untuk membangun masjid. Kiai Zarkasyi

membangun masjid di atas tanahnya dan kemudian menyumbangkan tanah ini

kepesantren. Kiai Shiddiq mengajar santri secara sukerla tanpa pembayaran

formal apapun. Cerita tentang berbagai macam pemberian dan tenaga sukarela ini

akrab dalam lingkungan pesantren, di mana para pemimpin pesantren menjadi

penyumbang utama dan mengambil tanggung jawab penuh manajemen pesantren.

Pendirian yayasan dan organisasi modern menunjukkan adanya iktikad

dari masing-masing kiai untuk membedakan antara sumber daya pesantren dan

kekayaannya sendiri, yang harus diketahui masyarakat luas. Namun, di pesantren

94
Ibid.,
95
Istilah “halal dan tidak mengikat” biasa disebutkan oleh lembaga dan organisasi sosial di
Indonesia untuk menyebut salah satu sumber dananya. Ini adalah bentuk “halus” sebuah
penonalakan dari pemberian bersyarat, yang dimungkinkan mempengaruhi ideology maupun sikap
politik penerima bantuan.
96
Yayasan Raudlatut Thullab memiliki beberapa kegiatan usaha seperti Baitul Mal wa
Tamwil (BMT), toko, agen perjalanan, dan percetakan.
48

dengan pembelajaran tradisional dan sistem tarekat yang kuat, kiai akan selalu

memiliki pengaruh yang kuat. Oleh karena itu, pesantren dan masjid tetap lestari

sebagai kekuatan komunal masyarakat.


BAB III:

SEJARAH PERKEMBANGAN TAREKAT

NAQSYABANDIYAH AL-HAQQANI

A. Kelahiran Tarekat Naqsyabandiyah al-Haqqani

Di tinjau dari sudut pandang identitas persaudaran dan Tarekat yang

dikembangkan, setidaknya ada tiga priode Naqysyabandiyah yang pernah ada.

Priode pertama mancakup apa yang disebut oleh Hamid Algar sebagai prasejarah

berdirinya tarekat ini. Priode ini dimulai dari masa Abu bakar dan berakhir

dengan Khwaja Abu Ali Farmadi (w. 478-79/1085-86). 97 Pada peridoe ini Tarekat

Naqsyabandiyah belum mempunyai identitas sendiri, dan disamping itu tokoh-

tokoh yang nama-nama mereka tercantum dalam garis sisilah Naqsyabandiyah

tidak dengan sendirinya “dianggap sebagai ekslusif milik Naqsyabandiyah”. 98

Masing-masing guru secara relatif mempunyai sedikit murid, yang secara pribadi

terikat padanya dan ikut dalam latihan mistik di bawah tuntunannya. Sejumlah

kecil guru memiliki khanaqah, sebuah pemondokan di mana pada murid dapat

tinggal dan sekaligus merupakan tempat latihan mistik dijalankan. Tujuan murid-

murid tersebut adalah pencapaian pengalaman mistik, dan mereka sering tanpa

pikir panjang berkelana jauh untuk menjumpai seorang guru yang dapat

membimbingnya di jalan ini.99

97
Annemarie Schimmel,”Mistical Dimension of Islam”, terj. Saprdi Djoko Damono dkk,
Dimensi Mistik Dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), hal. 462-463.
98
Leonard Lewishon, Warisan Sufi Warisan Sufisme Persia Abad Pertengahan (1150-
1500), (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003), hal. 540-541.
99
Aziz Masyhuri, Ensiklopedi 22 Aliran Tarekat Dalam Tasawuf, Surabaya: Imtiyaz, 2011.
Hal. 161.

83
50

Periode kedua, yang merupakan fase formasi Tarekat ini, adalah fase di

mana Tarekat ini memperoleh indentitasnya sendiri. Pada peridoe ini terdapat

beberapa guru (khawajagan), yang terdiri dari 7 Syekh utama berkebangsaan

Asia. Urutan pertama adalah Khwaja Abu Yakub Yusuf Hamdani (w. 114) dan

yang paling akhir adalah Khwaja Amir Sayyid Khulal (w. 772/1371). Bagaimana

juga, figure utama pada periode ini adalah Muhammad bin Baha’uddin al-Uwaisi

al-Bukhari.100

Naqsyabandiyah diambil dari kata “Naqsyabandiyah” menurut Syekh

Najmuddin Amin al-Kurdi dalam kitabnya “Tanwir Qulub” berasal dari dua buah

kata bahasa arab, ”Naqsy” artinya ukiran atau gambar yang dicap pada sebatang

lilin atau benda lainnya. Dan “band” artinya bendera atau layar besar. Jadi

Naqsyabandi artinya ukiran atau gambar yang terlukis pada suatu benda, melekat

dan tidak terpisah, seperti tertera pada sebuah bendera atau spanduk besar.

Dinamakan dengan Naqsyabandiyah karena Syekh Bahauddin pendiri tarekat ini

senantiasa berdzikir mengingat Allah berkepanjangan sehingga lafadz Allah itu

terukir melekat ketat dalam kalbunya. 101

Sejak digunakannya nama Naqsyabandiyah sebagai nama dan

identitasnya, tarekat ini bertambah masyhur dan memiliki pengaruh yang luas dari

masa ke masa. Sedangkan periode ketiga mencakup sejarah perkembangan sejak

Bahauddin Naqsyabandiyah hingga generasi sesudahnya. Pada periode ini kurang

lebih berkenaan dengan penyebaran tarekat Naqsyabandiyah. Walaupun masih

100
Wahyu Nugroho, KETERLIBATAN SOSIAL SEBAGAI SEBUAH DEVOSI Sebuah
Kesalehan Sosial Tarekat Naqshbandiyah Nazimmiyah, GEMA TEOLOGI Vol. 39, No. 1, April
2015, hal. 38
101
Ibid.,
51

saja ada orang-orang yang mencari pengalaman mistik melalui metode tarekat,

Naqsyabandiyah pun menjadi suatau gerakan masa, dan bagi kebanyakan

pengikutnya ritus-ritus tarekat tidak lain dari pada bentuk-bentuk peribadatan.

Bai’at kepada seorang Syekh condong berkembang menjadi kultus wali. Tarekat

telah menjadi sebuah organisasi, dengan hierarkinya sendiri dan kecenderungan

pada rutinitasnya. Ada khanaqah pusat dan khanaqah bawahan yang patuh pada

khanaqah pusat.102

Pada masa ini perkembangan yang dapat dicatat adalah percabangan

tarekat ini ke dalam beberapa jalur; yang di antaranya adalah Mujaddidiyah, yang

didirikan oleh Muhammad Sayfuddin al-Faruqi al-Mujaddidi, dan Khalidiyah

yang didirikan oleh maulana Khalid al-Baghdadi (w.1243/1827). Setelah itu

muncul pula Mazhariyah yang didirkan oleh Syamsuddin Habibullah (Mirza

Mazhar Jan-I Janan (w. 1195/1781). Nama-nama tarekat tersebut mengacu

hanya kepada perkembangan dalam hal teknik dan doktrin.

Setelah ketiga cabang itu muncul, pada abad ini barulah muncul tarekat

Naqsyabandiya Al-Haqqani. Seperti halnya dalam Tarekat Naqsyabandiyah

Mujaddidiyah, Khalidiyah, dan Mazhariyah, tarekat Naqsyabandiyah Al-Haqqani

juga dinamankan “Naqsyabandi” karena ia merupakan satu aliran tarekat dalam

tasawuf yang didirikan oleh sufi terkenal, Muhammad Baha’udin Naqsyabandi

(1317-1389). Sedangkan “Haqqani” sendiri diambil dari nama salah seorang

102
Luqman Abdullah, “Kontribusi Tarekat Naqsyabandiyah Terhadap Pendidikan Agama
Islam dan Perubahan Perilaku Sosial Jamaah (Studi kasus Jamaah Tarekat Naqsayabandiyah di
Dukuh Tompe, Kabupaten Boyolali), Nazhruna: Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 1, No. 1, 2018,
hal. 6.
52

pengikut tarekat Naqsyabandiyah yang bernama Syekh Muhammad Nazim al-

Haqqani (23 April 1922/28 Sya’ban 1340 H) di Cyprus.103

Syekh Muhammad Nazim Adil Haqqani diangkat sebagai Mursyid dalam

mata rantai tarekat Naqsyabandiyah setelah Syekh Abdullah Faiz ad-Daghestani

berpulang ke Rakmatullah pada tanggal 30 September 1973 (4 Ramdhan 1393 H).

Sejak itu tarekat ini dikenal dengan tarekat Naqsyabandiyah Haqqani. Di mulai

pada tahun 1974 Syekh Nazim Haqqani mulai dakwahnya di Eropa, khususnya

Inggris dan Jerman. Di seantereo Turki, khusunya Cyprus sampai saat ini Syekh

Nazim Haqqani dikenal sebagai sebutan Shaykh Qubrusi atau Syekh Nazim

Yesilbas (Syekh Nazim yang berturban hijau). Setelah itu sudah beribu-ribu non-

muslim yang telah disyahadatkan oleh beliau, sekaligus diambil bai’at sebagai

pengikut tarekat Naqsyabandiyah bermursyidkan Syekh Abdullah faiz Ad-

Daghestani dari Damaskus. Sangat banyak para ulama dan Ahlul tarekat yang

meyakini beliau adalah Sulthanul Awliya Hadzihiz Zaman.

B. Biografi Syekh Muhammad Nadzim Adil Al-Haqqani

Syekh Nadzim lahir di Larnaca, Cypus, pada 23 April 1922/28 Sya’ban

1340 H. Dari sisi ayah, beliau adalah keturunan Abdul Qadir Jailani, pendiri

thariqat Qadiriah. Dari sisi ibunya, beliau adalah keturunan Jalaluddin Rumi,

pendiri thariqat Mawlawiyyah, yang juga merupakan keturunan Hasan-Husein

cucu Nabi Muhammad Saw. Selama masa kanak-kanak di Siprus, beliau selalu

duduk bersama kakeknya, salah seorang Syekh thariqat Qadiriah untuk belajar
103
Jorgen S. Nielsen dan Galina Yemelianova, “Sufisme Transnasional Haqqaniyah”,
dalam buku, Sufi-Sufi Diaspora: fenomena Sufisme di Negara-Negara Barat, (Bandung: Mizan
Media Utama, 2006), hal. 180-181.
53

spiritualitas dan disiplin. Tanda-tanda luar biasa telah nampak pada Syekh Nazim

kecil, tingkah lakunya sempurna. Tidak pernah berselisih dengan siapapun, beliau

selalu tersenyum dan sabar. Kedua kakek dari pihak ayah dan ibunya melatih

beliau pada jalan spiritual.104

Ketika remaja, Syekh Nazim sangat diperhitungkan karena tingkat

spiritualnya yang tinggi. Setiap orang di Larnaca mengenal beliau, karena dengan

umur yang masih amat muda mampu menasihati orang-orang. Sejak umur 5 tahun

sering ibunda mencarinya, dan didapati beliau sedang berada di dalam masjid atau

di makam Ummuu Hiram, salah satu sahabat Nabi Muhammad Saw. yang berada

di sebelah masjid. Banyak sekali turis mendatangi makam tersebut karena tertarik

akan pemandangan sebuah batu yang tergantung di atas makam itu. Ketika sang

ibu mengajaknya pulang, beliau mengatakan” Biarkan aku di sini dengan Ummu

Hiram, beliau adalah leluhur kita.”105

Biasanya terlihat Syekh Nazim sedang berbicara, mendengarkan dan

menjawab seperti berdialog dengannya. Bila ada yang mengusiknya, beliau

katakan “Biarkan aku berdialog dengan nenekku yang ada di makam ini.”106

Ketika tahun 1937 Ayahnya mengirim beliau ke sekolah umum pada siang

hari dan sorenya belajar ilmu-ilmu agama. Beliau seorang yang jenius di antara

teman-temannya. Setelah tamat sekolah (setara SMU) Syekh Nazim

menghabiskan malam harinya untuk mempelajari Tarekat Mawlawiyyah dan

Qadiriah. Beliau mempelajari ilmu Syari’ah, Fiqih, ilmu tradisi, ilmu logika dan

104
Muhammad Hisham Kabbani, Classical Islam and the Naqshabandi sufi Tradition,
America: ISCA, 2004, hal. 196.
105
Ibid., hal. 199
106
Ibid., hal. 200
54

Tafsir Qur’an. Beliau mampu memberikan penjelasan hukum tentang masalah-

masalah Islam secara luas. Beliau juga mampu berbicara bagi orang-orang dari

segala tingkatan spiritual. Beliau diberi kemampuan untuk menjelaskan masalah-

masalah yang sulit dalam bahasa yang jelas dan mudah.

Setelah tamat SMA di Siprus, Syekh Nazim pindah ke Istambul pada

tahun 1359 H / 1940 M, di mana kedua saudara laki-laki dan seorang saudara

perempuannya tinggal. Beliau belajar tehnik kimia di Universitas Istambul, di

daerah Bayazid.107 Pada saat yang sama beliau memperdalam hukum Islam dan

bahasa Arab pada guru beliau, Syekh Jamaluddin al-Lasuni, yang meninggal pada

th 1375 H / 1955 M. Syekh Nazim meraih gelar sarjana pada tehnik kimia dengan

hasil memuaskan dibanding teman-temannya. Ketika Professor di universitasnya

memberi saran agar melakukan penelitian, beliau katakan,”Saya tidak tertarik

dengan ilmu modern. Hati saya selalu tertarik pada ilmu-ilmu spiritual.”108

Selama tahun pertama di Istambul, beliau bertemu dengan guru spiritual

pertamanya, Syekh Sulaiman Arzurumi, seorang Syekh dari Tarekat Naqsybandi

yang meninggal pada tahun 1368 H / 1948 M. Sambil kuliah Syekh Nazim belajar

pada beliau sebagai tambahan dari ilmu tarekat yang telah dimilikinya yaitu

Mawlawiyyah dan Qadiriah. Biasanya beliau akan terlihat di masjid sultan

Ahmad, bertafakur sepanjang malam. Syekh Nazim menuturkan,“Disana aku

menerima barakah dan kedamaian hati yang luar biasa. Aku shalat subuh bersama

kedua guruku, Syekh Sulaiman Arzurumi dan Syekh Jamaluddin al-Lasuni.

Beliau mengajariku dan meletakkan ilmu spiritual dalam hatiku. Aku mendapat
107
Nazim Adil Adil al Haqqani ar Rabbani, 99 Drupples uit de Eindeloze Oceanen van
Gennade, (Cyprus: Northem, 1999), hal. 8.
108
Aziz Masyhuri, Ensiklopedi 22 Aliran Tarekat Dalam Tasawuf, hal. 164.
55

banyak penglihatan spiritual agar pergi menuju Damaskus, tapi hal itu belum

diizinkan. Sering aku melihat Nabi Muhammad Saw. memanggilku menuju ke

hadapannya. Ada hasrat yang mendalam agar aku meninggalkan segalanya dan

pindah menuju kota suci Nabi”.

Suatu hari ketika hasrat hati ini semakin kuat, aku diberi “penglihatan” itu.

Guruku, Syai kh Sulaiman Arzurumi datang dan menepuk pundakku sambil

mengatakan ”Sekarang sudah turun izin. Rahasia-rahasia, amanat, dan ajaran

spiritualmu bukan ada padaku. Aku menahanmu karena amanat sampai engkau

siap bertemu dengan guru sejatimu yang juga guruku sendiri yaitu Syekh

Abdullah ad-Daghestani. Beliau pemegang kunci-kuncimu. Temui beliau di

Damaskus. Izin ini datang dariku dan berasal dari Nabi Muhammad Saw.” 109

Pada tahun 1364 H. / 1944 M, Syekh Nazim pergi ke Tripoli dengan bis.

Bis ini membawa beliau sampai ke pelabuhan yang masih asing, dan tidak

seorangpun dikenalnya. Ketika berjalan mengelilingi pelabuhan, beliau melihat

seseorang dari arah berlawanan. Orang itu adalah Mufti Tripoli yang bernama

Syekh Munir al-Malik. Beliau juga merupakan Syekh atas semua tarekat sufi di

kota itu. “Apakah kamu Syekh Nazim? aku bermimpi di mana Nabi mengatakan,

“Salah satu cucuku tiba di Tripoli.” Beliau tunjukkan gambaran sosokmu dan

menyuruhku mencarimu di kawasan ini. Nabi menyuruhku agar menjagamu.”110

Pada tahun 1945, Sheikh Nazim melanjutkan ke Damaskus, di mana ia

bertemu Sheikh Abd Allah Fa'ez al-Daghastani al-Naqshbandi (w. 1973 M), Yang

109
Syekh Sulaiman Arzurumi adalah salah satu dari 313 auliya thariqat Naqsybandi yang
mewakili 313 utusan.
110
Muhammad Hisham Kabbani, Classical Islam and the Naqshabandi sufi Tradition, hal.
195.
56

menarik, perjumpaan itu hanya berlangsung satu malam. Jika dibandingkan satu

setengah tahun waktu yang dihabiskan oleh Syekh Nazim untuk dapat bertemu

dengan Syekh Abdullah tentu sangat tidak seimbang. Tetapi dalam satu malam

perjumpaan tersebut terjadi sebuah peristiwa mistik di mana Syekh Abdullah

mentransfer pengetahuan Sufi kepada Syekh Nazim secara spiritual hingga dirinya

mencapai pengalaman fana. Proses transfer pengetahuan tersebut tidaklah perlu

dijelaskan, tetapi cukuplah dikatakan bahwa apa yang dialami oleh Syekh Nazim

tersebut menunjukkan kekhasan Tarekat Naqshbandiyah dibandingkan tarekat

lainnya, yaitu the power of divine attraction, yang dengannya syekh tarekat ini

memiliki kemampuan untuk melihat hati muridnya dan mengendalikannya dalam

rangka membersihkan dan menuntunnya menuju tingkat spiritualitas yang lebih

tinggi. Proses ini sendiri sering disebut sebagai muraqābah.111

Setelah mencapai prinsip-prinsip ajaran dan latihan spiritualnya di bawah

instruksi dari Sheikh Abd Allah al-Daghastani, kemudian menunjuk Syekh

Nadzim sebagai pengantinya sebelum ia wafat pada tahun 1973. Syekh Abdullah

ad-Daghistani memberikan wewenang kepada Syekh Nadzim sebagai mursyid

dalam mata rantai Tarekat Naqsyabandiyah yang ke 40. Sejak itu dikenal nama

Naqsyabandiyah Al-Haqqani.112 Syekh Abdullah Daghastani memerintahkan

Sheikh Nazim untuk segera pulang ke Siprus. Dalam persetujuan perintah syekh

nya, Sheikh Nazim segera kembali ke tanah air, yang telah ditinggalnya selam

lima tahun, untuk menyebarkan cara dari Naqshbandi. Sejak itu Syekh Nazim

111
Nazuim Adil Al-Haqqani, Rubies Of Resplendence, (Sri Lanka: Mureeds, 2001), hal. 3-
4.
112
Nazim Al-Haqqani ar-Rabbani, 99 Gouttes: Des Oceans Infinis de Misericorde, (Franch:
Simurgh, 2016), hal. 2-3.
57

telah diterima secara luas di Siprus, Lebanon. Perjalanannya tidak berakhir di sana

karena ia melanjutkan untuk menyebarkan ajaran-ajaran Naqshbandi di seluruh

dunia, termasuk mengunjungi Negara-negara di Timur tengah, Amerika, Asia, dan

Syekh Nadzim mulai berkunjung ke Eropa setiap tahun.113

Mulai tahun 1974, beliau mengunjungi Eropa. Dari Siprus menuju London

dengan pesawat dan kembalinya mengendarai mobil lewat jalan darat. Beliau

melanjutkan pertemuan dengan setiap kalangan masyarakat dari berbagai daerah,

bahasa, adat sampai keyakinan yang berbeda-beda. Orang-orang mulai mengucap

kalimat Tauhid dan bergabung dengan tarekat sufi dan belajar tentang rahasia-

rahasia spiritual dari beliau. Senyum dan wajahnya yang bersinar amat dikenal di

seluruh benua Eropa dan disayangi karena membawa cita rasa spiritualitas yang

sebenarnya dalam kehidupan masyarakat. Pengikutnya mulai bertambah di

sekelilingnya, bersemangat mengambil pelatihan mereka dalam cara-cara Islam

dan tarekat di tangannya.114

Tahun-tahun selanjutnya, beliau melakukan perjalanan kaki di wilayah

negara Turki. Sejak tahun 1978, beliau habiskan tiga sampai empat bulan di setiap

daerah di Turki. Dalam setahun beliau bepergian di daerah Istambul, Yalova,

Bursa, Eskisehir dan Ankara. Di lain kesempatan beliau mengunjungi Konya,

Isparta dan Kirsehir. Tahun berikutnya mengunjungi pesisir selatan dari Adana

menuju Mersin, Alanya, Izmir dan Antalya. Kemudian di tahun berikutnya beliau

bepergian ke sisi timur, Diyarbakir, Erzurm sampai perbatasan Irak. Kemudian

113
Hassan Abu Hanieh, Sufism and Sufi Orders: God’s Spiritual Paths Adaptation and
Renewalin the Context of Modernization, Jordan: Friedrich-Ebert-Stiftung Amman Office, 2011.
Hal. 169.
114
Nazim Adil Al-Haqqani, LIBERATING THE SOUL A GUIDE FOR SPIRITUAL
GROWTH VOLUME FIVE, America: Islamic Supreme Council. 2006. Hal. XIII.
58

kunjungan selanjutnya adalah di laut hitam, bergerak dari satu wilayah ke wilayah

lainnya, dari kota menuju kota lain, dari masjid ke masjid men-syiarkan firman-

firman Allah dan spiritualitas di manapun beliau berada. .115

Di manapun Syekh Nazim pergi, beliau disambut oleh kerumunan massa

dari yang sederhana sampai pejabat pemerintahan. Beliau masyur dengan sebutan

al-Qubrusi di seluruh Turki. Syekh Nazim merupakan Syekh/guru dari Presiden

Turki terakhir, Turgut Ozal yang amat menghormati beliau. Akhir-akhir ini Syekh

Nazim terkenal karena pemberitaan yang luas dari media dan pers. Beliau di

wawancarai hampir tiap minggu oleh berbagai stasiun TV dan reporter yang

menanyakan tentang berbagai kejadian serta masa depan Turki. Beliau mampu

menjembatani antara pemerintahan yang sekuler dan kelompok Islam

fundamental, seperti yang diajarkan oleh Nabi Saw. sehingga tercipta kedamaian

di setiap hati dan pikiran dari kedua belah pihak, baik kalangan awam maupun

yang cerdas sekalipun. Pada tahun 1986, ia memulai perjalanan ke timur.

Negara-negara yang dikunjungi adalah India, Pakistan, Sri Lanka, Brunei,

Malaysia dan Singapura. Dia disambut oleh sultan, presiden, anggota parlemen,

pejabat pemerintah dan masyarakat umum dengan baik. Di Brunei, ia disambut

oleh Sultan Haji Hasan al-Bolkiah dan dianggap sebagai Saint Zaman. Ia

dianggap salah satu dari Syekh besar Orde Naqshbandi di Malaysia dan

Singapura.116

115
Samir al-Qadli, Mengungkap Kesesatan Nadzim al-Qubrushi, Jakarta: Kalender Jakrta
Timur, 2006. Hal. 7.
116
Hanisah, The Rise and Role Of Tariqa Among Muslim In Singapore The Case Of The
Naqsabandi Haqqani, National University of Sinagapore. 2010.
59

Pada tahun 1991, Syeikh Nazim mengunjungi Amerika Serikat untuk

pertama kalinya, atas undangan anakny Sheikh Hisham Kabbani dan mendirikan

yayasan Tarekat Naqsyabandiyah Al-Haqqani. Akhirnya Sheikh Nizam berserta

anaknya berhasil membuka 13 yayasan pusat sufi lainnya yang tersebar di Kanada

dan Amerika Serikat. Pada tahun 1996, Syeikh Nazim adalah tamu kehormatan

pada Konferensi Persatuan Islam Internasional Pertama di Los Angeles,

California. Lebih dari 8.000 orang menghadiri konferensi ini, termasuk ulama

besar Islam dari seluruh dunia dan yang bertema terfokus pada spiritualitas Islam.

Sementara di Amerika Serikat, Syeikh Nazim banyak menghadiri pidato asosiasi

dan pertemuan dzikir di sejumlah tempat, termasuk gereja-gereja, kuil,

universitas, masjid dan pusat New Age. Pada tahun 1997, Sheikh Nazim

mengunjungi Daghestan, tanah air dari mursyid-nya, Sheikh Abdullah Fa'izi ad-

Daghestani. Dia juga membuat kunjungan berulang ke Uzbekistan di mana ia

membuat ziarah ke makam pendiri Eponymous dari Tarekat Naqsybandi, Shah

Baha'uddin Naqshband. 117

Pada tahun 1998, Sheikh Nazim adalah kepala tamu kehormatan di Second

International Islamic Unity Conference, yang diadakan di Washington DC. dan

dihadiri oleh lebih dari 6000 orang. Puncak konferensi ini adalah pembatalan

dering terorisme oleh Sheikh Nazim ke 160 ulama Islam dan VIP dari seluruh

dunia, termasuk Mufti Mesir saat ini, Grand Mufti Rusia dan negara-negara

tetangga dan pejabat dari Malaysia, Indonesia, Timur Tengah dan Afrika.

Kemudian pada tahun 1998, Sheikh Nazim melakukan perjalanan ke Afrika

117
Nazim Adil Al-Haqqani, 99 Drops From Endless Mercy Oceans, (Cyprus:
Spohr, 2007), hal. 13.
60

Selatan, didampingi Syeikh Hisham Kabbani dan kontingen besar mahasiswa dari

seluruh dunia. Di sana ia mengunjungi Cape Town, Johannesburg dan Durban, di

setiap kota memberikan ceramah di masjid-masjid terisi penuh. Pada tahun 2001,

Sheikh Nazim, membuat "Naqshbandiyah Al-Haqqani Timur World Tour Muslim

World", didampingi dua putranya Sheikh Mehmet Adil dan Haji Bahauddin,

Sheikh Hisham Kabbani, dan kontingen besar mahasiswa. Perjalanan dimulai di

Istanbul, dari mana rombongan terbang ke Uzbekistan, kemudian Jepang,

Singapura, Indonesia, Malaysia, Sri Lanka dan Pakistan. Dalam perjalanan dari

perjalanan ini, Syeikh Nazim bertemu dengan orang-orang dari semua lapisan

masyarakat, di mana pejabat tertinggi dan pemimpin untuk rakyat biasa. Syeikh,

meskipun usia lanjut, mampu mempertahankan jadwal yang sangat sibuk rapat,

pidato, pertemuan dzikir dan pertemuan spiritual dengan sedikit atau tanpa

istirahat selama empat puluh hari dan menempuh jarak lebih dari 15.000 mil.

Syeikh Nazim membuat perjalanan terakhirnya ke Amerika Serikat pada tahun

2000, di mana ia diundang untuk berbicara di sebuah konferensi PBB tentang

Agama dan Spiritualitas.118

Syeikh Nazim mempertahankan hubungan dekat dengan beberapa tokoh

politisi, termasuk presiden terakhir dari Turki, Turgut Ozal, dan Turki-Siprus

pemimpin Rauf Denktas. Selama perjalanannya di Asia Tenggara, ia memberi

berkat rohani kepada Yang Mulia Sultan Hassanal Bolkiah dari Brunei, Yang

Mulia Sri Sultan Hamengkubuwono X dari Yogyakarta dan beberapa anggota

keluarga kerajaan Malaysia, termasuk Yang Mulia Pangeran Raja Dato 'Seri

Ashman Shah, yang menerima inisiasi ke urutan Naqsyahbandi-Haqqani dari


118
Aziz Masyhuri, Ensiklopedi 22 Aliran Tarekat Dalam Tasawuf, hal. 164.
61

tangannya. Dia juga sering kali ke India, Pakistan, dan Sri Lanka di mana ia

menerima sambutan besar. Syeikh Nazim telah berziarah ke Mekkah sebanyak 27

kali. Sejak tahun 2010, ia tinggal di rumah keluarganya dan Dergah spiritual, di

Desa Lefke, Siprus Utara di mana banyak pengikut di seluruh dunia

mengunjunginya untuk mendapatkan keuntungan dari kebijaksanaan dan ajaran-

ajarannya. Pada tanggal 7 Mei 2014, Mawlana Syeikh Nazim meninggalkan

dunia. Akan tetapi pengaruh masih terasa di Dergah di Siprus. Dia mengakui

putra sulungnya, Syeikh Muhammad Adil al-Haqqani, dan Syeikh Hisyam

Kabbani sebagai penggantinya. Yang terakhir ini sekarang Pemimpin spiritual

dari Naqshbandi-Haqqani Order.119

C. Silsilah Keemasaan

Silsilah Tarekat ini adalah “nisbah” hubungan guru terdahulu sambung

menyambung, silsislah itu bagaikan kartu nama dan legitismasi seorang guru:

menunjukan ke cabang tarekat yang ia masuk ke dalamnya dan bagaimana

hubunganya dengan guru-guru lainnya.120 Nabi Muhammad ibn Abd Allah, Shalla

Allahu `alayhi wa alihi wa sallam, Syeikh-Syeikh dari Tarekat Naqsybandi

dikenal sebagai Silsilah Keemasan karena koneksi mereka terhadap manusia

paling sempurna, Nabi Muhammad, manusia paling agung, yang pertama

diciptakan, yang pertama disebutkan, yang pertama dimuliakan. Beliau

119
Nazim al-Haqqani ar-Rabbani, GOUTTES des Océans infinis de Miséricorde, hal. 6.
120
Martin Van Brusinessen, Tarekat Naqsybandi di Indonesia, Survsei Historis, Geografis
dan Sosiologis, (Bandung: Mizan, 1992), hal. 48.
62

menghindari segala jenis keterikatan, bahkan dengan keluarganya.  Beliau selalu

dalam keadaan meditasi dan tafakur, melayang di Samudra Zikir Kalbu.121 

Silsilah guru-guru Naqsyabandiyah yang berbeda satu sama lain, tentu saja

tetap turun sampai Bahauddin Naqsyabandiyah semua silsilah itu serupa. Berikut

adalah silsilah tarekat Naqsyabandiyah Al-Haqqani yang juga disebut sebagai

rantai emas:

1. Nabi Muhammad bin Abdullah Saw.

2. Abu Bakar as-Shiddiq r.a.

3. Salman al-Farisi r.a.

4. Qassim bin Muhammad bin Abu Bakar r.a.

5. Jafar as-Shaddiq r.a.

6. Thayfur Abu Yazid al-Bistami

7. Abu Hassan Ali al-Kharqani

8. Abu Ali al-Farmadi

9. Abu Yaqub Yusuf al-Hamadani

10. Abul Abbas, al-Khidr

11. Abdul Khaliq al-Ghujdawani

12. Arif ar-Riwakri

13. Khwaja Mahmud al-Anjir al-Faghnawi

14. Ali ar-Ramitani

15. Muhammad Baba as-Samasi

16. as-Sayyid Amir Kulal

17. Imam Tarekat Muhammad Baha-uddin Shah Naqsahband


121
Nazim Adil al-Haqqani, The Sufi Path Of Love, (Sri Lanka: Mureeds, T.t), hal. 9-10.
63

18. Ala’uddin al-Bukhari al-Attar

19. Yaqub al-Charkhi

20. Ubaydullah al-Ahrar

21. Muhammad az-Zahid

22. Darwish Muhammad

23. Muhammad Khwaja al-Amkanaki

24. Muhammad al-Baqi Billah

25. Ahmad al-Faruqi as-Sirhindi

26. Muhammad al-Masum

27. Muhammad Sayfuddin al-Faruqi al-Mujaddidi

28. as-Sayyid Nur Muhammad al-Badawani

29. Syamsuddin Habibullah.

30. Abdullah ad-Dahlawi.

31. Khalid al-Baghdadi

32. Ismail Muhammad asy-Syirwarni

33. Khas Muhammad Syirwani

34. Muhammad Effendi al-Yaraghi

35. Jamaluddin al-Ghumuqi al-Husayni

36. Abu Ahmad as-Suqhuri

37. Abu Muhammad al-Madani

38. Syarafuddin ad-Daghestani

39. Sulthanul Auliya Abdullah al-Fa-iz ad-Daghestani

40. Sulthanul Auliya Muhammad Nazim Adil al-Qubrusi al-Haqqani


64

41. Sulthanul Muhammad Hisham Kabbani al-Haqqani. 122

Berdasarkan data silsilah tarekat tersebut, dapat disimpulkan bahwa Syekh

Muhammad Nazim al-Haqqani mempunyai keterkaitan satu sama lain dengan

Sayyid ‘Abdul Qadir Jailani dan Jalaludin Rumi, pemimpin-pemimpin tarekat

besar dan shahih. 123

D. Masuk dan Berkembangnya Tarekat Naqsyabadiyah Al-Haqqani di

Indonesia

Tarekat Nasyabandiyah Al-Haqqani pertama masuk ke Jakarta pada bulan

April 1997. Orang yang pertama membawa tarekat ini ke Jakarta adalah Syekh

Muhammad Hisham Kabbani. Beliau adalah seorang Ulama Ahl Sunnah wal

Jama’ah dengan wawasan dan pengalaman luas, serta memililki pengaruh da’wah

yang signifikan baik di tempat asalnya Beirut, atau dunia Internasional. Beliau

adalah keturunan Nabi Muhammad SAW baik dari jalur ayah atau pun ibunya.

Latar belakang pendidikan beliau diawali dengan bidang kimia di American

University of Beirut, selanjutnya melanjutkan studi dalam bidang kedokteran

specialis anak University of Louvain, Belgia. Semua diselesaikan dalam waktu

yang singkat sehingga beliau sempat menyelesaikan gelar pula dalam bidang

Syariah Islam dari Al-Azhar Univerty, Damaskus, Syria hingga ke tingkat

Masterate dalam bidang Tasawuf, ilmu tafsir Qur’an, dan Ma’rifah beliau

122
Muhammad Hisham Kabbani, Classical Islam and the Naqshabandi sufi Tradition,
(America: ISCA, 2004), hal. 196.
123
Nazim Adil al Qubrusi al-Haqqani, A Naqshbandi Book of Devotions, (Sri Lanka:
Flower Terrace, 1989), hal. 4.
65

dibimbing oleh Grand Shaykh Abdullah Faiz Ad-Daghestani dan Syekh

Muhammad Nazim Al-Haqqani selama kurang lebih 30 tahun.

Ayahnya seorang pendukung kuat gerakan muslim, terutama pada saat

pemerintah Gamal Abdul Nasser (Presiden Mesir). Salah seorang pamannya

adalah pemimpin Majelis Ulama di Lebanon. Beliau juga menantu dari Syekh

Muhammad Nazim Adil Haqqani, di mana ia menikahi putrinya yaitu Hj. Nazihe

adil dan di karuniai 3 putra dan 1 putri, serta beberapa cucu yang semuanya di

Fenton, Michigan.

Pada tahun 1991 atas perintah Syekh Nazim, Syekh Hisham

melangkahkan kakinya untuk memulai dakwah di benua Amerika. Pada saat itu

beliau memulai di California, sejak saat itu pula beliau di tasbihkan sebagai

khalifah Syekh Muhammad Nazim al-Haqqani. Misi dari Syekh Hisham adalah

untuk menyebarkan ajaran sufi dalam konteks persaudaraan umat manusia dan

kesatuan dalam kepercayaan kepada Tuhan yang terdapat dalam semua agama dan

jalur spiritual. Usahanya diarahkan untuk membawa spektrum keagamaan dan

jalur-jalur spiritual yang beragam ke dalam keharmonisan dan kerukunan.124

Secara kejama’ahan, masyarakat Naqsyabandiyah al-Haqqani di Indonesia

secara resmi mulai tergelar kebersamaannya sejak ditunjuknya K.H. Mustafa

Mas’ud sebagai representatife (wakil) pertama dari As-Sayyid Mawlana Syekh

Muhammad Nazim Adil Haqqani an-Naqsyabandi untuk Indonesia pada tanggal 5

April 1997. Penunjukan dan bai’at sebagai representatif dilaksanakan oleh As-

Sayyid Mawlana Syekh Muhammad Hisham Kabbani (khalifah Naqsyabandiyah

Al-Haqqani untuk benua Amerika) pada kunjungan perdana beliau pada saat itu.
124
Yayasan Haqqani Indonesia, Ahl Haq Vol. 4. (Jakarta: t.t), hal. 11.
66

Kedatangan tersebut bermula dari pertemuan beliau dengan beberapa Muslim

Indonesia yang tinggal di California, di mana mereka secara konstan mengikuti

ritual sohbet (ceramah) Naqsyabandiyah al-Haqqani di USA, shalat jum’at, dzikir

Khatam Kwajagan, dan lain sebagainya, di masjid Mountain View, CA sebagai

salah satu masjid utama jama’ah Naqyabandiyah al-Haqqani Amerika.125 Pada

akhirnya Syekh Muhammad Hisham Kabbani selaku khalifah Syekh Nazim di

USA bertemu dengan para muslim Indonesia dan Mahasiswa (M. Hadid Subki)

yang sedang berada di San Jose, CA. Selanjutnya beliau mengutarakan

maksudnya untuk membuka hubungan ke Indonesia atas perintah Mawlana Syekh

Muhammad Nazim Haqqani.126

Persiapan yang dilaksanakan di Jakarta membawa saudara farid Bubbi

Djamirin bertemu dengan K. H. Mustafa Mas’ud. Pada dua kunjungan berikutnya

Syekh Muhammad Hisham Kabbani mentasbihkan empat ulama lainnya sebagai

representatife (wakil) dari Syekh Muhammad Nazim Adil Haqqani yang tersebar

di Jawa Barat, Jakarta dan Jawa Tengah. Mereka adalah Kyai H. Tauriqurrahman

al-Subky (Wonopringgo, Pekalongan), Al Habib Lutfi bin Yahya (Pekalongan

Jawa Tengah), K.H.Q. Ahmad Syahid (Nagrek, Jawa Barat), dan Al Ustadz H.

Wahfiuddin, MBA (Jakarta). Mereka ini secara resmi sudah diizinkan untuk

membai’at, memberikan ceramah kepada para jamaah tarekat Naqsyabandiyah al-

Haqqani di daerah masing-masing.127


125
Julia Day Howell dan Martin van Bruinessen, “Sufime dan “Modern” dalam Islam”,
dalam buku ,Urban Sufism, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2008), hal. 15.
126
Yayasan Haqqani Indonesia, Profil Yayan Haqqani Indonesia, (Jakarta: PT Jayakarta
Agung Offset, t.t), hal .1.
127
Michael Laffan, « From alternative medicine to national cure. Another voice for the Sûfî
orders in theIndonesian media », Archives de sciences sociales des religions [Online], 135 | juillet
septembre 2006, Online since 16 October 2009, connection on 21 April 2019. URL :
http://journals.openedition.org/assr/3757
67

Kunjungan kedua dilaksanakan pada tahun 1998, di mana Syekh Hisham

mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh Agama dan MUI di Jakarta seperti

Prof KH. Ali Yafie, dan sesepuh Pengurus Jami’ah Mu’tabaroh, Dr. KH. Idham

Chalid. Sedangkan kedatangan yang ketiga dilaksanakan pada tahun 2000. Di

mana perjalanan dakwah beliau di Indonesia berjalan baik dan mulus ditandai

dengan didirikannya Zawwiyah Naqsyabandiyah Al-Haqqani pertama kalinya di

wilayah kampong Melayu, Jakarta sampai beberapa tempat tersebar untuk

diadakannya dzikir Khatam Kwajagan dua kali seminggu sampai seiring

bertambahnya jama’ah dan murid beliau.128

Sampai saat ini murid beliau tersebar di Bandung, Jakarta, Cililin, Nagrek

dan pekalongan. Puluhan ribu santri beserta para pimpinan Pondok pesantren

Cililin (Al-Bidayah), Nagrek/Cicalengka (Al Falah), Wonopringgo, Pekalongan

(Al Taufiqy) menyerahkan bai’at Tarekat Naqsyabandiyah Haqqani kepada beliau

,atas nama Shaykh Muhammad Nazim Adil Haqqani An-Nasyabandi.129

E. Struktur Organisasi Tarekat Naqsyabandiyah Al-Haqqani di Indonesia

Antara abad ke-12 dan ke-13 M. tarekat mulai mengarah bentuknya

kepada suatu organisasi. Sejak tarekat terbentuk sebagai organisasi, maka

128
Luthfi Makhasin, “The Politics Of Contending Piety: Naqshbandi-Haqqani Sufi
Movement and the Struggle For Islamic Activism in Contemporary Indonesia”, Tesis diajakun
kepada The Australian National University, 2015, hal. 69.
129
Yayasan Haqqani Indonesia, Profil Yayasan Haqqani Indonesia (Jakarta: PT. Jayakarta
Agung Offset, t.t.), hal. 5-6.
68

mulailah tarekat tersebar ke berbagai daerah di dunia. Jumlah organisasi tarekat

menjadi semakin banyak dan macam-macamnya pun menjadi beraneka ragam.

Proses pertumbuhan organisassi tarekat itu sebenarnya pada mulanya

hanya merupakan suatu bentuk persatuan yang sederhana dan sukarela dari orang-

orang sufi, yang pada umumnya mereka adalah orang-orang miskin, tetapi setelah

organisasi itu menjadi popular, mulailah timbul jiwa persaudaraan di dalam

tarekat itu, dan mulai teratur pula sistem organisasinya. Sebagaimana organisasi

tarekat yang tumbuh dan hidup subur sampai abad ke 20 ini, unsur-unsur pokok

sebagai kriteria suatu organisasi secara umum, kiranya jelas menunjukkan bahwa

di dalam organisasi tarekat telah terdapat unsur-unsur pokok seperti yang terdapat

di dalam organisasi secara umum.130

Di dalam organisasi tarekat terdapat kelompok orang yang terdiri dari

seorang guru dan wakil-wakilnya serta para anggota atau murid-muridnya yang

jumlahnya beratus-ratus bahkan beribu-ribu orang. Sebagaimana diketahui bahwa

dalam organisasi tarekat terdapat tarekat induk dan tarekat cabang sehingga

membentuk hubungan vertikal. Karena itu jumlah dari kelompok anggota itu akan

mencapai jutaan orang. Di dalam organisasi tarekat terdapat kerjasama antar

anggota tarekat itu, karena mereka mempunyai tujuan dan amalan serta ajaran

yang sama bahkan mereka melakukannya di tempat yang sama. Dengan bentuk

organisasi tarekat sebagai ikatan dari pada kelompok orang, maka kegiatan dari

pada tarekat itu telah teroganisir di dalam suatu wadah atau organisasi.

Terorganisirnya anggota tarekat di dalam suatu wadah organisasi tarekat, maka

130
Martin Van Brusinessen, Tarekat Naqsybandi di Indonesia, Survsei Historis, Geografis
dan Sosiologis, hal. 34.
69

organisasi itu akan merupakan alat yang sangat efesien untuk mencapai tujuan

yang hendak dicapai.131

Tentang struktur organisasi sebagai kerangka yang akan menunjukan tata

kerja dan hubungan di dalam organisasi tarekat, meskipun tidak semodern dan

sekonkrit seperti di dalam organisasi modern itu, namun melalui petunjuk-

petunjuk lisan yang langsung diberikan oleh guru tarekat kepada murid-murid

atau anggota-anggotanya, dan juga dengan ajaran-ajaran yang diberikannya,

disertai sikap setia dari pada murid-murid atau anggota-anggota tarekat, maka

sistem dan pelaksanaan serta hubungan yang baik antara murid dengan gurunya,

atau antara murid dengan murid itu sendiri, telah menjamin hidupnya organisasi

tarekat itu.

Dengan terorganisirnya murid-murid tarekat itu, dapat diciptakan suatu

sistem kerjasama untuk membina dan mengemabangkan organisasi tarekat, dan

ternyata adanya cabang-cabang organisasi tarekat, telah mempermudah tersebar

luasnya organisasi tersebut ke seluruh dunia. Dengan demikian organisasi tarekat

merupakan alat perjuangan yang penting, efektif dan efisien. Sewaktu-waktu

potensi yang ada itu dapat digerakakkan dan dimanfaatkan untuk suatu

perjuangan.

Dalam perkembangannya struktur organisasi tarekat Naqsyabandiyah Al-

Haqqani di Jakarta menggunakan struktur organisasi modern. Sistem itu tetap

berada di bawah kontrol dan pengawasan seorang mursyid. Sebagaimana

layaknya sebuah organisasi modern, dalam keorganisasinnya tarekat

131
Farrer, Muslim In Global Societies Series: Shadows of the Prophet Martial Arts and Sufi
Mysticism Vol 2, (Singapore: Gabriele Marranci, 2009), hal. 157-158.
70

Naqsyabandiyah Al-Haqqani ini terdiri seorang ketua yang mengepalai dan

memegang peranan penting dalam organisasi, wakil, sekretaris, bendahara, dan

beberapa staf (pembantu umum) yang masing-masing mempunyai fungsi sesuai

dengan jabatan yang diembannya.

Struktur organisasi dan pengurus tarekat Naqsyabandiyah Al-Haqqani ini

dinaungi oleh Yayasan Haqqani Indonesia yang di dirikan oleh Syakh Muhammad

Hisham Kabbani. Meskipun kegiatan sudah berjalan sejak tahun 1997, secara

hukum Yayasan Haqqani Indonesia diresmikan pada akhir tahun 2000 sebagai

cabang Haqqani Foundation International yang sudah tersebar di beberapa

Negara.

Para pengurus Yayasan Haqqani sebagai adalah jama’ah tarekat

Naqsyabandiyah Al-Haqqani, tanpa tertutup untuk muslim/muslimat yang tidak

mengikuti tarekat untuk berpartisipasi. Pada prinsipnya mempunyai pola dasar

keorganisasian yang tidak berbeda dengan Haqqani lainnya. Yayasan mempunyai

fungsi sebagai paying kegiatan yang bersifat spiritual dan non-spiritual. Dalam

bentuk kelembagaannya, Yayasan Haqqani diharapkan mampu memiliki peran

yang strategis dan berkesinambungan dalam melaksanakan syi’ar Islam kepada

sesama umat manusia.132

F. Ajaran-Ajaran Tarekat Naqsyabandiyah al-Haqqani

Ada berbagai pendekatan yang dilakukan orang dalam menulis sejarah

sebuah tarekat, dan pendekatan itu tidaklah mudah diperdamaikan satu sama

lainnya. Anggota-anggota sebuah tarekat cenderung menekankan bahwa ajaran

dan amalan tarekat mereka tidak pernah berubah dan berlanjut terus, yang mereka
132
Liat di profil Yayasan Haqqani Indonesia
71

percayai sepanjang abad, dan diturunkan tanpa perubahan dari sang guru kepada

murid-muridnya.

Tarekat Naqsyabandiyah Al-Haqqani seperti halnya juga dengan tarekat

yang lainnya mempunyai beberapa tata cara peribadatan, teknik spiritual, dan

ritual tersendiri. Sebagai tarekat yang terorganisir, tarekat Naqsyabandiyah

mempunyai sejarah dalam rentangan masa enam abad, yang secara geografis

penyebarannya meliputi tiga benua. Hal ini berimplikasi pada warna dan tata cara

tarekat Naqsyabandiyah yang sangat bervariasi, menyesuikan masa, kondisi, dan

tempat tumbuhnya. Adaptasi ini terjadi karena beberapa hal, di antaranya adalah

karena keadaan yang memang berubah. Guru-guru yang berbeda memberi

penekanan yang berbeda dari asas yang sama, atau para pembaharu

memperkenalkan sesuatu yang lain dangan menghapuskan pola pikir tertentu.

Walaupun mempunyai tata cara yang berfariasi, namun tarekat ini mempunyai

asas atau ajaran dasar yang sama, sebagai acuan dan pengangan bagi para

pengikutnya.133

Betapa besarnya pengaruh dan wibawa guru tarekat di tengah-tengah

masyarakat, sehingga banyak orang yang tertarik kepada tarekat dan masuk

menjadi murid tarekat. Mereka mempunyai motifasi yang berbeda-beda di dalam

memasuki organisasi tarekat itu, baik itu karena adanya silsilah/hubungan dengan

musyid tarekat, karena sudah tua dan ingin mendekatkan diri dengan Tuhan

dengan cara mencari seseorang yang dapat membimbingnya untuk lebih dekat

dengan Tuhan, atau hanya karena trend. Tetapi pada umumnya mereka masuk ke
133
Widiyanto, Spirituality Amidst The Uproar Of Modernity: the Ritual of Dhikr and its
meanings Among Members Of Nasyabandiyah Sufi Order in Western Europe, Al-Jami’ah” , Al-
Jami’ah, Vol. 44, No. 2, 2006. hal. 256.
72

dalam tarekat ini karena ingin mendapatkan ketenangan jiwa, dan mendapat

keridhaan Allah.

Ajaran tarekat pada dasarnya berpangkal pada ajaran kebatinan atau

tasawuf, maka prinsip memalingkan perhatian terhadap soal-soal keduniaan, dan

mengarahkannya kepada mendapatkan keridhaan Allah, dengan menempuh cara-

cara seperti;

1. Cinta

Cinta adalah dasar utama dari keseluruhan praksis spiritual tarekat ini.

Bagi mereka segala sesuatu diawali dari cinta Allah dan digerakkan oleh cinta-

Nya.134 Cinta yang seperti ini menentukan karakter jalan spiritual dari tarekat ini,

yaitu jalan cinta, jalan cinta ini dimengerti sebagai sebuah tindakan sekaligus

pengosongan diri yang memiliki dua arah: “jika kamu mencintai Allah, maka

kamu juga harus mencintai setiap ciptaan-Nya dan berusaha menolong mereka

sebisamu” Mencintai ciptaan Allah, dan juga sesama, adalah perwujudan dari

cinta kepada Allah. Ciptaan Allah dan sesama manusia secara bersamaan menjadi

prasyarat untuk merealisasikan cinta kepada Allah. Cinta kepada ciptaan Allah

dan sesama manusia ditransendensikan: bukan lagi sekadar sebuah tindakan

horizontal, melainkan sekaligus sebuah tindakan vertikal. Status khusus manusia

menjadi dasar yang lain mengapa manusia harus mencintai ciptaan Allah.

Menurut tarekat ini, manusia adalah representasi dari cinta ilahi sehingga semua

ciptaan Allah yang lain memohon dicintai oleh manusia. Oleh karena itu sudah

134
Nazim Al-Haqqani, Love, Malaga: Sereseres Editions. 2008. Hal. 69.
73

seharusnya manusia menjadi mata air cinta bahkan menjadi samudera yang

dipenuhi oleh rasa cinta. 135

Nabi Muhammad SAW, di mana ia berdoa kepada Allah: "Ya Allah, saya

meminta Engkau untuk memberikan saya rasa cinta, dan kasih orang-orang yang

cinta. Engkau dan berilah aku, Oh Tuhanku, kasih tindakan-tindakan yang

menyebabkan saya mencintai Engkau".

Untuk meminta Tuhan kita membuka hati kita untuk Cinta Ilahi-Nya

adalah permintaan yang paling penting kita bisa membuat dari-Nya dalam doa-

doa kita, karena tidak ada yang bisa menggantikan cinta. Nabi Suci, yang disebut

Kekasih Allah, yang Allah dibuat dengan rasa cinta, dan yang Allah mencintai

beberapa seperti Dia didedikasikan penciptaan kepadanya, bahkan Nabi tercinta

ini meminta Allah untuk Cinta Ilahi - mengapa? Karena yang rasanya cinta yang

meminta lebih. Hati yang seperti batu tidak akan meminta Allah untuk cinta ini,

tetapi mereka yang memiliki rasa sedikit cinta yang tahu bahwa itu adalah kunci

untuk semua kemajuan spiritual, rahmat, keindahan, kebijaksanaan, untuk semua

nikmat yang Allah mungkin melimpahkan pada hamba-Nya. Oleh karena itu,

Nabi mengajarkan semua umat manusia apa yang berharga dalam hidup ini.136

Manusia menjadi sarana yang dipakai manusia untuk mencintai ciptaan-

Nya. Tindakan mencintai itu, ciptaan Allah dan sesama manusia bukanlah

menjadi objek yang dicintai, melainkan menjadi pintu masuk menuju perjumpaan

spiritual dengan Allah.137 Ajaran tentang cinta dapat dijelaskan dalam struktur

135
Ibid., hal. 47-48.
136
Nazim Adil Al-Haqqani, Mercy Oceans Rising Sun, Turkei: Sebat Offset Pr, 1986. Hal.
45
William C. Chittick, Jalan Cinta Sang Sufi: Ajaran-ajaran Spriritual Jalaluddin Rumi,
137

(Yogyakarta: Adipura, 2000), hal. 294.


74

ganda berikut: pertama, manusia haruslah mencintai ciptaan Allah dan sesama

demi/untuk Allah; dan kedua, manusia harus mencintai mereka karena Allah.

Keduanya disatukan oleh “sebuah spiritualitas memberi” (eine gebende

Spiritualität): manusia hidup untuk mencintai sekaligus mencintai agar hidup.

Cinta dalam ikatan yang mengikat hati, dasar di mana untuk membangun, jika

cinta adalah pondasi, bangunan. Pasti dia akan menahan semua gempa dan badai.

Oleh karena itu, cara kita adalah cara cinta. meninggalkan apa yang tidak disukai

Oleh-Nya dari mengikuti jalan itu dan mengubahnya untuk mengikuti dengan

tekun.138

Cinta dan kedamaian juga telah menjadi ciri bahkan inti ajaran yang hidup

dalam perilaku sehari-hari para murid tarekat ini. Melalui Syekh Nazim ia

berusaha mengenalkan kepada masyarakat tentang keramahan Islam sekaligus

menentang gerakan Islam radikal. Dengan pertolongan para wakilnya yang diberi

mandat untuk membimbing para murid Tarekat Naqshbandiyah Haqqani di

Amerika dan Asia, Syekh Hisham Kabbani, tarekat ini telah mendirikan beberapa

organisasi yang sangat peduli dengan upaya membangun perdamaian dan

kerukunan antar umat beragama.

2. Dzikir

Awal mula tarekat Naqsabandiyah bisa dirunut kembali ke tradisi sufi yang

berkembang di Asia Tengah yang biasa disebut Khwajagan. Kata Khawajagan

berasal dari bahasa Persia khwaja yang berarti sebutan “Tuan” dan kemudian

138
Nazim Adil Al-Haqqani, Mercy Oceans Divine Sources, England: Summer, 1983. Hal.
78.
75

digunakan secara luas sebagai gelar bagi mursyid-mursyid tasawuf khususnya di

wilayah Asia Tengah, yang pertama kali disematkan kepada Abdul Khaliq

Ghijduwani. Dialah yang sebenarnya dianggap sebagai pendiri pertama tarekat

Naqsabandiyah. Meskipun begitu, nama Naqsabandiyah diambil dari tokoh sufi

lain bernama Muhammad Bahauddin Naqshband atau juga dijuluki Syah

Naqshband. Dalam Tarekat Naqsybandi, latihan spiritual harian dan zikir bersama

mingguan yang dikenal sebagai Khatmu ’l-Khwājagān merupakan praktik yang

penting yang tidak boleh ditinggalkan oleh murid. Zikir Khatmu ’l-Khwājagān

dilakukan dengan posisi duduk bersama Syekh dalam suatu majelis. Zikir ini

dilakukan seminggu sekali, khususnya pada Kamis atau Jumat malam, dua jam

sebelum matahari terbenam. Zikir Khatmu ’l-Khwājagān terdiri atas dua kategori,

yaitu khatm panjang dan khatm pendek.139

Para peserta khatam haruslah mempunyai adab di antaranya:

1. Suci dari hadas dan najis.

2. Di ruang khusus dan tertutup serta sunyi dari keramaian.

3. Khusyuk dan hadir hati kepada Allah Swt, seolah-olah dalam

mengabdikan diri kepada-Nya, para peserta zikir melihat-Nya. Jika

tidak melihat-Nya, maka Dia melihat kita (para peserta zikir).

4. Peserta yang hadir harus dengan seizin Syekh.

5. Pintu dalam keadaan tertutup, dilakukan agar hatinya lebih tenang.

Dengan demikian, melaksanakan zikirnya juga akan bisa lebih

khusyu’.

139
https://www.academia.edu/22410362/Dzikir_Khatmu_lKhw%C4%81jag%C4%81n di
akses pada 12 juli 2019.
76

6. Memejamkan pelupuk mata dari permulaan hingga selesai.

7. Berusaha sungguh-sungguh melenyapkan lintasan dan getaran dalam

hati, sehingga tidak sampai lalai dari mengingat Allâh Swt.

8. Duduk dengan posisi kebalikan dari duduk tawarruk dalam shalat.

Dengan posisi duduk seperti ini diyakini lebih merendahkan diri. 140

Tarekat ini, mursyid telah mengatakan bahwa jika seseorang tidak

melakukan dzikir harian (meditasi setiap hari, biasanya diucapkan "zicker") itu

tidak akan merusak hubungannya dengan tarekat (sufi jalan) kami, dia masih akan

sehubungan dengan tarekat kami, tetapi orang yang berhenti pergi ke sebuah

kelompok majelis dzikir tarekat dalam waktu seminggu sekali, ia akan dibuang

dari tarekat. Begitu juga bermalas-malasan, tidak melakukan praktek sehari-hari

tidak peduli akan amaliyah tarekat, akan tetapi jika melakukan amaliyah dari

mursyid yang awliya (orang kudus) dan Syeikh dari tarekat akan menjaga dia di

dalam tarekat; menghadiri dzikir mingguan, mungkin di hari Jumat malam,

mungkin Minggu malam, mungkin Kamis malam tidak masalah.141

Prinsip metode spiritual tarekat Naqsyabandiyah Al-Haqqani ini adalah

dzikir khafi dan dzikir jahir, Syekh Nazim menggabungkan kedua dzikir tersebut

untuk diamalkan dan diajarkan kepada murid-murid beliau. Dzikir khafi lebih

sering dilakukn sehari-hari, sedangkan dzikir jahir lebih sering dilakukan secara

berjama’ah. Adapun amalan dari Tarekat Naqsybandi Haqqani ini adalah dzikir

Mubtadi (dzikir harian untuk pemula), dzikir Mustaid (dzikir harian untuk tingkat

persiapan), dzikir Ahlul’ Azim (dzikir harian untuk tingkat mapan atau dzikir
140
Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Multabarah di Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2005), hal. 112.
141
Ibid.,
77

untuk menghidupkan Ashrar “qalbu paling dalam”), serta dzikir khatm

Khwajagan, Khatm, artinya penutup, atau akhir, Khwajakan, berasal dari bahasa

Perisa artinya Syekh-Syekh. 142 Khatm khwajagan, artinya serangkaian wirid, ayat,

shalawat, dan doa yang menutup setiap dzikir berjamaah, dan selalu dibaca setiap

selesai mengerjakan shalat wajib. Khatm dianggap sebagai tiang ketiga

Naqsybandi, setelah dzikir ism al-dzat dan dzikir nafi wa itsbat.143

Wirid Khatm khwajagan di antaranya:

1. Pertama yang dilakukan pada saat dzikir ini dimulai adalah diawali

dengan niat yang tujuannya tidak lain adalah untuk memperoleh

keridhaan dari Allâh Swt. selama dzikir khātam khawajagan

berlangsung.

2. Setelah niat, membaca syahadat sebanyak tiga kali.

3. Membaca istighfâr sebanyak 70 kali.

4. Rabithatusy-Syarîfah, yakni menghubungkan qalb jamaah dengan qalb

Syekh, kemudian dari Syekh ke Rasûlullâh Saw., dan melalui

Rasulullah Saw. dihubungkan lagi hingga sampai kepada kehadirat

ilahi. 144

5. Membaca surat al-Fatihah sebanyak tujuh kali.

6. Membaca shalawat (shalawatusy-Syarîfah) sebanyak 100 kali.

7. Membaca surat Alam Nasyrah sebanyak 79 kali.

142
Lihat Wiwi Siti Sajaroh, “Tarekat Naqsyabandiyah: Menjalin Hubungan Harmonis
dengan Kalangan Penguasa”, dalam Sri Mulyati (ed), Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat
Muktabarah di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005, hal.112.
143
Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat:Dimensi Esoteris Ajaran Islam, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2012), hal. 148.
144
Nazim Adil Al-Haqqani, On the bridge to Eternity, South Africa: Gatesville, 2012. Hal.
62.
78

8. Membaca surat al-Ikhlâs dan basmalah sebanyak 1001 kali.

9. Membaca al-Fatihah sebanyak tujuh kali.

10. Syekh kemudian kembali meminta jamaah untuk membaca shalawat

Nabi Saw. sebanyak 100 kali.

11. Syekh atau seseorang yang ditunjuk olehnya kemudian membaca surat

Yusuf ayat 101.145

Pelaksanaan dzikir berjama’ah, Syekh Nazim juga mempopulerkan lagi

tarian berputar (biasa disebut Whirling Darwis atau Darwis Rumi). Yang pertama

kali dilakukan oleh Sayyidina Abu bakar dan di populerkan oleh Syekh Jalaludin

Rumi pendiri tarekat Maulawiah. Tarian ini diiringi musik Shalawat (Hadrah).

Dzikir harian Syekh Nazim mengajarkan kita untuk muraqabah, karena dengan

muraqabah kita dapat menyatukan hati kita kepada Tuhan kita dan mata brantai

emas (silsilah), dan itu dilakuan hampir sesering mungkin. Amalan inilah yang

paling di tekankan oleh Syekh Nazim agar kita selalu berhubungan dengan Allah

dan Syekh-Syekh kita.

3. Khalwat Dar Anjuman

Dalam menerangkan makna khalwat dar anjuman, Bahauddin mengatakan

bahwa seseorang seharusnya secara lahir berada bersama dengan makhluk dan

secara batin bersama Tuhannya. Dengan ibarat lain, tangannya bekerja sedang

hatinya bersama al-Haqq.146 Secara bahasa, khalwat dar anjuman bermakna

145
Bahruddin Zakariya, Sabilus Sâlikin: Jalan Para Sâlik Ensiklopedi
Tharîqah/Tashawwuf, Pasuruan: Pondok Pesantren NGALAH, 2012. Hal. 710.
146
Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia,
2000), hal. 30.
79

khalwat di tengah keramaian atau dalam bahasa Arab disebut al-khalwah fî al-

jalwah. Abdul Ghani al-Nablusi menjelaskan maksud dari perkataan ini adalah

seseorang secara lahir tampak seperti orang pada umumnya, baik dari cara

bicaranya, makan, minum, dan tingkah lakunya, bahkan termasuk cara

berpakaian. Dia tidak menyelisihi adat dan pola hidup orang sekitarnya. Hanya

saja dia selalu menghiasi hatinya dengan zikir.147

Hal ini berbeda dengan praktik khalwat lahir yang mana seseorang

menampakkan dirinya berbeda dengan orang lain, baik dengan mengasingkan diri

ataupun berpenampilan berbeda. Khalwat lahir sering menimbulkan adanya rasa

superioritas secara spiritual pada diri pelakunya. Tidak jarang hal itu lalu

mengundang perhatian manusia. Ketika perhatian manusia sudah tertuju pada diri

seseorang, sangat rentan orang tersebut terjebak dalam penyakit hati berupa takjub

diri, riya, sumah, ataupun takabur. Alih-alih dia terselamatkan dari fitnah yang

tersebar di tengah masyarakat, dia justru terjatuh dalam sebuah kesyirikan

tersembunyi, yaitu kesombongan.148

Prinsip khalwat dar anjuman juga menggambarkan, bahwa kesetiaan

seseorang kepada jalan tasawuf tidak melazimkannya meninggalkan pencapaian

materi dan keduniawiaan. Meskipun seseorang telah dibaiat ke dalam tarekat, dia

tetap bisa menjalankan kegiatan kesehariannya dan pekerjaannya. Maka dari itu,

keanggotaan dalam tarekat Naqsabandiyah cenderung bersifat lebih terbuka dan

longgar karena memungkinkan siapapun, meskipun seorang pedagang pasar,

147
Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Multabarah di Indonesia, hal.
103.
Fuady Abdullah, “Spiritualitas Sosial Tarekat Naqsabandiyah: Kajian terhadap Prinsip
148

Khalwat Dar Anjuman”, Jurnal TSAQAFAH: Volume 14, Number 2, November 2018, hal. 229-
230.
80

untuk bergabung dalam tarekat dengan tetap menjalankan berbagai kegiatan

perdagangannya. Komunitas yang terbentuk pun cenderung lebih bersifat inklusif.

Namun, sesuai prinsip ini, begitu sibuknya seseorang mencukupi kemaslahatan

keduniawiannya dengan perdagangan, hatinya harus tetap terjaga mengingat

Allah. Dengan menghadirkan Allah dalam hatinya, dia akan senantiasa

mengawasi apa niatannya dalam melakukan setiap perbuatan dan juga apakah

tindakannya sesuai dengan batasan-batasan syariat. Dengan begitu, apa yang dia

lakukan sahih secara niat dan sah secara syariat.

Apapun yang seseorang kerjakan, hatinya sibuk dengan mengingat Allah

dan selalu merasakan kehadiran-Nya meskipun berdagang di pasar, bercocok

tanam di sawah, atau bahkan ketika menjadi seorang gubernur dalam

pemerintahan. Kondisi ini mungkin rumit untuk dapat dicapai dan dilakukan

seseorang. Namun dalam tarekat, seseorang bisa lebih mudah menggapainya di

bawah bimbingan seorang mursyid yang memberikan arahan-arahan khusus

baginya.

Prinsip khalwat dar anjuman menuntut seseorang untuk terlibat secara

aktif dalam ranah sosial dan politik. Dia harus berkontribusi dan menjadi agen

perubahan sosial masyarakat menuju masyarakat yang berkomitmen pada syariat

Islam dan sejahtera. Keterlibatan dalam masyarakat dapat dianggap sebagai

bagian dari perjalanan mistis seseorang. Sebagai salah satu perwujudannya, tidak

jarang khanqah tarekat Naqsabandiyah menyediakan tempat bernaung bagi para

musafir atau menjadi pengungsian ketika terjadi peperangan. Para mursyid tarekat

Naqsabandiyah juga terkenal terlibat aktif dalam politik. Dalam sejarahnya, dari
81

mereka ada yang menjadi orang terdekat dari khalifah atau ada juga yang

membakar semangat dan memimpin perang melawan kelaliman, sesuai situasi

kondisi di mana mereka berada. Tidak hanya terhadap masalah-masalah sosial-

politik yang dihadapi masyarakat, keaktifan mereka juga pada gerakan pemurnian

agama Islam.149 Di saat yang sama, ketika mereka melakukan perlawanan politik,

mereka juga terlibat dalam ketegangan dengan tarekat lain karena kritik mereka

terhadap beberapa praktik yang dinilai menyalahi dan menyimpang dari syariat.

Sehingga dari penerapan prinsip khalwat dar anjuman pada tingkat ini, tarekat

Naqsyabandiyah dapat diidentifikasikan dengan sikap reformisnya di berbagai

bidang.

Sebagai manifestasi dari konsep khalwat dar anjuman, di antara karakter

yang menonjol dari tarekat Naqsabandiyah sebagaimana telah disebutkan

sebelumnya adalah kemasyarakatan dan aktivisme sosialnya. Daripada

mengisolasi dan mengasingkan diri, tarekat ini mengarahkan para muridnya untuk

berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan sosial dan kegiatan-kegiatan

kemasyarakatan. Apabila seorang murid hidup di sebuah masyarakat tertib dan

sejahtera dengan menjalankan ajaran-ajaran Islam, kesehatan spiritualnya justru

didapatkan dan bertambah dengan berinteraksi dan terlibat secara aktif dalam

kehidupan sosial bersama mereka. Namun sebaliknya, ketika struktur dan kondisi

kemasyarakatan jauh dari ajaran-ajaran Islam, menjadi tugas dan latihan spiritual

bagi mereka untuk melakukan dakwah dan pembenahan.

149
Cambridge Muslim College, Shaykh Abdal Hakim Murad - Riding the Tiger of
Modernity (2016), https://www.youtube.com/watch?v=07Ien1qo_qI&t=51s.
BAB IV

BENTUK-BENTUK AKTIVITAS SOSIAL

TAREKAT NAQSYABANDIYAH AL-HAQQANI

A. Dasar Kesalehan Sosial Tarekat Naqsyabandiyah Al-Haqqani

Mengenai penelitian yang dilakukan oleh peneliti, termasuk wawancara

dengan syekh dan beberapa tokoh sentral Tarekat Naqshbandiyah Haqqani di

beberapa kota (Depok, Jakarta dan Yogyakarta), ditemukan bahwa prinsip

khalwat dar anjuman yang sebelumnya menjadi dasar penting keterlibatan sosial,

ternyata oleh mereka ditempatkan sebagai salah satu tahap spiritual (maqām) yang

dapat dicapai oleh mereka yang sudah terlebih dahulu berhasil melewati tahapan-

tahapan sebelumnya. Khalwat dar anjuman sebagai sebuah keadaan menyepi di

tengah keramaian baru dapat dicapai oleh mereka yang memiliki kualitas batin

yang tinggi sehingga tidak mungkin dilakukan oleh para murid yang masih berada

di tahap awal “laku” tarekat.

Tentu saja temuan itu mendorong penulis untuk bertanya lebih jauh

tentang ajaran apa yang kemudian mereka gunakan sebagai dasar keterlibatan

mereka dalam pergaulan di masyarakat. Dari keterangan beberapa narasumber

Syekh Mustafa yaitu:

“Sebelum mengamalkan Khalwat dar anjuman, para pengikut tarekat

harus melewati tahapan-tahapan tertentu yang ada dalam ajaran

tarekat Naqsyabandiyah Al-Haqqani yaitu seperti taubat (pembersihan

diri), kalau kata Syekh Doni itu fungsi dunia sebagai “kamar mandi”.
83

Lalu gunakan dunia ini sebagai tempat ladang Akhirat, setelah

mencapai itu baru menjalankan Khalwat dar anjuman.”150

Peneliti menyimpulkan bahwa setidaknya ada dua ajaran terkait cara

pandang mereka terhadap dunia yang mendorong mereka untuk terlibat aktif

dalam dunia dan masyarakat, yakni dunia yang berfungsi sebagai “kamar mandi”

dan dunia sebagai ladang akhirat.

1. Fungsi Dunia sebagai “Kamar Mandi” (Ad-dunya Hamāmu)

Tarekat Naqsyahbandiyah Al-Haqqani memandang dunia sebagai sebuah

tempat yang ambivalen: di satu sisi dunia diyakini sebagai manifestasi cinta Allah,

tetapi di sisi lainnya dipandang sebagai penjara bagi manusia. Sebagai manifestasi

cinta Allah, dunia dianggap sebagai salah satu tujuan tindakan penciptaan Allah:

“agar Allah dikenal”.151 Artinya, dunia memancarkan kebaikan dan keindahan

ilahi, walaupun seperti yang dipahami oleh Ibn Arabi semuanya itu hanya sebuah

cermin yang tidak sempurna, tetapi melaluinya manusia dapat mengenal Allah.

Berbeda dengan yang pertama, memandang dunia sebagai sebuah penjara

bagi manusia justru menekankan pengaruh negatif dunia bagi manusia. Dalam

makna ini, dunia dipandang bukan sebagai manifestasi cinta Allah, melainkan

sebagai sebuah entitas yang buruk, bahkan bagi manusia tinggal di dunia adalah

sebuah hukuman.152

150
Wawancara khusus dengan Bapak Joko Sulistyo
151
5 Http://www.sufi smus-online.de/powerofLove. Diakses pada tanggal 11 November
2012.
152
Nazim Haqqani, Wege zu den Himmeln, Freiburg: Tt, 2007, hal. 26.
84

Jika pandangan negatif tentang dunia tersebut dibaca dalam terang Surat

Sajdah [32]:7 (“Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya

dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah”), kita dapat tiba pada satu

pemahaman bahwa sesungguhnya dunia pada dirinya sendiri tidak negatif.

Sumber masalahnya terletak pada ciptaan Allah yang tinggal di dalam dunia

tersebut. Mengapa demikian?

Jika kita perhatikan, Surat Sajdah [32]:7 berada dalam konteks penciptaan:

Allah adalah Pencipta surga dan buSmi (Surat Sajdah [32]:4–5). Itu berarti

sesungguhnya surga dan bumi itu secara kualitas adalah baik (karena yang

menciptakannya adalah Allah). Dalam bahasa Syekh Nazim, bumi yang

diciptakan dengan kualitas baik ini diciptakan Allah untuk manusia. Hanya saja,

walaupun sama baiknya, penghuni dari surga dan bumi sesungguhnya berbeda.

Dalam hal ini Syekh Nazim mengikuti pemahaman Ibnu Arabi yang mengatakan

bahwa malaikat dapat ditemukan di bumi seperti halnya di surga, tetapi di surga

tidak akan ditemukan setan. Seperti halnya Ibn Arabi, Syekh Nazim menganggap

setan sebagai tantangan sekaligus musuh yang jahat bagi manusia.153

Tradisi Quranik, setan mulanya adalah malaikat Allah yang sudah ada

sebelum manusia diciptakan dan tinggal di surga (Surat al-‘A’raf [7]:11–18).

Karena ketidakpatuhan untuk memberi hormat kepada Adam, maka setan dikutuk

dan tidaklagi menjadi penghuni sorga (Surat al-Hijr [15]:26–43). Dalam dialog

dengan Allah, setan kemudian meminta untuk diberi kesempatan menggoda dan

membuat manusia tidak patuh kepada Allah (Surat al-Hijr [15]:39).

153
Mukti Ali El-Qum, Spirit Islam Sufistik, (Bekasi:Mizan, 2011), hal.
85

Adanya kejahatan (sebagai akibatnya keberadaan setan di dunia) dari

kacamata sufisme dapat dipahami dalam dua makna. Makna yang pertama lebih

bersifat ontologis seperti yang dikembangkan oleh Rumi ketika ia menyebutkan

bahwa Allah menciptakan penderitaan agar kebahagiaan dapat dikenal Dunia

sesungguhnya mencakup semua hal yang berlawanan, seperti: baik-jahat atau

kawan-musuh. Tanpa keberadaan salah satunya, maka yang lain tidak akan

dikenal. Memakai pola pikir Rumi ini, maka kita dapat mengatakan bahwa ketika

Allah membiarkan setan untuk menggoda manusia supaya tidak taat, maka

kehendak Allah adalah agar manusia mengenal pentingnya sebuah ketaatan.154

Pemaknaan yang lain tentang keberadaan setan (baca: hal-hal jahat) di

dunia dikemukakan oleh Syekh Nazim. Menurutnya jahat dan baik terjadi di dunia

ini karena kehendak Allah dengan tujuan membebaskan manusia dari penjara

keterikatan kepada hal-hal material. Untuk menjelaskan maksudnya ini, Syekh

Nazim mengambil contoh kisah Adam yang mana, menurutnya, kejatuhan Adam

ke dunia karena ketidaktaatannya hanyalah untuk sementara waktu. Di dunia,

Adam menjalani sebuah proses “pembersihan” agar setelahnya ia dapat kembali

ke tempat asalnya, di surga. Dalam proses ini, dunia berfungsi sebagai tempat

pembersihan yang identik dengan fungsi “kamar mandi”. 155 Jika digambarkan

maka prosesnya akan seperti berikut.

154
William C Chittick, The Sufi Path of Love: The Spiritual Teaching of Rumi, ( New York.
1983), hal. 32.
155
Al-Haqqani, Wege zu den Himmeln,(Freiburg, 2007), hal. 26, lihat juga dalam buku,
Muhammad Nazim Adil al-Haqqani, Heavenly Wisdom: Contemporary Teachings of a Sufi
Master, (Cyprus: Spohr-Publishers, 2017), hal. 27.
86

Kembali kesurga

setelah pembersihan

Adam turun ke bumi

Karena ketidaktaatanya

Proses pembersihan dalam

“kamar mandi” dunia

Tarekat Naqshbaniyah Al-Haqqani memakai model permbersihan Adam

ini untuk memaknai kehidupan manusia di dunia. Dasar Al-Quran-nya adalah

Surat Al-Baqarah [2]:156: Innā lillāhi wa innā ilayhi rāji`ūn (‘manusia adalah

milik Allah dan akan kembali kepada-Nya’) yang menyatakan asal usul dan tujuan

manusia.156 Berkaitan dengan asal usul manusia, Syekh Nazim memberikan dua

penekanan:

a. Saat ini manusia sedang tertidur sehingga ia lupa bahwa ia sesungguhnya

berasal dari surga dan keberadaannya di dunia ini tidaklah untuk

selamanya.157

b. Dalam kehidupannya di dunia, manusia memiliki dua kecenderungan,

yakni berkehendak baik atau berkehendak jahat.158

Dua penekanan tersebut menunjukkan bahwa manusia pada dasarnya lemah.

Musuhnya tidak hanya setan, tetapi juga kelemahannya, egonya. Kelemahan ini

kerap membuat manusia lupa bahwa tujuan hidupnya bukanlah di dunia ini,
156
Nazim Haqqani, The Path to Spiritual Excellece, Fenton, 2006, hal. 32-33.
157
Nazim Haqqani, Wege zu den Himmeln, hal. 25.
158
Ibid., hal. 15.
87

melainkan kembali ke asalnya. Karena ketika dating ke dunia ini bersih, maka ia

juga harus bersih ketika akan kembali ke asalnya. Ini adalah prinsip yang tidak

dapat dibatalkan oleh manusia yang hidup di dunia. Itu berarti “perang” melawan

kelemahan diri sendiri dan godaan setan adalah situasi manusia selama hidup di

dunia ini.159 Meskipun demikian, tarekat ini meyakini bahwa manusia tidak

sendirian dalam menjalani perang itu. Allah mengirimkan utusannya, yakni nabi-

nabi, untuk mengajarkan bagaimana manusia membersihkan dirinya di dalam

dunia yang tidak bersih ini.

2. Dunia sebagai Ladang Akhirat (Ad-dunya Mazra’atul ’Ākhirat)

Masih berkaitan dengan pemaknaan dunia yang berfungsi sebagai “kamar

mandi”, pemaknaan dunia sebagai ladang akhirat ini didasarkan pada bagian

kedua dari Surat Al-Baqarah [2]:156, innā ilayhi rāji`ūn (kepada-Nya manusia

akan kembali). Tetapi mereka berkonsentrasi pada pertanyaan: bagaimana

manusia harus menjalani kehidupannya di dunia?

Ketika penulis wawancara dengan Syekh Mustafa, salah satu tokoh Tarekat

Naqshbandiyah Al-Haqqani di Yogyakarta, beliau menjawab pertanyaan penulis

tentang pandangan tarekat ini terhadap dunia dengan menyebutkan prinsip “Dunia

sebagai Ladang Akhirat”.160

“Prinsip ini sebenarnya tidak asing dalam tradisi Islam. Seorang Sufi

dari Tarekat Chistiyah, Rahman Baba, bahkan telah menggunakan

prinsip untuk menunjukkan makna positif dunia: “Dunia ini baik,


159
Wawancara dengan tokoh Tarekat Naqshbandiyah Haqqaniah Yogyakarta yaitu Syekh
Mustafa pada 23 Januari 2019.
160
Wawancara pada tanggal 10 Desember 2018.
88

sangat baik, dia adalah investasi untuk dunia yang akan datang.

Banyak manfaat yang didapat dalam dunia, tetapi hanya orang

bijaklah yang mengetahuinya.”161

Seorang Sufi yang lain menafsirkan prinsip ini sebagai prasyarat untuk

kontinuitas kehidupan: bagaimana manusia menjalani kehidupan di dunia ini akan

menentukan keadaannya di akhirat. Pendekatan Syekh Nazim untuk menafsirkan

prinsip ini tidaklah jauh berbeda dengan para Sufi yang telah disebutkan. Ia

mengawali penjelasannya dengan menegaskan kembali bahwa hidup di dunia ini

bukanlah tujuan manusia. Satu-satunya tujuan adalah akhirat dan semua yang ada

di dunia ini hanyalah alat (wasila) untuk mencapai tujuan utama. 162 Untuk itu ada

tiga hal yang harus menjadi orientasi manusia dalam menjalani kehidupan di

dunia ini:

a. Hati yang tidak terpikat pada dunia materi.

“Dalam dunia manusia boleh kaya selama kekayaannya dipergunakan

untuk memuliakan Allah.”163

Ini adalah prinsip Zuhd yang dikembangkan oleh Tarekat Naqshbandiyah

Haqqani. Ketika Syekh Mustafa mengatakan bahwa manusia boleh menjadi kaya

di dunia ini, maka bagi tarekat ini kekayaan pada dasarnya bukanlah hal yang

berdampak negatif untuk manusia. Semuanya bergantung pada bagaimana


161
Hanifullah Khan, “Mysticism Of Rahman Baba And Its Educational Implications”
(Disertasi pada Department of Social Sciences /Qurtuba University of Science and Information
Technology, Peshawar); http://prr.hec.gov. pk/Chapters/362S-2.pdf. Diakses pada tanggal 12 Juni
2019.
162
Http://saltanat-transcriptions.s3.amazonaws.com/german/2012-05
08.de.WorkForAkhirat.pdf. Diakses pada tanggal 24 Juni 2019.
163
Wawancara dengan tokoh Tarekat Naqshbandiyah Haqqaniah Yogyakarta yaitu Syekh
Mustafa pada 23 Januari 2019.
89

manusia menilainya dan untuk apa menggunakannya. Syekh Mustafa maupun

Syekh Nazim kemudian memberikan saran: selama kekayaan itu dipergunakan

untuk memuliakan Allah, maka kekayaan itu tidak akan membawa masalah bagi

manusia. Artinya kekayaan sesungguhnya bukan milik manusia dan tidak menjadi

tujuan hidupnya. Ini mengikuti apa yang dikatakan al-Qushayri yang didasarkan

pada Surat Al-Hadid [57]:23, “kamu tidak berduka atas apa yang hilang darimu

dan tidak bersuka atas apa yang kamu terima”. 164

Manusia harus mengendalikan hasratnya terhadap semua hal duniawi,

seperti: uang, popularitas, dan kekuasaan, karena jika tidak dapat mengendalikan,

maka hatinya akan terikat pada hal-hal tersebut.

b. Perang melawan musuh manusia.

Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa musuh manusia menurut tarekat

ini adalah ego dan hasrat manusia di samping juga setan. Musuh-musuh ini

membuat manusia lebih mencintai hal-hal duniawi dan menjadikannya sebagai

tujuan hidup. Yang menarik adalah Syekh Nazim memberikan metafora

peperangan melawan musuh itu sebagai berikut: “Semakin banyak harta benda

duniawi yang dimiliki seseorang di dunia ini, maka semakin banyak pula sawāb

(‘ganjaran baik’) yang akan diterimanya.” Dalam al-Quran ganjaran baik (sawāb

atau ṯawāb) selalu berhubungan dengan Allah sebagai pemberi ganjaran dan

perbuatan-perbuatan manusia di dunia (Surat Ali Imran [3]:145, 148; [4]:134).

Dalam kaitannya dengan orientasi tersebut, maka metafora tersebut mengandung

164
Abu ‘l-Qasim Al-Qushayri, Al-Risala al-qushayriyya fi ‘ilm altasawwuf (Al-Qushayri’s
Epistle on Sufi sm), Inggris: Garnet, 2007, hal. 135.
90

maksud agar manusia atau setidaknya para murid senantiasa berperang melawan

berbagai nafsu, ego, dan godaan setan di dunia ini karena:, Semakin banyak harta

benda duniawi yang dimiliki manusia, maka semakin sering pula setan, ego, dan

nafsu menggodanya. Tetapi, semakin sering musuh-musuh manusia menggoda

manusia, maka semakin berat perang melawannya. Maka, semakin berat perang

malawan musuh-musuh tersebut, maka semakin banyak ganjaran baik yang akan

diterima. Pernyataan yang telah disebutkan memperkuat apa yang dipahami oleh

Ibn Arabi bahwa siapa yang berhasil menundukkan dunia, maka ia akan

memperoleh surga.

c. Kesalehan sosial.

Bagi tarekat ini kesalehan sosial adalah upaya untuk membangun kehidupan

bersama yang lebih baik dengan berdasarkan dua hal: cinta dan berbela rasa

terhadap orang yang membutuhkan.

1). Cinta

Cinta adalah dasar utama dari keseluruhan praksis spiritual tarekat ini. Bagi

mereka segala sesuatu diawali dari cinta Allah dan digerakkan oleh cinta-Nya.

Cinta yang seperti ini menentukan karakter jalan spiritual dari tarekat ini, yaitu

jalan cinta Jalan ini dimengerti sebagai sebuah tindakan devosi sekaligus

pengosongan diri yang memiliki dua arah: “jika kamu mencintai Allah, maka

kamu juga harus mencintai setiap ciptaan-Nya dan berusaha menolong mereka

sebisamu”.165
165
Nazim Al-Haqqani, Love, (Malaga: Sereseres Editions, 2008), hal. 26.
91

Mencintai ciptaan Allah dan juga sesama adalah perwujudan dari cinta

kepada Allah. Ciptaan Allah dan sesama manusia secara bersamaan menjadi

prasyarat untuk merealisasikan cinta kepada Allah. Sehingga cinta kepada ciptaan

Allah dan sesama manusia ditransendensikan: bukan lagi sekadar sebuah tindakan

horizontal, melainkan sekaligus sebuah tindakan vertikal.

Status khusus manusia menjadi dasar yang lain mengapa manusia harus

mencintai ciptaan Allah. Menurut tarekat ini, manusia adalah representasi dari

cinta ilahi sehingga semua ciptaan Allah yang lain memohon dicintai oleh

manusia. Oleh karena itu sudah seharusnya manusia menjadi mata air cinta

bahkan menjadi samudera yang dipenuhi oleh rasa cinta. 166 Manusia menjadi

sarana yang dipakai Allah untuk mencintai ciptaan-Nya. Dalam tindakan

mencintai itu, ciptaan Allah dan sesama manusia bukanlah menjadi objek yang

dicintai, melainkan menjadi pintu masuk menuju perjumpaan spiritual dengan

Allah.

Ajaran tentang cinta tersebut dapat dijelaskan dalam struktur ganda berikut:

pertama, manusia haruslah mencintai ciptaan Allah dan sesama demi/untuk Allah;

dan kedua, manusia harus mencintai mereka karena Allah. Keduanya disatukan

oleh “sebuah spiritualitas memberi” (eine gebende Spiritualität): manusia hidup

untuk mencintai sekaligus mencintai agar hidup. Hal ini sejalan dengan hadits:

“tangan yang berada di atas lebih baik dari tangan yang berada di bawah karena

tangan yang di atas adalah pemberi dan tangan yang di bawah adalah pengemis”

(Hadits Bukhari 24, no. 15).

166
Ibid., hal. 47-48.
92

Cinta dan kedamaian juga telah menjadi ciri bahkan inti ajaran yang

dihidupi dalam perilaku sehari-hari para murid tarekat ini. Melalui Sufisme ia

berusaha mengenalkan kepada masyarakat tentang keramahan Islam sekaligus

menentang gerakan Islam radikal. Dengan pertolongan para wakilnya yang diberi

mandat untuk membimbing para murid Tarekat Naqshbandiyah Al-Haqqani di

Amerika dan Asia, Syekh Hisham Kabbani, tarekat ini telah mendirikan beberapa

organisasi yang sangat peduli dengan upaya membangun perdamaian dan

kerukunan antar umat beragama.167

2). Berbela Rasa Kepada Mereka yang Membutuhkan

Ketika Syekh Hisham Kabbani, wakil dari Syekh Nazim, berkunjung ke

Indonesia tahun 2009, ia berkesempatan memberikan khotbah di Masjid Istiqlal.

Dalam khotbahnya ia menghubungkan antara salām (‘damai’) dan tindakan untuk

memberikan makanan kepada orang-orang yang membutuhkan. Menurutnya,

seorang muslim tidaklah sungguh-sungguh membawa damai jika ia tidak

memperhatikan orang-orang yang membutuhkan (baca: miskin) yang berada di

sekitar lingkungannya. Khotbah ini sebenarnya mendorong umat Muslim untuk

memiliki spiritualitas memberi (gebende Spiritualität) sekaligus membawa sebuah

pemahaman bahwa memperhatikan dan berbela rasa kepada orang-orang yang

membutuhkan adalah sarana agar mereka dapat melepaskan keterikatan mereka

167
Seperti Islamic Supreme Council of America, sebuah organisasi pendidikan non-profit
dan non-pemerintah yang memberi perhatian secara khusus pada pengembangan karakter moral.
Kegiatan yang dilakukan organisasi ini antara lain ceramah untuk mempromosikan pandangan
Islam yang moderat dan mengadakan forum dialog lintas iman. Selain itu juga mendirikan Centre
for Spirituality and Cultural Advancement yang mempromosikan tradisi-tradisi Sufi untuk
perkembangan spiritual manusia serta mengupayakan perdamaian dan harmoni antar pemeluk
agama
93

kepada harta benda duniawi. Dengan kata lain, menolong orang-orang yang

membutuhkan merupakan bagian dari solidaritas dan keikutsertaan untuk

membangun sebuah keadilan sosial dalam masyarakat.

B. Pengaruh Tarekat Naqsyabandiyah Al-Haqqani Terhadap Kehidupan

Masyarakat

Sebagaimana manusia pada umumnya, selain menghambakan diri

sepenuhnya kepada Allah, manusia juga di tuntut untuk selalu hidup

bermasyarakat, dan tidak meninggalkan kewajiban-kewajiban yang telah

ditentukan seperti seorang suami yang berkewajiban memberi nafkah kepada

keluargannya.

Kewajiban berusaha bagi seorang hamba untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya, tentunya mempunyai batasan yaitu tidak boleh bergantung kepada

usaha itu karena di khawatirkan akan berkurangnya pengharapan terhadap rahmat

Allah ketika terjadi padanya suatu kesalahan dan dosa.168 Secara “zahir”, Syariah

menyuruh manusia berusaha, maka dari itu selain mengajarkan manusia untuk

selalu dekat kepada Allah, tarekat ini juga mengajarkan kapada para pengikutnya

agar dapat hidup mandiri dan tidak terperangkap dalam mengartikan kata “zuhud”,

dalam artian bahwa hidup bertarekat bukan berarti manusia harus meninggalkan

kehidupan dunia seutuhnya dan bukan harus bermalasan-malasan dalam berusaha

dengan dalih setiap manusia mempunyai rizki masing-masing dan sudah

ditetapkan tanpa harus berkerja keras dan berusaha maksimal.169

168
Syekh Ma’mur, Tasawuf, (Jakarta: Majlis Naqhtujamin, 2000), hal. 6.
169
Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 182.
94

Sehingga dalam usaha meningkatkan kesejahteraan ekonomi jama’ah

tarekat Naqyasabandiyah Al-Haqqani ini, dalam hal ini Yayasan Haqqani

Indonesia atau di luar Indonesia memberikan warna tersendiri dengan mendirikan

percetakan kitab-kitab yang biasa di baca oleh para pengikut tarekat, misalnya

amalan harian bagi para salik Naqsyabandiyah, kitab-kitab yang biasa di baca oleh

para pengikut tarekat, misalnya amalan harian bagi para salik Naqsyabandiyah,

kitab Dalail al-Khayrat, Manaqib, Asma ul-Husna, Sohbet dari Mursyid tarekat

Naqsyabandiyah Al-Haqqani, membuat kerajinan tangan, mendirikan band,

berternak ikan, bergerak dalam bidang filantropi dan lain sebagainya.

Dalam bidang keagamaan pengaruh ajaran tarekat ini sangat berarti bagi

masyarakat khususnya ikhwan/akhwat tarekat Naqsyabandiyah Al-Haqqani.

Setelah ikut ke dalam tarekat ini, mereka yang biasanya shalat karena paksaan dan

gengsi, maka sekarang shalat karena ingin bertemu dengan Allah. 170 Semua yang

mereka kerjakan terasa lebih enak, karena semua dikerjakan dengan rasa cinta.

Kalau kita sudah mengenal sesuatu dan kita mencintainya pasti kita akan

melakukan apapun untuk mendapatkannya.171 Mereka yang awalnya

mementingkan urusan duniawi dan sikap bias di bilang brutal, tetapi setelah ikut

tarekat ini mereka mulai memikiran tentang kehidupan kedepan (surgawi) dan

sekarang mereka bias bersikap lebih bersabar terhadap sesuatu hal.172

Tarekat ini sesungguhnya adalah pelajaran menjaga hati untuk menata diri

kita sendiri dari ego supaya tidak mencuat keluar, dan untuk sekarang pengaruh

yang dirasakan dari menjaga hal itu, yaitu lebih bias bersikap sabar terhadap
170
Wawancara Pribadi dengan Syahdan di Zawiyah Cinere, pada 21 Oktober 2017
171
Wawancara Pribadi dengan Sugiarto di Zawiyah Cinere, pada 21 Oktober 2017
172
Wawancara pribadi dengan Micky di Zawiyah Cinere, pada 21 Oktober 2017.
95

apapun, lebih ikhlas dan bisa lebih mencintai sesama. 173 Hidup juga menjadi lebih

berwarna, karena yang diajarkan dalam tarekat ini adalah cinta, maka yang kita

curahkan adalah cinta dan kasih sayang. Hidup juga menjadi lebih damai tenang

dan berarti karena semuanya itu jadi lebih indah. Syekh Nazim juga mengajarkan

untuk berpikiran positif maka semua yang kita lihat itu menjadi indah. Karena

suatu hal apapum kalau kita lihat dari hal yang positif insya Allah akan ikut positif

juga. Mereka tidak hanya melakukan ibadah lahir yang telah di tetapkan oleh

syariat, seperti shalat, puasa maupun menunaikan ibadah haji. Namun mereka juga

melakukan ibadah batin yaitu dengan mengamalkan ajaran-ajaran tarekat, seperti

berzikir dan lain-lain.

Akan tetapi zikir ini bukan suatu kewajiban karena sekarang kita berada di

zaman modern, dan banyak orang yang sibuk dengan kesibukannya masing-

masing, dan tidak mempunyai cukup waktu untuk melaksanakan dzikir tersebut.

Sehingga Syekh Nazim tidak pernah mempermasalahkan seberapa banyak dan

lama dzikir yang akan mereka lakukan. Akan tetapi jika mempunyai waktu untuk

melakukannya, baik itu siang, sore, malam ataupun subuh, maka akan baik sekali.

Karena dengan melakukan dzikir kita seperti menyemir hati hingga hati kita

menjadi baik dan bersih.

Bagi yang ingin menjadi ikhwan tarekat tidak ada persyaratan khusus

kecuali Islam dan baliqh. Dengan kedua syarat tersebut seseorang bisa di bai’at

untuk menjadi ikhwan tarekat. Karena bagi Syekh Nazim jika ada yang ingin

masuk ke dalam tarekat ini mereka akan langsung di bai’at oleh Syekh Nazim

sendiri. Beda dengan zaman dulu, jika kita ingin masuk ke dalam satu tarekat dan
173
Wawancara pribadi dengan Meni di Zawiyah Cinere, pada 21 Oktober 2017.
96

ingin di bai’at kita harus melakukan amalan-amalan tertentu. Setelah mereka di

bai’at, mereka mendapatkan bimbingan khusus secara spiritual yang di bi mbing

langsung oleh Syekh Nazim. Karena pada saat orang itu sudah dibai’ait, beliau

menganggap orang itu sebagai keluarga dan akan beliau rawat melebihi orang

tuanya sendiri.

Bagi Syekh Nazim, murid yang sesungguhnya dalam tarekat

Naqsyabandiyah Al-Haqqani ini adalah sahabat, penolong dan pendukung dari

setiap pembela Sayyidina Muhammad saw., Seorang sahabat adalah tugasnya

untuk bersahabat dan berasosiasi dengan para pembela Sayyidina Muhammad saw

karena mereka berada pada jalan Mawlana, tak peduli apakah mereka

Naqsyabandiyah atau bukan.

Telah berkata yang mempunyai Tarekat: “Thariqatush Shuhba Wal

Khairu Fil Jami’iyyah; Tarekat kita adalah persahabatan (kebersamaan) dan

kebaikan berada dalam kebersamaan”.174

Tarekat ini biasa dibilang adalah tarekat yang sangat moderat. Moderat

dalam arti orang yang masuk ke dalam tarekat ini latar belakangnya beragam dan

sangat umum. Sampai sejauh ini, tidak pernah ada habatan dalam berkembangnya

Tarekat Naqsyabandiyah Al-Haqqani di Indonesia, sehingga sampai sekarang

jumlah murid (jama’ah) tarekat ini terus bertambah. Mereka dari berbagai

kelangan baik itu elit politik; kepala negara, pejabat. Kaum intelektual; tokoh

Agama, Kyai, para santri pesantren, serta mahasiswa/mahasiswi. 175 Masyarakat

174
Wawancara Pribadi dengan Pak Joko Sulistio di Yogyakarta 22 Desember 2018.
175
Saat ini telah ada hampir 100 kelompok (Arab: zawayah) yang tersebar di beberapa kota
di Pulau Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Bali, dan Jawa. Syekh Mustafa Mas’ud menjadi wakil
Syekh Nazim untuk membimbing para murid di Indonesia.
97

awam; pedagang, petani, pengangguran dan lain-lain. Tarekat ini juga di kenal

dengan profil yang baik, sehingga tidak pernah ada predikat sebagai aliran sesat,

terlebih jika kita melihat profil yang baik, sehingga tidak pernah ada predikat

sebagai aliran sesat, terlebih jika kita melihat profil Syekh Nazim dan di negara-

negara non-Muslim pun kita sangat dihormati.

Untuk melaksanakan dzikir atau amalan-amalan tarekat Naqsyabandiyah

Al-Haqqani biasanya dilaksanakan setiap malam jum’at seminggu sekali, setelah

Isya dan dilanjutkan dengan membaca dzikir kurang lebih satu atau setengah jam,

setelah melaksanakan dzikir biasanya ada ceramah atau hanya dzikir, karena

orang yang mempunyai kapasitas untuk memberikan ceramah atau nasehat-

nasehat terbatas. Ada yang hanya untuk memimpin dzikir, dzikir dan memberikan

bai’at, ataupun ketiga-tiganya. Karena jika mereka tidak mempunyai kapasitas

untuk melakukan ketiganya mereka tidak akan di izinkan untuk memberikan

ceramah ataupun memberikan bai’at.

Sedangkan untuk jamaah yang datang ke dalam zawiyah tersebut sangat

bertariatif, antara 100-200 orang secara rutin. Tetapi kadang-kandang karena

kesibukan masing-masing jama’ah mereka bisa datang, bisa pula tidak datang

dalam minggu-minggu yang telah ditentukan, dan kadang selalu ada saja orang

baru. Karena pangajian ini bersifat terbuka, dan walapun mempunyai lebel tarekat

Naqsyabandiyah Al-Haqqani, masyarakat umum pun boleh mengikuti kegiatan

ini.

Sedangkan sikap ikhwan/akhwat terdapat masyarakat yang bukan pengikut

tarekat dalam kehidupan bermasyarakat, menganggap mereka semua sama, sama-


98

sama ciptaan Allah. Pastinya ada saja yang beranggapan bahwa tarekat ini sesat

atau apapun, dan jika ada tanggapan yang negatif tidak akan dihiraukan, mereka

(akhwat/ikhwan) hanya bisa bersabar, karena jika tidak bersabar takutnya akan

menjadi perdebatan dengan mereka yang kontra. Nabi Muhammad saw. Pernah

bersabda “ada seseorang yang beriman tetapi menjadi tidak beriman karena sering

berdebat” jadi saya hanya bisa mendoakan supaya orang itu diberikan kepahaman.

Jika walaupun ada yang pro dan kontra, tetapi bagi akhwat/ikhwan tarekat

selagi mereka tidak berbuat yang aneh-aneh, mereka tidak akan memikirkan

pendapat mereka yang kontra. Yang panting mereka tunjukan dengan mengikuti

dzikir di zawiyah ini insya Allah segala tingkah laku menjadi lebih baik dan cara

berfikir lebih luas.

Di dalam kehidupan bermasyarakat Syekh Nazim selalu mengajarkan

untuk saling berinteraski satu sama lain baik itu yang pro dengan tarekat ataupun

yang kontra. Maulana Syekh Nazim juga mengajarkan untuk tidak

mempermasalahkan keyakinan, karena keyakinan itu adalah suatu hal yang

diberikan oleh Allah SWT untuk masing-masing pribadi bukan untuk di

argumenkan ataupun di adu tetapi untuk dijalankan dengan keyakinan masing-

masing. Karena keyakinan apa pun asal dilakukan dengan yakin insya Allah akan

bertemu di titik yang sama yaitu Allah. Dengan empat prinsip yang sangat di

hormati Syekh Nazim yaitu; cinta, saling menghormati, rendah hati, dan ikhlas.

Syekh Nazim berusaha membawa keempat prinsip itu ke dalam kehidupan

bermasyarakat baik muslim maupun non-muslim. Sikap toleran inilah yang


99

menjadi salah satu kunci keberhasilan perkembangan tarekat Naqsyabandiyah Al-

Haqqani. 176

C. Aktivitas Sosial dan Filantropi

Bagi Tarekat ini kesalehan sosial adalah upaya untuk membangun

kehidupan bersama yang lebih baik dengan berdasarkan beberapa hal: cinta, dan

berbela rasa terhadap orang yang membutuhkan. Cinta dan kedamai-an juga telah

menjadi ciri bahkan inti ajaran yang dihidupi dalam perilaku sehari-sehari para

murid tarekat ini. Melalui sufisme ia berusaha mengenalkan kapada masyarakat

tentang keramahan Islam sekaligus menentang dan menepis anggapan bahwa

tarekat itu anti-sosial. Dengan pertolongan para wakilnya yang diberi mandate

untuk membimbing para murid Tarekat Naqsyabandiyah Al-Haqqani di Amerika

dan Asia. Dibawah komando Syekh Hisham Kabbani, tarekat ini telah mendirikan

beberapa organisasi yang dengan upaya membangun perdamaian, kerukunan antar

umat beragama dan menolong orang-orang miskin sebagai bentuk sosialnya. Pada

bagian selanjutnya penulis akan menujukan bagaimana aktivitas sosial Tarekat

Naqsyabandiyah Al-Haqqani diwujudkan secara nyata dalam keterlibatan mereka

dengan beberapa organisasi di antaranya;

1. Hajjah Naziha Charitable Society (HNCS)

HNCS (Hajjah Naziha Charitable Society) adalah badan amal yang

berbasis di Inggris, Indonesia dan Amerika dengan penjangkauan global yang

176
Wawancara pribadi dengan Abdurrauf Kurniadi (Sekertaris I) di Yayasan Haqqani
Indonesia, pada 20 Oktober 2017.
100

berdiri pada tahun 1997 dan didirikan oleh Putri Syekh Nazim Adil Al-Haqqani

yaitu Hajjah Naziha Adil Kabbani. HNCS juga disebut badan amal Muslim yang

bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia yang membutuhkan melalui

upaya di tingkat lokal dan global. Proyek-proyek yang telah didukung oleh

organisasi termasuk bantuan darurat, makanan dan pakaian untuk para tunawisma,

penggalian sumur, buku pendidikan dan distribusi perlengkapan sekolah, dan

bantuan untuk anak yatim di tingkat internasional.177

HNCS berkomitmen untuk melestarikan warisan Syekh Muhammad

Nazim Adil. Putrinya, Hajjah Naziha Adil Kabbani adalah keturunan Nabi

Muhammad (saw), melalui garis keturunan ibu dan ayah. Dia menikah dengan

Syekh Muhammad Hisham Kabbani, wakil dan pewaris spiritual Syekh Nazim.

Hajjah Naziha dan Syekh Muhammad Hisham Kabbani, wakil dan pewaris

spiritual Syekh Nazim, mereka bersama-sama menasihati umat Islam dan

mengajarkan Tarekat yang telah di warisakan yaitu Tarekat Naqsyabandiyah Al-

Haqqani di seluruh dunia, di antaranya perjalanan ke seluruh Timur Tengah,

Inggris, Eropa, anak benua India, Asia Tenggara, Australia, Amerika Selatan,

Karibia, Kanada, dan Amerika Serikat.178

Selama lebih dari dua puluh tahun, mereka telah mengembangkan warisan

Syekh Nazim dengan mengarahkan berbagai proyek bantuan darurat bencana dan

bantuan kemanusiaan di Banda Aceh, Palu dan di seluruh Indonesia (bantuan

tsunami); Sebagaimana Tarekat Naqsyabandiyah Al-Haqqani masuk ke Aceh

177
David W. Damrel, “Tarekat Naqsyabandi-Haqqani di Amerika Utara”, Sufi-Sufi
Diaspora: fenomena Sufisme di Negara-Negara Barat, (Bandung: Mizan Media Utama, 2006),
hal. 204.
178
Hajjah Amina Adil, A Scent Of Saintliness, (Tp, 2012), hal. 4.
101

pasca Tsunami. Pimpinannya, Tgk. Zamhuri merupakan orang Aceh yang sedang

melaksanakan pendidikan di Jakarta sebelum tsunami tiba. Pada masa pendidikan

itu ia bergabung dengan tarekat Haqqani hingga ia dibaiat menjadi seorang

Khalifah. Ia ditunjuk oleh Syekh Hisyam Kabbani sebagai khalifah untuk Aceh

yang dapat membaiat jamaah untuk bergabung dengan tarekat tersebut. Setelah

tsunami menghancurkan sebagian kota di Aceh, ia pulang dengan misi membawa

bantuan dari “Sohbet Haqqani Indonesia” untuk korban tsunami. 179 Tidak hanya di

Indonesia saja akan tetapi juda di daerah Pakistan (bantuan gempa bumi); Kabul,

Afghanistan (mengirimkan peralatan medis dan pakaian musim dingin); dan

Istanbul, Turki (bantuan gempa bumi). HNCS adalah evolusi alami dari pekerjaan

mereka di masa lalu untuk memajukan proyek-proyek penjangkauan yang paling

berharga bagi Syekh Nazim. Tindakan kebaikan dan amal adalah bagian yang

sangat penting dari Islam dan tarekat ini. Berbagi dengan orang lain yang kurang

beruntung dari diri kita menjadi lebih penting. Selain membantu orang lain,

tindakan amal juga menguntungkan donor, dengan mengingatkan mereka untuk

memikirkan saudara-saudara Muslim maupun Non-Muslim dan membantu

mereka ketika mengalami kesusahan.

HNCS adalah organisasi kedermawanan yang percaya pada kekuatan

komunitas dan kolaborasi kelompok dengan visi dan nilai bersama. Sadar bahwa

misi hanya dapat berhasil dicapai melalui kemurahan hati orang lain, amal dan

anggotanya berkomitmen untuk alokasi sumber daya yang efisien, penuh kasih;

untuk membantu masyarakat luas. HNCS juga bekerja sama dengan bebearapa
179
Sehat Ihsan Shadiqin, “Tasawuf Di Era Syariat: Tipologi Adaptasi dan Transformasi
Gerakan Tarekat Dalam Masyarakat Aceh Kontemporer”, Substantia, Volume 20 Nomor 1, April
2018, hal. 76.
102

perusahan, pesantaren untuk menyubangkan dan mengumpulkan dana melalui

pembayaran Zakat180, Zakat al Fitr181, Fidya182 dan Kaffarah183, dan melalui

penjualan kurma dan buku-buku pendidikan Ajwah. Sumbangan ini dibagi dalam

beberapa kampanye dan tujuan untuk membantu para tunawisma, mendukung

anak-anak yatim, memberi makan kepada yang kelaparan, menyediakan air

minum yang aman, membantu dengan pasokan pendidikan dan medis, serta

bantuan darurat jika terjadi bencana alam.

HNCS (Organisasi Amal Hajjah Naziha) mengarahkan ke beberapa daerah

yang paling miskin di dunia contohnya Pakisatan, HNCS memberi makanan untuk

desa-desa di Pakistan yang ekonominya rendah. Kegiatan di laksanakan selama

satu minggu 2 kali-5 kali. Jika memasuki bulan Ramdhan kegiatan membantu

sesama dilakukan setiap hari selama bulan Ramadhan, tim relawan HNCS akan

melakukan perjalanan ke desa yang berbada di Pakistan, dengan pasokan penting

180
Banyak Muslim memilih untuk membayar Zakat selama bulan Ramadhan, yang
merupakan persyaratan untuk melakukan donasi berdasarkan penghasilan pribadi, tabungan, dan
barang-barang yang dimiliki setelah melewati ambang tertentu. Kunjungi situs web HNCO/HNCS
di hajjahnazihacharity.co.uk, di mana akan menemukan kalkulator Zakat, untuk melihat apakah
aset bersih atau melebihi Nisab, dan jika demikian, berapa banyak yang dapat mereka sumbangkan
untuk amal tahun ini.
181
Setiap orang dari segala usia dalam rumah tangga Muslim diwajibkan untuk
mempraktikkan Zakat al Fitr, tetapi kepala rumah tangga dapat memberikan kontribusi atas nama
mereka. Donasi biasanya dihitung berdasarkan harga satu kali makan atau 'cukup untuk diambil
dengan dua tangan' dan dapat dilakukan kapan saja selama Ramadhan, selama itu sebelum
perayaan Idul Fitri, pada akhir periode puasa. Di zaman modern, kontribusi itu bisa melalui online
dan wab itu telah di kelola oleh Tarekat Naqsyabandiyah Al-Haqqani dengan tepat, jika ada yang
belum memberikan sumbangan, itu dapat dilakukan melalui HNCO/HNCS dengan mengunjungi
hajjahnazihacharity.co.uk
182
Untuk puasa yang terlewatkan melalui kesehatan yang buruk atau kehamilan, yang tidak
dapat dibuat setelahnya dengan alasan yang sah, Fidya harus dibayar. Dalam hal ini, sumbangan
sebesar £ 4,00 dapat menyediakan dua kali makan untuk seseorang yang kurang beruntung dari
Anda.
183
Jika puasa dilanggar tanpa alasan yang diijinkan, dan puasa dua bulan kompensasi tidak
mungkin, maka Kaffarah dibayar. Dalam kasus ini, $ 120 akan menyediakan dua kali sehari
selama 30 hari (dibayar untuk mereka yang tidak dapat puasa) dan $ 240 akan menyediakan dua
kali sehari selama 60 hari (dibayarkan untuk mereka yang sengaja berpuasa dari puasa selama
bulan Ramadhan).
103

yaitu tepung, beras, mentega/ghee, lentil dan rempah-rempah. Bagi pria, wanita

dan anak-anak yang tinggal di wilayah itu, makan sederhana dianggap sebagai

kemewahan. 184

Relawan HNCS saat ini di Pakistan memasang 100 pompa air di beberapa

tempat paling terpencil dan miskin di negara itu. Bagi sebagian penduduk desa, ini

akan menjadi pertama kalinya mereka memiliki persediaan air bersih di kota asal

mereka seumur hidup. Inisiatif yang menginspirasi ini didanai oleh sumbangan

dermawan para pendukung HNCS dibangun di atas Drive Food Village

Ramadhan 2019 Food Drive yang sangat sukses, yang menghasilkan 30 desa yang

diberi makan dalam 30 hari di Pakistan dan 30 desa yang diberi makan dalam 30

hari di India dan membangun sekolah di desa-desa yang tidak terjangkau oleh

pendidikan, dan tidak mampu membayar pendidik. Sekolahan tersebut untuk

anak-anak kurang mampu (baca: miskin), dan menghadirkan relawan beserta

murid tarekat Naqsyabadiyah Al-Haqqani sebagai tenaga mengajar.185

Sedangkan di Indonesia HNCS berkerja sama dengan Spritual

Development Centre Indonesia, Yayasan Samudra Cinta dan Café Rumi. Dengan

kerja sama yang baik akhirnya tarekat Naqsyabandiyah Al-Haqqani membuat

gedung dengan nama Gedung Spiritual Development Centre, gedung tersebut

dapat digunakan sebagai; Majelis Ilmu dan Dzikir, Krusus dan Pelatihan Tasawuf,

TPA, dan Pusat kegiatan sosial, pendidikan dan da’wah Tasawuf-Klinik

Kesehatan, perpustakaan (plubikasi Sufi) dan studio Recording.

184
https://hajjahnaziha.org/school-remodel-progress/ di akses pada 22 Juni 2019.
185
Lihat di berita, Hajjahnaziha.org
104

Selama ini kegiatan sosial yang sudah berjalan yaitu di bidang pendidikan

yaitu dengan membuat sebuah sekolah TK untuk mereka yang kurang mampu dan

anak yatim tanpa biaya satu persen pun. TK tersebut dikeloa oleh Yayasan Asih

lalu melibatkan para murid tarekat ini dalam pendidikan anak usia dini fokus pada

anak-anak yang hidup dalam keluarga miskin dan anak-anak yatim agar karakter

baik mereka dapat dibentuk secara optimal. Untuk mencapai tujuannya, Yayasan

Asih bekerja sama dengan pemerintah, para pengusaha, dan pribadi-pribadi yang

tergerak untuk terlibat menangani pendidikan anak usia dini. Mereka memiliki

keyakinan bahwa sesungguhnya banyak pihak (pengusaha dan pribadi) yang siap

mengeluarkan dana untuk membantu keluarga miskin keluar dari kemis-kinannya.

Hanya saja mereka sering tidak tahu ke mana dan kepada siapa mereka

akan menyalurkan bantuannya. Untuk itu, Yayasan Asih ini menempatkan diri

sebagai jembatan yang menghubungkan serta mempertemukan pihak-pihak yang

siap membantu tersebut dengan yang memang sangat membutuhkan. Terkait

dengan pendidikan, Yayasan Asih yang didirikan oleh para murid tarekat ini

menjadi mediator antara pihak perusahan dan Yayasan yang berada di kantong-

kantong kemiskinan di sekitar Jabotabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang,

dan Bekasi) agar para pengusaha tersebut tahu persis apa sesungguhnya

dibutuhkan oleh Yayasan itu.

Selama ini bentuk bantuan yang diberikan beraneka ragam seperti: alat

peraga pendidikan, rehab bangunan, kesehatan untuk anak-anak, dan dana duntuk

meningkatkan kesejahtera-an para guru. Selain sebagai jembatan dan mediator,

Yayasan Asih juga berperan sebagai fasilitator dengan memberikan pelatihan


105

metode mengajar kepada para guru-guru. Tidak hanya itu, mereka juga

memberikan latihan keterampilan kepada orang tua murid yang rata-rata hidup

berkekurangan untuk dapat menambah penghasilan rumah tangga mereka.

Keterampilan yang diberikan antara lain membuat kerajinan dari limbah rumah

tangga (seperti: bungkus sabun, botol air mineral, dan drum bekas) yang yang

dibuat menjadi barang-barang siap jual (seperti: tempat sampah dari drum bekas,

gantungan kunci dari botol air mineral bekas, sebagainya.).

Inti dari semua keterlibatan tersebut adalah mereka tidak ingin sekadar

membantu dengan memberikan dana, tetapi juga berusaha mengubah mentalitas

mereka, dari mentalitas yang merasa tidak mampu dan selalu bergantung pada

bantuan orang lain menjadi mentalitas yang mandiri.

2. Karem Food Drive

Begitu banyak kaum fakir miskin yang ditemui di sepanjang jalan. Mulai

dari pengemis, pemulung, anak jalanan, tukang becak sampai gelandangan tak

sedikit dari mereka serba kekurangan, bahkan makan pun susah. Dari 70 juta

anak-anak di Indonesia, hampir 20 juta sangat miskin, (hidup di jalanan atau tidak

memiliki keluarga). Fenomena sosial inilah yang menjadi satu alasan bagi

Shaikh Nazim meluncurkam Karem Food Drive pada 2010 terus berkembang

sampai sekarang. Hingga saat ini, pengikut tarekat rutin setiap hari jum’at

membagikan makanan kepada fakir miskin. Ia bersama ratusan relawan lainya

turun langsung ke jalan untuk berbagi rezeki sambil berkhlwat (menyepi dalam

keramain dan berzikir dalam keramain). Karem Food Drive masih satu divisi
106

dengan HNCS (Hajjah Naziha Charitable Society) dan Majelis Haqqani Indonesia

yang berkerjasama dengan PT. Buana Varia.

Karrem Food Drive memiliki cabang dan dioleh Zāwiya Tarekat

Naqsyabandiyah Al-Haqqani dibeberapa daerah di antaranya: Zāwiya Bahrul

Jinan (Cibinong), Zāwiya Setu Jajar (Depok), Zāwiya Uts. Sholib (Limo), Zāwiya

Daarud Tauhid Nazimiyyah (Cikunir), Zāwiya Hasbi (Otista), Zāwiya HHT

Panongan (Cikupa), Zāwiya Haqqul Mubin (Serua), Zāwiya Tanwirul Qulub

(Sukabumi), Zāwiya Cikereteng, Zāwiya Nurul Himah (Pangkalan Jati), Zāwiya

Salihun (Kebayoran Lama), Markas Rumi Café (Ciputat), Majelis Raudhatul

Ihsan (Bintaro), Yayasan Mambul Khayrat (Bintaro), dan Mushalla Nazimiya

Indonesia, Warung Jati Barat.

Untuk Fun Fact Karrem Food Drive Priode 2016-2017 memiliki 30 titik

aktif lokasi sumbangan ,130-150 juta yang telah dikeluarkan, 50 jumlah aktif

donator, 13.000-15.000 jumlah nasi box yang telah disumbangkan. Karrem Food

Drive tidak hanya memberikan nasi box saja akan tetapi juga memberikan

makanan, paket sembako, minyak, tepung terigu, gula pasir, kue kaleng, dan uang

sekitar 150.000 untuk per-orang. Setiap zāwiya serentak memberikan paketan atau

bingkisan sebagai bentuk bakti sosial untuk anak-anak jalan, duafa, anak yatim,

dan orang kurang mampu.186 Ketika menjelang bulan Ramdhan Karrem Food

Drive dalam 30 hari full memberikan tajil, kurma dan makanan untuk berbuka

puasa diberikan kepada orang-orang yang berpuasa. Bakti Sosial bagi tarekat ini

186
Total seluruh Zawiyah memberikan 730 paket bingkisan setiap minggu dengan rata rata
senilai 150.000 dan memberikan uang 100.00 peranak (anak yatim), untuk baksos lebih
memfokuskan kapada anak-anak yatim. Dalam sambutannya Shaykh Omar Kabbani mengatakan
mereka adalah calon penerus bangsa, dan dengan membantu mereka diharapkan mereka juga
nanti akan membantu sesama. Lihat di Suliive_id
107

adalah sudah menjadi kewajiban, salah satunya dengan menyatuni yayasan anak

yatim (dengan memberikan bantuan sekitar 50 juta), dan membantu saudara yang

terkena bencana.

Muhammad Abdul Ra’uf (pemilik Café Rumi) dengan berkerjasama

Karrem Food Drive juga membuat progam “makan gratis”. Abdul Ra’uf

mengatakan;

“Makan Gratis adalah sebuah program sedekah di mana kami


memberikan sumbangan makanan kepada masyarakat miskin dan
kurang mampu di Jabotabek setiap hari jum’at. Progam ini sudah
berjalan sejak 2014 dibawah bendera Yayasan Samudera Cinta
Mawlana. Sedekah jum’at saat itu baru 150 porsi. Sekarang,
Alhamdulillah sudah 2000 books. Kita yakin bisa keseluruh
Jakarta, Bekasi dan depok”. 187

Dari progam yang ia namai “Makan Gratis”, lahirlah ide untuk

menghadirkan progam harian. Terciptalah ‘makan gratis tiap hari’ dengan tanpa

syarakat bagi siapapun yang membutuhkan. Progam tersebut baru berlangsung

pada 1 April 2018. Sebagimana perkataan Muhammad Abdul:

“Siapa saja boleh singgah makan, bukan cuma fakir miskin. Setiap
hari disediakan 200 porsi dalam bentuk nasi box yang berisi nasi
putih porsi besar, sayur manyur, buah-buahan, daging
ikan/ayam/sapi, aqua gelas, tisu dan cinta. Saya berharap nantinya
akan bertambah lagi porsi makanan untuk program harian tersebut”.

Untuk sumber dana Muhammad Abdul Ra’uf mengungkapkan diperoleh

dari donator. Donatur sendiri berasal dari masyarakat yang ia sendiri tidak tahu

siapa saja yang mengirimkan donasi ke rekeningnya. Ia mengaku menfaatkan

media sosial (medsos) untuk mengajak masyarakat ikut bersedekah. Ia juga

mengatakan;

187
Wawancara dengan Muhammad Abdul Ra’uf (pemilik Café Rumi), pada 18 Oktober
2017.
108

“saya sudah tidak tahu dari mana saja donasi itu masuk ke rekening
yang sudah kami sediakan. Awalnya kami share di medsos saja.
Semua dana yang masuk itu kita habiskan setiap pekan untuk
kepentingan sedekah ini”. 188

3. Rabani Sufi Canter

Tarekat Naqshbandiyah Al Haqqani di Indonesia telah memiliki zawāya

(kelompok) yang tersebar di berbagai kota di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan,

Sulawesi, dan Bali. Salah satu zāwiya (kelompok) yang menarik perhatian penulis

adalah Rabani Sufi Center yang terletak di Limo Cinere-Depok, Jawa Barat,

karena anggotanya sebagian besar adalah anak-anak jalanan.

Rabani Sufi Center berada di tengah-tengah pemukiman padat penduduk.

Tembok yang tidak terlalu tinggi mengelilingi kompleks ini. Di dalamnya terdapat

tiga bangunan. Bangunan yang pertama adalah bangunan utama yang terdiri dari

berbagai bagian. Bagian yang relatif besar berfungsi sebagai tempat tinggal Syekh

Doni beserta keluarganya, bagian lainnya yang relative lebih kecil menjadi tempat

tidur dan makan para murid. Bangunan kedua adalah sebuah pendopo berukuran

sedang yang menjadi pusat kegiatan zāwiya ini, seperti: zikir, latihan membaca al-

Quran, dan latihan taekwondo). Bangunan terakhir adalah sebuah masjid kecil.

Seperti telah disebutkan, Syekh yang bertanggung jawab terhadap zāwiya

ini adalah Syekh Doni. Ketika penulis berkunjung ke sana dan berbincang-

bincang dengan beliau, kami duduk di lantai diteras bangunan utama, sementara

para murid, yang mayoritas anak-anak jalanan, duduk mengelilingi kami berdua.

Mereka duduk dengan tenang dan memperhatikan dengan serius setiap

188
Wawancara dengan Muhammad Abdul Ra’uf (pemilik Café Rumi), pada 18 Oktober
2017.
109

percakapan yang kami lakukan. Perilaku ini merupakan bagian dari etika dalam

tradisi sufi: agar menunjukkan ketaatan dan rasa hormat kepada syekh sekaligus

memerhatikan dan mendengarkan setiap perkataan syekh dengan serius dan

seksama karena setiap perkataan yang keluar dari syekh sangat penting untuk

perkembangan latihan spiritualitas mereka.

Mengenai percakapan dengan Syekh Doni, beliau menjelaskan alasannya

mengapa beliau aktif dalam pendampingan kepada anak-anak jalanan. Menurut

beliau:

“anak-anak jalanan adalah anak-anak yang diabaikan oleh keluarga


mereka dan masyarakat. Mereka, anak-anak jalanan, sering dipandang
negatif sebagai anak-anak yang liar, sulit diatur, serta selalu menjadi
biang masalah. Oleh karena itu, Rabani Sufi Center didirikan untuk
memberikan kesempatan kedua kepada mereka agar mereka dapat
bertumbuh ke arah positif dan mengorganisir hidup mereka secara
mandiri sekaligus untuk membenahi karakter mereka dan memberikan
keterampilan tambahan demi membangun masa depan mereka”.189

Karena mayoritas anak-anak jalanan yang tinggal di Rabani Sufi Center

adalah pengamen, maka Syekh Doni menyediakan studio musik beserta pelatih

profesional agar mereka dapat meningkatkan kualitas menyanyi mereka. Selain itu

juga diadakan latihan taekwondo dengan seorang pelatih profesional. Berkaitan

dengan pembinaan karakter, Syekh Doni menggunakan pendekatan Tarekat

Naqsyabandiyah Al Haqqani, walaupun beliau tidak pernah memaksa agar para

anak jalanan itu untuk dibai’ah ke dalam Tarekat Naqsyabandiyah Al Haqqani

karena bai’ah adalah keputusan pribadi, bukan paksaan.

Tasawuf memiliki metode lengkap untuk pemelihara jiwa agar tidak mudah

mengalami tekanan-tekanan mental (stress), dan untuk menyembuhkan berbagai


189
Wawancara dengan tokoh Tarekat Naqsyabandiyah Haqqani Depok, Jawa Barat pada 21
Oktober 2017.
110

macam penyakit jiwa. Tasawuf memiliki beberapa konsep untuk ketenangan jiwa,

misalnya konsep cinta (Hubb). Dengan konsep cinta, seseorang bisa

menghilangkan tekanan (stress) pada dirinya, sekaligus menghidari tindak negatif

yang bisa menimbulkan strees pada orang lain. Dengan cinta, seseorang bisa

membuang jauh-jauh rasa benci, dendam, marah, tersenyum dan sejenisnya,

sehingga jiwanya selalu tenang, tenteram, dan tidak tegang. Dengan cinta,

seseorang bisa terhindar dari tekanan-tekanan batin akibat kompetisi yang amat

ketat di era informasi global ini.190

Sebagaimana latihan spiritual yang pertama kali diterapkan kepada anak-

anak jalanan itu adalah memberikan senyuman kepada siapa saja yang datang

berkunjung ke Rabani Sufi Center. Latihan ini awalnya terkesan sangat mudah,

tetapi akan menjadi sangat sulit ketika mereka harus menjadikan itu sebagai

sebuah kebiasaan. Tujuan Syekh Doni menerapkan latihan ini adalah agar mereka

berlatih untuk mengendalikan rasa marah dan permusuhan. Jika tersenyum telah

menjadi sebuah kebiasaan bagi mereka (bukan lagi terpaksa), maka mereka akan

menjadi lebih ramah dan tenang. Hal ini juga diakui oleh beberapa anak jalanan

yang tinggal di sana. Ada yang mengaku bahwa ia menjadi lebih tenang setelah

beberapa lama tinggal di Rabani Sufi Center. Sementara yang lainnya

menceritakan bahwa setelah tinggal di sana, ia menjadi lebih mengenal ajaran

Islam yang sesungguhnya dan semakin mengerti bagaimana mencintai Allah,

Nabi Muhammad, dan sesama manusia.

190
Moh. Asror Yusuf, “Konsep Manusia Ideal Seyyed Hossein Nasr dan Relevansinya
Dengan Pengembangan Karakter Masyarakat Modern Indonesia”, Didaktika Religi Vol. 4, No. 1
2016, ha.135
111

Selain latihan “tersenyum”, para anak jalanan ini juga mengikuti berbagai

kegiatan rutin Rabani Sufi Center seperti belajar membaca al-Quran setiap malam

dan mengikuti zikir berjamaah setiap hari kamis malam. Para anak jalanan ini

tidak selamanya tinggal di Rabani Sufi Center (dan itu juga tidak diharapkan oleh

Syekh Doni). Kehidupan yang mandiri tetap menjadi tujuan pendampingan

kepada anak-anak jalanan ini. Banyak mantan anak-anak jalanan yang

sebelumnya tinggal dan belajar di Rabani Sufi Center telah bekerja dan menikah.

Bagaimana hal itu terjadi? Jawabannya adalah jaringan yang dibangun antara

alumni Rabani Sufi Center (yang sudah dapat hidup mandiri) dan mereka yang

masih tinggal disana. Mereka saling membantu untuk mencarikan pekerjaan yang

layak demi masa depan yang lebih baik. Bagi mereka, tindakan itu adalah salah

satu bentuk perwujudan “mencintai sesama” dan gerakan filantropi.

Hubungannya dengan dua dasar kesalehan sosial Tarekat Naqsyabandiyah

Al Haqqani atau juga bisa disebut dengan gerakan filantropi, keterlibatan tarekat

ini dalam menolong para anak jalanan untuk menata masa depannya dapat

dikategorikan ke dalam pemahaman “dunia yang berfungsi sebagai kamar mandi”.

Pemahaman dunia yang demikian ini terkait dengan peristiwa turunnya Adam dari

surga ke dunia. Peristiwa ini sendiri tidak dimengerti sebagai sebuah hukuman

Allah terhadap ketidakpatuhan Adam, melainkan sebagai sebuah proses

pembersihan. Proses pembersihan yang terjadi di dalam dunia ini sesungguhnya

merupakan tindakan Allah untuk memberikan kesempatan kedua kepada Adam.

Demikian pula yang diyakini oleh tarekat ini, khususnya Syekh Doni. Ketika

tarekat ini memberikan kesempatan kedua kepada anak-anak jalan tersebut, maka
112

otomatis mereka melihat anak-anak jalanan ini sebagai ciptaan Allah dan sesama

manusia yang juga berhak menerima cinta Allah: cinta yang mampu mengubah

karakter liar dan pemarah menjadi ramah, penuh senyum, dan tenang. Selama

mereka di dalam Rabbani Sufi Canter mereka tidak dikenakan biaya 1 persen pun;

makan, belajar dan kegiatan lainya, semua itu ditanggung oleh Syekh Doni.

Mereka para anak jalanan diajarkan dengan berkepedulian sosial terhadap

orang yang membutuhkan yaitu sebagai prinsip tarekat ini. Kegiatan sosial yang

dilakuan bisa berupa memberikan makanan kepada anak-anak jalanan yang di luar

Rabbani Canter, kegiatan bakti sosial dan menyatuni para anak-anak yatim. Hal

ini sekaligus membangunkesadaran bahwa mereka tidak sendirian dalam

menjalani kehidupan di ladang akhirat ini. Mereka berjalan dan berziarah secara

bersama-sama, termasuk bersama mereka yang miskin dan termarjinalkan. Cinta

dan bela rasa akan memampukan mereka menjadi teman seperjalanan yang baik,

yang selalu siap menolong dan memberikan kesempatan kedua ketika teman

seperjalanan mereka jatuh.191

Pemahaman tersebut tidak sekadar dipahami semata-mata sebagai tanggung

jawab sosial dari para murid tarekat ini, melainkan lebih dari itu, yakni untuk

memenuhi kehendak Allah.

“O Moses, what are you doing for me?” He said, “O my Lord, I


am praying to you, always worshipping you.” God said, “No, your
worship is for you; what are you doing for me?” He said, “My Lord,
what can I do for you? Tell me.” God said, “Help My servant. If you
help them, then you are doing something for me.” So, if we fi nd that

191
Jazilus Sakhok dan Siswoyo Aris Munandar, “Aktivitas Sosial Tarekat Naqsyabandiyah
Al-Haqqani Sebagai Bentuk Kesalehan Sosial”, Prosiding di ajukan kepada Pascasarjana IAIN
Kediri, Vol. 1, No. 1, 2018, hal. 60-61.
113

our brothers and sisters need help, we have to help, we will be going
up quickly”.192

Di sinilah keterlibatan sosial para murid tarekat ini mendapatkan makna

religiusnya. Kerelaan dan kesiapsediaan mereka memberikan pertolongan dan

cinta kepada mereka yang membutuhkan merupakan sarana untuk menunjukkan

devosi (kepercayaan) kepada Allah. Itulah bentuk kesalehan sosial mereka. Ciri

kesalehan tarekat ini adalah tidak berorientasi pada dirinya sendiri, melainkan

menjadikan keberpihakan kepada mereka yang membutuhkan dan yang

termarjinalkan sebagai tujuan devosi mereka. Secara tidak langsung, mereka juga

mengimani bahwa menjalani kehidupan di dunia dan terlibat di dalamnya adalah

perwujudan devosi mereka. Keterlibatan mereka dalam kehidupan bersama di

masyarakat bukan semata-mata untuk mendapatkan pahala ataupun sebuah

keterlibatan yang dilakukan sebagai sebuah keterpaksaan, melainkan sebaliknya,

keterlibatan itu menjadi sarana latihan rohani mereka untuk mengasah hati dan

diri agar semakin dimurnikan untuk mencintai Allah. Artinya, ketika mereka

sedang terlibat aktif menolong orang-orang yang membutuhkan dan bergaul

dengan sesama, sesungguhnya pada saat yang sama mereka sedang berproses

untuk mencintai Allah dan mengalami Cinta Allah.

4. CV. Sogan Jaya dan Tarekat Naqsyabandiyaah Al-Haqqani

CV. Sogan Jaya Abadi yang terletak di Dusun Rejodani RT 01/RW 01

jalan Palagan Tentara Pelajar km 10 Sariharjo, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta.

192
Muhammad Hisham Kabbani, Pearls and Coral, hal. 86. Dan ini di ungkapkan juga
oleh Syekh Mustafa ketika wawancara.
114

Rejodani merupakan sebuah dusun (kampung) yang berada di wilayah Kabupaten

Sleman. Terletak kurang lebih 5 km arah utara dari Monumen Jogja Kembali.

“Kampung Rejodani masuk pada wilayah Desa Sariharjo Utara,


Kecamatan Ngaglik. Terbagi atas dua buah dusun utama yaitu
Rejodani I (yang berada di sebelah utara) dan Rejodani II (yang
berada di sebelah selatan). Secara geografis, dusun ini masih
dikelilingi oleh area persawahan di sebelah utara, selatan, dan barat,
sedangkan di sebelah timur dibatasi oleh Sungai Boyong yang
menjadi cikal dari Kali Code. Mayoritas penduduk yang hidup di
Kampung Rejodani merupakan masyarakat muslim (memeluk agama
Islam hampir seluruhnya). Hal ini diperkuat dengan kondisi
lingkungan masyarakat yang terhiasi dengan sentuhan islam”.193

CV. Sogan Jaya Abadi didirikan pada tahun 2002 dengan brand Sogan

Batik Rejodani, yang mana nama Sogan Batik Rejodani didapat karena pada awal

berdirinya perusahaan ini pewarnaan yang digunakan adalah pewarna alami,

sogan berasal dari kata soga yang menghasilkan warna coklat, karena pengalaman

yang didapat tentang warna alami belum banyak, maka ketika ingin mewarna

merah justru menjadi warna coklat, begitupun dengan warna-warna yang lain,

karena kejadian itu maka dinamakan Batik Sogan. Sedangkan Rejodani didapat

dari nama dusun di mana perusahaan itu bertempat, yaitu di Dusun Rejodani. 194

Dusun Rejodani bukanlah merupakan desa batik, maka pada waktu itu Iffah

M. Dewi sebagai pendiri CV. Sogan Jaya Abadi melatih beberapa perempuan

Dusun Rejodani untuk membatik tulis, sampai sekarang Sogan Batik Rejodani

tetap berproduksi dan berinovasi untuk mengembangkan karyanya. Pada tahun

2006, dikarenakan Sogan Batik Rejodani mulai dikenal dan masyarakat mulai

menggunakan produksinya.

193
Wawancara dengan direksi Sogan batik pada 22 juni 2019.
194
wawancara dengan Sri Umiyati Alifah
115

Sogan Village menempati dua buah bangunan kuno di atas tanah seluas

6000 m², berupa bangunan yang dibangun oleh H. Muhammad Darum, yang juga

kakek buyut dari Iffah. Pada masanya H. Muhammad Darum adalah tokoh

penggerak kegiatan produksi kerajinan pada masa tahun 1850-1900, namun tahun

setelah itu kejayaan yang berasal dari industri kecil tersebut tidak lagi ada yang

meneruskan. Bangunan yang ditempati tersebut terdiri dari dua gedung yaitu

gedung limasan dan gedung joglo. Gedung limasan difungsikan sebagai meeting

room dan batik production, bangunan di sebelah utara tersebut dibangun pada

tahun 1854, limasan menggunakan kayu jati berwarna dominan kuning dan hijau

warna khas kraton Yogyakarta, hal tersebut merupakan pengharapan akan

kemakmuran dan ketentraman. Bangunan tersebut digunakan sebagai tempat

tinggal Bapak Kyai H. Muhammad Darum dan rumah ini pernah terbakar pada

tahun 1922, namun kembali dibangun pada tahun 1923, sekarang pendopo

limasan digunakan untuk ruang pertemuan, wedding party, dan lain-lain. Mulai

pada tahun 2002 oleh Iffah, ruang tangen digunakan sebagai ruang produksi batik

sampai sekarang.

CV. Sogan Jaya Abadi sekarang di bawah komando Bapak Faiz dan Ustad

Lutfi yaitu murid dari Syekh Mustafa Masud (Wakil Mursyid dari Syekh Hisam

Kabbani), oleh Mursyid tarekat Naqsyabandiyah Al-Haqqani selalu didorong

untuk menunjukkan kasih dan melakukan kebaikan kepada sesama manusia.

Selain itu juga mengharuskan mereka menemukan orang-orang yang mengalami

kesulitan (termasuk orang miskin) dan dengan suka cita menolong mereka.
116

Akhirnya Bapak Faiz dan Ustad Lufti mulai sekitar 2006 mencoba membuat

semacam pondok atau asrama untuk pekerjanya. Keunikan di sini yaitu Ustad

Lufti dan bapak Faiz berkata:

“Kami merekrut orang-orang yang cacat fisik (seperti: orang bisu,


tidak punya kaki, lumpuh kaki, difabel) dengan kekurangan atau
keterbatasan mereka untuk mencari pekerjaan sangat sulit. Dengan
mempunyai progam seperti ini semoga dapat membantu
perekonomian mereka terutama yang sudah berkeluarga, mereka para
pekerja mendapatkan tempat tinggal atau asrama dan makan tiga kali
sehari dengan gratis tanpa di potong gaji”. 195

Kegiatan sebagaimana halnya pondok-pondok di luar yaitu menekankan

syariatnya terlebih dahulu serta mengadakan pengajian al-Qur’an setelah maghrib

hingga menjelang isya dan para pekerja di wajib untuk solat lima waktu dengan

berjamaah serta melakukan solat nduha sebelum berkerja. Setiap ada yang khatam

al-Qur’an selalu mengadakan makan-makan bersama mereka dan mengasih

pesangon atau bonus bagi mereka yang mengkhatamkan al-Qur’an.

Dengan adanya pemaparan aktivitas sosial dan filantropi tarekat

Naqsyabandiyah di atas, menunjukan bahwa tarekat itu tidak anti-sosial maupun

mementingkan individual. Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa

taṣawwuf tidak lagi sekadar didefinisikan dengan menggunakan makna simbolik

pakaian wol. Salah satu tokoh besar Sufi al-Junayd, menjelaskan makna taṣawwuf

dengan menggunakan analogi tanah. Baginya seorang Sufi adalah seperti tanah

(yang subur): segala hal yang buruk (busuk) dilempar (dibuang) ke atasnya, tetapi

yang dihasilkan kemudian adalah keindahan. Sebagaimana Rabbani Canter

Lembaga tarekat Naqsyabandiyah Al-Haqqani menampung anak jalanan yang

dianggap sebagai anak nakal tidak memilik masa depan yang baik. Justru Rabbani
195
Wawancara dengan Bapak faiz dan Ustad Lutfi pada 10 Maret 2018.
117

Canter memberikan masa depan mereka dengan baik, memperbaiki ndohir dan

batinnya.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang bermula dari literatur-literatur sederhana,

uraian-uraian (deskripsi) dan analisis tentang berdiri dan berkembangnya tarekat

Naqsyabandiyah Al-Haqqani di Indonesia dapat disimpulkan bahwa tarekat

Naqsyabandiyah Al-Haqqani merupakan cabang dari tarekat Naqsyabandiah yang

didirikan oleh Muhammad bin Baha’udin al-Uwais al-Bukhari dan berantai

hingga Syekh Muhammad Nazim Al-Haqqani sehingga tarekat ini dinamakan

dengan tarekat Naqsyabandiyah Al-Haqqani di Cyprus, Turki. Dari Crypus inilah

tarekat ini berkembang ke seluruh dunia di antaranya Indonesia.

Tarekat Naqsyabandiyah Al-Haqqani di beberapa daerah, ditemukan

bahwa prinsip Khalwat dar anjuman yang menjadi latarbelakang para pengikut

tarekat Naqsyabandiyah Al-Haqqani bergerak dalam bidang sosial dan prinsip itu

ternyata oleh mereka ditempatkan sebagai salah satu tahap spiritual (maqām) yang

dapat dicapai oleh mereka yang sudah terlebih dahulu berhasil melewati tahapan-

tahapan sebelumnya.

Tahapan sebelum menjalankan prinsip Khalwat dar anjuman di antarnya;

Pertama, Fungsi Dunia sebagai “Kamar Mandi” (Ad-dunya Hamāmu), bisa juga

disebut juga dengan proses taubat dan pembersihan diri. Kedua, Dunia sebagai

Ladang Akhirat (Ad-dunya Mazra’atul ’Ākhirat), proses ini untuk menunjukkan

makna positif dunia “dunia ini baik, sangat baik, dunia adalah investasi untuk

119
119

dunia yang akan datang. Banyak manfaat yang didapat dalam dunia, tetapi hanya

orang bijaklah yang mengetahui”. Satu-satunya tujuan adalah akhirat dan semua

yang ada di dunia ini hanyalah alat (wasilah) untuk mencapai tujuan utama. Untuk

itu ada beberapa hal yang harus menjadi orientasi manusia dalam menjalani dunia

ini di antaranya: Hati yang tidak terpikat pada dunia maupun materi, perang

melawan musuh manusia (hawa nafsu, dan godaan setan). Terakhir adalah prinsip

yang paling penting dalam tarekat ini yaitu kasalehan sosial yang akan melahirkan

cinta, dan berbela rasa kepada yang membutuhkan.

Aktivitas sosial dan filantropi Tarekat Naqsyabandiyah Al-Haqqani

diwujudkan secara nyata dalam keterlibatan mereka dengan beberapa organisasi di

antaranya: Pertama, HNCS (Hajjah Naziha Charitable Society) adalah badan amal

yang berbasis di Inggris, Indonesia dan Amerika dengan penjangkauan global

yang berdiri pada tahun 1997 dan didirikan oleh Putri Syekh Nazim Adil Al-

Haqqani yaitu Hajjah Naziha Adil Kabbani. HNCS juga disebut gerakan filantropi

dan badan amal Muslim yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan

manusia yang membutuhkan melalui upaya di tingkat lokal dan global. Proyek-

proyek yang telah didukung oleh organisasi termasuk bantuan darurat, makanan

dan pakaian untuk para tunawisma, penggalian sumur, buku pendidikan dan

distribusi perlengkapan sekolah, lembaga pembayaran zakat dan wakaf, sedekah

dan bantuan untuk anak yatim di tingkat internasional.

Kedua, Karem Food Drive In Indonesia, Karem Food Drive masih satu

divisi dengan HNCS (Hajjah Naziha Charitable Society) dan Majelis Haqqani

Indonesia yang berkerjasama dengan PT. Buana Varia. Untuk Fun Fact Karrem
120

Food Drive Priode 2016-2017 memiliki 30 titik aktif lokasi sumbangan ,130-150

juta yang telah dikeluarkan, 50 jumlah aktif donator, 13.000-15.000 jumlah nasi

box yang telah disumbangkan. Karrem Food Drive tidak hanya memberikan nasi

box saja akan tetapi juga memberikan makanan, paket sembako, minyak, tepung

terigu, gula pasir, kue kaleng, dan uang sekitar 150.000 untuk per-orang. Setiap

zāwiya serentak memberikan paketan atau bingkisan sebagai bentuk bakti sosial

untuk anak-anak jalan, duafa, anak yatim, dan orang kurang mampu. Karem Food

Drive pada 2010 terus berkembang sampai sekarang.

Di sinilah keterlibatan sosial dan filantropi para murid tarekat ini

mendapatkan makna religiusnya. Kerelaan dan kesiapsediaan mereka memberikan

pertolongan dan cinta kepada mereka yang membutuhkan merupakan sarana

untuk menunjukkan cinta kepada Allah. Itulah bentuk kesalehan sosial mereka.

Ciri kesalehan tarekat ini adalah tidak berorientasi pada dirinya sendiri, melainkan

menjadikan keberpihakan kepada mereka yang membutuhkan dan yang

termarjinalkan sebagai tujuan mereka. Keterlibatan mereka dalam kehidupan

bersama di masyarakat bukan semata-mata untuk mendapatkan pahala ataupun

sebuah keterlibatan yang dilakukan sebagai sebuah keterpaksaan. Keterlibatan itu

menjadi sarana latihan rohani mereka untuk mengasah hati dan diri agar semakin

dimurnikan untuk mencintai Allah. Artinya, ketika mereka sedang terlibat aktif

menolong orang-orang yang membutuhkan dan bergaul dengan sesama,

sesungguhnya pada saat yang sama mereka sedang berproses untuk mencintai

Allah dan mengalami Cinta Allah.


121

B. Saran

Untuk lembanga pengawasan tarekat yang ada, sebaiknya bekerja sama

dengan instansi pemerintah, perguruan tinggi Islam dan Ormas Islam. Secara aktif

menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan tarekat

Naqsyabandiyah Al-Haqqani, serta dipublikasikan dan disebarluaskan kepada

masyarakat luas. Untuk para peneliti selanjutnya disarankan tidak hanya meneliti

dari segi sosial saja akan tetapi juga bisa melihat dari sisi tata ekonomi dan politik.

Dari sisi tata ekonomi misalnya bisa meneliti lembaga Tarekat Naqsyabandiyah

Al-Haqqani yaitu Kamilat Muslim Women’s Organization, Yayasan Al-Haqqani

Indonesia dan Haqqani Sufi Foundation. Sedangkan untuk tata politik bisa

meneliti Islamic Supreme Council of America (ISCA) dan Idara Minhajul Qur’an.
Daftar Pustaka

Buku dan Journal:

Abdullah, Fuady “Spiritualitas Sosial Tarekat Naqsabandiyah: Kajian terhadap


Prinsip Khalwat Dar Anjuman”, Jurnal TSAQAFAH: Volume 14, Number
2, November 2018.

Abdullah, Luqman, “Kontribusi Tarekat Naqsyabandiyah Terhadap Pendidikan


Agama Islam dan Perubahan Perilaku Sosial Jamaah (Studi kasus Jamaah
Tarekat Naqsayabandiyah di Dukuh Tompe, Kabupaten Boyolali),
Nazhruna: Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 1, No. 1, 2018.

Abidin, Zaenal, “Manifestasi dan Latensi Lembaga Filantropi Islam dalam Praktik
Pemberdayaan Masyarakat: Suatu studi di Rumah Zakat Kota Malang”,
SALAM: Journal Studi Masyarakat Islam, Volume 15 Nomor 2 Desember
2012.

Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat: Uraian Tentang Mistik, Solo:


Ramadhani, 1993.

Adil, Hajjah Amina, A Scent Of Saintliness, (Tp, 2012).

Alawiyah, Tuti, “Religious non-governmental organizations and philanthropy in


Indonesia”, IJIMS, Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies,
Volume 3, Number 2, December 2013
.
Alba, Cecep, Tasawuf dan Tarekat:Dimensi Esoteris Ajaran Islam, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2012.

Al-Haqqani, Nazuim Adil, Rubies Of Resplendence, Sri Lanka: Mureeds, 2001.

_________, Muhammad Nazim Adil, Heavenly Wisdom: Contemporary


Teachings of a Sufi Master, Cyprus: Spohr-Publishers, 2017.

__________, Nazim Adil al Qubrusi, A Naqshbandi Book of Devotions, Sri


Lanka: Flower Terrace, 1989.

__________, Nazim Adil, 99 Drops From Endless Mercy Oceans, Cyprus: Spohr,
2007.

__________, Nazim Adil, Liberating The Soul A Guide For Spiritual Growth
Volume Five, America: Islamic Supreme Council. 2006.

123
123

___________, Nazim Adil, Mercy Oceans Divine Sources, England: Summer,


1983.

___________, Nazim Adil, Mercy Oceans Rising Sun, Turkei: Sebat Offset Pr,
1986.

___________, Nazim Adil, On the bridge to Eternity, South Africa: Gatesville,


2012.

___________, Nazim Adil, The Sufi Path Of Love, (Sri Lanka: Mureeds, T.t)

__________, Nazim Wege zu den Himmeln, Freiburg: Tt, 2007.

___________, Nazim, Love, Malaga: Sereseres Editions, 2008.

___________, Wege zu den Himmeln(Freiburg, 2007.

Alim, Syaiful, Sembuh dengan Sedekah: Sedekah Basmi Ragam Penyakit,


Yogyakarta: DIVA Press, 2013.

Al-Imam Nawawi, Al-Adzkar, Haromain, t.tp.

al-Qadli, Samir, Mengungkap Kesesatan Nadzim al-Qubrushi, Jakarta: Kalender


Jakrta Timur, 2006.

Al-Qushayri, Abu ‘l-Qasim, Al-Risala al-qushayriyya fi ‘ilm altasawwuf (Al-


Qushayri’s Epistle on Sufi sm), Inggris: Garnet, 2007.

Al-Taftazani, Abu Wafa‟Al-Ghanimi, Tasawuf Islam; Telaah Historis dan


Perkembangannya, terj. Subkhan Anshori, Jakarta: Gaya Media Pratama,
2008.

Andriyanto, Irsyad, “Strategi Pengelolaan Zakat Dalam Pengentasan


Kemisikinan”, Walisongo, Vol. 19, No. 1, Mei 2011.

Anwar, Saifudin, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.

ar Rabbani, Nazim Adil Adil al Haqqani, 99 Drupples uit de Eindeloze Oceanen


van Gennade, Cyprus: Northem, 1999.

__________, Nazim al-Haqqani, GOUTTES des Océans infinis de Miséricorde,


Franch: Simurgh, 2014.

As, Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
124

Asrifin, Tokoh-Tokoh Shufi, Mengungkap: Sejarah Kehidupan dan Ajaran Serta


Karomahnya, Surabaya: Karya Utama, t.t.

Bahjatulloh, Qi Mangku, “Pengembangan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat


Melalui Kegiatan Filantropi (Studi Kasus Lembaga Tazakka DIII Perbankan
Syariah IAIN Salatiga)”, INFERENSI, Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan,
Vol. 10, No.2, Desember 2016.

Bruinessen, Martin van, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat Tradisi-tradisi


Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1995.

Chittick, William C., Jalan Cinta Sang Sufi: Ajaran-ajaran Spriritual Jalaluddin
Rumi, Yogyakarta: Adipura, 2000.

Dahlan, AR., “Tarekat Qodiriyah wan Naqsabandiyah di Jawa Tengah dan Jawa
Timur Studi Kasus di Kecamatan Gerbang Kabupaten Purworejo.”
Semarang: Departemen Agama Balai Penelitian Aliran
Kerohanian/Keagamaan, 2000.

Damrel, David W., “Tarekat Naqsyabandi-Haqqani di Amerika Utara”, Sufi-Sufi


Diaspora: fenomena Sufisme di Negara-Negara Barat, Bandung: Mizan
Media Utama, 2006.

El-Madani, Fiqh Zakat Lengkap, Yogyakarta: Diva Press, 2013.

El-Qum, Mukti Ali, Spirit Islam Sufistik, Bekasi:Mizan, 2011.

Ernst, Carl W., “Tingkatan Cinta Dalam Sufisme Persia Awal, dari Rabiah
Hingga Ruzbihan”, dalam Ribut Wahyudi, Seri Pengantar Tasawuf: Cinta,
Guru, dan Kewalian Dalam Sufisme Awal, Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003.

Farer, D.S, Muslims In Global Societnes Series: Shadows of the Prophet, Matrial
Arts and Sufi Mysticism, Russia: Springer, 2006.

_____, Muslim In Global Societies Series: Shadows of the Prophet Martial Arts
and Sufi Mysticism Vol 2, Singapore: Gabriele Marranci, 2009.

Fauzia, Amelia, “Menghidupi Filantropi Islam” dalam buku, Dari Pesantren


Untuk Dunia Kisah-Kisah Inspiratif Kaum Santri, (t.t).

_______, Amelia, Filantropi Islam: Sejarah dan Kontestasi Masyarakat Sipil dan
Negara di Indonesia, Yogyakarta: Gading Publishing, 2016.
125

Futaqi, Sauqi, “Pembiayaan Pendidikan Berbasis Filantropi Islam: Strategi Rumah


Pintar BAZNAS Piyungan Yogyakarta”, Manageria: Jurnal Manajemen
Pendidikan Islam Vol. 3, No. 2, November 2018/1440.

Ghofur, Ruslan Abdul, “Pemberdayaan Masyarakat Melalui Optimalisasi


Pengelolaan Wakaf Tunai (Studi kasus pada LAZ Baitul Maal Hidayatullah
dan Yatim Mandiri Cabang Lampung), INFERENSI, Jurnal Penelitian
Sosial Keagamaan, Vol. 7, No. 2, Desember 2013.

Hamka, Buya, Tasawuf Modern: Bahagia itu Dekat Dengan Kita Ada di Dalam
Diri Kita, Jakarta: Republik Penerbit, 2016.

Hanieh, Hassan Abu, Sufism and Sufi Orders: God’s Spiritual Paths Adaptation
and Renewalin the Context of Modernization, Jordan: Friedrich-Ebert-
Stiftung Amman Office, 2011.

Haqqani, Nazim, The Path to Spiritual Excellece, Fenton, 2006.

Hasan, Syamsi, Hadis-Hadis Populer, Surabaya: Amelia Camputindo, 2015.

Howell, Julia Day dan Martin van Bruinessen, “Sufime dan “Modern” dalam
Islam”, dalam buku ,Urban Sufism, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2008.

_____, Julia Day, “Seeking Sufism In The Global City Indonesia’s Cosmopolitan
Muslims And Depth Spirituality” Paper di ajukan untuk City University Of
Hong Kong, 2002.

Huda, Nurul, Dkk, “Akuntabilitas Sebagai Sebuah Solusi Pengelolaan Wakaf”,


Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 5, Nomor 3, Desember 2014.

Huda, Sokhi, “Karater Historis Sufisme Masa Klasik, Modern, dan Kontemporer”,
Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam, Vol. 7, No. 1, Juni 2017.

Ja’far, “Tarekat dan Gerakan Sosial Keagamaan Shaykh Hasan Maksum”,


Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam, Vol 5, No 2, Desember 2015.

Jamil, Muhsin, Tarekat dan Dinamika Sosial Politik: Tafsir Sosial Sufi
Nusantara, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Jati, Wasisto Raharjo, “Sufisme Urban Perkotaan: Konstruksi Keimanan Baru Ke


las Menengah Muslim”, Jurnal Kajian & Pengembangan Manajemen
Dakwah, Vol. 05, No 02, Desember 2015.

Jeffery, Arthur, The Foreign Vocabulary of the Quran, Leiden: Brill, 2007.
126

Jusuf, Chusnan, ”Filantropi Modern Untuk Pembangunan Sosial”, Jurnal


Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 01, 2007.

Kabbani, Muhammad Hisham, Classical Islam and the Naqshabandi sufi


Tradition, America: ISCA, 2004.

________, Muhammad Hisham, The “Salafi” Movement Unveiled, America: As-


Sunnah Foundation, 1997.

Kaelan, Metode Penelitian Agama Kualitatif Indisipliner, Yogyakarta: Paradigma,


2010.

Karim, Adiwarman Azwar, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta:


RajaGrafindo Persada, 2004.

Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: PT Gramedia


Pustaka Utama, 1993.
Latief, Hilman, “Filantropi dan Pendidikan Islam di Indonesia”, Journal
Pendidikan Islam, Vol. XXVIII No. 1 2013/1434.

Latief, Hilman, “Islamic philanthropy and the private sector in Indonesia”, IJIMS,
Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies, Volume 3, Number 2,
December 2013.

Latief, Hilman, Melayani Umat: Filantropi Islam dan Ideologi Kesejahteraan


Kaum Modernis, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010.

Lewishon, Leonard, Warisan Sufi Warisan Sufisme Persia Abad Pertengahan


(1150-1500), Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003.

Ma’mur, Syekh, Tasawuf, Jakarta: Majlis Naqhtujamin, 2000.

Mahfud, Choirul, “Filantropi Islam di Komunitas Muslim Tionghoa Surabaya:


Ikhtiar Manajemen Zakat untuk Kesejahteraan dan Harmoni Sosial”,
INFERENSI, Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, Vol. 12, No.1, Juni
2018.

Mahjuddin, Akhlak Tasawuf I: Mukjizat Nabi Karomah Wali dan Ma’rifah Sufi,
Jakarta: Kalam Mulia, 2009.

Mardiah, Siti, “Manajemen Strategi Baznas Dalam Pengelolaan Dana Filantropi


Islam”, I-Finance, Vol. 4. No.1. Juni 2018.

Martin Van Brusinessen, Tarekat Naqsybandi di Indonesia, Survsei Historis,


Geografis dan Sosiologis, Bandung: Mizan, 1992.
127

Marzali, Amri, “Struktural-Fungsionalisme”, Antropologi Indonesia, Vol. 30, No.


2, 2006.

Mashar, Aly, “Genealogi dan Penyebaran Thariqah Qadiriyah Wa


Naqshabandiyah di Jawa”, Al-A’RAF, Vol. XIII, No, 2, Juli-Desember 2016.

Masyhuri, Aziz, Ensiklopedi 22 Aliran Tarekat Dalam Tasawuf, Surabaya:


Imtiyaz, 2011.

Mufid, Ahmad Syafi’I, Tangklukan, Abangan, dan Tarekat: Kebangkitan Agama


di Jawa, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006.

Mulyati, Sri, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Multabarah di


Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005.

Munandar, Siswoyo Aris, “Islam Rahmatan li ‘alamin Dalam Perspektif


Nahdlatul Ulama”, El-Tarbawi: Jurnal Pendidikan Islam, Vol. XI, No. 1,
2018.

Muqhniyah, Muhammad Jawad, Fiqh Lima Mazhab, Jakarta: PT Lentera


Basritama, 1999.

Mustafa, Agus, Terpesona di Sidratul Muntaha: Serial ke-3 Diskusi Tasawuf


Modern, Jakarta: Padma. 2004.

Mustofa, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustak Stia, 2010.

Muthahhari, Murtadha dan S.M.H Thabathabai, Menapak Jalan Spiritual, terj.


M.S. Nasrullah Bandung: Pustaka Hidayah, 1997.

Nasrullah, Aan, “PENGELOLAAN DANA FILANTROPI UNTUK


PEMBERDAYAAN PENDIDIKAN ANAK DHUAFA (Studi Kasus pada
BMH Cabang Malang Jawa Timur)”, Hunafa: Jurnal Studia Islamika, Vol.
12, No. 1, Juni 2015.

Nielsen, Jorgen S. dan Galina Yemelianova, “Sufisme Transnasional


Haqqaniyah”, dalam buku, Sufi-Sufi Diaspora: fenomena Sufisme di
Negara-Negara Barat, Bandung: Mizan Media Utama, 2006.

Nizam, Mohammad, Mengenal Tarekat Naqsyabandiyah Mujaddadiyah


Khalidiyah, Sidoarjo: Risalah Ahlus-Shofa wal Wafa‟,t.t.

Noer, Kuatsar Azhari, Tasawuf Perenial: Kearifan Kritis kaum Sufi, Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta. 2003.
128

Nugroho, Wahyu, Keterlibatan Sosial Sebagai Sebuah Devosi Sebuah Kesalehan


Sosial Tarekat Naqshbandiyah Nazimmiyah, GEMA TEOLOGI Vol. 39,
No. 1, April 2015.

Nurbakhsy, Syekh Javad, Belajar Bertasawuf: Mengerti Makna dan


Mengamalkan Zikir, Tafakur, Muraqabah, Muhasabah, dan Wirid, Jakarta:
Zaman, 2016.

Nurika, Wafirotun, “Nilai-Nilai Sosial Pada Pengamal Tarekat Naqsyabandiyah


Desa Tawang Rejo Wonodadi Belitar”, Spiritualita, Vol 1, No 1 Juni 2017.

Qaradhawi, Yusuf, Spektrum Zakat: Dalam Membangun Ekonomi Kerayatan,


Jakarta Timur: Zikrul, 2005.

Rahardjo, M. Dawam, Berderma untu Semua: Wacana dan Praktik Filantropi,


Jakarta: Teraju, 2003.

Ratna, Nyoman Kutha, Metodologi Penelitian: Kajian Budaya dan Ilmu Sosial
Hurmaniora Pada Umumnya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

Rosihon, Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, Bandung: CV Pustaka Setia,
2000.

Said, A. Fuad, Hakekat Tarikat Naqsyabandiah, Jakarta: Al-Husna Zikra, 1996.

Sajaroh, Wiwi Siti, “Tarekat Naqsyabandiyah: Menjalin Hubungan Harmonis


dengan Kalangan Penguasa”, dalam Sri Mulyati (ed), Mengenal dan
Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta: Kencana,
2005.

Sakhok, Jazilus dan Siswoyo Aris Munandar, “Aktivitas Sosial Tarekat


Naqsyabandiyah Al-Haqqani Sebagai Bentuk Kesalehan Sosial”, Prosiding
di ajukan kepada Pascasarjana IAIN Kediri, Vol. 1, No. 1, 2018.

Schimmel, Annemarie,”Mistical Dimension of Islam”, terj. Saprdi Djoko Damono


dkk, Dimensi Mistik Dalam Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.

Selamat, Kasmuri dan Ihsan Sanusi, Akhlak Tasawuf Upaya Meraih Kehalusan
Budi Kedekatan Ilahi, Jakarta: Kalam Mulia, 2012.

Shadiqin, Sehat Ihsan, “Tasawuf Di Era Syariat: Tipologi Adaptasi dan


Transformasi Gerakan Tarekat Dalam Masyarakat Aceh Kontemporer”,
Substantia, Volume 20 Nomor 1, April 2018.
129

Shofa, Rizka Amalia dan Imam Machali, “Filantropi Islam Untuk Pendidikan:
Strategi Pendanaan Dompet Dhuafa Dalam Progam Sekolah Guru Indonesia
(SGI)”, MADANIA Vol. 21, No. 1, Juni 2017.

Sholihin dan M. Rosyid Anwar, Akhlak Tasawuf: Manusia, Etika, dan Makna
Hidup, Bandung: Penerbit Nuansa, 2005.

Sholikhin, Muhammad, Tasawuf Aktual: Menuju Ihsan Kamil, Semarang: Pustaka


NUUN, 2004.

Siregar, Lindung Hidayat, “Sejarah Tarekat dan Dinamika Sosail”, MIQOT, Vol.
XXXIII No. 2 Juli-Desember 2009.

Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf: Untuk Mata Kuliah Ilmu Tasawuf Di
Seluruh Jurusan PTAIN dan PTAIS, Bandung: Pustaka Setia, 2002.

Syukur, Amin, Tasawuf Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.

Syukur, Amin, Zuhud di Abad Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Syukur, Fatah, Sejarah Peradaban Islam, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra,


2009.

Uyun, Qurratul, “Zakat, Infaq, Shadaqah, dan Wakaf Sebagai Konfirgurasi


Filantropi Islam”, Islamuna, Volume 2 Nomor 2 Desember 2015.

Wasalmi, ”Mahabbah Dalam Tasawuf Rabi’ah al-Adawiah”, Sulesna, Vol 9, No.


2, 2014.

Wediawati, Besse, “Revitalisasi Filantropi Islam di Kota Jambi: Studi Pada


Lembaga Zakat dan Masyarakat Muslim Pemberi Derma di Kota Jambi”,
Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Humaniora, Vol. 14, No.1, 2012.

Widayawati, Filantropi Islam Kebijakan Negara Pasca-Orde Baru: Studi tentang


Undang-Undang Zakat dan Undang-Undang Wakaf, Bandung: Arsad Press,
2011.

Widiyanto, “Widiyanto, Spirituality Amidst The Uproar Of Modernity: the Ritual


of Dhikr and its meanings Among Members Of Nasyabandiyah Sufi Order
in Western Europe, Al-Jami’ah” Al-Jami’ah” , Al-Jami’ah, Vol. 44, No. 2,
2006.

William C Chittick, The Sufi Path of Love: The Spiritual Teaching of Rumi, New
York. 1983.

Yayasan Haqqani Indonesia, Ahl Haq Vol. 4. (Jakarta: t.t).


130

Yayasan Haqqani Indonesia, Profil Yayan Haqqani Indonesia, Jakarta: PT


Jayakarta Agung Offset, t.t.

Yusuf, Moh. Asror, “Konsep Manusia Ideal Seyyed Hossein Nasr dan
Relevansinya Dengan Pengembangan Karakter Masyarakat Modern
Indonesia”, Didaktika Religi Vol. 4, No. 1 2016.

Zakariya, Bahruddin, Sabilus Sâlikin: Jalan Para Sâlik Ensiklopedi


Tharîqah/Tashawwuf, Pasuruan: Pondok Pesantren NGALAH, 2012.

Zuhri, Saifudin, Zakat Di Era Reformasi (Tata Kelola Baru), Bandung: Mizan,
2015.

TESIS:

Dzulfikar, Asep Saiful, “Tarekat Dalam Perubahan Sosial:Studi Terhadap Tarekat


‘Alawiyah Yogyakarta”, Tesis Diajukan Kepada Universitas Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2015.

Fauzia, Amelia, “Faith and The State: A History Of Islamic Philanthopy In


Indonesia”, Tesisi diajukan untuk The Asia Institute The University Of
Melbourne, 2008.

Hanisah, “The Rise and Role Of Tariqa Among Muslim In Singapore The Case
Of The Naqsabandi Haqqani”, Tesis diajukan untuk National University of
Sinagapore. 2010.

Makhasin, Luthfi, “The Politics Of Contending Piety: Naqshbandi-Haqqani Sufi


Movement and the Struggle For Islamic Activism in Contemporary
Indonesia”, Tesis diajakun kepada The Australian National University,
2015.

Widayawati, “Filantropi Islam Kebijakan Negara Pasca-Orde Baru: Studi tentang


Undang-Undang Zakat dan Undang-Undang Wakaf”, Tesis di ajukan untuk
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.

WEB:

Hanifullah Khan, “Mysticism Of Rahman Baba And Its Educational Implications”


(Disertasi pada Department of Social Sciences /Qurtuba University of
131

Science and Information Technology, Peshawar); http://prr.hec.gov.


pk/Chapters/362S-2.pdf. Diakses pada tanggal 12 Juni 2019.

Http://saltanat-transcriptions.s3.amazonaws.com/german/2012-05
08.de.WorkForAkhirat.pdf. Diakses pada tanggal 24 Juni 2019.

Http://saltanat-transcriptions.s3.amazonaws.com/german/2012-05-08.
de.WorkForAkhirat.pdf. Diakses pada tanggal 11 Mei 2019.

Cambridge Muslim College, Shaykh Abdal Hakim Murad - Riding the Tiger of
Modernity (2016), https://www.youtube.com/watch?v=07Ien1qo_qI&t=51s.

Http://www.sufi smus-online.de/powerofLove. Diakses pada tanggal 11


November
2012.

Michael Laffan, « From alternative medicine to national cure. Another voice for
the Sûfî orders in theIndonesian media », Archives de sciences sociales des
religions [Online], 135 | juillet septembre 2006, Online since 16 October
2009, connection on 21 April 2019. URL :
http://journals.openedition.org/assr/3757

http://www.kampungrejodani.site90.net: diakses pada 22 juni 2019

https://hajjahnaziha.org/school-remodel-progress/ di akses pada 22 Juni 2019.

Hajjahnaziha.org

hajjahnazihacharity.co.uk

https://www.academia.edu/22410362/Dzikir_Khatmu_lKhw%C4%81jag
%C4%81n di akses pada 12 juli 2019.

US History Encyelopedia http://www.answers.com/topic/philanthropy (diakses


20/05/2019)
Robet D. McChesney, “Charity and Philantropy in Islam”, dalam
http://www.learningtogive.org/faithgroups/phil_in_america/philanthropy_isl
am.asp (diakses pada 20/05/2019)

Wawancara:

Wawancara dengan tokoh Tarekat Naqshbandiyah Haqqaniah yaitu Syekh


Mustafa Yogyakarta pada 23 Januari 2019.
132

Wawancara Pribadi dengan Syahdan di Zawiyah Cinere, pada 21 Oktober 2017

Wawancara Pribadi dengan Sugiarto di Zawiyah Cinere, pada 21 Oktober 2017

Wawancara pribadi dengan Micky di Zawiyah Cinere, pada 21 Oktober 2017.

Wawancara pribadi dengan Meni di Zawiyah Cinere, pada 21 Oktober 2017

Wawancara dengan Muhammad Abdul Ra’uf (pemilik Café Rumi), pada 18


Oktober 2017.

Wawancara dengan tokoh Tarekat Naqsyabandiyah Haqqani yaitu Syaik Doni di


Depok, Jawa Barat pada 21 Oktober 2017.

wawancara dengan Sri Umiyati Alifah di Sogan Batik Yogyakarta.

Wawancara dengan Bapak faiz di Sogan Batik pada 10 Maret 2018

Wawancara dengan Ustad Lutfi di Sogan Batik 10 Maret 2018.

Wawancara Pridai dengan Pak Joko Sulistio di Yogyakarta 22 Desember 2018.

Anda mungkin juga menyukai