Anda di halaman 1dari 22

Kontribusi Tarekat Qadiriyah .....

(Muhammad Sa’i)

KONTRIBUSI TAREKAT QADIRIYAH WA


NAQSABANDIYAH DALAM DAKWAH ISLAMIYAH DI
LOMBOK

H. L. Shohimun Faisol dan Muhammad Sa'i∗

Abstraksi : Kata tarekat (bahasa Arab) secara sederhana


diartikan sebagai cara, jalan atau metode. Yaitu jalan atau
metode psikologis yang dilalui oleh seorang sâlik ( penempuh
jalan spiritual ) untuk mendekatkan diri pada Allah atau
untuk mengenali Allah. Metode (tarekat) ini terformalkan
secara sistemik pada abad ke-2 Hijriah (11 Masehi), sebagai
antitesa terhadap sikap hidup yang berorientasi duniawiyah
(world oriented) dari para penguasa dan masyarakat ketika itu.
Visi dan misi dari "perancang" ini disalurkan lewat lembaga-
lembaga binaan sederhana di pojok-pojok masjid, ribâth-ribâth
dan rumah guru. Selajutnya dari lembaga binaan tersebut
ditransmisikan lewat jaringan para murid yang memperoleh
linsensi sebagai pengembang dari guru (syekh) nya. Riset ini
secara spesifik menganalisis jaringan tarekat Qadiriyah wa
Naqsabandiyah di Lombok. Dasar pemikirannya adalah
bahwa tarekat ini mendapatkan tempat tersendiri dalam pola
dan interaksi masyarakat Sasak, mulai dari jenis dan sistem
penjenjangan amalan, sampai aplikasi nyata di tingkat
masyarakat umum di berbagai pusat ibadah (masjid) dari
perkotaan sampai pedesaan terpencil, dan bahkan ghîrah
ziarah ke kuburan/makam para syekh (wali) dipersepsikan
penghormatan tertinggi terhadap guru untuk mendapatkan
barakah.

Kata Kunci: tarekat, jaringan, kontribusi, mursyid-murid,


dakwah.


Penulis adalah dosen tetap Fakultas Dakwah IAIN Mataram.

1
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 1, No. 2, Juni 2005: 1-....

PENDAHULUAN
Sufisme atau tasawuf dalam praktek Islam dapat dimaknai
sebagai intensifikasi dan interiorisasi dari semangat keyakinan Islam.
Kelahiran ajaran tasawuf ini bersifat koekstensif dengan Islam, dan
dipahami sebagai ruh (inti) yang memberi kehidupan dalam
aktualisasi Islam itu sendiri. Locus dari ajaran tasawuf bersumber
dari suatu keyakinan tentang Tuhan sebagai Yang Maha Agung (al-
jalâl) Yang Maha Indah (al-jamâl) serta Realitas Diri (Zat) yang absolut
dan tak terhingga (Misticism of infinity). Konsep tentang Tuhan
sebagai "Zat Yang Maha" dalam segala dimensi kehidupan
memunculkan keinsyafan dan dan refleksi diri yang terjawantahkan
dalam sistem berfikir atau mempersepsi semua relitas.
Sejalan dengan perkembangannya dan adanya formulasi
ajaran Islam, maka gerakan tasawuf dengan para tokohnya (sufi)
terkategorikan menjadi dua kelompok. Pertama; kelompok kategori
sufi individual yaitu mereka yang terpanggil untuk mempraktekkan
kehidupan mistis dan asketis. Mereka adalah tokoh-tokoh tasawuf
praktisi ( tasawuf 'amaly ) dan tasawuf teoritis ( tasawuf nazhari ) yang
kemudian terkenal dengan karya-karya mereka. Mereka adalah
special figure dalam satu fenomena praktek esoterik ajaran Islam.
Kedua; kelompok sufi yang terikat oleh aliran tertentu dan
merupakan satu persaudaraan yang sering disebut sebagai kelompok
tarekat.
Kelompok tarekat (tarekat, jm.: thuruq atau tharaiq) secara
bahasa berati "jalan" atau "cara".1 Penggunaan kata ini kemudian
secara terminologis ditujukan pada suatu organisasi sosial maupun
kewajiban-kewajiban yang ditujukan untuk maksud khusus yang
menjadi basis ritual dan struktur kelompok. Maka kelompok sufi
atau tarekat mencakup spektrum aktivitas yang luas dalam sejarah
dan masyarakat muslim.2
Formulasi tasawuf menjadi gerakan tarekat berorientasi
pada latihan-latihan spiritual (riyâdlah) melaluli serangkaian amal
(zikir) yang bertujuan menyucikan diri (tazkiah al-nafs) sebagai
perantara mendekatkan diri pada Allah (taqarrub illahi). Dan
formulasi ini dalam perkembangan selanjutnya menjadi institusi

1
Ibnu Manzur, Lisân al-Arab,( Bairut : Dar Ihya al-Turats al-'Araby.
T.th ), 155.
2
John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Moderen, jilid 5
(Bandung , Mizan, 2001), 215.

2
Kontribusi Tarekat Qadiriyah ..... (Muhammad Sa’i)

organisasi formal atau semi formal yang bergerak dalam bidang


sosial, ekonomi dan bahkan politik 3.
Dalam konteks kehidupan sosial-religius masyarakat Sasak,
tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah yang diformulasikan oleh
Syekh Ahmad Khatib Sambas pada tahun 1875 M, adalah salah satu
institusi tarekat yang mendapatkan apresiasi besar dari masyarakat
Muslim di pulau Lombok. Indikasi yang memperkuat pandangan ini
adalah bahwa; a) Praktek ajaran yang mencirikan tarekat ini meluas
ke hampir seluruh penjuru pulau "Seribu Masjid " ini, mulai dari
praktek latihan spiritual (riyâdlah) dan amalan-amalan kontemplatif
(dzikir jahr dan sirr) di setiap masjid setelah melaksanakan shalat lima
waktu. b) Sikap dan tindakan ta'zim kepada para mursyid tarekat ini,
dan c) Penghormatan makam-makam para mursyid.
Penelitian ini mengungkapkan tentang kontribusi gerakan
tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah dalam rentang perjalanan
sejarah perkembangan Islam pada masyarakat suku sasak di pulau
Lombok. Dan secara umum, masalah yang ingin diungkap dari
penelitian ini adalah bagaimana tarekat Qadiriyah wa
Naqsabandiyah ini berpengaruh besar terhadap sistem
keberagamaan masyarakat?. Secara sistemik organisasi penelitian
difokuskan pada bagaimanakah jaringan awal dari tarekat Qadiriyah
wa Naqsabandiayh ini di Lombok?. Selanjutnya apa dan bagaimana
kontribusi dan metodenya dalam mengembangkan ajarannya.

METODE PENELITIAN
Bertolak dari orientasi kajian, penelitian ini dikategorikan
sebagai penelitian dengan jenis deskriptif–analitik dengan
menggunkanan pendekatan historis-sosilogis. Hal ini didasari pada
pertimbangan bahwa penelitian ini menggambarkan bagaimana
realitas dan pergerakan yang terjadi pada tarekat Qadiriyah wa
Naqsabandiyah di pulau Lombok yang terkait dengan situasi dan
kondisi serta tuntutan keadaan. Atau dengan kata lain penelitian ini
bemaksud mengungkapkan bahwa keadaan atau kondisi saat ini
merupakan kelanjutan dari masa sebelumnya. Dengan pendekatan
historis-sosiologis ini diungkapkan bagaimana realitas sejarah dan
kondisi sosial masyarakat dan relevansinya dengan gerakan suatu
institusi keagamaan.

3 Gilsenan M. Saint and Sufi in Modern Egypt : An essay in The


Sociology of Religion, ( Oxford : Oxford University Press, 1973 ) h.1

3
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 1, No. 2, Juni 2005: 1-....

Sesuai dengan judul yang ditentukan, lokasi yang dijadikan


setting penelitian adalah Pulau Lombok yang meliputi Lombok Barat,
Kota Mataram dan Lombok Tengah Propinsi Nusa Tenggara Barat.
Dipilihnya pulau ini sebagai lokasi penelitian mengingat cara dan
pola laku serta praktek ajaran agama suku sasak yang merupakan
mayoritas penduduk pulau ini sangat kental dengan nuasa-nuasa
sufistik.
Pengumpulan data dilakukan dengan beberapa teknik, yaitu ;
observasi, wawancara dan dokumentasi. Observasi dilakukan
dengan pengindraan langsung kondisi, situasi, proses dan prilaku.
Metode ini dilakukan untuk memperoleh gambaran dan data
lapangan yang terkait dengan kondisi dan prilaku jamaah tarekat.
Wawancara dilakukan kepada dua orang mursyid di masing-masing
lokasi yang diperkuat dengan jamaahnya. Data yang dikumpulkan
dari wawancara ini adalah seputar pola gerakan dan kaderisasi serta
sistem pembinaan. Sedangkan dokumentasi dilakukan untuk
mendapatkan data-data tertulis tentang struktur jaringan dan
pergerakan juga dokumen tentang jamaah.
Oleh karena penelitian menggunakan pendekatan kualitatif
maka data-data yang telah terkumpul dari berbagai sumber dianalisis
dan disusun dalam pola tertentu, fokus tertentu, tema tertentu
dengan melakukan reduksi data. Hasil dari reduksi ini di-display
untuk setiap pola, ketegori, fokus dan tema serta pokok masalahnya.
Display data ditunjukkan dengan penyajian ke dalam sejumlah
matriks yang relevan, baik matriks yang menunjukkan kronologis
suatu program maupun jalinan pengaruh mempengaruhi. Fungsi
matriks-matriks display data tersebut untuk memetakan data yang
direduksi, memudahkan pengkonstruksian dalam menuturkan dan
menyimpulkan serta menginterpretasi data.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Jaringan Awal dan Asal Usul Tarekat Qadiriyah Wa
Naqsabandiyah di Lombok
Islam sebagai agama menekankan ketundukan secara total
pada Tuhan baik lahir maupun batin. Formalisasi sistem ketundukan
total ini kemudian dikemas dengan seperangkat panduan praktek
lahiriah (syari’ah) dan jalan atau cara penyucian batin (tarekat).
Dilihat dari akar kesejarahannya, thariqat (tarekat) yang
menawarkan jalan batin atau disiplin spiritual merupakan sebuah

4
Kontribusi Tarekat Qadiriyah ..... (Muhammad Sa’i)

metode yang digunakan para pencari kebersihan jiwa (kaum sufi)


tidak sekedar mematuhi perintah lahiriah akan tetapi juga mengenal
Tuhan. Gerakan ini kemudian menjadi sebuah gerakan kaderisasi
yang terlembagakan ketika hidup Islam (umat Islam) yang
diwujudkan secara resmi dan formal lewat hukum lahir, telah
mengantarkan mereka pada suatu masa dimana mereka hidup
dengan kemewahan dan buaian kekayaan duniawi dan kekuasaan.
Mereka para pengamal tarekat ini hidup dan tumbuh sebagai
individu yang tidak sepenuhnya puas dengan mengikuti dan
mentaati hukum formal Tuhan. Mereka menganggap remeh
kehidupan dunia dan terdorong untuk kembali dan meneladani
kesederhanaan hidup Nabi. Mereka lebih menumbuh-kembangkan
rasa cinta pada Tuhan dan menghindari diri dari dunia materi.
Dalam prakteknya kemudian mereka lebih mengutamakan
pertaubatan atas dosa, memperlihatkan ketaatan sejati (taqwa),
kehidupan bersahaja (faqir miskin atau peminta), banyak berzikir
dan mencari petunjuk yang lebih dalam lewat hidup tersembunyi.
Tradisi kehidupan kesederhanaan yang diperlihatkan kaum
sufi (tarekat) ini dalam bentangan sejarah Islam kemudian
tertranspormasikan lewat pembinaan di pojok-pojok masjid
(zâwiyah), ribâth-ribâth dan rumah-rumah guru. Dan dari sinilah
muncul cikal bakal proses pembinaan yang lebih terlembaga-
formalkan. Dua masjid agung di Makkah dan Madinah dipastikan
sebagai lokus terpenting bagi para ulama dan murid untuk terlibat
dalam jaringan ilmu keilmuan sejak dekade abad ke-15 dan
selanjutnya 4.
Di Makkah ini dan khususnya di Masjid al-Haram, muncul
pusat-pusat diskusi (halaqah-halaqah) atau ribâth-ribâth dalam berbagai
disiplin ilmu agama termasuk pengembangan ajaran-ajaran tarekat.
Dan kemudian dalam perkembangan selanjutnya pada abad ke-18
muncul sebuah tarekat yang dimodifikasi dari gabungan Tarekat
Qadiriyah dan Naqsabandiyah oleh Syekh Ahmad Khatib Sambasi
dengan nama Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.
Syekh Ahmad Khatib Sambas adalah seorang ulama yang
sangat disegani pada masanya dan menjadi panutan dari murid-
murid (penuntut ilmu) khususnya yang berasal dari Nusantara.
Beliau berasal dari Sambas, Kalimantan Barat dan tinggal di Makkah

4
Azyumardi Azra, Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara,
Bandung: Mizan, 2002, hal. 64

5
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 1, No. 2, Juni 2005: 1-....

sampai wafat disana sekitar tahun 1878 5.


Sebagai seorang guru tarekat, ia mengangkat khalifah6 yang
sewaktu-waktu menjadi asistennya dalam memperlancar proses
transformasi ajarannya. Mereka para khalifah tersebut adalah tiga
orang yang dianggap paling berpengaruh dan menonjol yaitu; Syekh
Abdul Karim yang berasal dari Banten, Syekh Ahmad Hasbullah ibn
Muhammad yang berasal dari Madura, dan Syekh Tholhah yang
berasal dari Cirebon.7 Disamping itu ada beberapa khalifah-nya yang
kurang begitu penting; Muhammad Ismail ibn Ibrahim dari Bali,
Syekh Yassin dari Kedah (Malaysia), dan juga beberapa orang yang
berjasa dalam mengembangkan ajarannya yaitu; Haji Ahmad
Lampung, dan Muhammad Ma’ruf ibn ‘Abdullah Khatib dari
Palembang.8
Secara historis, usaha penyebaran tarekat Qadiriyah wa
Naqsabandiyah di Pulau Lombok diperkirakan sekitar abad ke-19,
yaitu setelah kembalinya sejumlah Tuan Guru yang belajar di
Makkah (Masjid al-Haram) dari khalifah-khalifah yang diangkat oleh
Syekh Khatib Sambas. Martin Van Bruinessen dalam wawancaranya
dengan Tuan Guru Haji Muhammad Faishal menyebutkan beberapa
orang khalifah tarekat asal Lombok yang diangkat oleh Syekh Abdul
Karim Banten (khalifat Syekh Ahmad Khatib Sambas) yaitu; Tuan
Guru Haji Muhammad Amin Pejeruk Ampenan, Tuan Guru Haji
Muhammad Siddiq Karang Kelok Mataram dan Tuan Guru Haji
Muhammad Ali Sakra Lombok Timur.9 Pendapat senada
dikemukakan oleh Fath Zakaria dalam bukunya Mozaik Budaya Orang
Mataram, menyebutkan beberapa khalifah awal tarekat Qadiriyah wa
Naqsabandiyah yaitu: a) Tuan Guru Haji Muhammad Amin Pejeruk
(putra Sultan Saleh asal Bone Sulawesi) yang selanjutnya
mengangkat beberapa orang khalifah lagi antara lain; Tuan Guru Haji
Abdul Hamid al-Makki (putra beliau) Tuan Guru Haji Abdul Mu’in
asal Karang Buaya Pagutan, dan Tuan Guru Haji Muhammad Arsyad

5
Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia Survei
Historis,Geografis dan Sosiologis, ( Bandung : Mizan 1992 ), 91
6khalifah dalam terminologi tarekat adalah seorang murid yang

telah mencapai tarap tertentu menurut ukuran normatif seorang syekh


(guru spiritual tarekat).
7
Dadang Rahmad, Tarekat Dalam Islam Spiritualitas Masyarakat
Modern, ( Bandung: Pustaka Setia, 2002 ), 100
8
Martin Van Bruinessen, Tarekat.., 92.
9
Ibid, 219-220.

6
Kontribusi Tarekat Qadiriyah ..... (Muhammad Sa’i)

asal Getap Cakranegara; b) Tuan Guru Haji Muhammad Siddiq yang


selanjutnya mengangkat beberapa orang khalifah; di antaranya Tuan
Guru Haji Ma’mun asal Praya Lombok Tengah, Tuan Guru Haji
Munawwar asal Gebang dan Tuan Guru Haji Muhammad Munir asal
Karang Bedil Mataram; c) Tuan Guru Haji Muhammad Ali asal Sakra
Lombok Timur yang juga mengangkat beberapa orang penerus
(khalifah).10
Selain Tokoh tarekat yang secara langsung mengakses dari
para khalifah lokal (Lombok) terdapat sejumlah tokok lain yang yang
mengakses dari Jawa seperti Tuan Guru Haji Abhar Pagutan. Beliau
ber-bai’at tarekat Naqsabandiyah dari KH. Mustai’in Ramli putra
KH.Ramli Tamim Jombang 11.
Seiring dengan kondusifnya kehidupan keagamaan pada
Orde Baru dan Orde Reformasi (sejak tahun 1960-an sampai
sekarang) jumlah penganut tarekat semakin menunjukkan
perkembangan yang signifikan. Hal ini diakui oleh beberapa mursyid
yang menyatakan terjadi perkembangan jumlah penganut tarekat
setiap tahunnya. Hanya saja mereka enggan dan bahkan tidak mau
menyatakan secara kuantitas berapa jumlahnya, sebab jumlah
penganut tersebut sendiri tidak didaftarkan dalam buku induk
keanggotaan. Alasan para mursyid untuk tidak mencacat jumlah
penganut aliran mereka adalah; a) mereka yang mengamabil jalan
tarekat adalah atas dasar kemauan dan kesadaran sendiri sehingga
dengan tanpa ada pencatatan pun mereka akan tetap konsisten
mengamalkannya, dan b) tidak ingin disebut-sebut (sum’ah) yang
membuat mereka menjadi ria’ dan sombong.
Walaupun demikian untuk memperkuat argumen tentang
perkembangan jumlah penganut tarekat tersebut, Tuan Guru Haji
Mustiadi Abhar menyebutkan bahwa jumlah penganut tarekat
Qadiriyah wa Naqsabandiyah yang ber-bai’at pada Tuan Guru Haji
Abhar (wafat 1993) sebanyak 40.000 orang yang tersebar di beberapa
wilayah di Lombok Barat, Lombok Tengah dan bahkan Lombok
Timur, sedangkan jumlah yang ber-bai’at kepadanya sampai tahun

10
Fath Zakaria, Mozaik Budaya Orang Mataram, ( Mataram NTB:
Yayasan” Sumurmas Al-Hamidy “ 1998) ,142-144
11
Wawancara dengan Tuan Guru haji Mustiadi Abhdar, tanggal 6
Oktober 2004.

7
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 1, No. 2, Juni 2005: 1-....

2004 sebanyak 10.000,12 Sedangkan Tuan Guru Haji Abdul Hafiz13


menyebutkan bahwa jamaah tarekat yang ber-bai’at kepada beliau
sampai dengan tahun 2004 ini sebanyak 1000 orang, yang tersebar di
beberapa dusun sekitarnya. Sementara itu Tuan Guru Haji
Ridwanullah Bermi juga memperkirakan jumlah jamaah tarekat yang
ber-bai’at kepadanya sampai saat ini (2004) sekitar 3000 orang.
Demikian juga Tuan Guru Haji Abdul Rauf Jabon Bagu yang telah
ber-bai’at pada Tuan Guru Haji Makmun Sisik menyebutkan bahwa
jamaah tarekat yang telah ber-bai’at padanya sekitar 2000 orang.
Bergabungnya sejumlah besar masyarakat pada tarekat ini
disebabkan oleh bebarapa faktor antara lain ; a) Faktor lingkungan
sosiologis. Faktor lingkungan sosiologis artinya bahwa masyarakat
Sasak yang secara geografis terkenal dengan simbol pulau seribu
masjid terdiri adalah masyarakat yang fanatik agama. b) Faktor
kesempurnaan agama. Dari beberapa informan yang diwawancarai
mengatakan bahwa dengan menggabungkan diri pada tarekat
semakin menyadari nilai-nilai dan doktrin ajaran Islam yang
mengedepankan kehidupan berkeseimbangan (al-tawazun) antara
urusan dunia dan urusan akhirat, juga antara tugas pengabdian
(ibadah sebagai ‘abid) dan peran sosial (kekhalifahan sebagai khalifah).
Ketidakseimbangan di antara hal-hal tersebut berimplikasi pada
sikap dan mentalnya. Orang yang memasuki dunia tarekat pada
dasarnya memahami dan menyelami makna dan fungsi dari dirinya
sebagai hamba Allah. c). Faktor psikologis. Faktor ini dapat berupa
latar belakang pengalaman (experience) sebelum memasuki dunia
tarekat baik pengalaman yang bersifat material seperti tekanan
ekonomi dan atau kegagalan usaha ataupun pengalaman rohani dari
aliran yang pernah diyakini. Sehingga dengan memasuki dunia
tarekat mereka menginginkan adanya metode pendekatan (taqarrub)
alternatif kepada Allah yang lebih khusyu’ dan menjanjikan sesuatu

12
Wawancara tanggal 6-Oktober 2004 dengan Tuan Guru Haji
Mustiadi.
13
Tuan Guru Haji Lalu Abdul Hafizh tinggal di Masjuring Bonder
Praya Barat Lombok Tengah, lahir di Penujak sekitar tahun 1920. Pada masa
remajanya ia pernah nyantri di Pondok Pesantren Darul Qur’an Bengkel
pimpian Tuan Guru Haji Saleh Hambali. Beliau masuk dan berbai’at Tarekat
Qadiriyah Naqsabandiyah sekembalinya dari belajar di Makkah dari Tuan
Guru Haji Abdul ‘Azim murid Tuan Guru Haji Muhammad Siddiq. Dan
beliau berbait pula pada Tuan Guru Haji Makmun Karang Lebah Praya.
(Wawancara tanggal 11 Nopember 2004)

8
Kontribusi Tarekat Qadiriyah ..... (Muhammad Sa’i)

yang dapat memberikan kepuasan spiritual.

Tabel 1.
STRUKTUR JARINGAN GERAKAN TAREKAT DI LOMBOK
Ahmad Khatib Sambas

Syekh Abdul Karim Banten

Tgh. Amin Pejeruk Tgh. M. Siddiq Kr. Kelok Tgh. M. Ali Sakra KH. Ramli Tamim

Tgh. Abd. Hamid al-Maky Tgh. Ahmad

Tgh. Mustjafa Faesal Tgh. Musthafa

Tgh. Hamid Faesal Tgh. Muh. Rais

LOMBOK BARAT LOMBOK TIMUR


Tgh. Arif Tgh. Badaruddin
Tgh. Muin Tgh. Akar
Tgh. Munawwar H. Makmun
Tgh. Ahmad

LOMBOK TENGAH

Tgh. Makmun Tgh. Umar Tgh. Azim Tgh. M. Shaleh KH. Mustain
Gerunung Ramli

Tgh. Muhsin Tgh. Makmun Tgh. Hudaimi Tgh. Abd. Hafidz Tgh. Bais Tgh Abhar
Tgh. Nuri Pagutan
Tgh. Misbah

Tgh. Izzi Tgh.Tauhidillah Tgh. Hakam Tgh Mustiadi


Tegal Pagutan

Tgh. Ridwanullah Tgh. L. Munir

9
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 1, No. 2, Juni 2005: 1-....

Kontribusi Tarekat Qadiriyah Wa Naqsabandiyah Terhadap


Perkembangan Dakwah Islamiyah
Pra Kemerdekaan
Secara historis, wilayah Nusantara pada umumnya dan
Lombok khususnya berada di bawah cengkraman tangan penjajah
yang sangat panjang. Dalam masa yang berkepanjangan tersebut
kebebasan menjalankan hak individu maupun kolektifnya
mendapatkan tekanan yang sangat berat baik lahir maupun batin.
Sejarah mencatat, bahwa pulau Lombok (masyarakat Sasak)
berada di bawah tekanan kolonial Kerajaan Bali sejak abad 16 (1686-
1894) selama kurang lebih 208 tahun. Kerajaan Bali (Karang Asem)
berhasil menduduki daerah Lombok bagian barat (Ampenan,
Mataram dan Cakranegara) pada penghujung akhir abad ke-16 (1675
saka atau 1593 Masehi) dan berhasil mengkonsolodasikan
kekuasaannya terhadap seluruh Lombok setelah mengalahkan
kerajaan Makasar pada tahun 1740.14
Setelah itu datanglah penetrasi kolonial Belanda dengan
melancarkan serangkaian serangan yang meluluhlantahkan dan
Lombok dinyatakan bertekuk lutut secara militer pada tanggal 29
Desember 1894. Belanda menguasai Lombok selama kurang lebih 42
tahun (1894-1942).
Dalam catatannya, Fath Zakaria menyimpulkan dari berbagai
catatan para ahli bahwa ekspedisi Belanda yang kemudian berkobar
menjadi Perang Lombok (De Lombok Expeditie) dengan mengirim
pasukan militer sangat besar di bawah pimpinan Panglima Mayor
Jendral J. A. Vetter dan Wakil Panglima Mayor Jendral P. P. H. Van
Ham. Sebuah ekspedisi yang terdiri dari serdadu perwira 107 orang,
1320 orang prajurit Eropa, 948 orang prajurit pribumi, 386 ekor kuda,
37 ekor bagal, 216 orang pembantu, 64 orang mandor, 1718 orang
narapidana, berikut puluhan orang pegawai sipil. Di luar personil
tersebut masih ada sejumlah kuda dan bagal. Ekspedisi ini
diberangkatkan dari Surabaya pada tangal 3 Juli 1894 dan tiba di
Ampenan pada tanggal 5 Juli 1894 .15
Setelah melakukan pendaratan, ekspedisi ini kemudian
mengadakan persiapan dan konsolidasi kekuatan untuk melakukan
penyerangan terhadap kekuatan Raja Mataram di Mataram dan

14
Ibid
15
Fath Zakaria, Mozaik ..., 128

10
Kontribusi Tarekat Qadiriyah ..... (Muhammad Sa’i)

kemudian ke Cakranegara di bawah pimpinan Mayor Jendral J.A


Vetter. Pusat pemerintahan di Cakranegara dipertahankan mati-
matian di bawah komandan Gusti Made Jelantik Gosa . Akan tetapi
Puri Cakranegara jatuh pada tanggal 18 Nopember 1894.
Kemudian sejak tahun 1942-1945 pulau Lombok seperti
halnya wilayah-wilayah Nusantara lainnya di bawah tekanan
kolonial Jepang.
Kurun waktu antara 1686- 1945 merupakan masa penindasan
dan eksploitasi yang dilakukan oleh para kolonialis. Pengalaman
pahit ini kemudian melahirkan sikap perlawanan dari masyarakat
yang terutama digerakkan oleh para Ulama.
Para mursyid dari terekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah
menjadi garda depan dari setiap perlawanan tersebut. Mereka dalam
periode ini tidak saja berkonsentrasi pada pembinaan internal
masyarakat menghadapi sistem kepercayaan masyarakat, akan tetapi
meluas menjadi gerakan revolusi, sehingga pada tahun 1871 meletus
peperangan yang dikomandani gabungan aristokrat Sakra dan Praya.
Kemudian pada tahun 1891-1894 terjadi pemberontakan rakyat di
bawah pimpinan Tuan Guru Haji Muhammad Ali Batu Sakra yang
dilanjutkan di bawah pimpinan Guru Bangkol Praya yang akhirnya
disebut Congah Praya. Pemberontakan terakhir ini berlangsung
selama empat tahun terus-menerus dan tidak dapat dipadamkan oleh
Raja Mataram. 16

Pasca Kemerdekaan
Dakwah Dalam Bidang Pendidikan.
Membicarakan tentang kontribusi tarekat terhadap
perkembangan dunia pendidikan, secara historis kita mengacu pada
keberadaan pusat-pusat kegiataan (zâwiyah) dan keteladanan sosial
dari para mursyid (public figure) tarekat. Zâwiyah-zâwiyah merupakan
pusat pendidikan dan pembinaan spiritual. Zâwiyah ini terdiri dari
sejumlah bangunan, yang mencakup tempat tinggal syekh dan
keluarga, ruang pembinaan zikir, kamar-kamar para murid, masjid,
dapur, penginapan para pengunjung dan madrasah. Syekh bertindak
sebagai imam shalat, mengajar dan mendidik serta mengawasi
perkembangan murid-muridnya.
Dalam kontek perkembangan Islam (tarekat) di Nusantara

16
Ibid., 91

11
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 1, No. 2, Juni 2005: 1-....

termasuk di dalamnya di pulau Lombok, cikal bakal pembinaan


dalam bentuk zâwiyah -dengan pola atau sistem halaqah - mengilhami
berdirinya lembaga-lembaga pendidikan pesantren. Lembaga
pesantren ini kemudian memainkan peran yang berkesinambungan
dalam mengemban tanggungjawab pendidikan dan melestarikan
ajaran Islam.
Alwi Shihab menjelaskan, bahwa pada awal berdirinya
pesantren memperkenalkan suatu kebudayaan yang berbeda dengan
kebudayaan di lingkungan setempat, kemudian terjadi interaksi
antar kedua kebudayaan tersebut, dan yang pertama mempengaruhi
yang kedua sehingga dalam perkembangannya masyarakat menjadi
bagian dari kebudayaan tersebut dan loyal kepadanya.17
Berangkat dari peran penting pesantren dan kondisi
pendidikan serta sosial masyarakat Lombok maka beberapa tokoh
tarekat pasca kemerdekaan merintis lembaga-lembaga pendidikan
atau pesantren yang menerapkan sistem halaqah yang terletak di
pusat Islam (Makkah dan Madinah). Pesantren-pesantren tersebut
antara lain: 1) Pondok Pesantren Nurul Yaqin Karang Lebah Praya.
Pondok Pesantren Nurul Yaqin ini adalah Pondok Pesantren pertama
di Lombok Tengah yang didirikan oleh Tuan Guru Haji Makmun
sekitar tahun 1950-an. Pondok Pesantren ini memang secara eksplisit
tidak dinyatakan sebagai pesantren tarekat (Qadiriyah wa
Naqsabandiyah) namun karena pendirinya adalah seorang tokoh
kharismatik dan khalifah tarekat maka orang kemudian menyebutnya
sebagai pesantren tarekat. 2) Pondok Pesantren Darul Qur'an Bengkel
yang didirikan oleh Tuan Guru Haji Shaleh Hambali pada tahun 1954
dan 3) Tuan Guru Haji Abhar Muhyiddin mengikuti jejak mereka
dengan mendirikan Pondok Pesantren Darul Falah Pagutan sekitar
tahun 1960-an.
Seiring dengan tuntutan perkembangan situasi yang semakin
kondusif serta mapannya ekonomi masyarakat serta bergulirnya
kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan, beberapa Tuan
Guru yang notabene berperan sebagai mursyid tarekat dan abituren
dari berbagai lembaga pendidikan kemudian mendirikan lembaga-
lembaga pesantren baru dengan sitem pendidikan klasikal.
Dan kenyataan yang tidak dapat dinafikan, bahwa pesantren
dalam tahap perkembangannya telah memberikan kontribusi dalam

17
Alwi Shihab, Islam Sufistik:: Islam Pertama dan Pengaruhnya hingga
Kini di Indonesia (Bandung: Mizan, 2001), 215.

12
Kontribusi Tarekat Qadiriyah ..... (Muhammad Sa’i)

penyebaran dakwah Islamiyah melalui jalur pendidikan.


Kemampuan pesantren dalam mempertahankan diri dari berbagai
pergolakan dan perjuangan yang terus menerus semakin
menempatkan pesantren pada garda terdepan dalam menyebarkan
ajaran Islam.
Visi mereka mendirikan lembaga-lembaga tersebut adalah
sebagai bentuk ikhtiar membangun lembaga yang memiliki
keunggulan (exellence) dibandingkan dengan lembaga pendidikan
lainnya. Yaitu lembaga pendidikan yang; 1) a) unggul secara
akademis (academis exellence) yang mampu mengembangkan ilmu-
ilmu alat (ilmu agama) dalam rangka memelihara dan meneruskan
proses transmisi ilmu pengetahuan juga mengembangan ilmu-ilmu
umum dan; b) unggul secara spiritual (spiritual exellence) yaitu
mencetak anak didik yang tangguh spiritualnya dan tetap
mendekatkan diri (taqarrub) pada Allah.
Maka dalam perkembangan selanjutnya, para alumnus yang
telah meyelesaikan studinya dari pesantren-pesantren kemudian
mendirikan pesantren-pesantren baru di lingkungan mereka.
Pesantren-pesantren mereka tersebut ada yang berafiliasi langsung
dengan pesantren guru mereka maupun yang berdiri sendiri. Berikut
ini dikemukakan beberapa lembaga pesantren dan madrasah yang
didirikan oleh para alumnus tarekat, a) Pondok Pesantren al-
Abhariyah Jerneng Bajur Lombok Barat pimpinan Tuan Guru Haji
Ulul ‘Azmi, b) Pondok Pesantren Darunnajah Duman Lombok Barat
pimpinan Tuan Guru Haji Muhammad Anwar MZ, c) Pondok
Pesantren Darul Hikmah Pagutan Karang Genteng pimpinan Tuan
Guru Haji Mahmud (alm), d) Pondok Pesantren Riyadhul Falah Aik
Prapa Aik Mel Lombok Timur pimpinan Tuan Guru Haji Abdul
Hakim, e) Pondok Pesantren Hidayatul Muttaqin Pagutan pimpinan
Tuan Guru Haji Zuhdi Sanusi. Pesantren-pesantren tersebut memilki
ikatan emosional dengan Pondok Pesantren Darul Falah Pagutan. 2)
Pondok Pesantren Babussalam Bermi Lombok Barat. Pondok
Pesantren ini didirkan oleh Tuan Guru Haji Ridwanullah pada tahun
1986. Dan pada tahun 1987 didirikan lembaga-lembaga pendidikan
formal yaitu; Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah
Aliyah. Di samping terdapat pendidikan untuk tingkat spesialisasi
(Takhashshus) dan Diniyah Islamiyah., 3) Pondok Pesantren Al-
Hafizhiyah Masjuring Bonder Lombok Tengah. Pondok pesantren ini
didirikan oleh Tuan Guru Haji Abdul Hafiz. Kegiatan Pondok
pesantren pada awalnya berbentuk majlis ta’lim atau pendidikan non

13
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 1, No. 2, Juni 2005: 1-....

formal. Namun karena adanya tututan pendidikan formal dan


semakin bertambahnya santri yang datang dan belajar di pondok ini
maka secara bertahap didirikan lembaga-lembaga pendidikan;
Madrasah Ibtidaiyah didirikan pada tahun 1964, Madrasah
Tsanawiyah pada tahun 1985 dan Madrasah Aliyah pada tahun 1995.
4) Pondok Pesantren Ishlahul Ittihad Jabon Bagu Lombok Tengah.
Pondok Pesantren Ishlahul Ittihad didirikan oleh Tuan Guru Haji
Abdul Rauf dan Tuan Guru Haji Muhammad Nizham pada tahun
1978. Di Pesantren ini terdapat lembaga-lembaga pendidikan;
Madarasah Ibtidaiyah, Madarasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah
serta terdapat juga kelompok Takhashshus dan Diniyah Islamiyah.
Secara umum dari hasil wawancara terhadap para musyid
disimpulkan bahwa kegiatan dan aktivitas dari lembaga-lembaga
pendidikan bertujuan melestarikan ajaran Islam bedasarkan halauan
dan contoh yang dipraktekkan oleh Nabi Saw (Ahl al-Sunnah wa al-
Jammah). Di samping itu kegiatan formal di atas para santri diberikan
kegiatan ekstra kulikuler seperti latihan berpidato, kemampuan
bahasa Arab dan Inggris, serta juga diperkenalkan dengan teknologi
canggih dan terapan seperti computer, pertanian, koperasi, jahit dan
lain-lainya.

Dakwah Dalam Bidang Sosial Kemasyarakatan


Berbicara tentang kontribusi dan misi dakwah keagamaan
dari setiap agama atau aliaran kepercayaan, sistem sosio-organik
merupakan aspek yang paling penting. Aspek ini merupakan bagian
pokok dalam struktur ajaran sekaligus menentukan tingkat respon
atau penerimaan (reponsibility) pengikutnya. Sistem sosio-organik
dalam Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah dipahami sebagai
wadah dan sarana pembinaan yang terbuka bagi umumn, namun
selalu diikat oleh tata nilai dan aturan yang mengikat setiap individu
yan berada di dalamnya.
Tujuan utama dari tata nilai dan atauran dalam sistem sosio-
organik Tarekat Qadiriyah waNaqsabandiyah tersebut tidak terbatas
pada mengantarkan sesorang untuk merasakan kedekatan dengan
Tuhannya. Akan tetapi karena hakekat Tuhan Yang Maha Agung tak
terbatasi oleh ruang dan waktu maka segala metode dan berbagai
peraturan yang terdapat di dalamnya harus dipahami sebagai
sesuatu yang harus diamalkan dengan sepenuhnya; termasuk di
dalamnya interaksi antar guru (mursyid), guru dengan murid, dan
sesama komunitas (murid dengan murid) serta dengan alam
14
Kontribusi Tarekat Qadiriyah ..... (Muhammad Sa’i)

sekitarnya. Dengan demikian sub sistem sosio-organik secara tidak


langsung menentukan dan mengatur suatu sistem sosial yang
terorganisir.
Dan berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang
dilakukan bahwa dalam relasi guru-murid, murid-murid yang
dikemas dalam sistem pembinaan bahwa tarekat Qadiriyah wa
Naqsabandiyah dalam jaringan komunitasnya membangun tiga sub
sistem jaringan yaitu; Pertama: Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah
sebagai sistem sosia-organik memiliki garis hirarkis (sisilah tarekat)
yang kuat dengan pusat syari’at, yakni Rasulullah dalam
merumuskan ajaran-ajaran dan aturan-aturan mainnya. Kedua:
Tarekat Qadiriyah Wa Naqsabandiyah sebagai sistem sosio-organik
memiliki pimpinan karismatik, seperti syekh atau wakil sebagai
mursyid yang menggerakkan tarekat ini serta mengarahkan dan
mengontrol sistem yang sedang berlaku. Ketiga: Tarekat Qadiriyah
wa Naqsabandiyah sebagai sistem sosio-organik memiliki wilayah
spiritual (al-wilayah al-shûiyah) yang khas sebagai lingkungan fisik
dan psikis bagi pembinaan anggota.
Instrumen-instrumen pembinaan yang merupakan media
penguatan sistem sosio-organik seperti; bai’at dan talqin, riyadlah,
khataman, manaqiban serta haul adalah simbol-simbol yang dimiliki
Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah yang berfungsi sebagai
instrumen untuk mendekatkan diri dengan Allah (habl min Allah) dan
membangun komunikasi interaktif dengan sesama (habl min al-nas).
Dan menurut Elizabeth K. Notingham simbol-simbol tarekat
Qadiriyah wa Naqsabandiyah fungsinya lebih besar untuk
mempersatukan komunitas ketimbang definisi-definisi intelektual
yang sering memiliki keterbatasan arti.18
Para tokoh tarekat (masyayikh) dengan pondok-pondok
pesantren yang mereka dirikan berfungsi sebagai kawasan spiritual
yang merupakan wadah strategis dalam melestarikan gerakan sosial
dan dakwah. Di tempat-tempat tersebut diciptakan suasana
peribadatan yang khusyu’, ikhlas dan istiqamah serta sabar, di samping
itu dibangun pula berbagai kontrak sosial. Mereka satu dengan
lainnya bercampur baur, hati dan pikiran mereka terfokus pada Allah
sebagai Khaliqnya sementara jasad dan badan mereka menyatu
merasakan dan mendengarkan apa yang dialami teman sejawatnya.

18
Elizabeth K Notingham, Sosiologi Agama , ( Jakarta: Rajawali,
1990), 16-17

15
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 1, No. 2, Juni 2005: 1-....

Mereka yang memilih jalan tarekat (masyayikh, murid atau ikhwan)


ikut merasakan denyut jatung sesama, tidak mengisolasi diri dari
problem sosial dan bahkan secara aktif mencari solusi pemecahan
masalah (problem solving) yang dihadapi.
Dalam wawancara mendalam dengan beberapa pengikut
tarekat di Pondok Pesantren Darul Falah Pagutan disebutkan bahwa
mengikuti tarekat mengantarkan kita untuk mampu memandang
orang lain (agama maupun etnis) sebagai bagian dari makhluk
Tuhan. Karena ajaran tarekat menekankan membangun komunikasi
secara baik dan arif dengan setiap orang.19
Dalam observasi langsung yang dilakukan pada pesantren-
pesantren dan informasi dari para mursyid, dapat dilihat beberapa
aspek dakwah dan aktivitas sosial , yaitu;
1. Menumbuhkan semangat solidaritas dan gotong royong (al-
ukhuwwah wa al-ta’awwunah)
Jamaah tarekat yang intensitas pertemuannya telah
terjadwal seperti muraqab, khataman, manaqiban, haul dan lainnya)
merupakan momentum penting membangun solidaritas
kebersamaan dan berkomunikasi aktif dengan orang lain. Rasa
solidaritas yang tinggi sesama jamaah termanifestasikan dalam
membangun sarana dan prasarana untuk kepentingan umum.
Mereka siap menafkahkan sebagian hartanya dan siap bergotong
royong membangun pusat-pusat peribadatan (masjid dan
mushalla), sarana pendidikan dan terutama gedung pesantren
yang didirikan oleh guru mereka.
2. Melakukan ikhtiar pemberdayaan ekonomi jamaah
Berangkat dari semangat kebersamaan dan merasakan
penderitaan orang lain (terutama sesama jamaah), jamah tarekat
(ikhwan) yang dipimpin oleh pembimbingnya (mursyid)
menerima dan memberikan sumbangan-sumbangan kepada
orang lain. Sumbangan-sumbangan tersebut biasanya didapatkan
dari infaq, sadaqah dan zakat serta dari iuran anggota (pada
sebagian jamaah iuran ini dikumpulkan oleh seorang koordinator
pada satu kesatuan kelompok).
Ikhtiar lain yang dilakukan dalam upaya membangun sistem
pemberdayaan ekonomi ini adalah dengan mendirikan koperasi.
Koperasi ini membuka keanggotaannya untuk para jamaah dan
masyarakat sekitar khususnya para petani. Mereka diberikan

19
Wawancara tanggal 13-Oktober 2004 di Pagutan.

16
Kontribusi Tarekat Qadiriyah ..... (Muhammad Sa’i)

pinjaman dengan sistem mudharabah (bagi hasil) dan terkadang


mereka (para petani) disediakan bahan-bahan pertanian seperti
pupuk dengan tujuan meningkatkan tarap hidup dan ekonomi
mereka.
3. Silaturrahim
Silaturrahim merupakan sub bagian dari gerak sosial dan
dakwa tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiayah. Silaturrahim ini
sendiri bertujuan mengakrabkan mereka baik antar guru, guru
dengan jamaah serta antar jamaah.
Momentum yang biasanya di manfaat kan oleh para guru
(mursyid) untuk bersilaturrahmi adalah pada saat anggota
jamaah mendapatkan musibah atau pada hari-hari besar Islam
serta pada acara- acara keluarga. Dan kehadiran seorang guru
kepada suatu jamaah dianggap sebagai sebuah kebanggaan dan
dapat mendatangkan kegairahan serta semangat bagi mereka.
Pada saat tersebut biasanya guru memberikan saran dan petuah
terutama dalam rangka meningkatkan kwalitas kesadaran
beragama masyarakat dan kehidupan sosialnya.
Sementara itu momentum silturrahim sesama jamaah
dilakukan pada saat mereka melakukan riyadlah (dalam bentuk
kelompok), khataman ataupun ketika manaqiban dan haul.20
Nilai positif yang dirasakan oleh para jamaah melalui
silaturarahim ini menurut Tuan Guru Haji Ridhwanullah Bermi
adalah sebagai kesempatan sang murid mengemukakan
permasalahan agama ataupun sosial yang terjadi di kalangan
mereka. Lewat silaturrahim ini dapat diseimbangkan antara
hablunminallah dan hablumminannas.21.

20
Khaul merupakan acara tahunan yang dihadiri oleh seluruh
jamaah tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah. Acara ini biasanya dilakukan
selama dua bulan yanitu dari bulan Rabiul Awwal. Dalam khaul ini
diadakan acara pembaan zikir dan shalaawat-shalawat, amal-amalan serta
pembacaan manaqib yaitu riwayat hidup Syekh Abdul Qadir al-Jaelani
(wawancara dengan Tuan Guru Haji Ridwanullah Bermi, tanggal 16-
September 2004).
21
Wawancara dengan Tuan Guru Haji Ridhwanullah , tanggal 16-
September 2004.

17
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 1, No. 2, Juni 2005: 1-....

Tabel 2.
SKEMA PERUBAHAN POLA GERAKAN
TAREKAT QADIRIYAH NAQSABANDIYAH

TAREKAT QADIRIYAH NAQSABANDIYAH

SOSIO ORGANIK WADAH PEMBINAAN


Baiat, Talqin, Riyâdlah, Khataman, Zâwiyah, Ribâth, Rumah Syekh,
Masjid
Manaqiban

REALITAS SOSIAL MASYARAKATDAN MOMEN SEJARAH


Adanya perubahan visi dan orientasi kehidupan, kolonialisme

SOSIO KULTURAL SOSIO POLITIK


- Antikolonialis Wadah penyaluran aspirasi politik
- Wadah kegiatan sosial - Tuan Guru sebagai elite politik
- Tuan Guru sebagai tokoh karismatik
dan pendidik

KEBIJAKAN PEMERINTAH
Undang-Undang Ormas dan Parpol

Penyelarasan Tarekat dengan Syari’at.


Sufisme (gerakan tarekat) dalam sejarah perkembangannya
tidak lepas dari berbagai tuduhan seperti; tarekat mengabaikan dan
atau tidak mementingkan syari’at; tarekat hanya mengajarkan orang
untuk banyak berzikir pada Allah dan hari akhirat (akhirat centris)
dan mengabaikan kehidupan duniawi. Dan tuduhan yang paling
ekstrim adalah tarekat penuh dengan tahayul dan khurafat yang
menyumbangkan secara signifikan terhadap kemunduran dan
kehancuran umat Islam.

18
Kontribusi Tarekat Qadiriyah ..... (Muhammad Sa’i)

Munculnya tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepada


tarekat tersebut ditengari oleh beberapa faktor; a) tarekat menjadikan
syari’at hanya sebagai alas saja (kulit dari ibadah) dan lebih
mengutamakan tarekat sehingga muncul persepsi bahwa syari’at
adalah kulit sedangkan tarekat adalah isi; b) terjadi kultus individu
(guru) dan tahayul dan khurafat serta pemulian makam-makan syekh
secara berlebihan dari pengikut tarekat.
Menanggapi tuduhan di atas dalam wawancara yang
dilakukan secara intensif dengan Tuan Guru Haji Hamid Faeshal,
salah seorang mursyid tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah
disimpulkan bahwa berbagai tuduhan di atas dianggap tidak
beralasan dan mengada-ada. Sebab tarekat sesungguhnya
membangun kehidupan berkesinambungan antara ibadah lahiriyah
dan ibadah bathiniyah (antara syari’at dengan tarekat). Karena Islam
sebagai agama rahmah li al-‘alamin (rahmat bagi alam semesta), yang
sangat menekankan kehidupan berkeseimbangan antara kesatuan
syari’at (hukum formalis Tuhan) dengan tarekat (jalan spiritual),.
Maka apabila syari’ah aspek luar dari Islam (dimensi eksoterik Islam)
yang lebih banyak berurusan dengan aspek lahiriyah, maka tarekat
merupakan aspek dalam (esoterik Islam) yang berurusan dengan
aspek batiniah. Urgensi menjaga keseimbangan dan kesatuan syari’ah
dengan tarekat didasari oleh realitas bahwa segala sesuatu di alam
ini – termasuk manusia – mempunyai aspek lahir dan aspek batin.
Maka mengabaikan salah satu dari keduanya akan menimbulkan
ketidakseimbangan dan kekacauan (chaos) 22
Bukti-bukti tertulis dari observasi yang dilakukan terdahap
beberapa Pondok Pesantren dan para Tuan Guru tarekat Qadiriyah
wa Naqsabandiayah menunjukkan ikhtiar mereka membangun
keserasian antara syari’at dengan tarekat dan kebutuhan duniawi
dan ukhrawi. Mereka telah memberikan sumbangan yang sangat
besar dalam pengembangan berbagai kehidupan. Dalam bidang
pendidikan misalnya, literatur-literatur atau referensi yang
digunakan dalam pengajarannya disesuaikan dengan SK Tiga
Menteri, sedangkan untuk pembinaan di luar sekolah (pengajian
pondok- halaqah) memadukan berbagai kitab dari berbagai disiplin
ilmu. Dalam bidang al-Qur’an dan al-Hadis kitab-kitab rujukannya
adalah; tafsir Jalalain karya Jalauddin al-Suyuthi dan Jalaluddin al-

22
Wawancara dengan Tuan Guru Haji hamid Faeshal tanggal, 29
September 2004.

19
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 1, No. 2, Juni 2005: 1-....

Mahalli, tafsir Ayatul Ahkam karya Ali al-Shabuny, dalam bidang


hadis dipergunakan Kitab Riadushshalihin, Shahih Bukhari dan
Muslim, Kitab Mishbah al-Dzalam fi Bahjah al-Anam fi Syarhi Nail
al-Maram min al-Ahadis Khair al-Anam karya Syekh Muhammad
ibn’abdl-al-Latif al-Jurdani, Kitan al-Aba’in al-Nawawi. Dalam
bidang fiqh dipergunakan kitab-kitab: Nihayah al-Zain karya Syekh
Nawawi al-Bantani, Fath al-Qarib karya Syekh Muhammad ibn
Qasim al-Ghazi, Fath al-Mu’in karya Zain al-Din ibn Abd al-Aziz al-
Malibary, ‘Umdah al-Salik Karya Syihab al-Din Abi al-Abbas Ahmad
Ibn Naqib al-Mishri al-Syafi’i dan lain-lain. Dalam bidang Tasawuf
dipergunakan kitab-kitab; al-Raghub min Mukasyaf al-Qulub karya
Imam al-Ghazali, Kitab Fath al-‘Arifin karya Syekh Ahmad Khatib
Sambasi. Kitab yang memadukan antara Ushuluddin, Fiqh dan
Tasawuf dipergunakan kitab Tanwir al-Qulub fi Mu’amalah Allam
al-Ghuyub karya Syekh Muhammad Amin al-Kurdi, dan Hidayah
Al-Salikin (dalam bahasa Arab Melayu) karya Syekh Abd al-Shamad
al-Palembani dan lain-lain.
Sedangkan yang terkait dengan bidang sosial dan
kemasyarakatan (kehidupan duniawi) Tarekat Qadiriyah Wa
Naqsabandiyah di Lombok (khususnya) telah memperlihatkan peran
yang sangat signifikan. Tarekat ini telah melakukan rekonstruksi dan
pola gerakan dari gerakan spiritual unsich menjadi gerakan sosila dan
bahkan memasuki wilayah-wilayah politik praktis
Dalam wawancara dengan para Tuan Guru (tokoh tarekat)
memang ditemukan informasi adanya keengganan sebagian dari
tokoh-tokoh tersebut untuk membicarakan masalah-masalah politik
(pencalonan legislatif maupun pemilihan presiden). Namun mereka
membebaskan anggota untuk memilih sesuai dengan hati nuraninya.
Namun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa jamaah tarekat
sebagai akar rumput ( grass root ) – yang memiliki komitmen kuat
dalam membagun relasi guru-murid – memilki nilai tawar (bargaining
possition) dalam wilayah-wilayah politik. Sehingga di antara tokoh-
tokoh tarekat tersebut ada yang secara terang-terangan berafiliasi
dengan salah satu dari partai politik peserta pemilu dan bahkan
menjadi fungsionaris dari dari partai tersebut.
Beberapa tokoh yang secara akatif terlibat dalam organisasi
sosial kemasyarakatan dan bahkan partai politik seperti; Tuan Guru
Haji Shaleh Hambali pada tahun 1952 sampai wafatnya aktif dan
menjadi Rois Syuriyah NU, funngsionaris Partai NU dan sebagai
Komandan Pemberantasan PKI. Beliau juga sangat akrab dengan

20
Kontribusi Tarekat Qadiriyah ..... (Muhammad Sa’i)

mantan Presiden RI pertama Ir. Sukarno. Tuan Guru Haji Abhar


Pagutan juga mengikuti jejak Tuan Guru Haji Shaleh Hambali, belaiu
berjuang melalui Partai NU dan kemudian PPP, sehingga beliau
menjadi anggota legislatif NTB selama 15 tahun. Dan sampai akhir
hidupnya beliau berperanaktif pada Golkar . Tokoh-tokoh berikutnya
yang aktif sampai dengan sekarang antara lain; Tuan Guru Haji
Muhammad Anwar MZ Langko dari PPP, Tuan Guru Haji Hamid
Faeshal (anggota legislatif Kota Mataram) dari PKB, Tuan Guru Haji
Muhammad Tabrizi dari PPP dan Tuan Guru Haji Mustiadi Abhar
yang sampai saat ini aktif (2004) sebagai anggota Komisi Pemilihan
Umum (KPU) Kota Mataram. Sebelumnya Tuan Guru Haji Mustiadi
Abhar juga dipercaya sebagai Rois Syuriyah NU cabang Kota
Matarm (1999-2004), wakil Ketua Jam’iyah Ahl al-Tarekat al-
Nahdhiyah NTB (sampai sekarang) dan pernah duduk sebagai
anggota legislatif (DPRD) Kota Mataram dari Golkar.

SIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa; pertama
jaringan awal dan perkembangan awal tarekat Qadiriyah wa
Naqsabandiyah di Pulau Lombok diperkirakan sekitar abad ke-18,
dengan adanya kontak dan jaringan langsung dengan markaz
gerakannya di Makkah al-Mukarrramah.
Kedua Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah dalam
membangun jaringan dakwahnya di Lombok dengan mereformasi
gerakan sesuai dengan tuntutan zamannya. Perubahan orientasi
gerakan Tarekat dimulai dari sistem pembinaan internal-individual (
sistem sosio-organik) ke sistem pembinaan sosial-kolektif (sistem sosio-
kultural) dan kemudian beralih ke pembinaan pada tatanan sosio-
politik (sistem sosio-politik). Arah perubahan itu berlangsung secara
gradual seiring dengan realitas dan kebutuhan sosial anggotanya dan
masyarakat secara umum.

DAFTAR PUSTAKA
Abd al-Qadir al-Jaelani, Al-ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq, ( Mesir :
Musthafa Bab al-halaby , 1956 ).
Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat , Uraian Tentang Mistis, (
Solo : Ramdhani,1990 ).
Abu al-'Ala al-Afifi, Al-Thasawwuf al-Tsaurah al-Ruhaniyah al-Islam (
Kairo : dar al-Ma'arif, 2001 ).

21
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 1, No. 2, Juni 2005: 1-....

Ahmad Khatib Sambas, Fath al-'Arifin , edisi bahasa Indonesia (


Surabaya tth.).
Ajid Thahir, Gerakan Politik Kaum Tarekat; Telaah Historis Gerakan
Politik antikolonialisme Tarekat Qadiriyah wa Naqsaabandiyah di
Pulau Jawa ( Bandung : pustaka Hidaayah, 2002 ).
Alwi Shihab, Islam Sufistik, Islam Pertama dan Pengaruhnya hingga Kini
di Indonesia, ( Bandung : Mizan , 2001 ).
Anne Marie schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, ( Jakarta : Pustaka
Firdaus, 2000 ).
Azyumardi Azra, Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara, ( Bandung
: Mizan, 2002 ).
Dadang Rahmad, Tarekat Dalam Islam ,Spiritualitas Masyarakt Moderen,
( Bandung : Pustaka Setia, 2002 ).
Elizabeth K.Notingham, Sosiologi Agama, ( Jakarta : Rajawali, 1990 ).
Erni Budiwanti , Islam Sasak wetu Telu Versus waktu Lima, (
Yogyakarta : LKIS, 2000 ).
Fath Zakaria , Mozaik Budaya Orang Mataram, ( Mataram : Yayasan
Sumurmas Al-hamidy , 1998 ).
Gde Parman, Kitap Adat Sasak Dulang I Perkawinan, aji Krama,
Pembayun, Candrasangkala, ( Mataram : Lembaga Pembukuan
dan Penyebaran Adat Sasak mataram Lombok, 1995 ).
Gilsenan M., Saint and Sufi Modernt Agypt : An Essay in The Sociology of
Riligion , ( Oxfortd : Oxfortd University Press, 1973 ).
Hawas Abdullah, Perkembangan Tawauf dan Tokoh-tokohnya di
Nusantara, ( Surabaya : al-Ikhlas , 1980 ).
John Ryan Bartholomew, Alif Lam Mim, Kearifan Masyarakat Sasak, terj.
Imron Rosyadi, ( Yogyakarta : 2001 ).
Muhammad Amin al-Kurdi , Tanwir al-Qulub fi Mu'amalah 'Allam al-
Ghuyub, ( Syirkah Nur al-Aziz , tth. ).
Martin Van Bruinessen , Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia, Survei
Historis, Geografis dan Sosiologis, ( Bandung : Mizan, 1992 ).
Said, Fuad , Hakekat Tarekat Naqsandiyah, ( Jakarta : Al-Husna Zikra,
1999 ).
R.A. Nicholson, The Sufi Order In Islam (New York: Oxford
University, 1980).
Simuh, Sufisme Jawa Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa,
(Yogyakarta: yayasan Bantang Budaya , 1995).
Svan Cederroth, The Spell of The Ancestors an the Fower of Makkah, a
Sasak Community Lombok (Belanda: Acta Universitatis
Gothorburgensis, 1991).

22

Anda mungkin juga menyukai