Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Tasawuf merupakan sebuah upaya yang dilakukan manusia untuk
memperindah diri dengan akhlak yang bersumber pada agama dengan tujuan
mendekatkan diri kepada Allah. Selain itu tasawuf juga merupakan rasa
kepercayaan kepada Tuhan yang dapat mengarahkan jiwa agar selalu tertuju pada
semua kegiatan yang dapat menghubungkan serta mendekatkan manusia dengan
Tuhan.
Tasawuf juga merupakan cabang keilmuan Islam yang menekankan pada
aspek spiritual dari Islam. Dilihat dari kaitannya dengan kemanusiaan, tasawuf
lebih menekankan pada aspek kerohanian daripada aspek jasmani, dalam
kaitannya dengan kehidupan tasawuf lebih menekankan kehidupan akhirat
daripada kehidupan dunia, dan apabila di lihat kaitannya dengan pemahaman
keagamaan tasawuf lebih menekankan pada aspek esoterik dibandingklan aspek
eksoterik.1
Tasawuf dikatakan lebih menekankan spiritualitas dalam berbagai aspek,
karena para ahli tasawuf lebih memepercayai keutamaan sprit dibandingkan
dengan keutamaan jasad, yaitu lebih mempercayai dunia spiritual dibandingkan
dunia material. Para ahli mempercayai bahwa dunia spiritual lebih haikiki dan
lebih nyata dibandingkan dengan dunia jasmani, hingga segala yang menjadi
tujuan akhir atau yang kita sebut Tuhan juga bersifat spiritual. Sehingga para
kaum sufi mengatakan bahwa Tuhan adalah satu-satunya raelitas yang sejati, dan
hanya pada Tuhan mereka mengorientasikan seluruh jiwa mereka, karena
Tuhanlah buah kerinduan mereka dan kepada Tuhanlah mereka akan kembali
untuk selamanya.2
Dalam mengintensifkan spiritualitasnya, para sufi melakukan tazkiyat al-
nafs yaitu penyucian diri yang merupakan usaha untuk mengatasi dari berbagai
rintangan yang akan menghambat jalannya pertemuan dengan Allah, yang mana

1
Mulyadi kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), 2.
2
Ibid, 2-3.
bisa berupa menahan diri dari hawa nafsu, syahwat dan amarah. Kemudian
melakukan riyadhat al-nafs yaitu membersihkan diri dari sifat tercela, atau
melakukan latihan jiwa seperti berpuasa, uzlah serta latihan jiwa yang lain.3
Dan pada kesimpulan ini saya akan menjelaskan sedikit hasil bacaan dari
buku yang saya baca mengenai sejarah perkembangan tasawuf.
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana sejarah tasawuf pada abad II dan III?
C. Tujuan
1. Mengetahui sejarah tasawuf pada abad II dan III

3
Ibid, 4-5.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tasawuf pada abad II dan III
Mengenai lahirnya tasawuf, banyak pendapat yang berbeda. Akan tetapi
tasawuf yang merupakan ilmu ajaran dalam Islam muncul sejak lahirnya Islam itu
sendiri. Yang mana benih-benih tasawuf sudah mulai muncul sejak abad ke-I
Hijriah yang banyak ditemui pada sifat dan prilaku Rasulullah yang kemudian
diikuti oleh para sahabatnya. Gambaran sufi yang dapat dilihat padadiri
Rasulullah adalah ketika beliau berkhalwat di Gua Hira. Ketika berada di Gua
Hira Rasulullah hanya menghabiskan waktunya untuk bertafakur, beribadah serta
menjalani hidupnya sebagai seorang zahid, dimana beliau menjauhi pola hidup
dari kemewahan dunia, terkadang beliau hanya memakai pakaian yang tambal-
tambalan serta di setiap malamnya selalu beribadah kepada Allah dengan
melakukan sholat malam dan memperbanyak membaca Al-Qur’an.4
Dari situlah dapat dikatakan bahwa tasawuf bermula dari kehidupan
zuhud. Hasan Basri adalah seorang zahid pertama dan terrmasyhur dalam sejarah
tasawuf, yang mana Ia senantiasa meneladani sifat dan prilaku Rasulullah. Hasan
Basri pertama muncul dengan membawa ajaran khauf dan raja’, mempertebal rasa
takut dan harap pada Tuhan. Kemudian setelah hasan Basri muncullah guru-guru
lain yang dinamakan qari’ kemudian mengadakan perkumpulan gerakan hidup
kerohanian di kalangan kaum Muslim yang tertarik dalam bidang tasawuf.5
Para ahli sejarah sepakat bahwa munculnya tasawuf yaitu pada abad ke II
Hijriah. Dimana pada saat itu orang-orang sedang berusaha untuk meluruskan
jalannya menuju pada Allah SWT dan takut kepada Allah dan menjauhi
kemewahan hidup. Banyak cara yang dilakukan yaitu seperti dzikir, baik itu yang
dilakukan secara tersembunyi maupun terbuka, dan memperbanyak membaca Al-
Qur’an serta beberapa sarana yang dilakukan seperti zuhud. Adapun dari mereka
yang shari-harinya melakukan sholat seakan-akan waktunya habis dipergunakan
untuk terus beribadah, terutama sholat malam. Semenjak itu tasawuf mulai
4
http://eprints.walisongo.ac.id/7013/3/BAB%20II.pdf, Januari 28, 2016 pukul 11:19 Am
5
Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, Cet. II 2002), 30.
dikenal serta berkembang dan kemudian tersebar dan diajarkan kepada orang
orang yang tertarik memepelajari tasawuf.6
1. Tasawuf abad II
a. Pengertian Zuhud (Asketisisme) Dalam Islam
Tasawuf pada fase pertama dan kedua hijriyah disebut sebagai
kezuhudan. Konsep zuhud pada fase ini mempunyai ciri tersendiri yakni
konsep zuhud yang semula berpaling dari kesenangan dan kemewahan
dunia berubah menjadi pembersih jiwa, pensucian hati dan pemurnian
kepada Allah.
Zuhud secara etimologis berarti ragaba ‘ansyai’in wa tarakahu,
artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-
dunya, berarti mengosongkan diridari kesenangan dunia untuk ibadah.7
Sedangkan zuhud secara terminologi adalah hikmah pemahaman
yang membuat para penganutnya mempunyai pandangan khusus terhadap
kehidupan duniawi, dimana dia tetap bekerja dan berusaha, akan tetapi
kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecenderungan kalbu mereka,
serta tidak membuat mereka mengingkari Tuhannya.8
Dalam kaitan ini Abd al-Hakim Hasan menjelaskan bahwa zuhud
adala
Artinya : “berpaling dari dunia dan menghadapkan diri untuk beribadah.
Melatih dan mendidik jiwa, dan memerangi kesenangannya dengan
bersemedi (khalwat), berkelana, puasa, mengurangi makan, dan
memperbanyak dzikir”.9
b. Zuhud dalam islam

6
Ibid, 31.
7
Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2000), hlm. 1
8
Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Tafzani, Sufi dari Zaman ke Zaman, (Bandung: Penerbit Pustaka,
1985), hlm. 42.
9
https://elinabethswann.wordpress.com/2012/12/05/sejarah-perkembangan-tasawuf-abad-
i-dan-ii-hijriyah, Desember 5, 2012 pukul 5:31 pm
Zuhud merupakan salah satu maqam yang sangat penting dalam
tasawuf. Pentingnya posisi zuhud dalam tasawuf ialah karena
melalui maqam zuhud seorang sufi akan dapat membawa dirinya pada
kondisi pengosongan kalbu dari selain Allah SWT, dan terpenuhinya kalbu
dengan dzikir. Oleh karena itu, al-Qur’an dan Hadist menganjurkannya,
dan para pemuka agama menunjukkan kemuliaannya.
Para pembesar sufi telah menerapkan zuhud dan meniti tingkatan-
tingkatannya sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Ujaibah dalam
perkataannya, “zuhud orang awam adalah meninggalkan apa-apa yang
menyibukkan diri dari mendekatkan diri kepada Allah dalam semua
keadaan. Dan zuhud orang khawwashulkhawwash adalah menjauhi
pandangan kepada selain Allah disetiap waktu. Zuhud merupakan sebab
untuk sampai kepada Allah, karena hati tidak akan sampai kepada-Nya
apabila masih bergantung pada sesuatu selain yang dicintai Allah.10
Menurut R.A. Nicholson, sebagian asketis generasi abad pertama
dan kedua hijriyah lebih dekat dengan tasawuf, namun mereka tetap tidak
keluar dari ruang lingkup asketisisme. Sebab pada masa itu, tidak seorang
pun bisa membedakan asketisisme dengan tasawuf atau memisahkan
keduanya. Tokoh-tokoh asketis yang sering diriwayatkan dalam kitab-
kitab mengenai tasawuf adalah Hasan al-Basri, Al-Harits bin Al-Muhasibi,
Zun Nun Al-Mishri, Ibrahim ibn Adham, al-Fudhail ibn ‘Iyadh, dan salah
seorang tokoh asketis lain yang lebih dekat pada tasawuf akhir abad kedua
Hijriyah adalah Rabi’ah al-Adawiyyah.
c. Pemikiran Ulama Abad Klasik
1) Hasan al-Bisri
Beliau lahir pada tahun 21 H/641 M di Madinah. Ayahnya
bernama Yasar, keturunan Persi beragama Nasrani. Ibunya bernama
Khairah. Tanpa diketahui secara pasti motifnya, dia sekeluarga pindah
ke Basrah. Beberapa pergolakan politik umat Islam pada masa awal
itu, menjadi motif munculnya pemikiran zuhud dan gerakan zuhud.

10
Abdul Qadir Isa, Hakekat Tasawuf, Cetakan ke-12, (Jakarta: IKAPI, 2010), hlm. 250-251.
Hasan al-Bisri merupakan ulama pendiri zuhud aliran Basrah,
seorang ahli fiqh, zuhud, dan alim dalam ilmu agama. Tipe
kezuhudannya adalah khauf dan raja’.
Ekstrimitas pemikiran zuhud Hasan al-Basri dapat dilihat pada
ucapannya: “Jika Allah menghendaki seseorang itu baik, maka Dia
mematikan keluarganya sehingga dia dapat leluasa dalam
beribadah.11 Beberapa butir hikmat ajaran beliau tertulis demikian :
a) “Perasaan takutmu sehingga bertemu dengan hati tentram, lebih
baik daripada perasaan tentrammu, yang kemudian menimbulkan
takut.”
b) “Dunia ialah negeri tempat beramal. Barangsiapa yang bertemu
dengan dunia dalam rasa benci kepadanya dan zuhud, akan
berbahagialah dia dan beroleh faedah dalam persahabatan itu.
Tetapi barangsiapa yang tinggal dalam dunia, lalu hatinya rindu
dan perasaan tersangkut kepadanya akhirnya dia akan sengsara. Dia
akan terbawa kepada suatu masa yang tidak dapat dideritanya.”
c) “tentang duka cita beliau berkata : “patutlah orang insyaf bahwa
mati sedang mengancamnya, dan kiamat menagih janjinya, dan dia
mesti berdiri di hadapan Allah akan dihitung.”

2) Rabi’ah al-Adawiyah
Menurut Ibn Khallikan, nama lengkap Rabi’ah al-Adawiyah
adalah Ummul Khair Rabi’ah binti Isma’il al-Adawiyah al-Qisiyyah.
Beliau adalah seorang Zahid perempuan yang amat besar. Dia lahir di
Basrah
Di antara ucapannya yang terkenal tentang asketisisme ialah
sebagaimana diriwayatkan dalam Kasyf al-mahjub karya al-Hujwiri :
“suatu ketika aku membaca cerita bahwa seorang hartawan berkata
kepada Rabi’ah : mintalah kepadaku segala kebutuhanmu! Jawab
Rabi’ah : aku ini malu meminta hal-hal duniawi kepada Yang

11
Amin Syukur.,Op.Cit, hlm. 66.
Pemiliknya, maka bagaimana bisa aku meminta hal itu kepada yang
bukan pemiliknya?12
Banyak ajaran yang diriwayatkan dari Rabi’ah, yang seterusnya
menjadi bahan perbincangan para sufi setelahnya. Antara lain
ajarannya tentang berendah diri, tidak menunjukkan amal-amal yang
baik, melarang mencari-cari kelemahan orang lain dan masih banyak
lagi.
Menurut sebagian orientalis yang mengkaji tasawuf, yang
membedakan Rabi’ah dengan para sufi-sufi sebelumnya adalah
dikarenakan dia menandai asketisisme Islam dengan corak lain dari
asketisisme Hasan al-Bashri yang coraknya adalah rasa takut. Rabia’ah
melengkapinya dengan unsur lain yaitu cinta, yang menjadi sarana bagi
manusia untuk merenungkan keindahan Allah yang abadi.
Cinta murni kepada Tuhan itulah puncak tasawuf Rabi’ah.
Pantun-pantun kecintaan kepada Ilahi, yang kemudian banyak keluar
dari ucapan sufi yang besar seperti Fariduddin Al-Athar, Ibhnul Faridh,
Al-Hallaj, Jalaluddin Rumi dan lain-lain, telah dimulai dahulu oleh
Rabi’ah. Arti dari salah satu syairnya adalah seperti berikut :

“aku cinta kepada-Mu dua macam cinta, cinta rindu


Dan cinta, karena engkau berhak menerima cintaku
Adapun cinta, karena Engkau,
Hanya Engkau yang aku kenang tiada lain.
Adapun cinta, karena Engkau berhak menerimanya.
Agar Engkau bukakan hijab, supaya aku dapat melihat Engkau
Pujian atas kedua perkara itu bukanlah bagiku
Pujian atas kedua perkara itu adalah bagi-Mu sendiri”.

Karena itu dalam kenyataannya Rabi’ah al-Adawiyyah mewakili


titik-pusat peralihan asketisisme dalam Islam, yang meluruskan jalan
kemunculan para sufi ataupun tasawuf. Dari sinilah asal-usul
kemasyhuran dan ketenarannya, sebagaimana kata ibn Khallikan :
“Rabi’ah adalah tokoh pada masanya, yang kelurusan dan ibadahnya
begitu terkenal.”

12
https://elinabethswann.wordpress.com, Op.,Cit.
2. Tasawuf abad ke III
a. Kajian Tasawuf Pada Abad III dan IV Hijriah
Pada abad III dan IV itu tasawuf telah mencapai kesempurnaannya.
Para sufi pada periode itu, mewakili masa keemasan tasawuf dalam
peringkatnya yang tertinggi dan terbersih. Tidak diragukan lagi, mereka
menjadi tokoh-tokoh bagi sufi kemudian.13
Salah satu yang menandai kemapanan tasawuf pada abad III dan IV
ini ialah munculnya tarekat-tarekat sufi dalam bentuknya yang paling awal.
Tarekat yang muncul pada masa ini ialah Tarekat Tayfuriah yang
dinisbahkan kepada Abu Yazid Al-Bustami, Tarekat al-Hallajiah yang
dinisbahkan kepada Mansur al-Hallaj dan lain-lainnya.14
Untuk karya-karya sufistik pada periode ini yang buku-bukunya
masih dapat ditemukan dewasa ini. (1) Abu Nasr as-Sarraj at-Tusi (w. 378
H). ia seorang penulis kitab besar dan fundamentalis dalam tasawuf
berjudul Kitab al-Luma’. (2) Abu Thalib al-Makki (w.386 H) membuktikan
pula keabsahan doktrin dan praktek sufi di dalam karyanya, Qut Al-Qutub,
(3) Abu Bakar al-Kalabazi, penulis buku kecil al-Ta’aruf li Mazhub ahl at-
Tasawuuf.15
b. Tokoh-Tokoh Sufi Terkemuka Abad III dan IV Hijriah16
1) Ma’ruf al-Karkhi
Namanya adalah Abu Muahfuz Ma’ruf bin Firuz al-Karkhi. Ia
berasal dari Persia, namun hidupnya lebih lama di Bagdad. Ia
meninggal di kota ini juga pada tahun 200 H / 815 M.
Ma’ruf al-Karkhi dikenal sebagai sufi yang selalu diliputi rasa
rindu kepada Allah sehingga ia digolongkan ke dalam
kelompok auliya’. Dia dipandang sangat berjasa dalam meletakkan
dasar-dasar tasawuf. Dan dia adalah orang pertama yang

13
Ensiklopedi Islam 5, Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hove, 1994. hal 83
14
Ibid. 83
15
Ibid. 83
16
Asmaran AS, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta : Rajawali Pers. Hal 251
mengembangkan tasawufnya dari paham cinta (al-hubb) yang dibawa
oleh Rabi’ah al-Adawiyah. Ia mengatakan bahwa timbulnya rasa cinta
kepada Allah itu bukan karena diusahakan melalui belajar, tetapi
datangnya semata-mata karena karunia Allah. Kalau dahulu hidup
kerohanian, terutama bertujuan untuk membebaskan diri dari siksa
akhirat, sekarang bagi Ma’ruf al-Karkhi, bertujuan sebagai sarana untuk
memperoleh ma’rifah kepada Allah.
2) Abu al-Hasan Surri al-Saqti
Nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan Surri al-Muglisi al-Saqti.
Dia adalah murid Ma’ruf al-Karkhi dan paman al-Junaidi dan
merupakan tokoh sufi terkemuka di Bagdad. Ia meninggal pada tahun
253 H / 867 M dalam usia 98 tahun.
Dalam sejarah sufi ia terkenal sebagai pelopor dalam membahas
soal “tauhid” dan merupakan orang yang paling wara’pada masanya. Di
antara kata-katanya yang menggambarkan tentang akhlak dan
pendidikan moral ialah : “Kekuatan paling dahsyat ialah nafsu, karena
itu hendaknya kau mampu mengendalikannya. Dan barang siapa tidak
mampu mengendalikan dirinya, niscaya dia lebih tidak mampu lagi
mengendalikan orang lain.”
Selanjutnya, dia juga pernah berkata : “Empat moral utama seorang
hamba : meningkatkan sifat wara’nya, meluruskan kehendaknya,
melapangkan dadanya bagi makhluk lain dan memberikan nasihat
kepada siapa pun”. Dan katanya lagi : “Ada empat hal yang harus tetap
lestari dalam kalbu seseorang : rasa takut hanya kepada Allah, rasa
harap kepada Allah, rasa cinta hanya kepada Allah dan rasa akrab hanya
kepada Allah.”
3) Abu Sulaiman al-Darani
Nama lengkapnya ialah Abu Sulaiman Abdurrahman bin Utbah al-
Darani. Dia dilahirkan di Daran, sebuah kampung di kawasan
Damakus, dan meninggal pada tahun 215 H / 830 M. Dia adalah murid
Ma’ruf dan merupakan tokoh sufi terkemuka, seorang ‘arif dan
hidupnya sangat wara’. Hidup kerohaniannya penuh diliputi dengan
kebersihan jiwa dan kesucian pribadi.
Diantara ucapan-ucapannya yang mengandung ajaran kerohanian
adalah : “Orang tidak dapat bersikap zuhd terhadap pesona dunia,
kecuali orang yang kalbunya diisi Allah dengan nur-Nya sehingga
segenap rasa dan pikirannya tertuju kepada masalah-masalah akhirat
saja”. Kemudian, dia juga pernah berkata : “Orang yang ‘arif, kalau
telah terbuka penglihatan mata kakinya, kaburlah penglihatan mata
lahirnya, sehingga tidak satupun yang dilihatnya, kecuali yang satu,
Tuhan”.
Dalam sejarahnya al-Darani dikenal sebagai salah seorang sufi
yang banyak membahas tentang ma’rifah dan hakikat.
4) Haris al-Muhasibi
Nama lengkapnya ialah Abu Abdillah al-Haris bin Asad al-Basri
al-Muhasibi. Dia lahir di Basrah pada tahun 165 H / 781 M. Selagi
masih kecil dia pindah ke Bagdad. Ia meninggal disana pada 243 H /
857 M. Ajaran-ajaran dan tulisan-tulisan memberikan pengaruh yang
kuat dan luas kepada ahli-ahli sufi sesudahnya, khususnya Abu Hamid
al Gazali.
Dia adalah seorang ulama termasyur dalam ilmu usul dan ilmu
akhlak, disamping dia juga sorang guru yang kenamaan di kota Bagdad.
Dan dia adalah salah seorang sufi yang mengkompromikan ilmu syariat
dengan ilmu hakikat.
Al-Muhasibi di dalam tasawufnya cenderung melakukan analisis
dengan perangkat logika. Sebagai contoh dalam analisisnya tentang
pengertian rasa sedih, dia berkata : “Rasa sedih itu berbagai macam :
rasa sedih lain hilangnya sesuatu yang adanya sangat disenangi, rasa
sedih karena khawatir tentang yang akan terjadi esok lusa, rasa sedih
karena merindukan yang diharap bisa tercapai ternyata tidak tercapai,
dan rasa sedih karena ingat betapa diri menyimpang dari ajaran-ajaran
Allah”.
5) Zu al-Nun al-Misri
Nama lengkapnya adalah Abu al-Faid Suban bin Ibrahim Zu al-
Nun al-Misri. Dia lahir di Ekhmim yang terletak di kawasan Mesir
Hulu pada tahun 155 H / 770 M. Pada tahun 214 H / 829 M dia
ditangkap dengan tuduhan membuat bid’ah dan dikirim ke kota Bagdad
untuk dipenjarakan disana. Setelah diadili, khalifah memerintahkan
agar ia dibebaskan dan dikembalikan ke Cairo. Di kota ini ia meninggal
tahun 245 H / 860 M. Secara legendaris ia dianggap sebagai seorang
ahli kimia yang memiliki kekuatan-kekuatan gaib dan telah mengetahui
rahasia tulisan Hiroglif Mesir.
Dalam tasawauf, Zu al-Nun al-Misri dipandang sebagai bapak
paham ma’rifah. Walaupun istilah ma’rifah sudah dikenal sebelumnya,
namun pengertian ma’rifah versi khas tasawuf barulah dikenal dengan
munculnya Zu al-Nun. Sejak munculnya Zu al-Nun al-Misri
berkembanglah pengertian ma’rifah yang khas dalam dunia sufi; dan
mulailah tersusun amalan-amalan tertentu dalam upaya mendekatkan
diri kepada Allah, yang dikenal dengan istilah maqamat dan ahwal.
Zu al-Nun al-Misri mengklasifikasikan ma’rifah kedalam tiga
macam, yaitu : (1) ma’rifah oarang awam, (2) ma’rifah para teolog dan
filosif, dan (3) ma’rifah para auliya’ dan muqarrabin serta mereka yang
mengetahui Allah melalui hati nuraninya. Menurut Zu al-
Nun, ma’rifah macam ketiga inilah yang tertinggi dan meyakinkan,
karena ia diperoleh bukan melalui belajar, usaha dan pembuktian, tetapi
ia adalah ilham yang dilimpahkan Allah ke dalam hati yang paling
rahasia pada hambanya. Sehingga ia mengenal Tuhannya melalui
Tuhannya. Ini berarti,bahwa menurutnya, ma’rifah bukan maqam tetapi
hal, yaitu suatu sikap mental yang diperoleh semata-mata karena
karunia Ilahi.
6) Abu Yazid al-Bustami
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid bin Isa bin Syurusan al-
Bustami. Dia lahir sekitar tahun 200 H / 814 M di Bustam, bagian timur
laut Persia. Dan di Bustam ini pula ia meninggal pada tahun 261 H /
875 M.
AbuYazid,adalahseorang zahid yangterkenal.Baginya zahid adalah
seorang yang telah menyediakan dirinya untuk hidup berdekatan
dengan Allah. Hal ini berjalan melalui tiga fase, yaitu zuhud terhadap
tunid, zuhud terhadap akhirat dan zuhud terhadap selain Allah. Dalam
fase terakhir ini ia berada dalam kondisi mental yang menjadikan
dirinya tidak mengingat apa-apa bagi selain Allah.
Abu Yazid merupakan seorang tokoh sufi yang membawa ajaran
yang berbeda dengan ajaran-ajaran tasawuf sebelumnya. Ajaaran yang
dibawanya banyak ditentang oleh ulama fiqh dan kalam, yang menjadi
sebab ia keluar masuk penjara. Kata-kata yang diucapkannya seringkali
mempunyai arti yang begitu mendalam sehingga jika ditangkap secara
lahir akan membawa kepada syirik, karena mempersekutukan Tuhan
dengan manusia
7) Junaid al-Bagdadi
Nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad
al-Khazzaz al-Nihawandi. Dia meninggal di Bagdad pada tahun 297 H /
910 M. Al Junaid adalah seorang sufi yang mempunyai wawasan luas
terhadap ajaran tasawuf, dan mampu membahas secara mendalam,
khususnya tentang paham tauhiddan fana’. Karena itulah dia digelari
Imam Kaum Sufi (Syaikh al-Ta’ifah).
Kemampuan al-Junaid untuk menyampaikan ajaran agama kepada
umat diakui oleh pamannya, sekaligus gurunya, Surri al-Saqti. Hal ini
terbukti dari kepercayaan gurunya dalam menyuruhnya untuk tampil
dimuka umum.
8) Al-Hallaj
Nama lengkapnya adalah Abu al-Muqis al-Husain bin Mansur al-
Hallaj (244 - 309 H). Ia merupakan tokoh yang paling kontroversial
didalam sejarah tasawuf dan akhirnya menemui ajalnya di tiang
gantungan.
Teori tasawuf yang dikembangkan oleh al-Hallaj meliputi tiga
persoalan pokok, yaitu : (a) Hulul, (b) Haqiqah Muhammadiyah, dan
(c) Wahdah al Adyan.
a) Hulul
Yakni paham yang menyebutkan bahwa Tuhan memilih
tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat
didalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada didalamnya,
setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada didalam tubuh
dilenyapkan.
Menurut al-Hallaj, Allah mempunyai dua sifat dasar, yaitu
sifat ketuhanan (lahut) dan sifat kemanusiaan (masut). Demikian
pula manusia, disamping mempunyai sifat kemanusiaan (masut),
juga memiliki sifat ketuhanan (lahut) dalam dirinya. Dengan
demikian dalam diri manusia terdapat sifat ketuhanan dalam diri
Tuhan terdapat sifat kemanusiaan. Karena itu persatuan antara
Tuhan dengan manusia dapat terjadi; dan persatuan itu mengambil
bentuk hulul.
b) Haqiqah Muhammadiyah atau Nur Muhammad
Pandangan bahwa Muhammad mempunyai dua
rupa. Pertama, rupanya yang qadim dan azali, yaitu dia telah
terjadi sebelum terjadinya segala yang ada ini. Kedua, ialah
rupanya sebagai manusia, sebagai seorang Rasul dan Nabi yang
diutus Tuhan. Rupanya sebagai manusia akan mengalami maut,
tetapi rupanya yang qadim akan tetap ada meliputi alam.
Paham ini berpangkal dari hadis yang sangat populer di
kalangan ahli sufi : “Aku berasal dari cahaya Tuhan dan seluruh
dunia berasal dari cahayaku”. Dalam teori ini nampak adanya
pengaruh ajaran filsafat, yaitu teori terjadinya alam semesta yang
diperkenalkan oleh al-farabi dengan mentransfer teori emanasi Neo
Platonisme Plotinus.
c) Wahdah al-adyan
Semua agama yang ada pada hakikatnya adalah satu,
karena semuanya mempunyai tujuan yang sama, yaitu mengakui
dan menyembah Allah, Tuhan semesta alam, Tuhan semua agama.
Nama agama itu berbagai macam, namun hakikatnya sama saja.
Paham Wahdah al-adyan (kesatuan semua agama) ini
muncul sebagai konsekuensi logis dari pahamnya Nur Muhammad.
Yakni, pendapat al-Halla tentang qadimnya Nur Muahmmad telah
mendorongnya berkesimpulan tentang kesatuan semua agama,
karena dalam kasus tersebut bersumber semua agama adalah satu.
Menurutnya, agama-agama itu diberikan kepada manusia bukan
atas pilihannya sendiri, tetapi dipilihkan untuknya.
9) Abu Bakar al-Syibli
Nama lengkapnya adalah Abu Bakr Dulaf bin Jahdar al Syibli. Al-
Syibli meninggal pada tahun 334 H / 946 M, dalam usia 87 tahun. Al-
Syibli adalah seorang yang tidak pernah mengeluh menghadapi
kehidupan; dia hidup penuh kegembiraan. Dia berujar : “Hiduplah
seperti pohon kayu yang lebat buahnya, tumbuh di tepi jalan. Dilempar
orang dengan batu, lalu dibalasnya dengan buah”.
Kemudian, tentang arti dan hakikat tasawuf dan sufi, al-Syibli
mengatakan : “Tasawuf ialah duduk bersama Allah tanpa ada rasa
duka”. Dan katanya pula : “Tasawuf adalah kehalusan yang
membakar”. Selanjutnya katanya : “Sufi ialah orang yang terputus
hubungannya dengan makhluk dan senantiasa berhubungan dengan
khalik”.
BAB III
KESIMPULAN
A. Simpulan
Dari cara hidup zuhud pada abad I dan II Hijriah, maka dimulailah kajian-
kajian kesufian pada abad III dan IV hijriah. dalam kajian tersebut terdapat dua
kecenderungan para tokoh. Pertama, cenderung pada kajian tasawuf yang bersifat
akhlak yang didasarkan pada Al-Qur’an dan sunah. kedua, cenderung pada kajian
tasawuf filsafat dan banyak berbaur dengan kajian filsafat metafisika.
Menurut al-Taftazani, pada masa itu mereka telah membahas moral,
tingkah laku dan peningkatannya. Pengenalan intuitif langsung kepada Allah,
kefanaan dan realitas mutlak Allah, serta mutlak pencapaian ketentraman kalbu
ataupun kebahagiaan. Prof. Dr. H Aboebakar Atjeh menggambarkan pada abad ke
III orang membicarakan latihan rohani, yang dapat membawa manusia kepada
Tuhannya.

Anda mungkin juga menyukai