Anda di halaman 1dari 8

Pengarus Hadlratus Syekh KH. Moh.

Hasyim Asy’ari

Berdirinya NU tidak bisa lepas dari sosok Hadlratus Syaekh KH. Hasyim Asy’ari,
Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang dan Rais akbar Syuriyah PBNU yang
mendapatkan julukan “Hadlratus Syekh” yang artinya “Tuan guru besar”. Hadlratus Syekh KH.
Hasyim Asy’ari dilahirkan dari lingkungan keluarga kiai yang terhormat di sebuah desa dekat kota
Jombang, Jawa Timur pada tahun 1871. Kiai Asy’ari ayahnya, adalah pendiri Pondok Pesantren
keras. Kiai Ustman, kakeknya juga terkenal sebagai pemimpin pesantren Gedang yang menarik
santri-santri dari seluruh Jawa pada akhir abad ke-19. Beliau juga seorang pemimpin tarekat yang
menarik ribuan murid. Dan akhirnya, ayah kakeknya, Kiai Syihab, adalah pendiri Pesantren
Tambak Beras, suatu desa di pinggiran barat kota Jombang.

Hadlratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari belajar di berbagai pesantren, diantaranya Pesantren
Siwalan Surabaya asuhan Kiai Ya’qub, Pesantren bangkalan Madura dibawah asuhan KH. Kholil Bangkalan
Madura, dan di Mekkah selama lebih 7 tahun dibawah guru-guru besar yang terkenal. Guru yang paling
mempengaruhi pemikirannya adalah Syekh Mahfud al-Tarmasi, seorang ahli hadits terkemuka yang
karangan kitabnya banyak sekali, dan akhirnya Hadlratus Syekh KH.Hasyim Asy’ari terkenal
dengan ahli hadits.

Sewaktu mondok di Siwalan Surabaya, Hadlratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari di nikahkan
oleh gurunya kiai Ya’qub dengan putrinya, Chadijah. Walaupun berat, namun karena perintah
gurunya dan mendapat restu kedua orang tua, jadilah perkawinan tersebut. Dalam melaksanakan
perkawinan ini, Hadlratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari sebenarnya merasa berat karena
keinginannya untuk terus belajar sangat besar, tidak ingin diganggu oleh hal-hal yang menyita
waktu dan perhatian, apalagi menikah yang sarat dengan beban dan tanggung jawab membina
keluarga yang penuh dengan persoalan. Melihat kegundahan muridnya ini, Kiai Ya’qub
menasehati:

“Hasyim anakku, demikianlah kata gurunya selanjutnya, soal mencari ilmu sebenarnya
memang betul sebagaimana kata Imam Mawardi dalam kitabnya Minhajul Yaqin itu, yakni
bahwasannya orang yang memperdalam ilmu agama, adalah laksana orang berenang dalam lautan,
kian jauh ke tengah orang berenang di laut, bukannya sempit laut itu dalam pandangannya, bahkan
sebaliknya, yakni semakin luas dan dalam. Tak tampak olehnya pantai dan tak dapat pula
diketahuinya laut dikala itu sekelilingnya. Lagi pula tak ada alasan yang tepat bagi seseorang untuk
menganggap bahwasannya perkawinan, ya, bahkan mengemudikan rumah tangga sekalipun, guna
dijadikan sebab berhenti dari mencari ilmu dan menuntut pengetahuan, asal saja dalam dada orang
tadi masih menyala-nyala api semangat ingin menjadi orang besar dan berarti pula dalam
masyarakat ramai kelak di kemudian hari. Dan memang, hanya di dalam rongga dada calon orang
besar sajalah terdapat rasa kurang puas terhadap keadaan yang sudah dicapainya itu.

Awal terkenalnya Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari adalah ketika ia mendirikan
Pondok Pesantren Tebuirang, beliau tidak tergesa-gesa mendidik santri dalam jumlah yang
banyak. Beliau memusatkan perhatiannya pada usaha mendidik sejumlah kecil santrinya yang
terpilih sampai sempurna betul, artinya setelah mereka menyelesaikan pelajarannya di Tebuireng,
mereka sudah betul-betul mampu mendirikan pesantren sendiri. Hadratus Syekh KH. Hasyim
Asy’ari menjadi Msyhur tatkala murid-muridnya angkatan pertama yang telah menyelesaikan
pelajarannya berhasil mengembangkan pesantren. Banyak pesantren-pesantren yang mereka
kembangkan menjadi pesantren besar, masing-masing memiliki lebih dari 1.000 orang santri yang
datang dari berbagai daerah. Diantaranya Pesantren Lasem (Rembang Jawa Tengah), Pesantren
Darul Ulum (Peterongan Jombang), Pesantren Mamba’ul Ma’arif (Denanyar Jombang), Pesantren
Lirboyo (kediri), dan Pesantren Asembagus (Situbondo Jawa Timur).

Banyak kitab karangan Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari ini, antara lain :

1. Adab al’ Alim wa al-Muta’allim, yang menjelaskan pelbagai hal yang berkaitan
dengan etika orang yang menuntut ilmu (muta’allimin) dan seorang guru (‘alim)
2. Ziyadah Ta’liqat, sebuah tanggapan atas pendapat (nadzari) Syeikh Abdullah bin
Yasin Pasuruan yang berbeda pendapat dengan NU
3. Al-Tanbihat wal-WajibatLiman Yasna’u al-Maulid bi al-Munkarat, yang
menjelaskan tentang orang-orang yang mengadakan perayaan Maulid Nabi dengan
kemunkaran
4. Al-Risalah al-Jami’ah, menjelaskan tentang keadaan orang-orang yang telah
meninggal dunia, tanda-tanda kiamat, serta ulasan tentang sunnah dan bid’ah
5. Al-Nur al-Mubin fi Mahabbati Sayyid al-Mursalin, menjelaskan tentang cinta kepada
Rasul dan hal-hal yang berhubungan dengannya, menjadi pengikutnya dan
menghidupkan tradisinya
6. Hasyiyah ‘ala Fathi al-Rahman bi Syarhi Risalat al-Wali Risalatani li Syaikhi al-
Islam Zakariyya al-Anshari
7. Al-Durar al-Muntasirah fi al-Masail al-Tis’a’Asyara, menjelaskan tentang persoalan
tarekat, wali, dan hal-hal penting lainnya yang terkait dengan keduanya atau pengikut
tarekat
8. Al-Tbyan fi Nahyi ‘an Muqotha’at al-Arham wa al-Aqrab wa al-Akhwan,
menjelaskan tentang pentingnya ikatan silaturrahim dan bahaya memutuskan ikatan
tersebut.
9. Al-Risalah al-Tauhid
10. Al-Qawa’id fi Bayani ma Yasibu min al-Aqaid

Dan masih banyak lagi karya-karya Hadlratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari yang
berkualitas.

Melihat kedalaman ilmunya dan keberhasilannya dalam mendidik para santri yang
berkualitas, maka pengaruh Hadlratus Syekh Hasyim Asy’ari semakin kuat di Jawa, khususnya
Jawa Timur dan Jawa Tengah. Maka ketika Hadlratus Shekh mendirikan Jam’iyah Nahdlatul
Ulama, para Kiai dan pengikutnya mendukungnya. Karena pengaruh yang besar itu pula Hadlratus
Shekh di tunjuk sebagai pimpinan Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) dan Masyumi. Pada tahun
1944, Hadlratus Shekh di tunjuk oleh pemerintah pendudukan Jepang sebagai kepala kantor urusan
Agama untuk wilayah Jawa dan Madura.

Pesantren Tebuireng yang didirikan oleh Hadlratus Syekh muncul sebagai pesantren yang
paling besar dan penting di Jawa pada Abad ke 20. Peantren Tebuireng menjadi sumber Ulama
dan Sumber pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura.

Salah satu pidato Hadlratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari adalah tatkala menyampaikan
pesan fatwanya dalam kongres NU tahun 1935 di Bandung. Adapun fatwanya sebagai berikut:

“Tinggalkan Ta’assub hizbiyyah (fanatic golongan) dan lepaskanlah diri dari hawa Nafsu
yang merusak. Belalah Islam, beejihadlah Menolah orang-orang yang mengacuhkan Al-Qur’an
dan sifat-sifat Rahman Allah. Berjuanglah menolak orang yang mendakwakan Ilmu yang sesat dan
kepercayaan yang merusak. Dan tiap-tiap muslim wajib berjihad menghadapi orang-orang yang
brutal itu. Alangkah baiknya jika tenaga dan pikirannya engkau sediakan untuk kepentingan
kemajuan Islam.

Dari pidato ini sangat kelihatan wawasan dan pemikiran besarnya. Hadlratus Syekh tidak
ingin pemimpin dan warga NU berpikiran sempit dengan fanatisme. Secara tidak langsung,
Hadratus Syekh ingin mengajari sikap toleran dan moderat yang sangat dibutuhkan dibutuhkan
ditengah pluralitas dan Heterogenitas bangsa Indonesia yang terdiri dari banyak agama, ras, suku,
etnis, dan antar golongan. Ini adalah paradigma pemikiran dan wawasan yang inklusif dan
progresif dan Hdlratus Syekh yang harus diwarisi dan dikembangkanoleh pemimpin NU dan
warganya.

Peran KH. R. As’ad Syamsul Arifin

Berdirinya NU tidak hanya berkat peran Hadlratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari, KH. A.
Wahab Chasbullah, dan KH. M. Bisri Sansuri. Ada banyak tokoh dibalik berdirinya NU Salah
satunya adalah Syaikhana Khalil Bangkalan Madura guru Hadldratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari.

Syaikhana Khalil inilah yang memberikan restu berdirinya NU lewat tongkat dan ayat al-
Qur’an surat Thaha. Kedua isyarah ini disampaikan oleh muridnya KH. R. As’ad Syamsul Arifin,
pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo.

KH. R. As’ad Syamsul Arifin, disuruh Syaikhana Khalil menemui Hadlratus Syekh KH.
Hasyim Asy’ari dengan tongkat dan ayat Thoha ketika beliau masih nyantri dengan Syaikhana
Khalil. Fungsi Kiai As’ad sebagai perantara inilah yang membuatnya mantap memilih NU sebagai
medan perjuangannya.

QS. Thaha [20]: 17-23 tersebut adalah :

)18( ‫أخرى‬ ‫) قال هي عصاي أتوكؤا عليها وأهش هبا على غنمي ويل فيها ماءرب‬17( ‫وما تلك بيمينك ميوسى‬

‫) واضمم‬21( ‫) قال خذها وال ختف سنعيدها سريهتا األوىل‬20( ‫) فألقها فإذا هي حية تسعى‬19( ‫قال ألقها فيها‬

)23( ‫الكربى‬ ‫) لنرينك من آيتنا‬22( ‫يدك إىل جناحك خترج بيضاء من غري سوء آية أخرى‬
“ Apakah itu yang ada di tangan kananmu, hai Musa? Musa berkata : ini adalah tongkatku, aku
berpegang padanya dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku serta bagiku ada keperluan
yang lain. Allah berkata : Lemparkan hai Musa ! Lalu tongkat itu dilemparkan, maka tiba-tiba
menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. Allah berkata, peganglah Ia dan jangan takut”.
Kami akan mengembalikan kepada keadaan semula. Dan kempitlah tanganmu ke ketiakmu,
niscaya ia keluar dalam keadaan putih cemerlang tanpa cacat; sebagai mukjizat yang lain (pula)
untuk kami perlihatkan kepada sebagian tanda-tanda kekuasaan kami yang sangat besar.

Ketika Kiai As’ad memberikan tongkat dan ayat Thaha ini, Kiai Hasyim Lalu menangis
lalu berkata “ Saya berhasil mau membentuk jam’iyah ulama’. Yang dimaksud Hadratus Syekh
KH. Hasyim Asy’ari adalah Jam’iyah Nahdlatul Ulama

Karena fungsinya sebagai perantara inilah KH. As’ad Syamsul Arifin menjadi bagian
penting dari sejarah NU. Kiai As’ad dalam perjalan sejarah NU menjadi salah satu tokoh penting
dibalik kebesaran NU, terutama di Jawa Timur khususnya di daerah situbondo dan sekitarnya.
Pengaruhnya yang besar dapat menggugah kesadaran masyarakat untuk membesarkan NU.
Pondoknya SalafiyahSyafi’iyah berkembang pesat sebagai sumber lahirnya ulama.

Peran KH. A. Wahab Chasbullah

NU tidak bisa lepas dari sosok KH. A. Wahab Chasbullah. Dialah penggerak NU, manager
NU, dan pengawal perjalanan NU dengan bimbingan gurunya Hadlratus Syekh KH. Hasyim
Asy’ari.

Menurut buku tokoh-tokoh parlemen yang disusun oleh Press Officer, Kiai Wahab dilahirkan pada
bulan Maret 1988 (sama dengan apa yang disebut dalam buku Sejarah Hidup KH. Wahid Hasyim,
penerbitan tahun 1957).

Sejak kecil KH. A. Wahab Chasbullah belajar agama dengan ayahandanya secara langsung
dalam kompleks pesantren. Kemudian mengembara ke berbagai pesantren dan terakhir di Makkah
sampai usia 35. Diantara pondok-pondok yang pernah di singgahinya adalah Pesantren Pelangitan
Tuban, Pesantren Mojosari Nganjuk, Pesantren Cempaka, Pesantren Tawangsari Sepanjang,
Pesantren Kiai Chalil Bangkalan Madura, Pesantren Branggahan Kediri, dan akhirnya ke
Pesantren Tebuireng Jombang dibawah asuhan Hadlratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari. Selama
empat tahun Kiai Wahab nyantri di Pondok Tebuireng, sampai akhirnya dijadikan Lurah Pondok,
Jabatan tertinggi di Pondok.

Kemudian Kiai Wahab melanjutkan belajar ke Makkah selama kurang lebih lima tahun. Di
Makkah, Kiai Wahab belajar dengan ulama-ulama besar seperti S seperti Syekh Mahfudh Termas,
Kiai Muchtaram Banyumas, Syekh Ahmad Chotib Minangkabau, Syakh Said al-Yamani, Syekh
Achmad Bakry Syatha, dan lain-lain.

Dari penjelajahan ini, Kiai Wahab menjadi Santri yang menguasai banyak Ilmu pengetahuan, dari
tafsir, hadits, fiqh, aqaid, tasawwuf, nahwu-shorof, ma’ani, mantiq, ‘arudl, dan ilmu muhadhoroh
dari cabang diskusi dan retorika.

Kiai Wahab mulai tampak kecerdasannya dan kepiwaiannya dalam berorganisasi dan
beretorika ketika mendirikan forum diskusi Taswirul Afkar di Surabaya, dimana kelompok Islam
tradisionalis pesantren dan modernis berkumpul, berdiskusi tentang persoalan kebangsaan dan
kemasyarakatan secara umum.

Kiai Wahab sangat loyal kepada NU sampai akhir hayatnya. Sebagai pembuat scenario
NU, menjadi Katib ‘Am NU pada periode Hadlratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari dan Rais Am NU
pasca wafatnya Kiai Hasyim, Kiai Wahab selalu mencurahkan segala pikiran, materi, tenaga, dan
waktunya untuk membesarkan NU dari Sabang sampai Merauke.

Sampai Muktamar NU ke-25, Kiai Wahab pernah udzur, beliau selalu mengikuti dengan
seksama, memberikan pengarahan dan pijakan langkah organisasi dalam menata masa depan dan
untuk menyelesaikan masalah-masalah yang terus bermunculan.

Keteladanan Kiai Wahab dan rendah dirinya bersama para kiai, khususnya gurunya
Hadlratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari seyogyanya menjadi contoh bagi kader-kader NU masa
depan. Berjuang dan menghidupi NU, bukan mencari penghidupan di NU.

Peran KH. M. Bisyri Syansuri

KH. Bisyri Syansuri adalah penerus Hadlratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab
Chasbullah. Kiai Bisyri lahir pada hari Rabu tanggal 28 Dzulhijjah tahun 1304 H/18 September
1886 M di Tayu, sebuah ibu kota kecamatan yang letaknya kira-kira 100 km, arah timur laut
Semarang di Jawa Tengah. Bapak Kiai Bisyri adalah Syansuri bin Abd. Shomad, sedang ibunya
bernama Mariah. Kiai Bisyri mempunyai lima saudara, dari Mas’ud, Sumiati, Bisyri, Muhdi, dan
Syafi’atun.

Sejak kecil sampai usia 6 tahun, Kiai Bisyri belajar dengan orang tuanya. Pada usia 7 tahun
mulai belajar agama secara teratur dengan belajar membaca Al-Qur’an pada KH. Sholeh Tayu.
Pada usia tersebut Kiai Bisyri melanjutkan belajarnya di desa Kajen kepada keluarga dekatnya
yang menjadi ulama besar dan membuka pesantren sendiri di Kajen, yaitu KH. Abd. Salam yang
hafal Qur’an dan ahli fiqh.

Dibawah bimbingan Kiai Abd. Salam, Kiai Bisyri belajar Nahwu-shorof, fiqh, tasawuf,
tafsir, hadits, dan lain-lain. Kiai Abd. Salam menerapkan aturan yang keras dan berjalur tunggal
moralitasnya. Ia belajar dengan Kiai Abd. Salam sampai menginjak masa remaja.

Ketika sudah berusia 15 tahun, Kiau Bisyri melanjutkan belajar kepada KH. Kholil
Kasingan Rembang dan KH. Syuaib Sarang Lasem, dua ulama terkemuka di pesisir utara pada
waktu itu. Setelah itu, Kiai Bisyri melanjutkan ke Bangkalan Madura dibawah asuhan KH. Kholil,
seorang ulama besar yang menjadi guru hampir semua Kiai yang terpandang di Jawa waktu itu.

Di Pondoknya Kiai Kholil ini, Kiai Bisyri bertemu sengan teman akrabnya, KH. A. Wahab
Chasbullah. Jalinan hubungan ini mempunyai arti penting dalam perjalanan hidup Kiai Bisyri ke
depan.

Setelah dari Madura, Kiai Bisyri melanjutkan ke pondok Pesantren Tebuireng Jombang
dibawah asuhan Hadlratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari pada tahun 1906. Kiai Bisyri ke Tebuireng
mungkin karena ajakan Kiai Wahab atau karena reputasi besar KH. Hasyim pada waktu itu. Di
Pesantren Tebuireng ini, Kiai Bisyri memperdalam Ilmu agamany, mengenai fiqh, tauhid, tafsir,
hadist, dan lain-lain. Dari sini pulalah, terdapat hubungan yang erat dengan Hadlratus Syekh KH.
Hasyim Asy’ari. Kiai Bisyri belajar di tebuireng selama 6 tahun.

Setelah 6 tahun di Tebuireng, Kiai Bisyri memperoleh ijazah dari gurunya itu untuk
mengajarkan kitab-kitab agama yang terkenal dalam literature lama. Pada waktu itu, Kiai Bisyri
berkumpul dengan pemuda-pemuda handal calon pemimpin masa depan, seperti KH. A. Wahab
Chasbullah, Abdul Manaf dari kediri, Kiai As’ad dari Situbondo, K. Achmad Baidlowi dari
Banyumas, Abduk Karim dari Gresik, Nakrowi dari Malang, Abbas dari Jember, Ma’shum (kakak
KH. Adlan Ali) Maskumambang Sedayu, dan lain-lain yang kelak menjadi pemimpin pesantren
besar.

Setelah dari Tebuireng, Kiai Bisyri melanjutkan studinya ke Makkah pada tahun 1911-
1914. Di Makkah dengan sahabat karibnya KH. Wahab, Kiai Bisyri belajar dengan banyak Kiai
besar, diantaranya Syekh M. Bakir, Syekh M. Said Al-Yamani, Syekh Umar Bajaned, Syekh
Abdullah, Syekh Ibrohim Al-Madani, Syekh. M. Sholeh Bafadhol, Syekh Jamal Al-Maliki, Syekh
Khotib Padang, Syekh Syu’aib Doghestani, dan KH. Mahfudh Termas.

Ketika di Makkah inilah, Kiai Bisyri dijodohkan Kiai Wahab dengan adiknya Nor
Khodijah. Akhirnya Kiai Bisyri dan istri pulang ke tanah air pada tahun 1914.

Setelah kembali ke Tambak Beras, beliau membantu pengajian mertuanya KH.


Cahsbullah. Kemudian pindah ke desa Denanyar. Di Denanyar yang dekat dengan Tambak Beras
ini Kiai Bisyri dan istri mendirikan Pondok Pesantren yang diberi nama Mamba’ul Ma’arif.
Pondok Pesantren ini sekarang ramai dengan ribuan santri yang dari mana-mana untuk menuntut
ilmu agama.

Dalam perjalanan NU, Kiai Bisyri menjadi pemain utama dinamika NU bersama gurunya
Hadlratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari, dan temannya KH. A. Wahab Chasbullah. Akhirnya ketika
KH. A. Wahab Chasbullah meninggal, Kiai Bisyri memegang amanah sebagai Rais Am Syuriyah
PBNU.

Konsistensi dan kehati-hatiannya dalam mengambil hukum fiqh, serta fleksibelitasnya


dalam memberikan respon terhadap masalah menjadi cermin bagi kader NU sekarang dan akan
datang.

Anda mungkin juga menyukai