Anda di halaman 1dari 6

Wali Songo dan Metode Dakwahnya

A. Pengertian Wali songo

Di dalam Ensiklopedi Islam disebutkan bahwa walisongo (sembilan wali) adalah


sembilan ulama yang merupakan pelopor dan pejuang pengembangan Islam (islamisasi) di
Pulau Jawa pada abad kelima belas (masa Kesultanan Demak). Kata “wali”(Arab) antara
lain berarti pembela, teman dekat dan pemimpin. Dalm pemakaiannya, wali biasanya
diartikan sebagai orang yang dekat dengan Allah (Waliyullah). Sedangkan kata “songo”
(Jawa) berarti sembilan. Maka walisongosecara umum diartikan sebagai sembilan wali
yang dianggap telah dekat dengan Allah SWT, terus menerus beribadah kepada Nya, serta
memiliki kekeramatan dan kemampuan kemampuan lain di luar kebiasaan manusia.
Walisongo artinya sembilan wali, sebenarnya jumlahnya bukan hanya sembilan.
Jika ada seorang walisongo meninggal dunia atau kembali ke negeri seberang, maka akan
digantikan anggota baru. Songo atau sembilan adalah angka keramat, angka yang dianggap
paling tinggi. Dewan dakwah tersebut sengaja dinamakan walisongo untuk menarik
simpati rakyat yang pada waktu masih belum mengerti apa sebenarnya agama Islam itu.
Menurut penemuan K.H.Bisyri Musthafa, sebagaimana diuraikan oleh Saifuddin
Zuhri, jumlah para wali itu tidak hanya sembilan, tetapi lebih dari itu. Agaknya sembilan
orang wali itu adalah mereka yang memegang jabatan dalam pemerintahan sebagai
pendamping raja atau sesepuh kerajaan di samping peranan mereka sebagai mubalig dan
guru. Oleh karena mereka memegang jabatan pemerintahan, mereka diberi gelar
sunan,kependekan dari susuhunan atau sinuhun,artinya orang yang dijunjung tinggi.
Bahkan kadang-kadang disertai dengan sebutan Kanjeng, kependekan dari kang jumeneng,
pangeran atau sebutan lain yang biasa dipakai oleh para raja atau penguasa pemerintahan
di daerah Jawa. Lebih lanjut dijelaskan oleh K.H.Bisyri Musthafa bahwa ketika Sunan
Ampel wafat, para wali yang berta’ziah sebanyak 16 orang.
Dalam penyiaran Islam di Jawa, walisongo dianggap sebagai kepala kelompok dari
sejumlah besar mubalig Islam yang mengadakan dakwah di daerah-daerah yang belum
memeluk agama Islam. Mereka adalah : 1) Sunan Gresik, 2) Sunan Ampel, 3) Sunan Giri,
4) Sunan Bonang, 5) Sunan Derjaat, 6)Sunan Gunung Jati, 7) Sunan Kudus, 8) Sunan
Kalijaga dan 9) Sunan Muria.

B. Dakwah Wali Songo

Strategi Dakwah Wali Sanga Dalam Islamisasi Di Jawa. Peran Wali Sanga dalam
penyebaran Islam di Indonesia, terutama di Jawa nampaknya tidak dapat di sangkal lagi. Besarnya
jasa mereka dalam mengislamkan tanah Jawa telah menjadi catatan yang masyhur dalam
kesadaran masyarakat Islam Jawa. Ada yang menganggap “Wali Songo” lah perintis awal gerakan
dakwah Islam di Indonesia. Karena jika dilihat pada fase sebelumnya, Islamisasi di Nusantara
lebih dilaksanakan oleh orang-perorangan tanpa manajemen organisasi. Tetapi dalam kasus Wali
Sanga ini, aspek manajemen keorganisasian telah mereka fungsikan. Yakni, mereka dengan
sengaja menempatkan diri dalam satu kesatuan organisasi dakwah yang diatur secara rasional,
sistematis, harmonis, tertentu dan kontinyu serta menggunakan strategi, metode dan fasilitas
dakwah yang betul-betul efektif.

Widji Saksono dalam bukunya “Mengislamkan Tanah Jawa..” mengisyaratkan bahwa


apabila berita tentang Wali Sanga dikumpulkan dan dipelajari, antara lain dari serat Wall Sanga
dan dari Primbon milik Prof. K.H.R. Moh. Adnan, maka didapati suatu kesimpulan, bahwa secara
keseluruhan -kecuali Syeik Siti Jenar- Wali Sanga merupakan satu kesatuan organisasi. Yaitu
organisasi yang dapat diidentikkan sebagai panitia ad hoc atau kanayakan (kabinet) urusan
mengislamkan masyarakat Jawa.

Dalam hal ini, setiap orang dari mereka memegang peranan dan bertanggungjawab sebagai
ketua bagian, seksi atau nayaka (menteri) dan sebagainya dalam organisasi dakwah Wali Sanga
itu. Dan mereka sering berkumpul bersama, mengadakan sesuatu, merundingkan berbagai hal yang
berkenaan dengan tugas dan perjuangan mereka. Bukti lain yang menunjukkan Wali Sanga sebagai
kesatuan organisasi, adalah peristiwa pembangunan masjid Demak, dimana dalam peristiwa itu
tercermin sebuah kerjasama dan gotong royong tmtuk kepentingan dan tujuan yang lama; yaitu
untuk kepentingan syiar agama Islam.

Untuk menunjukkan bahwa lembaga dakwah Wali Sanga bersifat teratur dan kontinyu,
Saudi Berlian dalam menyunting bukunya Widji Saksono, menunjukkan paling tidak lembaga
Wali Sanga telah mengalami empat kali periode sidang penggantian `pengurus’.

Periode I: Malik Ibrahim, Ishaq, Ahmad Jumad al-Kubra, Muhammad al-Maghribi, Malik Israil,
Muhammad al-Akbar, Hasanuddin, Aliyuddin dan Subakir.

Periode II: Komposisi kepengurusan dilengkapi oleh Raden Rahmad Al Rahmatullah (Sunan
Ampel) menggantikan Malik Ibrahim yang telah wafat, Ja’far Shadiq (Sunan Kudus)
menggantikan Malik Israil yang telah wafat, Syaril Hidayatullah menggantikan Al-Akbar yang
telah wafat.

Periode III:, masuk Raden Paku (Sunan Girl) menggantikan Ishaq yang pindah ke Pasai, Raden
Said (Sunan Kalijaga) menggantikan Syeikh Subakir yang kembali ke Persia, Raden Makdum
Ibrahim (Sunan Bonang) menggantikan Maulana Hasanuddin yang telah Wafat, Raden Qasim
(Sunan Drajat) menggantikan Aliyuddin yang telah wafat.

Periode IV: masuk Raden Hasan (Raden Fatah) dan Fathullah Khan, keduanya menggantikan
Ahmad Jumad al-Kubra dan Muhammad al-Maghribi. Periode V: masuk Sunan Muria. Tidak
dijelaskan tokoh Ini menggantikan siapa, tetapi besar kemungkinan menggantikan Raden Fatah
yang naik tahta sebagai Sultan I Demak

Selanjutnya, dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa, Wali Sanga telah menggunakan
beberapa strategi dan metode dakwah. Di antaranya adalah dengan memobilisasi semua alat ta’tsir
psikologis yang berupa sensasi, conciliare, sugesti, hipnotis sampai de cere. Karena sensasi inilah,
masyarakat awam dipaksa secara halus untuk menaruh perhatian kepada para Wali dan
mengesampingkan yang lainnya. Karena conciliare, publik akhirnya mengganggap penting apa
saja yang datang dari para Wali.

Karena sugesti, rakyat didorong berbuat sesuatu sehingga bergerak tanpa banyak tanya.
Karena hipnotis, rakyat terpukau akan segala sesuatu yang bermerk para Wall tanpa banyak selidik
dan kritik. Selanjutnya karma de cere,-para Wali dapat mengendalikan dan mengarahkan awam
sebagai obyek dakwahnya ke mana raja yang mereka kehendaki. Selain strategi yang bersifat
psikilogis, Wali Sanga juga menerapkan strategi (pendekatan) politis. Ini tercermin dalam langkah-
langkah yang diambil terutama oleh Raden Patah ketika mendirikan Kerajaan Demak (Sofwan,
2000: 258).

Widji Saksono mencatat, bahwa Wali Sanga meneladani pendekatan Rasulullah SAW.
dalam berdakwah, yaitu Bil Khikmati wal maudzotil khasanati wa jaadilhum billatii hiya akhsan.
Wali Sanga memperlakukan sasaran dakwah, terutama tokoh khusus, dengan profesional dan
istimewa, langsung pribadi bertemu pribadi. Kepada mereka diberikan keterangan, pemahaman
dan perenungan (tazkir) tentang Islam, peringatan-peringatan dengan lemah lembut, bertukar
pikiran dari hati ke hati, penuh toleransi dan pengertian. Metode Ini dapat dilihat pada kasus Sunan
Ampel ketika mengajak Ariya Damar dari Palembang masuk Islam. Juga pada Sunan Kalijaga
ketika mengajak Adipati Pandanarang di Semarang untuk masuk Islam.
Dalam pendekatan Bil Hikmah, Wall Sanga menggunakannya dengan jalan kebijaksanaan
yang diselenggarakan secara populer, atraktif dan sensasional. Pendekatan Ini mereka pergunakan
terutama dalam menghadapi masyarakat awam. Dalam rangkaian Ini kita dapati kisah Sunan
Kalijaga dengan gamelan Sekaten-nya. Atas usul Sunan Kalijaga, maka dibuatlah keramaian
Sekaten atau Syahadatainyang diadakan di Masjid Agung dengan memukul gamelan yang sangat
unik, baik dalam hal langgam dan lagu maupun komposisi instrumental yang telah lazim selama
ini. Begitu juga dakwah Sunan Kudus dengan lembut yang dihias secara unik dan nVentrik.
Apabila kedua pendekatan ini tidak berhasil, barulah mereka menempuh jalan lain yaitu Al-
Mujadalah billati hiya ahsan. Pendekatan ini terutama diterapkan terhadap tokoh yang secara terus
terang menunjukkan sikap kurang setuju terhadap Islam.

Wali Sanga juga memakai strategi tarbiyyah al-‘ummah, terutama sebagai upaya
pembentukan dan penanaman kader, serta strategi penyebaran juru dakwah ke berbagai daerah.
Sunan Kalijaga misalnya, mengkader Kiai Gede Adipati Pandanarang (Sunan Tembayat) dan
mendidik Ki Cakrajaya dari Purworejo, kemudian mengirimnya ke Lowanu untuk mengislamkan
masyarakat di sana.

Sunan Ampel mengkader Raden Patah kemudian menyuruhnya berhijrah ke hutan Bintara,
membuat perkampungan dan kota baru dan mengimami masyarakat yang baru terbentuk itu. untuk
penyebaran juru dakwah dan pembagian wilayah kerja Wali Sanga, digambarkan oleh Mansur
Suryanegara, mempunyai dasar pertimbangan geostrategis yang mapan sekali. Pembagian itu
memakai rasio 5 : 3: 1.

Jawa Timur mendapat perhatian besar dari para Wali. Di sini ditempatkan 5 Wall dengan
pembagian teritorial dakwah yang berbeda. Maulana Malik Ibrahim, sebagai Wali perintis,
mengambil wilayah dakwahnya di Gresik. Setelah wafat, wilayah ini diambil alih oleh Sunan Girl.
Sunan Ampel mengambil posisi dakwahnya di Surabaya. Sunan Bonang sedikit ke utara di Tuban.
Sedangkan Sunan Drajat di Sedayu. Berkumpulnya kelima Wali di Jawa Timur adalah karna
kekuasaan politik saat itu berpusat di wilayah ini. Kerajaan Kediri di Kediri dan Majapahit di
Mojokerto.
Di Jawa Tengah, para Wali mengambil posisi di Demak, Kudus dan Muria. Sasaran
dakwah para Wali di Jawa Tengah tentu berbeda dengan yang di Jawa Timur. Di Jawa Tengah,
dapat dikatakan bahwa pusat kekuasaan Hindu dan Budha sudah tidak berperan, tetapi realitas
masyarakatnya masih banyak dipengaruhi oleh budaya Hindu dan Budha. ehingga dalam
berdakwah, Wali Sanga di Jawa Tengah ini banyak menggunakan instrumen budaya lokal, seperti
wayang, gong gamelan dan lain-lain, untuk dimodifikasi sesuai dengan ajaran Islam.

Saat berlangsung aktivitas ketiga Wali tersebut, pusat kekuasaan politik dan ekonomi beralih ke
Jawa Tengah, ditandai dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit dan munculnya Kerajaan Demak,
yang disusul kemudian dengan lahirnya Kerajaan Pajang dan Mataram II. Perubahan kondisi
politik seperti ini, memungkinkan ketiga tempat tersebut mempunyai arti geostrategis yang
menentukan.

Sedangkan di Jawa Barat, proses islamisasinya hanya ditangani oleh seorang Wali, yaitu Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Dengan pertimbangan saat itu penyebaran ajaran Islam di
Indonesia Barat, terutama di Sumatera dapat dikatakan telah merata bila dibandingkan dengan
kondisi Indonesia Timur. Adapun pemilihan kota Cirebon sebagai pusat aktivitas dakwah Sunan
Gunung Jati, hal itu tidak bisa dilepaskan hubungannya dengan jalan perdagangan rempah-rempah
sebagai komoditi yangberasal dari Indonesia Timur.

Dan Cirebon merupakan merupakan pintu perdagangan yang mengarah ke Jawa Tengah, Indonesia
Timur dan Indonesia Barat. Oleh karna itu, pemilihan Cirebon dengan pertimbangan sosial politik
dan ekonomi saat itu, mempunyai nilai geostrategis, geopolitik dan geoekonomi yang menentukan
keberhasilan Islam selanjutnya.

Demikianlah beberapa strategi dan pendekatan yang dipakai oleh Wali Sanga dalam menyebarkan
Islam di tanah Jawa. Dan apabila dikaji lebih mendalam, maka akan didapati beberapa bentuk
metode dakwah Wali Sanga, di antaranya:

Pertama, melalui perkawinan. Diceritakan dalam Babad Tanah Jawi di antaranya bahwa Raden
Rahmad (Sunan Ampel ) dalam rangka memperkuat dan memperluas dakwahnya, salah satunya,
dengan menjalin hubungan geneologis. Beliau menekankan putrinya, Dewi Murthosiah dengan
Raden Ainul Yakin dari Giri. Dewi Murthosimah dengan Raden Patah. Alawiyah dengan Syarif
Hidayatullah. Dan putrinya yang lain, Siti Sarifah dengan Usman Haji dari Ngudung.

Kedua, dengan mengembangkan pendidikan pesantren. Langkah persuasif dan edukatif ini mula-
mula dipraktekkan oleh Syeikh Maulana Malik Ibrahim di Gresik, kemudian dikembangkan dan
mencapai kemajuannya oleh Sunan Ampel di desa Ampel Denta, Surabaya.

Ketiga, mengembangkan kebudayaan Jawa dengan memberi muatan nilai-nilai keislaman, bukan
saja pada pendidikan dan pengajaran tetapi juga meluas pada bidang hiburan, tata sibuk, kesenian
dan aspek-aspek lainnya. Seperti Wayang, Sekatenan, Falasafah wluku lan pacul Sunan Kalijaga.

Keempat, metode dakwah melalui sarana prasarana yang berkaitan dengan masalah perekonomian
rakyat. Seperti tampilnya Sunan Majagung sebagai nayaka (mentri) unison ini. Beliau memikirkan
masalah halal-haram, masak-memasak, makan-makanan dan lain-lain. Untuk efesiensi kerja,
beliau berijtihad dengan menyempurnakan alat-alat pertanian, perabot dapur, barang pecah-belah.
Begun juga Sunan Drajat tampil dengan menyempurnakan alat transportasi dan bangun
perumahan.

Kelima, dengan sarana politik. Dalam bidang politik kenegaraan Sunan Girl tampil sebagai
ahli negara Wali Sanga, yang menyusun peraturan-peraturan ketataprajaan dan pedoman tata cara
keraton. Begitu juga Sunan Kudus yang ahli dalam perundang-undangan, pengadilan dan
mahkamah. Sebagai penutup untuk pembahasan tentang islamisasi Jawa oleh Wali Sanga,
setidaknya ada dua faktor elementer yang menopang keunggulan don keistimewaan dakwah para
Wali. Pertama, inklusivitas para Wali dalam melihat ajaran Islam. Kedua, potensi dan keunggulan
vang dimiliki oleh para Wali. -Mereka telah membuktikan diri sebagai mujtahid yang memahami
Islam tidak saja sebagai teori abstrak, tetapi juga sebagai realitas historic kemanusiaan.

Anda mungkin juga menyukai